Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Atresia intestinal atau atresia usus adalah suatu malformasi dimana tidak
terbentuknya lumen usus. Defek ini dapat terjadi di duodenum, jejunum, ileum,
dan colon. Atresia intestinal ini paling sering terjadi di usus halus. Atresia
jejunoileal merupakan penyebab utama obstruksi intestinal neonatus. Atresia
diambil dari bahasa Yunani, yaitu a yang berarti “tidak” atau “tanpa” dam
tresis yang berarti “lubang” atau “mulut” yang bermakna obstruksi kongenital
dengan oklusi komplit dari lumen usus. Atresia terjadi pada 95% kasus, dan
stenosis hanya terdapat pada 5% kasus. Insiden atresia jejunum dan ileum 1:1500
sampai 1:5000 kelahiran hidup. Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah
sama.

Kelangsungan hidup pasien dengan obstruksi usus telah meningkat jelas


selama 20 tahun terakhir sebagai hasil dari peningkatan pemahaman fisiologi usus
dan faktor etiologis, perbaikan pada anestesi anak, dan kemajuan dalam
pembedahan dan perawatan perioperatif pada neonatus.

Morbiditas dan mortalitas biasanya berhubungan dengan kondisi medis


lainnya seperti, short-bowel syndrome dan anomali jantung, prematuritas,
respiratory distress syndrome atau fibrosis kistik, anomali kongenital lainnya,
kompleksitas lesi, dan komplikasi bedah.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : By. Ny. Era

1
Umur : 2 hari
Tanggal Lahir : 5 Juni 2018
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Belum Bekerja
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Jl. Belitung RT 12 Muara Bulian
Agama : Islam
Tanggal MRS : 7 Juni 2018
Tanggal pemeriksaan : 8 Juni 2018

2.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan tidak BAB sejak lahir.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang dibawa orang tua dengan keluhan tidak BAB sejak lahir. ±2
hari SMRS pasien lahir dengan SC, cukup bulan (37 minggu), ketuban warna
hijau, dan berat badan lahir 2900 gram. Persalinan SC dilakukan atas indikasi
persalinan pertama dilakukan dengan SC. Keluarga juga mengeluhkan pasien
muntah setiap makan, berwarna kehijauan, makanan yang diberikan berupa ASI
sejak lahir. Perut kembung (-), kentut (-). Pasien tampak kuning hampir di seluruh
tubuh. Riwayat ibu polihidramnion selama kehamilan pasien (-). Pasien rujukan
dari RS Mitra Medika Batanghari dengan diagnosis susp. Atresia duodenum.

Riwayat penyakit dahulu


 Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluarga dengan keluhan yang serupa (-)
 Riwayat ibu migrain (-)
 Riwayat ibu mengkonsumsi obat-obatan pseudoefedrin,
asetaminofen, dan ergotamin tartat serta kafein selama kehamilan (-)

Riwayat Pekerjaan dan Sosial

2
Pasien merupakan anak kedua.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis, GCS: 15
BB : 2,9 kg
Tanda-tanda Vital :
 Nadi : 120 x/menit
 RR : 60 x/menit
 Suhu : 36,7 0C

Status Generalisata
Kepala dan leher
Kulit : Ikterus (+) Kremer grade IV, efloresensi (-), hiperpigmentasi (-),
jaringan parut (-), pertumbuhan rambut normal, turgor baik.
Kepala : Normocephal (LK: 39 cm), bentuk simetris, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema pelpebra (-/-),
Reflek cahaya (+/+), pupil isokor
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : Bentuk normal, bibir kering (-), bibir sianosis (-), mukosa anemis (-),
gusi berdarah (-).
Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-).

Thoraks
Paru
Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan dinding dada simetris, jejas (-),
retraksi (-)
Palpasi : Pergerakan dada simetris
Perkusi : Sonor pada thorak dextra dan sinistra
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada sela iga V di linea midklavikularis
sinistra selebar 1-2 jari
Perkusi :

3
Batas jantung kanan : ICS IV, linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V, linea midklavikularis sinistra
Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, sikatrik (-), venektasi (-), jaringan parut (-), darm contour
(-), darm steifung (-)
Palpasi : distensi abdomen (+), nyeri tekan (-)
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Perkusi : Hipertimpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Genitalia: dbn, anus (+)

Ekstremitas
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Gerak +/+ +/ +
Kekuatan 5/5 5/5
Tonus N/N N/N
Refleks fisiologis +/+ +/+
Refleks patologis -/- -/-

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Nilai Nilai Rujukan
Darah Rutin (5 Juni 2018)
WBC 20900 9,0-30,0(18,1)
RBC 5,0 x 1012/L 3,50-5,50
HGB 18,6 g/dL 14,5-18,5

4
HCT 56 % 53,0-69,0
PLT 162 x 109/L 100-300
MCV 110,9 fl 80,0-99,0
MCH 36,7 pg 26,0-32,0
MCHC 331 g/L 320-360
GDS 70 mg/dl
Kesan: Normal

Pemeriksaan Nilai Nilai Rujukan


Faal Hati (6 Juni 2018)
Bilirubin Total 4,6 mg/dl 0,1-1,2
Bilirubin Direk 0,8 mg/dl <0,3
Bilirubin Indirek 3,8 mg/dl 0,1-1,0
Kesan: Hiperbilirubinemia

Radiologi Babygram (6 Juni 2018)


- Tampak gambaran multiple-bubble appearance
- Kesan: Atresia jejunum

Gambar 2.1 Foto Babygram menunjukkan gambaran Triple Bubble


Appearance.

