Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Definisi sosiologi (1839) yang berasal dari kata latin socius yang berarti kawan dan

kata Yunani Logos yang berarti kata atau bicara. Jadi sosiologi berarti bicara

mengenai masyarakat bagi Auguste Comte sosiologi merupakan ilmu pengetahuan

kemasyarakatan umumyang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu

pengetahuan. Comte berkata bahwa sosiologi harus dibentuk berdasarkan

pengamatan dan tidak kepada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat.

Dr. Soerdjono menyatakan bahwa Hukum adalah gejala sosial,ia baru berkembang di

dalam kehidupan manusia bersama. Ia tampil dalam menserasikan pertemuan antar

kebutuhan dan kepentingan warga masyarakat, baikyang sesuai atau tidak.

Hal ini berlangsung karena manusia senantiasa hidup bersama, saling ketergantungan.

Sosiologi hukum : adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis

mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala

social lain. Ini karena sejak dilahirkan di dunia ini manusia telah sadar bahwa dia merupakan

bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia

tadi memiliki kebuyaan. Selain itu, manusia sebetulnya telah mengetahui, bahwa kehidupan

mereka dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan dan pedoman.

Sosiologi hukum juga dapat membantu untuk memberikan kejelasan mengenai


kemampuan yang ada pada undang-undang serta pengaruh-pengaruh apa saja yang

dapat ditimbulkan oleh bekerjanya undang-undang itu dalam masyarakat .

Hukum secara sosiologis adalah merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social

institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola-pola perikelakuan

yang berkisarpada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia Vinogradoff mengemukakan, bahwa

norma hokum itu tumbuh dari pratek-pratek yang dijalankan oleh anggota masyarakat dalam

hubungan satu sama lain yaitu pratek-pratek yang dituntut oleh pertimbangan memberi dan

menerima dalam hubungan mereka satu sama lain yang diukur oleh pertimbangan kepatutan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah hukum sosiologi ?

2. Apakah fungsi dan peranan hukum sosiologi dalam kehidupan bermasyarakat?

3. aspek aspek yang mempengaruhi sosiologi hukum dalam menjalankan fungsi dan peranan

nya dalam kehidupan masyarakat?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui pengertian hukum sosiologi dalam

hidup bermasyarakat.
2. Tujuan Khusus.

a. Untuk mengetahui fungsi dan peranan hukum sosiologi dalam kehidupan bermasyarakat .

b. Untuk mengetahui aspek aspek yang mempengaruhi sosiologi hukum dalam menjalankan

fungsi dan peranan nya dalam kehidupan masyarakat .

D.Manfaat
Sosiolog hukum bertujuan untuk memberi penjelasan terhadap pratek-pratek

hukum, seperti dalam pembuatan undang-undang, praktek peradilan dan

sebagainya.

Sosiologi hukum berusaha menjelaskan mengapa praktek demikian itu terjadi,faktor

apa yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya. Cara ini oleh Max Weber

dinamakan sebagai interpretativ-understanding. Ini karena sosiologi hukum tidak

menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, melainkan ingin memperoleh

pula penjelasan yang bersifat internal, yaitu yang meliputi motif motif tingkah laku

seseorang.

1. Sosiologi hukum senantiasa menguji keabsahan empiris, dengan usaha mengetahui antara isi

kaidah di dalam kenyataanya.

2. Sosiologi hukum menjelaskan terhadap objek yang di pelajarinya, tidak pada hukum. Maka

penekananya adalah bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian melainkan mendekati

hukumdari segi obyektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap

fenomena hukum yang nyata. (kerana sifat sosiologi mengamati hubungan prilaku) Sosiologi

hukum tidak menetapkan penilaian kepatutan.


Ciri Ciri Utama Sosiologi

1. Bersifat empiris yaitu didasarkan pada observasi terhadap kenyataan, tidak bersifat spekulatif.

2. Bersifat teoritis yaitu menyusun abstraksi dari hasil observasi,bertujuan untuk menjelaskan

hubungan hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.

3. Bersifat kumulatif yaitu bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori yang sudah ada

dalam arti memperbaiki dan memperhalusi teori teori yang lama.

4. Bersifat non-etis, yakni tidak mempersoalkan soal baik-buruk fakta, akan tetapi menjelaskan

fakta secara analitis.


BAB II

ISI

Didalam suatu kestabilan masyarakat dapat kita perhatikan bahwa di dalam masyarakat

kita harus mengetahui dan mengembangkan taraf hidup bersosiologi antar masyarakat .

Oleh karena itu , dalam bersosialisasi bermasyarakat terdapat beberapa konflik dalam

masyarakat , diantaranya adalah sebagai berikut ini

1. Konflik dalam Tinjauan Teoritis

Menurut Definisi kerja Coser konflik adalah "perjuangan mengenai nilai serta tuntutan

atas status, kekuasaan dan sumber daya yang yang bersifat langka dengan maksud menetralkan,

mencederai atau melenyapkan lawan. Kajian Coser terbatas pada fungsi positif dan konflik, yaitu

dampak yang mengakibatkan peningkatan dalam adaptasi, hubungan sosial atau kelompok

tertentu (Kamanto Sunarto: 243).

Pandangan pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar berikut ini :

1.Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir,

atau dengan pe-nataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap

masyarakat.

2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan perkataan lain

konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.


3. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi

dan perubahan-perubahan sosial.

4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas

sejumlah orang yang lain (Nasikun: 16-17).

Teori konflik melihat masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang

ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Teori konflik melihat

bahwa setiap elemen institusi memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial.Teori konflik

menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat disebabkan karena adanya tekanan atau

paksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.

Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Tugas utama menganalisa konflik

adalah mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam situasi konflik

seseorang individu akan menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan oleh golongannya

(George Ritzer: 29-30).Aspek terakhir konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan

perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin kearah perubahan dan pembangunan.

Dalam situasi konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk

mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka

perubahan yang akan terjadi perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula dengan

konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif (George

Ritzer: 33).Teori konflik menurut Karl Marx terletak pada teorinya mengenai kelas, Marx

berpendapat bahwa sejarah masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas,dengan

munculnya kapitalisme terjadi perpisahan tajam antara mereka yang memiliki alat produksi dan

mereka yang hanya mempunyai tenaga. Perkembangan kapitalisme memperuncing kontradiksi


antara kedua kategori sosial hingga pada akhirnya terjadi konflik diantara dua kelas. (Kamanto

Sunarto: 241).

Menurut Ralf Dahrendorf, dalam tulisannya mengenai kelas dan konflik kelas dalam

masyarakat industri. Menurutnya perubahan sosial tidak hanya datang dari dalam tetapi juga

diluar masyarakat; bahwa perubahan dari dalam tidak selalu disebabkan konflik sosial dan bahwa

disamping konflik kelas terdapat pula konflik sosial yang berbentuk lain, ia pun mengamati

bahwa konflik tidak selalu menghasilkan evolusi, selanjutnya Dahrendorf mencatat bahwa

kekuasaan politik selalu mengikuti kekuasaan dibidang industri.

Menurut teori konflik versi Dahrendorf masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi yang

didasarkan pada kekuasaan (dominasi satu pihak oleh pihak yang lain atas dasar paksaan) yang

dinamakannya "Imperatively Coordinate Associations" (asosiasi yang dikoordinasikan secara

paksa). Karena kepentingan kedua pihak dalam asosiasi tersebut berbeda pihak penguasa

berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak yang dikuasai

berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan, maka dalam asosiasi akan terjadi polarisasi dan

konflik antar dua kelompok.Keberhasilan kelompok yang dikuasai untuk merebutkekuasaan

dalam asosiasi akan menghasilkan perubahan sosial.

Teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga, seperti kekuasaan dan

wewenang, benda-benda material, dan apa yang menghasilkan kenikmatan, agak langka

sehingga tidak dapat di bagi sama rata diantara rakyat. Maka dengan telah muncul golongan-

golongan dan kelompok-kelompok oposisi, yang merasa diri dirugikan dan meng-inginkan porsi .

lebih besar dari dirinya sendiri atau hendak menghalang-halangi atau mencegah pihak lain dari

memperoleh dan menguasai barang itu (J. Veeger: 92).


2. Konflik dalam Perspektif Realitas

Konflik horizontal menyebar di Indonesia seperti wabah penyakit menular. Sistem politik

Indonesia sejak reformasi 1998 yang diharapkan dapat merubah wacana demokrasi Indonesia

baru, ternyata harus dibayar mahal. Kepentingan politik masih dominan mengancam, sehingga

batas demokrasi, kebebasan Pers dan supermasi sipil dan hukum menjadi kebablasan dan

formalistik. Kebijakan ekonomi kerakyatan, ternyata tak mendapat simpati masyarakat, karena

pada prakteknya semua tak menyentuh prioritas kepentingan publik. Nilai rupiah dan fluktuasi

harga tidak menentu, kesulitan mencari nafkah, pekerjaan sehingga jurang antara kaya dan

miskin mengaga sangat lebar.

Pengungsian dan kelaparan mencapai 1 juta jiwa akibat konflik yang terjadi di berbagai

daerah dalam negeri, seperti Aceh, Sambas, NTT, Ambon, Sulawesi Tengah, dan Poso.Di sana

sini banyak terjadi pergolakan politik yang menimbulkan konflik sosial.Masyarakat kehilangan

pijakan dan kepercayaan diri, emosi sosial meningkat tak tahu akan menyalahkan siapa.

Akibnatnya antar warga masyarakat saling curiga,solidaritas sosial menurun, sehingga timbul

tragedi kemanusiaan yang panjang dan pada akhirnya mengancam integritas bangsa secara

global.Sesuai dengan perkembangan kondisi sosial dan perubahan kepentingan masyarakat,maka

lumrah kalau adat istiadat itu selalu berubah sesuai dengan tuntutan hidup.

Akan tetapi bukan berarti hukum adat masyarakat itu tak berlaku atau mati, melainkan ia

tetap hidup dalam jiwa mereka. Jadi perubahan adat tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak

memperhatikan eksistensi adat masyarakat setempat, apalagi menyangkut kepentingan berbagai

pihak untuk mengubah penguasaan dan pemanfaatan tanah yang ada diwilayah mereka. Sebagai

kenyataan pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan adanya konflik-konflik soal tanah yang

terjadi di sekitar kegiatan pembangunan. Oleh karena itu perlu penataan posisi hukum adat terasa
semakin mendesak dan segera dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi

kemungkinan semakin meningkatnya konflik sehubungan dengan terus bergeraknya kegiatan-

kegiatan pembangunan dari berbagai sektor yang cenderung menyentuh kepentingan masyarakat

adat.

Hukum adat yang sebetulnya majemuk itu bersifat "terbuka", mengedepankan upaya

musyawarah antar orang-orang yang berkepentingan, dan partisipatif. Sebenarnya hukum adat

cukup adaptif dan lentur terhadap perubahan, sepanjang perubahan perubahan itu melalui hasil

konsensus bersama, melalui cara-cara yang terbuka dalam musyawarah. Prinsip Hukum adat

selalu mengutamakan keadilan bagi sesama warga yang mendukungnya. Oleh karena itu hukum

adat mesti diakui, dipelihara dan dibangun melalui proses pemahaman yang berlandaskan pada

tujuan untuk maju dan sejahtera bersama secara merata.Mengenai titik persoalan konflik

pertanahan pada akhir-akhir ini tidak lepas dari benturan pemahaman pihak-pihak terhadap status

Tanah hak ulayat yang secara realistik keluar dari fungsinya sebagai lahan jaminan kesejahteraan

bersama, sumber kebutuhan taktis, dan sebagai sumber dana dalam setiap upaya pemenuhan

tuntutan hajat hidup.

Sementara itu hak ulayat menurut hukum adat adalah hak atas tanah oleh suatu

klen/kerabat masyarakat adat. Termasuk juga penguasaan hukum adat terhadap kali (sungai),

danau, pantai serta tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang.Pada dasarnya

masyarakat berhak mempergunakan tanah-tanah dan kekayaan alam yang ada di wilayah hukum

adat. Dalam hukum adat ditentukan bahwa pihak luar bias memanfaatkan tanah ulayat dengan

seizin pimpinan adat (penyimbang) melalui musyawarah perwatin adat. Tanah ulayat menurut

hukum adat tidak dapat dilepaskan,dipindah-tangankan dengan hak milik pribadi, termasuh tanah

yang sedang digarap. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan hak ulayat dengan hak perorangan
mempunyai hubungan timbal balik. Semakin kuat hubungan antara masyarakat dengan tanah

semakin kuat hak ulayat yang berlaku.

Khususnya di daerah Lampung dalam memanfaatkan tanah ulayat harus seizin kepala

adat/kepala marga. Bagi warganya yang meninggalkan rumah/umbul dan tanam tumbuhnya yang

tidak dipelihara selama tiga tahun, maka penguasaannya kembali kepada kepala adat, dan harus

izin ulang jika ingin memanfaatkan kembali.Meskipun pada tahun 1973 Gubernur Lampung

melalui Putusannya No.G/234/D.1/HK/1973, telah menghapus pemerintahan negeri, akan tetapi

tidak berarti hapusnya tanah ulayat, melainkan kembali pada marga masing-masing. Di lain

pihak Gubernur Lampung telah mengeluarkan Keputusan No.G/127/DA/HK/1974 tentang

Pembebasan Tanah Untuk Keperluan Perusahaan.

Dengan demikian berarti penggunaan tanah ulayat/marga di bawah kekuasaan kepala

adat/marga untuk kepentingan tersebut harus menempuh jalur musyawarah perwatin adat.

Tujuannya adalah agar tidak terjadi persengketaan terhadap tanah tersebut antara pihak

pengusaha dengan masing masing kepala adat/marga dan warga masyarakat pada

umumnya.Oleh karena diketahui bahwa masyarakat hukum adat sangat terbuka terhadap jalur

musyawarah dalam setiap penyelesaian masalah, termasuk masalah pertanahan, maka apabila

terjadi sengketa tanah ulayat/marga, maka dapat diselesaikan melalui mekanisme tersebut.

Adapun pertimbangannya adalah bahwa masyarakat adat Lampung pada umumnya masih

tetap mendukung adat budayanya. Dalam penyelesaian masalah tanah harus dilakukan dengan

musyawarah bersama antara masyarakat tiyuh semarga, antara masyarakat adat dengan pihak-

pihak yang berkepentingan, dan Pemerintah Daerah sebagai mediator.


Kepala Adat dan warga masyarakat adat Lampung pada umumnya menyadari bahwa

tanah ulayat itu bukan milik perorangan, melainkan hanya dikuasai oleh Kepala Adat dalam

pengertian pengelolaan dan pemanfaatannya atas kewenangan dan seizin Kepala Adat setempat.

Mengenai hasil produksi tanah atau hasil tanam tumbuhnya diatur oleh Kepala Adat melalui

musyawarah perwatin adat, yaitu sebagian besar hasilnya milik penggarap dan sebagian kecil

untuk diserahkan kepada lembaga adat melalui Kepala Adat. Peruntukan hasil yang diserahkan

kepada Kepala Adat adalah sebagai sumber dana pelestarian adat dalam bentuk gawi adat,

musyawarah adat dan kepentingan adat lainnya.

Apabila ada pihak lain, baik pemerintah, badan, lembaga atau perusahaan yang secara

formal ingin menggunakan tanah ulayat tersebut dengan tujuan pembangunan, maka pada

dasarnya masyarakat tidak keberatan sepanjang pihak-pihak yang berkepentingan tadi dapat

bekerjasama, baik dalam proses perencanaan, pengelolaan,pemeliharaan, maupun dalam

pembagian hasil usaha atas tanah tersebut. Hal ini berarti pihak-pihak yang berkepentingan harus

mengikutsertakan masyarakat dengan sentuhan sosial budaya dan dapat mengangkat kepentingan

serta harkat martabat hukum adat yang berlaku. Dalam hal ini tentu saja dalam segala tindak dan

kebijakan harus disesuaikan dengan prosesur hukum adat yang berlaku, yaitu melalui

musyawarah perwatin adat untuk mencapai mufakat.

Mengenai keterlibatan swasta dalam perencanaan dan pelaksanaan program

pembangunan, perlu mendapat pengawasan pihak-pihak yang berwenang agar tidak terjadi

penyimpangan tujuan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Program harus sesuai

dengan potensi sosial budaya, alam, pekerjaan pokok dan aspirasi ekonomi masyarakat. Apabila

tidak, maka proses pelaksanaan program tersebut akan tertatih, bahkan mungkin tak berhasil atau

sedikitnya tak memiliki nilai tambah. Sebagai contoh program cetak sawah tadah hujan terhadap
masyarakat etnis Lampung, tentu mereka akan kalah bersaing dengan saudara-saudara kita

pendatang yang sudah biasa bekerja di sawah. Jika kenyataan ini ditanggapi dengan perbedaan

sikap dan perlakuan serta propokasi sepihak, maka dapat mengakibatkan timbulnya

kecemburuan yang pada akirnya dapat melahirkan konflik etnis.

3. Pengendalian Konflik

Tiga jenis pengendalian konflik yaitu:

1. Masing-masing kelompok yang terlihat di dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi

konflik di antara mereka, oleh karena itu perlu pula menyadari dilaksanakan prinsip-prinsip

keadaan dan keadilan secara jujur bagi semua fihak.

2. Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila berbagai kekuatan

sosial yang saling bertentangan itu terorganisir secara jelas. Sejauh kekuatan sosial yang saling

bertentangan berada di dalam keadaan tidak terorganisir,maka pengendalian atas konflik-konflik

yang terjadi di antara merekapun akan merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Sebaliknya

konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok akan lebih mudah melembaga, dan oleh karena

itu akan lebih mudah dikendalikan pula.

3. Setiap kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan-

permainan tertentu, suatu hal yang akan memungkinkan hubungan - hubungan sosial di antara

mereka menentukan suatu pola tertentu. Aturan-aturan permainan tersebut, pada giliranya justru

menjalin kelangsungan hidup kelompok itu sendiri oleh karena dengan demikian ketidakadilan

akan dapat dihindarkan,memungkinkan tiap kelompok dalam meramalkan tindakan-tindakan


yang akan diambil oleh kelompok yang lain, serta menghindarkan munculnya pihak ketiga yang

akan merugikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri (Nasikun: 23-24).

4. Solidaritas sosial dibagi oleh dua solidaritas mekanis dan solidaritas organis.Solidaritas

mekanis yaitu diikat oleh sifat solidaritas kolektif sedangkan solidaritas organis adalah sifat yang

diikat oleh saling ketergantungan diantara bagian-bagian dari suatu sistem sosial, tidak mudah

dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersifat majemuk (Nasikun: 62).

Untuk mewujudkan upaya tersebut perlu peningkatan perhatian bersama dari pihak

pemerintah, pihak-pihak yang berwenang dan masyarakat untuk menghentikan meluasnya

konflik. Perhatian utama adalah menggali dan menggugah itikat baik,moralitas, nilai-nilai

kemanusiaan, dan kesadaran masing-masing pihak yang berseteru.

Hal ini perlu pemahaman dan aksi bersama melalui medium penyeberluasan informasi

korban lokalitas secara nyata dan langsung dari pihak-pihak tertentu, seperti

akademisi,mahasiswa, dan organisasi-organisasi sosial lainnya. Tujuannya adalah untuk

merekatkan kembali serpihan perpecahan akibat konflik antar kelompok komunal,hilangnya

kepercayaan kepercayaan sosial dari berbagai kelompok etnis, agama, antar pendukung

kelompok tertentu, antar satgas, antar aparat, bahkan antar masyarakat kampung.Dalam upaya

tersebut, yang penting aksi kampanye penyadaran melalui corong pemberitaan yang jelas, positif,

dan obyektif secara terus menerus tentang peristiwa konflik, baik konflik vertikal maupun

konflik horizontal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Perlu pendataan secara serius tentang korban akibat konflik di sektor daerah oleh pihak-

pihak yang benar-benar independen dan tidak memihak. Perlu pengkajian secara rinci tentang

prioritas kebutuhan masyarakat yang relevan dan komprehensif, seperti kebutuhan kesehatan,
makanan, ekonomi, keadilan, dan lain - lain. Hasil pengkajian ini kemudian ditindak-lanjuti

dengan mendesain saran dan solusi penyelesaian konflik "Indonesia dirundung malang",

misalnya membentuk "Komnas penanganan konflik". Agar memenuhi landasan komitmen

nasional yang jelas, maka pembentukannya perlu pengesahan secara hukum.

Dalam implementasinya harus dikembangkan mobilitas sosial secara horizontal dan

langsung antar etnis, kelompok, antar kegiatan, dan pergaulan antar keagamaan, agar terbiasa

dalam keragaman pergaulan. Pada gilirannya dapat diciptakan dialog, seolah olah mereka yang

terlibat telah mewakili kelompoknya masing-masing. Dialog sosial ini bisa dimulai dari

perwakilan antar kelompok, terutama tokoh-tokoh kunci yang memiliki wawasan marginalistik

positif sebagai medium dalam tataran persamaan visi dan misi persatuan atas keragaman.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan :

Tujuan sosiologi hukum didalam kenyataan seperti berikut :

1. Berguna untuk terhadap kemampuan memahami hukum di dalam

konteks social .
2. Memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap

efektivitas hokum dalam masyarakat,baik sebagai sarana

pengendalian social,mengubah masyarakat,mengatur interaksi sosial

agar mencapai keadaan sosial yang tertentu .


3. Memberikan kemungkinan kemungkinan dan kemampuan untuk

mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hokum di dalam masyarakat

Kegunaan Kegunaan Umum Tersebut Secara Terinci Di jabarkan sebagai

berikut :

A . Kegunaan Pada Taraf Organisasi Dalam Masyarakat :

1. Mengungkapkan idelogi dan falsafah yang mempengaruhi perencanaan, pembentukan,

dan penegakan hukum.


2. Menidentifikasikan unsur-unsur kebudayaan manakah yang mempengaruhi isi atau

subtansi hukum.

3. Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh di dalam pembentukan hukum dan

penegaknya .

B. Pada Taraf Golongan Dalam Masyarakat:

1. Golongan manakah yang sangat menentukan dalam pembentukan dan penerapan hukum

2. Golongan-golongan yang manakah di dalam masyarakat yang beruntung atau dirugikan

dengan adanya hukum hukum tertentu.

3.Kesadaran hukum daripada golongan tertentu dalam masyarakat.

C. Pada Taraf Induvidu

1. Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perikelakuan warga

masyarakat.

2. Kekuatan, kemampuan dan kesungguhan hati dari para penegak hukum dalam melaksanakan

fungsinya.

3. Kepatuhan dari warga masyarakat terhadap hukum, baik yang berwujud kaidah-kaidah yang

menyangkut kewajiban-kewajiban hak, maupun perilaku yang teratur.

B. Saran

Sosiologi hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Jadi sangat besar

manfaatnya jika kita mempelajari tentang sosiologi hukum. Karena di dalam mempelajari
sosiologi hukum kita dapat mempelajari hukum dalam konteks sosial dan kita dapat menganalisis

evektivitas hukum dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai