Anda di halaman 1dari 3

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi dermatitis seboroik secara umum berkisar 3-5% pada populasi


umum. Lesi ditemui pada kelompok remaja, dengan ketombe sebagai bentuk
yang lebih sering dijumpai. Pada kelompok HIV, angka kejadian dermatitis
seboroik lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 36% pasien
HIV mengalami dermatitis seboroik. Umumnya diawali sejak usia pubertas, dan
memuncak pada umur 40 tahun. Dalam usia lanjut dapat dijumpai bentuk yang
ringan, sedangkan pada bayi dapat terlihat lesi berupa kerak kulit kepala (cradle
cap) Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.

ETIOLOGI
Peranan kelenjar sebasea dalam pathogenesis dermatitis seboroik masih
diperdebatkan, sebab pada remaja dengan kulit berminyak yang mengalami
dermatitis seboroik, menunjukkan sekresi sebum yang normal pada laki-laki dan
menurun pada perempuan. Dengan demikian penyakit ini lebih tepat disebut
sebagai dermatitis di daerah sebasea. Namun demikian, dermatitis seboroik dapat
merupakan tanda awal infeksi HIV. Dermatitis seboroik sering ditemukan pada
pasien HIV/AIDS, transplantasi organ, malignansi, pankreatitis alkoholik kronik,
hepatitis C juga pasien Parkinson. Terapi levodopa kadang kala memperbaiki
dermatitis ini. Kelainan ini sering juga dijumpai pada pasien dengan gangguan
paralisis saraf.

PATOGENESIS
Meningkatnya lapisan sebum pada kulit, kualitas sebum, respon imunologis
terhadap Ptyrosporum, degradasi sebum dapat mengiritasi kulit sehingga terjadi
mekanisme eksema. Jumlah ragi genus Malassezia meningkat di dalam epidermis
yang terkelupas pada ketombe ataupun dermatitis seboroik. Diduga hal ini terjadi
akibat lingkungan yang mendukung. Telah banyak bukti yang merupakan
dermatitis seboroik dengan Malassezia. Pasien dengan ketombe menunjukkan
peningkatan titer antibody terhadapa Malassezia , serta mengalami perubahan
imunitas seluler. Kelenjar sebasea aktif pada saat bayi dilahirkan, namun dengan
menurunnya androgen ibu, kelenjar ini menjadi tidak aktif selama 9 – 12 tahun.

RESPON IMUN DAN INFLAMASI


Komponen imun mungkin penting dalam patogenesis Dermatitis Seboroik
karena Dermatitis Seboroik jauh lebih umum pada pasien imunosupresi. Tikus
transgenik DBA/2 2C TCR, yang memiliki defek dalam ekspresi sel CD4+ dan CD8+
karena kurangnya timosit progenitor sel T, menunjukkan erupsi seperti Dermatitis
Seboroik. Beberapa penelitian telah berfokus pada imunitas seluler dan imunitas
humoral pada tikus, tetapi ada beberapa kontroversi. Satu penelitian
menunjukkan rasio CD4+ dan CD8+ normal, sedangkan penelitian lain
menunjukkan penurunan rasio CD4+ dan CD8+ pada 68% pasien. Penurunan
jumlah sel B pada 28% pasien dan peningkatan jumlah sel pembunuh alami pada
48% pasien dilaporkan. Selain itu, 60% pasien menunjukkan peningkatan sel CD8+
dan 70% pasien menunjukkan penurunan rasio CD 4+ dan CD8+. Juga, dinyatakan
bahwa pasien Dermatitis Seboroik mengalami peningkatan produksi Antibodi
Imunoglobulin (IG) A dan (IG) G dalam serum. Namun, tidak ada perubahan
jumlah total antibodi terhadap Malassezia di Dermatitis Seboroik, menunjukkan
bahwa perubahan antibodi tidak kemungkinan terkait dengan Malassezia.
Perubahan sitokin inflamasi pada pasien dengan Dermatitis Seboroik telah
ditunjukkan oleh studi Imunohistokimia. Produksi Interleukin (IL)-1α, IL-1β, IL-4,
IL-12, tumor necrosis factor-α, dan Interferon (IFN)-γ meningkat pada lesi
dibandingkan dengan kulit normal. Peningkatan IL secara signifikan rasio-1RA dan
IL-1 α dan IL-1RA dan IL-8, serta kelebihan produksi histamin, juga terbukti terjadi
pada Dermatitis Seboroik bila dibandingkan dengan kontrol yang sehat.
Penyelidikan ekspresi gen oleh microarray DNA di 15 pasien dengan ketombe
menunjukkan ekspresi timbal balik dari gen inflamasi yang diinduksi dan gen
metabolisme lipid yang ditekan dibandingkan dengan individu yang tidak
berketombe. Ekspresi gen inflamasi yang diinduksi secara jelas diamati pada kulit
pasien yang tidak terlibat juga, menunjukkan adanya faktor predisposisi yang
berhubungan dengan peradangan pada pasien dengan Dermatitis Seboroik.
Selanjutnya, peradangan yang disebabkan oleh stres oksidatif melalui spesies
oksigen reaktif mungkin memiliki peran potensial dalam patogenesis Dermatitis
Seboroik.
DAFTAR PUSTAKA
Sewon K, et al. Sewon’s Dermatology: A Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New
York, NY: McGraw-Hill Education; 2019:432-433.
Sri MD, et al. ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN . Edisi 7 . Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : FKUI Indonesia; 2016:232-233.

Anda mungkin juga menyukai