BAB 1
PENDHULUAN
Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun,
dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan
wilayah sejauh lebih dari 800 km, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini
merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km
dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia.
Di kepulaun Bangka Belitung timah menjadi andalan pemasukan APBD yang cukup
besar. Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56% daratan pulaunya
merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar merupakan
anak perusahaan PT. Timah Tbk. Mereka menguasai area KP seluas 321.577 ha, sedangkan
PT. Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25% sahamnya dikuasai PT. Timah dan
75% lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha
(Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang
tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional (TI) yang menambang terbesar di
darat dan laut Babel.
Istilah TI sebagai kepanjangan dari Tambang Inkonvensional sudah sangat dikenal di
kalangan rakyat Kepulauan Bangka Belitung. Ini merupakan sebutan untuk penambangan
timah dengan memanfaatkan peralatan mekanis sederhana, yang biasanya bermodalkan antara
10 juta sampai 15 juta rupiah. Untuk skala penambangan yang lebih kecil lagi, biasanya
disebut Tambang Rakyat (TR). TI sebenarnya dimodali oleh rakyat dan dikerjakan oleh rakyat
juga. Secara legal formal TI sebenarnya adalah kegiatan penambangan yang melanggar hukum
karena memang umumnya tidak memiliki izin penambangan.
Pada awalnya TI "dipelihara" oleh PT. Tambang Timah ketika perusahaan itu masih
melakukan kegiatan penambangan darat di Kepulauan Bangka Belitung.
Pada mulanya pengelola TI melakukan kegiatan di dalam areal kuasa penambangan
(KP) PT. Tambang Timah dan kalau sudah habis mereka bisa pindah ke tempat lain yang
ditentukan oleh PT. Tambang Timah. Akan tetapi, setelah masuk di era reformasi, dari tahun
1998 ke atas, masyarakat mulai mencari-cari lokasi di luar KP PT. Tambang Timah sehingga
jumlah TI berkembang pesat menjadi ribuan. Mereka kini di luar kontrol karena menambang
kebanyakan di luar KP PT. Tambang Timah. Para penambang liar ini membuka galian-galian
baru tanpa mengantongi Izin Penambangan Usaha (IUP). Seiring dengan itu pembangunan
smelter (pabrik pengolahan menjadi timah balok) juga mengalami peningkatan sangat tajam.
Meruyaknya smelter menjadi ancaman besar terjadinya pencemaran lingkungan. Hal ini
dikarenakan smelter-smelter baru tersebut kurang mempertimbangkan sisi lingkungan.
1.4 Tujuan
Mengetahui solusi apa saja yang akan dilakukan dalam kasus penambangan timah di
Bangka Belitung
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Izin usaha Pertambangan adalah pemberian izin untuk melakukan usaha pertambangan
kepada orang pribadi atau badan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Izin Usaha
Pertambangan diberikan dalam bentuk surat keputusan Izin Usaha Pertambangan.
BAB 3
ANALISIS
3.1 Analisis Terhadap Penambangan Di Luar KP dan Tidak Memiliki IUP
Penambangan di luar kuasa penambangan (KP) terjadinya karena tidak tersedianya
Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). WPR adalah salah satu faktor penyebab mengapa
masyarakat melakukan aktivitas penambangannya di sembarang tempat. Mereka membuka
area-area penambangan liar baru tetapi tidak mengantongi izin usaha penambangan (IUP).
Penambangan-penambangan timah liar yang tidak memiliki izin kuasa penambangan dan di
luar area yang telah ditentukan seharusnya bias diatasi mengingat adanya payung hukum yang
mengatur tentang hal tersebut.
1. UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan pasal 15 (2)
menyebutkan bahwa Ketentuan-ketentuan tentang isi, wewenang, luas wilayah dan
syarat-syarat kuasa pertambangan serta kemungkinan pemberian jasa penemuan bahan
galian baik langsung oleh Pemerintah maupun dalam rangka pemberian kuasa
pertambangan, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. UU No. 4/2009 pasal 37 (1) menyatakan bahwa IUP (Izin Usaha Pertambangan)
diberikan oleh: a. bupati/walikota apabila WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan)
berada di dalarn satu wilayah kabupaten/ kota; b. gubernur apabila WIUP berada pada
lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi
dari bupati/walikota seternpat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam undang-undang yang pertama telah disebutkan bahwa luas wilayah dan kuasa
penambangan telah diatur dalam peraturan pemerintah, kemudian pada undang-undang kedua
telah disebutkan juga bahwa IUP langsung diberikan oleh pemerintah. Dengan adanya kedua
undang-undang ini seharusnya penambangan-penambangan di luar area yang telah ditentukan
dan tidak memiliki izin tidak perlu terjadi dan bisa teratasi. Namun, kenyataan di lapangan
tidak demikian karena para penambang terlihat bebas membuka galian dimana saja tanpa
memiliki IUP.
Sanksi tegas harus diberikan kepada penambangan liar agar menimbulkan efek jera.
UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan pasal 31 (1)
menyebutkan bahwa Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun
dan/atau dengan denda setinggi-tingginya limaratus ribu rupiah, barang siapa yang tidak
mempunyai kuasa pertambangan melakukan usaha pertambangan seperti dimaksud dalam
pasal 14 dan 15. Dalam pasal tersebut dijelaskan para penambang yang tidak memiliki kuasa
pertambangan akan dihukum. Namun, kurangnya pengawasan pemerintah menyebab terhadap
penambangan liar mengakibatkan penambangan-penambangan liar ini masih tetap ada dan
kian berkembang.
Masukkan atau saran yang harus diperhatikan kepada para pendukung adanya kegiatan
pertambangan yaitu pertama kepada pemerintah agar lebih tegas menegakkan hukum dengan
adil dan tegas tak pandang buluh. Pendataan dan penelusuran mengenai mafia yang menjadi
dalang dari tindakan penambangan timah liar harus segera dilakukan dengan efektif dan
seefisien mungkin agar masalah tidak menjadi krusial.
Dalam dua pasal tersebut menjelaskan bahwa hasil produksi dan ekspor timah
digunakan untuk kepentingan negara serta perlu adanya pengawasan dalam kegiatan ekspor.
Tetapi, kenyataan yang terjadi di lapangan lagi-lagi tidak demikian. Berdasarkan data tahun
2007, melalui penambangan legal, Indonesia menghasilkan timah sebesar 71.610 ton per
tahun. Dari penambangan ilegal, sebanyak 60.000 ton per tahun. Kerugian Negara Akibat
Penyelundupan Timah Pihak intelijen Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, pada tahun 2006
melaporkan, nilai penyelundupan timah di Bangka Belitung mencapai sekitar Rp 10 miliar per
bulan. Penyelundupan timah terjadi berkali-kali dan seolah menjadi suatu kelaziman. Pada
akhir 2005, pernah terjadi penyelundupan timah sebanyak 714 karung pasir timah, atau senilai
Rp 1 miliar. Timah yang diselundupkan ke luar wilayah Indonesia, umumnya berasal dari
tambang-tambang rakyat (TI).
Meningkatnya minat pelaku untuk menyelundupkan pasir timah ke luar negeri seperti
di Singapura diperkirakan karena saat ini, harga jual di Indonesia menurun drastis. Sumber
dari Dinas Pertambangan menyebutkan, harga pasir timah di tingkat penambang di Kepulauan
Riau maupun di Bangka Belitung, saat ini, Rp 25.000 sampai Rp 30.000 per kilogram.
Sedangkan, harga rata-rata di Singapura Rp 75.000 per kilogram, kata sumber tersebut.
Perbedaan harga yang cukup tinggi itulah yang diduga membuat para broker berupaya
menyelundupkan timah ke Singapura. Sebab, pemerintah saat ini, melarang ekspor hasil
tambang mineral dan batu bara maupun bauksit, termasuk biji timah ke luar negri, sebelum
dilakukan pemurnian di dalam negeri. Padahal, pabrik pemurnian produk tambang (smelter)
minerba belum ada di Bangka Belitung dan di Kepulauan Riau.
BAB 4
PENUTUP
41.1 Kesimpulan
Seluruh kegiatan pertambangan tidak ada yang berdampak positif terhadap lingkungan
bahkan dapat dikatakan sangat merusak lingkungan alam. Begitu juga yang terjadi di
Kepulauan Bangka Belitung. Penambangan timah yang dilakukan secara terus menerus yang
telah menyebabkan kerusakan lingkungan sudah sangat parah. Kerusakan itu juga sudah
terlihat bahkan dirasakan oleh masyarakat setempat.Masalah yang muncul menjadi cerminan
bahwa lemahnya sistim Pemerintah dalam memenuhi kesejahteraan masyarakat di daerah
Bangka Belitung. Pengawasan dan rehabilitasi lingkungan harus dioptimalkan. Langkah ini
harus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang terkait dan yang memiliki keinginan
untuk menuju keadaan yang lebih baik. Semua butuh kerjasama antar masyarakat dan
pemerintah untuk menanggulangi hal tersebut. selama ini yang menjadi masalah utama dalam
setiap kerusakan adalah kesadaran manusia untuk menjaga lingkungan. Untuk menumbuhkan
kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan tidaklah mudah.
4.2 Saran
Seharusnya Pemerintah menegakkan hukum dengan adil dan tegas, melakukan razia
bahkan pendataan kepada para penambang timah dan tidak membiarkan mereka secara bebas
untuk mengeksploitasikan timah. Membiarkan PT Timah menjadi satu-satunya perusahaan
dengan wewenang yang resmi untuk melakukan kegiatan penambangan agar tidak semakin
maraknya kegiatan penambangan timah secara illegal. Pengawasan dan rehabilitasi lingkungan
harus dioptimalkan. Jika tidak ada ketegasan dari Pemerintah,Kepulauan Bangka Belitung,
hanya tinggal menunggu detik-detik untuk menuju kehancuran ekosistem.
Daftar Pustaka
Agus, Dwi. 2009. Sejarah Tambang Timah di Bangka Belitung. Jakarta : PT. TIMAH