Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Dasar Persalinan

a. Definisi Persalinan
Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan

janin turun ke dalam jalan lahir. (Saifuddin, 2006).


Sementara menurut Mochtar (2003), persalinan adalah suatu proses

pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup ke dunia luar, dari rahim

melalui jalan lahir atau dengan jalan lain.


Persalinan adalah proses yang dimulai kontraksi uterus yang

menyebabkan dilatasi progresif dari serviks, kelahiran bayi dan plasenta

(Pusdiknakes, 2003).

b. Tanda-Tanda Permulaan Persalinan

Menurut Mochtar (2003), sebelum terjadi persalinan sebenarnya

beberapa minggu sebelumnya wanita memasuki bulannya atau

minggunya atau harinya yang disebut kala pendahuluan yang

memberikan tanda-tanda sebagai berikut :

1 Lightening atau settling atau dropping yaitu kepala turun memasuki atas panggul

terutama pada primigravida. Pada multipara tidak begitu kentara.

2 Perut kelihatan lebih melebar, fundus uteri turun.


3 Perasaan sering atau susah BAK (polakisuria) karena kandung kemih tertekan

oleh bagian terbawah janin.

4 Perasaan sakit di perut dan di pinggang oleh adanya kontraksi-kontraksi lemah

dari uterus, kadang-kadang disebut false labour pains.

5 Serviks menjadi lembek, mulai mendatar, dan sekresinya bertambah bisa

bercampur darah (bloody show).

Sementara tanda-tanda in-partu adalah sebagai berikut :

1 Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering, dan

teratur.

2 Keluar lendir bercampur darah (show) yang lebih banyak karena

robekan-robekan kecil pada serviks.

3 Kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya.

4 Pada pemeriksaan dalam : serviks mendatar dan pembukaan telah

ada.

c. Mekanisme Persalinan

Proses persalinan terdiri dari 4 kala, yaitu :

1 Kala I

Menurut Saifuddin (2006), kala I adalah waktu untuk

pembukaan serviks sampai menjadi pembukaan lengkap 10 cm.

Kala I dibagi menjadi 2 fase yaitu :

a Fase Laten : di mana pembukaan serviks berlangsung lambat;

sampai pembukaan 3 cm berlangsung dalam 7-8 jam.


b Fase Aktif : berlangsung selama 6 jam dan dibagi atas 3 subfase:

(1) Periode akselerasi : dalam waktu 2 jam pembukaan 4 cm

menjadi 6 cm.

(2) Periode dilatasi maksimal : dalam waktu 2 jam pembukaan

berlangsung sangat cepat, dari 6 cm menjadi 8 cm.

(3) Periode deselerasi : pembukaan menjadi lambat kembali.

Dalam waktu 2 jam pembukaan 8 cm menjadi lengkap.

Pada multigravida fase laten, fase aktif, dan fase deselerasi

terjadi lebih pendek.

Menurut Sarwono (2007), pada primigravida ketiga proses

tersebut dapat berlangsung lebih lama. Pada fase aktif, pembukaan

serviks dapat berlangsung dengan kecepatan 0,5 cm per jam,

sehingga lama fase aktif menjadi 12 jam.

2 Kala II

Kala II dimulai dari pembukaan lengkap sampai bayi lahir.

Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada primi dan 1 jam pada

multi. Tanda dan gejala kala II antara lain :


a Ibu merasakan keinginan untuk mengedan bersamaan dengan

adanya kontraksi.
b Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rectum

dan/atau vaginanya.
c Perineum menonjol.
d Vulva-vagina dan sfingter ani membuka.
e Meningkatnya pengeluaran lendir campur darah.
Tanda pasti kala II ditentukan melalui pemeriksaan dalam yang

hasilnya adalah pembukaan serviks lengkap dan bagian kepala bayi

terlihat melalui introitus vagina.

Menurut Mochtar (2003), mekanisme persalinan pada kala II

terjadi sebagai berikut :

a Adanya engagement yaitu kepala janin terfiksir oleh pintu atas

panggul.

b Terjadi penurunan bagian terendah janin akibat daya dorong dari

kontraksi uterus dan posisi ibu.

c Fleksi terjadi sebagai proses penyesuaian kepala janin dengan

jalan lahir sehingga diameter terkecil kepala janin dapat masuk

ke dalam panggul dan terus menuju ke dasar panggul.

d Rotasi internal merupakan proses penyesuaian selanjutnya

terhadap jalan lahir yaitu kepala janin akan membuat diameter

anteroposterior dari kepala menyesuaikan diri dengan diameter

anteroposterior dari ibu.

e Ekstensi adalah upaya kepala janin untuk melewati lengkung

carus pada vagina sehingga secara berturut-turut ubun-ubun

kecil, dahi, wajah dan dagu dapat lahir melalui jalan lahir.

f Rotasi eksternal adalah peristiwa berputarnya kembali kepala

janin 450 ke arah kiri atau kanan sesuai dengan arah perputaran

menuju posisi oksiput anterior untuk menyesuaikan posisi bahu

agar berada pada diameter anteroposterior panggul ibu.


g Ekspulsi adalah lahirnya seluruh badan bayi mengikuti jalan

lahir.

3 Kala III

Kala III dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya

plasenta, yang berlangsung tidak lebih dari 30 menit (Saifuddin,

2006).

Pada kala III, klien mengeluh mules-mules, hal ini disebabkan

karena otot rahim masih berkontraksi untuk melepaskan plasenta

dari tempat implantasinya (Depkes, 2004).


Segera setelah bayi dan air ketuban sudah tidak lagi berada

dalam uterus, kontraksi akan terus berlangsung dan ukuran rongga

uterus akan mengecil. Pengurangan dalam ukuran uterus ini akan

menyebabkan pengurangan dalam ukuran tempat melekatnya

plasenta. Oleh karena tempat melekatnya plasenta tersebut menjadi

lebih kecil. Maka plasenta akan menjadi tebal atau mengkerut dan

memisahkan diri dari dinding uterus.

Sebagian dari pembuluh-pembuluh darah yang kecil akan

robek saat plasenta lepas. Tempat melekatnya plasenta berdarah

terus sehingga uterus seluruhnya berkontraksi. Setelah plasenta

lahir dinding uterus akan berkontraksi dan menekan semua

pembuluh-pembuluh darah ini yang akan menghentikan perdarahan

dari tempat melekatnya plasenta tersebut (Pusdiknakes, 2003).

Tanda tanda pelepasan plasenta :

a) Perubahan bentuk dan tinggi fundus.


b) Tali pusat memanjang.

c) Semburan darah mendadak dan singkat.

4 Kala IV

Kala IV dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam

pertama postpartum (Saifuddin, 2006). Kala IV disebut juga kala

pengawasan untuk mengamati keadaan ibu terutama terhadap

bahaya perdarahan postpartum (Mochtar, 2003).

2. Preeklampsia
a Pengertian

Preeklampsia atau sering juga disebut toksemia adalah suatu kondisi

yang bisa dialami oleh setiap wanita hamil. Preeklampsia adalah kumpulan

gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang

terdiri dari trias : hipertensi, proteinuri, dan edema. Pengertian preeklamsia

menurut beberapa referensi :

1) Preeklampsia adalah suatu penyakit vasospastik, yang melibatkan

banyak system dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi, dan

proteinuria (Bobak, dkk., 2005).


2) Preeklampsia adalah perkembangan hipertensi, protein pada urin dan

pembengkakan, dibarengi dengan perubahan pada refleks (Curtis,

1999).
3) Preeklampsia adalah toksemia pada kehamilan lanjut yang ditandai

oleh hipertensi, edema, dan proteinuria (Dorland,2000).


4) Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan

edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau

segera setelah persalinan (Mansjoer, 2000).


5) Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu

kehamilan disertai dengan proteinuria (Prawirohardjo, 2008).


6) Preeklampsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita

hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema dan

protein uria tetapi tidak menjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler

atau hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya biasanya muncul

setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih (Rustam Muctar,

1998).
b Etiologi

Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.

Banyak teori teori dikemukakan oleh para ahli yang mencoba

menerangkan penyebabnya. Oleh karena itu disebut penyakit teori

namun belum ada memberikan jawaban yang memuaskan.

Di Indonesia, setelah perdarahan dan infeksi pre eklampsia masih

merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang

tinggi. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan

tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera

dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak.

Penyebab preeklampsia sampai sekarang belum diketahui. Tetapi ada

teori yang dapat menjelaskan tentang penyebab preeklamsia, yaitu :

1) Bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda,

hidramnion, dan mola hidatidosa.


2) Bertambahnya frekuensi yang makin tuanya kehamilan.
3) Dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian

janin dalam uterus.


4) Timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma.

Beberapa teori yang mengatakan bahwa perkiraan etiologi dari

kelainan tersebut sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases

of theory. Adapun teori-teori tersebut antara lain:

1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan .


2) Peran faktor imunologis.
3) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system

komplemen pada pre-eklampsi/eklampsia.


4) Peran faktor genetik /familial
5) Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsi/

eklampsi pada anak-anak dari ibu yang menderita

preeklampsi/eklampsi.
6) Kecenderungan meningkatnya frekuensi pre-eklampsi/eklampspia

dan anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat pre-

eklampsi/eklampsia dan bukan pada ipar mereka.


7) Peran renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS)
c. Tanda dan gejala

Gejala klinis preeklamsi meliputi:

1) Hipertensi sistolik / diastolik> 140/90 mmHg


2) Proteinuria :Secara kuantitatif lebih 0,3 gr/l dalam 24 jam atau

secara kualitatif positif 2 (+2).


3) Edema pada pretibia, dinding abdomen, lumbosakral, wajah, atau

tangan.
4) Timbul salah satu atau lebih gejala atau tanda-tanda preeklamsia

berat.
d. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini

menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan

iskemia uterus. Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan

bahan tropoblastik yaitu akibat hiperoksidase lemak dan pelepasan renin

uterus. Bahan tropoblastik menyebabkan terjadinya endotheliosis

menyebabkan pelepasan tromboplastin. Tromboplastin yang dilepaskan

mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi / agregasi trombosit

deposisi fibrin.

Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme

sedangkan aktivasi/ agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan

koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan

konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit

dan faktor pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal

hemostasis. Renin uterus yang di keluarkan akan mengalir bersama darah

sampai organ hati dan bersama- sama angiotensinogen menjadi angiotensi

I dan selanjutnya menjadi angiotensin II. Angiotensin II bersama

tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme. Vasospasme

menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit

menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah.

Tekanan perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan

sehingga menyebabkan terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan

vasospasme, angiotensin II akan merangsang glandula suprarenal untuk

mengeluarkan aldosteron. Vasospasme bersama dengan koagulasi


intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan

multi organ.

Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya

otak, darah, paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat

menyebabkan terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan

tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan

terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga

menimbulkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada darah akan terjadi

enditheliosis menyebabkan sel darah merah dan pembuluh darah pecah.

Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya

pendarahan,sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan

terjadinya anemia hemolitik. Pada paru- paru, LADEP akan meningkat

menyebabkan terjadinya kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan

sehingga akan mengakibatkan terjadinya oedema paru. Oedema paru akan

menyebabkan terjadinya kerusakan pertukaran gas. Pada hati,

vasokontriksi pembuluh darah menyebabkan akan menyebabkan gangguan

kontraktilitas miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan

memunculkan diagnosa keperawatan penurunan curah jantung. Pada

ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi peningkatan reabsorpsi natrium

dan menyebabkan retensi cairan dan dapat menyebabkan terjadinya edema

sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan kelebihan volume

cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan

penurunan GFR dan permeabilitas terrhadap protein akan meningkat.


Penurunan GFR tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh

tubulus sehingga menyebabkan diuresis menurun sehingga menyebabkan

terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau anuri akan memunculkan

diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin. Permeabilitas terhadap

protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein akan lolos dari

filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan terjadi

spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan oedema diskus optikus dan

retina. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan

memunculkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada plasenta

penurunan perfusi akan menyebabkan hipoksia/anoksia sebagai pemicu

timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat

terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan diagnosa

keperawatan risiko gawat janin.

Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf

parasimpatis akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi

traktus gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat

menyebabkan terjadinya hipoksia duodenal dan penumpukan ion H

menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat menyebabkan nyeri

epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang meningkat,

merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa

keperawatan ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

Pada ektrimitas dapat terjadi metabolisme anaerob menyebabkan ATP

diproduksi dalam jumlah yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam
laktat. Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan

menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah sehingga muncul diagnosa

keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan mengakibatkan

seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa

keperawatan kurang pengetahuan.

e. Komplikasi

Tergantung pada derajat preeklampsi yang dialami. Namun yang

termasuk komplikasi antara lain:

1) Pada Ibu
a) Eklapmsia
b) Solusio plasenta
c) Pendarahan subkapsula hepar
d) Kelainan pembekuan darah (DIC)
e) Sindrom HELPP (hemolisis, elevated, liver, enzymes dan low

platelet count)
f) Ablasio retina
g) Gagal jantung hingga syok dan kematian.
2) Pada Janin
a) Terhambatnya pertumbuhan dalam uterus
b) Prematur
c) Asfiksia neonatorum
d) Kematian dalam uterus
e) Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal
f. Klasifikasi

Dibagi menjadi 2 golongan, yaitu sebagai berikut :

1) Preeklampsia Ringan
Preeklampsi ringan adalah tekanan darah 140/90 mmHg setelah

usia kehamilan 20 minggu, protein urin pada pengukuran dengan

dipstick urin atau kadar protein total 300 mg/24 jam (Winkjosastro,

2008: 187). Preeklamsi ringan bila disertai keadaan sebagai berikut:


a) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi

berbaring terlentang; atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih;

atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih .Cara pengukuran

sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa

1 jam, sebaiknya 6 jam.


b) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; atau kenaikan berat 1

kg atau lebih per minggu.


c) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2

+ pada urin kateter atau midstream.


2) Preeklampsia Berat
Preeklamsi berat adalah tekanan darah diastolic 110 mmHg yang

disertai oleh protein urin ++ dengan menggunakan dipstick atau 5

mg/L pada penggumpalan urin 24 jam, setelah usia kehamilan 20

minggu (Winkjosastro, 2008: 199).


a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
b) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.
c) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .
d) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri pada

epigastrium.
e) Terdapat edema paru dan sianosis.
g. Manifestasi Klinik

Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dalam urutan :

pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan

akhirnya proteinuria. Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala

gejala subyektif. Pada pre eklampsia berat didapatkan sakit kepala di

daerah prontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium,

mual atau muntah. Gejala gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia
yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan tim Tes

Diagnostik.

h. Pemeriksaan Penunjang

Adapun pemeriksaan penunjang preeklamsia diantaranya :

a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah
Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal

hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14 gr%)


Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37 43 vol%)
Trombosit menurun (nilai rujukan 150 450 ribu/mm3)
2) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi hati
Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dl)
LDH (laktat dehidrogenase) meningkat
Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 ul.
Serum Glutamat pirufat transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-

45 u/ml)
Serum glutamat oxaloacetic trasaminase (SGOT) meningkat (N=

<31 u/l)
Total protein serum menurun (N= 6,7-8,7 g/dl)
4) Tes kimia darah
Asam urat meningkat (N= 2,4-2,7 mg/dl)
b. Radiologi
1) Ultrasonografi

Ditemukan retardasi pertumbuhan janin intra uterus. Pernafasan

intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan

ketuban sedikit.

2) Kardiotografi

Diketahui denyut jantung janin bayi lemah.


i. Penatalaksanaan

Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala pre

eklampsia berat selama perawatan maka perawatan dibagi menjadi :

1. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi

ditambah pengobatan medisinal. Sedapat mungkin sebelum perawatan

aktif pada setiap penderita dilakukan pemeriksaan fetal assesment (NST

dan USG). Indikasi :


a. Ibu
1) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih
2) Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia,

kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan

meditasi terjadi kenaikan desakan darah atau setelah 24 jam

perawatan medisinal, ada gejala-gejala status quo (tidak ada

perbaikan)
b. Janin
1) Hasil fetal assesment jelek (NST dan USG)
2) Adanya tanda IUGR (janin terhambat)
c. Laboratorium
Adanya HELLP Syndrome (hemolysis, elevated, liver, enzymes

and low platelet count)


2. Pengobatan mediastinal
Pengobatan mediastinal pasien preeklampsia berat adalah :
a. Segera masuk rumah sakit.
b. Tirah baring miring ke satu sisi. Tanda vital perlu diperiksa setiap

30 menit, refleks patella setiap jam.


c. Infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL

(60-125 cc/jam) 500 cc.


d. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
e. Pemberian obat anti kejang magnesium sulfat (MgSO4).

Dosis awal MgSO4 4 gr I.V sebagai larutan 20% atau 40 % selama 5

menit. Segera diberikan larutan MgSO4 6 gr di larutkan dalam cairan

infus RL 500 ml diberikan sekama 6 jam (untuk MgSO4 40%, maka 10

cc IV dan 15 cc drip). Jika kejang berulang setelah 15 menit berikan Mg

SO4 2 gr IV selam 2 menit

Dosis ulang MgSO4 1 gr per jam perinfus. Lanjutkan pemberian

MgSO4 sampai 24 jam pasca persalinan atau kejang berakhir.

Syarat-syarat pemberian MgSO4 :

a.Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10% 1 gr (10%

dalam 10 cc) diberikan IV dalam 3 menit.


b. Refleks patella positif kuat.
c.Frekuensi pernapasan lebih 16 x/menit.
d. Produksi urin lebih 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5

cc/KgBB/jam)

MgSO4 dihentikan bila :


Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, refleks fisiologis

menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan

selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot

pernapasan karena ada serum 10 U magnesium pada dosis adekuat

adalah 4-7 mEq/liter. Refleks fisiologis menghilang pada kadar 8-10

mEq/liter. Kadar 12-15 mEq/liter dapat terjadi kelumpuhan otot


pernapasan dan > 15 mEq/liter terjadi kematian jantung.Bila timbul

tanda-tanda keracunan MgSO4 :

a. Hentikan pemberian MgSO4


b. Berikan calcium gluconase 10% 1 gr (10% dalam 10 cc) secara IV

dalam waktu 3 menit


c. Berikan oksigen
d. Lakukan pernapasan buatan
e. MgSO4 dihentikan juga bila setelah 4 jam pasca persalinan sedah

terjadi perbaikan (normotensi).

Deuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema

paru, payah jantung kongestif atau edema anasarka. Diberikan

furosemid injeksi 40 mg IM.Anti hipertensi diberikan bila :

a. Desakan darah sistolik > 180 mmHg, diastolik > 110 mmHg atau

MAP lebih 125 mmHg. Sasaran pengobatan adalah tekanan

diastolik <105 mmHg (bukan < 90 mmHg) karena akan

menurunkan perfusi plasenta.


b. Dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada

umumnya.
c. Bila diperlukan penurunan tekanan darah secepatnya dapat

diberikan obat-obat antihipertensi parenteral (tetesan kontinyu),

catapres injeksi. Dosis yang dapat dipakai 5 ampul dalam 500 cc

cairan infus atau press disesuaikan dengan tekanan darah.


d. Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan tablet

antihipertensi secara sublingual diulang selang 1 jam, maksimal 4-5

kali. Bersama dengan awal pemberian sublingual maka obat yang

sama mulai diberikan secara oral (syakib bakri,1997)


3. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah

pengobatan medisinal.

Indikasi : bila kehamilan paterm kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-

tanda inpending eklampsia dengan keadaan janin baik.


Pengobatan medisinal : sama dengan perawatan medisinal pada

pengelolaan aktif. Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan IV,

cukup intramuskular saja dimana gram pada pantat kiri dan 4 gram pada

pantat kanan.

4. Pengobatan obstetri :
a. Selama perawatan konservatif : observasi dan evaluasi sama seperti

perawatan aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.


b. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda

preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.


c. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap pengobatan

medisinal gagal dan harus diterminasi.


d. Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih

dulu MgSO4 20% 2 gr IV.

Penderita dipulangkan bila :

a. Penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda preeklampsia ringan

dan telah dirawat selama 3 hari.


b. Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan preeklamsia ringan :

penderita dapat dipulangkan dan dirawat sebagai preeklampsia

ringan (diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).


b. Komplikasi Masa Nifas
Ibu dalam masa nifas dapat mengalami berbagai macam komplikasi

postpartum, salah satunya yaitu infeksi masa nifas/postpartum yang meliputi :

a. Infeksi pada saluran genitalia: Endometritis, endomyetritis,

parametritis, Selulitis pelpviks dan peritonitis, Salpingitis, Infeksi yang

menyertai persalinan seksio caesaria.


b. Infeksi lain : Infeksi pada payudara, mastitis, Infeksi saluran kemih.
Infeksi nifas adalah semua peradangan yang disebabkan oleh masuknya

kuman ke dalam alat genitalia pada waktu persalinan dan nifas. Sementara itu

yang dimaksud dengan Febris Puerperalis adalah demam sampai 38C atau

lebih selama 2 hari dalam 10 hari pertama pasca persalinan, kecuali pada hari

pertama.
1. Tempat-tempat umum terjadinya infeksi :
a. Rongga pelvic: daerah asal yang paling umum terjadinya infeksi
b. Perineum
c. Payudara
d. Saluran kemih
e. System vena
Demam puerperium didefinisikan sebagai suhu 380C atau lebih yang

terjadi dalam dua hari dari 10 pertama pascapartum, diluar 24 jam pertama dan

diukur melalui mulut menggunakan teknik standar paling tidak empat kali

sehari. (Kenneth J.Leveno, 2009).


Temperature >38C pada 2 hari pertama dalam 10 hari setelah persalinan

(kecuali 1/24 jam pertama karena pada saat ini dapat disebabkan oleh

dehidrasi, demam karena ASI, pembengkakan payudara, infeksi pernafasan).

Tanda dan gejala tergantung pada tempat terjadinya infeksi :


a. Rasa tidak enak badan secara umum/general malaise
b. Uterinase tenderness
c. Lokia berbau busuk atau purulen
d. Nyeri panggul atau hematuria
e. Frekuensi berkemih, disuria, rasa sakit saat berkemih
f. Terdapat infeksi loka (mastitis, infeksi episiotomi)
g. Hasil lab dapat dilihat pada :
1) Leukosit >20.000/MM
2) CBC
3) Kultur urine

a) Asfiksia
a. Pengertian
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat

bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin

sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan.

Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil,

kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan

bayi selama atau sesudah persalinan (Asuhan Persalinan Normal,

2007).
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi gagal bernafas secara spontan

dan teratur segera setelah lahir ( vivian nanny lia dewi,S.ST, 2010.Hal

102)
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak

dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Sugeng

Djitowiyono, S.Kep.Ns,2010.Hal 71)


Asfiksia neonatorum adalah bila dalam waktu satu menit sejak

kelahiran bayi tidak menangis (Manuaba, 2008. Hal 190)


Asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak bernapas secara spontan

dan teratur segera setelah lahir keadaan tersebut disertai dengan

hipoksia, hiperkapnu dan sampai keasidosis (A. Aziz Alimul Hidayat,

2008. Hal198)
Asfiksia neonatorum adalah kegawat daruratan bayi baru lahir

berupa depresi pernapasan yang berlanjut sehingga menimbulkan

berbagai komplikasi. (Guslihan dasa tjipta,2004. http://dinkes-

sulsel.go.id, diakses tanggal 01 juli 2011)


Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak

dapat nernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (dr.Arief

ZR, 2009, hal 15)


b. Etiologi / Penyebab Asfiksia
Hipoksia janin yang dapat menyebabkan asfiksia terjadi karena

gangguan pertukaran gas serta transport 02 dari ibu ke janin sehingga

terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan

CO2. gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi

atau kelainan pada ibu selama kehamilan atau secara mendadak karena

hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan.(Sarwono Prawirohardjo

2005, Hal 709)

Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab

terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu,

tali pusat dan bayi berikut ini:

1. Faktor ibu
a. Preeklampsia dan eklampsia

b. Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

c. Partus lama atau partus macet

d. Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC,

HIV)

e. Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

2. Faktor Tali Pusat


a. Lilitan tali pusat

b. Tali pusat pendek

c. Simpul tali pusat


d. Prolapsus tali pusat

3. Faktor Bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia

bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)

c. Kelainan bawaan (kongenital)

d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)

c. Patofisiologi Asfiksia
Asfiksia neonatorum dapat terjadi kurangnya kemampuan fungsi

organ bayi seperti pengembangan paru-paru, proses terjadinya asfiksia

ini dapat terjadi pada kehamilan, persalinan atau segera setelah bayi

lahir. Gangguan pertukaran gas juga dapat terjadi pada bayi asfiksia,

hal ini dapat disebabkan oleh karena penyempitan pada arteri

pulmonal, peningkatan tahanan pembuluh darah di paru, penurunan

aliran darah pada paru dan lain-lain. (A. Aziz alimul hidayat,

Pengantar ilmu keperawatan anak 1,2008. Hal 198).


d. Klasifikasi Klinis
Berdasarkan penilaian klinis asfiksia terbagi atas :
1. Asfiksia ringan (7-10)
Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan

khusus.
2. Asfiksia sedang (4-6)
Penanganan memerlukan resusitasi segera secara aktif dan

pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas normal.


3. Asfiksia berat (0-3)
Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari

100 kal/menit, tonus otot buruk, dan kadang- kadang pucat, refleks

tidak ada. (Munir kamarullah.S.kep, 2005)


4. Bayi normal (nilai Apgar 10)
e. Tanda-tanda dan Gejala Asfiksia
Gejala asfiksia yang khas antara lain meliputi bayi tidak

menanggis, pernapasan megap-megap yang dalam, bayi terlihat lemas,

sianosis, sukar bernafas/tarikan dinding dada kedalam yang kuat,

frekuensi jantung <100x/menit.


1. Sebelum lahir :
DJJ ireguler dan frekuensinya lebih dari 160 kali permenit

atau kurang dari 100 kali per menit


Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
Dapat pula ditentukan dengan melakukan pemeriksaan

kardiotokografi dan USG


2. Setelah lahir
Bayi tampak pucat dan kebiru-biruan serta tidak bernafas
Kalau mengalami pendarahan diotak maka ada gejala

neorologi seperti kejang, nigtasmus menanggis kurang

baik/tidak baik
f. Diagnosis
Diagnosis dini penderita asfiksia mempunyai arti penting dalam

merencanakan resusitasi yang akan dilakukan. Diagnosis tersebut tidak

hanya ditegakkan setelah bayi lahir, tetapi juga dapat diketahui semasa

intra uterine. Untuk menegakkan diagnosa asfiksia maka dapat

dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :

1. Pada saat proses persalinan


a. Apakah kehamilan cukup bulan.
b. Denyut jantung janin yaitu antara 120 -160 x/menit
c. Jumlah menurun dibawah 100x/menit apalagi disertai dengan

irama yang tidak teratur


d. Terdapat mekonium dalam air ketuban pada letak kepala
2. Melakukan penilaian asfiksia
Penilaian pada bayi bayi baru lahir dengan menggunakan

parameter tiga penilaian penting, yaitu :


Bayi tidak bernafas atau nafas megap-megap
Kulit sianosis, pucat
Tonus otot menurun

Penilaian ini dilakukan untuk menghemat waktu mengingat

asfiksia terjadi karena adanya gangguan pertukaran gas atau

pengangkutan oksigen, jika hal ini berlangsung lama maka akan

terjadi asfiksia yang lebih berat dimana hal ini akan mempengaruhi

fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan

kematian.

g. Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir

Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan

yang dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu :

1. Memastikan saluran terbuka

a. Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3

cm.

b. Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.

c. Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk

memastikan saluran pernafasan terbuka.

2. Memulai pernafasan

a. Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan


b. Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa

ETdan balon atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).

3. Mempertahankan sirkulasi

a. Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara


b. Kompresi dada.
c. Pengobatan
h. Cara Resusitasi
1) Tindakan umum
Tindakan ini dikerjakan tanpa memandang nilai apgar, segera

setelah bayi lahir, diusahakan agar bayi mendapat pernapasan yang

baik, harus dicegah atau dikurangi kehilangan panas dari tubuhnya.

Penggunaan sinar lampu untuk pemanasan luar dan untuk

mengeringkan tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi. Bayi

diletakkan dengan kepala lebih rendah dan penghisapan saluran

pernapasan bagian atas segera dilakukan. Hal ini harus dilakukan

secara hati-hati untuk menghindarkan timbulnya kerusakan-

kerusakan mukosa jalan napas, spasmus laring atau kolaps paru-

paru. Apabila perlu bayi dirangsang dengan memukul telapak kaki

memijat tendo achilles, atau pada bayi-bayi tertentu diberikan

suntikan vitamin K. ( Wiknjosastro H, 2005. Hal 712)


2) Tindakan khusus

Tindakan ini dikerjakan setelah tindakan umum diselenggarakan

tanpa hasil, prosedur yang dilakukan disesuaikan dengan beratnya

asfiksia yang timbul pada bayi, yang dinyatakan oleh tinggi

rendahnya nilai apgar.


a) Asfiksia ringan (7-10)
Penanganan pada bayi dengan asfiksia ringan sama halnya

dengan penangan bayi baru lahir pada umumnya. Biasanya

hanya memerlukan tindakan pertolongan berupa penghisapan

lendir atau cairan dari orofaring dengan menggunakan bulb

syringe atau suction unit tekanan rendah. Penghisapan harus

dilakukan secara hati-hati karena penghisapan terlalu

kuat/traumatik dapat menyebabkan stimulasi vagal dan

bradikardia sampai henti jantung. Stelah dilakukan penghisapan

observasi tanda-tanda vital dan apgar score bayi dan masukkan

kedalam inkubator karena neonatus yang mengalami asfiksia

mempunyai sistem pengaturan suhu tubuh yang lebih tidak

stabil sehingga dapat mengakibatkan hipotermi dimana

hipotermi ini dapat memperberat/ memperlambat pemulihan

keadaan asidosis yang terjadi. Apabila tindakan diatas tidak

berhasil maka perlakukan bayi sebagai penderita asfiksia

sedang.
b) Asfiksia sedang (4-6)
Pada keadaan ini dapat dilakukan rangsangan untuk

menimbulkan refleks pernapasan. Hal ini dapat dikerjakan

selama 30-60 detik, bila waktu tersebut pernapasan tidak timbul

maka segera lakukan penghisapan lendir dan berikan

rangsangan nyeri berupa tepokan atau sentilan pada telapak kaki

dan gosokkan selimut kering pada punggung sambil memantau

frekuensi jantung dan respirasi secara terus-menerus.


Pernapasan aktif dapat dilakukan dengan pernapasan kodok

(frog breathing) selama 1-2 menit dengan cara kepala bayi

diletakkan dalam ekstensi maksimal kemudian masukkan pipa

kedalam hidung dan alirkan O2 dengan kecepatan 1-2 ltr/menit.

Lakukan gerakan membuka dan menutup lubang hidung dan

mulut disertai pergerakan dagu keatas dan kebawah secara

teratur dalam frekuensi 20 x/menit dengan memperhatikan

gerakan dinding thoraks dan abdomen. Bila bayi mulai

memperlihatkan pernapasan, usahakan upaya gerakan tersebut

diikuti.
Bila frekuensi jantung menurun atau tudak adekuat dalam

waktu tersebut, maka berikan ventilasi (VTP) dengan kantong

resusitasi dan sungkup muka. Jika tidak ada alat ventilasi maka

lakukan tehnik pernapasan buatan dari mulut ke mulut dengan

menggunakan prinsip pencegahan infeksi. Sebelum bantuan

pernafasan dilakukan, terlebih dahulu dimasukkan pharyngeal

airway yang berfungsi mendorong pangakal lidah kedepan agar

jalan nafas berada dalam keadaan sebebas-bebasnya. Sebelum

peniupan dilakukan telebih dahulu mulut penolong diisi dengan

O2. Peniupan dilakukan secara teratur dengan frekuensi 20-30

x/menit perhatiak gerakan pernafsan yang mungkin timbul.

Tindakan dikatakan tidak berhasil bila setelah dilakukan

beberapa saat, terjadi penurunan frekuensi jantung atau


pemburukan tonus otot. Dalam hal demikian bayi harus

diperlakukan sebagai penderita asfiksia berat.


c) Asfiksia berat (0-3)
Resusitasi aktif harus segera dilakukan, langkah utama

memperbaiki ventilasi paru dengan memberikan O2 secara

tekanan langsung dan berulang-ulang. Cara yang terbaik dengan

melakukan intubasi endotrakeal dan setelah kateter dimasukkan

ke dalam trakea, O2 diberikan dengan tekanan tidak lebih dari

30 ml air. Asfiksia berat hampir selalu disertai asidosis, yang

membutuhkan perbaikan segera : karena itu, bikarbonas natrikus

7,5% harus segera diberikan dengan dosis 2-4 ml/kg Berat

badan, disamping itu glukosa 40% diberikan pula 1-2 ml/kg

Berat badan, untuk menghindarkan dari efek samping obat,

pemberian harus diencerkan dengan air steril atau kedua obat

diberikan bersama-sama dalam satu semprit melalui pembuluh

darah umbilikus.bila setelah beberapa waktu pernapasan spontan

tidak timbul dan frekuensi jantung menurun ( kurang dari 100

permenit) maka pemberian obat-obatan lain serta massage

jantung sebaiknya dilakukan.massase jantung dikerjakan dengan

melakukan penekanan diatas tulang dada secara teratur 80-100

kali/menit. Tindakan ini dilakukan berselingan dengan nafas

buatan, yaitu setiap kali massage jantung diikuti dengan satu

kali pemberian nafas buatan, bila tindakan-tindakan tersebut di

atas tidak memberi hasil yang diharapkan, keadaan bayi harus


dinilai lagi karena hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan

keseimbangan asam dan basa yang belum diperbaiki secara

semestinya, adanya gangguan organik seperti hernia

diafragmatika, atresia atau stenosis jalan nafas (Wiknjosastro H,

2005. Hal 712 - 714).


i. Asuhan pasca Resusitasi
Setelah resusitasi berhasil dilakukan, bayi dapat diserahkan

kembali keorang tua atau jika tidak, dipindahkan keunit perawatan

intensif atau bayi tetap dirawat dengan cara


1) Hindari kehilangan panas :
a) lakukan kontak kulit dengan dada ibu ( metode kanguru), dan

selimuti bayi.
b) Letakkan dibawah radiant heater atau dibawah sinar lampu,

jika tersedia
2) Periksa dan hitung nafas dalam semenit :
Jika bayi sianosis atau sukar bernafas (frekuensi < 30 atau > 60 kali

permenit, tarikan dinding dada kedalam atau merintih) berikan

oksigen lewat kateter hidung nasal prong.


3) Ukur suhu aksilerasi
a) Jika suhu 36oC atau lebih, teruskan metode kanguru dan mulai

pemberian ASI
b) Jika suhu < 36oC, lakukan penanganan hipotermi
4) Mendorong ibu mulai menyusui karena bayi yang mendapat

resusitasi cenderung hipoglikemia


a) Jika kekuatan menghisap baik, proses penyembuhan optimal.
b) Jika menghisap kurang baik, rujuk kekamar bayi atau ketempat

pelayanan yang dituju


5) Lakukan pemantauan yang sering dalam 24 jam pertama. Jika

sukar bernafas kambuh, rujuk kekamar bayi atau ketempat

pelayanan yang dituju.


c. Ikterus pada Neonatus
a) Pengertian
Ikterus adalah pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa

yang terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Klinis

icterus tampak bila kadar bilirubin dalam serum adalah 5 mg/dl (Depkes

RI, 2007).
Ikterus dibagi menjadi icterus abnormal dan normal.
2. Ikterus Abnormal (non fisiologis)
a. Ikterus dimulai pada hari pertama kehidupan.
b. Ikterus berlangsung tidak lebih dari 4 hari pada bayi cukup bulan,

21 hari pada bayi kurang bulan.


c. Ikterus disertai demam.
d. Ikterus berat : telapak tangan dan kaki bayi kuning.
2. Ikterus Normal (fisiologi)
Kulit dan mata kuning tetapi bukan seperti tersebut di atas.
Ikterus abnormal dapat disebabkan oleh :
- Infeksi bakteri berat.
- Penyakit hemolitik yang disebabkan oleh ketidakcocokan golongan

darah atau defisiensi G6PD.


- Sifilis kongenital atau infeksi intrauterine lainnya.
- Penyakit hati misalnya hepatitis atau atresia billier.
- Hipotiroidisme.

Pemeriksaan Ikterus Abnormal


Jika mungkin, konfirmasi kesan kuning dengan pemeriksaan bilirubin.

Pemeriksaan lain tergantung dugaan diagnosis dan pemeriksaan apa

saja yang tersedia, meliputi :


- Hemoglobin atau hematocrit.
- Hitung darah lengkap untuk mencari tanda infeksi bakteri berat (hitung

neutrophil tinggi atau rendah dengan batang > 20%) dan tanda

hemolysis.

Tatalaksana
- Terapi sinar jika :
Ikterus pada hari ke-1.
Ikterus berat, meliputi telapak tangan dan telapak kaki.
Ikterus pada bayi kurang bulan.
Ikterus yang disebabkan oleh hemolysis.

Lanjutkan terapi sinar hingga kadar bilirubin serum dibawah nilai

ambang atau sampai bayi terlihat baik dengan telapak tangan dan kaki

tidak kuning.

Jika kadar bilirubin sangan meningkat dan dapat dilakukan

transfuse tukar dengan aman, pertimbangkan untuk melakukan hal

tersebut.

Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang

merupakan resiko terjadinya kern-ikterus, misalnya kadar bilirubin

bebas, kadar bilirubin 1 dan 2, atau secara klinis (kramer,lihat lampiran

penilaian ikterus) dilakukan di bawah sinar biasa (day-light).

Tabel Rumus Kramer


DAERAH LUAS IKTERUS KADAR BILIRUBIN
( MG % )
1 Kepala dan Leher 5
2 Daerah 1 + Badan Bagian Atas 9
3 Daerah 1, 2 + Badan Bagian Bawah dan 11
Tungkai
4 Daerah 1, 2, 3 + Lengan dan Kaki di Bawah 12
lutut
5 Daerah 1, 2, 3, 4 + Tangan dan kaki 16

Tabel pengobatan ikterus yang didasarkan pada kadar bilirubin serum

Terapi sinar Tranfusi Tukar


Bayi cukup Bayi kurang Bayi cukup Bayi kurang

bulan sehat bulan atau bulan sehat bulan atau


terdapat faktor terdapat faktor

risiko risiko
mg/dL mol/L mg/dL mol/L mg/dL mol/L mg/dL mol/L
Hari ke-1 Ikterus yang dapat dilihat 15 260 13 220
Hari ke-2 15 360 13 220 25 425 15 260
Hari ke-3 18 310 16 270 30 510 20 240
Hari ke-4 dst 20 340 17 290 30 510 20 340
d.

Anda mungkin juga menyukai