Anda di halaman 1dari 35

KARAKTERISTIK MORFOTEKTONIK SUB DAS CIKAPUNDUNG

BAGIAN HULU KECAMATAN LEMBANG KABUPATEN BANDUNG

BARAT

Proposal: Tugas Akhir

Oleh :

SUPRIYADI

270110130023

Ditujukan Kepada :

FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bentang alam merupakan hasil dari peristiwa geologi yang berkembang

baik itu dipengaruhi oleh tenaga endogen maupun eksogen termasuk dengan

keterbentukan DAS (Daerah Aliran Sungai). DAS sangat erat kaitannya dengan

proses proses geologi yang menyertainya..Morfotektonik mempelajari tentang

segala hal menyangkut hubungan antara struktur geologi dengan bentukan lahan

(Stewart dan Hancock, 1994). Morfotektonik mempelajari tentang segala hal yang

menyangkut hubungan antara struktur geologi dengan bentuk lahan atau lebih

spesifik lagi hubungan antara struktur neotektonik dan bentuk lahan (Stewart dan

Hancock, 1994). Morfotektonik akan dipengaruhi oleh kondisi morfologi dan

proses tektonik yang terjadi pada masa lalu, karena morfologi memiliki dimensi

ruang dan tektonik mempunyai dimensi waktu.

Dengan penilaian secara kuantitatif, morfologi suatu daerah dapat

mengindikasikan gaya apa yang berpengaruh di kawasan tersebut. Pengukuran

kuantitatif dilakukan dengan mengikuti kaidah geomorfologi sebagai objek

perbandingan bentuk lahan dan perhitungan parameter secara langsung terhadap

indikasi geomorfik yang sangat berguna untuk identifikasi kerakteristik suatu

wilayah atau tingkatan aktifitas tektonik.


Melalui foto udara atau citra indraan jauh dapat terlihat bentuk topografi

yang telah mengalami perpindahan sehingga memberikan kenampakan

morfotektonik berupa pola aliran, gawir sesar, kenampakan teras sungai, dll.

Indikasi geomorfik tersebut merupakan bagian yang sangat penting pada studi

tektonik karena dapat digunakan untuk mengevaluasi secara cepat pada suatu

daerah yang luas.

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan aspek-aspek berikut :

1. Bagaimana karakteristik morfotektonik Sub DAS Cikapundung bagian hulu ?

2. Apakah ada atau tidaknya sesar aktif di daerah penelitian ?

3. Apa potensi bencana di daerah penelitian ?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan aspek-aspek berikut :

1. Mengetahui karakteristik morfotektonik Sub DAS Cikapundung bagian hulu.

2. Memgetahui ada atau tidaknya sesar aktif di daerah penelitian.

3. Apa potensi bencana di daerah penelitian.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mengetahui karakteristik morfotektonik DAS

Sub DAS Cikapundung Bagian Hulu Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung


Barat yang kemudian menganalisa keterdapatan sesar aktif dan zona-zona

potensial bencana khususnya bencana alam diakibatkan oleh aktifitas tektonik.

1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi daerah penelitian secara administratif berada di Kecamatan

Lembang Kabupaten Bandung Barat , Provinsi Jawa Barat. Untuk sampai ke

lokasi penelitian dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor 1,5

jam dari Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang.

Secara geografis terletak pada koordinat 107 35' 45,5316" - 107 44'

55,4172" BT dan -6 53' 8,3364"- 6 45' 53,3196" LS dengan luas daerah

penelitian sebesar 103,1 km2.

Daerah Penelitian termasuk kedalam Lembar Peta Rupa Bumi Skala I : 25000

Lembar Lembang ( Lembar 1209 314 ), Lembar Cimahi ( Lembar 1209 313 )

dan Lembar Bandung ( Lembar 1209 311 ).

Gambar 1.1 Peta Lokasi Daerah Penelitian ( Tanpa Skala )


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiografi Jawa Barat

Van Bemmelen (1949); dalam Martodjojo (1984), membagi Jawa Barat

menjadi empat daerah fisiografi, yaitu Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of

Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone), Zona Bandung (Bandung Zone), dan

Pegunungan Selatan Jawa Barat (Southern Mountain of West Java). Adapun

uraian pembagiannya adalah sebagai berikut (Gambar 2.1):

Gambar 2.1. Pembagian zona Fisiografi Provinsi Jawa Barat (Van Bemmelen,

1949)
2.1.1 Zona Dataran Pantai Jakarta

Zona ini memanjang Barat Timur dari kota serang dan rangkasbitung sampai

kota cirebon dengan lebar sekitar 40 km. Zona ini tersusun atas endapan sungai

berupa alluvium, endapan lahar gunung api, dan sedikit sedimen laut tersier

sebagai hasil perlipatan.

2.1.2 Zona Bogor

Zona Bogor terletetak di sebelah selatan zona dataran pantai jakarta yang

dicirikan dengan morfologi perbukitan yang memanjang dari Jassinga sampai

Sungai Pemali dan Bumiayu di Provinsi Jawa Tengah dengan lebar sekitar 40 km.

Zona Bogor terdiri atas antiklinorium yang terlipat kuat berumur neogene dan

banyak intrusi batuan beku di bagian barat. Menurut Soejono Martodjojo, Intrusi

yang membentuk morfologi di zona bogor memiliki relief lebih terjal dibanding

zona bandung yang berada di sebelah selatannya.

2.1.3 Zona Bandung

Menurut Van Bemmelen, zona Bandung mmerupakan zona depresi diantara

gunung gunung yang memanjang dari Pelabuhan Ratu melengkung ke arah

Timur ke Lembah Cimandiri (Sukabumi), Cianjur, Bandung, garut, dan menerus

sampai Segara Anakan di pesisir selatan Jawa Tengah. Van Bemmelen juga

menyatakan bahwa zona ini merupakan puncak dari geantiklin Pulau Jawa yang

diperkirakan runtuh kala Tersier lalu diisi oleh endapan gunung api muda. Batas

antara zona Bandung dan zona Bogor sendiri tidak akan terlalu jelas di lapangan

karena tertutup oleh endapan gunung api muda.


Secara fisik, bentang alam wilayah Bandung dan sekitarnya yang termasuk

ke dalam Cekungan Bandung, merupakan cekungan berbentuk lonjong (elips)

memanjang berarah timur tenggara barat barat laut. Cekungan Bandung ini

dimulai dari daerah Nagreg di sebelah timur sampai ke Padalarang di sebelah ba-

rat dengan jarak horizontal lebih kurang 60 km. Sementara itu, jarak utara

selatan mempunyai lebar sekitar 40 km. Cekungan Bandung ini hampir dikelilingi

oleh jajaran kerucut gunung api berumur Kuarter, di antaranya di sebelah utara

terdiri atas kompleks Gunung Burangrang Sunda Tangkubanparahu, Gunung

Bukittunggul, tinggian batuan gunung api Cupunagara, Gunung Manglayang, dan

Gunung Tampomas. Batas timur berupa tinggian batuan gunung api Bukitjarian,

Gunung Karengseng Gunung Kareumbi, kompleks batuan gunung api Nagreg

sampai dengan Gunung Mandalawangi. Batas selatan terdiri dari kompleks

gunung api Kamojang, Gunung Malabar, Gunung Patuha dan Gunung Kendeng.

Hanya di sebelah barat, Cekungan Bandung dibatasi oleh batuan gunung api

berumur Tersier dan batugamping yang termasuk ke dalam Formasi Rajamandala

(Sudjatmiko,1972 dalam Sutikno Bronto dan Udi Hartono 2006 ).

2.1.4 Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat

Zona pegunungan selatan memanjang dari Timur pelabuhan ratu melewati

Lembah Cimandiri sampai Nusa kambangan dengan lebar 50 km. Zona

pegunungan selatan ini telah diteliti oleh Pannekoek (1946) yang membagi zona

ini hingga 19 morfologi dan secara fisiografi dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Bagian barat disebut sebagai bagian Jampang, dengan morfologi dataran tinggi

dimana terhubung dengan zona bandung melalui sesar.

2. Bagian tengah disebut dengan bagian Pangalengan, dimana memiliki morfologi

yang lebih tinggi dengan gunung api tertinggi setinggi 2182 mdpl (Gn. Kancana)

3. Bagian Timur disebut dengan bagian Karanunggal, dimana memiliki ketinggian

mirip dengan bagian Jampang di wilayah barat.

Dilihat dari pembagian zona fisiografi mengikuti Van Bemmelen (1949),

Daerah penelitian yang terletak di Cekungan Bandung Bagian Utara, termasuk

kedalam bagian fisiografi Zona Bandung.

2.2 Stratigrafi Regional

Gambar 2.2 Peta Geologi Regional Daerah Penelitian ( Sebagian Peta Geologi

Skala 1 : 100.000 Lembar Bandung Oleh Silitonga, 1973 )


Menurut Silitonga (1973), endapan tertua pada wilayah daerah penelitian

secara regional merupakan endapan hasil vulkanik tua tak teruraikan dengan

litologi breksi gunungapi, lahar, dan lava berselang-seling. Satuan ini berumur

Pleistosen Atas dan satuan ini pula disamakan kepada Formasi Cikapundung oleh

Koesoemadinata dan Hartono (1981) dan merupakan bagian dari Zona

Pegunungan Kompleks Sunda Yang Telah Padam pada stratigrafi oleh

Bemmelen(1949).

