Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Singer, R.N. (1980) mengemukakan secara singkat bahwa

psikologi olahraga adalah the Science of Psychology applied to athletes and

athletic situations Cox, R.H. (1986) mengemukakan bahwa Sport

Psychology is a science in which the principles of psychology are applied in a

sport setting.
Jadi, Psikologi Olahraga pada hakikatnya adalah psikologi yang diterapkan

dalam bidang olahraga, meliputi faktor-faktor yang berpengaruh secara

langsung terhadap atlet dan faktor-faktor di luar atlet yang dapat

mempengaruhi penampilan (performance) atlet tersebut.


Weinberg, R.S. & Gould, D. (1995) mengemukakan bahwa Sport and

exercise psychology is the scientific study of people and their behavior in sport

and exercise context. Dua bidang kegiatannya yang besar adalah Mempelajari

bagaimana faktor psikologis mempengaruhi penampilan fisik seseorang.

Memahami bagaimana keterlibatan seseorang dalam olahraga mempengaruhi

perkembangan psikis, kesehatan, dan kesejahteraan psikisnya. Apabila

dihubungkan dengan olahraga, khususnya olahraga prestasi, pengertian ini jelas

menunjukkan bahwa penampilan (performance) seorang atlet dipengaruhi oleh

berbagai faktor psikologis. Baik pengaruhnya positif dalam arti penampilan

baik, maupun negatif dalam arti penampilan menjadi buruk. Ini adalah faktor

psikologis, yang sering kali disebut faktor psikis atau faktor mental.
Dalam perkembangan olahraga prestasi dewasa ini, faktor psikologi telah

menjadi salah satu bahasan tersendiri dalam mencapai penampilan atlet secara

1
2

optimal. Gejala atau fenomena perilaku kejiwaan yang aneh-aneh tidak hanya

muncul pada atlet yang sudah berprestasi tinggi tetapi juga bisa muncul pada

atlet yang baru mulai berprestasi, hal ini selalu menjadi bahan kajian bagi ilmu

psikologi olahraga.
Menurut Luthans (2007:3) Psychological Capital memiliki 4 dimensi

yaitu Self-efficacy, Hope, Optimism, Resiliency. Jadi Psychological Capital

dalam olahraga yakni suatu keadaan pengembangan individu atau atlet yang

positif dalam empat aspek yaitu Self efficacy,optimism,hope,dan reliliensy

dalam diri seseorang dalam melakukan kegiatan olahraga,baik itu bersifat

prestasi maupun pembelajaran.


Berdasarkan uraian di atas ilmu Psikologi olahraga sangat penting

peranannya dalam dunia olahraga,tentu kita masih ingat bagaimana timnas U-

19 yang menjuarai piala AFF di sidoarjo popular dengan pelatih mentalnya,

namun jauh sebelum itu kita bisa melihat kekuatan aspek Psikologi olahraga

dalam final champions antara Milan vs Liverpool, MU dengan generasi 92-

nya,dan bagaimana banyak tim-tim yang bangkit dari ketertinggalan dan

membalikkan keadaan. Hampir semua tim-tim eropa menggunakan jasa pelatih

mental,mengingat begitu pentingnya aspek psikologis.


Berdasarkan uraian diatas peneliti menentukan judul Kapital psikologis

(psychological capital) dalam Olahraga.

B. Rumusan Masalah
Apakah yang di maksud Psychological capital dalam Olahraga?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pentingnya aspek psikologis dalam olahraga
2. Untuk mengetahui psychological capital dalam olahraga
3

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Psikologi Olahraga

Psikologi olahraga adalah merupakan salah satu cabang ilmu psikologi

yang mengkaji secara khusus faktor-faktor psikologi yang berpengaruh dan

menunjang penampilan atau kinerja fisik dalam berolahraga/pertandingan dan


4

bagaimana peran dalam latihan dapat mempengaruhi perkembangan aspek-aspek

psikologi seseorang atlet.

Psikologi olahraga merupakan cabang Ilmu Psikologi yang memiliki

prospek keilmuan yang cukup luas. Hal ini berkaitan dengan tuntutan olahraga

yang semakin tinggi karena adanya perubahan dalam bidang industri yang

melibatkan nominal yang besar. Selain itu, kebutuhan untuk membangun

kesehatan diri sendiri melalui pendekatan kejiwaan akan memunculkan kesadaran

dalam berkonsultasi dengan para ahli yang memahami kedua bidang tersebut yaitu

olahraga dan industri.

Menurut Setyobroto (2002) mengatakan bahwa dunia olahraga kini tidak

lagi sekedar mengandalkan bakat, kekuatan, kecepatan, dan kelenturan yang

didapat dari fisik. Di samping itu ada faktor lain yang diluar dari konteks fisik

yaitu psikis. Suatu latihan fisik yang telah dilakukan dengan mengikuti semua

prosedur dengan benar akan siasia tanpa adanya faktor psikologis. Seorang atlet

juga harus meningkatkan stabilitas emosional khususnya untuk menghadapi

perasaan negatif seperti rasa kecewa, khawatir, takut kalah dan lainnya

Faktor psikologi dan tingkah laku meliputi yang mempengaruhi

penampilan atlet diantaranya motif-motif


4 berprestasi, intelegensi, aktualisasi diri,

kemandirian, agresivitas, emosi, percaya diri, motivasi, semangat, rasa

tanggungjawab, rasa sosial, hasrat ingin menang dan sebagainya. Hal ini tentu

mempertegas pentingnya Psikologi Olahraga dalam peranannya membantu

meningkatkan prestasi menjadi optimal.


5

B. Psychological Capital Dalam Olahraga


1. Definisi Psychological Capital
Psychological Capital memiliki 4 dimensi yaitu:
1. Self-efficacy
2. Hope
3. Optimism
4. Resiliency
Menurut Luthans (2007:3) Psychological Capital adalah kondisi

perkembangan positif seseorang dan dikarakteristikan dengan ciri-ciri berikut:

memiliki kepercayaan diri (self efficay) untuk menghadapi tugas-tugas yang

menantang dan memberikan usaha yang cukup untuk sukses dalam tugas-tugas

tersebut, membuat atribusi yang positif (optimism) tentang kesuksesan di masa

kini dan masa depan, tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan dan bila

perlu mengalihkan jalan untuk mencapai tujuan (hope) dan ketika dihadapkan

pada permasalahan dan halangan dapat bertahan dan kembali (resiliency), bahkan

lebih untuk mencapai kesuksesan.


Jadi Psychological Capital dalam olahraga yakni suatu keadaan

pengembangan individu atau atlet yang positif dalam empat aspek yaitu Self

efficacy,optimism,hope,dan reliliensy dalam diri seseorang dalam melakukan

kegiatan olahraga,baik itu bersifat prestasi maupun pembelajaran. Keempat aspek

tersebut tentunya sangat penting bagi atlet untuk mencapai prestasi yang optimal.
C. Dimensi Psychological Capital
1. Self-efficacy
Self-efficacy, Albert Bandura (1997) mendifinisikan Self-efficacy

sebagai: Keyakinan atau rasa percaya diri seseorang tentang

kemampuannya untuk mengerahkan motivasinya, kemampuan kognitifnya,

serta tindakan yang diperlukan untuk melakukan dengan sukses dengan

tugas tertentu dalam konteks tertentu (Stajkovic & Luthans, 1998b, p66).
6

Meskipun Bandura (1997) menggunakan istilah Self-efficacy dan

kepercayaan diri secara berdampingan. Kebanyakan teori efficacy

meletakkan konsep kepercayaan diri di bawah Self-efficacy.


Khusus pada Psikologi positif, kedua istilah dapat digunakan secara

bergantian . Terlebih lagi apabila, kepercayaan diri diterapkan pada bidang

yang lebih aplikatif seperti olah raga.


Bandura (1997) menyebutkan ada empat cara untuk mengembangkan

Self-efficacy:
a. mastery experience: keberhasilan yang seiring didapatkan akan

meningkatkan Self-efficacy yang dimiliki seseorang, sedangkan

kegagalan akan menurunkan Self-efficacy.


b. various experiences: pengalaman keberhasilan orang lain yang

memiliki kemiripan dengan individu salam mengerjakan suatu tugas

biasanya akan meningkatkan Self-efficacy seseorang dalam

mengerjakan tugas yang sama. Self-efficacy tersebut di dapat dari

melalui sosial model yang biasanya terjadi pada diri seseorang untuk

melakukan modelling. Namun Self-efficacy yang didapat tidak akan

terlalu berpengaruh bila model yang diamati tidak memiliki kemiripan

atau berbeda dengan model.


c. social persuation: cara yang bisa dilakukan dalam meningkatkan

psychological capital adalah dengan adanya sosok individu yang selalu

memberikan motifasi dan selalu membantu dalam mengembangkan

Self-efficacy. Sosok individu yang tidak memandang kelemahan

manusia, sosok individu yang selalu mengatakan kamu pasti bisa dan

bukan sebaliknya
7

d. emotional physiological and emotional states: Kecemasan dan stres

yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan tugas sering

diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya seseorang

cenderung akan mengaharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak

diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau

gangguan somatic lainnya.


Keempat karakteristik tersebut melengkapi individu yang memiliki

efficacy tinggi dengan kapasitas untuk berkembang dan berperilaku secara

efektif, meskipun tidak ada input eksternal untuk periode waktu yang

lama. Individu dengan efficacy yang tinggi tidak menunggu tujuan-tujuan

yang menantang ditetapkan bagi mereka. Sebaliknya mereka terus

menerus menguasai diri mereka sendiri dengan tujuan yang semakin lama

semakin tinggi.
2. Hope (The Will And The Way)
Istilah hope digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, sebagai kekuatan psikologis terjadi banyak salah persepsi tentang

hope itu sebenarnya dan apa karakteristik dari individu, kelompok atau

organisasi yang memiliki hope. Banyak yang mencampur adukkan istilah

hope dan wishfull thingking. C. Rick Snyder (dalam Snyder, Irving &

Anderson 1991, p.287) mendefinisikan hope sebagai keadaan psikologis

positif yang didasarkan pada kesadaran yang saling mempengaruhi antara:

agency (energi untuk mencapai tujuan), path ways (perencanaan untuk

mencapai tujuan).
Penelitian Snyder, mendukung ide bahwa hope adalah keadaan

kognitif atau berfikir dimana seseorang mampu menetapkan tujuantujuan


8

dan pengharapan yang menantang manun realistis dan kemudian mencoba

mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan kemampuan sendiri, energi, dan

persepsi control internal. Hal inilah yang disebut oleh Snyder sebagai

agency atau willpower (kekuatan kehendak). Seringkali terlewatkan dalam

penggunaan istilah ini secara umum, namun seperti yang didefinisikan oleh

Snyder dan kawan-kawan, komponen yang sama penting dan integralnya

dari hope adalah disebut sebagai pathways atau ways power (kemampuan

untuk melakukan). Pada komponen ini, seseorang mampu menciptakan

jalur-jalur alternatif untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan ketika

jalur asalnya tertutup atau mendapat halangan (Snyder,1994).


Snyder, Luthan (dalam bisnis horizon, 2004), memberikan panduan

khusus yang bisa digunakan dalam mengembangkan hope:


a. Goal setting: menetapkan dan memperjelas dengan detail apa yang

menjadi tujuan selama ini,


b. Stepping: memberikan penjelasan tentang langkah-langkah kongkrit

dalam mencapai tujuan tersebut,


c. Participative initiatives: membuat beberapa alternatif apabila satu

alternatif sulit dilalui, maka menggunakan alternatif yang selanjutnya

untuk tetap mencapai tujuan,


d. Showing confidence: memberikan pengakuan pada diri individu bahwa

proses yang dikerjakan untuk mencapai tujuan adalah hal yang

disenangi, dan tidak semata-mata fokus pada pencapaian akhir,


e. Preparedness: selalu siap menghadapi rintangan.
3. Optimism
Optimism adalah suatu explanatory style yang memberikan atribusi

peristiwa-peristiwa positif pada sebab-sebab yang personal, permanent, serta

pervasive dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa negatif pada faktor-


9

faktor yang eksternal, sementara, serta situasional. Sebaliknya, explanatory

style yang pesimistis akan menginterpretasikan peristiwa positif dengan

atribusi-atribusi yang eksternal, Sementara, serta situasional dan

mengatribusi peristiwa negatif pada penyebab yang personal, permanent dan

pervasive (Seligman, 1998).


Bila kita melihat optimism dari sudut pandang diatas, maka individu

yang optimis akan merasa ikut andil dalam keadaan positif terjadi dalam

hidupnya. Mereka memandang bahwa penyebab dari peristiwa-peristiwa

yang menyenangkan dalam hidup mereka berada dalam kekuasaan dan

kontrol diri mereka. Seseorang yang optimis akan berpikir bahwa penyebab

peristiwa-peristiwa tersebut akan terus ada dimasa depan dan akan

membantu mereka menangani peristiwa lain dalam hidupnya. Mereka

memandang bahwa penyebab dari peristiwa-peristiwa yang menyenangkan

dalam hidup mereka berada dalam kekuasaan dan kontrol mereka. Seorang

yang optimis akan berpikir bahwa penyebab peristiwa-peristiwa tersebut

akan terus ada dimasa depan dan akan membantu mereka menangani

peristiwa-peristiwa lain di dalam hidupnya.


Optimism explanatory style yang dimiliki membuat mereka

memandang secara positif serta mengatribusikan secara internal aspek-aspek

kehidupan yang baik, bukan hanya dimasa lalu melainkan juga dimasa

depan. Misalkan seorang atlet yang juara akan melihat bahwa suksesnya

menjadi juara adalah hasil kerja kerasnya dan di sebabkan oleh

dirinya,sedangkan jika gagal maka atlet tersebut akan melihat situasi kenapa

dirinya gagal dalam meraih prestasi yang optimal.


10

Schulman (1999) memberikan penjelasan untuk mengembangkan

optimism:
a. Leniency for the past Yaitu mengiklaskan kegagalan yang telah

dilakukan dan menata kembali apa yang akan dilakukan,


b. Appreciation for the present Yaitu memberikan apresiasi apa yang

sedang dilakukan individu, baik itu mengenai kemampuannya maupun

kelamahannya, bukan mencela diri sendiri,


c. Opportunity-seeking for the future Yaitu mendapatkan kesempatan

kembali dimasa yang akan datang.


.4. Resiliency
Dari sudut pandang psikologi klinis, Masten dan Reed (2002)

mendefinisikan resiliency sebagai kumpulan fenomena yang

dikarakteristikkan oleh pola adaptasi positif pada kontek keterpurukan.

Dalam pendekatan psychological capital definisi ini diperluas, tidak hanya

kemampuan untuk kembali dari situasi keterpurukan namun juga kegiatan-

kegiatan yang positif dan menantang, misalnya target pada kompetisi

selanjutnya, dan kemauan untuk berusaha melebihi normal atau melebihi

keseimbangan. Resiliency adalah kemampuan individu dalam mengatasi

tantangan hidup serta mempertahankan energi yang baik sehingga dapat

melanjutkan hidup secara sehat.


Woling dan Wolin (1994) mengemukakan tujuh aspek utama yang

dimiliki oleh individu yaitu:


a. Insight yaitu proses perkembangan individu dalam merasa,

mengetahui, dan mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-

perilaku yang lebih tepat,


b. independence yaitu kemampuan untuk mengambil jarak secara

emosional maupun fisik dari sumber masalah,


11

c. relationships yaitu individu yang resilience mampu mengembangkan

hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi

kehidupan, dan memiliki role model yang baik,


d. initiative yaitu keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap

hidupnya,
e. creative yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi,

dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup,


f. morality adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati

nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu

orang yang membutuhkannya

BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
12

Psikologi olahraga adalah merupakan salah satu cabang ilmu psikologi

yang mengkaji secara khusus faktor-faktor psikologi yang berpengaruh dan

menunjang penampilan atau kinerja fisik dalam berolahraga/pertandingan dan

bagaimana peran dalam latihan dapat mempengaruhi perkembangan aspek-aspek

psikologi seseorang atlet.

psycological capital adalah suatu pendekatan yang dicirikan pada dimensi-

dimensi yang bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga bisa

membantu kinerja tim. Dimensi-dimensi tersebut adalah self-efficacy, hope,

optimism, dan resiliency.

Jadi Psychological capital dalam Olahraga adalah suatu pendekatan yang

dicirikan pada dimensi-dimensi yang bisa mengoptimalkan potensi yang

dimiliki individu sehingga bisa membantu kinerja dalam melakukan kegiatan

olahraga,baik itu bersifat prestasi maupun pembelajaran. Keempat aspek

tersebut tentunya sangat penting bagi atlet untuk mencapai prestasi yang

optimal.

B. SARAN

1. Sebaiknya aspek psikologis selalu di perhatikan dalam latihan maupun

pertandingan.

2. Uraian dia atas sebagai acuan pelatih dalam meningkatkan prestasi

atletnya.

DAFTAR PUSTAKA
13
13

Bandura. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H.


Freeman and Company.

Business Horizons. (2004). Positive psychological capital: Beyond Human and


Social Capital.45-50.

Cox, R.H (1985). Sport Psychology: Concepts and applications. Dubuque, IA:
Brown & Benchmark.

Luthans F, Youssef CM, Avolio BJ. (2007). Psychological capital. New York:
Oxford University Press.

Masten, A.S., & Reed, M.J. 2002. Resiliency in development. In C.R. Snyder & S.
Lopez (eds.), handbook of positive psychology, Oxford University
Press.

Schulman, Peter. 1999. Applying learned optimism to increase sales productivity.


Journal of personal selling and sales management 19/1 (Winter):31-
37.

Seligman, M. 1998. Learned Optimism. New York: pocket books, 579-594.

Singer, R.N. (1980). Motor Learning and Human Performance and Application to
Motor Skill and Movement. New York: Me. Millan Publishing
Company Inc.

Snyder, C.R. 1994. Hope and optimism. Enchychopedia of human behavior


(vol.2, 535-542). San Diego: Academic Press

Snyder CR, Irving L, Anderson J. (1991). Hope and health: Measuring the will
and the ways. In Snyder CR, Forsyth DR (Eds.), Handbook of social
and clinical psychology (pp. 285305). Elmsford, NY: Pergamon.

Stajkovic AD, Luthans F. (1998b). Social cognitive theory and self-self efficacy:
Going beyond traditional motivational and behavioral approaches.
Organizational Dynamics, 26, 6274.

Sudibyo Setyobroto.( 2002 ). Psikologi Pendidikan. Jakarta. PT Raja Grafindo


Remaja

Weinberg, R. S., & Gould, D. (1995). Foundations of sport and exercise


psychology. Champaign, IL: Human Kinetics

Woling, S.J., & Wolin, S. 1994. The resilient self: How survivors of trouble
families rise above adversity. and new York: villard books.
14

Anda mungkin juga menyukai