Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR

PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH BAKTERI

TUBERKULOSIS, KUSTA, TIFUS DAN LEPTOSPIROSIS

Disusun Oleh :

1. Anggita Mareta P (G1B0130)


2. Irma Rahmawati (G1B013015)
3. Karina Pratiwi W (G1B0130)
4. Dinda Syifa (G1B0130)

KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS NEGERI JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU ILMU KESEHATAN

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT

PURWOKERTO

2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN

A. TUBERKULOSIS
B. KUSTA
1. DEFINISI
Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan RI mencatat 16.825 kasus kusta
baru, dengan angka kecacatan 6,82 per 1.000.000 penduduk. Angka ini menempatkan
Indonesia di peringkat ketiga dunia dengan kasus baru kusta terbanyak setelah India
(134.752 kasus) dan Brasil (33.303 kasus). (Depkes, 2014)
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik dan menular, penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang pertama-tama menyerang kulit, mukosa mulut, saluran
nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Tidak ada
penyakit infeksi lain selain penyakit kusta yang dapat menandingi keanekaragaman
gambaran klinik baik dari lesi kulit maupun lesi saraf sehingga penyakit kusta disebut
The Greatest Imitator (Halim, 2000).

2. ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.
HANEN pada tahun 1987 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat
dibiakkan dalam media artifisial. M.leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x
0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram-positif. (Juanda, dkk., 2007)

3. PATOFISIOLOGI
Kusta adalah penyakit imunologik. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit, disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang
menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat dan menyeluruh yang dapat
sembuh sendiri atau progresif. M.leprae mempunyai patogenesis dan daya invasi yang
renda, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab,
cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan kemungkinan-
kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. (Linuwih, 2003).

4. GEJALA KLINIS
Diagnosisi penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis. Diagnosis klinis adalah diagnosis terpenting dan paling sederhana.
Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Untuk membantu penentuan tipe, dilakukan uji tes
lepromin (Mitsuda) yang hasilnya diketahui setelah 3 minggu.
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%,
juga merupakan tipe yang tsabil dan tidak mungkin berubah lag. Sedangkan tipe
anatara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Li lebih banyak tuberkuloidnya, sedang
BL dan Ti lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang
stabil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. Zona
spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi.

Tabel. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Multibasilar (MB)


SIFAT LEPROMATOSA BORDERLINE MID
BORDERLINE
Lesi
Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shaped
(kubah)
Papul Papul Punched-out
Nodus
Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
praktis tidak ada masih ada kulit kulit sehat jelas
kulit sehat sehat ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Biasanya tidak Tak jelas Lebih jelas
jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada Banyak Agak banyak
globus)
Sekret Banyak (ada Biasanya negatif Negatif
hidung globus)
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Pausibasilar (PB)


SIFAT LEPROMATOSA BORDERLINE MID
BORDERLINE
Lesi
Bentuk Makula saja; Makula dibatasi Hanya infiltrat
makula dibatasi infiltrat; infiltrat
infiltrat saja
Jumlah Satu; dapat Beberapa atau Satu atau
beberapa satu dengan beberapa
satelit
Distribusi Asimetris Masih simetris Variasi
Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai
tidak jelas
BTA
Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau Biasanya negatif
negatif hanya +1
Tes lepromin Positif kuat (+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau negatif

Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan hasil


pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Pada satu lesi (kelainan
kulit) dapat berbeda tipenya yang tergantung pada beberapa tempat dan dari mana
tempat biopsi diambil.
Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat
tubuh. Orang awam pun dengan mudah dapat menduga ke arah berbagai penyakit
kusta dapat dilihat dari adanya kelainan kulit yang masih berupa makula
hipopigmentasi, hipermentasi, hiperpigmentasi, dan eritematosa.
Penyakit kulit yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain
dermatofitosis, tinea versikolor, pitioriasis rosea, pitiriasis alba, dermatitis seboroika,
psoiriasis, neurofibromatosis, granuloma anular, xantomatosis, scleroderma, leukemia
kutis, tuberculosis kutis verukosa, dan birth mark.
Ada pula yang disebut kusta tipe neural murni dengan tanda sebagai berikut:
Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit
Ada satu atau lebih pembesaran saraf
Ada anesthesis dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang disarafinya
Bakterioskopik negatif
Tes Mitsuda umumnya positif
Untuk memerlukan tiep, biasanya tipe tiberkuloid, borderline atau nonspesifik,
harus dilakukan pemeriksaan secara histopatologik

Deformitas pada kusta terbagi menjadi deformitas primer dan sekunder.


