TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi 1
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap
pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen. Dermatitis dikenal juga dengan eksim.
Kelainan klinis dermatitis dapat berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul,
vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu terjadi
bersamaan, bahkan mungkin hanya satu jenis misalnya hanya berupa papula (oligomorfik).
Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
Dermatitis Kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi yang
menempel pada kulit. Dikenal dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergik. Keduanya dapat bersifat akut maupun kronis.
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non-imunologik, yaitu
kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses pengenalan atau sensitisasi.
Sebaliknya, dermatitis kontak alergik adalah dermatitis yang terjadi pada seseorang yang
telah mengalami sensitisasi terhadap suatu bahan penyebab atau alergen.
1.2. Epidemiologi
1.2.1. Insiden dan Prevalensi Penyakit
Prevalensi dermatitis kontak di Indonesia sangat bervariasi. Menurut Perdoski (2009)
Sekitar 90% penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak, baik iritan maupun
alergik. Penyakit kulit akibat kerja yang merupakan dermatitis kontak sebesar 92,5%, sekitar
5,4% karena infeksi kulit dan 2,1% penyakit kulit karena sebab lain.2
Pada studi 3 epidemiologi, Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus
adalah dermatitis kontak, dimana 66,3% diantaranya adalah dermatitis kontak iritan dan
33,7% adalah dermatitis kontak alergi.2
Bila dibandingkan dengan dematitis kontak iritan (DKI), jumlah pasien DKA lebih
sedikit, karena hanya mengenai orang dengan keadaan kulit yang sangat peka (hipersensitif).
Diperkirakan jumlah DKA maupun DKI semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah
produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun, informasi
mengenai prevalensi dan insidens DKA di masyarakat sangat sedikit, sehingga angka yang
mendekati kebenaran belum didapat.1
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA 20%,
tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa dermatitis kontak
alergi akibat kerja karena ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60%. Sedangkan,
dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering
dibandingkan dengan DKA akibat kerja.1
1.2.2. Usia
Dalam studi tentang reaktivitas Rhus, individu yang lebih muda (18 sampai 25 tahun)
memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat untuk terjadi dermatitis dibandingkan orang tua.
Kompetensi reaksi imun yang dimediasi sel T pada anak-anak masih kontroversi. Studi ini
masih menganggap bahwa anak-anak jarang mengalami DKA karena sistem kekebalan tubuh
yang belum matang, namun Strauss menyarankan bahwa hiporesponsifitas yang jelas pada
anak-anak mungkin karena terbatasnya paparan dan bukan karena kurangnya imunitas.
Dengan demikian, reaksi alergi terlihat terutama pada pasien anak yang lebih tua dan yang
terjadi sekunder oleh karena obat topikal, tanaman, nikel, atau wewangian.3
1.4. Patogenesis 1
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA mengikuti respons imun yang
diperantarai oleh sel (cell mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, atau
reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi
dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat mengalami DKA.
1.6. Diagnosis 1
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang
teliti. Pertanyaan mengenai kontaktan yang disurigai berdasarkan pada kelainan kulit yang
ditemukan. Misalnya pada kelinan kulit berukuran numular disekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, perlu ditanyakan apakah pasien
memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data
yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah
digunakan, obat sistemik, kosmetika, berbagai bahan yang diketahui menimbulkan alergi,
penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi,baik dari yang bersangkutan maupun
keluarganya.
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan
kulit sering kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, diketiak oleh
deodoran; dipergelangan tangan oleh jam tangan; dikedua kaki oleh sepatu/sendal.
Pemeriksaan hendaknya dilakukan ditempat yang cukup terang; pada seluruh permukaan
kulit untuk melihat kemungkin kelainan kulit lain karena berbagai sebab endogen.
1. Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan satu kali tetapi lama, beberapa kali atau
satu kali tetapi sebelumnya pernah atau sering kontak dengan bahan serupa.
2. Terdapat tanda-tanda dermatitis terutama pada dermatitis kontak.
3. Terdapat tanda-tanda dermatitis disekitar tempat kontak dan lain tempat yang serupa
dengan tempat kontak tetapi lebih ringan serta timbulnya lebih lambat, yang
tumbuhnya setelah pada tempat kontak.
4. Rasa gatal
5. Uji tempel dengan bahan yang dicurigai hasilnya positif.
Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel
diperlukan antigen, biasanya antigen standar, misalnya Allergen Patch Test Kit dan T.R.U.E.
Test, keduanya buatan amerika serikat. Terdapat juga antigen standar Eropa dan negara lain.
Adakalanya buatan amerika serikat.terdapat juga antigen standar, dapat berupa bahan kimia
murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, atau lingkungan kerja.
Mungkin ada sebagian bahan tersebut bersifat iritan kuat, atau walaupun jarang dapat
memberikan efek iritan secara sistemik. Oleh karena itu, bila menggunakan bahan tidak
standar maka harus dilakukan pengenceran.
Bahan yang dipakai secara rutin, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji
tempel, dapat langsung digunakan (as is). Sebagai bahan pengencer dapat digunakan vaselin
atau minyak mineral. Apabila benda padat, misalnya pakaian, sepatu, atau darung tangan
yang dicurigai menjadi penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan degan potongan kecil
bahan tersebut. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar, perlu
dilakukan dengan kontrol (5 sampai 10 orang), untuk menyingkirkan kemungkinan iritan.
Berbagai hal berikut perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:
1. Dermatitis yang terjadi harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut
atau berat dapat terjadi reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang
sedang dialami main memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu mingu setelah pemakaian kortikosterioid
sistemik dihentikan, sebab dapat menghasilkanreaksi negatif palsu.
Pemberiankortikosteroid topikal di punggung dihentikan sekurang-kurangnya satu
minggu sebelum tes dilaksanakan. Luka bakar sinar matahari (sun burn) yang terjadi 1-2
minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberikan hasil negatif palsu. Sedangkan
antihistamin sistemik tidak mempengruhi hasil tes, kecuali didugakarena urtikaria
kontak.
3. Uji tempel dibuka setelah 48 jam ( dua hari penempelan), kemudian dibaca. Pembacaan
kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7.
4. Pasien dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi
longar/terlepas (tidak menempel dengan baik), karena dapat memberikan hasil negatif
palsu.
Pasien juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam waktu 48 jam, dan menjaga agar
punggung selalu kering sampai pembacaan terakhir selesai.
Setelah 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan15-30 m3nit setelah
dilepas, agar efek tekanan menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut:
+1 = reaksi lemah (non-vesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
+2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
+3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
= meragukan : hanya makula eritematosa (?)
IR = iritasi : seperti terbakar, pustul arau purpura (IR)
- = reaksi negatif (_)
NT = tidak dites (NT=not tested)
Pembacaan kedua dilakukan pada 72 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini
penting untuk membantu untuk membedakan antara respon alergik atau iritan. Hasil pisitif
lambat dapat terjadi setelah 96 jam bahkan sampai satu minggu setelah aplikasi.
Untuk menginterpretasikan hasil uji tempel tidak mudah. Respon alergik biasanya
menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua (reaksi tipe cresendo), sedangkan
respon irita cenderung menurun ( reaksi tipe descresendo).
Bila ditemukan respon positif terhadap suatu alergen,perlu ditentukan relevansinya
dengan keadaan klinik, riwayat penyakit dan sumber antigen di lingkungan pasien.mungkin
respon yang positif tersebut berhubungan dengan penyakit yang sekarang atau penyakit masa
lalu yang pernah dialami.
Reaksi podiitif palsu dapat terjadi antara lain bila konsentrasi terlalu tinggi, atau
bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup (oklusi). Efek pinggir uji tempel
(edge effect), umumnya karena iritasi, secara klinis tampak bagian tepi menunjukkan reaksi
lebih kuat, sedang dibagian tengahreaksi ringan atau sama sekali tidak ada kelainan. Ini
disebabkan karena meningkatnya konsentrasi iritasi cairan dibagian pinggir. Sebab lain oleh
karena efek tekanan, dapat terjadi bila uji tempel dilakukan dengan menggunakan bahan
padat.
Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya apabila konsentrasi yang digunakan terlalu
rendah, vehikulum tidak tepat, bahan uji tempel tidak melekat dengan baik, atau menjadi
longgar akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian pemakaian kortikosteroid
topikal berpotensi kuat dalam jangka waktu lama pada daerah yang akan dilakukan uji
tempel.
1.9. Penatalaksanaan
1.9.1. Umum
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya
pencegahan pajanan ulang dengan alergen penyebab. Umumnya kelainan kulit akan meredam
dalam beberapa hari.
1.9.2. Khusus
Pengobatan yang diberikan dapat berupa pengobatan topikal dan sistemik.
- Antihistamin
Maksud antihistamin adalah untuk memperoleh efek sedatifnya. Ada yang
berpendapat pada stadium permulaan tidak terdapat pelepasan histamin. Tapi ada pula yang
berpendapat dengan adanya reaksi antigen antibodi terdapat pembebasan histamin, serotonin,
SRS-A, bradikinin dan asetilkolin.
1.10. Prognosis
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh dapat menghindari bahan penyebabnya.
Prognosis kurang baik dan menjadi khronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh
faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis nurmularis, atau psoriasis), atau sulit
menghindari alergen penyebab, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang
terdapat dilingkungan pasien.
BAB 2
ILUSTRASI KASUS
2.1. IDENTITAS
Nama : Ny. N
Umur : 70 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Lubuk Sikaping
Status : Menikah
2.2. ANAMNESIS
- Keluhan Utama : Punggung kaki terasa gatal sejak 1 bulan yang lalu.
- Riwayat Penyakit Sekarang :
o Pasien mengeluhkan punggung kaki terasa gatal sejak 1 bulan yang lalu
o Kaki terasa agak panas dan gatal
o Pasien mengaku tidak ada riwayat mengoleskan obat, zat atau minyak ke punggung
kaki.
o Pasien selalu menggunakan sandal jepit dari karet bermerk swallow.
o Tidak ada riwayat trauma pada kaki.
o Pasien pernah diobati di puskesmas, diberikan obat oles dan tablet (tidak tahu nama
obatnya). Namun, tidak tampak perbaikan.
- Riwayat penyakit dahulu :
o Tidak ada riwayat alergi makanan
o Riwayat bersin di pagi hari disangkal
o Riwayat asma disangkal
o Riwayat diabetes disangkal
- Riwayat penyakit keluarga :
o Riwayat keluarga bersin di pagi hari disangkal
o Riwayat alergi makanan disangkal
o Riwayat asma disangkal
o Riwayat diabetes disangkal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak Dilakukan
DIAGNOSA KERJA
Dermatitis kontak alergi kronik e.c sandal karet
ANJURAN PEMERIKSAAN
- Uji Tempel
PENATALAKSANAAN
Umum :
- Menghindari kontak dengan bahan yang memicu terjadinya reaksi alergi
- Menjelaskan pada pasien untuk tidak menggunakan sandal yang merupakan
penyebab alergi
- Menjelaskan pada pasien agar tidak menggaruk-mengaruk lesi
- Menjaga kebersihan kulit, dengan madi 2x sehari.
Khusus :
- Sistemik :
o metylprednisolon tab 2x1
o Loratadin 1x1
- Topikal :
o Desoximetason 0,25% cream 2x1
Cara pengolesan desoximetason cream : dengan dioleskan 2 kali sehari, sesudah
mandi pagi dan saat malam sebelum tidur.
PROGNOSIS
Quo ad sanationam : Bonam
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad kosmetikum : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Bonam
RSUD ACHMAD MOCHTAR
Ruangan Poliklinik : Kulit dan Kelamin
Dokter : dr. AL
Sip No. 123/sip/2015
Bukittinggi, 13 November 2015
Pro: Ny. N
Umur: 70 Tahun
Sumber :
1. Menaldi,Sri.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FK-UI;
2015.
2. Djuanda, Adhi; dkk. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Jakarta : FKUI.
2007.
3. Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K,
Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. 6th ed. New York: The McGraw-Hill; 2003. h. 1164-1179.
4. Hamman CP, Rodgers PA, Sullivan K. Allergic Contact Dermatitis in Dental
Professionals: Effective Diagnosis and Treatment. J Am Dent Assoc. 2003; 134: 185-
194.
5. Maiphetlho L. Allergies in the Workplace: Contact Dermatitis in the Textile Industry.
Current Allergy and Clinical Immunology. 2007; 20: 28-35.
6. Hogan, D.J , 2009. Iritant Contact Dermatitis. http://emedicine.medscape.com/
dermatology, (12 November 2015).
7. Afifah A. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Dermatitis Kontak
Akibat Kerja Pada Karyawan Binatu. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah. 2012.
8. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of the Skin Clinical
9. Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. h.91-112.
10. Sanja, Maaike J, Maarten M. Individual Susceptibility to Occupational Contact
Dermatitis. Industrial Health. 2009; 47: 469-478.
11. Siregar. Atlas Berwarna : Saripati Penyakit Kulit Ed.2. Jakarta: EGC; 2004