Selanjutnya, Silitonga (1973) mengatakan bahwa endapan tersebut diikuti

oleh Endapan Hasil Volkanik Lebih Muda Tak Teruraikan, dengan litologi pasir

tufaan, lapili, breksi, lava, dan agglomerat. Satuan ini berumur Holosen dan

satuan ini disamakan dengan Formasi Cibeureum dan Formasi Kosambi pada

Koesoemadinata dan Hartono (1981) serta merupakan bagian muda dari Zona

Pegunungan Kompleks Sunda Yang Telah Padam pada stratigrafi oleh Bemmelen

(1949).

Endapan setelahnya diikuti oleh Endapan Kolovium yang terdiri dari

reruntuhan hasil volkanik tua, endapan ini disamakan dengan Formasi Cikadang

pada Koesoemadinata dan Hartono (1981) Endapan Kolovium dan Endapan

Aluvium merupakan satuan yang berumur Holosen, dimana Endapan Kolovium

relatif lebih tua daripada Endapan Aluvium.

Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa bagian barat tidak

terlepas dari teori tektonik lempeng, dimana kepulauan Indonesia merupakan titik

pertemuan antara tiga lempeng yaitu lempeng Eurasia yang relatif lebih diam,
lempeng Samudra Pasifik yang bergerak relatif kearah baratlaut dan lempeng

Indo- Australia yang relatif bergerak ke arah Utara (Hamilton, 1979).

Berdasarkan rekonstruksi geodinamika (Hamilton, 1979), subduksi lempeng

Australia ke bawah lempeng Eurasia yang aktif pada Eosen telah menghasilkan

pola penyebaran batuan Vulkanik Tersier di Pulau Jawa. Selain terjadi

pembentukan gunung api berarah Barat-Timur, terbentuk juga suatu cekungan

tengah busur dan kemudian cekungan belakang busur di Jawa Barat bagian Utara.

Cekungan belakang busur ini secara progresif semakin berpindah kearah Utara

sejalan dengan perpindahan jalur gunung api selama Tersier hingga Kuarter

(Hall, 2000).

Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyebutkan terdapat 4 pola struktur

dominan yang berkembang di Pulau Jawa, diantaranya adalah (Gambar 2.4):

Gambar 2.3 Peta Pola Sesar Pulau Jawa Menurut Pulunggono dan Martodjojo

(1994)
1.Pola Meratus berarah timur laut-barat daya (NE-SW) terbentuk pada 80 sampai

53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir Eosen Awal), sangat dominan di daerah

lepas pantai Jawa Barat dan menerus hingga ke Banten.

2. Pola Sunda berarah utara-selatan (N-S ) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun

yang lalu (Eosen Awal Oligosen Awal),

3. Pola Struktur Sumatera berarah Barat Laut-Tenggara sejajar dengan arah

sumbu panjang Sumatera. Pola ini tidak terlalu dominan di Daerah Jawa Barat.

Pola ini mungkin hanya melibatkan batuan dasar dan ditafsirkan sebagai

kelanjutan dari jejak tektonik yang tua di Sumatra (Asikin, 1997)

4.Pola Jawa berarah Barat-Timur (E-W) te rbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu

merupakan pola struktur yang paling muda, memotong dan merelokasi Pola

Struktur Meratus dan Pola Struktur Sunda.

Menurut Martodjojo (1984), perbedaan pola st ruktur ini diakibatkan oleh

perubahan tatanan tektonik yang dipengaruhi oleh evolusi jalur subduksi yang

diantaranya disebabkan oleh perubahan kemiringan lempeng yang menunjam,

perubahan kedalaman zona Benioff dan perubahan arah subduksi. Aktifitas

Tersier Pulau Jawa terjadi dalam satu periode menerus Sejak Eosen Akhir hingga

Pliosen Akhir, mulai dari 42 juta tahun lalu di daerah Pacitan sampai 32 juta

tahun lalu di Karangkobar. Dari perubahan afinitas magmatik yang terjadi selama

masa tersebut dapat disimpulkan bahwa jalur magmatik telah bergeser dari

selatan Pulau Jawa kearah lebih Utara dan kemudian kembali kearah Selatan

yang ditandai dengan jalur gunung api Resen.


Struktur geologi yang berkembang di Jawa bagian barat secara umum

memiliki pola struktur utama diantaranya yaitu:

1) Sesar Cimandiri

Sesar ini berarah barat daya-timur laut, sesar naik Rajamandala serta

sesar-sesar lainnya di Purwakarta. Arah ini sering di kenal dengan arah

Meratus yaitu arah yang mengikuti pola busur Kapur (Hamilton, 1979),

2) Sesar Baribis

Sesar ini beraarah Barat Laut -Tenggara dan sesar-sesar di G.Walat, serta

arah Utara-Selatan berupa kelurusan Ciletuh-P.Seribu, dilepas pantai utara

Jawa Barat yang merupakan pola sesar utama. Sesar-sesar utama berarah

Utara-Selatan di Laut Jawa dan di Cekung an sunda telah terbukti sebagai

komponen struktur yang mengontrol perkembangan cekungan berumur

Paleogen di daerah tersebut.

2.3 Geomorfologi

Geomorfologi Pulau Sulawesi terbentuk akibat tabrakan dua pulau yaitu

Sulawesi bagian Timur dan Sulawesi bagian Barat (A. Katili, 1963). Tabrakan ini

terjadi antara 19 sampai 13 juta tahun yang lalu, terdorong oleh tabrakan antara

lempeng benua yang merupakan pondasi Sulawesi Timur bersama Pulau-pulau

Banggai dan Sula yang pada gilirannya merupakan bagian dari lempeng Australia

dengan Sulawesi Barat yang satu lempeng dengan pulau-pulau Kalimantan, Jawa

dan Sumatera. (A. Katili, 1963).


Dan menurut Van Lueewen (1994) bahwa pulau Sulawesi secara tektonik

terletak pada suatu kawasan dimana lempeng Eurasia Australia dan Pasifik

bertabrakan untuk membentuk struktur subduksi. Maka dari itulah Sulawesi

memiliki daerah yang rumit. Berdasarkan peta Regional bahwa daerah penelitian

merupakan daerah pegunungan dan perbukitan.

2.4 Morfometri DAS

Morfometri DAS, didefinisikan sebagai aspek kuantitatif suatu bentuk

lahan Van Zuidam (1983), morfometri DAS merupakan suatu cara untuk

mengetahui nilai kuantitatif jaringan sungai. Pada morfometri umumnya berkaitan

dengan topografi, batuan dan iklim suatu daerah. Unsur morfometri DAS sendiri

diantaranya adalah luas, panjang, lebar, bentuk dan orde tingkat percabangan

sungai, kerapatan sungai serta pola pengaliran sungai.

2.4.1 Luas, panjang, dan lebar DAS.

Luas, panjang dan lebar tiap DAS akan berbeda diperkirakan dengan

melakukan pengukuran daerah tersebut pada peta topografi menurut Hidayat

(2008); Raditya (2012) luas DAS tertentu akan berkaitan dengan bentuk DAS

sendiri secara umum memiliki bentuk sempit memanjang dan bentuk lebar. Kedua

bentuk ini akan mempengaruhi bentuk hidrografi pengaliran sungai.


2.4.2 Bentuk DAS

Penentuan koefisien bentuk DAS dapat ditentukan berdasarkan luas DAS,

dan kuadran panjang sungai utama. Bentuk DAS sendiri dibagi menjadi 4 tipe

menurut Sosrodarsono dan Takeda (1987).

1. Bentuk DAS bulu burung, yang memiliki jalur anak sungai di kiri dan di

kanan sungai utama, kemudian mengalir menuju sungai utama. Karakter

lain bentuk DAS ini memiliki debit banjir yang relatif kecil dibandingkan

DAS lainnya.

Gambar 2.4 Bentuk DAS Bulu burung.

2. Bentuk DAS radial, yang bentuknya menyerupai kipas atau lingkaran

dengan banyak anak sungai yang menuju ke satu titik, karakter lain dari

DAS ini memiliki debit banjir yang relatif besar.


Gambar 2.5 Bentuk DAS Radial.

3. Bentuk DAS paralel, merupakan DAS yang memiliki aliran sungai sejajar

dan bersatu dengan bagian hilir.

Gambar 2.6 Bentuk DAS Paralel.

4. Bentuk DAS kompleks, yang memiliki beberapa bentuk DAS.

Gambar 2.7 Bentuk DAS Kompleks.

2.4.3 Pola Aliran Sungai

Pola pengaliran sungai merupakan kumpulan dari suatu jaringan

pengaliran yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi curah hujan (Howard, 1967).
Howard (1967) telah membagi pola pengaliran menjadi pola pengaliran

dasar dan pola pengaliran modifikasi (Gambar 3.1). Pola pengaliran dasar

merupakan suatu pola pengaliran yang mempunyai ciri khas tertentu yang dapat

dibedakan dengan pola pengaliran lainnya, sedangkan pola pengaliran modifikasi

merupakan pola pengaliran yang agak berbeda dan berubah dari pola dasarnya,

namun pola umumnya tetap tergantung pada pola dasarnya.

