PENDAHULUAN
Atresia intestinal atau atresia usus adalah suatu malformasi dimana tidak
terbentuknya lumen usus. Defek ini dapat terjadi di duodenum, jejunum, ileum,
dan colon. Atresia intestinal ini paling sering terjadi di usus halus. Atresia
jejunoileal merupakan penyebab utama obstruksi intestinal neonatus. Atresia
diambil dari bahasa Yunani, yaitu a yang berarti “tidak” atau “tanpa” dam
tresis yang berarti “lubang” atau “mulut” yang bermakna obstruksi kongenital
dengan oklusi komplit dari lumen usus. Atresia terjadi pada 95% kasus, dan
stenosis hanya terdapat pada 5% kasus. Insiden atresia jejunum dan ileum 1:1500
sampai 1:5000 kelahiran hidup. Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah
sama.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : By. Ny. Era
1
Umur : 2 hari
Tanggal Lahir : 5 Juni 2018
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Belum Bekerja
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Jl. Belitung RT 12 Muara Bulian
Agama : Islam
Tanggal MRS : 7 Juni 2018
Tanggal pemeriksaan : 8 Juni 2018
2.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan tidak BAB sejak lahir.
2
Pasien merupakan anak kedua.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis, GCS: 15
BB : 2,9 kg
Tanda-tanda Vital :
Nadi : 120 x/menit
RR : 60 x/menit
Suhu : 36,7 0C
Status Generalisata
Kepala dan leher
Kulit : Ikterus (+) Kremer grade IV, efloresensi (-), hiperpigmentasi (-),
jaringan parut (-), pertumbuhan rambut normal, turgor baik.
Kepala : Normocephal (LK: 39 cm), bentuk simetris, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema pelpebra (-/-),
Reflek cahaya (+/+), pupil isokor
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Bentuk normal, bibir kering (-), bibir sianosis (-), mukosa anemis (-),
gusi berdarah (-).
Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-).
Thoraks
Paru
Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan dinding dada simetris, jejas (-),
retraksi (-)
Palpasi : Pergerakan dada simetris
Perkusi : Sonor pada thorak dextra dan sinistra
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V di linea midklavikularis
sinistra selebar 1-2 jari
Perkusi :
3
Batas jantung kanan : ICS IV, linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V, linea midklavikularis sinistra
Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, sikatrik (-), venektasi (-), jaringan parut (-), darm contour
(-), darm steifung (-)
Palpasi : distensi abdomen (+), nyeri tekan (-)
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Perkusi : Hipertimpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Gerak +/+ +/ +
Kekuatan 5/5 5/5
Tonus N/N N/N
Refleks fisiologis +/+ +/+
Refleks patologis -/- -/-
4
HCT 56 % 53,0-69,0
PLT 162 x 109/L 100-300
MCV 110,9 fl 80,0-99,0
MCH 36,7 pg 26,0-32,0
MCHC 331 g/L 320-360
GDS 70 mg/dl
Kesan: Normal
5
2.4 Diagnosis Kerja
- Atresia jejunum
2.5 Tatalaksana
Farmakologi
IVFD D10% + Ca glukonas 2 amp 12cc/jam
Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Non-farmakologi
Edukasi
Pasang OGT
Konsul SpBA (Rencana Laparotomi Eksplorasi Reseksi + Anastomosis
jejunojejunal)
2.6 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Faal Ginjal:
Ureum: 27 mg/dl (15-39)
6
Kreatinin: 0,4 mg/dl (0,0-0,7)
Kesan: Normal
9 Juni S: muntah (+), BAB (-), kuning (+) -IVFD D 10% + Ca glukonas 2
2018 O: amp 12cc/jam
U: 4 hari HR: 120 x/menit
RR: 60 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,7 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-3 -Inf. Paracetamol 4 x 30 mg
Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Puasa
abdomen (-), luka bekas operasi (+)
supraumbilical
OGT terpasang, residu kehijauan
Drain ±10cc kurang jernih
A: Atresia Jejunum tipe IIIb post op
+ Ikterus Neonatorum
Laboratorium:
Faal Hati
Bilirubin Total: 14,0 mg/dl
Bilirubin Direk: 2,0 mg/dl
Bilirubin Indirek: 12,0 mg/dl
Albumin: 3,1 g/dl
Kesan: Hiperbilirubinemia,
Hipoalbuminemia
Elektrolit:
Natrium: 138,67 mmol/l
Kalium: 5,08 mmol/l
Chlorida: 106,98 mmol/l
Calcium: 1,17 mmol/l
Kesan: Hipokalsemia
10 Juni S: sesak napas (+), muntah (+), -CPAP FiO2 30% PEEP 7 Flow
2018 BAB (-), kuning (+) 8
U: 5 hari O:
-IVFD KaEN Mg 3 4cc/jam
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 72 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
ke-4 0
T: 36,5 C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inf. Paracetamol 4 x 30 mg
abdomen (-), luka bekas operasi (+)
supraumbilical -Puasa
OGT terpasang, residu kehijauan -Light therapy
drain terpasang
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
11 Juni S: muntah (+), BAB (+) -CPAP FiO2 40% PEEP 8 Flow
7
2018 O: 8
U: 6 hari HR: 120 x/menit -IVFD KaEN Mg 3 4cc/jam
Hari RR: 72 x/menit
-Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
perawatan T: 36,5 0C
ke-5 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Inf. Paracetamol 4 x 30 mg
di supraumbilical terbuka -Operasi: Rehecting
OGT terpasang, residu kehijauan
drain terpasang
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Burst Abdomen post
laparotomi + Ikterus Neonatorum
12 Juni S: muntah (+), BAB (+) kehijauan -HFN FiO2 30% Flow 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg 3 4cc/jam
U: 7 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-6 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Light therapy
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Diet 8 x 3 cc perOGT
supraumbilical
OGT terpasang, residu kehijauan
drain terpasang
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
13 Juni S: muntah (+), BAB (+) kehijauan -HFN FiO2 30% Flow 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
U: 8 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-7 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Light therapy
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Diet 8 x 5 cc perOGT
supraumbilical
A: RDS+ Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
Laboratorium:
Albumin: 2,7 g/dl
Kesan: Hipoalbuminemia
WBC: 13,87
RBC: 3,9
Hb: 14,3
PLT: 211
Kesan: Normal
14 Juni S: muntah (+), BAB (+) -HFN FiO2 30% Flow 5
8
2018 O: -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
U: 9 hari HR: 120 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari RR: 64 x/menit
-Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
perawatan T: 36,5 0C
ke-8 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Light therapy
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Diet 8 x 15 cc perOGT
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
15 Juni S: muntah (-), BAB (+) -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
2018 O: -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
U: 10 hari HR: 120 x/menit
RR: 60 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Light therapy
ke-9 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Diet 8 x 15 cc perOGT
abdomen (-), luka bekas operasi (+)
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
16 Juni S: muntah (-), BAB (+) -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
2018 O: -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
U: 11 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Transfusi Albumin 6 cc
ke-10 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Light therapy
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Diet 8 x 30 cc peroral
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
17 Juni S: muntah (-), BAB (+) -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
2018 O: -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
U: 12 hari HR: 120 x/menit
RR: 60 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Transfusi Albumin 6 cc
ke-11 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Light therapy
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Diet 8 x 10-15 cc peroral
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
18 Juni S: muntah (+), BAB (+), kembung -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
2018 (-) -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
U: 13 hari O:
-Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 60 x/menit -Transfusi Albumin 6 cc
ke-12 0
T: 36,5 C -Light therapy
9
Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Diet 8 x 10-15 cc peroral, susu
abdomen (+), luka bekas operasi (+) LBW
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
19 Juni S: muntah (+), BAB (+), sesak -CPAP FiO2 30% PEEP 5
2018 napas (+) FLOW 8
U: 14 hari O:
-IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
ke-13 T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Transfusi Albumin 6 cc
abdomen (+), luka bekas operasi (+)
supraumbilical -Light therapy
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Diet 8 x 10 cc peroral
post op + Ikterus Neonatorum
20 Juni S: muntah (+), BAB (+), sesak -O2 nasal kanul 2 L/m
2018 napas (+) -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
U: 15 hari O:
-Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 62 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-14 T: 36,5 0C -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
Ikterus (+) Kremer IV, distensi IV
abdomen (+), luka bekas operasi (+)
supraumbilical -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Transfusi Albumin 6 cc
post op + Ikterus Neonatorum + -Light therapy
Imbalans Elektrolit
Elektrolit:
Na: 125,25
K: 3,14
Cl: 88,67
Ca: 1,17
Kesan: Imbalans Elektrolit
(Hiponatremi, Hipokalemi,
Hipochloremi, Hipokalsemi)
Hematologi:
WBC: 34,61
RBC: 4,27
HB: 16,4
PLT: 104
Kesan: Leukositosis
21 Juni S: muntah (+), BAB (+) -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
10
2018 O: -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 16 hari HR: 120 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari RR: 64 x/menit
-Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
perawatan T: 36,5 0C
ke-15 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
abdomen (-), luka bekas operasi (+) IV
supraumbilical -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
OGT terpasang, residu kehijauan
Rectal tube terpasang -Diet 8x10cc peroral, OGT
