A. PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani menyerang sistem saraf pusat, ditandai dengan peningkatan
kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka tanpa gangguan kesadaran. Terdapat 4
tipe tetanus, yaitu tetanus generalisata, lokal, neonatal, dan sefalik. Insiden tetanus
500.000-1.000.000 kasus per tahun di seluruh dunia. Mayoritas kasus tetanus terjadi
di negara-negara berkembang yang melibatkan 50% dari neonatus. Kebanyakan kasus
di negara maju terjadi pada orang dewasa yang lebih tua, dimana laki-laki lebih sering
daripada wanita, yaitu 2,5:1.3
Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), angka
kejadian tetanus telah menurun melebihi 95% dibandingkan sejak pertama kali
penyakit ini ditemukan pada tahun 1947, dan angka kematian telah menurun 99%.
Pada tahun 2015, di United States, terdapat 29 kasus tetanus, dengan case fatality rate
13.2%. 3,8 Angka kematian bervariasi, berkisar 60.000 kematian setiap tahun di
dunia. Implementasi vaksinasi tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun
1974. Program vaksinasi tetanus menurunkan angka kejadian tetanus pada negara-
negara berkembang. Namun, angka kematian akibat tetanus mencapai 50% pada
pasien berusia diatas 60 tahun dimana jarang mendapatkan vaksinasi tetanus. Di USA
dan Perancis, pasien berusia 65 tahun ke atas memiliki resiko 2 hingga 10 kali lebih
tinggi terinfeksi tetanus dibandingkan dengan pasien usia muda. Kelompok yang
memiliki faktor resiko tinggi terjadi tetanus yaitu orang yang tidak mendapatkan
vaksinasi, usia 65 tahun ke atas, penderita diabetes, dan pengguna obat-obatan injeksi.
Walaupun adanya vaksin tetanus, angka kejadian masih tinggi akibat kurangnya
informasi. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai resiko infeksi tetanus
menyebabkan masyarakat kurang peduli dengan objek yang terkontaminasi sehingga
meremehkan luka yang didapat yang dapat berpotensi menimbulkan penyakit tetanus.
Imunitas terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup sehingga perlu injeksi
booster pada penderita yang mengalami luka yang berisiko terinfeksi tetanus.2
B. DEFINISI
Tetanus berasal dari Bahasa Yunani ‘tetanos’ yang berarti kontraksi (stretch atau
rigidity). Menurut Sir William Gower (1988) tetanus adalah penyakit pada susunan
saraf yang ditandai dengan spasme tonik persisten disertai dengan serangan yang jelas
dan keras. Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang, menyebabkan
penutupan rahang (trismus, lockjaw) dan melibatkan otot-otot batang tubuh melebihi
otot ekstremitas. Kontraksi otot bersifat nyeri, dan bisa terjadi lokal maupun general.
Tetanus merupakan suatu keadaan intoksikasi susunan saraf oleh eksotoksin
Clostridium tetani, kuman gram positif basil yang dalam keadaan anaerob berubah
menjadi bentuk vegetatif dikuti dengan dihasilkannya neurotoksin spesifik, yaitu
tetanospasmin yang selanjutnya menyebabkan terjadinya gejala klinis pada tetanus.8
C. EPIDEMIOLOGI
Sejak tahun 1947, jumlah kasus tetanus yang dilaporkan setiap tahun, yang sudah
sangat menurun sejak tahun 1900, terus menurun (lihat gambar di bawah). Penurunan
ini sebagian karena penggunaan lanjutan dari antitoksin tetanus untuk manajemen
luka dan pengenalan vaksin tetanus pada tahun 1930-an dan 1940-an. Pengenalan
vaksin tetanus menyebabkan vaksinasi rutin semua anak dan penambahan booster
tetanus untuk orang dewasa.10
Gambar. 1
Keterangan: Gambar di atas menunjukkan kasus tetanus yang dilaporkan di Amerika Serikat selama
1947–2019, menurut Sistem Pengawasan Penyakit yang Dapat Diberitahukan Nasional. Dari tahun
1947–2019, jumlah kasus tetanus yang dilaporkan setiap tahun, yang sudah sangat menurun sejak tahun
1900, terus menurun, dan tetap rendah hingga tahun 2019.10
D. ETIOLOGI
Gambar. 2 Gambar. 3
CLOSTRIDIUM TETANI, a gram-positive bacillus with terminal round spore (drum stick
appearance)6
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat
anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan
ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah
diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Clostridium tetani yang
merupakan bakteri gram positif anaerob berbentuk batang. Spora bakteri dapat
bertahan ditanah dan menginfeksi luka yang terkontaminasi1,4,9
E. PATOGENESIS
Gambar 4. Rute dari tetanus toxin, dari masuk ke α-motor neuron ketempat kerjanya pada inhibitory
neuron di Sistem Saraf Pusat (SSP)6
Toksin dan kuman tetanus kini telah dapat diisolasi dengan cara sekuensi DNA.
Bentuk toksin ini serupa dengan bentuk toksin Botullinum, terdiri atas rantai berat dan
rantai ringan yang terhubung oleh jembatan disulfida. Rantai berat bermanfaat untuk
neuronal uptake dan transpor toksin pada motor neuron, sedangkan rantai ringan
merupakan zinc-dependend endopeptidase yang bertanggung jawab terhadap aksi
patologis toksin. Terminal N dari rantai berat diduga terlibat pada pemilihan dan
perjalanan interneuronal, sementara terminal C bertanggung jawab pada aksi neuronal
uptake dan ikatan spesifik dari toksin. Area ini diketahui memiliki 4 tempat ikatan
dengan karbohidrat dan terlihat berinteraksi dengan polisialogangliosida dan
glycosylphosphatidylinositol (GPI)-anchored glycoproteins. Kedua komponen ini
diyakini merupakan 2 komponen membran sel yang memediasi ikatan spesifik dengan
toksin. Toksin yang dihasilkan oleh spora yang terbentuk di dalam luka, terutama luka
terbuka akan menyebar dengan cara : 1,8
Toksin masuk melalui otot yang terkena luka, terutama luka pada ekstremitas,
luka terinfeksi pasca operasi, luka yang kurang vaskularisasi atau luka bakar.
Meskipun demikian 20% pasien tetanus tidak memiliki riwayat luka yang jelas
sebagai port the entry kuman.
Dari otot yang terkena luka toksin akan menyebar ke otot-otot yang dekat di
sekitarnya sehingga daerah asal tempat toksin menyebar melalui jalur neural akan
meningkat dan terjadi peningkatan jumlah saraf yang terlibat dalam transpor toksin ke
susunan saraf pusat. Para ahli menduga mekanisme ini terutama dijalankan oleh
tetanolisin yang memfasilitasi kerusakan jaringan sekitar luka sehingga menjadi
lingkungan yang baik bagi pertumbuhan Cl. tetani selanjutnya.
Toksin yang berasal dari jaringan dengan cepat akan menyebar ke nodus
limfatikus regional. Injeksi dan blocking nodus limfatikus regional dengan antitoksin
akan mencegah perkembangan tetanus. Dari nodus limfatikus toksin segera mengalir
melalui sistem limfatik ke dalam aliran darah.
4. Penyebaran dalam aliran darah
Toksin kemudian akan diserap melalui aliran darah terutama melalui sistem
limfatik, namun mungkin juga terjadi secara langsung melalui kapiler-kapiler di dekat
depot toksin. Semakin banyak jumlah toksin di dalam darah maka semakin banyak
toksin yang dapat dinetralisasi, karena antitoksin dapat diberikan melalui intravena.
Namun jika deposit di dalam otot Iebih banyak tetanus asendens yang bersifat letal
akan terus berkembang karena transpor toksin ke susunan saraf sepanjang jaras saraf.
Penyebaran toksin tidak langsung melalui aliran darah ke susunan saraf pusat karena
adanya hambatan melewati sawar darah otak. Kepentingan fase ini dalam penyebaran
toksin adalah perannya yang penting dalam menyebarkan toksin ke otot-otot sehingga
jumlah jalur asenden ke sistem saraf menjadi bertambah pula.
F. GEJALA KLINIS
Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot yang
terjadi 1-2 minggu setelah terinfeksi. Kekakuan otot akan bertambah secara progresif
dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan mencapai maksimal pada
minggu kedua. Disotonomi biasanya mulai terlihat pada akhir minggu pertama. Secara
umum terdapat beberapa gejala klinis yang khas pada tetanus, yaitu sebagai berikut.1,8
Spasme ditandai dengan kontraksi otot-otot yang bersifat tonik pada otot yang telah
mengalami kekakuan. Terjadi kontraksi yang simultan dan berlebihan pada otot-otot
agonis dan antagonisnya sehingga terjadi Gerakan seperti-bangkitan tonik. Retraksi
kepala akan tampak lebih jelas dan bertambah selama spasme, opistotonus makin jelas
terlihat, disertai dengan fleksi pada lengan. Spasme dapat ditimbulkan dengan rangsang
raba juga oleh rangsang auditori, visual atau emosional. Frekuensi dan beratnya spasme
sangat bervariasi, biasanya spasme terjadi dalam beberapa detik, secara tiba-tiba dan
menimbulkan rasa nyeri yang hebat.
Gangguan otonom lebih menggambarkan beratnya tetanus yang terjadi dan bukan
merupakan komplikasi. Gangguan otonom melibatkan baik komponen simpatis maupun
parasimpatis. Pasien dapat mengalami takhikardia, hiperhidrosis, peningkatan tekanan
darah, aritmia, hipersalivasi, serta peningkatan refleks vagal yang berakibat buruk pada
system kardiovaskuler. Disotonomi dan efek toksin pada jantung dapat menyebabkan
miokarditis yang ditandai dengan demam, rash, cosinofilia perifer, dan peningkatan
biomarker nekrosis. Gejala dan gambaran EKG dapat menyerupai infark miokarditis
dengan ST elevasi.
Disotonomi biasanya muncul beberapa hari setelah spasme dan menetap selama 1-2
minggu, ditandai dengan instabilitas yang kontras pada tekanan darah (hipertensi
disclingi dengan hipotensi) takikardia diselingi bradikardi cardiac arrest atau asistol
berulang akibat peningkatan tonus dan aktivitas vagus, vasokontriksi dan pireksia,
hipersalivasi dan peningkatan sekresi bronkial, stasis gaster, ileus, diare, dan gagal
ginjal dengan output yang meningkat, diaforesis, disritmia jantung dan
hipermetabolisme ditandai dengan kenaikan kenaikan kadar katekolamin hingga 10 kali
lipat pada pemeriksaan plasma basal menyerupai kadar pada keadaan
phaeochromocytoma. Penyembuhan biasanya terjadi akibat pertumbuhan kembali
akson terminal dan proses kerusakan toksin.
a. Tetanus Lokal
Tetanus ini terjadi secara lokal misalnya hanya terjadi pada satu tungkai bawah saja.
Keadaan ini dapat terjadi jika toksin terakumulasi secara lokal di area tertentu dan
pasien segera diberikan toksin antitetanus yang akan mengikat toksin di dalam darah
sehingga penyebaran lebih luas dapat dihindari.
b. Tetanus Sefalik
Tetanus ini terjadi pada pasien yang mengalami luka di daerah kepala atau dengan
riwayat infeksi telinga (otitis media). Otot-otot yang terlibat adalah otot yang
dipersarafi oleh nukleus motorik di batang otak dan segmen servikal.
c. Tetanus Generalisata
Merupakan jenis yang paling sering terjadi (80%) gejala klinis biasanya dimulai dengan
trismus atau lockjaw dikuti dengan kekakuan pada otot Ieher, kesulitan menelan, dan
rigiditas orot abdomen. Gejala lain bisa berupa keringat berlebihan, demam,
peningkatan rekanan darah. takhikardi episodik. Spasme terjadi cukup sering dan
berlangsung beberapa menit.
d. Tetanus Neonatorum
Terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat. ketidakmampuan
untuk menyusu, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. DIAGNOSIS
Tetanus didiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, hingga saat ini belum
ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk tetanus. Kuman Clostridium tetani
tidak tumbuh pada saat dikultur yang diambil dari luka terkontaminasi. Tes Spatula
dengan menyentuhkan ujung spatula pada dinding faring akan direspons dengan gigitan
kuat pada spatula tersebut, tes ini disebut spesifik dan sensitif untuk tetanus. Jangan
menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara
lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah
divaksinasi (imunokompeten).1,5,8
Kriteria diagnosis tetanus yang mungkin dapat digunakan adalah:1,8
1. Semua penyakit dengan gejala hypertonia akut dan atau kontraksi otot yang nyeri
( biasanya rahang dan leher) dan spasme otot umum tanpa penyebab lain seperti
reaksi obat, penyakit saraf lain atau histeria.
2. Tidak ada Riwayat kontak dengan strichnin
3. Perjalanan penyakit tersebut konsisiten dengan tetanus.
Grading Tetanus8
Penentuan derajat penyakit pada tetanus penting untuk dilakukan untuk menentukan
prognosa dan menentukan seberapa agresif terapi yang mesti kita lakukan. Grading
dilakukan menggunakan kriteria Pattel Joag, yaitu :
Grading
Kriteria 1 : Rahang Kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot belakang.
Kriteria 2 : Spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria 3 : Inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria 4 : Waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria 5 : Kenaikan suhu rektal sampai 100 oF atau aksila sampai 99 oF (37,6
o
C)
Grading8
a) Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak
ada kematian).
b) Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya
masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian 10%).
c) Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari 7
hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%).
d) Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%).
e) Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum
(kematian 84%).
1. Grade 1 (Ringan) : trimus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak ada
gangguan pernapasan, tidak ada spasme, tidak ada./sedikit ada disfagia.
2. Grade II (Moderat) : trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme ringan sampai
sedang namun singkat, gangguan respirasi ringan dengan tachypnea.
3. Grade III (berat) : trimus berat, spastisitas menyuluruh, refleks spasme dan sering
kali spasme spontan yang memanjang, gangguan napas dengan sesak dan
terengah-engah (apnoeic spells), disfagia berat, bradikardia, peningkatan aktivitas
saraf autonom sedang.
4. Grade IV (sangat berat) : seperti grade III ditambah gangguan automonic hebat
yang sering menyebabkan apa yang disebut sebagai badai autonom.
J. PENATALAKSANAAN
Tata laksana tetanus antara lain rawat luka (menghilangkan sumber infeksi),
menetralisir toksin yang bersirkulasi dengan imunoglobulin tetanus manusia, mengatasi
spasme otot dan rigiditas, mencegah gagal nafas, mengatasi disfungsi otonom, dan
perawatan suportif. Thwaites (2002) merangkum penatalaksanaan tetanus sebagai
berikut :1,8
Penggunaan dosis besar diazepam (500 mg atau lebih) atau Lorazepam (200 mg
atau lebih) sangat diperlukan untuk mengatasi spasme yang terjadi. Ketika kedua obat
tersebut digunakan dalam dosis beasr akan menyebabkan komplikasi terjadinya asidosis
metabolik karena kandungan glikol propilen yang terlarut. Untuk mengatasinya dapat
digunakan obat lain yaitu midazolam yang merupakan obat larut dalam air. Dosis
midazolam yang diberikan 5-15 mg/jam melalui infus secara continue. Obat golongan
lain yang dapat diberikan pada tetanus generalisata yaitu baclofen secara intratekal
melaui infus, dengan dosis bolus awal 300-500 ug dan dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan dengan rata-rata 500-1000 ug/hari. Baclofen dosis tinggi baik secara
bolus atau dosis harian dapat menyebabkan koma, hipotonia, hipotensi, bradikardi, dan
depresi nafas. Pemberian dantrolen secara infus harian (dosis bolus 1-1,5mg/kg, diikuti
dengan dosis 0,5 - 1 mg/kg per 4-6 jam selama kurang lebih 25 hari) dilaporkan dapat
diberikan untuk mengatasi spasme tetanus. Tetapi dapat menyebabkan hepatotoksik.
Pemberian morfin dapat meningkatkan vasodilatasi arteri dan vena dengan cara
menurunkan keluaran simpatik secara sentral, dosis sampai dengan 140 mg/hari
dilaporkan berhasil menurunkan tekanan darah dan resistensi vaskular sistemik.
Noradrenaline perinfus dapat diberikan pada period hipotensi.
Ada dua tanda mayor atau satu tanda mayor dan 2 tanda minor menunjukkan
adanya sindroma hiperreaktivitas otonom.
Secara singkat penatalaksanaan pasien tetanus pada jam- jam pertama pasien
didiagnosa sebagai tetanus adalah:
K. KOMPLIKASI
Managemen tetanus yang baik penting untuk mencegah komplikasi yang mencegah
komplikasi yang membuat perawatan tetanus menjadi lebih sulit. Komplikasi yang
mungkin dapat terjadi dapat dilihat pada table1
SISTEM KOMPLIKASI
Kardiovaskular Hipertensi, hipotensi
Takikardia, bradikardia, asistol
Infark Myokard
Toxic pericarditis
Respirasi Obstruksi jalan nafas (spasme laring, peningkatan bronkial dan
saliva)
Gagal nafas tipe I karena pneumonia aspirasi, nosocomial
Gagal nafas tipe II karena apnea, sedasi berlebih, spasme otot
generalisata
Muskuloskeletal Avulsi tendon, fraktur vertebra. rhabdomyolisis
Gastrointestinal Stasis gastrointestinal, diare, perdarahan
Lain-lain Gagal ginjal akut, thrombosis vena, penurunan berat badan
L. PENCEGAHAN1
Bentuk spora bakteri Clostidium tetani tersebar luas di alam dan sangat sulit dihancurkan
sehingga upaya pencegahan penyakit ini adalah dengan merawat luka sebaik mungkin
dan vaksinasi. Vaksin tetanus toksoid (TT) pada wanita usia subur dan ibu hamil dapat
menurunkan angka kejadian tetanus neonatorum. Hasil vaksinasi terbaik didapatkan
dengan 12 kali jadwal vaksinasi selama masa anak dilanjutkan dengan suntikan booster
10 tahun sekali.1
Pada individu berusia 7 tahun ke atas yang belum mendapatkan vaksinasi dapat diberikan
vaksin tetanus dengan jadwal sebagai berikut.
DOSIS INTERVAL
Primer 1 Dosis pertama
Primer 2 4-8 minggu setelah dosis pertama
Primer 3 6-12 bulan setelah dosis kedua
Booster Setiap 10 tahun
Profilaksis tetanus perlu dipertimbangkan pada setiap perawatan luka, tergantung dari
jenis luka dan status imunitas pasien terhadap tetanus sebagai berikut:
M. Prognosis
Angka kematian pada kasus tetanus bervariasi antara 6-60 % tergantung dari
ketersediaan fasilitas di sarana kesehatan, derajat keparahan dan protokol manajemen yang
dilakukan. Beberapa faktor prognostik yang menetukan adalah lama inkubasi, derajat
keparahan tetanus dan onset.1
Penilaian prognosis merupakan salah satu komponen terpenting untuk melihat risiko
mortalitas. Skor Philips dan Skor Dakar telah diakui lebih dari 40 tahun untuk menilai
prognosi pasien tetanus. Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria peeriode inkubasi dan
periode onset, begitupula manifestasi neurologis dan kardiak. Phillips score juga
memasukkan status imunisasi pasien. Philip score < 9, severitas ringan ; 9-18, severitas
sedang ; dan >18 severitas berat. Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10% ; 2-
3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%;
5-6, severitas sangat berat dengan mortalitas > 50 %.9
Philips’s Score :9
Dakar’s Score9
Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia.
Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas
yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang
pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering
sembuh sempurna, beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang
menetap dan gangguan keseimbangan, berbicara, dan memori. Dukungan psikologis
sebaiknya tidak dilupakan.9
Daftar Pustaka