Wahyu Hidayat1
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) merupakan salah satu cara dalam era
demokrasi untuk mendapatkan seorang pemimpin daerah yang mampu menjawab harapan
rakyat. Pilkada bukan hanya sekedar sebagai pesta demokrasi (democration party) tetapi
juga sekaligus momentum bagi partai politik memunculkan sosok-sosok calon pemimpin
yang dapat membawa daerahnya dan rakyatnya makmur, sejahtera, dan berkah.
Disinilah akhirnya partai politik memerankan penting dalam menjawab harapan rakyat.
Partai politik sebagai pilar demokrasi sejatinya menjadi lembaga yang bisa melahirkan
sosok-sosok pemimpin yang berkualitas sesuai dengan harapan rakyat. Partai politik
seharusnya juga menjadi kepanjangan kepentingan rakyat. Suara partai suara rakyat atau
suara rakyat suara partai semestinya diwujudkan secara nyata dalam praktik perpolitikan.
Ada yang hilang dalam konteks perpolitikan sekarang ini yaitu keberkahan dalam
politik. Politik kita cenderung liberal lebih liberal dari mbahnya demokrasi iaitu negara
Amerika Syarikat dan negara-negara barat. Politik kita cenderung menghalalkan segala
cara. Sesuatu yang haram dianggap halal, praktik-praktik politik subhat dan haram
merajalela. Maka janganlah heran jika sesuatu yang didapat dengan cara menghalalkan
segala cara maka hasilnyapun tidak akan berkah. Maka rusaklah semuanya.
Serangan fajar dengan membagi-bagikan uang dengan harapan dapat membeli
suara rakyat rupanya masih menjadi strategi yang dianggap lumrah dan biasa, padahal
bukankah cara-cara ini bagian daripada suap, karena mengharapkan imbalan supaya
memilih dirinya. Janganlah heran jika ada pada akhirnya seorang pemimpin berfikir
bagaimana bisa mengambilkan modal saat pilkada. Sehingga dirinya lupa bahwa dia
sesungguhnya sedang memegang amanah yang akan dipertanggung jawabkan di akherat
kelak.
Politik transaksional menjadi sesuatu yang ditradisikan, pemberian uang atau janji-
janji kedudukan kepada siapapun yang mendukungnya seolah-seolah menjadi jimat
dalam keberhasilan untuk mendapatkan kekuasaan. uang untuk politik dan politik untuk
uang sepertinya menjadi siklus politik kita. PILKADA akhirnya sekedar menjadi praktik jual
beli. PILKADA menjadi pasar kaget untuk bertransaksi. Para politisi menganggap bahwa
suara bisa dibeli dan beberapa orangpun menganggap suaranya bisa dijual. Maka terjadilah
praktik jual beli suara, loe berani beli berapa suara gue ?? Loe berani kasih apa ke gue
untuk mensukseskan loe..inilah yang terjadi disetiap ada PILKADA.