5
2.4 Diagnosis Kerja
- Atresia jejunum
2.5 Tatalaksana
Farmakologi
 IVFD D10% + Ca glukonas 2 amp 12cc/jam
 Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
 Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Non-farmakologi
 Edukasi
 Pasang OGT
 Konsul SpBA (Rencana Laparotomi Eksplorasi Reseksi + Anastomosis
jejunojejunal)
2.6 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

2.7 Follow Up Pasien di Perawatan


Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan / Tindakan
8 Juni S: muntah (+), BAB (-), kuning (+) -IVFD D 10% + Ca glukonas 2
2018 O: amp 12cc/jam
U: 3 hari HR: 120 x/menit
RR: 60 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,7 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-2 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Operasi Laparotomi
abdomen (-), hipertimpani, BU (+) Eksplorasi Reseksi +
Normal
OGT terpasang, residu kehijauan Anastomosis Jejunojejunal +
A: Atresia jejunum + Ikterus Repair mesenterial +
Neonatorum Appendiktomi insidental
(Diagnosis post op: atresia
Laboratorium
Faal Hati: jejunum tipe IIIb apple peel)
Protein Total: 4,8 g/dl (6,3-8,4)
Albumin: 3,3 g/dl (3,5-5,0)
Globulin: 1,5 g/dl (3,0-3,6)
Kesan: Hipoproteinemia

Faal Ginjal:
Ureum: 27 mg/dl (15-39)

6
Kreatinin: 0,4 mg/dl (0,0-0,7)
Kesan: Normal
9 Juni S: muntah (+), BAB (-), kuning (+) -IVFD D 10% + Ca glukonas 2
2018 O: amp 12cc/jam
U: 4 hari HR: 120 x/menit
RR: 60 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,7 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-3 -Inf. Paracetamol 4 x 30 mg
Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Puasa
abdomen (-), luka bekas operasi (+)
supraumbilical
OGT terpasang, residu kehijauan
Drain ±10cc kurang jernih
A: Atresia Jejunum tipe IIIb post op
+ Ikterus Neonatorum

Laboratorium:
Faal Hati
Bilirubin Total: 14,0 mg/dl
Bilirubin Direk: 2,0 mg/dl
Bilirubin Indirek: 12,0 mg/dl
Albumin: 3,1 g/dl
Kesan: Hiperbilirubinemia,
Hipoalbuminemia

Elektrolit:
Natrium: 138,67 mmol/l
Kalium: 5,08 mmol/l
Chlorida: 106,98 mmol/l
Calcium: 1,17 mmol/l
Kesan: Hipokalsemia
10 Juni S: sesak napas (+), muntah (+), -CPAP FiO2 30% PEEP 7 Flow
2018 BAB (-), kuning (+) 8
U: 5 hari O:
-IVFD KaEN Mg 3 4cc/jam
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 72 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
ke-4 0
T: 36,5 C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inf. Paracetamol 4 x 30 mg
abdomen (-), luka bekas operasi (+)
supraumbilical -Puasa
OGT terpasang, residu kehijauan -Light therapy
drain terpasang
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
11 Juni S: muntah (+), BAB (+) -CPAP FiO2 40% PEEP 8 Flow

7
2018 O: 8
U: 6 hari HR: 120 x/menit -IVFD KaEN Mg 3 4cc/jam
Hari RR: 72 x/menit
-Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
perawatan T: 36,5 0C
ke-5 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Inf. Paracetamol 4 x 30 mg
di supraumbilical terbuka -Operasi: Rehecting
OGT terpasang, residu kehijauan
drain terpasang
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Burst Abdomen post
laparotomi + Ikterus Neonatorum
12 Juni S: muntah (+), BAB (+) kehijauan -HFN FiO2 30% Flow 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg 3 4cc/jam
U: 7 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-6 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Light therapy
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Diet 8 x 3 cc perOGT
supraumbilical
OGT terpasang, residu kehijauan
drain terpasang
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
13 Juni S: muntah (+), BAB (+) kehijauan -HFN FiO2 30% Flow 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
U: 8 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-7 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Light therapy
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Diet 8 x 5 cc perOGT
supraumbilical
A: RDS+ Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum

Laboratorium:
Albumin: 2,7 g/dl
Kesan: Hipoalbuminemia

WBC: 13,87
RBC: 3,9
Hb: 14,3
PLT: 211
Kesan: Normal
14 Juni S: muntah (+), BAB (+) -HFN FiO2 30% Flow 5

8
2018 O: -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
U: 9 hari HR: 120 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari RR: 64 x/menit
-Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
perawatan T: 36,5 0C
ke-8 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Light therapy
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Diet 8 x 15 cc perOGT
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
15 Juni S: muntah (-), BAB (+) -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
2018 O: -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
U: 10 hari HR: 120 x/menit
RR: 60 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Light therapy
ke-9 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Diet 8 x 15 cc perOGT
abdomen (-), luka bekas operasi (+)
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
16 Juni S: muntah (-), BAB (+) -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
2018 O: -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
U: 11 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Transfusi Albumin 6 cc
ke-10 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Light therapy
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Diet 8 x 30 cc peroral
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
17 Juni S: muntah (-), BAB (+) -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
2018 O: -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
U: 12 hari HR: 120 x/menit
RR: 60 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Transfusi Albumin 6 cc
ke-11 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Light therapy
abdomen (-), luka bekas operasi (+) -Diet 8 x 10-15 cc peroral
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
18 Juni S: muntah (+), BAB (+), kembung -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
2018 (-) -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
U: 13 hari O:
-Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 60 x/menit -Transfusi Albumin 6 cc
ke-12 0
T: 36,5 C -Light therapy

9
Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Diet 8 x 10-15 cc peroral, susu
abdomen (+), luka bekas operasi (+) LBW
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
19 Juni S: muntah (+), BAB (+), sesak -CPAP FiO2 30% PEEP 5
2018 napas (+) FLOW 8
U: 14 hari O:
-IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
ke-13 T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Transfusi Albumin 6 cc
abdomen (+), luka bekas operasi (+)
supraumbilical -Light therapy
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Diet 8 x 10 cc peroral
post op + Ikterus Neonatorum
20 Juni S: muntah (+), BAB (+), sesak -O2 nasal kanul 2 L/m
2018 napas (+) -IVFD KaEN Mg 3 10cc/jam
U: 15 hari O:
-Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 62 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-14 T: 36,5 0C -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
Ikterus (+) Kremer IV, distensi IV
abdomen (+), luka bekas operasi (+)
supraumbilical -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Transfusi Albumin 6 cc
post op + Ikterus Neonatorum + -Light therapy
Imbalans Elektrolit

Elektrolit:
Na: 125,25
K: 3,14
Cl: 88,67
Ca: 1,17
Kesan: Imbalans Elektrolit
(Hiponatremi, Hipokalemi,
Hipochloremi, Hipokalsemi)

Hematologi:
WBC: 34,61
RBC: 4,27
HB: 16,4
PLT: 104
Kesan: Leukositosis
21 Juni S: muntah (+), BAB (+) -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5

10
2018 O: -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 16 hari HR: 120 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari RR: 64 x/menit
-Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
perawatan T: 36,5 0C
ke-15 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
abdomen (-), luka bekas operasi (+) IV
supraumbilical -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
OGT terpasang, residu kehijauan
Rectal tube terpasang -Diet 8x10cc peroral, OGT
A: RDS + Aresia Jejunum tipe IIIb buka tutup
+ Ikterus Neonatorum -Pasang rectal tube
22 Juni S: perut kembung (+), muntah (+), -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 BAB (-) -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 17 hari O:
-Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 64 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-16 T: 36,5 0C -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
Ikterus (+) Kremer IV, distensi IV
abdomen (+), luka bekas operasi (+)
supraumbilical -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
OGT terpasang, residu kehijauan -Diet tunda
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ikterus Neonatorum
23 Juni S: kembung (+), muntah (+), BAB -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 (+) -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 18 hari O:
-Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 64 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-17 0
T: 36,5 C -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
Ikterus (+) Kremer IV, distensi IV
abdomen (+), luka bekas operasi (+)
supraumbilical -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Op Laparotomi adhesiolisis
post op + Ileus obstruksi ec adhesi + (Diagnosis post op: Ileus
Ikterus Neonatorum
obstruksi ec adhesi)

24 Juni S: kembung (+), muntah (+), BAB -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 (+) -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 19 hari O:
-Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari HR: 120 x/menit
perawatan RR: 64 x/menit -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-18 T: 36,5 0C -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
Ikterus (+) Kremer IV, distensi IV
abdomen (+), luka bekas operasi (+)

11
supraumbilical -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb
post op + Ileus obstruksi ec adhesi
post op + Ikterus Neonatorum
25 Juni S: muntah (+), BAB (+) -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 20 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-19 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
abdomen (+), luka bekas operasi (+) IV
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
post op + Ileus obstruksi ec adhesi
post op + Ikterus Neonatorum
26 Juni S: muntah (+), BAB (+) -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 21 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-20 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
abdomen (+), luka bekas operasi (+) IV
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
post op + Ileus obstruksi ec adhesi
post op + Ikterus Neonatorum
27 Juni S: muntah (+), BAB (+) -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 22 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-21 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
abdomen (+), luka bekas operasi (+) IV
supraumbilical
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
post op + Ileus obstruksi ec adhesi
post op + Ikterus Neonatorum
28 Juni S: muntah (+), BAB (+) -O2 HFN FiO2 21% FLOW 5
2018 O: -IVFD KaEN Mg3 20cc/jam
U: 23 hari HR: 120 x/menit
RR: 64 x/menit -Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
Hari
perawatan T: 36,5 0C -Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
ke-22 Ikterus (+) Kremer IV, distensi -Inj. Meropenem 3 x 120 mg
abdomen (+), luka bekas operasi (+) IV
supraumbilical

12
A: RDS + Atresia Jejunum tipe IIIb -Inj. Ranitidine 2 x 3 mg IV
post op + Ileus obstruksi ec adhesi
post op + Ikterus Neonatorum

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Atresia intestinal atau atresia usus adalah suatu malformasi dimana tidak
terbentuknya lumen usus. Defek ini dapat terjadi di duodenum, jejunum, ileum,
dan colon. Atresia intestinal ini paling sering terjadi di usus halus 2. Atresia
jejunum berarti tidak terbentuknya lumen jejunum. Atresia jejunoileal merupakan
penyebab utama obstruksi intestinal neonatus.

3.2 Epidemiologi
Tempat paling sering terjadinya atresia intestinal adalah usus halus
(jejunum dan ileum). Insiden atresia jejunum dan ileum 1:1500 sampai 1:5000
kelahiran hidup. Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah sama. Namun rata-
rata berat lahir paling sering dilaporkan sekitar 2,7 kg, sekitar 33% pasien dengan
atresia jejenum, 25% dengan atresia ileum, dan 50% pasien dengan atresia
multipel memiliki berat badan lahir rendah2,3. Sekitar 30% bayi dengan atresia
intestinal menderita Down Syndrome4.

Beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya atresia usus halus,


termasuk penggunaan obat-obat pseudoefedrin tunggal atau kombinasi dengan
asetaminofen, dan juga konsumsi ergotamin tartat dan kafein sebagai terapi untuk
migrain selama masa kehamilan.

