Anda di halaman 1dari 7

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara

Energi merupakan suatu hal yang perannya sangat penting bagi kehidupan
karena tidak ada hal di alam semesta yang bergerak tanpa adanya energi. Secara
umum, energi digolongkan menjadi dua, yaitu energi terbarukan dan energi tidak
terbarukan. Energi fosil merupakan energi yang paling banyak digunakan di dunia
ini walaupun energi fosil termasuk ke dalam energi yang tidak terbarukan karena
penggunaannya yang lebih mudah (Widodo, 2003). Minyak bumi, gas alam, dan
batubara merupakan energi yang tergolong ke dalam energi fosil. Batubara
merupakan energi yang paling banyak cadangannya di bumi.

Batubara merupakan salah satu energi fosil. Karbon, hidrogen, dan


oksigen merupakan unsur utama yang terkandung dalam batubara. Bahan utama
batubara adalah sisa-sisa tumbuhan yang terbentuk dalam jangka waktu sangat
lama. Proses pembentukan batubara secara ringkas terdiri dari dua tahap, tahap
pertama adalah tahap biokimia (pembentukan gambut) dan yang kedua adalah
tahap geokimia (pembentukan batubara). Tahap pertama berlangsung ketika
material tanaman terdeposisi sampai terbentuknya lignit. Sisa-sisa tumbuhan yang
telah mati terakumulasi dan tersimpan dalam kondisi reduktif. Tahap kedua adalah
tahap pembentukan batubara yang merupakan gabungan dari proses biologi,
fisika, dan kimia yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang
menutupinya. Tahap pembentukan batubara ini dipengaruhi oleh suhu, tekanan,
dan waktu (Tirasonjaya, 2006).

Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang sangat melimpah.


Kalimantan dan Sumatera merupakan pulau yang memiliki potensi kandungan
cadangan batubara tertinggi di Indonesia. Pulau lain di Indonesia juga ditemukan
deposisi batubara walaupun dalam jumlah yang tidak terlalu besar apabila
dibandingkan dengan kedua pulau tersebut dan juga belum dapat diketahui tingkat
keekonomisannya. Jumlah sumberdaya batubara di Indonesia pada tahun 2008
berdasarkan data dari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral adalah sebesar
104,760 juta ton, sedangkan cadangan batubara yang tersedia adalah sebesar
18,710 juta ton. Cadangan batubara di dunia diperkirakan dapat bertahan hingga
164 tahun ke depan.

Di Indonesia, batubara biasanya banyak digunakan oleh kalangan industri.


Hampir seluruh cabang industri menggunakan batubara sebagai bahan bakar.
Berdasarkan data yang diperoleh, industri yang paling banyak menggunakan
batubara sebagai bahan bakarnya adalah industri PLTU. Dari seluruh konsumsi
batubara dalam negeri pada tahun 2005 sebesar 35,342 juta ton, 71.11%
digunakan oleh PLTU baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta.
Industri lain yang memenfaatkan batubara adalah industri semen, tekstil, kertas,
metalurgi, briket, dan lainnya (TKBN, 2006).

Dalam perindustrian Indonesia, Batubara merupakan bahan bakar yang


sangat penting selain solar. Batubara memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan solar. Perbandingan nilai ekonomis yang diperoleh dari
Wikipedia (2009) adalah sebagai berikut: solar Rp 0.74/kilokalori sedangkan
batubara Rp 0.09/kilokalori (berdasarkan harga solar Rp 6.200). Hal ini
menyebabkan banyak industri yang memanfaatkan batubara sebagai bahan
bakarnya.

Batubara menempati urutan pertama dalam tingkatan jenis bahan bakar


yang dikonsumsi kalangan industri di Indonesia. Faktor yang menyebabkan
batubara banyak dikonsumsi, antara lain sumberdaya yang cukup melimpah, dapat
digunakan langsung dalam bentuk padat ataupun dikonversi menjadi gas
(gasifikasi) dan cair (pencairan), sedang berkembangnya teknologi pemanfaatan
batubara yang ramah lingkungan, dan harga yang lebih kompetitif apabila
dibandingkan dengan sumber energi fosil lainnya (TKBN, 2006).

2.2. Aspek Lingkungan Pemanfaatan Batubara

Penggunaan batubara sebagai bahan bakar tidak selamanya


menguntungkan. Batubara merupakan bahan bakar yang sarat dengan masalah
lingkungan dan kesehatan manusia. Pembakaran batubara secara konvensional
dapat menghasilkan polutan berupa CO (karbon monoksida), NOx (oksida-oksida
17

nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang), HC (senyawa karbon), dan juga partikel-


partikel yang terhambur ke udara sebagai bahan pencemar udara seperti fly ash
(C), debu-debu silika (SiO2), debu-debu aluminia (Al2O3) dan oksida-oksida besi
(Fe2O3 atau Fe3O4) (Eko, 2008).

Masalah yang ditimbulkan dari pembakaran batubara terutama disebabkan


kandungan sulfur yang terdapat pada batubara sebagai polutan utama. Sulfur
merupakan padatan yang rapuh, berwarna kuning pucat, tidak larut dalam air,
tetapi mudah larut dalam CS2 (karbon disulfida). Sulfur banyak ditemukan di
daerah sekitar pegunungan dan hutan tropis. Di alam, sulfur tersebar dalam bentuk
pirit, galena, sinabar, stibnit, gipsum, garam epsom, selestit, barit, dan lainnya
(Chen, 1997).

Kandungan sulfur pada batubara Indonesia tergolong rendah, namun


penggunaan batubara dalam jumlah besar akan meningkatkan emisi SO2 di
lingkungan yang dapat berdampak buruk bagi manusia dan lingkungan hidup
(Sugiono, 2000). Sulfur merupakan gas yang tidak berwarna dan berbau tajam.
Akibat yang dapat ditimbulkan dari tingginya emisi SO2 di lingkungan, antara lain
gangguan kehamilan, gangguan jantung, gangguan fungsi hati, gangguan saluran
pernapasan, timbulnya hujan asam, dan gangguan penglihatan (Dejmek et al.,
1999; Sunyer et al., 2003; EPA, 2009)

2.3. Biodesulfurisasi

Batubara banyak mengandung unsur yang membahayakan bagi kesehatan


manusia dan lingkungan. Salah satu unsur yang paling berbahaya dalam batubara
adalah sulfur. Sulfur yang terkandung dalam batubara terdapat dalam bentuk pirit,
sulfat, dan sulfur organik. Pirit (FeS2) merupakan komponen sulfur utama yang
terdapat pada batubara, sedangkan sulfur dalam bentuk sulfat hanya terkandung
sangat sedikit, yaitu kurang dari 1% (Chen, 1997).

Sulfur pada batubara dapat dikurangi sebelum pembakaran berlangsung,


ketika pembakaran berlangsung, maupun setelah pembakaran berlangsung. Hal ini
diharapkan agar kadar SO2 hasil pembakaran batubara tidak melebihi baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan pada Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2007 mengenai emisi sumber tidak bergerak yang
menggunakan batubara sebagai sumber energi, yaitu sebesar 750 ppm. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi pencemaran yang ditimbulkan dari pembakaran
batubara.

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi


kandungan sulfur pada batubara, antara lain secara fisika, kimia, dan biologi.
Metode kimia dan fisika merupakan metode yang memakan biaya relatif mahal
apabila dibandingkan dengan metode biologi. Desulfurisasi batubara dengan
metode fisika dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain metode
gravity separation, magnetic separation, electrostatic separation, oil
agglomeration, dan flotation. Metode fisika tersebut dapat mengurangi kandungan
sulfur dalam bentuk pirit dan ash yang terdapat pada batubara (Chen, 1997).

Desulfurisasi batubara dengan menggunakan metode kimia biasanya


dilakukan berdasarkan prinsip oksidasi selektif organik sulfur dengan
hidrokarbon. Beberapa proses kimia juga dapat menghilangkan pirit dan ash dari
batubara. Proses kimia yang biasanya digunakan untuk desulfurisasi batubara
antara lain metode Molten Caustic Leaching (MCL), Mayers, Oxydesulfurization,
Chlorinolysis, KVB, dan microwave desulfurization. Metode-metode ini dapat
mengurangi kandungan sulfur organik yang tidak dapat dilakukan dengan metode
fisika, namun metode ini membutuhan biaya yang sangat besar (antara $25 - $35
setiap ton) dan aplikasinya sangatlah terbatas untuk saat ini (Chen, 1997).

Hidupnya bakteri pada permukaan mineral memainkan peranan yang


sangat penting tidak hanya untuk hidupnya bakteri di alam, namun juga dapat
dimanfaatkan dalam industri pertambangan. Salah satu bakteri yang dapat
digunakan dalam industri adalah bakteri pengoksidasi besi dan sulfur T.
ferrooxidans (Ohmura et al., 1993). Pengurangan kandungan sulfur dengan
metode biologi disebut biodesulfurisasi, yaitu metode yang dalam prosesnya
memanfaatkan organisme, yaitu bakteri. Metode ini merupakan metode yang
memiliki paling banyak keunggulan dibandingkan dengan metode lainnya (Kargi,
2004), namun desulfurisasi dengan metode biologi memiliki beberapa kekurangan
19

yaitu bakteri hanya mampu mengoksidasi sulfur dalam bentuk-bentuk tertentu


(Bos et al., 1985). Bakteri yang dapat digunakan dalam proses desulfurisasi,
antara lain: 1. T. ferrooxidans (FeS2),
2. T. thiooxidans (FeS2),
3. L. ferrooxidans (FeS2),
4. S. acidocalderius (FeS2),
5. R. spheriodes (S-organik).

Prinsip dari proses biodesulfurisasi batubara adalah dengan mengoksidasi


sulfur dalam bentuk organik dan/atau anorganik yang terdapat pada batubara
dengan bakteri tertentu yang digunakan. Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi biodesulfurisasi batubara, yaitu suhu, kemasaman, konsentrasi sel,
konsentrasi batubara, ukuran partikel, komposisi medium, penambahan partikulat
dan surfaktan, dan interaksi suatu bakteri dengan bakteri lain. Meningkatkan
kecepatan aerasi desulfurisasi batubara juga dapat dilakukan untuk mempercepat
kinerja dari bakteri tersebut (Anwar, 2002).

T. ferrooxidans merupakan bakteri yang paling penting dalam


biodesulfurisasi batubara karena dapat mengoksidasi pirit (FeS2) secara langsung.
Walaupun begitu, proses desulfurisasi batubara hanya dengan memanfaatkan
salah satu kinerja bakteri akan menghasilkan desulfurisasi yang kurang optimal.
Biodesulfurisasi secara kultur gabungan dengan menggunakan berbagai bakteri
dapat membuahkan hasil yang lebih baik (Rawling dan Kusano, 1994).

2.4. Thiobacillus ferrooxidans

Thiobacillus merupakan bakteri Gram-negatif berbentuk batang yang


secara fisiologi dapat hidup dengan baik pada lingkungan sangat asam (Colmer,
1950). Bakteri ini dapat mengatalisis oksidasi pirit dan menciptakan lingkungan
yang lebih asam (Hao et al., 2006). Terdapat dua spesies genus Thiobacillus yang
dapat digunakan dalam proses desulfurisasi batubara, yaitu T. ferrooxidans dan T.
thiooxidans. T. ferrooxidans merupakan bakteri pengoksidasi pirit yang telah
banyak dimanfaatkan (Bos et al., 1985). Bakteri ini hidup secara autotrof dengan
pirit sebagai sumber energinya, mengoksidasi sulfur dan besi, lalu menghasilkan
ferro sulfat (Olsen, 1991), sedangkan T. thiooxidans tidak dapat mengoksidasi
sulfur secara langsung, namun dapat tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah
besi teroksidasi (Schippers et al., 1999).

Lingkungan optimum bagi T. ferrooxidans adalah pada pH 2 - 4 (Hee et


al., 1993). Bakteri ini hidup pada deposit pirit (FeS2) dan mendapatkan energi
dari mengoksidasi sulfur dan besi. Bakteri ini menghasilkan sulfat dari
mengoksidasi sulfur sehingga lingkungannya menjadi lebih asam. Besi yang
dimanfaatkan oleh bakteri ini merupakan besi dalam bentuk Fe2+ yang selanjutnya
dirubah menjadi Fe3+. Reaksi tersebut adalah sebagai berikut:
Fe2+ + H2O + 2H+ Fe3+ + H2O

Proses reaksi oksidasi pirit (FeS2) yang terjadi menurut Boyd (1982),
adalah sebagai berikut:
1) FeS2 + H2O + 3.5 O2 FeSO4 + H2SO4
2) 2 FeSO4 + 0.5 O2 + H2SO4 Fe2(SO4)3 + H2O
3) FeS2 + 7 Fe2(SO4)3 + 8 H2O 15 FeSO4 + 8 H2SO4
4) Fe2(SO4)3 + 6 H2O 2 Fe(OH)3 + 3 H2SO4
Pada reaksi (1), ditunjukkan apabila oksidasi mineral sulfida seperti pirit (FeS2)
akan membentuk ion ferro sulfat dan asam sulfat sehingga kondisi lingkungan
menjadi asam. Terbentuknya lingkungan yang asam dari proses oksidasi pirit ini
akan menciptakan lingkungan yang baik bagi kehidupan mikroorganisme
acidophilic seperti T. ferrooxidans. Lingkungan yang baik ini akan mempercepat
kinerja bakteri dalam mengoksidasi pirit.

T. ferrooxidans mampu mengoksidasi besi dan sulfur dalam


kehidupannya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh energi bagi kehidupannya.
Oksidasi pirit (FeS2) secara biologi oleh bakteri T. ferrooxidans dapat dilakukan
melalui dua mekanisme, yaitu mekanisme langsung dan mekanisme tidak
langsung (Silverman, 1967). Pada mekanisme langsung (reaksi 1), pirit dioksidasi
secara biologi dan memerlukan kontak fisik antara partikel pirit dengan bakteri T.
ferrooxidans itu sendiri. Pada mekanisme tidak langsung (reaksi 2), T.
ferrooxidans tidak melakukan kontak langsung dengan pirit, tetapi Fe2+ akan
21

teroksidasi terlebih dahulu menjadi Fe3+. T. ferrooxidans kemudian akan


mereaksikan Fe3+ yang terbentuk dengan mineral pirit (FeS2) sehingga reaksi
oksidasi terjadi lebih cepat. Proses ini terjadi ketika lingkungan berada pada
kondisi yang masam dimana hal ini merupakan lingkungan tumbuh yang baik bagi
T. ferrooxidans.

Anda mungkin juga menyukai