A: RDS + Aresia Jejunum tipe IIIb buka tutup
+ Ikterus Neonatorum -Pasang rectal tube
22 Juni S: perut kembung (+), muntah (+), -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 BAB (-) -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 17 hari O:
-Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 64 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-16 T: 36,5 0C -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
Ikterus (+) Kremer IV, distensi IV
abdomen (+), luka bekas operasi (+)
supraumbilical -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
OGT terpasang, residu kehijauan -Diet tunda
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
23 Juni S: kembung (+), muntah (+), BAB -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 (+) -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 18 hari O:
-Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 64 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-17 0
T: 36,5 C -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
Ikterus (+) Kremer IV, distensi IV
abdomen (+), luka bekas operasi (+)
supraumbilical -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Op Laparotomi adhesiolisis
post op + Ileus obstruksi ec adhesi + (Diagnosis post op: Ileus
Ikterus Neonatorum
obstruksi ec adhesi)
24 Juni S: kembung (+), muntah (+), BAB -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 (+) -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 19 hari O:
-Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 64 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-18 T: 36,5 0C -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
Ikterus (+) Kremer IV, distensi IV
abdomen (+), luka bekas operasi (+)
11
supraumbilical -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ileus obstruksi ec adhesi
post op + Ikterus Neonatorum
25 Juni S: muntah (+), BAB (+) -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 20 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-19 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
abdomen (+), luka bekas operasi (+) IV
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
post op + Ileus obstruksi ec adhesi
post op + Ikterus Neonatorum
26 Juni S: muntah (+), BAB (+) -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 21 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-20 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
abdomen (+), luka bekas operasi (+) IV
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
post op + Ileus obstruksi ec adhesi
post op + Ikterus Neonatorum
27 Juni S: muntah (+), BAB (+) -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 22 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-21 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
abdomen (+), luka bekas operasi (+) IV
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
post op + Ileus obstruksi ec adhesi
post op + Ikterus Neonatorum
28 Juni S: muntah (+), BAB (+) -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 23 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-22 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
abdomen (+), luka bekas operasi (+) IV
supraumbilical
12
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
post op + Ileus obstruksi ec adhesi
post op + Ikterus Neonatorum
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Atresia intestinal atau atresia usus adalah suatu malformasi dimana tidak
terbentuknya lumen usus. Defek ini dapat terjadi di duodenum, jejunum, ileum,
dan colon. Atresia intestinal ini paling sering terjadi di usus halus 2. Atresia
jejunum berarti tidak terbentuknya lumen jejunum. Atresia jejunoileal merupakan
penyebab utama obstruksi intestinal neonatus.
3.2 Epidemiologi
Tempat paling sering terjadinya atresia intestinal adalah usus halus
(jejunum dan ileum). Insiden atresia jejunum dan ileum 1:1500 sampai 1:5000
kelahiran hidup. Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah sama. Namun rata-
rata berat lahir paling sering dilaporkan sekitar 2,7 kg, sekitar 33% pasien dengan
atresia jejenum, 25% dengan atresia ileum, dan 50% pasien dengan atresia
multipel memiliki berat badan lahir rendah2,3. Sekitar 30% bayi dengan atresia
intestinal menderita Down Syndrome4.
3.3 Klasifikasi
Pembagian atresia intestinal berdasarkan letak terjadinya malformasi,
yaitu2,4:
a. Atresia duodenum
Atresia ini terjadi pada duodenum. Duodenum merupakan bagian pertama
dari usus halus yang menerima makanan dari hasil pengosongan lambung. Atresia
duodenum ini terjadi 1 dari tiap 2.500 kelahiran hidup. Setengah dari bayi dengan
kondisi ini lahir prematur dan sekitar dua per tiga memiliki hubungan dengan
kelainan jantung, genitourinarius, dan saluran cerna. Hampir 40% menderita
Down Syndrome. Bayi dengan atresia duodenum biasanya datang dengan muntah
dalam beberapa jam setelah lahir2,4.
14
Gambar 7 Atresia Duodenum
b. Atresia jejunoileal
Sistem pembagian klasifikasi oleh Grosfeld, membagi atresia jejunoileal
menjadi 4 tipe.
Stenosis,
Stenosis didefinisikan sebagai mengecilnya lumen yng terlokalisir dari
intestinal tanpa adanya defek mesenterium atau putusnya hubungan lumen. Pada
daerah stenosis, dekat, dengan lumen yang sempit dengan muskularis kadang
tidak beraturan dan submukosa menebal. Stenosis bisa berasal dari atresia tipe I,
dengan web yang berlubang, dengan panjang usus halus normal.
Gambar 2. Stenosis
Atresia Tipe I
Obstruksi disebabkan adanya membran oleh mukosa dan submukosa. Usus
proksimal yang dilatasi berkelanjutan dengan distal usus yang kolaps tanpa
adanya diskontinuitas mesenterium. Peningkatan tekanan di proksimal dapat
membuat bulging ke bagian distal membentuk zona transisional atau windsock
effect. Panjang usus tidak memendek.
15
Gambar 3. Atresia Tipe I
Atresia Tipe II
Usus proksimal berakhir dengan suatu kantong (bulbous) dan dihubungkan
dengan bagian usus distal yang kolaps oleh suatu jaringan fibrous (cord) yang
pendek sepanjang ujung dari mesenterium yang utuh. Proksimal usus mengalami
hipertropi dan dilatasi dan mengalami siaonis karena iskemik akibat tekanan yang
tinggi. Distal usus kolaps, dengan panjang usus total biasanya normal.
16
Gambar 5. Atresia Tipe III (a)
17
Gambar 6. Atresia Tipe III(b)
Atresia Tipe IV
Berupa multipel atresia dengan kombinasi dari tipe I hingga III, dengan
gambaran seperti rangkaian sosis. Kejadian familial pernah tercatat dengan
prematuritas, pemendekan usus yang sangat jelas meningkatnya mortalitas.
Pernah tercatat hingga 25 segmen terpisah, sampai ileum terminal. Multipel
atresia ini juga diduga sebagai konsekuensi dari multipel infark, inflamasi
intrauterine dan malformasi GI tract pada awal kehidupan embrional. Temuan
patologi pada kasus familial menyokong konsep proses awal intra uterine dan
mengenai seluruh saluran pencernaan sebagai alasan, bukan karena iskemi atau
proses inflamasi.
c. Atresia kolon
18
Atresia kolon bentuk atresia yang jarang terjadi yaitu 15% dari seluruh
bentuk atresia. Usus mengalami dilatasi masif, dan pasien menunjukkan tanda dan
gejala yang sama seperti atresia jejunoileal4.
3.4 Patogenesis
Teori Vascular Insufficiency
Saat ini teori mengenai etiologi atresia intestinal yang paling diterima
adalah “kecelakaan” vaskuler intrauterin yang mengakibatkan nekrosis dari
segmen yang terkena dampak sehingga panjang segmen usus yang nekrosis
tersebut akan diresorbsi5.
Tandler's Theory
Pada tahun 1902 Tandler menunjukkan bahwa duodenum melalui fase
solid selama perkembangan embriologi. Fase ini karena adanya proliferasi
epitelial pada minggu ke-5 dan kemudian akan mengalami obliterasi pada seluruh
19
lumennya. Lumen terbentuk oleh vakuolisasi yang menyatu dan selesai pada akhir
minggu ke-8. Tandler menyatakan pada atresia duodenum gangguan
perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak adekuat
(elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan rekanalisasi pita
padat epitelial (kegagalan proses vakuolisasi).
20
dan kegagalan mekonium keluar dalam jumlah normal pada 24 sampai 48 jam
pertama kehidupan. Walaupun tidak ada tanda diatas yang merupakan
patognomonik untuk obstruksi spesifik, semua hal tersebut sesuai dengan
fenomena obstruksi dan memiliki indikasi untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang.3
Bilious vomiting adalah salah satu tanda cardinal dan selalu bersifat
patologik. Adanya cairan empedu pada aspirasi gaster harus diperiksa ataupun
diselidiki secara hati-hati. Lambung bayi yang baru lahir biasanya mengandung
kurang dari 15 mL getah lambung/gastric juice yang jernih saat lahir. Jika lebih
dari 20 sampai 25 mL getah lambung yang jernih atau sedikit saja getah empedu
menandakan adanya obstruksi usus. Bilious vomiting juga dapat terlihat pada
neonatal sepsis dengan adinamik ileus. Ketika obstruksi mekanik terjadi, adanya
getah empedu menandakan tingkat obstruksi di bagian distal ampula Vateri.
Bilious vomiting terjadi pada 85 % bayi dengan atresia jejunum dan lebih sedikit
pada atresia ileum3.
Jaundice terjadi lebih dari 30% bayi dengan atresi jejunum dan 20% pada
atresia ileum dan biasanya berhubungan dengan peningkatan bilirubin tidak
terkonjugasi. Distensi abdomen salah satu tanda obstruksi terjadi pada bagian usus
yang lebih distal. Kontur atau bentuk normal abdomen pada bayi baru lahir adalah
bulat/round, berbeda pada dewasa yang berbentuk skapoid. Pada pemeriksaan
fisik yang berhubungan dengan adanya distensi abdomen antara lain terkihatnya
vena dari dinding abdomen yang tipis, terlihatnya lekukan usus (intestinal
21
patterning) dengan atau tanpa terlihatnya peristaltik dan terkadang terdapat distres
pernapasan akibat peninggian diafragma3.
Salah satu lagi tanda obstruksi usus adalah kegagalan mekonium lewat
secara spontan dalam 24 sampai 48 jam pertama kehidupan. Mekonium normal
terdiri dari cairan amnion dan debris (skuama,rambut lanugo), succus entericus,
mukus untestinal. Mekonium berwarna hijau gelap atau hitam dan lengket, serta
250 g melewati rectum. Kegagalan melewati pada hari pertama kehidupan sering
merupakan suatu keadaan patologik3.
Pada atresia duodenum pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam posisi
tegak akan terlihat gambaran double bubble. Bila pada foto hanya terlihat satu
gelembung udara, mungkin sekali gelembung duodenum terisi penuh cairan atau
gambaran gelembung duodenum dan lambung dalam proyeksi tumpang tindih.
Foto ulang dengan sebelumnya dilakukan pengisapan cairan lambung dan
duodenum atau dibuat foto dengan proyeksi lateral2,3.
22
3.8 Diagnosis Banding
Seringkali atresia jejunoileal sulit dikenali sejak awal, oleh karena variasi-
variasinya. Untuk itu, perlu dikenali beberapa diagnosis pembandingnya, seperti:
Malrotasi dengan/atau tanpa volvulus
Mekonium ileus
Duplikasi intestinal
Hernia interna
Atresia kolon
Sepsis
TCA (total colon aganglionic)
3.9 Penatalaksanaan
Secara umum tatalaksana awal pasien dengan obstruksi usus adalah
mengatasi dehidrasi dan gangguan elektrolit, dekompresi nasogastrik atau
orogastrik dengan ukuran yang adekuat, pemberian antibiotik intravena.
Termoregulasi, pencegahan terhadap hipotermi penting sekali pada pasien
pediatrik khususnya pasien neonatus. Tidak boleh dilupakan untuk identifikasi
kemungkinan adanya kelainan penyerta bila penyebab obstruksi adalah kelainan
kongenital. Harus selalu diingat bahwa setiap kelainan kongenital dapat disertai
kelainan kongenital lain, sehingga perlu dicari karena mungkin memerlukan
penanganan secara bersamaan. Perkiraan dehidrasi baik dari muntah atau
sekuestrasi cairan akibat obstruksi usus perlu dihitung dan diganti. Dengan sedikit
pengecualian, dehidrasi yang ditimbulkan obstruksi usus biasanya berupa
dehidrasi isotonik, sehingga cairan pengganti yang ideal yang mirip cairan
ekstraselular adalah Ringer asetat.
23
Tatalaksana Bedah
Secara umum tatalaksana pasien obstruksi usus akibat atresia intestinal
adalah tindakan pembedahan3. Pada obstruksi jejunoileal insisi transversal supra
umbilikal merupakan akses terpilih. Prosedur operatif tergantung pada temuan
patologi, seperti tipe atresia, panjang usus, ada tidaknya perforasi usus, malrotasi
dan volvulus, mekonium peritonitis, mekonium ileus. Dilakukan eksplorasi, bila
terdapat perforasi seluruh rongga abdomen diirigasi dengan NaCl hangat, semua
debris dibersihkan, adhesi dilepaskan dan sebisanya semua usus dieksteriorisasi.
Inspeksi dilakukan mulai dari duodenum sampai sigmoid untuk mencari area
atresia lainnya, ada tidaknya kelainan penyerta seperti malrotasi, atau mekonium
ileus yang memerlukan koreksi pada saat bersamaan.
RESEKSI ANASTOMOSIS
24
usus secara bertahap menjadi mendekati 90o, menyerupai anastomosis end-to-side
yang dengan mudah menghasilkan obstruksi fungsional.
Insisi 2 cm dilakukan pada ujung buntu dari proksimal usus yang mengalami
dilatasi di sudut kanan mengarah ke mesenterium. Dilanjutkan dengan jahitan
interupted satu lapis dengan benang poliglikolat 5-0.3
Gambar 12. Peritoneal dibebaskan sampai mendekati tepi usus bagian distal
yang mengalami atresia
25
Gambar 13. Usus bagian distal yang mengecil dan buntu dipotong melalui
tepi mesenterium usus yang telah dipotong. Insisi pada ujung buntu proksimal
usus pada sudut kanan mengarah ke mesenterium.
Anastomosis End-to-oblique
26
Gambar 14. Anastomosis end-to-oblique.
27
terjadi lebih dari 5 hari. Swenson menyebutkan pulihnya fungsi duodenum dapat
lambat sekali bila duodenum sangat berdilatasi. Cairan berwarna hijau dapat
keluar dari nasogastrik dalam periode waktu yang memanjang. Hal ini disebabkan
bukan hanya karena edema di daerah anastomosis tetapi juga karena terganggunya
peristaltik pada segmen duodenum proksimal yang mengalami dilatasi hebat.
Kesabaran yang tinggi sangat diperlukan sebelum memutuskan re-operasi pada
bayi dengan ‘obstruksi’ anastomose, karena diskrepansi ukuran lumen atau
disfungsi anastomosis yang bersifat sementara dapat menyebabkan ileus yang
memanjang3.
Permulaan asupan melalui oral dengan air gula/dextrose dapat dimulai bila
drainase gaster mulai berkurang atau warnanya mulai kecoklatan atau jernih yang
kemudian diikuti oleh susu formula (progestimil, isomil) secara bertahap. Bila
program feeding tersebut tidak bisa diterima pasien atau terdapat ileus yang
memanjang maka nutrisi parenteral perlu dipertimbangkan dalam menjaga
kecukupan asupan nutrisi pasca operasi.
3.10 Prognosis
Hasil tergantung pada anomali yang terkait dan berat badan lahir.
Prognosis umumnya baik. Pada tahun 1971, Nixon dan Tawes membuat suatu
analisis prognosis pada bayi-bayi dengan atresia jejunoileal. Hasil analisis tersebut
menyebutkan prognosis bayi-bayi dengan atresia jejunoileal dibagi menjadi tiga
kelompok besar, yaitu:
1. Kelompok A: Bayi dengan berat badan diatas 2,7 kg tanpa memiliki
kelainan kongenital yang menyertai.
2. Kelompok B: Bayi dengan berat badan antara 2-2,75 kg, atau
memiliki kelainan kongenital lain yang menyertai sedang-berat.
3. Kelompok C: Bayi dengan berat badan dibawah 2 kg, atau memiliki
kelainan kongenital lain yang menyertai berat.
Dari ketiga kelompok ini, dibuat suatu kesimpulan angka kesintasan,
seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Referensi
Atresia Jejunal Atresia di terminal
Kategori Atresia Mid-ileal
Letak Tinggi ileal
A dan B 60% 81% 100%
28
C 0% 32% 50%
29
BAB IV
ANALISIS KASUS
Hal ini sesuai dengan teori, dimana obstruksi usus pada neonatus sering
bermanifestasi dengan beberapa tanda kardinal, antara lain polihidramnion
maternal, bilious vomiting, distensi abdomen, dan kegagalan mekonium keluar
dalam jumlah normal pada 24 sampai 48 jam pertama kehidupan. Dan juga
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa radiologi foto babygram yang
menunjukkan adanya multiple bubble appearance.
30
Atresia Jejunal Atresia di terminal
Kategori Atresia Mid-ileal
Letak Tinggi ileal
A dan B 60% 81% 100%
C 0% 32% 50%
31
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
32
2. Alirol E, Sharma SK, Bawaskar HS, Kuch U, Chappuis F. Snake bite in
South Asia: a review. PLOS Neglected Tropical Disease. 2010;4(1):603.
4. Gold BS, Dart RC, Barish RA. Bites of venomous snakes. N Engl J
Med, 2002; 347:347-56.
11. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
12. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen
POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
33
13. Holve S. Envenomation. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pedi- atrics. Edisi ke-16. Philadelphia:WB
Saunders com- pany, 2000. h. 2174-8.
34