Anda di halaman 1dari 23

TETANUS

A. PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani menyerang sistem saraf pusat, ditandai dengan peningkatan
kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka tanpa gangguan kesadaran. Terdapat 4
tipe tetanus, yaitu tetanus generalisata, lokal, neonatal, dan sefalik. Insiden tetanus
500.000-1.000.000 kasus per tahun di seluruh dunia. Mayoritas kasus tetanus terjadi
di negara-negara berkembang yang melibatkan 50% dari neonatus. Kebanyakan kasus
di negara maju terjadi pada orang dewasa yang lebih tua, dimana laki-laki lebih sering
daripada wanita, yaitu 2,5:1.3

Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat


signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga
penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU)
yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat. Di negara
berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian
800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus. Kematian tetanus
neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun. Di bagian Neurologi RS
Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000 dengan
mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003- Oktober 2004 di
RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%.9

Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), angka
kejadian tetanus telah menurun melebihi 95% dibandingkan sejak pertama kali
penyakit ini ditemukan pada tahun 1947, dan angka kematian telah menurun 99%.
Pada tahun 2015, di United States, terdapat 29 kasus tetanus, dengan case fatality rate
13.2%. 3,8 Angka kematian bervariasi, berkisar 60.000 kematian setiap tahun di
dunia. Implementasi vaksinasi tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun
1974. Program vaksinasi tetanus menurunkan angka kejadian tetanus pada negara-
negara berkembang. Namun, angka kematian akibat tetanus mencapai 50% pada
pasien berusia diatas 60 tahun dimana jarang mendapatkan vaksinasi tetanus. Di USA
dan Perancis, pasien berusia 65 tahun ke atas memiliki resiko 2 hingga 10 kali lebih
tinggi terinfeksi tetanus dibandingkan dengan pasien usia muda. Kelompok yang
memiliki faktor resiko tinggi terjadi tetanus yaitu orang yang tidak mendapatkan
vaksinasi, usia 65 tahun ke atas, penderita diabetes, dan pengguna obat-obatan injeksi.
Walaupun adanya vaksin tetanus, angka kejadian masih tinggi akibat kurangnya
informasi. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai resiko infeksi tetanus
menyebabkan masyarakat kurang peduli dengan objek yang terkontaminasi sehingga
meremehkan luka yang didapat yang dapat berpotensi menimbulkan penyakit tetanus.
Imunitas terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup sehingga perlu injeksi
booster pada penderita yang mengalami luka yang berisiko terinfeksi tetanus.2

B. DEFINISI
Tetanus berasal dari Bahasa Yunani ‘tetanos’ yang berarti kontraksi (stretch atau
rigidity). Menurut Sir William Gower (1988) tetanus adalah penyakit pada susunan
saraf yang ditandai dengan spasme tonik persisten disertai dengan serangan yang jelas
dan keras. Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang, menyebabkan
penutupan rahang (trismus, lockjaw) dan melibatkan otot-otot batang tubuh melebihi
otot ekstremitas. Kontraksi otot bersifat nyeri, dan bisa terjadi lokal maupun general.
Tetanus merupakan suatu keadaan intoksikasi susunan saraf oleh eksotoksin
Clostridium tetani, kuman gram positif basil yang dalam keadaan anaerob berubah
menjadi bentuk vegetatif dikuti dengan dihasilkannya neurotoksin spesifik, yaitu
tetanospasmin yang selanjutnya menyebabkan terjadinya gejala klinis pada tetanus.8

C. EPIDEMIOLOGI

Sejak tahun 1947, jumlah kasus tetanus yang dilaporkan setiap tahun, yang sudah
sangat menurun sejak tahun 1900, terus menurun (lihat gambar di bawah). Penurunan
ini sebagian karena penggunaan lanjutan dari antitoksin tetanus untuk manajemen
luka dan pengenalan vaksin tetanus pada tahun 1930-an dan 1940-an. Pengenalan
vaksin tetanus menyebabkan vaksinasi rutin semua anak dan penambahan booster
tetanus untuk orang dewasa.10
Gambar. 1

Keterangan: Gambar di atas menunjukkan kasus tetanus yang dilaporkan di Amerika Serikat selama
1947–2019, menurut Sistem Pengawasan Penyakit yang Dapat Diberitahukan Nasional. Dari tahun
1947–2019, jumlah kasus tetanus yang dilaporkan setiap tahun, yang sudah sangat menurun sejak tahun
1900, terus menurun, dan tetap rendah hingga tahun 2019.10

D. ETIOLOGI

Gambar. 2 Gambar. 3

CLOSTRIDIUM TETANI, a gram-positive bacillus with terminal round spore (drum stick
appearance)6
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat
anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan
ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah
diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Clostridium tetani yang
merupakan bakteri gram positif anaerob berbentuk batang. Spora bakteri dapat
bertahan ditanah dan menginfeksi luka yang terkontaminasi1,4,9

E. PATOGENESIS

Gambar 4. Rute dari tetanus toxin, dari masuk ke α-motor neuron ketempat kerjanya pada inhibitory
neuron di Sistem Saraf Pusat (SSP)6

Gambar 3. Mekanisme dari tetanus toxin7


Penyebaran Toksin

Toksin dan kuman tetanus kini telah dapat diisolasi dengan cara sekuensi DNA.
Bentuk toksin ini serupa dengan bentuk toksin Botullinum, terdiri atas rantai berat dan
rantai ringan yang terhubung oleh jembatan disulfida. Rantai berat bermanfaat untuk
neuronal uptake dan transpor toksin pada motor neuron, sedangkan rantai ringan
merupakan zinc-dependend endopeptidase yang bertanggung jawab terhadap aksi
patologis toksin. Terminal N dari rantai berat diduga terlibat pada pemilihan dan
perjalanan interneuronal, sementara terminal C bertanggung jawab pada aksi neuronal
uptake dan ikatan spesifik dari toksin. Area ini diketahui memiliki 4 tempat ikatan
dengan karbohidrat dan terlihat berinteraksi dengan polisialogangliosida dan
glycosylphosphatidylinositol (GPI)-anchored glycoproteins. Kedua komponen ini
diyakini merupakan 2 komponen membran sel yang memediasi ikatan spesifik dengan
toksin. Toksin yang dihasilkan oleh spora yang terbentuk di dalam luka, terutama luka
terbuka akan menyebar dengan cara : 1,8

1. Masuk ke dalam otot

Toksin masuk melalui otot yang terkena luka, terutama luka pada ekstremitas,
luka terinfeksi pasca operasi, luka yang kurang vaskularisasi atau luka bakar.
Meskipun demikian 20% pasien tetanus tidak memiliki riwayat luka yang jelas
sebagai port the entry kuman.

2. Dari otot akan menyebar ke otot yang berdekatan

Dari otot yang terkena luka toksin akan menyebar ke otot-otot yang dekat di
sekitarnya sehingga daerah asal tempat toksin menyebar melalui jalur neural akan
meningkat dan terjadi peningkatan jumlah saraf yang terlibat dalam transpor toksin ke
susunan saraf pusat. Para ahli menduga mekanisme ini terutama dijalankan oleh
tetanolisin yang memfasilitasi kerusakan jaringan sekitar luka sehingga menjadi
lingkungan yang baik bagi pertumbuhan Cl. tetani selanjutnya.

3. Penyebaran ke sistem limfatik

Toksin yang berasal dari jaringan dengan cepat akan menyebar ke nodus
limfatikus regional. Injeksi dan blocking nodus limfatikus regional dengan antitoksin
akan mencegah perkembangan tetanus. Dari nodus limfatikus toksin segera mengalir
melalui sistem limfatik ke dalam aliran darah.
4. Penyebaran dalam aliran darah

Toksin kemudian akan diserap melalui aliran darah terutama melalui sistem
limfatik, namun mungkin juga terjadi secara langsung melalui kapiler-kapiler di dekat
depot toksin. Semakin banyak jumlah toksin di dalam darah maka semakin banyak
toksin yang dapat dinetralisasi, karena antitoksin dapat diberikan melalui intravena.
Namun jika deposit di dalam otot Iebih banyak tetanus asendens yang bersifat letal
akan terus berkembang karena transpor toksin ke susunan saraf sepanjang jaras saraf.
Penyebaran toksin tidak langsung melalui aliran darah ke susunan saraf pusat karena
adanya hambatan melewati sawar darah otak. Kepentingan fase ini dalam penyebaran
toksin adalah perannya yang penting dalam menyebarkan toksin ke otot-otot sehingga
jumlah jalur asenden ke sistem saraf menjadi bertambah pula.

5. Masuknya toksin ke susunan saraf pusat

Toksin tetanus mencapai susunan saraf pusat melalui transpor retrograde


sepanjang jalur aksonal. Toksin yang terbentuk dalam luka atau toksin yang
disuntikkan secara subkutan setelah menyebar ke otot yang terinfeksi dan otot-otot
terdekat di sekitarnya pertama akan berikatan dengan reseptor membran terminal
presinaps di dalam otot. Reseptor ini merupakan suatu gangliosid. Selanjutnya toksin
akan berinternalisasi dan naik sepanjang akson saraf perifer di dalam otot menuju sel-
sel kornu anterior segmen spinalis yang menginervasi otot yang terinfeksi. Toksin di
dalam luka juga akan mencapai dan bersirkulasi dalam aliran darah. Toksin ini akan
merembes melalui membran permeabel pembuluh darah intramuskuler. Pada jalur in
toksin berdifusi untuk mencapai saraf terminal di dalam seluruh otot tubuh termasuk
otot-otot wajah, leher dan kepala. Setelah toksin berikatan dengan reseptor di saraf
terminal seluruh otot tubuh, ia akan naik sepanjang akson sel saraf di seluruh tubuh
untuk mencapai badan sel alfa motor neuron di medula spinalis dan batang otak.
Toksin tetanus dialirkan baik melaui saraf sensoris, otonom, maupun motorik. Toksin
berjalan secara retrograd di susunan saraf perifer. Selanjutnya toksin berhenti dan
berakumulasi di ganglion radiks dorsalis juga melalui saraf adrenergik menuju inti
intermediolateral di medulla spinalis yang mengurus saraf simpatis. Di dalam medula
spinalis dan batang otak toksin meninggalkan sel kornu anterior dan nukleus motorik
di batang otak untuk menyebrangi celah sinaptik dan mencapai bagian terminal
neuron inhibitor. Di bagian ini toksin akan berikatan dengan reseptor di membran
presinaps. Inhibisi ini terutama terjadi pada saraf motorik dan otonom. Toksin tetanus
bekerja dengan cara mengambat pelepasan neurotrasmiter inhibisi. Patomekanisme
toksin di dalam tubuh manusia adalah melalui ikatan dengan permukaan luar
membran presinaps diperantarai oleh adanya fragmen C yang berikatan dengan
reseptor polisialogangliosid GDib dan G1, internalisasi molekul toksin, dan
memengaruhi afinitas kalsium yang menyebabkan gagalnya pelepasan
neurotransmitter inhibisi.