Deformitas primer sebagai akibat langusng oleh granuloma yang terbentuk sebagai
reaksi terhadap M.leprae yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu
kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Gejala-gejala
kerusakan saraf yang termasuk ke dalam deformitas sekunder adalah sebagai berikut.
1. N.ulnaris
Anesthesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Tidak mampu aduksi ibu jari
Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Ibu jari konfraktur
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis
2. N.radialis
Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
Tangan gantung (wrist drop)
Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
3. N.popilitea lateralis
Anastesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
Kaki gantung (foot drop)
Kelemahan otot peroneus
4. N. tibialis posterior
Anesthesia telapak kaki
Claw toes
Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
5. N.fasialis
Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengatupkan bibir
6. N.trigeminus
Anesthesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata

5. FAKTOR RISIKO
Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman
kusta. Penyakit ini dapat ditularkan dari penderita kusta kepada orang lain, secara
teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan lama dengan
penderita. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah semua tergantung
dari beberapa faktor, antara lain : faktor sumber penularan yaitu tipe penyakit kusta ,
faktor kuman kusta dan faktor daya tahan tubuh (Depkes, 2005).
6. PENCEGAHAN
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya
perubahan senibilitas atau kekuatan otot.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi
kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikostiroid
sesegera mungkin.
Bila terdapat gangguan sensibilitas penderita diberi petunjuk sederhana, misalnya
memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan
bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kaca mata untuk
melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini
dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah itu tangan
dan kaki direndam, disikat, dan diminyaki agar tidak kering dan pecah. (Djuanda,
2007)

7. PENGOBATAN
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS (Diaminodifenil
Sulfon) lalu Klofazimin, dan Rifampisin. WHO menambahkan tiga antibiotik lain,
seperti Ofkloksasisn, Minisiklin, dan Klartomisin. Ketiga obat tambahan digunakan
sebagai pengobatan alternatif.
1. DDS (Diamino-difenil-sulfon)
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintase.
Resistensi terhadap dapson timbul akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu
tinggi pada kuman kusta. Dapson biasanya diberikan sebagai dosis tunggal, yaitu
50-100 mg/hari untuk dewasa, atau 2 mg/kg BB untuk anak-anak. Efek samping
yang mungkin timbul anatara lain: erupsi obat, anemia hemofilik, leukopenia,
insomnia, neuropati. Namun efek samping tersebut jarang terjadi pada pemberian
dosis lazim (Soebono, 1997).
2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja dengan
menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel. Dosis
tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg BB. Pemberian seminngu sekali dengan
jumlah besar dapat menyebabkan flu like syndrome. Efek samping yang harus
diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, dan erupsi
kulit (Soebono, 1997).
3. Klofazimin (lamprene)
Obat ini merupakan turunan iminofenazin dan mempunyai efek bakteriosidal yang
setara dengan dapson. Kemungkinan obat ini bekerja melalui gangguan
metabolisme oksigen radikal. Obat ini juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat
dipakai pada penanggulangan reaksi kusta. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari
atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kg BB/ hari.
Efek sampingnya hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan
gastrointestinal (Nyeri Abdomen, Nausea, Diare, Anoreksi, dan Vomitus). Selain
itu dapat terjadi penurunan berat badan. Dapat juga tertimbun di hati. Dapat juga
terjadi hiperpigmentasi pada kulit, dan perubahan warna kulit tersebut akan
menghilang setelah obat dihentikan (Soebono, 1997).
4. Protionamid dan etionamid
Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkuloasis dan hanya sedikit diakai untuk
pengobatan kusta. Dulu kedua obat ini merupakan pengganti klofazimin terutama
pada pasien yang merasa keberatan dengan efek hiperpigmentasinya. Obat ini
bersifat bakteriostatik, tetapi karena cepat timbul resistensi, lebih toksik harganya
mahal serta efek hepatotoksiknya, maka sekarang tidak dianjurkan lagi pada
pengobatan kusta.
Skema rejimen Multi Drug Therapy (MDT) WHO terdiri atas kombinasi obat-
obatan dapson, rifampsin, dan klofasimin, dengan skema menurut WHOsebagai
berikut:
1. Rejimen PB : terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan
ditambah dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kg BB) selama 6 bulan.
2. Rejimen MB : terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali dibawah
pengawasan,dapson 100 mg. Hari, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali
diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 2 tahun.
Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka
ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi
makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh jika sudah sesuai dengan standar yang
telah diteliti oleh tenaga kesehatan.

