Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir
90% dapat berhenti sendiri.1,2 Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun
dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika
Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada
perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior
sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis
posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau
arteriosklerosis.1,3 Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya
epistaksis.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung

2.1.1 Hidung Luar


Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah antara pipi dan bibir atas.
Struktur hidung luar terbagi atas 3 bagian, yaitu (Mangunkusumo & Wardhani,
2007) :
a. Atas : Kubah tulang yang tidak bisa digerakkan

b. Tengah : Kubah tulang kartilago yang bisa sedikit digerakkan

c. Bawah : Lobulus hidung yang mudah digerakkan


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung (Mangunkusumo & Wardani,2007).
Kerangka tulang terdiri atas :
a. Tulang hidung

b. Prosesus frontalis os maksila

c. Prosesus nasalis os frontal


Kerangka tulang rawan terdiri atas :
a. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

b. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor)

c. Tepi anterior kartilago septum

2.1.2 Hidung Dalam


Bagian hidung dalam terdiri atas bagian yang terdapat antara os internum
di sebelah anterior hingga ke koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung
dengan nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum. Tiap kavum nasi mempunyai
4 dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah adalah konka inferior, yang lebih kecil ialah konka medial, lebih
kecil lagi konka superior, dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter. Diantara konka inferior dan dasar hidung

2
terdapat meatus inferior, diantara konka media dan konka inferior terdapat meatus
medial, dan disebelah atas konka media terdapat meatus superior (Bull, 2002).

Gambar 1. Anatomi Hidung

2.2 Vaskularisasi Hidung

Gambar 2. Vaskularisasi Hidung

3
Hidung diperdarahi oleh arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna.
Bagian atas rongga hidung diperdarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dan arteri karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya yaitu ujung arteri palatina mayor dan arteri sphenopalatina. Bagian
depan hidung diperdarahi oleh cabang dari arteri fasialis.
Pleksus Kiesselbach merupakan anastomosis dari arteri etmoidalis
anterior, arteri palatina mayor, arteri sphenopalatina, dan arteri labialis superior
yang terletak di anterior rongga hidung. Pleksus Kiesselbach letaknya superficial
dan tidak terlindungi sehingga mudah cedera karena trauma. Lebih dari 90%
kasus epistaksis terjadi akibat perdarahan di pleksus Kiesselbach atau sering
disebut Littles area di septum nasal.
Perdarahan posterior berasal dari pleksus Woodruff yang terletak di rongga
hidung bagian belakang atas atau konka media yang merupakan anastomosis dari
arteri sphenopalatina dan arteri etmoidalis posterior (Gifford & Orlandi, 2008).

Gambar 3. Plexus Kiesselbach dan Plexus Woodruff (Santos & Lepore, 2001)

4
2.3 Definisi Epistaksis
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau
nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain
yang kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri. Walaupun jarang, epistaksis
yang berat merupakan masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila
tidak segera ditangani (Mangunkusumo & Wardhani, 2007).

2.4 Etiologi
Epistaksis sering kali timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya. Epistaksis
dapat disebabkan oleh (Mangunkusumo & Wardhani, 2007) :

1. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat
dari trauma yang lebih hebat seperti pukulan, jatuh atau kecelakaan lalu lintas.

2. Kelainan pembuluh darah


Sering merupakan masalah kongenital. Pembuluh darah lebih tipis, lebar,
jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit.

3. Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis
atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis jamur, tuberkulosis,
lupus, sifilis atau lepra.

4. Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Pada angiofibroma
dapat menyebabkan epistaksis berat.

5. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat

5
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi
seringkali hebat dan dapat berakibat fatal.

6. Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,
anemia dan hemophilia.

7. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiektasis hemoragik herediter (Osler-Rendu-Weber disease). Juga dapat di
temukan pada Von Willerband disease.

8. Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbili juga dapat disertai
dengan epistaksis.

9. Perubahan udara
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya
sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di
tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa hidung.

10. Gangguan hormonal


Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormonal.

11. Obat-obatan
Obat topikal hidung seperti antihistamin dan kortikosteroid dapat
menyebabkan iritasi mukosa, terutama bila diaplikasikan langsung pada septum
nasal.

6
2.5 Patofisiologi
Pada orang yang berusia menengah dan lanjut, pemeriksaan arteri kecil
dan sedang terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplit menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.
Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah
terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan
dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma (Munir et
al., 2006).

2.6 Klasifikasi Epistaksis


Berdasarkan lokasinya, epistaksis dapat dibagi atas (Mangunkusumo &
Wardhani, 2007) :
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai, terutama pada anak-
anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan ini bersumber dari pleksus
Kiesselbach (Littles area). Dapat juga berasal dari arteri etmoidalis anterior.
Daerah ini rentan terhadap kelembapan udara yang di inspirasi dan trauma.
Akibatnya dapat terjadi ulkus, ruptur, atau kondisi patologik lainnya yang
selanjutnya akan menyebabkan perdarahan.

Gambar 4 Epistaksis Anterior (Santos & Lepore, 2001)

7
2. Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya
sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit. Sering ditemukan pada pasien
lebih tua dengan hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskuler lainnya.

Gambar 5. Epistaksis Posterior (Santos & Lepore, 2001)

2.7 Diagnosis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan
penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior biasanya
akibat mengorek hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi.
Sedangkan dari bagian posterior atau biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis,
fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa faktor
pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan
tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan.
Anamnesis yang penting ditanyakan antara lain(Adam et al., 1997) :
1. Riwayat perdarahan sebelumnya

2. Lokasi perdarahan

3. Apakah ada darah mengalir kedalam tenggorokan atau keluar dari hidung bila
pasien duduk atau tegak?

8
4. Lama perdarahan dan frekuensinya

5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

6. Hipertensi

7. Diabetes mellitus

8. Penyakit hati

9. Penggunaan antikoagulan

10. Trauma hidung yang belum lama


Pasien yang mengalami perdarahan berulang yang bersifat kronik memerlukan
fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif
yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang
diperlukan berupa :
1. Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka
inferior harus diperiksa dengan cermat.
2. Rinoskopi Posterior
Pemeriksan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari
sumber perdarahan, hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab untuk
mencegah berulangnya perdarahan. Farmakoterapi hanya sebagai terapi
pendukung pada pasien epistaksis. Bila pasien datang dengan epistaksis, periksa
keadaan umumnya, nadi, pernafasan, serta tekanan darah. Bila ada kelainan, atasi
terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus.

1. Perdarahan Anterior

9
Pada epistaksis anterior yang tidak berhenti sendiri, dapat dicoba dihentikan
dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, cara ini seringkali berhasil.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, dapat dikauterisasi dengan larutan Nitrat
Argenti (AgNO3) 25-30%.
Bila perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan
tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau
salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini berfungsi agar tampon mudah
dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau
dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan
harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam,
harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi. Bila perdarahan belum berhenti, dapat
dipasang tampon baru. Pasien juga harus diberikan antibiotik spektrum luas untuk
mencegah infeksi akibat pemasangan tampon(Iskandar, 2006).

Gambar 6. Tampon Anterior

Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat


dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (Metode Trotter).

10
Gambar 7. Metode Trotter

Terapi medikamentosa :

Pada pasien yang dipasang tampon anterior, berikan antibiotik profilaksis.


Vasokonstriktor topikal : Oxymetazoline 0,05%.
-Menstimulasi reseptor alfa-adrenergik sehingga terjadi vasokonstriksi.
-Dosis : 2 3 spray pada lubang hidung setiap 12 jam
Anestesi lokal : lidokain 4%
-Digunakan bersamaan dengan oxymetazolin
-Menginhibisi depolarisasi, memblok transmisi impuls saraf
Salep antibiotik : mopirocin 2% (Bactroban nasal)
-Menghambat pertumbuhan bakteri
-Dosis : 0,5 g pada setiap lubang hidung selama 5 hari

2. Perdarahan Posterior

Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat dilakukan
pemasangan tampon posterior atau yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini
terbuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada
tampon ini terikat 3 buah benang, 2 di satu sisi dan 1 di sisi yang lain. Sebagai
pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon.

Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares


anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik keluar melalui mulut.
Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi

11
tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah
keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain
membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi
perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat
pada kain kasa yang diletakkan ditempat lubang hidung sehingga tampon
posterior terfiksasi. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan
melalui mulut (tidak boleh ditarik terlalu kencang) dan diletakkan pada pipi.
Benag ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.
Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.

Gambar 8. Tampon Posterior dengan tampon Bellocg dan denga


kateter folley

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah


dengan meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber
perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi
sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada
beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung :

12
1. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal arteri tiroid superior untuk
melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna.
Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anastesi lokal. Dibuat insisi horizontal
sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior
muskulus sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, muskulus
sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah
bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkatio karotis kemudian
arteri karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah
arteri faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior
hidung atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk
atau linen.

2. Ligasi Arteri Maksilaris Interna


Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transentral.
Pendekatan ini dilakukan dengan anastesi lokal atau umum, lalu dilakukan insisi
Caldwell Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum
maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan
pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk
menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang,
lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan operatin microscope pada daerah
itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri.
Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina di diseksi dengan
menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan
bipolarelectrocauter dan nervehook. Setelah arteri maksila interna diidentifikasi,
arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-
cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi
antibiotik selama 24 jam.

3. Ligasi Arteri Etmoidalis

13
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi
dengan ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi
dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan
posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior
berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen
etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. Sebelah anterior nervus optikus.
Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita
digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi
dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal.
Dua klem arteri diletakkan pada arteri etmoidalis anterior, dan rongga hidung
dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri etmoidalis posterior jangan
diganggu untuk menghindari trauma nervus optikus. Tetapi bila perdarahan
persisten, arteri etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.

2.9 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis itu sendiri atau sebagai
akibat dari upaya penanggulangan epistaksis yang dilakukan. Perdarahan yang
hebat dapat menyebabkan aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat
menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara
mendadak dapat menyebabkan hipoksia, edema serebri, insufisiensi koroner
sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian (Iskandar, 2006).
Pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan rino-sinusitis, bloody tears
(akibat darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis), dan
septikemia atau toxic shock syndrome. Pemasangan tampon posterior dapat
menyebabkan otitis media, hemotimpanum (akibat darah mengalir melalui tuba
Eustachius), dan laserasi palatum mole atau sudut bibir jika benang yang keluar
dari mulut terlalu ketat dilekatkan di pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak
boleh di pompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung
atau septum.
Pada pasien yang di pasang tampon harus selalu diberikan antibiotik dan
setelah 2-3 hari, tampon harus di cabut. Bila perdarahan masih berlanjut, pasang
tampon baru.

14
2.10 Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering
kambuh dan prognosisnya buruk.

15
BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu
penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan
tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal.
Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua
berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Prinsip
penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber
perdarahan, hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan.

DAFTAR PUSTAKA

16
1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa :
Caroline W. Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993:224 37.
2. Arsyad Soepardi, Efiaty, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL. Edisi
VI. Jakarta : FKUI.
3. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease a
Problem-
Oriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc,1998: 43 9.
4. Shah AG, Stachler RJ, Krouse JH. Endoscopic ligation of the sphenopalatine
artery as a primary management of severe posterior epistaxis in patiens with
coagulopathy. Ear Nose Throat J. 2005. Vol. 84 (5): 296 7.
5. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal of Medicine[serial online]2009,
feb 19 [cited 2009 feb 28] Available from:
http//content.neim.org/cgi/content/full/360/8/784.
6. Evans JA. Epistaxis. Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007
Nov 28[cited Mar 2] Available from:
http//emedicine.medscape.com/article/764719-treatment.
7. Vaghela HM. Foley catheter posterior nasal packing. Clin Otolaryngol, 2005.
Vol. 30(2): 209 10.
8. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket
reference. Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994:
170 80 dan 253 60.
9. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior Epistaxis: Identification of
common bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol.115 (4): 588 90.
10. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih
bahasa staf ahli bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa
Aksara,1994: 1 27, 112 6.
11. Sys L, van den Hoogen FJ. Rendu-Osler-Weber disease. Ned Tijdschr
Tandheelkd. 2005. Vol. 112 (9): 336 9.
12. Yang DZ, Cheng JN, Han J, Shu P, ZhangH. Management of Intactable
Epistaxis and Bleeding Points Lokalization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40
(5): 360 2.

17

Anda mungkin juga menyukai