Anda di halaman 1dari 5

A.

Mekanisme Keracunan
Ada tiga bentuk merkuri utama di lingkungan yaitu uap merkuri (unsur Hg), garam merkuri
anorganik (Hg+ dan Hg2+), dan merkuri organik (metilmerkuri dan dimetilmerkuri). Mekanisme
pemaparan merkuri hingga menimbulkan keracunan terhadap merkuri berdasarkan jalur masuknya
terbagi menjadi 3 jalur yaitu inhalasi, terletan dan intravena (Endrinaldi, 2010). Keracunan yang
diakibatkan oleh tertelannya merkuri jarang terjadi karena absorbsi merkuri dalam tubuh rendah.
Pemaparan secara inhalasi yang paling sering terjadi karena banyaknya jenis pekerjaan yang memiliki
insentas tinggi berhadapan dengan merkuri. Selain hal tersebut, merkuri atau air raksa merupakan zat
cair yang sangat mudah menguap sehingga mudah masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi (Sjamsudin,
1987).
Penguapan ini sangat sering terjadi dalam praktik kedokteran gigi yaitu saat pengadukan,
penempatan dan pembuangan amalgam yang digunakan dalam menumpat gigi. Tingkat pemaparan
okupasional maksimal yang dianggap aman untuk pekerja kesehatan gigi adalah 50g merkuri per m 3
udara (Anusavice,2003). Uap merkuri yang terhirup diserap seluruhnya oien paru dan dioksidasi
menjadi kation merkuri divalen oleh katalase dalam eritrosit. Uap merkuri lebih mudah melintasi
membran dibanding garam merkuri, sehingga sejumlah besar uap merkuri telah memasuki otak
sebelum dioksidasi sehingga toksisitasnya terhadap sistem saraf pusat (SSP lebih besar daripada
bentuk divalennya (Sjamsudin, 1987).
Selain mekanisme yang telah dijelaskan diatas Sintawati (2008) juga mengatakan bahwa Karena
bersifat larut dalam lemak, merkuri mudah melalui sawar otak dan plasenta. Di otak ia akan
berakumulasi di korteks cerebrum dan cerebellum dimana ia akan teroksidasi menjadi bentuk merkurik
(Hg++ ) ion merkurik ini akan berikatan dengan sulfhidril dari protein enzim dan protein seluler sehingga
menggangu fungsi enzim dan transport sel. Pemanasan logam merkuri membentuk uap merkuri oksida
yang bersifat korosif pada kulit, selaput mukosa mata, mulut, dan saluran pernafasan.

B. Patogenesis Alergi
Reaksi alergi yang terjadi pada alergi merkuri merupakan dermatitis kontak atau hipersensitifitas
tipe IV. Reaksi alergi yang terjadi mewakili reaksi antara antigen dan antibodi. Dalam praktik kedokteran
gigi, pasien yang mengalami hipersensitifitas tipe ini hanya sekitar 1% dari total populasi yang dirawat.
Reaksi ini merupakan salah satu efeksamping fisiologis dari pengguanaan amalgam yang mengandung
merkuri sebagai bahan penumpatan (Anusavice,2003).
Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi
yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi
langsung dengan antigen, misalnya pada dermatitis kontak. Obat topikal yang secara antigenik
biasanya berbentuk hapten, bila berikatan dengan protein jaringan kulit yang bersifat sebagai karier
dapat merangsang sel limfosit T yang akan tersensitisasi dan berproliferasi. Pada pajanan berikutnya,
sel T yang sudah tersensitisasi akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke
tempat antigen berada sehingga terjadi reaksi inflamasi (Apriasari, 2012).

C. Manifestasi Klinis
1. Keracunan
Manifestasi klinis dari keracunan merkuri menurut Sintawati (2008) dibagi berdasarkan jenis
merkuri yang masuk ke dalam tubuh. Pembagian klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut.
a) Merkuri Elementer (Hg)
1) Pemaparan akut
Inhalasi gas merkuri dapat menyebabkan bronkhitis, menggigil, dispnea, hemoptisis,
pneumonia, edema paru, sianosis bahkan fibrosis paru. Keluhan gastrointestinal berupa:
mual, muntah, ginggivitis, keram perut dan diare. Kerusakan sistim syaraf pusat berupa
kelainan neuropsikiatrik, tremor, iritabilitas, hilang ingatan, sakit kepala, reflek abnormal
dan perubahan EEG. Efek pada kulit berupa rash kemerahan dengan deskuamasi
terutama pada tangan dan kaki sering dijumpai pada anak-anak. Kelainan pada ginjal
dapat berupa proteinuria, kelainan elektrolit urine, disuria dan sakit ejakulasi. Efek psikiatri
berupa depresi, perasaan malu, marah, iritabilitas, cemas, nafsu makan menurun atau
agresif. Pemaparan merkuri melalui intravena dapat menyebabkan emboli paru-paru.
2) Pemaparan kronis
Pemaparan merkuri kronis akan menimbulkan ginggivitis, salivasi, tremor dan
perubahan neuropsikiatri. Gangguan psikiatri berupa depresi, perasaan malu, marah,
cemas, iritabilitas, agresif, hilang ingatan, hilangnya kepercayaan diri, sukar tidur, tidak
nafsu makan atau tremor ringan. Selain itu dapat dijumpai kelainan pada ginjal berupa
proteinuri.
b) Merkuri Inorganik
1) Pemaparan akut
Setelah menelan merkuri timbul gejala iritasi mukosa berupa stomatitis, rasa logam,
rasa panas, hipersalivasi, edema laring, erosi oesofagus, mual, muntah, keram perut,
shock dan gangguan ginjal berupa proteinuri, hematuri dan glikosuri. Gagal ginjal akut
dapat terjadi dalam 24 jam. Perdarahan gastrointestinal dapat menyebabkan anemia dan
syok hipovolemi. Kontak pada kulit akibat penggunaan krem yang mengandung garam
merkuri dapat menimbulkan pigmentasi, rasa terbakar dan dapat menyebabkan toksisitas
sistemik. HgCl2 dapat menyebabkan iritasi kulit sedangkan merkuri fulminat dan merkuri
sulfida menyebabkan dermatitis kontak. Penggunaan calomel (HgCl) dapat menyebabkan
Pinks disease pada anak-anak yang ditandai: rash eritematosus, febris, splenomegali,
iritabilitas dan hipotonia.
2) Pemaparan kronis
Menimbulkan ginggivitis dan salivasi, tremor dan perubahan neuropsikiatri Aplikasi
garam merkuri pada kulit dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati
perifer, nefropati, eritema, dan pigmentasi.
c) Merkuri Organik
1) Pemaparan akut
Menyebabkan iritasi gastrointestinal berupa mual, muntah, sakit perut dan diare.
Keracunan Phenyl mercury (merkuri aromatis) menimbulkan gejala-gejala gastrointestinal,
malaise, mialgia dan syndrome mimic viral. Keracunan metil merkuri menyebabkan efek
pada gastrointestinal yang lebih ringan tetapi menimbilkan toksisitas neurologis yang berat
berupa: rasa sakit pada bibir, lidah dan pergerakan (kaki dan tangan ), konfusi, halusinasi,
iritabilitas, gangguan tidur, ataxia, hilang ingatan, sulit bicara, kemunduran cara berpikir,
reflek tendon yang abnormal, pendengaran rusak, lapangan penglihatan mendekati
konsentris, emosi tidak stabil, tidak mampu berpikir, stupor, coma dan kematian.
2) Pemaparan kronis
Menyebabkan suatu sindroma yang kronis. Penelanan kronik bentuk alkil rantai
pendek (metil merkuri) menyebabkan disartria, parestesi, ataxia dan tuli. Dapat pula terjadi
Tunnel vision dan skotoma multipel atau erethism. Keracunan Fenil merkuri dan
methoxyethil merkuri menimbulkan gangguan yang sama dengan pemaparan kronis
merkuri inorganik.
2. Alergi
Menurut Anusavice (2003) beberapa manifestasi klinis pada pasien yang mengalami alergi
terhadap merkuri adalah sebagai berikut.
a) Rasa gatal
b) Ruam
c) Pembengkakan
d) Bersin
e) Kesulitan bernafas
Beberapa gejala lain yang dapat terjadi pada pasien dengan alergi merkuri menurut
Apriasari (2012) adalah.
a) Eritema
b) Rasa sakit dan sensasi terbakar
c) Mulut terasa kering
d) Mulut seperti rasa logam

D. Pertolongan Pertama
1. Keracunan
Untuk keracunan uap merkuri segera bawa korban ketempat berudara segar dan pemberian
bantuan napas mungkin diperlukan. Sedangkan keracunan akibat penelanan merkuri tindakan
pengosongan lambung mungkin diperlukan serta premberian karbon aktif dan larutan katartik juga
mungkin bermanfaat dan pada pasien yang keracunan merkuri yang simptomatik kecuali alkyl
rantai pendek segera lakukan terapi Kelasi (Albasar dkk., 2013).
D-Penicillamine diberikan pada kasus keracunan gas merkuri dan merkuri inorganik yang
tidak berat, keracunan merkuri elemental kronis dan neuropati akibat merkuri inorganik. Kontra
indikasi pemberian D-Penicillamine adalah pada pasien yang alergi terhadap penicillin. Terapi
dihentikan jika terjadi: febris, rash, leukopeni dan trombositopenia. Selain D-Penicillamine, BAL
(Dimercaprol) juga merupakan obat yang dapat diberikan pada kasus keracunan merkuri inorganik
yang berat, pasien simtomatik, adanya kerusakan ginjal atau alergi penisilin. Kontra indikasi
penggunaan dimercaprol adalah pada pasien keracunan metil merkuri (merkuri organik) karena
BAL meningkatkan kadar merkuri pada sistim syaraf pusat Apriasari (2012).
2. Alergi
Alergi yang disebabkan karena merkuri merupakan alergi jenis dermatitis kontak, oleh
karena itu erapi pada kasus alergi terhadap merkuri adalah dengan menghentikan kontak dengan
alergen. Selain menghilangkan alergen terapi yang dapat diberikan pada pasien yang mengalami
alergi merkuri adalah dengan pemberian obat kortikosteroid, penekan respon imun, dan yang
mengandung retinoids. Obat kortikosteroid bisa diberikan secara peroral contohnya prednison dan
methyilprednisolone. Penggunaan kortikosteroid secara sistemik harus diperhatikan secara serius
berkaitan dengan kondisi sistemik pada pasien. Selain hal tersebut penghentian pemberian obat
kortikosteroid juga harus dilakukan secara tappering off doze. Pasien dengan kondisi sistemik yang
tidak mendukung diberikannya kortikosteroid sistemik dapat diberikan obat kortikosteroid secara
topikal contohnya triamnicolone acetonide (Apriasari, 2012).

E. Alternatif Perawatan
Merkuri dalam kedokteran gigi digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan tumpatan
amalga. Pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap merkuri tidak diperbolehkan mendapatkan
rencana perawatan tumpatan amalgam. Alternatif perawatan yang dapat dipilih adalah penumpatan
menggunakan bahan-bahan tumpat lain seperti komposit, GIC, logam tuang, titanium tuang ataupun
keramik (Anusavice, 2003).

Daftar Pustaka

Albasar, M, I., Daud, A., Maria, I, D., 2013, Pajanan Merkuri (Hg) pada Masyarakat di Kelurahan Poboya
Kota Palu Sulawesi Tengah, Skripsi, Universitas Hasanuddin, Makasar.

Anusavice, K, J., 2003, Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi Edisi 10, EGC, Jakarta.
Apriasari, M, L., 2012, Oral Lichenoid Reaction pada Pasien Pengonsumsi Obat Hipertensi Angiotensin
Receptor Blocker, Jurnal PDGI, 61 (3): 88-91.

Endrinaldi, 2010, Logam-Logam Berat Pencemar Lingkungan dan Efek terhadap Manusia, Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 4 (1): 42-46.

Sintawati, F, X., 2008, Pajanan Merkuri pada Tenaga Kesehatan Gigi, Jurnal Ekologi Kesehatan, 7
(2):786-794.

Sjamsudin, U., 1987, Logam Berat Antagonis Daiam Farmakologi dan Terapi, Edisi 3., Universitas
Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai