Anda di halaman 1dari 17

BAB I

I. PENDAHULUAN
Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya meregang. Penyakit ini telah
dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates kemudian
mendeskripsikan tetanus sebagai penderitaan manusia yang tiada akhir. Pada tahun
1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan menginjeksi
nervus skiatik dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yang sama,
Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada
tahun 1889 Kitasato berhasil mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur murni dan
membuktikan bahwa organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila diinjeksikan pada
hewan. Kitasato juga melaporkan bahwa toksin C. tetani dapat dinetralisir oleh antibodi
spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif
antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897. Imunisasi pasif ini digunakan
untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama PerangDunia I. Descombey kemudian
mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada tahun 1924 dan digunakan secara luas
selama Perang Dunia II.[1]
Tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang
dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya Brazil, Filipina,Vietnam,
Indonesia, dan negara-negara di Afrika. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang
menjadi target program imunisasi World Health Organization. Di negara berkembang,
tetanus masih umum penyakit, terutama pada bayi baru lahir, yang dapat terinfeksi spora
tetanus melalui tali pusat (tetanus neonatorum). Di Amerika Serikat, tingkat kejadian
tetanus adalah sekitar satu dari satu juta kasus per tahun. Injeksi heroin yang
terkontaminasi merupakan penyebab signifikan. Sekitar dua-pertiga dari semua cedera
yang menyebabkan tetanus terjadi dari dalam goresan dan luka tusukan di rumah dan
sekitar 20 persen di kebun dan peternakan. Lingkungan tanah Indonesia yang kaya akan C.
tetani dan angka mortalitas yang tinggi menuntut dokter umum untuk menguasai
pencegahan dan penanganan tetanus. [2]

BAB II
I.DEFINISI
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani,
yang masuk melalui luka bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti
kekakuan otot seluruh badan (spasme).[3] Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot
masseter dan otot- otot rangka.
Tetanus neonatorum adalah penyakit infeksi yang terjadi melalui luka irisian pada
umbilicus pada waktu persalinan akibat masuknya spora Clostridium Tetani yng berasal
dari alat alat persalinan yang kurang bersih dengan masa inkubasi antara 3 10
hari.penyakit tetanus neonatorum tersebut penyakit tetanus yang sering terjadi pada
neonatus ( bayi berusia kurang 1 bulan ) yang di sebabkan oleh Clostridium Tetani , yaitu
kuman yang mengeluarkan takosin / racun dan menyerang sistem syaraf pusat.

II.EPIDEMIOLOGY
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu mengenai orang yang tidak imun, orang yang
memiliki imunitas parsial dan individu yang imun secara penuh yang gagal mempertahankan imunitas
adekuat dengan dosis vaksin ulangan juga bisa terkontaminasi. Meskipun tetanus secara
keseluruhan bisa dicegah dengan imunisasi, beban penyakit di dunia cukup besar. Tetanus merupakan
sebuah penyakit yang penting di banyak negara, tetapi pelaporan diketahui tidak akurat
dan tidak lengkap, terutama pada negara-negara berkembang. Sebagai hasilnya, WHO
mempertimbangkan jumlah

kasus

yang

dilaporkan

masih

dibawah

angka

yang

sesungguhnya dan secara periodis melakukan perkiraan kasus/kematian untuk menilai

beban penyakit. Pada tahun 2002 (tahun terakhir yang tersedia datanya), jumlah perkiraan
kematian yang

berhubungan

dengan

tetanus

pada

semua

kelompok

adalah 213.000, dimana 180.000 (85%) adalah tetanus neonatal. Sebaliknya, hanya18.781
total kasus dan 11.762 kasus neonatal yang benar-benar dilaporkan pada tahun itu. Tetanus sering terjadi
dalam wilayah tanah pertanian, dalam iklim yang hangat, selama bulan-bulan musim panas, dan pada
laki-laki. Pada negara-negara tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terutama terjadi
pada neonatus dan anak kecil yang lain. Penting diperhatikan bahwa program internasional untuk
menghilangkan tetanus neonatus telah dilakukan selama beberapa kali. [6]
Di AS dan Negara-negara lain dengan program imuninasi yang sukses, tetanus neonatus jarang
(hanya tiga kasus yang dilaporkan di AS selama 1990-2004), dan penyakit ini mengenai kelompok usia
yang lain dan kelompok yang tidak secara sempurna tertutup oleh imunisasi (seperti kelompok selain
kulit putih). Sejak 1976, hanya kurang dari 100 kasus yang dilaporkan setiap tahunnya. Di AS, sebagian
besar kasus tetanus mengikuti cedera akut (luka tusuk, laserasi, abrasi atau trauma lain). Tetanus bisa
didapatkan di dalam ruangan atau selama aktivitas di luar ruangan (misalnya bertani dan
berkebun). Luka yang terinfeksi mungkin saja besar atau bisa juga terlihat biasa sehingga terabaikan saat
pemeriksaan medis. Dalam beberapa kasus, tidak ada cedera atau pintu masuk yang bisa dicurigai.
Penyakit ini bisa memberikan komplikasi pada kondisi-kondisi kronik seperti ulkus kulit, abses,
dan gangren. Tetanus juga dikaitkan dengan luka bakar, frostbite, infeksi telinga
tengah,pembedahan, aborsi, kelahiran anak, tindik badan, dan penyalahgunaan obat. [5]
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis
(spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik
atau biologik. Port dentree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :
1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran binatang,
bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada
puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.
Menurut survei di lima rumah sakit pusat/provinsi di kota Jakarta , Bandung ,
Makassar dan Palembang selama tahun 1991-1996, terdapat rata-rata 10-25 kasus per
tahun per rumah sakit dengan angka kematian 7-23%. Golongan umur yang paling sering
penyakit ini adalah bayi (26%), disusul anak 5-9 tahun (19%), anak balita 1-4 tahun
(15%) dan usia lebih > 10 tahun (12%). [6]
3

III.ETIOLOGI
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 X 0.4
0.5 millimikron. Kuman ini berspora termasuk golongan Gram positif dan hidupnya
anaerob. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di ujung,
penabuh gendering (drum stick).[4] Bakteri tetanus bersifat obligat anaerob yaitu berbentuk
vegetative pada lingkungan tanpa oksigen dan rentan terhadap panas serta disinfektan.
Pada bentuk vegatif dapat bergerak aktif dengan flagella serta menghasilkan eksotoksin.[6]
Eksotoksin menghasilkan tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin tidak penting
dalam pathogenesis tetanus. Tetanospasmin sangat penting dalam pathogenesis tetanus,
tetanospasmin menyebar ke sistem saraf pusat menyebabkan kejang otot yang berlanjut
dan

bisa

mengakibatkan

tetanus

yang

kronik

dengan

menghalangi

inhibitor

neurotransmission.[7] Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65 oc akan hancur dalam
5 menit. [9]
Pada lingkungan yang tidak kondusif bakteri akan membentuk spora yang tahan
terhadap panas termasuk perebusan ( tetapi hancur pada pemanasan dengan otoklaf),
kekeringan dan berbagai disinfektan. Spora dapat bertahan hidup bertahun-tahun dan
berada di mana saja seperti tanah, debu, serbuk antiseptik , bahkan pada peralatan
operasi.
Bakteri hidup dalam habitat utamanya yaitu tanah yang mengandung kotoran
ternak , kuda dan hewan lainnya sehingga daerah perternakan atau pertanian berisiko
tinggi terhadap penyebaran penyakit ini. [6]

Perwarnaan gram C.Tetani


4

IV.PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani sendiri tidak menyebabkan inflamasi. Dalam kondisi anaerobic yang dijumpai
pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin; tetanospasmin &
tetanolisin. Tetanolisin secara local mampu merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi
sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Tetanospasmin
menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat
150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da)
dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang
menghasilkan jembatan disulfide yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dan rantai berat
terikat pada membrane saraf dan ujung amino yang memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel.
Sedangkan rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari
neuron yang dipengaruhi. [9]
Penyebaran Toksin
Toksin dan kuman tetanus kini telah dapat diisolasi dengan cara sekuensi DNA. Bentuk toksin ini
serupa dengan bentuk toksin Botullinum, terdiri atas rantai berat dan rantai ringan yang terhubung oleh
jembatan disulfide. Rantai berat bermanfaat untuk neuronal uptake dan transport toksin pada motor
neuron, sedangkan rantai ringan merupakan zinc-dependend endopeptidase yang bertanggung jawab
terhadap aksi patologis toksin. Terminal N dari rantai berat diduga terlibat pada pemilihan dan perjalanan
interneuronal, sementara terminal C bertanggung jawab pada aksi neuronal uptake spesifik dari toksin.
Area ini diketahui memiliki 4 tempat ikatan dengan karbohidrat dan terlihat berinteraksi dengan
polisialogangliosida dan glycosylphosphatidylinositol (GPI)-anchored glycoproteins. Kedua komponen
ini diyakini merupakan 2 komponen membrane sel yang memediasi ikatan spesifik dengan toksin. [9]
Toksin yang dihasilkan oleh spora yang terbentuk di dalam luka, terutama luka terbuka akan
menyebar dengan cara:
Masuk kedalam otot
Toksin masuk melalui otot yang terkena luka, terutama luka pada ekstremitas, luka terinfeksi paska
operasi, luka yang kurang vaskularisasi atau luka bakar. Meskipun demikian 20% pasien tetanus tidak
memiliki riwayat luka yang jelas sebagai tempat masuk kuman. Dari otot akan menyebar ke otot yang
berdekatan. Dari otot yang terkena luka toksin akan menyebar ke otot-otot yang dekat disekitarnya
sehingga daerah asal tempat toksin menyebar melalui jalur neural akan meningkat dan terjadi peningkatan
jumah saraf yang terlibat dalam transport toksin ke susunan saraf pusa. Para ahli menduga mekanisme ini
5

terutama dijalankan oleh tetanolisin yang memfasilitasi kerusakan jaringan sekitar luka sehingga menjadi
lingkungan yang baik bagi pertumbuhan Clostridium tetani selanjutnya. [9]
Penyebaran ke sistem limfatik
Toksin yang berasal dari jaringan dengan cepat akan menyebar ke nodulimfatikus regional. Injeksi
dan blocking nodus limfatikus regional dengan antitoksin akan mencegah perkembangan tetanus. Dari
nodus limfatikus toksin segera mengalir melalui system limfatik ke dalam aliran darah. [9]
Penyebaran dalam aliran darah
Toksin kemudian akan diserap melalui aliran darah terutama melalui system limfatik, namun
mungkin juga terjadi secara langsung melalui kapiler-kapiler di dekat depot toksin. Semakin banyak
jumlah toksin di dalam darah maka semakin banyak toksin yang dapat dinetralisasi, karena antitoksin
dapat diberikan melalui intravena. Namun jika deposit di dalam otot lebih banyak tetanus asendens yang
bersifat letal akan terus berkembang karena transpor toksin ke susunan saraf sepanjang jaras saraf.
Penyebaran toksin tidak langsung melalui aliran darah ke susunan saraf pusat karena adanya hambatan
melewati sawar darah otak. Kepentingan fase ini dalam penyebaran toksin adalah perannya yang penting
dalam menyebarkan toksin ke otot-otot sehingga jumlah jalur asenden ke system saraf bertambah pula. [9]
Masuknya toksin ke susunan saraf pusat
Toksin tetanus mencapai susunan saraf pusat melalui transport retrograde sepanjang jalur aksonal.
Toksin yang terbentuk dalam luka atau toksin yang disuntikkan secara subkutan setelah menyebar ke otot
yang terinfeksi dan otot-otot terdekat disekitarnya pertama akan berikatan dengan reseptor membrane
terminal presinaps di dalam otot. Reseptor ini merupakan suatu gangliosid. Selanjutnya toksin akan
berinternalisasi dan naik sepanjang akson saraf perifer di dalam otot menuju sel-sel kornu anterior segmen
spinalis yang menginervasi otot yang terinfeksi. Toksin di dalam luka juga akan mencapai dan bersirkulasi
dalam aliran darah. Toksin ini akan merembes melalui membrane permeable pembuluh darah
intramuskuler. Pada jalur ini toksin berdifusi untuk mencapai saraf dan kepala. Setelah toksin berikatan
dengan reseptor di saraf terminal seluruh otot tubuh ia akan naik sepanjang akson sel saraf di seluruh
tubuh untuk mencapai badan sel alfa motor neuron di medulla spinalis dan batang otak.[9]
Toksin tetanus dialirkan baik melalui saraf sensoris, otonom, maupun motorik. Toksin berjalan
secara retrograde di susunan saraf perifer. Selanjutnya toksin berhenti dan berakumulasi di ganglion radiks
dorsalis juga melalui saraf adrenergic menuju inti intermediolateral di medulla spinalis yang mengurus
saraf simpatis. [9]
Di dalam medulla spinalis dan batang otak toksin meninggalkan sel kornu anterior dan nucleus
motorik di batang otak untuk menyebrangi celah sinaptik dan mencapai bagian terminal neuron inhibitor.
Di bagian in toksin akan berikatan dengan reseptor di membrane presinaps. Inhibisi ini terutama terjadi

pada saraf motorik dan otonom. Toksin tetanus bekerja dengan cara menghambat pelepasan
neurotransmiter inhibisi. Patomekanisme toksin di dalam tubuh manusia adalah melalui ikatan dengan
permukaan luar membrane presinaps diperantarai oleh adanya fragmen C yang berikatan dengan reseptor
polisialogangliosid GD1b dan G1, internalisasi molekul toksin, dan mempengaruhi afinitas kalsium
yang menyebabkan gagalnya pelepasan neurotransmiter inhibisi. [9]
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam tubuh tidak
berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk
vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis
sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani
menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis
tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin.
Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2)
medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan dosis
letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu
milyar gram), atau 175 nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg.
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate dan aksis
silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih
banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf
motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin
tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah
sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang
menyebabkan kolinesterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps
yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot,
sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan
menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar. [9]
Dampak toksin antara lain :
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena eksotoksin memblok sinaps
jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan
otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida serebri diduga
menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat
yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia. [8]

V.GAMBARAN KLINIS
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 710 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan
spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset lebih pendek berkaitan
dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan
rigiditas dan spasme otot yang makin semakin parah. Gangguan otonomik biasanya
dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme
berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan
terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin.
Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu. [8]
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi,
mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa
inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP.
Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa
trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme
pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali
ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi
iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan
spasme otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal,
mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali
dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4
minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan. [8]
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta
memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan
memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum
akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum
tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan
kematian. [8]
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
8

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi
telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada
saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus
ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk. [8]
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara
yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus.
Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk
memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10
hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme
berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%. [8]
VI.

DIAGNOSIS
Diagnosis utama mutlak didasarkan pada gejala klinis. Penyakit ini ditandai oleh
suatu serangan hipertonia akut, nyeri otot saat berkontraksi (biasanya terjadi pada otot
rahang dan otot leher) dan spasme otot secara umum tanpa penyebab medis yang
nyata. Diagnosis dapat ditegakkan dari gejala klinik & riwayat terjadinya luka.
Riwayat ini kadang dianggap sepele & terlupakan oleh pasien. Oleh karena itu
dibutuhkan anamnesis yang lebih teliti.
o Kultur : Secret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus.
Kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organism tersebut
menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.
o Lab Darah : Leukosit mungkin meningkat.
o Pemeriksaan cairan cerebrospinalis menunjukkan hasil yang normal.
o Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai
setelah potensial aksi.
o Elektrokardiogram : perubahan non-spesifik.
o Enzim : enzim otot meningkat
o

Kadar antitoksin serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini
tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada bberapa kasus yang terjadi pada
kadar antitoksin yang protekti[8].

VII. PENATALAKSANAAN
Menurut Thwaites (2002), penatalaksanaan tetanus sebagai berikut:
a. Eradikasi Bakteri Kausatif [10]
Metronidazol
Aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsorbsi ke dalam sel
senyawa

termetabolisme

sebagian

yang

terbentuk

mengikat

dan

DNA dan

menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan


terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai
antibiotika pada terapi tetanus karena penissilin G juga merupakan agonis GABA
yang dapat memperkuat efek toksin.
Dosis Dewasa : 500 mg per oral tiap 6 jam selama 7-10 hari atau 1 g i.v tiap 12
jam, tidak lebih dari 4g/hari.
Dosis Pediatrik : 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam tidak lebih dari 2
g/hari
Kontraindikasi : Hipersensitifitas, trimester pertama kehamilan.[9]
Penisilin
Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat
diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).
Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian
penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6
jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah
penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
[8]

b. Manajemen Luka [10]


Merawat dan membersihkan luka memakai teknik aseptik.
1. Irigasi luka.

10

2. Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan tindakan khusus/ruang


operasi. Tindakan debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) sangat
dibutuhkan untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menghalangi proses
penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri.
Saat ini, selain dengan melakukan tindakan debridement luka secara
pembedahan, untuk membuang jaringan nekrotik pada luka tetanus dapat
digunakan bahan terapi topikal modern yang lebih hemat biaya (seperti
hidrogel) yang berfungsi sebagai autolisis debridement. Autolisis debridement
adalah suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan oleh tubuh
sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus dalam keadaan lembab.
Pada keadaan lembab, enzim proteolitik secara selektif akan melepas jaringan
nekrotik. Pada keadaan melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan
sendirinya. Dengan metode autolisis debridement ini, diharapkan dapat
mengurangi tindakan manipulasi terhadap terjadinya spasme/kejang pada anak.
Perawatan luka pada tetanus dengan menggunakan bahan terapi topikal adalah
sebagai berikut:

Dengan teknik aseptik, bersihkan luka/cuci luka dengan menggunakan


cairan fisiologis (normal saline/NaCl 0,9%). Dengan memperhatikan sifat
luka tetanus, dimana anak mudah terangsang mengalami spasme, teknik
pencucian luka tidak boleh digosok, tetapi lakukan dengan irigasi lembut.
Bila menggunakan metode semprot, gunakan jarum no. 18 dan jangan
terlalu kencang menyemprotnya untuk mencegah spasme dan mencegah
resiko perdarahan pada jaringan yang rapuh.

Kemudian oleskan hidrogel ke dalam luka. Posisi luka pasien harus mudah
dicapai sehingga hidrogel dapat diolesi langsung kedalam luka.

Tutup dengan kasa yang sangat tipis dengan sedikit plester, tetapi tidak
terlalu rapat (karena hidrogel memerlukan balutan sekunder).

3. Membuang benda asing dalam luka.


4. Kompres dengan H2O2.
5. Luka dibiarkan terbuka. [8]
c. Netralisasi antitoksin yang belum terikat

11

Tetanospasmin akan terikat secara ireversibel dengan jaringan, dan hanya toksin yang tidak
terikat sajalah yang dapat dinetralisasi. Imunisasi pasif dengan Human Tetanus Immune
Globuline (HTIG) akan memperpendek perjalanan penyakit tetanus dan meningkatkan angka
keselamatan. Dosis yang dianjurkan oleh El Haddad adalah 500 unit HTIG diberikan secara
intramuskuler segera setelah diagnosis tetanus ditegakkan. Dosis HTIG untuk profilaksis dewasa
adalah 250-500 U IM pada ekstremitas dan dosis profilaksis anak adalah 250 U IM pada
ekstremitas (kontralateral dengan lokasi penyuntikan TT). [10]
d. Terapi suportif selama fase akut
i.

Diazepam
Diazepam dilaporkan memiliki efektivitas yang baik dengan efek depresi

napas yang lebih rendah dibandingkan dengan golongan barbiturat.[10] Dosis


diazepam yang direkomendasikan adalah 0,5-10 mg/kgBB. Untuk spasme ringan,
5-20 mg p.o. setiap 8 jam bila perlu. Untuk spasme sedang, 5-10 mg/kgBB IV bila
perlu, tidak melebihi dosis 80-120 mg dalam 24 jam atau dalam bentuk drip.
Spasme berat, 50-100 mg dalam 500 mL dekstrose 5% dan diinfuskan dengan
kecepatan 10-15 mg/jam diberikan dalam 24 jam.

[10]

Setelah spasme berhenti,

pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan


klinis pasien.[9]
Kontraindikasi : Hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit.
Interaksi: Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat apabila dipergunakan
bersamaan dengan alkohol. Fenothiazin, barbiturat, dan MAOI ; cisapride dapat
meningkatkan kadar diazepam secara bermakna.[9]

Fenobarbital

Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi pernafasan. Jika pada
pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi
yang diinginkan
Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari.
Dosis pediatrik 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari
Kontraindikasi: Hipersensitifitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat, dan pasien
nefritis.
Interaksi: Dapat menurunkan efek kloranfenikol, digitoksin, kortikosteroid, karbamazepin,
teofilin, verapamil, metronidazol, dan antikoagulan (pasien yang telah mendapatkan

12

antikoagulan harus ada penyesuaiandosis; pemberian bersamaan dengan alkohol


dapat menyebabkan efek aditif ke sistem saraf pusat dan kematian; kloramfenikol,
asam valproat, dan MAO dapat menyebabkan meningkatnya toksisitas fenobarbital
: rifampisin dapat menurunkan efek fenobarbital; induksi enzim, mikrosomal dapat
menurunkan efek kontrasepsi oral pada wanita.
VIII.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit. Diagnosis bandingnya adalah
sebagai berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai trismus,
risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor
serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis terdapat
riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif kronis
(OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.[8]
X..KOMPLIKASI
Sistem
Jalan Nafas

Komplikasi
Aspirasi
Laringospasme/obstruksi
Obstruksi berkaitan dengan sedatif

Respirasi

Apnea
Hipoksia

Gagal nafas tipe 1* (atelektasis,


aspirasi, pneumonia)

Gagal nafas tipe 2* (spasme


laringeal,

spasme

bekepanjangan,

trunkal
sedasi

berlebihan)

ARDS

Komplikasi bantuan ventilasi

13

berkepanjangan

(seperti

pneumonia)

Komplikasi trakeostomi (seperti


stenosis trachea)

Kardiovasukeler

Ginjal

Takikardia

Hipertensi

Iskemik

Hipotensi

Bradikardi

Takiaritmia

Bradiaritmia

Asistol

Gagal jantung

Gagal ginjal curah tinggi

Gagal ginjal oligouria

Stasis urin dan infeksi

Stasis gaster

Ileus

Diare

Perdarahan

Gastrointestinal

Lain-lain
Penurunan berat badan
Tromboembolus
Sepsis dengan gagal organ multipel
Fraktur vertebra selama spasme
Ruptur tendon akibat spasme

14

IX. PROGNOSIS
Derajat Keparahan penyakit tetanus dapat ditentukan melalui sistem klasifikasi
Menurut Albett:

Derajat I ( Ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa


gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

Derajat II ( Sedang ) : Trismus sedang, rigiditas Nampak jelas, spasme ringansedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan >30, disfagia
ringan.

Derajat III ( Berat ) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex


berkepanjangan, frekuensi pernafasan >40, apnea, disfagia berat & takikardi >120.

Derajat IV ( Sangat Berat ) : Derajat II dengan gangguan otonomik yang


melibatkan

system kardiovaskuler. Hipertensi berat & takikardi berselingan

dengan hipotensi dan bradikardia. [8]


Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat
diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang
berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka,
dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin
buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan
jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi
prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena
mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian
antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.[8]
Philips Score
Waktu Masuk
Masa Inkubasi

Skor Selama Perawatan


Spasme

Skor

>

Hanya trismus

14 hari

Kaku seluruh badan

> 10 hari

Kejang terbatas

5 10 hari

Kejang seluruh badan

2 5 hari

Optistotonus

< 48 jam
15

Imunisasi

Frekuensi Spasme

Lengkap

6 x dalam 12 jam

< 10 tahun

Dengan rangsangan

> 10 tahun

Terkadang spontan

Ibu diimunisasi

Spontan < 3x per 15 menit

Tidak diimunisasi
Luka Infeksi Suhu

10

Spontan > 3x per 15 menit


Suhu

Tidak diketahui

36.7 - 37 C

Distal/perifer

37.1 37.7 C

Proksimal

37.8 38.2 C

Kepala

38.3 38.8 C

Badan
Komplikasi

> 38.8 C
Pernafasan

10

Tidak ada

Sedikit berubah

Ringan

Apnea saat kejang

Tidak membahayakan

Kadang apnea setelah kejang

Mengancam Nyawa (tidak langsung)

Selalu apnea setelah kejang

Mengancam nyawa

10

Perlu trakeostomi

10

Interpretasi
<9

: Ringan ( Prognosis Baik )

9 18 : Sedang ( Ragu-ragu )
> 18

: Berat ( Prognosis Buruk )

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, etc. "Tetanus". Journal of Neurology, Neurosurgery, and
Psychiatry : p 292301.
2. Allan HR, M.D. Raymond Delacy Adams,dkk. Adams and Victors Principle of
Neurology, Ninth Edition. McGraw Hill Profesional. 2009
3. Dorlands Pocket Medical Dictionary 28th Edition; Elsevier Saunders: 2009 : p 840
4. Hendarwanto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I,Edisi III: p 474-476
5. AAnthony S, Dennis L, Dan L, Eugene, etc : Harrisons Principle of Internal
Medicine, 17th Edition ; Mc Graw Hill: 2008 : Chapter 133
6. Widoyono.

Penyakit

Tropis

epidemiology,

penularan,

pencegahan

dan

pemberantasannya. Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33


7. Spicer WJ. Clinical Microbiology And Infectious Diseases An illustrated Colour Text:
2nd Edition; Churchill Livingstone Elsevier : 2008 : p 105
8. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Penatalaksanaan tetanus pada anak.2008
9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 17771784
10. Sudewi R, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi Pada Sistem Saraf. Airlangga University
Press.2011.

17

Anda mungkin juga menyukai