Jakarta, CNN Indonesia -- Pelemahan nilai tukar rupiah yang kini telah menyentuh level Rp 14.068 per
dolar Amerika Serikat (AS) dinilai tak memberikan dampak windfall profit pada kinerja keuangan
perusahaan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia.
Meskipun menjual sumber daya alam tersebut dalam denominasi dolar, namun anjloknya harga minyak
yang sudah menyentuh level US$ 40 per barel sejak beberapa waktu terakhir memberi kerugian yang jauh
lebih besar kepada perusahaan migas.
Hal tersebut membuat Lukman Mahfoedz, Board of Director Indonesian Petroleum Association (IPA)
meyakini pelemahan rupiah tak memberi dampak yang signifikan pada kinerja keuangan perusahaan
migas yang beroperasi di Indonesia.
"Fall-nya sudah terlihat dengan adanya harga minyak yang rendah, jatuh lebih dari 50 persen
(dibandingkan tahun lalu). Sedangkan wind-nya masih dicari," ujar Lukman saat dihubungi Senin (24/8).
Seperti yang diketahui, tren melemahnya nilai tukar rupiah yang terjadi dalam beberapa hari terakhir
sejatinya bisa menjadi katalis positif menyusul kejatuhan harga minyak dunia yang terjadi sejak akhir tahun
lalu.
Akan tetapi, Lukman bilang lantaran kejatuhan harga minyak saat ini sudah mencapai lebih dari 50 persen
dirinya pesimistis fenomena tadi bisa menjadi penolong untuk memperbaiki kinerja keuangan perusahaan
migas.
Oleh karena itu, perusahaan anggota IPA menurutnya hanya dapat berharap pada kinerja produksi gas
bumi yang harga jualnya relatif lebih stabil ketimbang minyak.
"Secara komersial (pelemahan rupiah) tidak banyak berarti dibandingkan dengan tajamnya penurunan
harga minyak. Yang ada produksi gasnya agak tertolong (menjadi penolong)," tutur Presiden Direktur PT
Medco Energi Internasional Tbk ini.
Minta Pengecualian
Di tengah minimnya katalis positif terhadap kinerja keuangan perusahaan migas, para petinggi IPA
mendesak pemerintah mengesampingkan kewajiban penggunaan Rupiah seperti yang termaktub dalam
Surat Edaran BI (SEBI) Nomor 17/11/DKSP tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain berpotensi menggangu pendapatan perusahaan, Lukman menilai kewajiban penggunaan rupiah
dalam bertransaksi juga menyalahi kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) yang sudah
diteken antara pemerintah dengan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS).
"Yang paling terpenting sekarang adalah bagaimana KKKS bisa tetap mendapatkan revenue dalam dolar,
sesuai dengan ketentuan PSC. Di mana kontraktor berhak atas entitlement dan menjualnya. Sementara
untuk biaya-biaya terkait operasi, dan lain-lain masih bisa dikelola dengan rupiah dan ini tidak ada
masalah," jelas Lukman.
Berangkat dari hal tersebut, dirinya pun kembali meminta pemerintah mengecualikan kewajiban
penggunaan rupiah untuk setiap transaksi penjualan produk dan penunjang jasa migas.
"Di waktu yang sulit ini hendaknya Pemerintah bisa juga membantu industri Migas," tandasnya.