Gambar 2.8 Pola pengaliran sungai: (A) Pola pengaliran dasar; (B) Pola

pengaliran modifikasi (Howard, 1967)


Tabel 2.1 Pola pengaliran dasar dan karakteristiknya (Zuidam, 1985).

Pola
Karakteristik
Pengaliran

Dasar

Dendritik Bentuk umum seperti daun, berkembang pada batuan dengan

kekerasan relatif sama, perlapisan batuan sedimen relatif

datar serta tahan akan pelapukan, kemiringan landai, kurang

dipengaruhi struktur geologi.

Paralel Bentuk umum cenderung sejajar, berlereng sedang-agak

curam, dipengaruhi struktur geologi, terdapat pada

perbukitan memanjang dipengaruhi perlipatan, merupakan

transisi pola dendritik dan trelis.

Trelis Bentuk memanjang sepanjang arah jurus perlapisan batuan

sedimen, induk sungainya seringkali membentuk lengkungan

menganan memotong kepanjangan dari alur jalur

punggungannya. Biasanya dikontrol oleh struktur lipatan.

Batuan sedimen dengan kemiringan atau terlipat, batuan

vulkanik serta batuan metasedimen berderajat rendah dengan

perbedaan pelapukan yang jelas. Jenis pola pengalirannya

berhadapan pada sisi sepanjang aliran subsekuen.


Rektangular Induk sungai dengan anak sungai memperlihatkan arah

lengkungan menganan, pengontrol struktur atau sesar yang

memiliki sudut kemiringan, tidak memiliki perulangan

perlapisan batuan dan sering memperlihatkan pola pengaliran

yang tidak menerus.

Radial Bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya terjadi pada

kubah intrusi, kerucut vulkanik dan bukit yang berbentuk

kerucut serta sisa erosi. Memiliki dua sistem, sentrifugal

dengan arah penyebaran keluar dari pusat (berbentuk kubah)

dan sentripetal dengan arah penyebaran menuju pusat

(cekungan).

Anular Bentuk seperti cincin yang disusun oleh anak-anak sungai,

sedangkan induk sungai memotong anak sungai hampir tegak

lurus. Mencirikan kubah dewasa yang sudah terpotong atau

terkikis dimana disusun perselingan batuan keras dan lunak.

Juga berupa cekungan dan kemungkinan stocks.

Multibasinal Endapan permukaan berupa gumuk hasil longsoran dengan

perbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar,

merupakan daerah gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan

gamping serta lelehan salju atau permafrost.


Kontorted Terbentuk pada batuan metamorf dengan intrusi dike, vein

yang menunjukkan daerah yang relatif keras batuannya,

Anak sungai yang lebih panjang ke arah lengkungan

subsekuen, umumnya menunjukkan kemiringan lapisan

batuan metamorf dan merupakan pembeda antara

penunjaman antiklin dan sinklin.

Tabel 2.2 Pola pengaliran modifikasi dan karakteristiknya (Howard, 1967).

Pola Karakteristik

Pengaliran

Dasar

Dendritik Bentuk umum seperti daun, berkembang pada batuan dengan

kekerasan relatif sama, perlapisan batuan sedimen relatif datar

serta tahan akan pelapukan, kemiringan landai, kurang

dipengaruhi struktur geologi.

Paralel Bentuk umum cenderung sejajar, berlereng sedang-agak curam,

dipengaruhi struktur geologi, terdapat pada perbukitan

memanjang dipengaruhi perlipatan, merupakan transisi pola

dendritik dan trelis.


Trelis Bentuk memanjang sepanjang arah jurus perlapisan batuan

sedimen, induk sungainya seringkali membentuk lengkungan

menganan memotong kepanjangan dari alur jalur

punggungannya. Biasanya dikontrol oleh struktur lipatan.

Batuan sedimen dengan kemiringan atau terlipat, batuan

vulkanik serta batuan metasedimen berderajat rendah dengan

perbedaan pelapukan yang jelas. Jenis pola pengalirannya

berhadapan pada sisi sepanjang aliran subsekuen

Rektangular Induk sungai dengan anak sungai memperlihatkan arah

lengkungan menganan, pengontrol struktur atau sesar yang

memiliki sudut kemiringan, tidak memiliki perulangan

perlapisan batuan dan sering memperlihatkan pola pengaliran

yang tidak menerus.

Radial Bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya terjadi pada kubah

intrusi, kerucut vulkanik dan bukit yang berbentuk kerucut

serta sisa erosi. Memiliki dua sistem, sentrifugal dengan arah

penyebaran keluar dari pusat (berbentuk kubah) dan sentripetal

dengan arah penyebaran menuju pusat (cekungan).

Anular Bentuk seperti cincin yang disusun oleh anak-anak sungai,


sedangkan induk sungai memotong anak sungai hampir tegak

lurus. Mencirikan kubah dewasa yang sudah terpotong atau

terkikis dimana disusun perselingan batuan keras dan lunak.

Juga berupa cekungan dan kemungkinan stocks.

Endapan permukaan berupa gumuk hasil longsoran dengan

Multibasinal perbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar, merupakan

daerah gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan gamping serta

lelehan salju atau permafrost.

Kontorted Terbentuk pada batuan metamorf dengan intrusi dike, vein

yang menunjukkan daerah yang relatif keras batuannya, Anak

sungai yang lebih panjang ke arah lengkungan subsekuen,

umumnya menunjukkan kemiringan lapisan batuan metamorf

dan merupakan pembeda antara penunjaman antiklin dan

sinklin.

2.4.4 Orde dan Tingkat Percabangan

Dalam perhitungan kuantitatif DAS penentuan orde dan tingkat

percabangan sungai menjadi salah satu hal penting yang perlu diperhatikan.

Sungai merupakan posisi percabangan serta alur sungai dalam suatu DAS.

Menurut Staddler (1992), menentukan orde sungai yaitu segmen yang tidak

memiliki percabangan merupakan orde pertama. Kemudian apabila segmen


pertama bertemu dengan segmen pertama lainnya akan bergabung membentuk

segmen kedua, dan seterusnya. Namun apabila satu segmen bertemu dengan

segmen lainnya tetapi berbeda orde maka nilai segmen yang diambil adalah

segmen yang memiliki orde lebih besar, Rb (ratio bifurcation) memiliki cabang

sungai kurang dari 3 atau lebih dari 5 maka diidentifikasikan DAS tersebut telah

mengalami deformasi akibat pengaruh tektonik (Verstappen, 1983).

Gambar 2.9 Penentuan Orde Sungai Metode Strahler

Untuk menghitung tingkat percabangan sungai dapat digunakan rumus:

Keterangan :

Rb = Indeks tingkat percabangan sungai

Nu = jumlah alur sungai untuk orde ke u

Nu + 1 = jumlah alur sungai untuk orde ke u + 1


2.4.5 Kerapatan Sungai

Kerapatan sungai merupakan perbandingan antara banyak sungai dan anak

sungai terdapat dalam suatu DAS dengan luas tertentu. Kerapatan sungai yang

besar pada umumnya ditentukan pada daerah yang memiliki jenis tanah yang

mudah tererosi dan kedap terhadap air. Sedangkan kerapatan sungai yang rendah

pada umumnya ditentukan pada daerah yang memiliki jenis tanah yang tidak

mudah tererosi.

Besarnya indeks kerapatan sungai tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan

rumus (Priyono dan Savitri, 1997; dalam Hidayah, 2008) sebagai berikut:

Dd =

Keterangan:

Dd : Indeks kerapatan sungai (km/km2)

L : Panjang sungai total (km)

A : Luas DAS (km2)


Tabel 2.3 Klasifikasi nilai Dd (Soewarno, 1991)

Indeks (Dd)
No. Penilaian Keterangan
2
km/km

1. < 0,25 Rendah Jika nilai Dd rendah maka alur sungai

melewati batuan dengan resistensi keras

2. 0,25 10 Sedang sehingga angkutan sedimen yang

terangkut aliran sungai lebih kecil.

3. 10 25 Tinggi Jika nilai Dd sangat tinggi maka alur

sungainya melewati batuan kedap air.

Keadaan ini akan menunjukkan bahwa


4. > 25 Sangat Tinggi
air hujan yang menjadi aliran akan lebih

besar.

2.5 Morfotektonik

Morfotektonik mempelajari tentang segala hal menyangkut hubungan

antara struktur geologi dengan bentukan lahan (Stewart dan Hancock, 1994).

Morfotektonik akan dipengaruhi oleh kondisi morfologi dan proses

tektonik yang terjadi pada masa lalu, karena morfologi memiliki dimensi ruang

dan tektonik mempunyai dimensi waktu. Bentukan lahan tektonik akan


mengekspresikan bentukan topografi yang dapat dijadikan indikator telah terjadi

pergerakan tektonik. Bentuk topografi yang telah mengalami perpindahan dapat

terlihat dan teramati melalui foto udara dan citra yang memberikan kenampakan

morfotektonik berupa pola aliran sungai, perpindahan perbukitan, pembelokan

sungai, kelurusan, gawir sesar, dan kenampakan teras sungai. Sedangkan bentuk

topografi yang mengalami pergerakan pada umur yang lebih tua akan sulit diamati

oleh foto udara karena telah tertutup oleh sedimentasi dan tererosi (Aditya, 2011).

2.5.1 Sinusitas Muka Gunung ( Mountain Front Sinousity/ Smf )

Smf adalah sinusitas muka gunung, Lmf adalah panjang dari muka gunung

dan Ls adalah garis tegak lurus dari muka gunung (Bull dan McFadden, 1977,

dalam Doornkamp, 1986). Nilai Smf merupakan perbandingan antara Lmf dan Ls.

Smf = Lmf/Ls

Lmf adalah panjang pegunungan muka sepanjang bagian bawah.

Ls adalah panjang secara lurus pegunungan muka.


Gambar 2. 5 Metode perhitungan pegunungan muka (Keller dan Pinter,

1996).

Smf merupakan suatu indek yang mencerminkan keseimbangan antara

gaya/ kekuatan erosi yang mempunyai kecenderungan memotong sepanjang

lekukan pegunungan muka dan kekuatan tektonik yang menghasilkan secara

langsung pegunungan muka dan bertepatan dengan zona sesar aktif yang

mencerminkan tektonik aktif. Smf dengan nilai rendah berkaitan dengan tektonik

aktif dan pengangkatan secara langsung. Apabila kecepatan pengangkatan

berkurang, maka proses erosi akan memotong pegunungan muka secara tak

beraturan dan nilai Smf akan semakin bertambah. Smf sangat mudah untuk

dihitung dari peta topografi atau foto udara dengan skala besar dan resolusi tinggi.

Apabila menggunakan skala kecil, maka lekukan pegunungan muka yang

berbentuk tidak teratur tidak akan tercermin dengan baik.

Nilai Smf yang dihasilkan akan menunjukkan tingkat keaktifan daerah

tersebut. Kemudian nilai tersebut akan diklasifikasikan sesuai dengan


tingkatannya apakah termasuk kedalam tektonik sangat aktif, aktif sedang atau

tidak aktif. Klasifikasi tersebut mengikuti indeks Bull dan McFadden (1977)

dalam doornkamp (1986).

Kelas 1 ( nilai Smf = 1,2 1,6 )

Merupakan tektonik aktif berasosiasi dengan bentang alam kipas aluvial,

cekungan pengaliran memanjang, dasar lembah menyempit kemiringan lereng

curam.

Kelas 2 (nilai Smf = 1,8 3,4)

Merupakan tektonik sedang atau kurang aktif. Memiliki bentang alam

seperti parit dari kipas aluvium, cekungan yang luas, kemiringan lereng yang

curam, dataran lembah yang lebih lebar daripada dataran banjir.

Kelas 3 (nilai Smf = 2,0 7,0)

Merupakan tektonik tidak aktif. Bentang alam yang termasuk diantaranya

sistem pengaliran yang berasosiasi dengan pola perbukitan.

2.5.2 Perbandingan lebar dan tinggi lembah (ratio of valley floor width to

valley height)

Rasio lebar dan tinggi lembah (Vf) diekspresikan dengan persamaan

Vf = 2 Vfw / ( Eld Esc ) + ( Erd Esc )


Keterangan :

Vfw adalah lebar dasar lembah

Eld dan Erd adalah elevasi bagian kiri dan kanan lembah

Esc adalah elevasi dasar lembah

Nilai Vf tinggi berasosiasi dengan kecepatan pengangkatan rendah,

sehingga sungai akan memotong secara luas pada dasar lembah dan bentuk

lembah akan semakin melebar. Sedangkan nilai Vf rendah akan merefleksikan

lembah dalam dan mencerminkan penambahan aktivitas sungai, hal ini berasosiasi

dengan kecepatan pengangkatan. Gambar 7 menampilkan metode perhitungan Vf.

Gambar 2.6 Metode perhitungan rasio lebar dan tinggi lembah (Keller dan

Pinter, 1996).
BAB III

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Objek-objek yang menjadi bahan kajian pada penelitian ini antara lain:

1. Bentang alam, berupa perbukitan, pedataran dan lain sebagainya, yang dapat

diidentifikasi melalui media citra satelit, peta topografi maupun observasi

lapangan.

2. Karakteristik morfometri tiap sub-DAS pada daerah penelitian yang meliputi

luas DAS, bentuk DAS atau pun sub-DAS, orde dan rasio cabang sungai,

kerapatan sungai, dan pola pengaliran sungai.

3. Indikasi struktur geologi di DAS daerah penelitian yang diperoleh melalui analisis

kelurusan punggungan DEM, kelurusan sungai, data kekar, data cermin sesar, dan

berdasarkan Peta Geologi Regional hasil peneliti terdahulu.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


Pada pelaksanaan penelitian ini diperlukan alat-alat yang lengkap guna

menunjang kegiatan penelitian agar memperoleh hasil yang baik. Peralatan-

peralatan yang digunakan tersebut adalah:

1. Peta Rupa Bumi Digital Indonesia terbitan BAKOSURTANAL dengan skala

1:25.000.

2. Peta Geologi Bersistem Indonesia terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan

Geologi dengan skala 1:100.000

3. Citra Satelit guna mendukung kegiatan lapangan maupun analisis studio.

4. Perangkat komputer

5. Software Map info, Dips dan Global Mapper.

6. Alat GPS, digunakan untuk menentukan titik lokasi pada peta dasar.

7. Kompas geologi, digunakan untuk mengukur arah jurus dan kemiringan

batuan serta unsur-unsur struktur.

8. Buku lapangan dan alat tulis, digunakan untuk mencatat hasil pengamatan

singkapan di lapangan dan mencatat posisi singkapan.

9. Kamera, digunakan sebagai alat dokumentasi.

10. Tas lapangan (day pack)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini lebih menekankan pada analisis studio dengan menggunakan

pendekatan analisis penginderaan jauh dan geomorfologi kuantitiatif namun

dilakukan pengambilan data lapangan salah satunya adalah pengambilan data


kekar. Pendekatan geomorfologi kuantitiatif dilakukan dengan melakukan

perhitungan morfometri DAS dan indeks geomorfik DAS maupun non DAS.

Perhitungan morfometri DAS meliputi perhitungan gradien sungai, orde dan

tingkat percabangan sungai (Bifurcation Ratio / Rb) , kerapatan sungai (Dd),

Nisbah tekstur ( Rt ) nisbah Kelonjongan ( Re ), nisbah kebundaran ( Rc ), nisbah

bentuk ( Rf ). Sedangkan perhitungan indeks geomorfik DAS maupun non DAS

berupa kurva hipsometrik (hyrsometric curve), Sinusitas Muka Pegunungan (

Mountain Front Sinuosity / Smf), dan perbandingan lebar dan tinggi lembah (

ratio of valley floor width to valley height / Vf ). Hal ini disebabkan karena

penelitian ini bertujuan untuk menganalisis suatu kawasan.

3.4 Rencana Penelitian

Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian

2017

Februar Maret April Mei


4. No Kegiatan
i

2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Studi Literatur

Akuisisi Data
2 Studio dan
Lapangan
3 Analisis Data

Penyusunan
4
Laporan

5 Presentasi
BAB IV

PENUTUP

Demikian proposal Tugas Akhir ini saya susun dengan sebaik-baiknya.

Besar harapan saya agar kiranya proposal ini dapat menjadi bahan pertimbangan

untuk melaksanakan Tugas Akhir.

Dengan segala keterbukaan tidak menutup kemungkinan tema yang

diambil dapat berubah sesuai dengan keadaan di tempat Kerja Praktik dan Tugas

Akhir dilaksanakan. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih atas perhatian dan

kerjasama yang telah diberikan.

Jatinangor, Febuari 2017

Mahasiswa peneliti,

Supriyadi

270110130023
DAFTAR PUSTAKA

Javed, Akram, Mohd Y Khanday, Rizwan Ahmed. 2009. Prioritization of

Subwatershed based on morphometric and land use analysis using remote

sensing and GIS technique. J. Indian Soc. Remote Sens. 37 : 261-274.

Keller, E.A., and Pinter, N. 1996. Active tectonic earthquake, uplift and

landscape, Prentice hall, Upper saddle river, New Jersey

Martodjojo, S dan Pulonggono A., 1994. Perubahan Tektonik Paleogen-Neogen


Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Proceedings Geologi
dan Geoteknik Pulau Jawa. 37-39.

Silitonga. 1973. Peta Lembar Geologi Skala 1 :100000 Lembar Bandung. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Geologi : Bandung

Soewarno. 1991. Hidrologi: Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai


(Hidrometri).Bandung: Nova

Stewart & Hancock, 1994, Neotectonics. In: P.L. Hancock: Continental

Deformation, Pergamon Press, Oxford, New York, Seoul, Tokyo,

Strahler A. N.. 1952. Hypsometric (Area-Altitude) Analysis of Erosional


Topology. Geological Society of America Bulletin 63.

Verstappen, H. Th. 1983. Applied Geomorphology: Geomorphological Surveys

for Environmental Development. Elsevier Science Publishing Company

Inc: New York.

...............2011. Peta Rupa Bumi Skala I : 25000 Lembar Lembang ( Lembar 1209

314 ) Edisi 1 . Bakosurtanal. Bogor


...............2001. Peta Rupa Bumi Skala I : 25000 Lembar Cimahi ( Lembar 1209

313 ) Edisi 1 . Bakosurtanal. Bogor

...............2001. Peta Rupa Bumi Skala I : 25000 Lembar Bandung ( Lembar 1209

311 ). Edisi 1 . Bakosurtanal. Bogor

Anda mungkin juga menyukai