8. REHABILITASI
Maka dari itu, Penderita Cacat Kusta (PCK) perlu mendapat berbagai macam
rehabilitasi melalui pendekatan paripurna mencakup:
1. Rehabilitasi bidang medis:
a. Perawatan yang dikerjakan bersamaan dengan program Pencegahan Cacat
(POD), Kelompok Perawatan Diri (KPD) atau Self Care Group.
b. Rehabilitasi fisik dan mental yang dikerjakan melalui berbagai tindakan
pelayanan medis dan konseling medik (Soewono, 1997).
2. Rehabilitasi bidang sosial-ekonomi
Rehabilitasi sosial ditujukan untuk mengurangi masalah psikologis dan stigma
sosial agar PCK dapat berintegrasi sosial meliputi: konseling, advokasi,
penyuluhan dan pendidikan. Sedangkan rehabilitasi ekonomi ditujukan untuk
perbaikan ekonomi dan kualitas hidup meliputi: meliputi keterampilan kerja
(vocational training), fasilitas kredit kecil untuk usaha sendiri, modal bergulir,
modal usaha, dll (Soewono, 1997).
Menurut Soewono (1997), pada rehabilitasi PCK, peranan fisioterapi sangatlah
penting, beberapa peranan fisioterapi bagi PCK adalah:
a. Mengembalikan tonus otot yang mengalami kelumpuhan
b. Mencegah atrofi atau kontraktur otot yang mengalami kelumpuhan
c. Mencegah timbulnya kontraktur dan mempertahankan range sendi normal
d. Membuat kulit tetap lembut dan lunak.
Sebagai kesatuan dari rehabilitasi kusta, maka perlu dilakukan tindakan bedah pada
penderita kusta yang cacat, khususnya bedah rekonstruksi, dengan tujuan:
a. Memperbaiki fungsi anggota badan seoptimal mungkin.
b. Mencegah cacat berlanjut menjadi berat
c. Memperbaiki penampilan (kosmetik)
Agar pembedahan dapat berhasil dengan baik, maka harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Basil tahan asam (M. Leprae) negatif atau penderita sudah bebas terapi (CTC =
Completetion to treatment cure)
b. Bebas reaksi lebih dari 6 bulan
c. Tidak pernah mendapat pengobatan steroid dalam 6 bulan terakhir
d. Kelumpuhan otot sudah menetap
e. Tidak ada kontra indikasi pada operasi umum
f. Penderita kooperatif dan ada motivasi untuk dioperasi
g.
C. TIFUS
1. DEFINISI

Tipes atau thypus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan terkadang
pada aliran darah yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi A, B dan C, selain ini dapat juga menyebabkan gastroenteritis (keracunan
makanan) dan septikemia (tidak menyerang usus)

Kuman tersebut masuk melalui saluran pencernaan, setelah berkembang biak


kemudian menembus dinding usus menuju saluran limfa, masuk ke dalam pembuluh
darah dalam waktu 24-72 jam. Kemudian dapat terjadi pembiakan di sistem
retikuloendothelial dan menyebar kembali ke pembuluh darah yang kemudian
menimbulkan berbagai gejala klinis.
Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau thypus, tetapi
dalam dunia kedokteran disebut TYPHOID FEVER atau Thypus abdominalis, karena
berhubungan dengan usus pada perut.

Definisi Tifus abdominalis. Tifus abdominalis (Thypus abdominalis, Demam


tifoid, Enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasa mengenai saluran
pencernaan. Gejala yang biasa ditimbulkan adalah demam yang tinggi lebih dari 1
minggu, gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran (FKUI, 1985).

2. ETIOLOGI

Penyakit tipes atau yang dalam dunia medis lebih dikenal dengan Tifoid Fever
merupakan penyakit akut yang berhubungan dengan demam. Tergolong penyakit akut
karena tanda-tandanya bisa terjadi hingga 1-3 minggu dan yang lebih memungsingkan
lagi gejalanya hampir mirip dengan penyakit demam berdarah.

Penyebab penyakit tipes adalah adanya bakteri Salmonella Typhi yang masuk ke
dalam tubuh bersama makanan dan air yang telah terkontaminasi atau karena adanya
kontak dekat dengan seseorang yang terinfeksi penyakit ini. Bakteri Salmonella Typhi
yang masuk kedalam tubuh akan berkembang biak dan mulai mengkontaminasi
saluran pencernaan hingga akhirnya ke pembuluh darah yang mengakibatkan
penderita penyakit tipes mengalami gejala-gejala klinis. Gejala tersebut bisa diobati
dengan menggunakan antibiotik yang membantu tubuh untuk memerangi bakteri jahat
sehingga orang yang terkena penyakit tipes menjadi lebih baik, namun adakalanya
penderita mengalami komplikasi yang menyebabkan meninggal dunia karena
penyakit ini.

3. PATOFISIOLOGI
Semua spesies Salmonella patogen ditelan oleh sel fagosit, yang kemudian masuk
melalui mukosa dan ke makrofag dalam lamina propria. Nontyphoidal salmonella
merupakan fagosit ilium distal dan kolon. Dengan reseptor tol seperti (TLR) _5 dan
TLR-4/MD2/CD-14 kompleks, makrofag mengenali pola molekuler patogen-asosiasi
(PAMPs) seperti flagela dan lipopolysaccharides

Berbeda dengan salmonella nontyphoidal, S typhi masuk ke sistem host terutama


melalui ilium distal. S typhi yang berperan pada fimbriae masuk ke jaringan limfoid
di ilium (Peyer patch), titik relay utama untuk makrofag dari usus ke dalam sistem
limfatik. S typhi mempunyai antigen Vi kapsuler yang merupakan mask PAMPs, yang
menghindari inflamasi neutrofil. Bakteri kemudian memicu makrofag tuan rumah
mereka untuk menarik lebih banyak macrophages.

Makrofag selular merupakan mesin untuk reproduksi mereka sendiri seperti yang
dilakukan melalui kelenjar getah bening mesenterika ke duktus toraks dan limfatik
dan kemudian masuk melalui jaringan retikuloendotelial hati, limpa, sumsum tulang,
dan kelenjar getah bening. Sesampai di sana, bakteri S typhi berdiam diri dan terus
berkembang biak sampai beberapa batas ambang kritis tercapai. Setelah itu, bakteri
menginduksi apoptosis makrofag, pecah ke dalam aliran darah untuk menyerang
tubuh.

Kandung empedu tersebut kemudian terinfeksi karena bakteremia atau perluasan


langsung dari S typhi empedu yang terinfeksi. Hasilnya adalah bahwa organisme
kembali memasuki saluran pencernaan dalam empedu dan menginfeksi ulang Peyer
patch. Bakteri yang tidak menginfeksi ulang tuan rumah biasanya tersimpan dan
kemudian menginfeksi hosts.

Infeksi masuk melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, infeksi terjadi
pada saluran pencernaan. Basil di usus halus melalui pembuluh limfe masuk ke dalam
peredaran darah sampai di organ-organ terutama hati dan limfa sehingga membesar
dan disertai nyeri. Basil masuk kembali ke dalam darah (bakterimia) dan menyebar ke
seluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus menimbulkan tukak
berbentuk lonjong pada mukosa usus. Tukak dapat menyebabkan perdarahan dan
perforasi usus. Jika kondisi tubuh dijaga tetap baik, akan terbentuk zat kekebalan atau
antibodi. Dalam keadaan seperti ini, kuman typhus akan mati dan penderita
berangsur-angsur sembuh.

4. FAKTOR RESIKO

Di seluruh dunia, anak-anak berada pada risiko terbesar terkena penyakit,


meskipun mereka umumnya memiliki gejala lebih ringan daripada orang dewasa.
Anda memiliki peningkatan risiko terkena penyakit tipus jika Anda:

a. Bekerja di atau melakukan perjalanan ke daerah-daerah di mana demam tifoid


adalah endemic

b. Bekerja sebagai bakteri klinis mikrobiologi penanganan Salmonella typhi

c. Telah melakukan kontak dengan seseorang yang terinfeksi atau baru terinfeksi
demam tifoid

d. Memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah oleh obat-obatan seperti


kortikosteroid atau penyakit seperti HIV/AIDS

e. Minum air yang terkontaminasi oleh limbah yang mengandung S. typhi

5. PENGOBATAN

1. Pengobatan Tifus (Tipes) di Rumah Sakit


Sampel darah, tinja, dan urin Anda akan diperiksa di laboratorium untuk
menentukan jenis antibiotik yang tepat diberikan. Antibiotik di rumah sakit akan
diberikan dalam bentuk suntikan. Jika diperlukan, cairan dan nutrisi juga akan
disuntikkan ke dalam pembuluh darah melalui infus.
Infus diberikan karena perawatan tifus yang dilakukan di rumah sakit
umumnya diiringi muntah terus-menerus, diare parah, serta perut kembung. Pada
sebagian kecil kasus, operasi mungkin diperlukan jika terjadi komplikasi yang
membahayakan nyawa seperti pendarahan dalam atau rusaknya sistem
pencernaan.
Hampir semua kondisi pengidap berangsur membaik setelah dirawat di rumah
sakit selama 3-4 hari. Namun mungkin perlu beberapa minggu hingga Anda
sepenuhnya pulih.

2. Pengobatan Tifus (Tipes) di Rumah


Umumnya orang yang terdiagnosis tifus pada stadium awal membutuhkan 1-2
minggu pengobatan dengan tablet antibiotik yang diresepkan. Meski tubuh akan
mulai membaik setelah 2-3 hari mengonsumsi antibiotik, sebaiknya jangan
menghentikan konsumsi sebelum antibiotik habis. Ini penting untuk memastikan
agar bakteri benar-benar hilang dari tubuh.
Meski begitu pemberian antibiotik untuk mengobati tifus mulai menimbulkan
masalah tersendiri di Asia Tenggara. Beberapa kelompok Salmonella typhi
menjadi kebal terhadap antibiotik. Beberapa tahun terakhir, bakteri ini juga
menjadi kebal terhadap antibiotik ampicillin dan trimotheprim-silfamethoxazole.
Segera berkonsultasi dengan dokter jika kondisi Anda memburuk saat
menjalani perawatan di rumah. Pada sebagian kecil pengidap, penyakit ini dapat
saja kambuh lagi. Agar tubuh segera pulih dan mencegah risiko tifus datang lagi,
pastikan Anda menjalani langkah-langkah sederhana berikut ini:
a. Istirahat cukup
b. Makan teratur. Anda dapat makan sesering mungkin dalam kadar sedikit
dibandingkan jika makan dengan porsi besar sebanyak tiga kali sehari
c. Minum banyak air putih
d. Cuci tangan teratur dengan sabun dan air hangat untuk mengurangi risiko
penyebaran infeksi

D. LEPTOSPIROSIS
1. DEFINISI

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan


binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti
manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia.
Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena
memang muncul dikarenakan banjir.