3.3 Klasifikasi
Pembagian atresia intestinal berdasarkan letak terjadinya malformasi,
yaitu2,4:

a. Atresia duodenum
Atresia ini terjadi pada duodenum. Duodenum merupakan bagian pertama
dari usus halus yang menerima makanan dari hasil pengosongan lambung. Atresia
duodenum ini terjadi 1 dari tiap 2.500 kelahiran hidup. Setengah dari bayi dengan
kondisi ini lahir prematur dan sekitar dua per tiga memiliki hubungan dengan
kelainan jantung, genitourinarius, dan saluran cerna. Hampir 40% menderita
Down Syndrome. Bayi dengan atresia duodenum biasanya datang dengan muntah
dalam beberapa jam setelah lahir2,4.

14
Gambar 7 Atresia Duodenum

b. Atresia jejunoileal
Sistem pembagian klasifikasi oleh Grosfeld, membagi atresia jejunoileal
menjadi 4 tipe.

Stenosis,
Stenosis didefinisikan sebagai mengecilnya lumen yng terlokalisir dari
intestinal tanpa adanya defek mesenterium atau putusnya hubungan lumen. Pada
daerah stenosis, dekat, dengan lumen yang sempit dengan muskularis kadang
tidak beraturan dan submukosa menebal. Stenosis bisa berasal dari atresia tipe I,
dengan web yang berlubang, dengan panjang usus halus normal.

Gambar 2. Stenosis

Atresia Tipe I
Obstruksi disebabkan adanya membran oleh mukosa dan submukosa. Usus
proksimal yang dilatasi berkelanjutan dengan distal usus yang kolaps tanpa
adanya diskontinuitas mesenterium. Peningkatan tekanan di proksimal dapat
membuat bulging ke bagian distal membentuk zona transisional atau windsock
effect. Panjang usus tidak memendek.

15
Gambar 3. Atresia Tipe I

Atresia Tipe II
Usus proksimal berakhir dengan suatu kantong (bulbous) dan dihubungkan
dengan bagian usus distal yang kolaps oleh suatu jaringan fibrous (cord) yang
pendek sepanjang ujung dari mesenterium yang utuh. Proksimal usus mengalami
hipertropi dan dilatasi dan mengalami siaonis karena iskemik akibat tekanan yang
tinggi. Distal usus kolaps, dengan panjang usus total biasanya normal.

Gambar 4. Atresia Tipe II

Atresia Tipe III (a)


Atresia ini mengalami buntu ke dua ujung (blind end) pada proksimal dan
distal. Hampir menyerupai tipe II tetapi tidak ada fibrous cord yang
menghubungkan., disertai defek mesenterium (V-shaped mesenterium). Bagian
proksimal mengalami dilatasi dan sering aperistaltik sehingga bisa menjadi torsio
dan overdistended dan menjadi perforasi suatu saat. Panjang usus biasanya
dibawah normal, dengan panjang bervariasi sesuai resorpsi intra uterin. Tipe ini
sering berhubungan dengan fibrosis cystic.

16
Gambar 5. Atresia Tipe III (a)

Atresia Tipe III (b)


Tipe ini dinamai Apple-peel, Chrismas tree, atau maypole deformity,
terdiri dari ujung proksimal jejunum atresia dekat dengan Treitz, tidak adanya
arteri mesenterial superior, sebagai asal dari cabang colon media dari mesenterial
posterior, dengan panjang usus yang secara jelas berkurang dan defek mesenterial
yang besar. Ujung distal tersimpan di intra abdomen dengan vascularisasi tunggal
berasal dari ileocolica dan cabang colica kanan. Nama Apple peels berasal dari
tampilan usus yang membentuk spiral di sekitar suplai darah yang menyerupai
kupasan apel (Yamanaka, 2000).3 Lebih jauh terlihat seperti tipe I dan II dengan
jarak proksimal dan distal yang sangat dekat. Vaskularisasi distal biasanya
terganggu, biasanya pada tipe autosom resesif. Bayi dengan tipe ini biasanya
premature (74 %) dan malrotasi (54%) dengan peningkatan morbiditas (63%) dan
mortalitas 54 %.

Deformitas hamper sebagai konsekuensi dari oklusi arteri mesenterial


superior dengan infark yang ekstensif pada segmen proksimal dari midgut dengan
dasar trombosis atau emboli atau suatu obstruksi strangulasi dari midgut volvulus.
Kegagalan primer dari perkembangan arteri mesenterial superior diduga sebagai
faktor etiologi, walaupun hal ini tidak serupa,temuan meconium distal usus
menandakan atresia terjadi setelah sekresi bilier terjadi, kurang lebih pada minggu
ke 12 perkembangan janin..

17
Gambar 6. Atresia Tipe III(b)

Atresia Tipe IV
Berupa multipel atresia dengan kombinasi dari tipe I hingga III, dengan
gambaran seperti rangkaian sosis. Kejadian familial pernah tercatat dengan
prematuritas, pemendekan usus yang sangat jelas meningkatnya mortalitas.
Pernah tercatat hingga 25 segmen terpisah, sampai ileum terminal. Multipel
atresia ini juga diduga sebagai konsekuensi dari multipel infark, inflamasi
intrauterine dan malformasi GI tract pada awal kehidupan embrional. Temuan
patologi pada kasus familial menyokong konsep proses awal intra uterine dan
mengenai seluruh saluran pencernaan sebagai alasan, bukan karena iskemi atau
proses inflamasi.

Gambar 7. Atresia Tipe IV

c. Atresia kolon

18
Atresia kolon bentuk atresia yang jarang terjadi yaitu 15% dari seluruh
bentuk atresia. Usus mengalami dilatasi masif, dan pasien menunjukkan tanda dan
gejala yang sama seperti atresia jejunoileal4.

3.4 Patogenesis
Teori Vascular Insufficiency
Saat ini teori mengenai etiologi atresia intestinal yang paling diterima
adalah “kecelakaan” vaskuler intrauterin yang mengakibatkan nekrosis dari
segmen yang terkena dampak sehingga panjang segmen usus yang nekrosis
tersebut akan diresorbsi5.

Gambar 9. Patogenesis atresia intestinal, Teori Vascular Insufficiency

Tandler's Theory
Pada tahun 1902 Tandler menunjukkan bahwa duodenum melalui fase
solid selama perkembangan embriologi. Fase ini karena adanya proliferasi
epitelial pada minggu ke-5 dan kemudian akan mengalami obliterasi pada seluruh

19
lumennya. Lumen terbentuk oleh vakuolisasi yang menyatu dan selesai pada akhir
minggu ke-8. Tandler menyatakan pada atresia duodenum gangguan
perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak adekuat
(elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan rekanalisasi pita
padat epitelial (kegagalan proses vakuolisasi).

Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi


dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara
sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum
padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses
apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan
normal di antara lumen duodenum5,6.

Gambar 10. Patogenesis Atresia Duodenum.

3.5 Gambaran klinis


Obstruksi usus pada neonatus sering manifestasi dengan beberapa tanda
kardinal, antara lain polihidramnion maternal, bilious vomiting, distensi abdomen,

20
dan kegagalan mekonium keluar dalam jumlah normal pada 24 sampai 48 jam
pertama kehidupan. Walaupun tidak ada tanda diatas yang merupakan
patognomonik untuk obstruksi spesifik, semua hal tersebut sesuai dengan
fenomena obstruksi dan memiliki indikasi untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang.3

Polihidramnion adalah peningkatan cairan amnion pada kantong amnion


(>2000ml). Cairan amnion, 25% sampai 40% ditelan oleh fetus (pada bulan
keempat atau kelima) dan diserap pada 25 sampai 30 cm pertama dari panjang
jejunum. Atresia jejunum berhubungan dengan adanya polihidramnion pada 24%
kasus. Walaupun ada beberapa keadaan fetus yang meyebabkan polihidramnion,
setiap wanita hamil dengan polihidramnion harus melakukan pemeriksaan
ultrasonografi secara rutin. Prenatal ultrasonografi dapat mengidentifikasi adanya
obstruksi usus halus yang berhubungan dengan atresia, volvulus, dan peritonitis
mekonium. Dengan adanya hal tersebut dapat mengantipasi dan melakukan
rencana manajemen yang tepat saat bayi tersebut lahir3.

Bilious vomiting adalah salah satu tanda cardinal dan selalu bersifat
patologik. Adanya cairan empedu pada aspirasi gaster harus diperiksa ataupun
diselidiki secara hati-hati. Lambung bayi yang baru lahir biasanya mengandung
kurang dari 15 mL getah lambung/gastric juice yang jernih saat lahir. Jika lebih
dari 20 sampai 25 mL getah lambung yang jernih atau sedikit saja getah empedu
menandakan adanya obstruksi usus. Bilious vomiting juga dapat terlihat pada
neonatal sepsis dengan adinamik ileus. Ketika obstruksi mekanik terjadi, adanya
getah empedu menandakan tingkat obstruksi di bagian distal ampula Vateri.
Bilious vomiting terjadi pada 85 % bayi dengan atresia jejunum dan lebih sedikit
pada atresia ileum3.

Jaundice terjadi lebih dari 30% bayi dengan atresi jejunum dan 20% pada
atresia ileum dan biasanya berhubungan dengan peningkatan bilirubin tidak
terkonjugasi. Distensi abdomen salah satu tanda obstruksi terjadi pada bagian usus
yang lebih distal. Kontur atau bentuk normal abdomen pada bayi baru lahir adalah
bulat/round, berbeda pada dewasa yang berbentuk skapoid. Pada pemeriksaan
fisik yang berhubungan dengan adanya distensi abdomen antara lain terkihatnya
vena dari dinding abdomen yang tipis, terlihatnya lekukan usus (intestinal

21
patterning) dengan atau tanpa terlihatnya peristaltik dan terkadang terdapat distres
pernapasan akibat peninggian diafragma3.

Ketika obstruksi dicurigai, foto abdominal harus dilakukan untuk


mengevaluasi penyebab distensi3.

Salah satu lagi tanda obstruksi usus adalah kegagalan mekonium lewat
secara spontan dalam 24 sampai 48 jam pertama kehidupan. Mekonium normal
terdiri dari cairan amnion dan debris (skuama,rambut lanugo), succus entericus,
mukus untestinal. Mekonium berwarna hijau gelap atau hitam dan lengket, serta
250 g melewati rectum. Kegagalan melewati pada hari pertama kehidupan sering
merupakan suatu keadaan patologik3.

3.7 Pemeriksaan Penunjang


Pada atresia intestinal dari manifestasi klinis di atas yang didapat dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik, diperlukan juga beberapa pemeriksaan3.

Pada atresia duodenum pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam posisi
tegak akan terlihat gambaran double bubble. Bila pada foto hanya terlihat satu
gelembung udara, mungkin sekali gelembung duodenum terisi penuh cairan atau
gambaran gelembung duodenum dan lambung dalam proyeksi tumpang tindih.
Foto ulang dengan sebelumnya dilakukan pengisapan cairan lambung dan
duodenum atau dibuat foto dengan proyeksi lateral2,3.

Diagnosis atresia jejunoileal umumnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan


abdominal x-ray 3 posisi. Atresia jejunum yang tinggi terlihat adanya sedikit air-
fluid level dan tidak adanya gambaran udara mulai dibawah titik tersebut. Atresia
yang letaknya lebih distal, distensi abdomen terlihat secara klinik dan gambaran
intestinal loop dan air-fluid level. Intestinal loop pada usus yang mengalami
atresia lebih besar dari pada bagian usus yang normal 2,3. Terdapat gambaran
multiple-bubble pada foto babygram, semakin ke distal letak atresianya, semakin
banyak gambaran udara usus yang terpisah-pisah.

Foto kontras barium enema dapat memperlihatkan perbedaan antara


distensi ileum dan kolon, melihat apakah kolon pernah terpakai atau tidak/ unused
(mikrokolon) dan dapat pula mengevaluasi lokasi sekum untuk kemungkinan
kelainan rotasi usus3.

22
3.8 Diagnosis Banding
Seringkali atresia jejunoileal sulit dikenali sejak awal, oleh karena variasi-
variasinya. Untuk itu, perlu dikenali beberapa diagnosis pembandingnya, seperti:
 Malrotasi dengan/atau tanpa volvulus
 Mekonium ileus
 Duplikasi intestinal
 Hernia interna
 Atresia kolon
 Sepsis
 TCA (total colon aganglionic)

3.9 Penatalaksanaan
Secara umum tatalaksana awal pasien dengan obstruksi usus adalah
mengatasi dehidrasi dan gangguan elektrolit, dekompresi nasogastrik atau
orogastrik dengan ukuran yang adekuat, pemberian antibiotik intravena.
Termoregulasi, pencegahan terhadap hipotermi penting sekali pada pasien
pediatrik khususnya pasien neonatus. Tidak boleh dilupakan untuk identifikasi
kemungkinan adanya kelainan penyerta bila penyebab obstruksi adalah kelainan
kongenital. Harus selalu diingat bahwa setiap kelainan kongenital dapat disertai
kelainan kongenital lain, sehingga perlu dicari karena mungkin memerlukan
penanganan secara bersamaan. Perkiraan dehidrasi baik dari muntah atau
sekuestrasi cairan akibat obstruksi usus perlu dihitung dan diganti. Dengan sedikit
pengecualian, dehidrasi yang ditimbulkan obstruksi usus biasanya berupa
dehidrasi isotonik, sehingga cairan pengganti yang ideal yang mirip cairan
ekstraselular adalah Ringer asetat.

Nasogastic tube (NGT) atau orogastrik tube(OGT) dengan ukuran yang


adekuat sangat bermanfaat untuk dekompresi dan mencegah aspirasi. Orogastric
tube lebih dipilih untuk pasien neonatus karena neonatus bernapas lebih dominan
melalui lubang hidung3.

Antibiotik intravena untuk bakteri-bakteri usus hampir selalu perlu


diberikan pada pasien-pasien yang mengalami obstruksi usus. Antibiotik ini dapat
bersifat profilaktif atau terapeutik bila lamanya obstruksi usus telah
memungkinkan terjadinya translokasi flora usus2,3.

23
Tatalaksana Bedah
Secara umum tatalaksana pasien obstruksi usus akibat atresia intestinal
adalah tindakan pembedahan3. Pada obstruksi jejunoileal insisi transversal supra
umbilikal merupakan akses terpilih. Prosedur operatif tergantung pada temuan
patologi, seperti tipe atresia, panjang usus, ada tidaknya perforasi usus, malrotasi
dan volvulus, mekonium peritonitis, mekonium ileus. Dilakukan eksplorasi, bila
terdapat perforasi seluruh rongga abdomen diirigasi dengan NaCl hangat, semua
debris dibersihkan, adhesi dilepaskan dan sebisanya semua usus dieksteriorisasi.
Inspeksi dilakukan mulai dari duodenum sampai sigmoid untuk mencari area
atresia lainnya, ada tidaknya kelainan penyerta seperti malrotasi, atau mekonium
ileus yang memerlukan koreksi pada saat bersamaan.

Prosedur operatif atresia jejunoileal pada umumnya adalah reseksi-


anastomosis. Berdasarkan sejarah dan bukti-bukti eksperimental prosedur yang
dianjurkan berkembang dari eksteriorisasi menjadi anastomosis side-to-side,
kemudian end-to-end atau end-to-side, dan terakhir: reseksi segmen atretik
proksimal yang dilatasi dan hipertofi diikuti anastomosis end-to-end/ end-to-back
dengan atau tanpa tailoring segmen proksimal dan juga end-to-oblique. Perlu
diingat bahwa segmen atresia proksimal yang berdilatasi dan hipertrofi dapat
menyebabkan kembalinya fungsi peristaltik yang terlambat setelah koreksi
anastomosis sehingga reseksi bulbus proksimal segmen atretik perlu dilakukan
agar hasilnya memuaskan3.

RESEKSI ANASTOMOSIS

Terdapat beberapa teknik anastomosis yang telah ditemukan. Prosedur


tersebut diklasifikasikan menjadi 2 tipe: (1) pelebaran kaliber usus bagian distal
yang mengecil dan (2) mengurangi kaliber usus bagian proksimal yang membesar.
Anastomosis end-to-back, end-to-side, dan end-to-oblique merupakan jenis tipe
pertama, dan enteroplasty diikuti dengan anastomosis end-to-end merupakan tipe
kedua. End-to-back anastomosis menunjukan baik masalah teknik maupun
obstruksi fungsional post-operatif anastomosis jika kaliber rasio antara segmen
proksimal dan segmen distal usus yang mengalami atresia tidak besar. Namun,
rasio kaliber meningkat deviasi aksis longitudinal antara proksimal dan distal

24
usus secara bertahap menjadi mendekati 90o, menyerupai anastomosis end-to-side
yang dengan mudah menghasilkan obstruksi fungsional.

Sepertinya akan sangat sulit untuk melakukan fungsional end-to-back


anastomosis dalam kasus di mana rasio kaliber lebih dari 4.3

Anastomosis End to end

Umumnya dilakukan insisi tranverasal supraumbilikus pada kuadran


kanan atas. Abdomen dieksplorasi, dan level obstruksi dan tipe obstruksi
ditentukan. Dilakukan diseksi pada ruang antara pembuluh darah mesenterium
dari segmen distal usus yang mengecil. Diseksi secara tumpul sampai tepi
mesenterik usus, peritoneum dibebaskan dari mesenterium yang telah dipotong,
memberikan akses ke vascular plane.

Insisi 2 cm dilakukan pada ujung buntu dari proksimal usus yang mengalami
dilatasi di sudut kanan mengarah ke mesenterium. Dilanjutkan dengan jahitan
interupted satu lapis dengan benang poliglikolat 5-0.3

Gambar 12. Peritoneal dibebaskan sampai mendekati tepi usus bagian distal
yang mengalami atresia

25
Gambar 13. Usus bagian distal yang mengecil dan buntu dipotong melalui
tepi mesenterium usus yang telah dipotong. Insisi pada ujung buntu proksimal
usus pada sudut kanan mengarah ke mesenterium.

Anastomosis End-to-oblique

Dilakukan insisi tranverasal supraumbilikus pada kuadran kanan atas.


Abdomen dieksplorasi, dan level obstruksi dan tipe obstruksi ditentukan.

Dilakukan reseksi pada segmen proksimal usus yang mengalami dilatasi


pada pasien dengan panjang usus yang mendekati normal. Pada bagian
proksimal dilakukan reseksi dengan sudut 90o dari sumbu panjang usus dan
pada bagian distal 45o. Kemudian dilakukan penjahitan. Pada bagian distal
usus harus dilakukan evaluasi untuk menilai masih adanya atresia atau
stenosis dengan menggunakan kateter yang dilalui oleh larutan normal saline.

26
Gambar 14. Anastomosis end-to-oblique.

Tatalaksana Pasca Operatif Obstruksi Usus


Meskipun laparotomi pada bayi atau anak memberikan stres yang
signifikan kepada pasien, kebanyakan pasien berangsur membaik setelah koreksi
bedah terhadap penyebab obstruksi ususnya. Pada periode pasca operatif awal,
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, metabolisme glukosa dan gangguan
respirasi biasa terjadi. Kebanyakan bayi yang menjalani operasi laparotomi
biasanya mengalami sekuestrasi cairan ke rongga ketiga dan ini memerlukan
tambahan jumlah cairan pada periode pasca operatif. Kebutuhan pemeliharaan
disesuaikan dengan kondisi pasien. Semua kehilangan cairan tubuh harus
diperhitungkan. Kehilangan cairan melalui muntah, NGT, ileostomi, atau
jejenostomi harus diganti sesuai volume yang hilang. Swenson menyebutkan
untuk berhati-hati dalam instruksi pasca operasi. Tidak ada istilah ‘rutin’ dalam
intruksi pasca operasi terhadap bayi atau anak. Semua dosis obat, elektrolit atau
cairan untuk terapi harus dikalkulasi secara individual dengan mempertimbangkan
berat badan, umur atau kebutuhan metabolik3.

Dekompresi nasogastrik dengan ukuran yang adekuat sampai tercapai


fungsi usus yang normal merupakan bantuan yang tak dapat dipungkiri dalam
dekompresi bagian proksimal usus dan fasilitasi penyembuhan anastomosis usus.
Ileus hampir selalu terjadi pada pasien pasca operasi dengan obstruksi usus. Pada
atresia duodenum atau atresia jejunoileal misalnya, ileus yang memanjang dapat

27
terjadi lebih dari 5 hari. Swenson menyebutkan pulihnya fungsi duodenum dapat
lambat sekali bila duodenum sangat berdilatasi. Cairan berwarna hijau dapat
keluar dari nasogastrik dalam periode waktu yang memanjang. Hal ini disebabkan
bukan hanya karena edema di daerah anastomosis tetapi juga karena terganggunya
peristaltik pada segmen duodenum proksimal yang mengalami dilatasi hebat.
Kesabaran yang tinggi sangat diperlukan sebelum memutuskan re-operasi pada
bayi dengan ‘obstruksi’ anastomose, karena diskrepansi ukuran lumen atau
disfungsi anastomosis yang bersifat sementara dapat menyebabkan ileus yang
memanjang3.

Permulaan asupan melalui oral dengan air gula/dextrose dapat dimulai bila
drainase gaster mulai berkurang atau warnanya mulai kecoklatan atau jernih yang
kemudian diikuti oleh susu formula (progestimil, isomil) secara bertahap. Bila
program feeding tersebut tidak bisa diterima pasien atau terdapat ileus yang
memanjang maka nutrisi parenteral perlu dipertimbangkan dalam menjaga
kecukupan asupan nutrisi pasca operasi.

3.10 Prognosis
Hasil tergantung pada anomali yang terkait dan berat badan lahir.
Prognosis umumnya baik. Pada tahun 1971, Nixon dan Tawes membuat suatu
analisis prognosis pada bayi-bayi dengan atresia jejunoileal. Hasil analisis tersebut
menyebutkan prognosis bayi-bayi dengan atresia jejunoileal dibagi menjadi tiga
kelompok besar, yaitu:
1. Kelompok A: Bayi dengan berat badan diatas 2,7 kg tanpa memiliki
kelainan kongenital yang menyertai.
2. Kelompok B: Bayi dengan berat badan antara 2-2,75 kg, atau
memiliki kelainan kongenital lain yang menyertai sedang-berat.
3. Kelompok C: Bayi dengan berat badan dibawah 2 kg, atau memiliki
kelainan kongenital lain yang menyertai berat.
Dari ketiga kelompok ini, dibuat suatu kesimpulan angka kesintasan,
seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Referensi
Atresia Jejunal Atresia di terminal
Kategori Atresia Mid-ileal
Letak Tinggi ileal
A dan B 60% 81% 100%

28
C 0% 32% 50%

29
BAB IV
ANALISIS KASUS

Diagnosa pasien adalah atresia jejunum, yang didapatkan dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan tidak
BAB, muntah hijau, perut membesar dan kulit tampak berwarna kuning sejak
lahir. Pada pemeriksaan fisik ditemukan ikterus, distensi abdomen, dan anus (+).
Lalu dilakukan pemeriksaan radiologi foto polos abdomen (babygram) yang
menunjukkan gambaran multiple-bubble appearance. Tatalakasana yang diberikan
adalah:
 IVFD D10% + Ca glukonas 2 amp 12cc/jam
 Inj. Cefotaxime 2 x 150gr IV
 Inj. Amikasin 2 x 20 mg IV
 Pasang OGT
 Konsul SpBA (Operasi Laparotomi Eksplorasi Reseksi + Anastomosis
jejunojejunal)

Hal ini sesuai dengan teori, dimana obstruksi usus pada neonatus sering
bermanifestasi dengan beberapa tanda kardinal, antara lain polihidramnion
maternal, bilious vomiting, distensi abdomen, dan kegagalan mekonium keluar
dalam jumlah normal pada 24 sampai 48 jam pertama kehidupan. Dan juga
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa radiologi foto babygram yang
menunjukkan adanya multiple bubble appearance.

Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan obstruksi usus adalah


mengatasi dehidrasi dan gangguan elektrolit, dekompresi nasogastrik atau
orogastrik dengan ukuran yang adekuat, pemberian antibiotik intravena. Prosedur
operatif atresia jejunoileal pada umumnya adalah reseksi-anastomosis.
Pasien ini memiliki berat badan 2,9 kg dan tidak memiliki kelainan
kongenital lain selain atresia jejunum sehingga pasien ini termasuk ke dalam
kelompok A berdasarkan klasifikasi prognosis menurut Nixon dan Tawes.
Berdasarkan kesimpulan angka kesintasan yang ditampilkan pada Tabel 4.1,
angka kesintasan pada pasien ini adalah 60%.

Tabel 4.1 Referensi Angka Kesintasan Prognosis Atresia Jejunoileal

30
Atresia Jejunal Atresia di terminal
Kategori Atresia Mid-ileal
Letak Tinggi ileal
A dan B 60% 81% 100%
C 0% 32% 50%

31
BAB V
KESIMPULAN

Atresia jejunum merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi


sehingga perlu penegakan diagnosis yang tajam untuk dapat memberikan
tatalaksana yang cepat dan tepat. Pengenalan faktor risiko perlu diperhatikan
untuk dapat membantu mencegah terjadinya atresia intestinal. Dan penatalaksaan
yang tepat yang terdiri dari tatalaksana preoperatif, operasi, dan pascaoperatif
perlu segera dilakukan untuk mendapatkan prognosis yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Eriksson S. Medical geography views on snakebites in Southeast Asia: a


case study from Vietnam. Asian Geographer. 2011;28(2):123–34.

32
2. Alirol E, Sharma SK, Bawaskar HS, Kuch U, Chappuis F. Snake bite in
South Asia: a review. PLOS Neglected Tropical Disease. 2010;4(1):603.

3. Warrel DA. Guidelines for the management of snake-bites. New Delhi:


World Health Organization - Regional Office for South-East Asia; 2010.

4. Gold BS, Dart RC, Barish RA. Bites of venomous snakes. N Engl J
Med, 2002; 347:347-56.

5. Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK,


Pathmeswaran A, Premaratna R, et al. (2009) The global burden of
snakebite: A literature analysis and modelling based on regional estimates
of envenoming and deaths. PLoS Med 5(11):e218.

6. Thomas L, Tyburn B, Bucher B, Pecout F, Ketterle J, Rieux D, dkk.


Prevention of thromboses in human patients with bothrops and
anceolatus envenoming in martinique: Fail- ure of anticoagulants and
efficacy of a monospecific antivenom. Am J Trop Med Hyg 1995;
52:419-26

7. Sajevic T, Leonardi A & Krizaj I. (2011) Haemostatically active proteins in


snake venoms.Toxicon 57:627-645.

8. Boechat ALR, Paiva CS, Franca FO, Dos-Santos MC. Heparin-


antivenom association: differential neutraliza- tion effectiveness in
bothrops atrox and bothrops erythromelas envenoming. Rev Inst Med
trop S Paulo 2001; 43:1-16

9. Young BA, Zatin K. Venom flow in rattlesnake: mechan- ics and


metering. J of Exp Biol 2001; 204:4345-51

10. Sudoyo, A.W.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan


Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006

11. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta

12. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen
POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.

33
13. Holve S. Envenomation. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pedi- atrics. Edisi ke-16. Philadelphia:WB
Saunders com- pany, 2000. h. 2174-8.

34

Anda mungkin juga menyukai