Anestesi Bab 2
Anestesi Bab 2
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
2.1 Transmisi Saraf - Otot
Neuromuscular junction (NM) adalah region di sekitar neuron motorik dan
sel otot. Membran sel neuron dan serabut otot dipisahkan oleh celah sempit (20
nm) yaitu celah sinaptik. Saat potensial aksi saraf mendepolarisasi terminalnya,
terjadi influks ion kalsium melalui voltage-gated calcium channel ke dalam
sitoplasma sehingga memungkinkan vesikel berfusi dengan membran terminal dan
melepaskan asetilkolin yang disimpan. Molekul asetilkolin berdifusi sepanjang
celah sinaptik untuk berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik pada bagian
khusus membran sel otot, yaitumotor end-plate. Setiap NM memiliki sekitar 5 juta
reseptor, tetapi untuk aktivasi saat kontraksi otot normal hanya dibutuhkan sekitar
500.000 reseptor.
2
2.2 Farmakologi Dasar Obat-obat Pelumpuh Otot.
2.2.1 Pembagian Obat-obat Pelumpuh Otot
3
Sebaliknya, obat-obat nondepolarisasi (misal pancuronium)
mempunyai struktur ganda asetilkolin dalam satu dari dua tipe sistem cincin
besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki oleh semua pelumpuh
otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium kuartener yang
memberi muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor
nikotinik membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat
entrinya ke sistem saraf pusat.
4
aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara klinis menyerupai blok obat
pelumpuh otot nondepolarisasi.
5
Reseptor asetilkolin nikotinik prejunksional telah diindentifikasi
pada ujung saraf dari NM. Meskipun peran fisiologisnya masih belum jelas,
aksi prejunksional untuk beberapa obat pelumpuh otot mungkin signifikan.
6
Contoh hubungan dosis-respons. Angka yang tercantum adalah
nilai perkiraan untuk rocuronium. Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi
otot skeletal yang kecil dan cepat (mata, digiti) sebelum otot abdomen
(diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah pemberian obat pelumpuh
otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang intens pada otot-otot
laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor pollicis). Efek sparing
obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada otot-otot laring mungkin
merefleksikan peran tipe serabut otot skeletal. Otot yang berperan dalam
penutupan glotis (m.thyroarytenoid) adalah tipe kontraksi cepat, di mana
m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut lambat. Konsentrasi
reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga
dibutuhkan jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe
cepat dibanding otot tipe lambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita
suara dari pada m.adductor pollicis semakin cepat pula ekuilibrium
konsentrasi plasma dan konsentrasi pada otot-otot jalan napas saat
dibandingkan dengan m.adductor pollicis. Dengan obat pelumpuh otot
nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis otot laring
adalah cepat dan hilang sebelum mencapai efek maksimum pada
m.adductor pollicis. Hal penting yang harus diperhatikan adalah dosis obat
yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu blokade diafragma
adalah dua kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan blokade
yang sama dari m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring
m.adductor pollicis adalah indikator relaksasi otot laring yang jelek
(m.cricothyroid) sedangkan stimulasi saraf fasial dan monitoring respons
m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset blokade saraf-otot diafragma.
Oleh karena itu, m.orbicularis oculi lebih disukai dari pada m.adductor
pollicis sebagai indikator blokade otot laring.
7
fisiologis, dan memiliki kelarutan yang terbatas dalam lipid. Volume
distribusi obat-obat ini terbatas dan sama dengan volume cairan
ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg). Sebagai tambahan, obat pelumpuh otot
tidak dapat dengan mudah melewati sawar membran lipid seperti sawar
darah otak, epitel tubulus renal, epitel gastrointestinal, atau plasenta. Oleh
karena itu, obat pelumpuh otot tidak dapat mempengaruhi sistem saraf
pusat, reabsorpsinya di tubulus renal minimal, absorpsi oral yang tidak
efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak mempengaruhi fetus.
Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga memainkan peran
dalam farmakokinetik obat-obat ini. Klirens plasma, volume distribusi, dan
waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot dapat dipengaruhi oleh usia,
anestesi volatil, dan penyakit hati atau ginjal. Eliminasi renal dan hepatik
dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar karena sifatnya yang mudah
mengalami ionisasi sehingga mempertahankan konsentrasi plasma obat
yang tinggi dan juga mencegah reabsorpsi renal obat yang dieksresi.
Penyakit ginjal sangat mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot
nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidak terlalu kuat terikat
pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila ada perubahan
ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi
ginjal obat pelumpuh otot.
8
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein,
dehidrasi, atau perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan
konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat.
Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan
durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena.
2.3.1 Dosis
Dosis dapat bervariasi antara 0,5 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari
1 mg/kgBB tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau
pernafasan spontan. Selain itu, pada keadaan di mana blokade saraf-otot
penuh sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB masih tepat.
9
Durasi kerja suksinilkolin yang singkat (3 5 menit) disebabkan
hidrolisis oleh kolinesterase plasma (pseudokolinesterase). Kolinesterase
plasma disintesis di hati dan merupakan glikoprotein tetrametrik
mengandung 4 subunit identik dengan masing-masing satu tempat katalitik
aktif. Metabolit suksinilkolin adalah suksinilmonokolin dengan potensi 1/20
1/80 suksinilkolin. Plasma kolinesterase mempengaruhi durasi kerja
suksinilkolin karena memiliki kapasitas yang besar untuk menghidrolisis
suksinilkolin dalam waktu singkat sehingga hanya sedikit fraksi dosis IV
awal yang benar-benar mencapai NMJ.
1. Aritmia Jantung
10
Sebaliknya, efek suksinilkolin menyerupai efek fisiologis
asetilkolin pada pada sistem saraf otonom. Efeknya adalah stimulasi
ganglionik, yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sistemik.
2. Hiperkalemia
3. Mialgia
Mialgia otot skeletal post operasi, yang biasa timbul pada otot leher,
punggung dan abdomen, dapat terjadi setelah pemberian suksinilkolin,
khususnya dewasa muda setelah menjalani prosedur bedah minor. Mialgia
11
yang terlokasi di otot leher dianggap sebagai faringitis oleh pasien dan
dihubungkan dengan intubasi trakea oleh anestesiologis. Mialgia sendiri
diduga terjadi akibat kontraksi otot skeletal yang tidak sinkron serta
dikaitkan dengan depolarisasi umum. Pemberian obat pelumpuh otot
nondepolarisasi mencegah atau mengurangi mialgia setelah pemberian
suksinilkolin.
4. Mioglobinuria
12
7. Peningkatan Tekanan Intrakranial
Obat pelumpuh otot secara klinis dibagi menjadi kelompok kerja lama,
kerja sedang, dan kerja singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih,
metabolisme, dan klirens dipengaruhi oleh keputusan klinis untuk memilih satu
obat dibanding obat yang lain. Berbagai variasi respons yang dicetus oleh obat
pelumpuh otot nondepolarisasi terjadi karena perbedaan farmakokinetik.
13
< 0,7, d) potensiasi post-tetanik, e) potensiasi obat pelumpuh otot
nondepolarisasi yang lain, f) antagonisme untuk obat antikolinesterase, g)
tidak terjadi fasikulasi saat onset blokade saraf-otot nondepolarisasi.
2.4.2 Intubasi
Tidak satu pun dari obat pelumpuh otot yang tersedia saat ini
menyamai onset cepat atau durasi kerja singkat suksinilkolin. Namun, onset
obat pelumpuh otot dapat dipercepat dengan menggunakan dosis yang lebih
besar atau dosis awal. ED95 adalah dosis efektif obat pada 95% individu.
Satu sampai dua kali dosis ED95 biasa dipakai untuk intubasi. Meskipun
dengan dosis intubasi yang lebih besar mempercepat onset, namun dapat
mengeksaserbasi efek samping dan memperpanjang durasi blokade.
Sebagai contoh dosis 0,15 mg/kgBB pancuronium dapat memberi kondisi
intubasi dalam 90 detik, tapi akan timbul hipertensi dan takikardia yang
lebih nyata- dan blok yang ireversibel selama lebih dari 60 menit.
Konsekuensi dari durasi kerja yang panjang adalah kesulitan yang terjadi
dalam membalikkan blokade secara keseluruhan, khususnya pada pasien
usia tua dan mereka yang menjalani pembedahan abdomen. Menurut aturan
umum, semakin poten obat pelumpuh otot nondepolarisasinya, semakin
panjang kecepatan onsetnya, namun potensi yang lebih besar membutuhkan
dosis yang lebih kecil, yang kemudian akan menurunkan pengantaran obat
ke NMJ.
14
Kemunculan obat kerja singkat dan kerja sedang meningkatkan
penggunaan dosis awal. Secara teoritis pemberian 10 15% dari dosis
intubasi sebelum induksi akan membantu penempatan cukup banyak
reseptor sehingga paralisis akan cepat terjadi saat relaksans yang seimbang
diberikan. Penggunaan dosis awal dapat memberikan kondisi yang sesuai
untuk intubasi dalam waktu 60 detik pemberian rocuronium atau 90 detik
setelah pemberian obat nondepolarisasi kerja sedang lain. Dosis awal
biasanya tidak mencapai paralisis yang signifikan secara klinis, yang
membutuhkan sekitar 75 80% reseptor yang terblok (batas aman saraf
otot). Pada beberapa pasien, dosis awal menempati cukup banyak reseptor
untuk membuat distres, dispneu, diplopia, atau disfagia; pada keadaan
demikian, pasien harus ditenangkan dan induksi anestesi harus dilanjutkan
tanpa menunda. Dosis awal dapat menyebabkan deteriosasi signifikan
dalam fungsi respirasi (misal penurunan kapasitas vital paksa) dan dapat
menuju desaturasi oksigen pada pasien dengan cadangan paru terbatas. Efek
negatif ini sering terjadi pada pasien usia tua.
15
2.4.4 Rumatan Relaksasi Otot
16
yang lebih sempit, metocurine) memblok ganglia otonom, menghambat
kemampuan sistem saraf simpatis untuk meningkatkan kontraktilitas dan
denyut jantung sebagai respons terhadap hipotensi dan stres intraoperatif
yang lain. Sebaliknya, pancuronium (dan gallamine) memblok reseptor
vagal muskarinik di nodus sinoatrial, berakibat pada takikardi. Semua obat
pelumpuh otot nondepolarisasi yang baru termasuk atracurium,
cisatracurium, mivacurium, doxacurium, vecuronium, dan pipecuronium
adalah obat-obat tanpa efek otonom dalam penggunaan dosis yang
direkomendasikan.
17
2.4.10 Ekskresi Renal
Doxacurium, pancuronium, vecuronium, dan pipecuronium sebagian
diekskresi oleh ginjal dan kerjanya lebih panjang pada pasien dengan gagal ginjal.
Eliminasi atracurium, cisatracurium, mivacurium, dan rocuronium tidak bergantung
pada fungsi ginjal.
18
Seperti yang disebut sebelumnya, banyak obat mengaugmentasi blokade
obat nondepolarisasi. Obat-obat ini memiliki beberapa tempat interaksi:
struktur prejunksional, reseptor kolinergik postjunksional, dan membran
otot.
6. Penyakit yang Diderita
Penyakit saraf atau otot memiliki efek yang besar pada respons
individual terhadap pelumpuh otot. Sirosis hepatis dan gagal ginjal
kronik berakibat pada peningkatan volume distribusi dan penurunan
konsentrasi plasma pada obat-obat yang larut dalam air seperti
pelumpuh otot. Di sisi yang lain, obat yang bergantung pada ekskresi
melalui hati atau ginjal mungkin memperpanjang klirens. Oleh karena
itu, bergantung pada obat yang terpilih, dibutuhkan dosis inisial yang
lebih tinggi, namun dengan dosis rumatan yang lebih besar.
7. Kelompok Otot
Onset dan intensitas blokade bervariasi di antara kelompok otot. Hal ini
mungkin karena perbedaan dalam aliran darah, jarak dari sirkulasi
sentral, atau tipe serabut otot yang berbeda. Lebih jauh, sensitivitas
relatif terhadap sekelompok otot mungkin bergantung pada pemilihan
pelumpuh otot. Secara umum, diafragma, rahang, laring, dan otot-otot
wajah (m.orbicularis oculi) berespons dan pulih lebih cepat dari
relaksasi otot dibanding ibu jari. Muskulatur glotis juga cukup resisten
terhadap blokade yang seringkali terbukti selama laringoskopi. ED95
otot-otot laring hampir dua kali m.adductor pollicis. Kondisi intubasi
yang baik biasanya dihubungkan dengan respons kedutan m.orbicularis
oculi yang hilang.
19
2.5 Macam-macam Obat Pelumpuh Otot Non Depolarisasi
1. Atracurium
Atracurium adalah kelompok kuartener, struktur benzylisoquinoline
membuat cara degradasi senyawa ini menjadi unik. Obat ini merupakan
gabungan dari 10 stereoisomer.
Dosis
Dosis 0,5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 60 detik
untuk intubasi. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0,25
20
mg/kgBB, kemudian dosis inkremental 0,1 mg/kgBB setiap 10 20 menit.
Infus 5 10 g/kg/menit dapat menggantikan bolus intermiten secara
efektif. Kebutuhan dosis tidak bervariasi sesuai usia, namun atracurium
dapat bekerja lebih singkat pada anak-anak dan bayi dari pada orang
dewasa.
Toksisitas Laudanosine
Laudanosine, amin tersier, adalah produk penghancuran atracurium
melalui eliminasi Hoffmann dan telah dihubungkan dengan eksitasi sistem
saraf pusat, menyebabkan elevasi konsentrasi alveolar minimum dan
bahkan mencetuskan kejang. Semua hal di atas adalah irelevan kecuali
pasien mendapat dosis total yang sangat tinggi atau mengalami kegagalan
21
hati. Laudanosine dimetabolisme oleh hati dan diekskresi dalam urin dan
empedu.
Inkompatibilitas Kimia
Atracurium akan berubah menjadi asam bebas bila dimasukkan
melalui saluran intravena yang mengandung cairan alkali seperti tiopental.
Reaksi Alergi
Reaksi anafilaktoid terhadap atracurium telah dilaporkan meskipun
jarang terjadi. Mekanisme yang diduga berperan adalah imunogenisitas
langsung dan aktivasi imun yang dimediasi acrylate. Reaksi antibodi yang
dimediasi IgE yang melawan senyawa amonium substitusi termasuk
pelumpuh otot juga telah dilaporkan. Reaksi terhadap acrylate, metabolit
atracurium dan komponen struktural dari beberapa membran dialisis juga
dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis.
2. Cisatracurium
Cisatracurium adalah stereoisomer atracurium yang empat kali lebih
poten. Atracurium mengandung sekitar 15% cisatracurium.
22
cisatracurium. Metabolisme dan eliminasi tidak terpengaruh oleh keadaan
ginjal maupun hati. Variasi minor dalam pola farmakokinetik yang
berkaitan dengan umur tidak menyebabkan perubahan signifikan pada
durasi kerja.
Dosis
Dosis intubasi adalah 0,1 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit dan
menghasilkan blokade otot dengan durasi kerja sedang. Rata kecepatan
infus adalah antara 1,0 2,0 g/kg/menit. Potensi cisatracurium sama
dengan vecuronium dan lebih poten dibanding atracurium.
Cisatracurium harus disimpan dalam pendingin (28C) dan harus
digunakan dalam waktu 21 hari bila disimpan pada suhu ruangan.
3. Mivacurium
Mivacurium adalah derivat benzylisoquinoline.
23
atipikal akan mengalami blok 2 kali lebih lama dari durasi normal, di mana
homozigot atipikal akan tetap terparalisis selama berjam-jam. Homozigot
atipikal tidak dapat memetabolisme mivacurium sehingga blokade saraf-
otot dapat berlangsung selama 3 4 jam. Antagonisme farmakologis
dengan inhibitor kolinesterase akan mempercepat pembalikan blokade
mivacurium tepat saat respons terhadap stimulasi saraf menjadi nyata.
Edrophonium membalikkan blokade mivacurium lebih efektif dibanding
neostigmine karena neostigmine menghambat aktivitas kolinesterase
plasma. Meskipun metabolisme dan ekskresi mivacurium tidak bergantung
pada ginjal atau hati, durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan
gagal ginjal atau hati atau pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai
akibat dari kadar kolinesterase plasma yang menurun.
Dosis
Dosis intubasi mivacurium adalah 0,15 0,2 mg/kg. Infus menetap
untuk relaksasi intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase
tapi dapat diinisiasi 4 10 g/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang
lebih tinggi dari pada orang dewasa jika dosis dihitung berdasarkan berat
badan, namun tidak demikian bila berdasarkan luas permukaan tubuh.
Mivacurium dapat bertahan selama 18 bulan bila disimpan pada suhu
ruangan.
24
vecuronium, atau rocuronium. Pada anak-anak onset lebih cepat dan durasi
kerja lebih singkat. Meskipun pemulihannya cepat, dalam pemberian
mivacurium semua pasien harus dimonitor untuk menentukan apakah
pembalikan farmakologis diperlukan. Durasi kerja mivacurium yang
pendek cukup nyata memanjang dengan pemberian pancuronium.
4. Doxacurium
Doxacurium adalah senyawa benzylisoquinoline yang erat
berhubungan dengan mivacurium dan atracurium.
Dosis
Kondisi intubasi trakea yang adekuat dalam 5 menit membutuhkan
dosis doxacurium 0,05 mg/kg. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis
inisial 0,02 mg/kg diikuti dosis 0,005 mg/kg. Doxacurium dapat diberikan
dalam dosis yang disesuaikan dengan usia pada pasien muda dan orang tua,
meskipun pada orang tua dapat dijumpai durasi kerja yang memanjang.
25
5. Pancuronium
Pancuronium memiliki cincin steroid yang ditempati dua molekul
asetilkolin yang termodifikasi (pelumpuh otot biskuartener).
Dosis
Dosis 0,08 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi yang
adekuat untuk intubasi dalam 2 3 menit. Relaksasi intraoperatif dicapai
dengan memberikan 0,04 mg/kg dosis inisial diikuti dengan dosis 0,01
mg/kg setiap 20 40 menit.
26
Anak anak perlu dosis pancuronium yang lebih tinggi.
Pancuronium tersedia dalam larutan 1 atau 2 mg/mL dan disimpan pada
suhu 28C tapi stabil sampai 6 bulan pada suhu ruangan.
2.Aritmia
Peningkatan konduksi atrioventrikuler dan pelepasan katekolamin
meningkatkan disritmia ventrikuler pada individu yang rentan. Kombinasi
pancuronium, antidepresan trisiklik, dan halotan bersifat aritmogenik.
Reaksi Alergi
Pasien yang hipersensitif pada bromida mungkin mengalami reaksi
alergi pancuronium (pancuronium bromida).
6. Pipecuronium
Pipecuronium memiliki struktur steroid yang sangat mirip dengan
pancuronium.
27
Dosis
Pipecuronium sedikit lebih poten dibanding pancuronium dan dosis
intubasi adalah antara 0,06 0,1 mg/kg. Dosis relaksasi rumatan dapat
dikurangi sekitar 20% bila dibandingkan dengan pancuronium. Bayi butuh
lebih sedikit pipecuronium pada dasar dosis per kilogram dari pada anak-
anak atau dewasa. Profile farmakologi pipecuronium tidak berubah secara
relatif pada pasien usia lanjut.
7. Vecuronium
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil
kuartener (pelumpuh otot monokuartener). Sedikit perubahan struktur
memberi efek samping menguntungkan tanpa mempengaruhi potensi.
28
Metabolisme dan Ekskresi
Vecuronium dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh hati. Hal ini
sangat bergantung pada ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi
ginjal.
Vecuronium adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal
ginjal, durasi kerjanya akan memanjang dengan sebab yang tidak jelas.
Durasi kerja vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu paruh
eliminasinya yang lebih pendek dan klirens yang lebih cepat dibandingkan
pancuronium. Pemberian vecuronium jangka panjang pada pasien yang
dirawat dalam perawatan intensif menyebabkan perpanjangan blokade
(sampai beberapa hari), yang mungkin disebabkan oleh akumulasi metabolit
aktif 3-hidroksi, perubahan klirens obat, atau perkembangan dari
polineuropati. Faktor risikonya antara lain jenis kelamin wanita, gagal
ginjal, terapi kortikosteroid jangka panjang atau dosis tinggi, dan sepsis.
Oleh karena itu, pasien-pasien ini harus dimonitor dengan ketat dan dosis
vecuronium harus dititrasi dengan hati-hati. Pemberian pelumpuh otot
jangka panjang dan diikuti dengan pengurangan ikatan asetilkolin pada
reseptor nikotinik postsinaptik yang lama, dapat menimbulkan keadaan
yang mirip denervasi kronik dan disfungsi reseptor dan paralisis. Efek
saraf-otot vecuronium memanjang pada pasien dengan AIDS. Toleransi
terhadap obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga dapat terjadi setelah
pemakaian lama.
Dosis
Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya
adalah 0,08 0,12 mg/kg. Dosis inisial 0,04 mg/kg diikuti dengan dosis
tambahan 0,01 mg/kg setiap 15 20 menit membantu relaksasi
intraoperatif. Sebagai alternatif, infus 1 2 g/g/menit menghasilkan
rumatan relaksasi yang baik.
29
Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial, meskipun dosis
tambahan jarang dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap
vecuronium pada wanita 30% lebih dibanding pria yang dibuktikan dengan
tingkat blokade yang lebih besar dan durasi kerja yang lebih panjang
(ditemukan juga pada pancuronium dan rocuronium). Penyebab dari
sensitivitas ini mungkin berhubungan dengan perbedaan jumlah massa
lemak dan otot, ikatan protein, volume distribusi atau aktivitas metabolic.
Durasi kerja vecuronium juga dapat memanjang pada pasien postpartum
karena perubahan dalam aliran darah atau uptake hati.
8. Rocuronium
Rocuronium adalah steroid monokuartener analog vecuronium,
namun dirancang untuk memberikan onset kerja yang cepat.
30
Metabolisme dan Ekskresi
Rocuronium tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama
oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi kerjanya tidak terlalu dipengaruhi
oleh penyakit ginjal, tapi cukup memanjang oleh gagal hati berat dan
kehamilan. Rocuronium tidak memiliki metabolit aktif, dan mungkin
merupakan pilihan yang lebih baik dari pada vecuronium untuk infus yang
lama (misal pada unit perawatan intensif). Pasien usia lanjut dapat
mengalami durasi kerja yang memanjang karena massa hati yang menurun.
Dosis
Rocuronium kurang potent dibanding pelumpuh otot steroid lain.
Dosis untuk intubasi 0,45 0,9 mg/kg i.v dan 0,15 mg/kg bolus untuk
rumatan. Dosis yang lebih rendah dari 0,4 mg/kg dapat memungkinkan
pembalikan 25 menit setelah intubasi. Rocuronium intramuskuler (1 mg/kg
untuk bayi, 2 mg/kg untuk anak-anak) menyebabkan paralisis pita suara dan
diafragma untuk intubasi, namun belum akan terjadi 3 6 menit kemudian
(injeksi deltoideus onsetnya lebih cepat dari pada quadricep) dan dapat
dibalikkan setelah 1 jam.
31
Rocuronium (0,1 mg/kg) adalah obat yang cepat (90 detik) dan
efektif (menurun fasikulasi dan myalgia postoperative) untuk precurarisasi
terutama pada pemberian suksinilkolin. Rocuronium juga memiliki
kecenderungan vagolitik.
32
Agen nondepolarisasi yang hanya sedikit dimetabolisme adalah
mivacurium. Pembalikan blokade pelumpuh otot ini tergantung pada
redistribusi, metabolisme gradual, dan ekskresi pelumpuh otot dari tubuh,
atau pemberian agen khusus untuk membalikkan pasien, misal inhibitor
kolinesterase yang menghambat aktivitas enzim asetilkolinesterase. Inhibisi
ini meningkatkan jumlah asetilkolin pada NMJ dan dapat bersaing dengan
agen nondepolarisasi.
Pemilihan Obat
Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh
onset kerja, durasi kerja, dan kemungkinan efek samping yang diinduksi
oleh obat karena kerja obat pada tempat lain selain NMJ. Efek samping
yang tidak diharapkan adalah respons kardiovaskuler karena pelepasan
histamin yang dicetuskan oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi
benzylisoquinolinium. Onset yang cepat dan durasi yang singkat seperti
yang ditimbulkan oleh suksinilkolin dan pada cakupan yang lebih sedikit
(mivacurium) bermanfaat saat intubasi trakea merupakan alasan pemberian
obat pelumpuh otot. Rocuronium adalah satu-satunya obat pelumpuh otot
nondepolarisasi yang onset kerjanya singkat menyerupai suksinilkolin, tapi
dengan durasi kerja yang lebih panjang. Jika diperlukan blokade saraf- otot
yang dipertahankan dalam periode tertentu maka obat pelumpuh otot
nondepolarisasi adalah obat pilihan untuk dosis intermiten atau sebagai
infus kontinu. Saat tidak diperlukan onset cepat blokade saraf-otot, relaksasi
otot untuk fasilitasi intubasi trakea dapat dipilih obat pelumpuh otot
nondepolarisasi. Beberapa obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat
menimbulkan penurunan tekanan darah sistemik yang signifikan akibat
pelepasan histamin (atracurium atau mivacurium) atau dapat meningkatkan
denyut jantung (pancuronium). Efek sirkulasi yang dicetus oleh obat ini
biasa dihindari bila terdapat keadaan seperti hipovolemia, penyakit arteri
koroner, atau penyakit katup jantung. Sebaliknya, bradikardi yang
dicetuskan oleh anestetik opioid yang ditutupi sampai batas tertentu oleh
efek peningkatan denyut jantung oleh pancuronium dan tidak dapat ditutupi
33
oleh obat pelumpuh otot nodepolarisasi yang tidak memiliki efek sirkulasi
(vecuronium, rocuronium, cisatracurium, doxacurium, pipecuronium).
34
BAB III
Timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi dalam urutan tahap-tahap berikut:
35
Gambar 1. Mekanisme Umum Kontraksi Otot
DAFTAR PUSTAKA
36
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Neuromuscular blocking agents.
In: Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw Hills Company. 2006.
2. White PF, Katzung BG. Skeletal muscle relaxants. In: Basic and clinical
pharmacology. 10th ed. McGraw Hills Company. 2007.
3. Francois D, Bevan DR. Pharmacology of muscle relaxants and their
antagonists. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical
anesthesia. 6th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
4. Stoelting RK. Neuromuscular blocking drugs. In: Pharmacology and
physiology in anaesthetic practice. 4th ed. Philadephia: Lippincott Williams
& Wilkins. 2006.
Taylor P. Agents acting at the neuromuscular junction and autonomic
ganglia. In: Brunton LL, ed. Goodman & Gilmans the pharmacological
basis of therapeutics. 11th ed. New York: McGraw Hills Company. 2006.
37