Leptospirosis merupakan salah satu penyakit bakteri yang paling banyak tersebar
di dunia disebabkan oleh genus Leptospirae, yang diklasifikasikan sebagai
anthroponozonosis mempengaruhi manusia secara langsung dan berbagai spesies
hewan. Leptospirosis harus dianggap sebagai penyakit yang berbahaya. Namun
epidemik di perkotaan terkait dengan bentuk parah dari penyakit ini juga dilaporkan
terjadi setiap tahun yang mengakibatkan kematian yang signifikan.
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia dan
hewan, serta digolongkan penyakit zoonosis. Berdasarkan penyebab, leptospirosis
adalah zoonosis bakterial, sedangkan berdasarkan cara penularan, leptospirosis
merupakan direct zoonosis karena tidak memerlukan vektor. Leptospirosis pada
manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman Leptospira sp dengan
reservoir utama adalah roden. Kuman Leptospira sp hidup di dalam ginjal penjamu
reservoir dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih.
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira.
Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever
(Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious jaundice, Field fever, Cane
cutter dan lain-lain (WHO, 2003). Sedangkan menurut (swastika, 2009)
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus,
anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira
icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus.

2. ETIOLOGI

Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara


beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan berbagai subgrup
yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air
kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun
binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa terinfeksi
jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi dengan air,
tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang yang
terinfeksi leptospira (Mansjoer, 2005).
Leptosipra sp.merupakan bakteri obligat aerob, sehingga keberadaan oksigen
merupakan hal yang penting untuk kelangsungan hidupnya. Leptospira sp.peka ter-
hadap asam dan dapat bertahan hidup di dalam air bersi-fat basa sampai 6 bulan dan
dapat hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi di dalam air
laut, air selokan, dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.
L. interrogans berbentuk batang, namun mempunyai lekuk lekuk. Bakteri ini
mempunyai gerakan yang khas. Suhu optimum untuk perkembangbiakan antara 28
C 30 C. bakteri ini bersifat Gram negative, tetapi tidak mudah menyerap zat warna
anilin. Untuk memeriksa Leptospira umumnya digunakan mikroskop medan gelap
(dark field microscope) atau mikroskop kontras-fase (phase contrast microscope),
tanpa pemberian zat warna (natif). L. interrogans dikeluarkan oleh tubuh penderita
lewat urine pada fase leptospiruria. Ketahanan hidup di luar tubuh tergantung pada
kondisi tanah dan air di sekelilingnya. Suhu sekitar 25 C, pH tanah netral, dan
kelembaban diperlukan untuk kelangsungan hidup L. interrogans.
Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yang patogen
L.interrogans, dan yang non pathogen atau saprofit L.biflexs kelompok patogen
terdapat pada manusia dan hewan. Kelompok yang patogen atau L. interrogans
terdiri dari sub grup yang masing-masingnya terbagi lagi atas berbagai serotype
(serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan 240 serotipe yang
tergabung dalam 23 serogrup. Sub grup yang dapat menginfeksi manusia di
antaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L. javanica, L. celledoni, L. canicola, L
ballum, L. pyrogenes, L. cynopteri, L. automnalis, L. australis, L. pomona, L.
grippothyphosa, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. bufonis,
L. andamana, L. shermani, L. ranarum, L. copenhageni.

Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat, bahkan dapat
berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup atau seropati
dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L. bataviae, L.
pyrogenes, dan sebagainya. Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi
manusia adalah L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L. canicola, dengan
reservoirnya anjing dan L. pomona dengan reservoirnya sapi dan babi (Arjatmo,
1996).
3. GEJALA DAN TANDA

Masa inkubasi 7 12 hari dengan rata rata 10 hari. Setelah masuk ke dalam
tubuh manusia, bakteri masuk ke peredaran darahdan beredar ke seluruh tubuh
sehingga dapat menyebabkan kerusakan dimana saja termasuk organ jantung, otak
dan ginjal. Sebagian besar penyakit ini bersifat subklinis, 90% penyakit tidak akan
menyebabkan ikterik dan hanya tipe yang berat (10%) menyebabkan ikterik (weil
disease).

4. PATOFISIOLOGI
Gambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3 fase yaitu : fase leptospiremia, fase imun
dan fase penyembuhan.
a. Fase Leptospiremia
Fase ini ditandai dengan demam tinggi mendadak, malaise, sakit kepala, nyeri
otot, ikterus dan nyeri perut yang disebabkan oleh gangguan hati, ginjal, dan
meningitis (merupakan salah satu penjelasan mengapa penyakit ini sering
mendiagnosis dengan meningitis dan ensefalitis). Fase ini berlangsung 4 -9 hari.
b. Fase Imun
Titer antibodi IgM mulai terbentuk dan meningkat dengan cepat. Gangguan klinis
akan memuncak. Dapat terjadi leptopiura (leptospira dalam urin) selama satu
minggu sampai satu bulan. Fase ini berlangsung selama 4 30 hari.
c. Fase penyembuhan (Konvalensen)
Fase ini ditandai dengan gejala klinis yang sudah berkurang dapat timbul kembali
dan berlangsung selama 2 4 minggu.

Penderita leptospirosis secara klinis dibedakan menjadi leptospirosis ringan


( anikterik ) dan leptospirosis berat ( ikterik ).

1. Leptospirosis ringan (anikterik)


leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang
umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri kepala
bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan
photopobia. Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini
diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian
besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat
untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok
ini, pasien kadang -kadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia
dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah
conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati,
splenomegali, hepatomegali dan rash macupapular bisa ditemukan, meskipun
jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien
leptospirosis anikterik maupun ikterik.
2. Leptospirosis berat (ikterik)
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptosp irosis berat. Gagal
ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas
penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase
imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia.
Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri
leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan nutrisi penderita serta
kecepatanmemperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering
gagal ginjal akut.

5. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan serologi, dan isolasi
bakteri penyebab.

6. FAKTOR FAKTOR RESIKO

Faktor-faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung atau terpajan
air atau rawa yang terkontaminasi yaitu :

a. Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat banjir.
b. Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung.
c. Mencuci atau mandi disungai atau danau.
d. Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan.
e. Petani tanpa alas kaki di sawah.
f. Pembersih selokan.
g. Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
h. Peternak, pemeliharaan hewan dan dokter hewan yang terpajan atau kontak
langsung karena menangani ternak atau hewan, terutama saat memerah susu,
menyentuh hewan mati, menolong hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan
lain seperti plasenta, cairan amnion dan bila kontak dengan percikan infeksius saat
hewan berkemih.
i. Pekerja tambang.
j. Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar.
k. Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.
l. Tempat rekreasi di air tawar : berenang, arum jeram dan olah raga air lain,
trilomba juang (triathlon), memasuki gua, mendaki gunung.

7. PENCEGAHAN

Upaya pencegahan (preventif) terhadap penyakit leptospirosis dapat dilaksanakan


dengan mengaplikasikan dalam lima tingkat pencegahan penyakit (five level
prevention), sebagai berikut :

a. Health Promotion
Dalam kegiatan promosi kesehatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan diri (personal hygiene) dan
lingkungan (environment), upaya yang dilakukan diantaranya memberikan
pendidikan kesehatan mengenai bahaya penyakit dan cara penularan penyakit, serta
upaya pencegahan penyakit leptospirosis. Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan
antara lain mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah
bekerja di sawah. Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS).
b. Perlindungan atau pencegahan Khusus (Specific Protection)
Berupa upaya spesifik untuk mencegah terjadinya penularan penyakit leptospirosis,
misalnya pemberian vaksin terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak
dengan vaskin strain lokal, mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi
masyarakat, rumah-rumah penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-
hewan tersebut, pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara
lain, melindungi para pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko yang
tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan.
Pengendalian perlu juga dilakukan pada hewan yang terinfeksi bakteri leptospira
sp. Dengan pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira.
c. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment).
Tujuan dari tindakan ini adalah mencegah penyebaran penyakit jika penyakit
tersebut merupakan penyakit menular. Dalam mencegah penyebaran penyakit
leptospirosis usaha yang dapat dilakukan misalnya, pengamatan terhadap hewan
rodent yang ada disekitar penduduk, terutama di desa dengan melakukan
penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap kuman Leptospirosis. Mengobati dan
menghentikan proses penyakit dengan cara memutuskan rantai penyebaran bakteri
leptospirosis dengan cara membasmi reservoinya yang terinfeksi bakteri leptospira
sp. Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus
mewaspadai cemaran urin dari semua hewan Perilaku hidup sehat dan bersih
merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia
yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan
antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan
di mana hewan berada. Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama
dan alami penyakit ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan
pemberantasan Leptospirosis Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk
mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air. Feses ternak perlu diarahkan ke
suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.
d. Pembatasan Kecacatan (Disability limitation)
Pembatasan kecacatan (disability limitation). Untuk memperkecil angka kematian
sebaiknya semua suspect (tersangka) penderita Leptospirosis segera dibawa ke
Puskesmas atau rumah sakit yang terdekat untuk segera mendapati pengobatan.
e. Rehabilitasi
Pada tahap ini, bertujuan untuk mencegah bertambah parahnya penyakit. Oleh
karena itu, dalam tahap ini juga dilakukan rehabilitasi untuk mencegah terjadinya
akibat efek samping dari penyembuhan suatu penyakit. Rehabilitasi adalah usaha
pemngembalian fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin yang
meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi mental atau psikologis serta
rehabilitasi sosial.
8. PENGOBATAN

Leptospira adalah penyakit yang self-limited. Secara umum prognosisnya adalah baik.
Antibiotik yang dapat diberikan anatara lain :
a. Penyakit sedang atau berat : Penisilin 4 x 1.5 IU atau amoksilin 4 x 1 gr selama 7
hari
b. Penyakit ringan : ampisilin 4 x 500 mg, amoksisilin 4 x 500 mg, atau eritromisin
4 x 500 mg.

BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Arjatmo, T & Utama, H. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Balai Penerbit
FKUI: Jakarta

Fentahun, M & Alemayehu, M. Leptospirosis and its Public Health Significance: A Review.
European Journal of Applied Sciences 4 (6): 238-244, 2012

Kemenkes. 2015. HARI KUSTA SEDUNIA 2015: HILANGKAN STIGMA! KUSTA BISA
SEMBUH TUNTAS. [online] http://www.depkes.go.id/article/view/15012300020/hari-kusta-
sedunia-2015-hilangkan-stigma-kusta-bisa-sembuh-tuntas.html#sthash.aiZJgDWi.dpuf,
diakses 8 April 2015

Mansjoer, A. 2005. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Bagian I. Media Aesculapius, FKUI:
Jakarta

Muhidin & Ristiyanto. (2010). Survei Demografi Dan Kondisi Lingkungan Rumah Di
Daerah Kasus Leptospirosis Di Desa Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten
Sleman D.I. Yogyakarta Tahun 2010. Jurnal Vektora Vol. IV No. 1

Priyambodo, Swastiko. (2009). Pengendalian Hama Tikus Terpadu Cetakan Keempat.


Swadaya: Jakarta
Priyanto, Agus.dkk. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten Demak). Diakses tanggal 15 April 2015.
http://eprints.undip.ac.id/6320/1/Agus_Priyanto.pdf\

Ramadhani & Yunianto. (2012). Reservoir dan Kasus Leptospirosis di Wilayah Kejadian
Luar Biasa. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7 No. 4

Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Kanisius:


Yogyakarta

Sudoyo AW. 2006. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta

Widoyono, 2005. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Erlangga: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai