Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di
dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam
saluran empedu disebut koledokolitiasis.
Kejadian batu empedu di negara–negara industri antara 10–15%. Di
Amerika Serikat, insiden kolelitiasis diperkirakan 20 juta orang, dengan
70% diantaranya didominasi oleh batu kolesterol dan 30% sisanya terdiri
dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi (menurut “Healthy
Lifestyle” Desember 2008). Sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien
didapatkan batu pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27%
pasien (menurut divisi Hepatology, Departemen IPD, FKUI/RSCM Jakarta,
Mei 2009). Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan etnis. Kasus batu
empedu lebih umum ditemukan pada wanita. Faktor risiko batu empedu
memang dikenal dengan singkatan 4-F, yakni Fatty (gemuk), Fourty (40 th),
Fertile (tidak subur), dan Female (wanita). Wanita lebih berisiko mengalami
batu empedu karena pengaruh hormon estrogen. Meski wanita dan usia 40
th tercatat sebagai faktor risiko batu empedu, itu tidak berarti bahwa wanita
di bawah 40th dan pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes mellitus
(DM), baik wanita maupun pria, berisiko mengalami komplikasi batu
empedu akibat kolesterol tinggi. Bahkan, anak–anak pun bisa
mengalaminya, terutama anak dengan penyakit kolesterol herediter.
Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu
empedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori mayor, yaitu : 1) Batu
kolesterol dimana komposisi kolesterol melebihi 70%, 2) Batu pigmen
coklat atau batu calcium bilirubinate yang mengandung Ca-bilirubinate
sebagai komponen utama, dan 3) Batu pigmen hitam yang kaya akan
residu hitam tak terekstraksi.
Walaupun batu dapat terjadi dimana saja dalam saluran empedu,
namun batu kandung empedu ialah yang tersering didapat. Bila batu
empedu ini tetap saja tinggal di dalam kandung empedu, maka biasanya

1
tidak menimbulkan gejala apapun. Gejala gejala biasanya timbul bila batu
ini keluar menuju duodenum melalui saluran empedu, karena dapat
menyebabkan kolik empedu akibat iritasi, hidrops, atau empiema akibat
obstruksi duktus cysticus. Bila obstruksi terjadi pada duktus koledokus
maka dapat terjadi kolangitis ascendens, ikterus, dan kadang– kadang
sirosis bilier.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Nn. IW
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Tongkek – kuripan
Bangsa : Indonesia
Suku : Sasak
Agama : Islam
MRS : 19-03-23

2.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama : Nyeri seluruh perut kanan atas
b. Keluhan Penyakit Sekarang : pasien datnag ke IGD diantar oleh keluarga
dengan keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri sejak 2 hari yll. Nyeri dirasaka
terus – menerus, nyeri memberat terutama ketika setelah makana makanan yang
berlemak. Selain nyeri pasien juga mengeluhkan kuining pada mata dan badan
(+) pasien tidak mengetahui kapan awal muncul geajala kuning, mual (+),
muntah(-), demam (-), BAB dempul (-) BAK keruh (+). Pasien pernah
terdiagnosis kolelitiasis namun menolak untuk di operasi.

c. Riwayat penyakit dahulu :

- Riwayat kolelitiasis : pasien pernah didiagnosis kolelitiasis


namumn menolak operasi
- Riwayat hepatitis : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
- Riwayat penyakit Jantung : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga
- Riwayat kolelitiasis : disangkal

3
- Riwayat hepatitis : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
- Riwayat Penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat Pengobatan : -
f. Riwayat Sosial :
- Alkohol : -
- Merokok : -
2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 130/90
Nadi : 86 x/menit, regular
Respirasi : 20 x/menit, regular.
Tax : 36,3ºC
Spo2 : 99 -100 % Room Air

Status Generalis
Kepala : Normocephali,
Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik (+/+),
reflek cahaya (+/+) isokor.
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : discharge (-), septum deviasi (-), nafas cuping hidung (-)
Bibir : sianosis (-), sariawan (-), kering (-)
Tenggorokan : faring hiperemis (+), pembesaran tonsil (-)
Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-)
Thorak : Simetris (+), retraksi (-)
Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Po : Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen :
Status lokalis
Abdomen :
I : distensi (-), venektasi (-), scar (-)
Au : bising usus (+) normal

4
Pe : Timpani (+)
Pa : Nyeri tekan (+) kuadran kanan atas, murphy sign (+)
Extremitas : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-), CRT < 2 detik
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin (19/03/2023)
Hemoglobin : 13.0 g/dl MCV : 78,6 fl
Eritrosit : 5,05 Juta/uL MCH : 25,8 pg
Leukosit : 7,2 Ribu/uL MCHC : 32,8 g/dl
Hematokrit : 39,7 % RDW : 13,0 %
Trombosit : 328 ribu/uL
Fungsi Hati (19/03/2023)
AST : 796 U/L (H) Bilirubin total : 3,27 mg/dl
ALT : 1492 U/L (H) Bilirubin direct : 3,05 mg/dl
Glukosa darah (19/03/2023)
Glukosa sewaktu : 105 mg/dL
Fungsi ginjal (19/03/2023)
Ureum : 16 mg/dl
Kreatinin : 1.1 mg/dl
Imunologi (19/03/2023)
SARS-Cov-2 Antigen : Negatif
x-ray foto BNO 2 Posisi (19/03/2023)
Kesan :
Cor tak membesar
Pulmo tak tampak kelainan

Hasil Pemeriksaan USG


kesan:
Cholesistolitiasis multiple, ukuran terbesarsekitar 1,2 cmdisertai cholesistitis
Fatty liver grade 1
Tak tampak kelainan lainnya pada organ intraabdomen secara sonografi
2.5 Diagnosis Kerja
- Cholelithiasis
- cholesistitis

5
2.6 Terapi IGD
- IVFD RL 20 TPM
- Inj ketorolac 30 mg/8jam
- Inj Ranitidin 50 mg/12 jam
- Inj Ondansentron 4 mg/8 jam
2.7 Follow Up Pasien

Tanggal S O A P
Nyeri perut (+) , TD: 120/80 Obs. Jaundice e.c  IVFD RL 20 tpm
20- 03- mual (+) mmHg CBD Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr
2023 muntah (-), N : 90 Inj.Ranitidine 2x1 amp
demam (-) x/menit Inj. Ketorolac 3x30 mg
RR: 20
Inj. Ondancentron 3x1 amp
x/menit
KIE rujuk untuk operasi
Suhu: 36,3
ºC
Nyeri perut (+) , TD: 130/90 Ileus Obstruktif IVFD RL 20 tpm
21- 03- Mual (+) mmHg Letak Tinggi Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr
2023 muntah (-), N : 78 Susp Peritonitis Inj.Ranitidine 2x1 amp
demam (-) x/menit Inj. Ketorolac 3x30 mg
RR: 20
Inj. Ondancentron 3x1 amp
x/menit
KIE rujuk untuk operasi
Suhu: 36,2
ºC

2.8 Prognosis

Quoad Vitam : dubia ad bonam


Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quoad Sanationam : bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Kolelitiasis adalah gabungan beberapa unsur dari cairan empedu atau
kosntituen empedu abnormal yang mengendap dan membentuk suatu material
mirip batu di dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau saluran empedu
(choledocholithiasis). Komponen cairan empedu adalah kolesterol, bilirubin,
garam empedu, kalsium, protein, asam lemak dan fosfolipid.

Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah


kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk
suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.

3.2 ANATOMI
A. Kandung empedu (vesica biliaris)

Gambar 1. Anatomi kandung empedu


Kandung empedu merupakan sebuah kantung berbentuk seperti buah pir,
panjangnya 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml. Ketika terjadi obstruksi,
kandung empedu dapat terdistesi dan isinya dapat mencapai 300 ml. Kandung
empedu berlokasi di sebuah fossa pada permukaaan inferior hepar yang secara
anatomi membagi hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri.

7
Kandung empedu dibagi menjadi:
1) Fundus : Berbentuk bulat dan biasanya menonjol di bawah margo inferior
hepatis, di mana fundus bersentuhan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung cartilago costalis IX dextra.

2) Korpus : Di dalamnya berisi cairan empedu yang di ekskresi setiap hari oleh
sel hati sebanyak 500-1000 cc sekresinya berjalan terus menerus dan produksi
meningkat sewaktu mencerna lemak. Korpus vesica biliaris terletak dan
berhubungan dengan facies visceralis hepar dan arahnya ke atas, belakang,
dan kiri.

3) Collum : Saluran pertama masuknya cairan empedu ke corpus vesica biliaris


lalu menjadi pekat berkumpul dalam vesica biliaris. Collum berlanjut sebagai
ductus cysticus, yang berkelok ke dalam omentum minum dan bergabung
dengan sisi kanan ductus hepaticus communis untuk membentuk ductus
choledochus.
Arteri cystica yang menyuplai kandung empedu yang berasal dari cabang
arteri hepatika dextra. Lokasi arteri cystica dapat bervariasi tetapi hampir
selalu di temukan di segitiga hepatocystica, yaitu area yang di batasi oleh
Ductus cysticus, Ductus hepaticus communis dan batas hepar (segitiga Calot).
Aliran vena akan melalui vena kecil dan akan langsung memasuki hepar, atau
menuju vena besar cystica menuju vena porta. Pembuluh limfe berjalan
menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica fellea.
Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum
sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus.
Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.

8
Gambar 2. Anatomi kandung empedu
Persyarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari
cabang simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik
simpatisnya adalah T8 dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan
duktus biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati nervus
splanchnic memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus vagus
memberikan serat kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan
hepar.
B. Dukutus biliaris
Duktus biliaris extrahepatik terdiri dari Ductus hepatikus dextra dan
sinistra, Ductus hepatikus komunis, Ductus sisticus dan Ductus koledokus.
Ductus koledokus memasuki bagian kedua dari duodenum lewat suatu
struktur muskularis yang disebut Sphincter Oddi.

 Duktus sistikus : Panjangnya kurang lebih 3 ¾ cm, berjalan dari leher


kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus
membentuk saluran empedu ke duodenum. Bagian dari duktus sistikus yang
berdekatan dengan bagian leher kandung empedu terdiri dari lipatan-lipatan
mulkosa yang disebut valvula heister.

 Duktus hepatikus komunis : Ductus hepaticus communis umumnya 1- 4 cm


dengan diameter mendekati 4 mm. Berada di depan vena porta dan di kanan
Arteri hepatica. Duktus hepatikus komunis dihubungkan dengan duktus
sistikus membentuk duktus koledokus.

 Duktus koledokus : Panjang Ductus choledochus kira-kira 7-11 cm dengan


diameter 5-10 mm. Bagian supraduodenal melewati bagian bawah dari tepi
bebas dari ligamen hepatoduodenal, disebelah kanan arteri hepatica dan
di anterior vena porta. Ductus koledokus bergabung dengan ductus
pankreatikus masuk kedinding duodenum (ampula vateri) kira-kira 10 cm
distal dari pylorus.
Suplai arteri untuk Duktus biliaris berasal dari Arteri gastroduodenal dan
Arteri hepatika kanan, dengan jalur utama sepanjang dinding lateral dan

9
medial dari Ductus koledokus (kadang-kadang pada posisi jam 3 dan jam
9). Persarafan dari Ductus koledokus dan Sphinchter Oddi sama dengan
persarafan pada kandung empedu.

3.3 FISIOLOGI
Fungsi kandung empedu, yaitu:

 Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang


ada di dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan
empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.
 Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak
dan vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya
dari usus. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah
diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke
dalam empedu.10,11 Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu.
Diluar waktu makan, empedu disimpan sementara di dalam kandung
empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke duodenum, akan tetapi
setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan ke
kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh
darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu
dalam kandung empedu kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan
empedu hati.
 Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan
diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan. 10 Pengaliran cairan
empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi
kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa,
empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu.
Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan
empedu mengalir ke duodenum.

 Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu


kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan
kandung empedu, lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor
CCK telah dikenal terletak dalam otot polos dari dinding kandung empedu.
Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit setelah

10
konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air, lemak, organik,
dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut organic
adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid.11 Sebelum makan, garam-
garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan hanya sedikit
empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu
serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandungan
empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu mengalir ke dalam
duodenum dan bercampur dengan makanan. Empedu memiliki fungsi yaitu
membantu pencernaan dan penyerapan lemak, berperan dalam pembuangan
limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari
penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak untuk membantu proses penyerapan, garam empedu
merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu menggerakan
isinya, bilirubin (pigmen utama empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai
limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya
dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh. Garam empedu
kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan kembali
ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Seluruh
garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari.
Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar
(kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai
unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang
bersama tinja. Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang disekresikan dalam feses.

3.4 EPIDEMIOLOGI
Dikenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin, yang terdiri atas kalsium bilirubinat, dan batu campuran. Di negara Barat
80% batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen meningkat
akhir-akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen dibandingkan
dengan batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu kolesterol sejak 1965 makin
meningkat. Diduga perubahan gaya hidup, termasuk perubahan pola makanan,

11
berkurangnya infeksi parasit, dan menurunnya frekuensi infeksi empedu,
mungkin menimbulkam perubahan insidens hepatolitiasis.
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang
dewasa dan usia lanjut. Kebanyakan kolelitiasis tidak bergejala atau bertanda. Angka
kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia diduga
tidak jauh berbeda dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak 1980-an
agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.
Sementara ini, didapatkan kesan bahwa meskipun batu kolesterol di indonesia lebih
umum, angka kejadian batu pigmen lebih tiggi dibandingkan dengan angka yang
terdapat di negara Barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia, dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor infeksi
empedu oleh kuman gram negatif E.coli ikut berperan penting dalam timbulnya
batu pigmen. Diwilayah ini insidens batu primer saluran empedu adalah 40-50% dari
penyakit empedu, sedangkan di dunia Barat sekitar 5%.
Perbedaan lain dengan negara Barat ialah batu empedu ditemukan mulai pada usia
muda di bawah 30 tahun, meskipun usia rata-rata tersering ialah 40- 50 tahun. Pada
usia diatas 60 tahun, insiden batu saluran empedu meningkat, Jumlah penderita
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun batu empedu
terbanyak ditemukan di dalam kandung empedu, sepertiga dari batu saluran empedu
merupakan batu duktus koledukus. Oleh sebab itu, kolangitis di negara Barat
ditemukan pada berbagai usia, dan merupakan sepertiga dari jumlah kolesistitis.
3.5 ETOILOGI DAN FAKTOR RESIKO
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini.
Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain.

 Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh
terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan,
yang meningkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena
kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.

12
 Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meingkat sejalan bertambahanya usia.
Orang dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
 Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko
lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI
maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga
mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung
empedu.
 Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setealh
operasi gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
 Riwayat keluarga
Orang dengan Riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai factor resiko lebih
besar dibandingkan dengan tanpa Riwayat keluarga.
 Aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan factor resiko
terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandungan emepedu lebih
sedikit berkontraksi.
 Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah chorn
disease, diabetes, aneia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
 Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
3.6 KLASIFIKASI BATU
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu
digolongkankan atas 3 (tiga) golongan.
 Batu kolesterol

13
Merupakan jenis batu terbanyak dan mengandung lebih dari 50% kolesterol,
sisanya adalalah kalsium karbonat, fosfat, bilirubinat, fosfolipid,
glikoprotein dan mukopolisakartida. Berbentuk bulat atau oval dengan
permukaan yang halus atau sedikit granuler, berwarna kuning pucat dengan
bagian inti yang lebih gelap.

Gambar 4. Batu kolesterol


 Batu pigmen

Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang
mengandung <30% kolesterol. Jenisnya antara lain:
 Batu pigmen coklat
Berwarna coklat atau coklat tua, konsistensi lunak, permukaanya
kasar dan seperti lumpur serta pada potongan melintang tampak lapisan
berwarna coklat dan coklat muda berselang seling. Lapisan coklat
mengandung garam bilirubinat sedangkan lapisan coklat muda
mengandung kalsium palmitat dan stearat. Batu pigmen cokelat sering
terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu.

14
Gambar 5. Batu pigmen coklat

 Batu pigmen hitam

Berarna hitam atau keceklotan, konsistensi keras, bila dipotong


permukaannya seperti gelas. Komponen utamanya adalah kalsium bilirubinat
dengan jalinan musin glikoprotein-garam kalsium. Garam kalsiumnya dapat
berupa kalsium karbonat atau kalsium non karbonatintinya mengandung
belerang dan tembaga dalam kadar yang tinggi. Batu ini merupakan tipe batu
yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis
hepar.

Gambar 6. Batu pigmen hitam

 Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 30-50%
kolesterol.
3.7 PATOGENESIS
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan
bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih
dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol)
atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya
adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang
mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung
empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium
dalam kandungan empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip
batu yang terbentuk didalam kandung emepedu. Pada keadaan normal, asam empedu
lesitin, dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu

15
menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol,
kalsium, bilirubin), akan berkeristalisasi dan mebentuk nidus untuk pembentukan batu.
Kristal yang terbentuk dalam kandungan empedu, kemudian lama kelamaan kristal
tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan mebentuk batu. Faktor motilitas
empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan
batu empedu.

 Batu kolesterol
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya
kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus.
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih
dari 90% kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan
batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75% kolesterol
berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu,
senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu
dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada
jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik
segitiga, yang koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam
empedu, lesitin dan kolesterol.
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam 3 tahap :
 Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah
komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam
perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah
larut. Di daalam kandung empedu ketiganya dikonsntrasikan
menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol
tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin den garam
empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada
keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio
ini bisa mencapai 1:13. Pada rasio ini kolesterol akan
Mengendap.

Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebaigai


berikut:

16
 Peradangan dinding kandung empedu, absorsi air, garam
empedu dan lecithin jauh lebih banyak.
 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi
sehingga terjadi supersaturasi.
 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol.
 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol
jauh lebih tinggi.
 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya
pada ganguuan ileum teminale akibat peradangan atau
reseksi (gangguan sirkulasi enterohepatk).
 Pemakaian tablet KB (esterogen) sekresi kolesterol
meningkat dan kadar chenodeoxycholat rendah, padahal
chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu kolesterol dan
menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan
bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
 Fase pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau
heterogen. Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu,
calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan.
Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri
yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
 Fase pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus
cukup waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada
keadaan normal dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat
dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk
akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi
kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat
supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini
mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan,
pada pemberian total parental nutrisi yang lama,
setelahoperasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut
kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang

17
berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal
kolesterol dan sukar dipompa keluar.
 Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat.

Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu
kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel,
sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu – batu tersebut
mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin,
asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak
senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat dominan dan
merupakan 40 sampai 60% dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh,
berwarna kecoklatan sampai hitam.2 Bilirubin pigmen kuning yang berasal dari
pemecahan heme, aktiv disekresikan ke empedu oleh sel liver. Kebanyakan
bilirubin dalam empedu dibentuk dari konjugat glukorinide yang larut air dann
stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri dari bilirubin tidak terkkonjugasi yang
tidak larut dengan kalsium. Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu
kolesterol. Kemungkinan mencakup sekresi pigmen dalam jumlah
yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap
dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi
pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak
terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di
negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan
dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi
parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk B-
glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu,
yang bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat larut.
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :

 Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena
pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan
penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin
terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi
yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b-

18
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada
keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4
lakton yang menghambat kerja glucuronidase.
 Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan
sel bisa juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing.
Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55% batu pigmen dengan inti
telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides.
Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu
adalah dari cacing tambang.
 Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini
sering ditemukan hamper 90% pada penderita kolelitiasis. Batu ini bersifat
majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai
dasar metabolism yang sama dengan batu kolesterol.

3.8 DIAGNOSIS

19
 Manifestasi klinis
Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik
(adanya batu empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks
(menyebabkan kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80%
kolelitiasis adalah asimptomatik. Setengah sampai duapertiga penderita
kolelitiasis adalah asimptomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia
yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis,
keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau
perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung
lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian.
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-
tiba.11
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri
viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh
batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu
tidak memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama
antara 30–60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium.
Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang
ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus
dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak
pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. Episode
kolik ini sering disertai dengan mual dan muntah-muntah dan pada sebagian
pasien diikuti dengan kenaikan bilirubin serum bilamana batu migrasi ke duktus
koledokus.
Adanya demam atau menggigil yang menyertai kolik bilier biasanya
menunjukkan komplikasi seperti kolesistitis, kolangitis atau pankreatitis. Kolik
bilier dapat dicetuskan sesudah makan banyak yang berlemak.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan
telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini

20
menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15% pasien
disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus
melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga
terbentuk di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan
penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari
tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri
sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone
pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran
empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi
penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

 Pemeriksaan fisik
 Manifestasi batu kandung empedu
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung
empedu, empiema kandung empedu, atau pankreatitis. Pada pemeriksaan
ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomi
kandung empedu. Tanda murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung empedu yang

21
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
napas.24,25

 Manifestasi batu saluran empedu


Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase
tenang. Kadang teraba hepar agak membesar dan sclera ikterik. Apabila
sumbatan saluran empedu bertambah berat, baru akan timbul ikterus
klinis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai
obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis
tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial
nonplogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan
menggigil, nyeri didaerah hepar, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis
biasanya berupa kolangiti piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala
pentaderainold, berupa 3 gejala trias charcot ditambah syok, dan
kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma. Kalau
ditemukan riwayat kolangitis yang hilang timbul, harus dicurigai
kemungkinan hepatolitiasis.24,25
 Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita batu
empedu diantaranya hitung sel darah lengkap, urinalisis, pemeriksaan feses, tes
fungsi hepar, dan kadar amilase serta lipase serum.
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Diduga terdapat kolesistitis akut
jika ditemukan leukositosis dan hingga 15% penderita memiliki
peningkatan sedang dari enzim hepar, bilirubin serum dan alkali fosfatase.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin
serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar bilirubin serum
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar
alkali fosfatase serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.26 Alkali fosfatase
merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada

22
obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel ductus
meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, menggambarkan
obstruksi saluran empedu. Tetapi alkasi fosfatase juga ditemukan di dalam
tulang dan dapat meningkat pada kerusakan tulang. Selain itu alkali fosfatase
juga meningkat selama kehamilan karea sintesis plasenta.27,28 Pada
pemeriksaan urinalisis adanya bilirubin tanpa adanya urobilinogen dapat
mengarahkan pada kemungkinan adanya obstruksi saluran empedu.
Sedangkan pada pemeriksaan feses, tergantung pada obstruksi total saluran
empedu, maka feses tampak pucat.
 Pemeriksaan radiologi
Diagnosis batu empedu dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
radiologis terutama pemeriksaan Ultrasonography (USG). Pemeriksaan
radiologis lain yang dapat dilakukan adalah dengan foto polos abdomen,
Computed tomography [CTl, Magnetic nesonance
cholangiography [MRCP], Endoscopic ultrasound [EUS], dan Biliary
scintigraphy.25 Hanya sekitar l0% dari kasus batu empedu adalah radioopak
karena batu empedu tersebut mengandung kalsium dan dapat terdeteksi dengan
pemeriksaan foto polos abdomen. Ultasonography (USG) dan
cholescintigraphy adalah pemeriksaan imaging yang sangat membantu dan
sering digunakan untuk mendiagnosis adanya batu empedu.
 Ultrasonography
Ultrasonography (USG) merupakan suatu prosedur non-invasif
yang cukup aman, cepat, tidak memerlukan persiapan khusus, relatif tidak
mahal dan tidak melibatkan paparan radiasi, sehingga menjadi pemeriksaan
terpilih untuk pasien dengan dugaan kolik biliaris. Ultrasonography
mempunyai spesifisitas 90% dan sensitivitas 95% dalam mendeteksi
adanya batu kandung empedu. Prosedur ini menggunakan gelombang suara
(sound wave) untuk membentuk gambaran (image) suatu organ
tubuh. Indikasi adanya kolesistitisa kut pada pemeriksaan USG
ditunjukkan dengan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu,
gas intramural, pengumpulan cairan perikolesistikus dan Murphy sign
positif akibat kontak dengan probe USG .USG juga dapat menunjukkan
adanya obstruksi distal dengan ditemukannya pelebaran saluran

23
intrahepatik atau saluran empedu ekstrahepatik. Tes ini kurang berguna
untuk menemukan batu yang berada di common bile duct.

24
Gambar USG abdomen kolelitiasis

 Computed Tomgraphy (CT) Scan


Pada pemeriksaan ini gambaran suatu organ ditampilkan dalam
satu seripotongan cross sectional yang berdekatan, biasanya 10-12 gambar.
Deteksi batu empedu dapat dilakukan juga dengan Computed
tomography, tetapi tidak seakurat USG dalam mendeteksi batu empedu,
oleh karena itu CT scan tidak digunakan untuk mengevaluasi pasien
dengan kemungkinan penyakit biliaris kronik. CT scan berguna dalam
menunjukkan adanya massa dan pelebaran saluran empedu Pada kasus
akut, pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya penebalan dinding
kandung empedu atau adanya cairan perikolesistikus akibat kolesistitis
akut.25
 Cholescintigraphy
Pemeriksaan cholescintigraphy menggunakan zat radioaktif,
biasanya derivat imidoacetic acid, yang dimasukkan ke dalam tubuh secara
infravena, zat ini akan diabsorpsi hati dan diekskresikan ke dalam
empedu. Scan secara serial menunjukkan radioaktivitas di dalam
kandung empedu, duktus koledokus dan usus halus dalam 30-60 menit.
Pemeriksaan ini dapat memberikan keterangan mengenai adanya
sumbatan pada duktus sistikus. Cholescintigraphy mempunyai nilai
akurasi 95% untuk pasien dengan kolesistitis akut, tetapi pemeriksaan
ini mempunyai nilai positif palsu 30-40% pada pasien yang telah
dirawat beberapa minggu karena masalah kesehatan lain, terutama jika
pasien tersebut telah mendapat nutrisi parenteral.29
 ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)
Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus
dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier
dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk
mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan
ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan
ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan
untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung

25
empedunya sudah diangkat. ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda
perforasi/ infeksi.

Gambar ERCP kolelitiasis

 MRCP (Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography)


Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) adalah
suatu pemeriksaan yang menggunakan MRI imaging dengan software
khusus. Pemeriksaan ini mampu menghasilkan gambaran (images) yang
serupa Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) tanpa
risiko sedasi, pankreatitis atau perforasi. MRCP membantu dalam menilai
obstruksi biliaris dan anatomi duktus pankreatikus.
Pemeriksaan ini lebih efektif dalam mendeteksi batu empedu dan
mengevaluasi kandung empedu untuk melihat adanya kolesistitis.29
 foto Polos Abdomen
Pemeriksaan foto polos abdomen dapat mengidentifikasi batu jika
batu tersebut radio opak atau terbuat dari kalsium dalam konsentrasi tinggi.
Pada radiografi polos, batu empedu biasanya muncul sebagai tunggal atau
ganda, piramida, faceted, atau kalsifikasi cuboidal yang terletak di kuadran
kanan atas (kuadran kanan atas). Kalsifikasi mungkin terjadi di pusat,
homogen, atau rimlike. Ketika beberapa batu empedu terlihat, biasanya

26
batu-batu berkerumun dan membentuk segi. Udara dapat terlihat pada
celah pusat, menciptakan lucency stellata yang disebut tanda Mercedes
Benz. Pada film tegak, batu mungkin terlihat berlapis pada kantong
empedu.

Gambaran Foto Polos Abdomen Kolelitiasis

3.9 PENATALAKSANAAN
 Terapi operatif
Kolesistektomi merupakan satu-satunya terapi definitive untuk penderita
batu simtomatik, yaitu dengan mengangkat batu dan kandung empedu, dapat
mencegah berulangnya penyakit. Terdapat dua jenis kolesistektomi yaitu:
 Kolesistektomi laparoskopi
Kolesistektomi laparoskopi, disebut juga bedah minimally invasive, atau
keyhole surgery merupakan teknik bedah modern dimana operasi abdomen
melalui irisan kecil (biasanya 0,5-1 cm) dibandingkan dengan prosedur bedah
tradisional yang memerlukan irisan yang lebih besar, dimana tangan ahli bedah
masuk ke badan pasien. Laparoskopi mencakup operasi dalam abdomen dan
pelvis menggunakan lensa teleskop untuk mendapatkan gambaran yang jelas
pada layar monitor. Operator dalam melaksanakan operasi menggunakan hand
instrument. Lapangan operasi pada abdomen diperluas dengan dimasukkannya

27
gas karbondioksida. Kolesistektomi laparoskopi sekarang menjadi standar
untuk pengelolaan pasien kolelitiasis. Teknik ini memberikan banyak
keuntungan yaitu meningkatkan pemulihan pasien dengan mengurangi nyeri,
waktu tinggal di rumah sakit lebih pendek, dan lebih cepat kembali ke aktivitas
harian yang normal. Kolesistektomi laparoskopi berhubungan dengan insisi
kulit yang kecil sehingga membuat kondisi setelah operasi lebih menyenangkan
bagi pasien. Pendekatan ini juga lebih hemat bagi penyelenggara kesehatan.30
 Kolesistektomi terbuka
Kolesistektomi terbuka merupakan tindakan pembedahan abdomen yang
besar, dimana ahli bedah mengambil kandung empedu melalui irisan panjang
10-18 cm. Kolesistektomi terencana pertama dilakukan oleh Karl Lungenbach
dari Jerman pada tahun 1882. Lebih dari satu abad, kolesistektomi terbuka
menjadi standar pengelolaan kolelitiasis simtomatis. Kolesistektomi terbuka
dilakukan ketika kantong empedu yang sangat meradang, terinfeksi, atau bekas
luka lainnya dari operasi. Dalam kebanyakan kasus, kolesistektomi terbuka
direncanakan dari permulaan. Namun, ahli bedah mungkin melakukan
kolesistektomi terbuka saat masalah terjadi selama laparoskopi sebuah
kolesistektomi.

Gambar Tindakan kolesistektomi terbuka dan kolesitektomi laparoskopi

 Terapi Non-operatif
Terapi non operatif hanya digunakan dalam situasi khusus, seperti ketika
seseorang dengan batu kolesterol memiliki kondisi medis yang serius yang

28
mencegah operasi. Batu empedu sering kambuh dalam waktu 5 tahun setelah
pengobatan. Terdapat dua jenis terapi non-operatif yang dapat digunakan untuk
melarutkan batu empedu kolesterol yaitu:
 Terapi disolusi oral
Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada
chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan
chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan
hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan
batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka
kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah
terapi. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak
dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.
 Shock wave lithotripsy
Prosedur shock wave lithotripsy dilakukan dengan menggunakan sebuah
mesin yang disebut lithotripter untuk menghancurkan batu empedu. Lithotripter
menghasilkan gelombang kejut yang melewati tubuh seseorang untuk
memecahkan batu empedu menjadi potongan kecil. Prosedur ini jarang
digunakan dan dapat digunakan bersama dengan ursodiol.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan gelombang
suara dengan amplitudo tinggi untuk menghancurkan batu pada kandung empedu.
Pasien dengan batu yang soliter merupakan indikasi terbaik untuk dilaskukan
metode ini. Namun pada anak-anak penggunaan metode ini tidak
direkomendasikan, mungkin karena angka kekambuhan yang tinggi.

Gambar Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

29
 Faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan batu empedu
 Lokasi
Lokasi batu empedu bisa bermacam-macam yakni di kandung empedu,
duktus sistikus, duktus koledokus, ampulla Vateri, di dalam hati. Batu di dalam
kandung empedu yang tidak memberikan keluhan atau gejala-gejala
(asimtomatik) dibiarkan saja. Bilamana timbul gejala, biasanya karena batu
tersebut migrasi ke leher kandung empedu atau masuk ke duktus koledokus,
maka batu ini harus dikeluarkan. Migrasi batu ke leher kandung empedu akan
menyebabkan obstruksi duktus sistikus. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya
iritasi kimiawi mukosa kandung empedu oleh cairan empedu yang tertinggal
sehingga terjadilah kolesistitis akut atau kronis, tergantung dari beratnya
perubahan pada mukosa. Pada pasien dengan batu kandung empedu yang
simtomatik ini dapat dilakukan kolesistektomi secara konvensional ataupun
dengan cara laparoskopi. Batu empedu yang terjepit di duktus sistikus, di muara
duktus sistikus pada duktus koledokus, dapat menekan duktus koledokus atau
duktus hepatikus komunis sehingga mengakibatkan obstruksi (sindroma
Mirizzi). Batu ini harus dikeluarkan dengan cara operasi. Bila tidak dikeluarkan
akan menyebabkan obstruksi dengan penyulit seperti kolangitis atau sepsis dan
ikterus obstruktif yang bisa mengakibatkan gagal hati atau sirosis bilier. Batu
koledokus harus dikeluarkan karena akan mengakibatkan obstruksi bilier
sehingga dapat mengganggu fungsi hati sampai menimbulkan gagal hati. Selain
dari pada itu aliran bilier yang tidak lancar dapat menimbulkan penyulit
kolangitis-sepsis. Pengeluaran batu koledokus ini dapat dilakukan dengan
operasi secara konvensional atau dengan cara melalui endoskopi yakni dengan
sfingterotomi endoskopik dan ekstraksi batu dengan basket Dormia.
Batu empedu intrahepatik atau hepatolitiasis adalah batu empedu yang
berada pada saluran empedu intrahepatik. Batu intrahepatik didapatkan pada
20% kasus dengan batu empedu. Masalah batu intrahepatik berbeda sekali
dengan batu empedu yang lain karena penatalaksanaannya secara bedah sulit;
kadang-kadang diperlukan operasi berulang-ulang karena sering kambuh dan
pada akhirnya pasien seringkali menderita karena kerusakan hati akibat ikterus
obstruktif yang lama, kolangitis, abses hati multipel dan sepsis. Bila batu
intrahepatik kecil dan jumlahnya 1 atau 2 buah saja dan terletak di distal, bisa
dicoba dikeluarkan dengan basket Dormia melalui endoskopi. Bila banyak

30
diperlukan tindakan operasi yang berbeda dengan operasi-operasi batu empedu
yang lain.
 Ukuran
Batu koledokus dengan diameter lebih dari 1 cm dipecah dulu agar lebih
mudah dikeluarkan dengan cara endoskopi. Ada beberapa cara untuk memecah
batu ini, yaitu (i) Litotriptor mekanik dari Suhendra: cara ini sudah lama, kini
dapat dipakai litotriptor mekanik BML dari Olympus. Pada prinsipnya pada
teknik ini setelah batu terperangkap dalam basket kemudian dengan alat khusus
cengkeraman basket diperketat sehingga batu tersebut terpecah. Cara lain
adalah (ii) Litotriptor hidrolik, (iii) Litotriptor laser, (iv) Litotriptor
ultrasonic, (v) Litotriptor “piezoceramic”,(vi) “Extracorporeal Shock
Wave Lithotripsy” (ESWL), ini yang paling baik.
 Anatomi dari distal koledukus
Bagian distal koledokus yang sempit dan memanjang akan menyulitkan
pengeluaran batu dengan cara endoskopi. Pada keadaan ini sebaiknya
pengeluaran batu dilakukan melalui tindakan bedah.
 Adanya penyulit kolangitis akut atau pankreatitis
Adanya penyulit-penyulit ini menunjukkan perlunya tindakan segera. Pada
kolangitis akut untuk sementara dalam keadaan darurat bisa dipasang pipa
nasobilier dan pemberian antibiotika yang adekuat. Pada pasien dengan batu
empedu asimtomatik tidak perlu dilakukan penanganan apa pun sampai terjadi
perkembangan berikutnya. Pada pasien dengan batu empedu simtomatik terdapat
beberapa pilihan penatalaksanaan yang tergantung manifestasi klinis, dengan
tujuan utama mengurangi gejala klinis dan mencegah berkembangnya
komplikasi.
 Pentalaksanaan diet
Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh
jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol
dari metabolisme lemak, sehingga klien dianjurkan/dibatasi dengan makanan cair
rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi terutama yang berasal dari lemak
hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam
susu skim dan adapun makanan tambahan seperti: buah yang dimasak, nasi ketela,
daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi/teh.

31
3.11KOMPLIKASI
 Kolesistisis
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu
tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung
empedu.
 Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi
yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran
menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.
 Koledokolithiasis
Koledokolithiasis dapat didiagnosis dan diobati dengan endoskopi atau
cholangiography perkutan. Ini adalah komplikasi yang terjadi ketika batu empedu
berpindah ke saluran empedu. Choledocholithiasis disebabkan oleh migrasi
kolesterol atau pigmen hitam batu dari kandung empedu ke dalam saluran empedu.
Gejala terkait dengan tingkat onset dan derajat obstruksi dan potensi kontaminasi
bakteri dari empedu terhambat. Temuan fisik sering tidak hadir jika obstruksi
intermiten; Namun, jika obstruksi terjadi kemudian, akan ada ikterus. Standar emas
untuk diagnosis dan pengobatan batu empedu menghalangi saluran empedu umum
dan / atau saluran utama pankreas ERCP.
 Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops
kandung empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang
berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal.
Kolesistektomi bersifat kuratif.
 Pankreatitis Bilier
Batu yang menyebabkan batu empedu pankreatitis bisa lewat dari saluran
tanpa intervensi atau mungkin memerlukan endoskopi atau pembedahan. Dalam
kasus jaringan pankreas yang terinfeksi, atau kondisi yang disebut nekrosis
pankreas (jaringan mati) terjadi, antibiotik dapat digunakan untuk mengendalikan
atau mencegah infeksi.
3.12PROGNOSIS

32
Prognosis dari kolelitiasis bergantung pada keberadaan dan tingkat keparahan
komplikasi. Dengan diagnosis dan terapi yang cepat, tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit ini sangat kecil.

DAFTAR PUSTAKA
1. Tanaja J, Meer JM. Cholelithiasis. InStatPearls [Internet] 2018 Oct 27. StatPearls
Publishing.
2. Henao-Morán S, Denova-Gutiérrez E, Morán S, Duque X, GallegosCarrillo K,
Macías N, Salmerón J. Recreational physical activity is inversely associated with
asymptomatic gallstones in adult Mexican women. Ann Hepatol. 2014.
3. Pham TH, Hunter JG. Schwartz’s Principles of Surgery. Gallbladder and the
Extrahepatic Biliary Sistem. 10th ed.United Stated: Mc Graw Hill education; 2015.

33
4. Wibowo S, Semedi K, Gunawan K, Sudjatmiko, Riwanto I, Sjamsuhidajat R, dkk,
Editors. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat De Jong. Saluran empedu dan hati.
4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2017.
5. Pak M, Lindseth G. Risk factors for cholelithiasis. Gastroenterology Nursing. 2016.
6. Ansari-Moghaddam A, Khorram A, Miri-Bonjar M, Mohammadi M, Ansari H. The
prevalence and risk factors of gallstone among adults in South-East of Iran: A
population-based study. Global journal of health science. 2016.
7. Radmard AR, Merat S, Kooraki S, Ashrafi M, Keshtkar A, Sharafkhah M, Jafari E,
Malekzadeh R, Poustchi H. Gallstone disease and obesity: a population-based study
on abdominal fat distribution and gender differences. Annals of hepatology. 2015.
8. Kumar K, Chahal MS, Joshi HS, Singh K, Agarwal R. Prevalence of different
Types of Gallstone in the Patients with Cholelithiasis at Rohilkhand Medical
College and Hospital, Bareilly, UP, India. International Journal of Contemporary
Surgery. 2015.
9. Albert J. Bredenoord, Andre S, Jan T. Functional Anatomy and Pysiology .A guide
to Gastrointestinal Motility Disorder, Springer; 2016.
10. Brunicardi, CF. Andersen, D.K, Billiar RT, Dunn LD . Schwartz’s Principles of
Surgery, 10th ed. United Stated: Mc Graw Hill education; 2015.
11. Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2013.
12. Hazari MAH, Taskeen S, Arifuddin MS. Observational study on the
prevalence of diabetes mellitus among ultrasonographically diagnosed
cholelithiasis patients. International Journal of Clinical and Experimental
Physiology.2016.

34

Anda mungkin juga menyukai