F. GEJALA KLINIS

Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot yang
terjadi 1-2 minggu setelah terinfeksi. Kekakuan otot akan bertambah secara progresif
dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan mencapai maksimal pada
minggu kedua. Disotonomi biasanya mulai terlihat pada akhir minggu pertama. Secara
umum terdapat beberapa gejala klinis yang khas pada tetanus, yaitu sebagai berikut.1,8

1. Kekakuan Otot dan Rigiditas

Kekakuan awalnya terjadi pada otot maseter, menyebabkan kesulitan membuka


mulut trismus atau lock jaw. Kekakuan biasanya terjadi pada otot wajah, leher, faring,
dan juga seluruh otot ekstremitas dan batang tubuh. Kekakuan pada otot-otot wajah
akan memberikan gambaran risus sardonicus. Kekakuan pada otot leher menyebabkan
retraksi leher, kekakuan pada otot faring akan menyebabkan disfagia dan kekakuan
pada otot dada termasuk interkostal akan menyebabkan keterbatasan dalam gerakan
napas. Otot abdomen akan berkontraksi menyebabkan rigiditas yang biasa disebut perut
papan. Kekakuan yang hebat pada otot punggung dapat memberikan gambaran
opistotonus. Arus disinhibisi tidak terkontrol dari saraf motorik eferen di medulla dan
batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang menyerupai kejang.
Tonus otot meningkat diselingi dengan spasme otot secara episodik. Refleks inhibisi
dari kelompok otot antagonis menjadi hilang dan kelompok otot agonis serta antagonis
berkontraksi secara simultan. Kekakuan otot tersebut tampak dalam bentuk sebagai
berikut.

a. Rigiditas abdomen, seringkali disebut sebagai perut papan.


b. Kontraksi otot wajah menyebabkan ekspresi wajah yang khas disebut
dengan rhisus sardonicus atau rhisus smile.
c. Kontraksi otot rahang dan leher menyebabkan retraksi kepala. Otot-otot rahang,
wajah, dan kepala pada banyak kasus terpengaruh pertama kali karena jaras
aksonalnya yang lebih pendek.
d. Trismus atau disebut juga lockjaw, disebabkan oleh kontraksi yang berat dari otot
masseter.
e. Spasme otot menelan menyebabkan disfagia.
f. Spasme berat pada otot batang tubuh disebut opistotonus dapat menyebabkan
kesulitan naps akibat berkurangnya komplians otot dinding dada.
g. Otot ekstremitas terpengaruh terakhir kali, namun biasanya tidak melibatkan otot
tangan dan kaki.
h. Obstruksi laring akibat aspirasi yang disebabkan oleh spasme faring dan spasme
laring dan berkurangnya komplians dinding otot dada dapat menyebabkan
Respiratory Failure.
i. Spasme Otot

Spasme ditandai dengan kontraksi otot-otot yang bersifat tonik pada otot yang telah
mengalami kekakuan. Terjadi kontraksi yang simultan dan berlebihan pada otot-otot
agonis dan antagonisnya sehingga terjadi Gerakan seperti-bangkitan tonik. Retraksi
kepala akan tampak lebih jelas dan bertambah selama spasme, opistotonus makin jelas
terlihat, disertai dengan fleksi pada lengan. Spasme dapat ditimbulkan dengan rangsang
raba juga oleh rangsang auditori, visual atau emosional. Frekuensi dan beratnya spasme
sangat bervariasi, biasanya spasme terjadi dalam beberapa detik, secara tiba-tiba dan
menimbulkan rasa nyeri yang hebat.

2. Gangguan Saraf Otonom

Gangguan otonom lebih menggambarkan beratnya tetanus yang terjadi dan bukan
merupakan komplikasi. Gangguan otonom melibatkan baik komponen simpatis maupun
parasimpatis. Pasien dapat mengalami takhikardia, hiperhidrosis, peningkatan tekanan
darah, aritmia, hipersalivasi, serta peningkatan refleks vagal yang berakibat buruk pada
system kardiovaskuler. Disotonomi dan efek toksin pada jantung dapat menyebabkan
miokarditis yang ditandai dengan demam, rash, cosinofilia perifer, dan peningkatan
biomarker nekrosis. Gejala dan gambaran EKG dapat menyerupai infark miokarditis
dengan ST elevasi.
Disotonomi biasanya muncul beberapa hari setelah spasme dan menetap selama 1-2
minggu, ditandai dengan instabilitas yang kontras pada tekanan darah (hipertensi
disclingi dengan hipotensi) takikardia diselingi bradikardi cardiac arrest atau asistol
berulang akibat peningkatan tonus dan aktivitas vagus, vasokontriksi dan pireksia,
hipersalivasi dan peningkatan sekresi bronkial, stasis gaster, ileus, diare, dan gagal
ginjal dengan output yang meningkat, diaforesis, disritmia jantung dan
hipermetabolisme ditandai dengan kenaikan kenaikan kadar katekolamin hingga 10 kali
lipat pada pemeriksaan plasma basal menyerupai kadar pada keadaan
phaeochromocytoma. Penyembuhan biasanya terjadi akibat pertumbuhan kembali
akson terminal dan proses kerusakan toksin.

Tetanus dapat muncul dalam beberapa tipe, yaitu sebagai berikut

a. Tetanus Lokal

Tetanus ini terjadi secara lokal misalnya hanya terjadi pada satu tungkai bawah saja.
Keadaan ini dapat terjadi jika toksin terakumulasi secara lokal di area tertentu dan
pasien segera diberikan toksin antitetanus yang akan mengikat toksin di dalam darah
sehingga penyebaran lebih luas dapat dihindari.

b. Tetanus Sefalik

Tetanus ini terjadi pada pasien yang mengalami luka di daerah kepala atau dengan
riwayat infeksi telinga (otitis media). Otot-otot yang terlibat adalah otot yang
dipersarafi oleh nukleus motorik di batang otak dan segmen servikal.

c. Tetanus Generalisata

Merupakan jenis yang paling sering terjadi (80%) gejala klinis biasanya dimulai dengan
trismus atau lockjaw dikuti dengan kekakuan pada otot Ieher, kesulitan menelan, dan
rigiditas orot abdomen. Gejala lain bisa berupa keringat berlebihan, demam,
peningkatan rekanan darah. takhikardi episodik. Spasme terjadi cukup sering dan
berlangsung beberapa menit.

d. Tetanus Neonatorum

Terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat. ketidakmampuan
untuk menyusu, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang benar-benar spesifik untuk menegakkan


tetanus. Penyakit ini cukup ditegakkan dari pemeriksaan klinis. Namun, untuk
pemeriksaan darah rutin, elektrolit, ureum, kreatinin, mioglobin urin, AGD, EKG
serial, dan kultur untuk infeksi. Pemeriksaan tersebut lebih bersifat tambahan akibat
adanya beberapa komplikasi yang mungkin terjadi akibat gejala klinis utama pada
pasien.8

 Lab: DPL (Hb/Leu/Ht/Plt), GDA, SGOT, SGPT, Alb,


 Cl/Na/K, Ur/Cr, analisa cairan serebro spinal, faal hemostasis, kultur +
resistensi (aerob & anaerob).
 EKG & Thorax PA/AP
 Pungsi lumbal (diperiksa saat awal dating sebagai diagnosa banding meningitis)

I. DIAGNOSIS
Tetanus didiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, hingga saat ini belum
ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk tetanus. Kuman Clostridium tetani
tidak tumbuh pada saat dikultur yang diambil dari luka terkontaminasi. Tes Spatula
dengan menyentuhkan ujung spatula pada dinding faring akan direspons dengan gigitan
kuat pada spatula tersebut, tes ini disebut spesifik dan sensitif untuk tetanus. Jangan
menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara
lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah
divaksinasi (imunokompeten).1,5,8
Kriteria diagnosis tetanus yang mungkin dapat digunakan adalah:1,8
1. Semua penyakit dengan gejala hypertonia akut dan atau kontraksi otot yang nyeri
( biasanya rahang dan leher) dan spasme otot umum tanpa penyebab lain seperti
reaksi obat, penyakit saraf lain atau histeria.
2. Tidak ada Riwayat kontak dengan strichnin
3. Perjalanan penyakit tersebut konsisiten dengan tetanus.
Grading Tetanus8
Penentuan derajat penyakit pada tetanus penting untuk dilakukan untuk menentukan
prognosa dan menentukan seberapa agresif terapi yang mesti kita lakukan. Grading
dilakukan menggunakan kriteria Pattel Joag, yaitu :

Grading
Kriteria 1 : Rahang Kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot belakang.
Kriteria 2 : Spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria 3 : Inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria 4 : Waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria 5 : Kenaikan suhu rektal sampai 100 oF atau aksila sampai 99 oF (37,6
o
C)

Grading8
a) Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak
ada kematian).
b) Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya
masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian 10%).
c) Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari 7
hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%).
d) Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%).
e) Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum
(kematian 84%).

Dari kriteria di atas dibuat tingkatan derajat sebagai berikut :1,8


Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan bagi kuman Clostridium Tetani dari
mulai terjadinya luka hingga mnimbulkan gejala klinis yang pertama berkisar antara
7-14 hari (1-2 hari sampai beberapa bulan). Periode onset adalah waktu yang
dibutuhkan dari mulai terjadinya gejala klinis yang pertama hingga timbulnya spasme
otot berkisar antara 1-7 hari. Pada tetanus yang fulminan masa ini memendek hingga
1-2 jam. Semakin Panjang periode onsetnya maka pasien memiliki prognosa yang
lebih baik.
Kriteria beratnya tetanus dapat pula ditentukan dengan klasifikasi Ablett’s sebagai
berikut :

1. Grade 1 (Ringan) : trimus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak ada
gangguan pernapasan, tidak ada spasme, tidak ada./sedikit ada disfagia.
2. Grade II (Moderat) : trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme ringan sampai
sedang namun singkat, gangguan respirasi ringan dengan tachypnea.
3. Grade III (berat) : trimus berat, spastisitas menyuluruh, refleks spasme dan sering
kali spasme spontan yang memanjang, gangguan napas dengan sesak dan
terengah-engah (apnoeic spells), disfagia berat, bradikardia, peningkatan aktivitas
saraf autonom sedang.
4. Grade IV (sangat berat) : seperti grade III ditambah gangguan automonic hebat
yang sering menyebabkan apa yang disebut sebagai badai autonom.

Diagnosis diferensial diantaranya intoksikasi strichnin, reaksi dystonia akibat


obat-obat penghambat dopamine, kejang, dan sindrom stiff man.

J. PENATALAKSANAAN

Tata laksana tetanus antara lain rawat luka (menghilangkan sumber infeksi),
menetralisir toksin yang bersirkulasi dengan imunoglobulin tetanus manusia, mengatasi
spasme otot dan rigiditas, mencegah gagal nafas, mengatasi disfungsi otonom, dan
perawatan suportif. Thwaites (2002) merangkum penatalaksanaan tetanus sebagai
berikut :1,8

1. Eradikasi Bakteri Kausatif


2. Netralisasi antitoksin yang belum terikat
3. Terapi suportif selama fase akut
4. Rehabilitasi
5. Imunisasi

Menghilangkan sumber infeksi penting dilakukan agar tidak terbentuk toksin


tetanus baru. Perawatan luka yang baik, eksisi jaringan nekrotik bahkan histerektomi
pada kasus tetanus terkait abortus septik perlu dilakukan. Untuk mengeradikasi kuman
Clostridium tetani diberikan metronidazole oral atau IV 500 mg tiap 6 jam (30
mg/kgBB/hari dibagi menjadi empat dosis harian) atau IV penisilin G (100.000
U/kgBB/hari dibagi menjadi empat sampai enam dosis) selama 7 hingga 10 hari.
Metronidazole umumnya lebih disukai daripada penisilin karena risiko teoretis terdapat
kejang yang memburuk dengan penisilin karena antagonisme kompetitif penisilin asam
o-aminobutirat (GABA) reseptor. Metronidazos intravena 500 mg setiap 6 jam selama
7-10 hari adalah antibiotika pilihan pertama pada kasus tetanus. Metronidazol mudah
didapatkan, murah, jarang menimbulkan resistensi, mempunyai penetrasi jaringan yang
baik dan mudah cara pemberiannya. Penisilin, eritromisin, tetrasiklin dapat digunakan
sebagai alternative. Luka sumber infeksi harus dirawat dengan baik untuk memastikan
tidak ada lagi kantung-kantung anaerob yang menjadi tempat berkembangnya
Clostridium tetani.

Toksin yang berada di sirkulasi harus segera dinetralkan sebelum berikatan


dengan akson terminal saraf dan melibatkan lebih banyak lagi otot. Terdapat dua
preparat antitoksin tetanus yaitu yang berasal dari serum kuda dan imunoglobulin
manusia. Sediaan dari serum kuda lebih murah namun mempunvai risiko reaksi
anafilaksis sistemik dan reaksi lokal yang lebih besar dan sulit didapatkan. Human
tetanus immunoglobulin (HTIg) mempunyai efektivitas yang setara, lebih jarang
menimbulkan reaksi anafilaksis dan lebih mudah didapatkan sehingga saat ini
penggunaan HTlg lebih direkomendasikan sebagai antitoksin tetanus. Dosis yang tepat
HTIg pada tata laksana tetanus masih kontroversial dapat berbeda antar pusat
penelitian, dosis berkisar antara 3000-6000 unit intramuskular, sedangkan dosis pada
bayi adalah 500 unit. Sebagian dari dosis diinfiltrasikan sekitar luka terduga sumber
infeksi.

Pemberian HTIg intratekal dilaporkan dapat menurunkan mortalitas pada tetanus,


hal ini diduga karena dengan pemberian intratekal HTIg dapat menetralkan toksin
tetanus yang telah mencapai medula spinalis. Namun demikian pemberian intratekal
masih kontroversial karena kandungan thimerosal dalam beberapa sediaan HTIg yang
bersifat neurotoksik. Efek samping HTIg seperti demam, menggigil, nyeri pada dada
dan punggung.

Imunisasi aktif toksoid tetanus diberikan sebagai tambahan HTIG. Setidaknya


untuk menjaga status imunitas diberikan tiga kali suntikan intramuskular dengan jarak
kurang dari 1 bulan. Dua dosis pertama diberikan dengan jarak setidaknya 4 minggu,
dan dosis ketiga dengan jarak 6 bulan setelah dosis kedua.
Spasme otot perlu segera dikendalikan untuk mencegah komplikasi seperti
dehidrasi, pasien yang kelelahan, robekan otot dan ligamen, fraktur, spasme otot-otot
pernafasan dan spasme laring yang dapat menyebabkan kematian. Serum antibodi
tetanus sebaiknya diukur konsentrasi di dalam tubuh, dengan kadar 0,01 IU/mL Secara
umum merupakan kadar protektif minimum, berbagai stimulus yang berasal dari luar
dapat mencetuskan terjadinya spasme tetanik yang berat, obat golongan benzodiazepin
(diazepam atau lorazepam) dapat digunakan untuk mengatasi hal tersebut yang harus
diberikan sebelum penyuntikan. Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG).
Benzodiazepin memilki sifat GABA agonis dengan cara menghambat inhibitor endogen
reseptor GABA sehingga obat-obat golongan ini merupakan pilihan utama. Diazepam
digunakan paling umum karena ketersediaannya yang banyak di daerah dengan insiden
tertinggi. Dosis diazepam 3 mg/kgBB/hari hingga 8 mg/kgBB/hari mungkin diperlukan,
namun sering kali menyebabkan depresi pernapasan yang membutuhkan intubasi dan
ventilasi mekanis. Pada anak dengan spasme otot dapat dihentikan dengan pemberian
diazepam 0,3 mg/kg perkali dilanjutkan dengan infus kontinyu 15-40 mg/kgBB/hari
Setelah spasme otot terkendali pemberian diazepam intravena dipertahankan selama 3-5
hari setelah itu dapat diberikan peroral dengan penurunan dosis 5-10 mg/hari. Bila dosis
diazepam maksimal telah tercapai namun mash terdapat spasme atau mengalami
spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di rung perawatan intensif.
Diazepam dilaporkan memiliki efektivitas yang baik dengan efek depresi napas yang
lebih rendah dibanding dengan golongan barbiturat. Diazepam juga memiliki efek
antikonvulsan dan muscle relaxation, sedatif dan anxiolytic. Efek maksimal dalam
darah dicapai dalam waktu 30-90 menit. Dosis yang dianjurkan adalah 0.5-10 mg/kg
untuk dewasa atau sebagai berikut:

1. Spasme ringan: 5-20 mg p.o. setiap 8 jam bila perlu.


2. Spasme sedang : 5-10 mg i.v. bila perlu, tidak melebihi dosis 80-120 mg dalam 24
jam atau dalam bentuk drip.
3. Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml dekstrose 5% dan diinfuskan dengan
kecepatan 10-15 mg/jam diberikan dalam 24 iam.

Penggunaan dosis besar diazepam (500 mg atau lebih) atau Lorazepam (200 mg
atau lebih) sangat diperlukan untuk mengatasi spasme yang terjadi. Ketika kedua obat
tersebut digunakan dalam dosis beasr akan menyebabkan komplikasi terjadinya asidosis
metabolik karena kandungan glikol propilen yang terlarut. Untuk mengatasinya dapat
digunakan obat lain yaitu midazolam yang merupakan obat larut dalam air. Dosis
midazolam yang diberikan 5-15 mg/jam melalui infus secara continue. Obat golongan
lain yang dapat diberikan pada tetanus generalisata yaitu baclofen secara intratekal
melaui infus, dengan dosis bolus awal 300-500 ug dan dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan dengan rata-rata 500-1000 ug/hari. Baclofen dosis tinggi baik secara
bolus atau dosis harian dapat menyebabkan koma, hipotonia, hipotensi, bradikardi, dan
depresi nafas. Pemberian dantrolen secara infus harian (dosis bolus 1-1,5mg/kg, diikuti
dengan dosis 0,5 - 1 mg/kg per 4-6 jam selama kurang lebih 25 hari) dilaporkan dapat
diberikan untuk mengatasi spasme tetanus. Tetapi dapat menyebabkan hepatotoksik.

Obat-obatan lain yang dapat digunakan antara lain klorpromazin, magnesium


sulfat, morfin, ketamin, propofol, toksin botulinum dan pelumpuh otot. Vecuronium,
pipecuronium, dan rocuronium lebih disukai, sedangkan pancuronium dianggap tidak
optimal karena penghambatan catecholamine reuptake, yang dapat memperburuk
ketidakstabilan otonom.

Hiperaktifitas simpatis menyebabkan keadaan hipertensi yang labil, takikardi,


hipertensi, produksi salivasi yang berlebihan dan sekresi bronkus dan keadaan
hipermetabolisme. Untuk mengatasi overaktif simpatis ini dapat diberikan labetolol
intravena dengan dosis 0,25 - 1 mg/menit atau 50 - 100 mg tiap 6 jam. Sebagai
alternatif dari labetolol dapat diberikan clonidin 0,2-0,4 mg/hari. Klonidin dapat
digunakan untuk menurunkan tonus simpatik, juga mempunyai efek sedasi dan
menurunkan aktivitas motorik spontan. Propanolol dalam dosis rendah telah dilaporkan
menyebabkan henti jantung dan edema pulmonal pada pasien tetanus. Sebagai obat-
obatan pembantu dalam mengatasi ketidakstabilan otonom yang berat dapat diberikan
magnesium sulfat (4 gram bolus diikuti dengan 2-3 gram per jam). Magnesium sulfat
dapat mengontrol spasme otot tapa pemberian diazepam, hiperreaktivitas simpatis
seperti peningkatan tekanan darah dan denyut jantung tidak terjadi. Konsentrasi
magnesium dalam serum dipertahankan antara 4 hingga 8 mEg/L.

Pemberian morfin dapat meningkatkan vasodilatasi arteri dan vena dengan cara
menurunkan keluaran simpatik secara sentral, dosis sampai dengan 140 mg/hari
dilaporkan berhasil menurunkan tekanan darah dan resistensi vaskular sistemik.
Noradrenaline perinfus dapat diberikan pada period hipotensi.

Kriteria Mayor Kriteria Minor


1. Tekanan darah yang tidk stabil (naik 1. Keringat berlebihan
dan turun)
2. Aritmia 2. Ileus Paralitik
3. Denyut jantung yang tidak stabil 3. Tanda minor lainnya
(naik-turun)

Ada dua tanda mayor atau satu tanda mayor dan 2 tanda minor menunjukkan
adanya sindroma hiperreaktivitas otonom.

Pasien dirawat di ruang perawatan intensif dengan memperkirakan kebutuhan


intubasi bila terjadi kegagalan nafas. Di mana jalan nafas bagian atas sering mengalami
oklusi akibat spasme yang terjadi sehingga terjadi suatu episode hipoksia pada pasien.
Jalur nafas bagian atas dapat mengalami oklusi dan diperlukan tindakan intubasi untuk
menjaga jalan nafas tetap baik. Dalam melakukan intubasi kadang diperlukan suatu
obat penghambat neuromuskular. Sebagai pilihan dapat digunakan vecuronium atau
pancuronium sebagai pilihan utama dan efek kardiovaskular yang rendah. Pemberian
propofol juga dapat digunakan untuk mengatasi spasme sat melakukan intubasi. Dan
bila pemakaian ventilasi mekanik selama 7- 10 hari dapat dilakukan trakeostomi.
Pasien harus dirawat di tempt yang gelap, stimulasi sensorik karena dapat memicu
kejang. Pemberian kortikosteroid tidak direkomendasikan diberikan rutin pada pasien
tetanus. Perawatan suportif harus dilakukan untuk mencegah penyulit seperti
pneumonia, infeksi nosokomial, dehidrasi, malnutrisi, deep vein thrombosis dan
kontraktur.

Secara singkat penatalaksanaan pasien tetanus pada jam- jam pertama pasien
didiagnosa sebagai tetanus adalah:

1. Periksa jalan napas, trakeostomi jika perlu.


2. Cek darah rutin, elektrolit, ureum, kreatinin, mioglobin urin, AGD, kultur untuk yang
infeksi.
3. Mencari port 'entry, inkubasi, periode onset, status imunisasi.
4. Oksigen, diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia, distress pernapasan, sianosis.
5. Diazepam iv 10 mg perlahan selama 2-3 menit. Bisa diulang
6. Jika diperlukan, ruang tenang/gelap.
7. Dosis pemeliharaan diberikan diazepam secara drip, untuk mencegah terbentuknya
kristalisasi, cairan dikocok setiap 30 menit.

Penatalaksanaan 24 jam pertama:

1. ATS i.v 10.000 Ul, didahului skin test


2. TT 0,5 cc im
3. Nutrisi 3500-4500 kalori/hari dengan 100-150 gr protein
4. Metronidazol 4x500 mg i.v. atau p.o. 7-10 hari
5. HTIG 300-5000 UI im/iv (500 sudah cukup efektif)
6. Trakeostomi
7. Debridemand luka
8. NGT, CVP, Folley kateter pada grade II-IV
9. Diazepam or vancuronium 6-8 mg/hr
10. Setiap kejang diberikan bolus diazepam 1 ampul/IV perlahan
selama 3-5 menit, dapat diulangi setiap 15 menit sampai
maksimal 3 kali. Bila tak teratasi segera rawat ICU.
11. Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang, termasuk rangsangan
suara dan cahaya yang intensitasnya bersifat intermitten.
12. Mempertahankan/membebaskan jalan napas: Pengisapan or/nasofaring secara berkala

K. KOMPLIKASI

Managemen tetanus yang baik penting untuk mencegah komplikasi yang mencegah
komplikasi yang membuat perawatan tetanus menjadi lebih sulit. Komplikasi yang
mungkin dapat terjadi dapat dilihat pada table1

SISTEM KOMPLIKASI
Kardiovaskular Hipertensi, hipotensi
Takikardia, bradikardia, asistol
Infark Myokard
Toxic pericarditis
Respirasi Obstruksi jalan nafas (spasme laring, peningkatan bronkial dan
saliva)
Gagal nafas tipe I karena pneumonia aspirasi, nosocomial
Gagal nafas tipe II karena apnea, sedasi berlebih, spasme otot
generalisata
Muskuloskeletal Avulsi tendon, fraktur vertebra. rhabdomyolisis
Gastrointestinal Stasis gastrointestinal, diare, perdarahan
Lain-lain Gagal ginjal akut, thrombosis vena, penurunan berat badan

L. PENCEGAHAN1

Bentuk spora bakteri Clostidium tetani tersebar luas di alam dan sangat sulit dihancurkan
sehingga upaya pencegahan penyakit ini adalah dengan merawat luka sebaik mungkin
dan vaksinasi. Vaksin tetanus toksoid (TT) pada wanita usia subur dan ibu hamil dapat
menurunkan angka kejadian tetanus neonatorum. Hasil vaksinasi terbaik didapatkan
dengan 12 kali jadwal vaksinasi selama masa anak dilanjutkan dengan suntikan booster
10 tahun sekali.1

Pada individu berusia 7 tahun ke atas yang belum mendapatkan vaksinasi dapat diberikan
vaksin tetanus dengan jadwal sebagai berikut.

Tabel. Jadwal Vaksinasi Tetanus pada Individu >7 tahun

DOSIS INTERVAL
Primer 1 Dosis pertama
Primer 2 4-8 minggu setelah dosis pertama
Primer 3 6-12 bulan setelah dosis kedua
Booster Setiap 10 tahun

Profilaksis tetanus perlu dipertimbangkan pada setiap perawatan luka, tergantung dari
jenis luka dan status imunitas pasien terhadap tetanus sebagai berikut:

Table. Profilaksis Tetanus

Riwayat Luka bersih, minor Luka terkontaminasi


Imunisasi Tdap atau Td Tig Tdap atau Td Tig
Tetanus
Tidak Ya Tidak Ya Ya
diketahaui atau
kurang dari 3
dosis
3 dosis atau Tidak* Tidak Tidak** Tidak
lebih

Tdap = tetanus, diphteria, acellular pertussis vaccine

Td = tetanus dan diphteria vaccine

* = ya bila dosis terakhir telah lebih dari 10 tahun

**= ya bila dosis terakhir > 5 tahun

Tabel Pemberian Imunisasi Tetanus

Status Imunisasi DPT Tidak perlu vaksinasi Human Tetanus


primer dan pengulangan Immunoglobulin (HTIg)
TT dalam 10 tahun terakhir diberikan 250 IU dalam 1
ml I.M pada deltoid atau
daerah glutea. Jika lebih
dari 24 jam terpapar setelah
luka, atau ada risiko
kontaminasi berat, atau
pasca luka bakar, dosis
rekomendasi 500 IU
Status imunisasi primer Dosis Tt tunggal diberikan Dosis tunggal Tetanus
dan dosis terakhir 0,5 ml S.C/I.M pada otot Toxoid (Tt) + Human
diberikan lebih 10 tahun deltoid dan glutea Tetanus Immunoglobulin
(HTIg). (lihat dosis di atas)
Tt dan HTIg harus
diberikan pada spuit yang
berbeda pada lokasi yang
berbeda.
Tidak diimunisasi atau Vaksis Tetanus Toxoid Dosis tunggal Tetanus
status imunisasi tidak diberikan secara penuh (5 Toxoid (Tt) + Human
diketahui pasti dosis) 0.5 ml dengan Tetanus Immunoglobulin
interval > 4 minggu (HTIg) diberikan secara
penuh (lihat dosis di atas)

M. Prognosis

Angka kematian pada kasus tetanus bervariasi antara 6-60 % tergantung dari
ketersediaan fasilitas di sarana kesehatan, derajat keparahan dan protokol manajemen yang
dilakukan. Beberapa faktor prognostik yang menetukan adalah lama inkubasi, derajat
keparahan tetanus dan onset.1

Penilaian prognosis merupakan salah satu komponen terpenting untuk melihat risiko
mortalitas. Skor Philips dan Skor Dakar telah diakui lebih dari 40 tahun untuk menilai
prognosi pasien tetanus. Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria peeriode inkubasi dan
periode onset, begitupula manifestasi neurologis dan kardiak. Phillips score juga
memasukkan status imunisasi pasien. Philip score < 9, severitas ringan ; 9-18, severitas
sedang ; dan >18 severitas berat. Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10% ; 2-
3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%;
5-6, severitas sangat berat dengan mortalitas > 50 %.9

Philips’s Score :9
Dakar’s Score9

Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia.
Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas
yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang
pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering
sembuh sempurna, beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang
menetap dan gangguan keseimbangan, berbicara, dan memori. Dukungan psikologis
sebaiknya tidak dilupakan.9
Daftar Pustaka

1. Sugianto, P, dkk, ed. 2019. Modul Neuroinfeksi (Kelompok Studi Neuroinfeksi


Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia). Malang : UB Press.
2. Tertia (et al). 2019. Tetanus Tipe General Pada Usia Tua Tanpa Vaksinasi: Laporan
Kasus Dan Tinjauan Pustaka. Callosum Neurology Journal 2(3): 110-118.
3. Astawa, Ngurah P.P .2015. Tetanus Generalisata Dengan Jaringan Nekrotik Digiti III
Pedis Sinistra: Sebuah Laporan Kasus. E-Jurnal Medika Udayana 3(4) : 492 – 499
4. Nasution, NI & Sobaryati. Tatalaksana Tetanus Generalisata Grade III Yang Disertai
Dengan Community Acquired Pneumonia Di Ruang Perawatan Intensif (Laporan
Kasus). E-Journal Widya Kesehatan Dan Lingkungan 2(2) : 51-58.
5. PERDOSSI. Acuan Praktik Klinis Neurologi. PERDOSSI 2016: 202-205
6. Tankeshwar A. Clostridium tetani: Properties, Pathogenesis and Laboratory diagnosis.
Nepal: Patan Academy of Health Sciences; 2020. 1-5p. Available at
www.microbeonline.com
7. Poudel P, Budhathoki S, Manandhar S. Review Article: Tetanus. Vol. 7, No.3, Issue
27. Sinamangal: Kathmandu University Medical Journal; 2009. 1-8p
8. Raka Sudewi, AA, dkk, ed. 2011. Infeksi Pada Sistem Saraf (Kelompok Studi Neuro
Infeksi). Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga.
9. Laksmi, Ni Komang Saraswita. 2014. Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222/ vol. 41
no. 11.
10. https://www.cdc.gov/tetanus/surveillance.html

Anda mungkin juga menyukai