Disusun Oleh :
PURWOKERTO
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. TUBERKULOSIS
B. KUSTA
1. DEFINISI
Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan RI mencatat 16.825 kasus kusta
baru, dengan angka kecacatan 6,82 per 1.000.000 penduduk. Angka ini menempatkan
Indonesia di peringkat ketiga dunia dengan kasus baru kusta terbanyak setelah India
(134.752 kasus) dan Brasil (33.303 kasus). (Depkes, 2014)
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik dan menular, penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang pertama-tama menyerang kulit, mukosa mulut, saluran
nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Tidak ada
penyakit infeksi lain selain penyakit kusta yang dapat menandingi keanekaragaman
gambaran klinik baik dari lesi kulit maupun lesi saraf sehingga penyakit kusta disebut
The Greatest Imitator (Halim, 2000).
2. ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.
HANEN pada tahun 1987 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat
dibiakkan dalam media artifisial. M.leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x
0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram-positif. (Juanda, dkk., 2007)
3. PATOFISIOLOGI
Kusta adalah penyakit imunologik. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit, disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang
menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat dan menyeluruh yang dapat
sembuh sendiri atau progresif. M.leprae mempunyai patogenesis dan daya invasi yang
renda, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab,
cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan kemungkinan-
kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. (Linuwih, 2003).
4. GEJALA KLINIS
Diagnosisi penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis. Diagnosis klinis adalah diagnosis terpenting dan paling sederhana.
Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Untuk membantu penentuan tipe, dilakukan uji tes
lepromin (Mitsuda) yang hasilnya diketahui setelah 3 minggu.
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%,
juga merupakan tipe yang tsabil dan tidak mungkin berubah lag. Sedangkan tipe
anatara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Li lebih banyak tuberkuloidnya, sedang
BL dan Ti lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang
stabil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. Zona
spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi.
5. FAKTOR RISIKO
Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman
kusta. Penyakit ini dapat ditularkan dari penderita kusta kepada orang lain, secara
teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan lama dengan
penderita. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah semua tergantung
dari beberapa faktor, antara lain : faktor sumber penularan yaitu tipe penyakit kusta ,
faktor kuman kusta dan faktor daya tahan tubuh (Depkes, 2005).
6. PENCEGAHAN
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya
perubahan senibilitas atau kekuatan otot.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi
kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikostiroid
sesegera mungkin.
Bila terdapat gangguan sensibilitas penderita diberi petunjuk sederhana, misalnya
memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan
bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kaca mata untuk
melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini
dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah itu tangan
dan kaki direndam, disikat, dan diminyaki agar tidak kering dan pecah. (Djuanda,
2007)
7. PENGOBATAN
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS (Diaminodifenil
Sulfon) lalu Klofazimin, dan Rifampisin. WHO menambahkan tiga antibiotik lain,
seperti Ofkloksasisn, Minisiklin, dan Klartomisin. Ketiga obat tambahan digunakan
sebagai pengobatan alternatif.
1. DDS (Diamino-difenil-sulfon)
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintase.
Resistensi terhadap dapson timbul akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu
tinggi pada kuman kusta. Dapson biasanya diberikan sebagai dosis tunggal, yaitu
50-100 mg/hari untuk dewasa, atau 2 mg/kg BB untuk anak-anak. Efek samping
yang mungkin timbul anatara lain: erupsi obat, anemia hemofilik, leukopenia,
insomnia, neuropati. Namun efek samping tersebut jarang terjadi pada pemberian
dosis lazim (Soebono, 1997).
2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja dengan
menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel. Dosis
tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg BB. Pemberian seminngu sekali dengan
jumlah besar dapat menyebabkan flu like syndrome. Efek samping yang harus
diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, dan erupsi
kulit (Soebono, 1997).
3. Klofazimin (lamprene)
Obat ini merupakan turunan iminofenazin dan mempunyai efek bakteriosidal yang
setara dengan dapson. Kemungkinan obat ini bekerja melalui gangguan
metabolisme oksigen radikal. Obat ini juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat
dipakai pada penanggulangan reaksi kusta. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari
atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kg BB/ hari.
Efek sampingnya hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan
gastrointestinal (Nyeri Abdomen, Nausea, Diare, Anoreksi, dan Vomitus). Selain
itu dapat terjadi penurunan berat badan. Dapat juga tertimbun di hati. Dapat juga
terjadi hiperpigmentasi pada kulit, dan perubahan warna kulit tersebut akan
menghilang setelah obat dihentikan (Soebono, 1997).
4. Protionamid dan etionamid
Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkuloasis dan hanya sedikit diakai untuk
pengobatan kusta. Dulu kedua obat ini merupakan pengganti klofazimin terutama
pada pasien yang merasa keberatan dengan efek hiperpigmentasinya. Obat ini
bersifat bakteriostatik, tetapi karena cepat timbul resistensi, lebih toksik harganya
mahal serta efek hepatotoksiknya, maka sekarang tidak dianjurkan lagi pada
pengobatan kusta.
Skema rejimen Multi Drug Therapy (MDT) WHO terdiri atas kombinasi obat-
obatan dapson, rifampsin, dan klofasimin, dengan skema menurut WHOsebagai
berikut:
1. Rejimen PB : terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan
ditambah dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kg BB) selama 6 bulan.
2. Rejimen MB : terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali dibawah
pengawasan,dapson 100 mg. Hari, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali
diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 2 tahun.
Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka
ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi
makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh jika sudah sesuai dengan standar yang
telah diteliti oleh tenaga kesehatan.
8. REHABILITASI
Maka dari itu, Penderita Cacat Kusta (PCK) perlu mendapat berbagai macam
rehabilitasi melalui pendekatan paripurna mencakup:
1. Rehabilitasi bidang medis:
a. Perawatan yang dikerjakan bersamaan dengan program Pencegahan Cacat
(POD), Kelompok Perawatan Diri (KPD) atau Self Care Group.
b. Rehabilitasi fisik dan mental yang dikerjakan melalui berbagai tindakan
pelayanan medis dan konseling medik (Soewono, 1997).
2. Rehabilitasi bidang sosial-ekonomi
Rehabilitasi sosial ditujukan untuk mengurangi masalah psikologis dan stigma
sosial agar PCK dapat berintegrasi sosial meliputi: konseling, advokasi,
penyuluhan dan pendidikan. Sedangkan rehabilitasi ekonomi ditujukan untuk
perbaikan ekonomi dan kualitas hidup meliputi: meliputi keterampilan kerja
(vocational training), fasilitas kredit kecil untuk usaha sendiri, modal bergulir,
modal usaha, dll (Soewono, 1997).
Menurut Soewono (1997), pada rehabilitasi PCK, peranan fisioterapi sangatlah
penting, beberapa peranan fisioterapi bagi PCK adalah:
a. Mengembalikan tonus otot yang mengalami kelumpuhan
b. Mencegah atrofi atau kontraktur otot yang mengalami kelumpuhan
c. Mencegah timbulnya kontraktur dan mempertahankan range sendi normal
d. Membuat kulit tetap lembut dan lunak.
Sebagai kesatuan dari rehabilitasi kusta, maka perlu dilakukan tindakan bedah pada
penderita kusta yang cacat, khususnya bedah rekonstruksi, dengan tujuan:
a. Memperbaiki fungsi anggota badan seoptimal mungkin.
b. Mencegah cacat berlanjut menjadi berat
c. Memperbaiki penampilan (kosmetik)
Agar pembedahan dapat berhasil dengan baik, maka harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Basil tahan asam (M. Leprae) negatif atau penderita sudah bebas terapi (CTC =
Completetion to treatment cure)
b. Bebas reaksi lebih dari 6 bulan
c. Tidak pernah mendapat pengobatan steroid dalam 6 bulan terakhir
d. Kelumpuhan otot sudah menetap
e. Tidak ada kontra indikasi pada operasi umum
f. Penderita kooperatif dan ada motivasi untuk dioperasi
g.
C. TIFUS
1. DEFINISI
Tipes atau thypus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan terkadang
pada aliran darah yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi A, B dan C, selain ini dapat juga menyebabkan gastroenteritis (keracunan
makanan) dan septikemia (tidak menyerang usus)
2. ETIOLOGI
Penyakit tipes atau yang dalam dunia medis lebih dikenal dengan Tifoid Fever
merupakan penyakit akut yang berhubungan dengan demam. Tergolong penyakit akut
karena tanda-tandanya bisa terjadi hingga 1-3 minggu dan yang lebih memungsingkan
lagi gejalanya hampir mirip dengan penyakit demam berdarah.
Penyebab penyakit tipes adalah adanya bakteri Salmonella Typhi yang masuk ke
dalam tubuh bersama makanan dan air yang telah terkontaminasi atau karena adanya
kontak dekat dengan seseorang yang terinfeksi penyakit ini. Bakteri Salmonella Typhi
yang masuk kedalam tubuh akan berkembang biak dan mulai mengkontaminasi
saluran pencernaan hingga akhirnya ke pembuluh darah yang mengakibatkan
penderita penyakit tipes mengalami gejala-gejala klinis. Gejala tersebut bisa diobati
dengan menggunakan antibiotik yang membantu tubuh untuk memerangi bakteri jahat
sehingga orang yang terkena penyakit tipes menjadi lebih baik, namun adakalanya
penderita mengalami komplikasi yang menyebabkan meninggal dunia karena
penyakit ini.
3. PATOFISIOLOGI
Semua spesies Salmonella patogen ditelan oleh sel fagosit, yang kemudian masuk
melalui mukosa dan ke makrofag dalam lamina propria. Nontyphoidal salmonella
merupakan fagosit ilium distal dan kolon. Dengan reseptor tol seperti (TLR) _5 dan
TLR-4/MD2/CD-14 kompleks, makrofag mengenali pola molekuler patogen-asosiasi
(PAMPs) seperti flagela dan lipopolysaccharides
Makrofag selular merupakan mesin untuk reproduksi mereka sendiri seperti yang
dilakukan melalui kelenjar getah bening mesenterika ke duktus toraks dan limfatik
dan kemudian masuk melalui jaringan retikuloendotelial hati, limpa, sumsum tulang,
dan kelenjar getah bening. Sesampai di sana, bakteri S typhi berdiam diri dan terus
berkembang biak sampai beberapa batas ambang kritis tercapai. Setelah itu, bakteri
menginduksi apoptosis makrofag, pecah ke dalam aliran darah untuk menyerang
tubuh.
Infeksi masuk melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, infeksi terjadi
pada saluran pencernaan. Basil di usus halus melalui pembuluh limfe masuk ke dalam
peredaran darah sampai di organ-organ terutama hati dan limfa sehingga membesar
dan disertai nyeri. Basil masuk kembali ke dalam darah (bakterimia) dan menyebar ke
seluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus menimbulkan tukak
berbentuk lonjong pada mukosa usus. Tukak dapat menyebabkan perdarahan dan
perforasi usus. Jika kondisi tubuh dijaga tetap baik, akan terbentuk zat kekebalan atau
antibodi. Dalam keadaan seperti ini, kuman typhus akan mati dan penderita
berangsur-angsur sembuh.
4. FAKTOR RESIKO
c. Telah melakukan kontak dengan seseorang yang terinfeksi atau baru terinfeksi
demam tifoid
5. PENGOBATAN
D. LEPTOSPIROSIS
1. DEFINISI
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit bakteri yang paling banyak tersebar
di dunia disebabkan oleh genus Leptospirae, yang diklasifikasikan sebagai
anthroponozonosis mempengaruhi manusia secara langsung dan berbagai spesies
hewan. Leptospirosis harus dianggap sebagai penyakit yang berbahaya. Namun
epidemik di perkotaan terkait dengan bentuk parah dari penyakit ini juga dilaporkan
terjadi setiap tahun yang mengakibatkan kematian yang signifikan.
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia dan
hewan, serta digolongkan penyakit zoonosis. Berdasarkan penyebab, leptospirosis
adalah zoonosis bakterial, sedangkan berdasarkan cara penularan, leptospirosis
merupakan direct zoonosis karena tidak memerlukan vektor. Leptospirosis pada
manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman Leptospira sp dengan
reservoir utama adalah roden. Kuman Leptospira sp hidup di dalam ginjal penjamu
reservoir dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih.
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira.
Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever
(Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious jaundice, Field fever, Cane
cutter dan lain-lain (WHO, 2003). Sedangkan menurut (swastika, 2009)
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus,
anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira
icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus.
2. ETIOLOGI
Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat, bahkan dapat
berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup atau seropati
dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L. bataviae, L.
pyrogenes, dan sebagainya. Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi
manusia adalah L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L. canicola, dengan
reservoirnya anjing dan L. pomona dengan reservoirnya sapi dan babi (Arjatmo,
1996).
3. GEJALA DAN TANDA
Masa inkubasi 7 12 hari dengan rata rata 10 hari. Setelah masuk ke dalam
tubuh manusia, bakteri masuk ke peredaran darahdan beredar ke seluruh tubuh
sehingga dapat menyebabkan kerusakan dimana saja termasuk organ jantung, otak
dan ginjal. Sebagian besar penyakit ini bersifat subklinis, 90% penyakit tidak akan
menyebabkan ikterik dan hanya tipe yang berat (10%) menyebabkan ikterik (weil
disease).
4. PATOFISIOLOGI
Gambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3 fase yaitu : fase leptospiremia, fase imun
dan fase penyembuhan.
a. Fase Leptospiremia
Fase ini ditandai dengan demam tinggi mendadak, malaise, sakit kepala, nyeri
otot, ikterus dan nyeri perut yang disebabkan oleh gangguan hati, ginjal, dan
meningitis (merupakan salah satu penjelasan mengapa penyakit ini sering
mendiagnosis dengan meningitis dan ensefalitis). Fase ini berlangsung 4 -9 hari.
b. Fase Imun
Titer antibodi IgM mulai terbentuk dan meningkat dengan cepat. Gangguan klinis
akan memuncak. Dapat terjadi leptopiura (leptospira dalam urin) selama satu
minggu sampai satu bulan. Fase ini berlangsung selama 4 30 hari.
c. Fase penyembuhan (Konvalensen)
Fase ini ditandai dengan gejala klinis yang sudah berkurang dapat timbul kembali
dan berlangsung selama 2 4 minggu.
5. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan serologi, dan isolasi
bakteri penyebab.
Faktor-faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung atau terpajan
air atau rawa yang terkontaminasi yaitu :
a. Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat banjir.
b. Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung.
c. Mencuci atau mandi disungai atau danau.
d. Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan.
e. Petani tanpa alas kaki di sawah.
f. Pembersih selokan.
g. Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
h. Peternak, pemeliharaan hewan dan dokter hewan yang terpajan atau kontak
langsung karena menangani ternak atau hewan, terutama saat memerah susu,
menyentuh hewan mati, menolong hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan
lain seperti plasenta, cairan amnion dan bila kontak dengan percikan infeksius saat
hewan berkemih.
i. Pekerja tambang.
j. Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar.
k. Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.
l. Tempat rekreasi di air tawar : berenang, arum jeram dan olah raga air lain,
trilomba juang (triathlon), memasuki gua, mendaki gunung.
7. PENCEGAHAN
a. Health Promotion
Dalam kegiatan promosi kesehatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan diri (personal hygiene) dan
lingkungan (environment), upaya yang dilakukan diantaranya memberikan
pendidikan kesehatan mengenai bahaya penyakit dan cara penularan penyakit, serta
upaya pencegahan penyakit leptospirosis. Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan
antara lain mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah
bekerja di sawah. Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS).
b. Perlindungan atau pencegahan Khusus (Specific Protection)
Berupa upaya spesifik untuk mencegah terjadinya penularan penyakit leptospirosis,
misalnya pemberian vaksin terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak
dengan vaskin strain lokal, mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi
masyarakat, rumah-rumah penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-
hewan tersebut, pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara
lain, melindungi para pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko yang
tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan.
Pengendalian perlu juga dilakukan pada hewan yang terinfeksi bakteri leptospira
sp. Dengan pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira.
c. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment).
Tujuan dari tindakan ini adalah mencegah penyebaran penyakit jika penyakit
tersebut merupakan penyakit menular. Dalam mencegah penyebaran penyakit
leptospirosis usaha yang dapat dilakukan misalnya, pengamatan terhadap hewan
rodent yang ada disekitar penduduk, terutama di desa dengan melakukan
penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap kuman Leptospirosis. Mengobati dan
menghentikan proses penyakit dengan cara memutuskan rantai penyebaran bakteri
leptospirosis dengan cara membasmi reservoinya yang terinfeksi bakteri leptospira
sp. Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus
mewaspadai cemaran urin dari semua hewan Perilaku hidup sehat dan bersih
merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia
yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan
antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan
di mana hewan berada. Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama
dan alami penyakit ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan
pemberantasan Leptospirosis Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk
mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air. Feses ternak perlu diarahkan ke
suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.
d. Pembatasan Kecacatan (Disability limitation)
Pembatasan kecacatan (disability limitation). Untuk memperkecil angka kematian
sebaiknya semua suspect (tersangka) penderita Leptospirosis segera dibawa ke
Puskesmas atau rumah sakit yang terdekat untuk segera mendapati pengobatan.
e. Rehabilitasi
Pada tahap ini, bertujuan untuk mencegah bertambah parahnya penyakit. Oleh
karena itu, dalam tahap ini juga dilakukan rehabilitasi untuk mencegah terjadinya
akibat efek samping dari penyembuhan suatu penyakit. Rehabilitasi adalah usaha
pemngembalian fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin yang
meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi mental atau psikologis serta
rehabilitasi sosial.
8. PENGOBATAN
Leptospira adalah penyakit yang self-limited. Secara umum prognosisnya adalah baik.
Antibiotik yang dapat diberikan anatara lain :
a. Penyakit sedang atau berat : Penisilin 4 x 1.5 IU atau amoksilin 4 x 1 gr selama 7
hari
b. Penyakit ringan : ampisilin 4 x 500 mg, amoksisilin 4 x 500 mg, atau eritromisin
4 x 500 mg.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Arjatmo, T & Utama, H. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Balai Penerbit
FKUI: Jakarta
Fentahun, M & Alemayehu, M. Leptospirosis and its Public Health Significance: A Review.
European Journal of Applied Sciences 4 (6): 238-244, 2012
Kemenkes. 2015. HARI KUSTA SEDUNIA 2015: HILANGKAN STIGMA! KUSTA BISA
SEMBUH TUNTAS. [online] http://www.depkes.go.id/article/view/15012300020/hari-kusta-
sedunia-2015-hilangkan-stigma-kusta-bisa-sembuh-tuntas.html#sthash.aiZJgDWi.dpuf,
diakses 8 April 2015
Mansjoer, A. 2005. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Bagian I. Media Aesculapius, FKUI:
Jakarta
Muhidin & Ristiyanto. (2010). Survei Demografi Dan Kondisi Lingkungan Rumah Di
Daerah Kasus Leptospirosis Di Desa Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten
Sleman D.I. Yogyakarta Tahun 2010. Jurnal Vektora Vol. IV No. 1
Ramadhani & Yunianto. (2012). Reservoir dan Kasus Leptospirosis di Wilayah Kejadian
Luar Biasa. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7 No. 4
Sudoyo AW. 2006. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta