BARAT
Oleh :
SUPRIYADI
270110130023
Ditujukan Kepada :
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2017
BAB I
PENDAHULUAN
baik itu dipengaruhi oleh tenaga endogen maupun eksogen termasuk dengan
keterbentukan DAS (Daerah Aliran Sungai). DAS sangat erat kaitannya dengan
segala hal menyangkut hubungan antara struktur geologi dengan bentukan lahan
(Stewart dan Hancock, 1994). Morfotektonik mempelajari tentang segala hal yang
menyangkut hubungan antara struktur geologi dengan bentuk lahan atau lebih
spesifik lagi hubungan antara struktur neotektonik dan bentuk lahan (Stewart dan
proses tektonik yang terjadi pada masa lalu, karena morfologi memiliki dimensi
morfotektonik berupa pola aliran, gawir sesar, kenampakan teras sungai, dll.
Indikasi geomorfik tersebut merupakan bagian yang sangat penting pada studi
tektonik karena dapat digunakan untuk mengevaluasi secara cepat pada suatu
Secara geografis terletak pada koordinat 107 35' 45,5316" - 107 44'
Daerah Penelitian termasuk kedalam Lembar Peta Rupa Bumi Skala I : 25000
Lembar Lembang ( Lembar 1209 314 ), Lembar Cimahi ( Lembar 1209 313 )
TINJAUAN PUSTAKA
menjadi empat daerah fisiografi, yaitu Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of
Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone), Zona Bandung (Bandung Zone), dan
Gambar 2.1. Pembagian zona Fisiografi Provinsi Jawa Barat (Van Bemmelen,
1949)
2.1.1 Zona Dataran Pantai Jakarta
Zona ini memanjang Barat Timur dari kota serang dan rangkasbitung sampai
kota cirebon dengan lebar sekitar 40 km. Zona ini tersusun atas endapan sungai
berupa alluvium, endapan lahar gunung api, dan sedikit sedimen laut tersier
Zona Bogor terletetak di sebelah selatan zona dataran pantai jakarta yang
Sungai Pemali dan Bumiayu di Provinsi Jawa Tengah dengan lebar sekitar 40 km.
Zona Bogor terdiri atas antiklinorium yang terlipat kuat berumur neogene dan
banyak intrusi batuan beku di bagian barat. Menurut Soejono Martodjojo, Intrusi
yang membentuk morfologi di zona bogor memiliki relief lebih terjal dibanding
sampai Segara Anakan di pesisir selatan Jawa Tengah. Van Bemmelen juga
menyatakan bahwa zona ini merupakan puncak dari geantiklin Pulau Jawa yang
diperkirakan runtuh kala Tersier lalu diisi oleh endapan gunung api muda. Batas
antara zona Bandung dan zona Bogor sendiri tidak akan terlalu jelas di lapangan
memanjang berarah timur tenggara barat barat laut. Cekungan Bandung ini
dimulai dari daerah Nagreg di sebelah timur sampai ke Padalarang di sebelah ba-
rat dengan jarak horizontal lebih kurang 60 km. Sementara itu, jarak utara
selatan mempunyai lebar sekitar 40 km. Cekungan Bandung ini hampir dikelilingi
oleh jajaran kerucut gunung api berumur Kuarter, di antaranya di sebelah utara
Gunung Tampomas. Batas timur berupa tinggian batuan gunung api Bukitjarian,
gunung api Kamojang, Gunung Malabar, Gunung Patuha dan Gunung Kendeng.
Hanya di sebelah barat, Cekungan Bandung dibatasi oleh batuan gunung api
pegunungan selatan ini telah diteliti oleh Pannekoek (1946) yang membagi zona
ini hingga 19 morfologi dan secara fisiografi dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Bagian barat disebut sebagai bagian Jampang, dengan morfologi dataran tinggi
yang lebih tinggi dengan gunung api tertinggi setinggi 2182 mdpl (Gn. Kancana)
Gambar 2.2 Peta Geologi Regional Daerah Penelitian ( Sebagian Peta Geologi
secara regional merupakan endapan hasil vulkanik tua tak teruraikan dengan
litologi breksi gunungapi, lahar, dan lava berselang-seling. Satuan ini berumur
Pleistosen Atas dan satuan ini pula disamakan kepada Formasi Cikapundung oleh
Bemmelen(1949).
oleh Endapan Hasil Volkanik Lebih Muda Tak Teruraikan, dengan litologi pasir
tufaan, lapili, breksi, lava, dan agglomerat. Satuan ini berumur Holosen dan
satuan ini disamakan dengan Formasi Cibeureum dan Formasi Kosambi pada
Koesoemadinata dan Hartono (1981) serta merupakan bagian muda dari Zona
Pegunungan Kompleks Sunda Yang Telah Padam pada stratigrafi oleh Bemmelen
(1949).
reruntuhan hasil volkanik tua, endapan ini disamakan dengan Formasi Cikadang
Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa bagian barat tidak
terlepas dari teori tektonik lempeng, dimana kepulauan Indonesia merupakan titik
pertemuan antara tiga lempeng yaitu lempeng Eurasia yang relatif lebih diam,
lempeng Samudra Pasifik yang bergerak relatif kearah baratlaut dan lempeng
Australia ke bawah lempeng Eurasia yang aktif pada Eosen telah menghasilkan
tengah busur dan kemudian cekungan belakang busur di Jawa Barat bagian Utara.
Cekungan belakang busur ini secara progresif semakin berpindah kearah Utara
sejalan dengan perpindahan jalur gunung api selama Tersier hingga Kuarter
(Hall, 2000).
Gambar 2.3 Peta Pola Sesar Pulau Jawa Menurut Pulunggono dan Martodjojo
(1994)
1.Pola Meratus berarah timur laut-barat daya (NE-SW) terbentuk pada 80 sampai
53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir Eosen Awal), sangat dominan di daerah
sumbu panjang Sumatera. Pola ini tidak terlalu dominan di Daerah Jawa Barat.
Pola ini mungkin hanya melibatkan batuan dasar dan ditafsirkan sebagai
4.Pola Jawa berarah Barat-Timur (E-W) te rbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu
merupakan pola struktur yang paling muda, memotong dan merelokasi Pola
perubahan tatanan tektonik yang dipengaruhi oleh evolusi jalur subduksi yang
Tersier Pulau Jawa terjadi dalam satu periode menerus Sejak Eosen Akhir hingga
Pliosen Akhir, mulai dari 42 juta tahun lalu di daerah Pacitan sampai 32 juta
tahun lalu di Karangkobar. Dari perubahan afinitas magmatik yang terjadi selama
masa tersebut dapat disimpulkan bahwa jalur magmatik telah bergeser dari
selatan Pulau Jawa kearah lebih Utara dan kemudian kembali kearah Selatan
1) Sesar Cimandiri
Sesar ini berarah barat daya-timur laut, sesar naik Rajamandala serta
Meratus yaitu arah yang mengikuti pola busur Kapur (Hamilton, 1979),
2) Sesar Baribis
Sesar ini beraarah Barat Laut -Tenggara dan sesar-sesar di G.Walat, serta
Jawa Barat yang merupakan pola sesar utama. Sesar-sesar utama berarah
2.3 Geomorfologi
Sulawesi bagian Timur dan Sulawesi bagian Barat (A. Katili, 1963). Tabrakan ini
terjadi antara 19 sampai 13 juta tahun yang lalu, terdorong oleh tabrakan antara
Banggai dan Sula yang pada gilirannya merupakan bagian dari lempeng Australia
dengan Sulawesi Barat yang satu lempeng dengan pulau-pulau Kalimantan, Jawa
terletak pada suatu kawasan dimana lempeng Eurasia Australia dan Pasifik
memiliki daerah yang rumit. Berdasarkan peta Regional bahwa daerah penelitian
lahan Van Zuidam (1983), morfometri DAS merupakan suatu cara untuk
dengan topografi, batuan dan iklim suatu daerah. Unsur morfometri DAS sendiri
diantaranya adalah luas, panjang, lebar, bentuk dan orde tingkat percabangan
Luas, panjang dan lebar tiap DAS akan berbeda diperkirakan dengan
(2008); Raditya (2012) luas DAS tertentu akan berkaitan dengan bentuk DAS
sendiri secara umum memiliki bentuk sempit memanjang dan bentuk lebar. Kedua
dan kuadran panjang sungai utama. Bentuk DAS sendiri dibagi menjadi 4 tipe
1. Bentuk DAS bulu burung, yang memiliki jalur anak sungai di kiri dan di
lain bentuk DAS ini memiliki debit banjir yang relatif kecil dibandingkan
DAS lainnya.
dengan banyak anak sungai yang menuju ke satu titik, karakter lain dari
3. Bentuk DAS paralel, merupakan DAS yang memiliki aliran sungai sejajar
pengaliran yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi curah hujan (Howard, 1967).
Howard (1967) telah membagi pola pengaliran menjadi pola pengaliran
dasar dan pola pengaliran modifikasi (Gambar 3.1). Pola pengaliran dasar
merupakan suatu pola pengaliran yang mempunyai ciri khas tertentu yang dapat
merupakan pola pengaliran yang agak berbeda dan berubah dari pola dasarnya,
Gambar 2.8 Pola pengaliran sungai: (A) Pola pengaliran dasar; (B) Pola
Pola
Karakteristik
Pengaliran
Dasar
(cekungan).
Pola Karakteristik
Pengaliran
Dasar
Radial Bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya terjadi pada kubah
sinklin.
percabangan sungai menjadi salah satu hal penting yang perlu diperhatikan.
Sungai merupakan posisi percabangan serta alur sungai dalam suatu DAS.
Menurut Staddler (1992), menentukan orde sungai yaitu segmen yang tidak
segmen kedua, dan seterusnya. Namun apabila satu segmen bertemu dengan
segmen lainnya tetapi berbeda orde maka nilai segmen yang diambil adalah
segmen yang memiliki orde lebih besar, Rb (ratio bifurcation) memiliki cabang
sungai kurang dari 3 atau lebih dari 5 maka diidentifikasikan DAS tersebut telah
Keterangan :
sungai terdapat dalam suatu DAS dengan luas tertentu. Kerapatan sungai yang
besar pada umumnya ditentukan pada daerah yang memiliki jenis tanah yang
mudah tererosi dan kedap terhadap air. Sedangkan kerapatan sungai yang rendah
pada umumnya ditentukan pada daerah yang memiliki jenis tanah yang tidak
mudah tererosi.
rumus (Priyono dan Savitri, 1997; dalam Hidayah, 2008) sebagai berikut:
Dd =
Keterangan:
Indeks (Dd)
No. Penilaian Keterangan
2
km/km
besar.
2.5 Morfotektonik
antara struktur geologi dengan bentukan lahan (Stewart dan Hancock, 1994).
tektonik yang terjadi pada masa lalu, karena morfologi memiliki dimensi ruang
terlihat dan teramati melalui foto udara dan citra yang memberikan kenampakan
sungai, kelurusan, gawir sesar, dan kenampakan teras sungai. Sedangkan bentuk
topografi yang mengalami pergerakan pada umur yang lebih tua akan sulit diamati
oleh foto udara karena telah tertutup oleh sedimentasi dan tererosi (Aditya, 2011).
Smf adalah sinusitas muka gunung, Lmf adalah panjang dari muka gunung
dan Ls adalah garis tegak lurus dari muka gunung (Bull dan McFadden, 1977,
dalam Doornkamp, 1986). Nilai Smf merupakan perbandingan antara Lmf dan Ls.
Smf = Lmf/Ls
1996).
langsung pegunungan muka dan bertepatan dengan zona sesar aktif yang
mencerminkan tektonik aktif. Smf dengan nilai rendah berkaitan dengan tektonik
berkurang, maka proses erosi akan memotong pegunungan muka secara tak
beraturan dan nilai Smf akan semakin bertambah. Smf sangat mudah untuk
dihitung dari peta topografi atau foto udara dengan skala besar dan resolusi tinggi.
tidak aktif. Klasifikasi tersebut mengikuti indeks Bull dan McFadden (1977)
curam.
seperti parit dari kipas aluvium, cekungan yang luas, kemiringan lereng yang
2.5.2 Perbandingan lebar dan tinggi lembah (ratio of valley floor width to
valley height)
Eld dan Erd adalah elevasi bagian kiri dan kanan lembah
sehingga sungai akan memotong secara luas pada dasar lembah dan bentuk
lembah dalam dan mencerminkan penambahan aktivitas sungai, hal ini berasosiasi
Gambar 2.6 Metode perhitungan rasio lebar dan tinggi lembah (Keller dan
Pinter, 1996).
BAB III
Objek-objek yang menjadi bahan kajian pada penelitian ini antara lain:
1. Bentang alam, berupa perbukitan, pedataran dan lain sebagainya, yang dapat
lapangan.
luas DAS, bentuk DAS atau pun sub-DAS, orde dan rasio cabang sungai,
3. Indikasi struktur geologi di DAS daerah penelitian yang diperoleh melalui analisis
kelurusan punggungan DEM, kelurusan sungai, data kekar, data cermin sesar, dan
1:25.000.
4. Perangkat komputer
6. Alat GPS, digunakan untuk menentukan titik lokasi pada peta dasar.
8. Buku lapangan dan alat tulis, digunakan untuk mencatat hasil pengamatan
perhitungan morfometri DAS dan indeks geomorfik DAS maupun non DAS.
Mountain Front Sinuosity / Smf), dan perbandingan lebar dan tinggi lembah (
ratio of valley floor width to valley height / Vf ). Hal ini disebabkan karena
2017
2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Studi Literatur
Akuisisi Data
2 Studio dan
Lapangan
3 Analisis Data
Penyusunan
4
Laporan
5 Presentasi
BAB IV
PENUTUP
Besar harapan saya agar kiranya proposal ini dapat menjadi bahan pertimbangan
diambil dapat berubah sesuai dengan keadaan di tempat Kerja Praktik dan Tugas
Akhir dilaksanakan. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih atas perhatian dan
Mahasiswa peneliti,
Supriyadi
270110130023
DAFTAR PUSTAKA
Keller, E.A., and Pinter, N. 1996. Active tectonic earthquake, uplift and
Silitonga. 1973. Peta Lembar Geologi Skala 1 :100000 Lembar Bandung. Pusat
...............2011. Peta Rupa Bumi Skala I : 25000 Lembar Lembang ( Lembar 1209
...............2001. Peta Rupa Bumi Skala I : 25000 Lembar Bandung ( Lembar 1209