Oleh:
Rizkia Retno Dwi Ningrum, S.Ked 04054821618114
Fauzan Ditiaharman, S.Ked 04054821618122
Pembimbing:
dr. Silvia Triratna, Sp.A (K)
HALAMAN PENGESAHAN
Diskusi Kasus
Oleh:
Rizkia Retno Dwiningrum, S.Ked
Fauzan Ditiaharman, S.Ked
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
kepaniteraan klinik di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
periode 26 Desember 2016 6 Maret 2017.
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
STATUS PEDIATRIK
I. IDENTIFIKASI
Nama : An. CRA
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat badan : 20 kg
Panjang badan : 120 cm
Lingkar Kepala : 52 cm
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. Iswahyudi Lr. Fitrah No. 44D, Kalidoni, Palembang
No. Rekam Medik : 986866
MRS : 4 Januari 2017 (05:00 WIB)
II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 4 Januari 2017 pukul 16.00 WIB, diberikan
oleh ibu kandung pasien)
Riwayat Makanan
ASI : Sejak lahir hingga usia 2 tahun (10-12x/hari)
Susu Formula : Sejak usia 2 tahun
Kesan : Asupan makanan cukup
Riwayat Vaksinasi
BCG : BCG sudah dilakukan, Skar (+)
Polio : (Polio 1, Polio 2, Polio 3)
DPT-HB : (DPT-HB 1, DPT-HB 2, DPT-HB 3)
Campak : (+)
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
Perkembangan
Usia 4 bulan : Pasien dapat tengkurap sendiri
Usia 7 bulan : Pasien dapat duduk
Usia 9 bulan : Pasien dapat berdiri usia 9 bulan
Usia 12 bulan : Pasien dapat berjalan sendiri
Usia 5 tahun : Pasien sekarang sekolah di Taman Kanak-Kanak. Pasien
mempunyai banyak teman di sekolah dan di rumah. Pasien
dapat berinteraksi baik dengan teman-temannya.
Kesan : Perkembangan sesuai usia
Keadaan Spesifik
Kepala
Mata : mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, refleks cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, 3 mm/3
mm
Hidung : epistaksis (-), napas cuping hidung (-)
Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mulut : Sianosis sirkumoral tidak ada
Tenggorok : Dinding faring tidak hiperemis, T1-T1, tenang, tidak
hiperemis
Leher : pembesaran KGB tidak ada, JVP tidak meningkat, kaku
kuduk tidak ada, Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus cordis, dan voussour cardiaque tidak terlihat
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR = 130 kali/menit, irama reguler, murmur dan gallop tidak
ada, bunyi jantung I dan II normal
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba,
turgor kulit kembali lambat
Perkusi : Timpani
Ekstremitas
Superior : Akral dingin (+), pucat (+), sianosis (-), edema (-), petechie (+), CRT
3s. rumple leed test (+)
Inferior : Akral dingin (+), pucat (+), sianosis (-), edema (-), petechie (+), CRT
3s
Status neurologis
Pemeriksaan Superior Inferior
motorik Kanan Kiri Kanan Kiri
Sensorik : uji sentuhan (+), uji rasa nyeri (+). Otonom : disfungsi
sfingter urine dan retensio alvi tidak ada
Kesan: pemeriksaan neurologis dalam batas normal.
IX. PENATALAKSANAAN
O2 kanul nasal 2L/menit
IVFD RL 200 cc/jam gtt 40/menit dalam 1 jam
Paracetamol 200 mg po tiap 8 jam bila suhu 38,5oC
Observasi tanda vital dan diuresis/jam
Observasi manifestasi perdarahan
Cek Hb, Ht, Trombosit, Leukosit/6jam
Komunikasi, informasi, dan edukasi
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
XI. RESUME
Pasien An. CRA, perempuan usia 5 tahun dibawa ke IGD RSMH dengan
keluhan kaki dan tangan dingin disertai gelisah. Sekitar 5 hari SMRS anak
demam tinggi terus menerus, sakit kepala (+), batuk (+), dahak (+), nyeri sendi
(+), muntah (+) isi apa yang di makan dan cairan @1/4 gelas, mimisan (-), gusi
berdarah (-), pilek (-), mual (-), nyeri perut (-), bintik-bintik merah di kulit (-),
BAB hitam (-), BAK biasa. Penderita dibawa ke dokter dan diberi obat
paracetamol syrup. Pasien masih mau makan dan minum. Sekitar 12 jam SMRS
demam tidak ada, kaki dan tangan anak teraba dingin, nyeri perut (+), mual (+),
muntah (+), frekuensi 1x isi apa yang dimakan dan diminum, tidak menyemprot.
Bintik-bintik merah (+) di kedua lengan dan tungkai, mimisan (-), pendarahan
gusi (-), BAK bewarna kuning pekat, jumlahnya sedikit. Pasien dibawa ke RS
Pusri. Dilakukan pemasangan IVFD RL 100 cc selama 30 menit dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Didapatkan hasil Hb 17,4 g/dL, leukosit 5 x 10/mm,
DC 0/0/2/69/27/2, Ht 50% dan trombosit 23 x 103/mm3. Pasien dibawa ke RSMH.
Riwayat DBD sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit DBD di dalam
keluarga dan lingkungan sekitar ada. Riwayat kehamilan ibu normal dan riwayat
kelahiran anak normal, ditolong bidan. Riwayat makanan mendapat ASI sampai
usia 2 tahun. MP ASI mulai usia 6 bulan. Riwayat pertumbuhan dan
perkembangan normal. Riwayat imunisasi dasar lengkap. Status gizi baik. Hasil
laboratorium tanggal 4 Januari 2017 pukul 12.05 Hb: 16,3 g/dL, Ht: 47%, Plt: 24
x 103/mm3.
XII. FOLLOW UP
Tanggal 4 Januari 2017 (pukul 18:00) hari sakit ke 6, bebas demam hari ke 2,
hari rawat ke 1, bebas syok 12 jam.
S : demam (-) mual (-) muntah (-) mimisan (-)
O : Hasil Lab
Hb : 15,8 gr/dl trombosit : 20.000 Ht : 45%
Sensorium : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
N : 110 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 24 x/menit
T : 36,3oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan epigastrium (+), BU (+) normal
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT 3 s, edema pretibial (-)
Diuresis : 0,6 cc/kgBB/jam
A : DBD Grade III
P : IVFD RL 7 cc/kgBB/jam 140 cc/jam
Observasi tanda-tanda perdarahan
Follow up dan diuresis per jam
PCT 200 mg (po) jika T 38,5
Periksa Hb, Ht, Trombosit tiap 6 jam
Tanggal 5 Januari 2017 (pukul 06.00) hari sakit ke 7, bebas demam hari ke 3,
hari rawat ke 2, bebas syok 24 jam.
S : demam (-), batuk berdahak (+), pilek (-), mual dan muntah (-), belum mau
makan, nyeri perut (-), nyeri kepala (-)
O : Sensorium : compos mentis
TD : 100/70 mmHg
N : 106 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 24 x/menit
T : 37,2oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 s, edema pretibial (-)
Diuresis : 2 cc/kgBB/jam
A : DBD Grade III
P : IVFD RL 5 cc/kgBB/jam 100cc/jam
Pantau diuresis dan balance cairan berkala tiap 6 jam
PCT 200 mg (po) jika T 38,5
Periksa Hb, Ht, Leukosit, Trombosit /12jam
Tanggal 6 Januari 2017 (pukul 07.00 WIB) hari sakit ke 8, bebas demam hari ke
4, hari rawat ke 3, bebas syok 48 jam.
Tanggal 7 Januari 2017 (pukul 07.00 WIB) hari sakit ke 9, bebas demam hari ke
5, hari rawat ke 4, bebas syok 72 jam.
S : demam (-), perdarahan (-), nyeri ulu hati (-), nafsu makan membaik
O : Sensorium : compos mentis
TD : 100/70 mmHg
N : 110 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 24 x/menit
T : 37,2oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 s, edema pretibial (-)
A : DBD Grade III fase konvalesense
P : Cek Hb, Ht, Leukosit, Trombosit/12 jam
Balance dan diuresis/6 jam
Trombosi 24 x 20 x 25 x 17 x 33 x 100 x
t 103/mm3 103/mm3 103/mm3 103/mm3 103/mm3 103/mm3
RBC 6,36 x 6,19 x 5,72 x 5,01 x 5,03 x
106/mm 106/mm 106/mm 106/mm 106/mm
2.1.2 Etiologi
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae merupakan
penyebab dari demam dengue dan DHF. Serotipe dari virus ini adalah DEN-1, DEN-
2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan
kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang
lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami
infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya. Dengue adalah penyakit daerah tropis dan
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang
menggigit pada siang hari. Faktor resiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan
faktor penderita seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis.
Virus dengue yang matur terdiri dari single stranded RNA genom (ssRNA)
yng mempunyai polaritas positif. Genom ini dikelilingi oleh Nucleocapsid
icosahedral dengan diameter 30 nm. Nucleocapsid ini ditutupi oleh suatu lipid
envelope yang tebalnya 10 nm. Genom virus mengandung 3 protein struktural dan 7
protein non struktural. Protein struktural termasuk kapsul protein yang kaya arginine
dan lisin serta protein prM nonglycosylated. Sedangkan protein non struktural dikenal
sebagai NS1-7 yang mempunyai fungsi yang berbeda.
2.1.3 Epidemiologi
Suatu penelitian di Jakarta oleh Sumarmo (1973-1978) mendapatkan bahwa
penderita DSS terutama pada golongan umur 1-4 tahun (46,5%), sedang wong (1973)
dari singapura melaporkan pada umur 5-10 tahun dan di Manadoterutama dijumpai
pada umur 6-8 tahun kemudian pada tahun 1983 didapatkan terbanyak pada umur 4-6
tahun. Tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin tetapi kematian lebih banyak
ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki.
Jumlah penderita DBD/DHF yang mengalami renjatan berkisar antara 26-
65%, dimana Sumarmo dkk. (1985) mendapatkan 63%, Kho dkk. (1979) melaporkan
50%, Rampengan (1986) melaporkan 59,4% sedangkan WHO (1973) melaporkan
65,45% dari seluruh penderita demam berdarah dengue yang dirawat.
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi yang terjadi pada Dengue Shock Syndrom ialah peninggian
permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya
perembesan plasma dan elekrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk
kedalam ruang interstitial, sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi,
hipoproteinemia dan efusi cairan ke rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang
sampai kurang lebih 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan hipovolemi
ini bila tidak segera diatasi maka dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis
metabolik, sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler.
Mekanisme ini diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot jantung dan venous
pooling, sehingga lebih lanjut akan memperberat renjatan.
Sebab lain kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran
pencernaan yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi
adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh :
a Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
b Gangguan fungsi trombosit
c Kelainan system koagulasi, masa tromboplastin partial, masa
protrombin memanjang sedangkan sebagian besar penderita
didapatkan masa thrombin norma. Beberapa factor pembekuan
menurun, termasuk factor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen.
d Pembekuan intravaskuler yang meluas (Disseminated Intravascular
Coagulation-DIC).
2.1.6 Diagnosis
Hingga kini diagnosis DBD/DSS masih berdasarkan atas patokan yang telah
dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri dari 4 kriteria klinik dan 2
kriteria laboratorik dengan syarat bila criteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal
2 kriteria klinik (satu diantaranya ialah panas) seperti yang telah diuraikan diatas.
Derajat I dan II disebut DHF/DBD tanpa renjatan sedang derajat III dan IV
disebut DHF/DBD dengan renjatan atau DSS. Wong dkk. (1973) juga mengemukakan
beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnosis klinik penderita
dengue shock syndrome, yaitu :
1 Clouding of sensorium
2 Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun
3 Nyeri perut
4 Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri, dan hemoptisis
5 Trombositopenia berat
6 Adanya pleural efosion pada toraks foto
7 Tanda-tanda miokarditis pada EKG
Dengan merujuk kepada pengertian dari DHF Shock (DSS), yaitu demam
berdarah dengue yang disertai dengan gangguan sirkulasi, terdiri dari, maka dapat
diperoleh pula kriteria klinis DSS sebagai berikut
DHF grade III :
1 Tekanan darah sistolik < 80 mmHg
2 Tekanan nadi < 20 mmHg
3 Nadi cepat dan lemah
4 Akral dingin
DHF grade IV :
1 Shock berat
2 Tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba
2.1.7 Penatalaksanaan
Pada dasarnya bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Pasien DB dapat berobat jalan, sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan
biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase
kritis pada umunya terjadi pada hari ke-3.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia
dan muntah. Pasien perlu diberi minum banyak, 50ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama
berupa air teh dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan
dehidrasi dapat diatasi, berikan cairan rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam
berikutnya. Hiperpireksi dapat diatasi dengan antipiretik, dan bila perlu surface
cooling dengan kompres es dan alkohol 70%. Parasetamol direkomendasikan untuk
mengatasi demam dengan dosis 10-15mg/kgBB/kali.
Segera beri infus kristaloid (Ringer Laktat atau NaCl 0,9% ) 20 ml/kgBB
secepatnya (diberikan selama 30 menit) dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat
(DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur, diberikan ringer laktat 20
mg/kgBB bersama koloid). Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan
trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
Apabila dalam waktu 3 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum
dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (dekstran
40) sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur
infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum,
tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam.
Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah.
2.1.8 Komplikasi
1 Perdarahan massif
2 Kegagalan pernapasan akibat edema paru atau kolaps paru
3 Ensefalopati dengue
4 Kegagalan jantung
2.1.10 Pencegahan
Pengembangan vaksin untuk dengue sangat sulit karena keempat jenis
serotipe virus bisa mengakibatkan penyakit. Perlindungan terhadap satu atau dua jenis
serotipe ternyata meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang serius.
Saat ini sedang dicoba dikembangkan vaksin terhadap keempat serotipe
sekaligus. sampai sekarang satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian dengue
dan dhf adalah dengan memerangi nyamuk yang mengakibatkan penularan. A.
aegypti berkembang biak terutama di tempat-tempat buatan manusia, seperti wadah
plastik, ban mobil bekas dan tempat-tempat lain yang menampung air hujan. nyamuk
ini menggigit pada siang hari, beristirahat di dalam rumah dan meletakkan telurnya
pada tempat-tempat air bersih tergenang.
Pencegahan dilakukan dengan langkah 3M:
1 menguras bak air
2 menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak
nyamuk
3 mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air.
2.1.11 Prognosis
Prognosa penderita tergantung dari beberapa faktor :
1 Sangat erat kaitannya dengan lama dan beratnya renjatan, waktu, metode,
adekuat tidaknya penanganan
2 Ada tidaknya rekuren syok yang terutama terjadi dalam 6 jam pertama
pemberian infuse dimulai
3 Panas selama renjatan
4 Tanda-tanda serebral
2.2.2 Epidemiologi
Kejadian syok pada anak dan remaja sekitar 2% pada rumah sakit di Amerika
serikat, dimana angka kematian sekitar 20-50% kasus. Hampir seluruh pasien tidak
meninggal pada fase hipotensi tapi karena hasil dari satu atau lebih komplikasi akibat
syok. Disfungsi multiple organ meningkatkan resiko kematian( satu organ 25%
kematian, dua organ 60% kematian, tiga organ atau lebih >85%)Angka kematian
syok pada anak menurun sebanding dengan tingkat edukasi yang baik, dimana
pengenalan awal syok dan management yang baik dan cepat memberi kontribusi
lebih.
2.2.3 Patofisiologi
Metabolisme aerobic sel bisa menghasilkan 36 Adenosin Triphosphate,
sedangkan pada sel yang kekurangan oksigen (syok) sel akan merubah system
metabolisme aerobic menjadi anaerobic, yang mana hanya menghasilkan 2 ATP
molekul tiap molekul glukosa dan hasil pembentukan dan penimbunan asam laktat.
Akhirnya metabolisme sel tidak cukup menghasilkan energi homeostasis sel,
sehingga mengakibatkan gangguan pertukaran ion melalui membrane sel. Dimana
terjadi akumulasi sodium didalam sel dengan pengeluaran potassium dan
penumpukan cytosolic calsium. Sel menjadi membengkak, membrane sel hancur, dan
terjadilah kematian sel. Kematian yang luas dari sel menghasilkan kegagalan pada
banyak organ, jika irreversible maka pasien meninggal. Kekacauan metabolic sel
mungkin terjadi dari kekurangan oksigen yang absolute (hipoksia syok) atau
kombinasi hipoksia dan kekurangan substrat khususnya glukosa, disebut sebagai
iskemic syok.
Anak-anak bukan orang dewasa yang kecil. Kalimat ini harus dipahami
dengan benar ketika membicarakan distribusi total cairan tubuh dan respon
kompensasi kardiovaskular pada anak-anak selama keadaan insufisiensi sirkulasi
yang progresif. Gejala dan tanda syok yang dapat dengan mudah dilihat pada orang
dewasa mungkin tidak akan terlihat pada anak, mengakibatkan terlambatnya
pengenalan dan mengabaikan keadaan syok yang parah. Walaupun anak lebih besar
persentase total cairan tubuhnya tapi untuk melindungi mereka dari kolaps
kardiovaskular, peningkatan sisa metabolik rata-rata, peningkatan insensible water
loss, dan penurunan renal concentrating ability biasanya membuat anak lebih mudah
terjadi hipoperfusi pada organ. Gejala dan tanda awal dari berkurangnya volume
dapat tidak diketahui pada anak-anak, tapi sejalan dengan perkembangan penyakit,
penemuan gejala dan tanda menjadi dapat ditemukan sama seperti orang dewasa.
Respon kompensasi kardiovaskular pada anak dengan keadaan penurunan
ventrikular preload, melemahkan kontraksi miokard, dan perubahan dalam pembuluh
darah berbeda dari yang terjadi pada dewasa. pada pasien anak, CO lebih tergantung
pada heart rate daripada stroke volume oleh karena kekurangan massa otot ventrikel.
Takikardi adalah yang terpenting pada anak untuk mempertahankan CO yang adekuat
pada kondisi penurunan ventricular preload, kelemahan kontraksi miokard, atau
kelainan jantung congenital yang digolongkan oleh anatomi left-to-right shunt. Stroke
volume tergantung oleh pengisian ventrikel (preload), ejeksi ventrikel (afterload), dan
fungsi pompa intrinsik (myocardial contractility).
Syok Syok septik Syok
hipovolemik kardiogenik
Mediator
Kontraktilitas
Preload
Terkompensasi
Pengeluaran
simpatetik
Vasokonstriksi
CO dan tekanan
darah membaik denyut jantung
Iskemia jaringan CO
Pelepasan
Hilangnya
mediator
autoregulasi Kematian
Kematian sel
Gambar 1. Alur respon tubuh terhadap syok.
Fungsi sel
Tambahan pada CO, pengatur utama dari tekanan darah adalah SVR. Anak
memaksimalkan SVR untuk mempertahankan tekanan darah yang normal, pada
keadaan penurunan CO yang signifikan. Peningkatan SVR oleh karena vasokontriksi
perifer yang dipengaruhi system saraf simpatis dan angiotensin. Hasilnya, aliran
darah diredistributsi dari pembuluh nonessential seperti kulit, otot skelet, ginjal dan
organ splanknik ke otak, jantung, paru-paru dan kelenjar adrenal. Sesuai pengaturan
dari pembuluh darah, endogen atau eksogen melalui zat-zat vasoaktif, dapat
menormalkan tekanan darah tanpa tergantung dari CO. Karena itu, pada pasien anak,
tekanan darah merupakan indicator yang jelek dari hemostatis kardiovaskular.
Evaluasi heart rate dan perfusi end-organ, termasuk capillary refill, kualitas dari
denyut perifer, kesadaran, urine output, dan status asam-basa, lebih bernilai daripada
tekanan darah dalam menentukan status sirkulasi anak.
Pada dasarnya, syok merupakan suatu keadaan dimana tidak adekuatnya
suplai oksigen dan substrat untuk memenuhi kebutuhan metabolic jaringan. Akibat
dari kekurangan oksigan dan substrat-substrat penting, maka sel-sel ini tidak dapat
mempertahankan produksi O2 aerobik secara efisien.
Pada keadaan normal, metabolisme aerobik menghasilkan 6 molekul
adenosine trifosfat (ATP) tiap 1 molekul glukosa. Pada keadaan syok, pengiriman O2
terganggu, sehingga sel hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP tiap 1 molekul
glukosa, sehingga terjadi penumpukan dan produksi asam laktat. Pada akhirnya
metabolisme seluler tidak lagi bisa menghasilkan energi yang cukup bagi komponen
hemostasis seluluer, sehingga terjadi kerusakan pompa ion membran dan terjadi
penumpukan natrium intraseluler, pengeluaran kalium dan penumpukan kalsium
sitosol.
Sel membengkak, membran sel rusak, dan akhirnya terjadi kematian sel.
Kematian sel yang luas menyebabkan gagal multi sistem organ dan apabila
ireversibel, dapat terjadi kematian.
Kerusakan metabolik ini dapat disebabkan karena defisiensi absolut dari
transpor oksigen (syok hipoksik) atau disebabkan karena defisiensi transport substrat,
biasanya glukosa (syok iskemik). Yang paling sering terjadi adalah kombinasi dari
kedua hal diatas yaitu hipoksik dan iskemik. Atas dasar hal tersebut diatas, maka
sangatlah penting untuk memberikan oksigen pada keadaan syok.
Pengiriman oksigen (Oxygen Delivery = DO2) adalah jumlah oksigen yang
dibawa ke jaringan tubuh permenit. DO2 tergantung pada jumlah darah yang
dipompa oleh jantung permenit (Cardiac Output = CO) dan kandungan O2 arteri
(CaO2), sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut:
DO2 = CO (L/menit) x CaCO2 (ml/mL/cc)
CaCO2 tergantung pada banyaknya O2 yang terkandung di Hb (Saturasi O2 = SaO2),
sehingga didapatkan persamaan:
CaO2 = Hb (g/100ml) x SaO2 x 1,34 ml O2/g
Keadaan syok dapat terlihat secara klinis apabila terdapat gangguan pada
CaCO2, baik karena hipoksia, yang dapat menyebabkan penurunan SaO2 maupun
karena anemia yang menyebabkan penurunan kadar Hb sehingga menurunkan
kapasitas total pengiriman O2. Cardiac output tergantung pada 2 keadaan, yaitu
jumlah darah yang dipompa tiap denyut jantung (Stroke Volume = SV) dan laju
jantung (Heart Rate = HR). Stroke volume dipengaruhi oleh volume pengisian
ventrikel akhir diastolik (ventricular preload), kontaktilitas otot jantung dan
afterload. Tiap variabel yang mempengaruhi cardiac output diatas, pada keadaan
syok, dapat mengalami gangguan atau kerusakan.
2.2.4 Stadium
Secara klinis, syok terbagi ke dalam 3 fase, yaitu :
Gejala Klinis Kompensasi Dekompensasi Irreversibel
Kehilangan Darah % 25% 25-40% >40%
Frekuensi Jantung Takikardia + Takikardia ++ Takikardia/Bradikardi
Volume Nadi Normal/Menurun Menurun + Menurun ++
Pengisian Kapiler Normal/Meningkat Meningkat + Meningkat --
Kulit Dingin, pucat Dingin, mottled Pucat mati
RR Takipnue + Takipnue ++ Sighing respiration
Tingkat Kesadaran Agitasi ringan Berkooperasi Bereaksi hanya pada
rasa sakit atau tidak
responsive
2.3.3 Penyebab
1 perdarahahn
2 luka bakar
3 cedera yang luas
4 dehidrasi
5 kehilangan cairan pada muntah, diare, ileus
2.3.4 Patofisiologi
Syok hipovolemik yaitu syok yang terjadi karena kekurangan sirkulasi
didalam pembuluh darah oleh berbagai sebab, berkurangnya sirkulasi ini
mengakibatkan darah yang kembali ke jantung melalui vena akan berkurang.
Akibatnya darah yang masuk ke atrium kanan juga menurun, sebagai kompensasi atas
hal ini frekuansi jantung akan meningkat untuk menyesuaikan agar perfusi sistemik
dapat dipenuhi. Gejalanya akan tampak tekanan darah sistolik menurun dan denyut
nadi yang cepat.
Menurunya perfusi sistemik mengakibatkan organ mengalami iskemia,
sehingga akan merubah siklus metabolic dari aerobic menjadi anaerobic dimana
siklus ini menghasilkan residu asam laktat, asam amino dan asam fosfat di jaringan.
Hal ini menimbulkan asidosis metabolic yang menyebabkan pecahnya membrane
lisosom sehingga menimbulkan kematian sel. Hipoksia dan asidosis metabolic juga
menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena pulmonalis, hal ini menimbulkan
peninggiian tahanan pulmonal yang mengganggu perfusi dan pengembangan paru.
Akibatnya dapat terjadi kolaps paru, kongesti pembuluh darah paru, edema interstisial
dan alveolar. Maka pada penderita dengan syok hipovolemik terlihat gangguan
pernafasan. Iskemia pada otak akan menimbulkan edema otak dengan segala
akibatnya. Pada ginjal, iskemia ini akan menyebabkan gagal ginjal.
Sebagai mekanisme kompensasi terhadap hipovolemia, cairan interstisial akan
masuk kedalam pembuluh darah sehingga hematokrit menurun. Karena cairan
interstisial jumlahnya berkurang akibat masuknya cairan tersebut kedalam ruang
intraseluler, maka penambahan cairan sangat mutlak diperlukan untuk memperbaiki
gangguan metabolik dan hemodinamik ini. Pada syok juga terjadi peninggian sekresi
kortisol 5-10 kali lipat. Kortisol mempunyai efek inotrofik positif pada jantung dan
memperbaiki metabolism karbohidrat, lemak dan protein. Sekresi renin dari sel-sel
juksta glomerulus ginjal meningkat sehingga pelepasan angiotensin I dan II juga
meningkat. Angiotensin II ialah vasokonstriktor yang kuat dan merangsang pelepasan
kalium oleh ginjal.
Meningginya sekresi norepinefrin akan mengakibatkan vasokonstriksi, selain
itu juga mempunyai sedikit efek inotropik positif pada miokardium. Efineprin
disekresikan hampir tiga kali lipat daripada norepinefrin, terutama menyebabkan
peninggian isi sekuncup dan denyut jantung. Kerja kedua katekolamin ini dipotensiasi
oleh aldosteron. Peninggian sekresi hormone antidiuretik (ADH) dari hipofisis
posterior mengakibatkan resorpsi air ditubulus distal meningkat.
3. Syok neurogenik : ini adalah shock yang jarang terjadi. Disebabkan oleh trauma
pada medulla spinalis, terjadi kehilangan mendadak pada reflek otonom dan motorik
dibawah lesi. Tanpa adanya stimulasi simpatis, dinding pembuluh darah vasodilatasi
yang tak terkontrol, hasilnya penurunan resistensi pembuluh darah perifer sehingga
menyebabkan vasodilatasi dan hypotensi. Tanda dan gejala syok neurogenik sama
dengan syok hipovolemik.
Anak dengan perfusi yang buruk dan tekanan darahnya di bawah parameter
seperti tabel 1, dapat dikatakan menderita syok yang tidak terkompensasi. Keadaan
ini apabila tidak cepat ditangani maka akan mengarah kepada kerusakan organ dan
terjadi syok ireversibel bahkan kematian. Pada anak-anak dengan tekanan darah
sistoliknya masih adekuat, namun keadaan klinisnya syok, maka ini disebut sebagai
syok yang terkompensasi. Sehingga, apabila perfusi pada organ-organ vital seperti
jantung dan otak masih adekuat, namun organ vital lainnya mengalami hipoperfusi
dan rentan akan kerusakan, apabila tidak segera diberikan terapi maka keadaan ini
akan berlanjut menjadi syok yang tidak terkompensasi. Maka dalam menegakkan
diagnosis diperlukan banyak indikator untuk menentukan keadaan syok, antara lain :
1 Denyut jantung
Cardiac output dapat dipengaruhi oleh stroke volume dan heart rate, sehingga
apabila terjadi penurunan stroke volume maka tubuh akan berusaha mempertahankan
cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate. Namun, ada keadaan-keadaan
tertentu dimana heart rate tidak daat meningkat, yaitu pada blokade farmakologik dan
kerusakan neurologik.
Pasien pada tahap awal syok akan mengalami takikardi. Namun tanda ini
tidak signifikan pada anak-anak, karena anak-anak dapat mengalami takikardi pada
keadaan lain, seperti demam, nyeri dan agitasi. Namun demikian, diluar pengecualian
keadaan-keadaan tersebut, takikardi biasa muncul pada tahap awal dan merupakan
temuan yang penting pada syok yang terkompensasi maupun yang tidak
terkompensasi.
2 Perfusi kulit
Kulit dapat dianggap sebagi bagian yang non vital. Pasien yang memiliki
kemampuan untuk mengkompensasi penurunan DO2 dengan menarik darah dari
organ yang non vital (selain otak dan jantung), menunjukkan tanda-tanda penurunan
perfusi kulit. Hal ini dikenali dengan adanya tanda-tanda denyut nadi distal yang
menghilang, kulit akan teraba dingin dan pengisian ulang kapiler memanjang (>5
detik), yang pada keadaan normal biasanya dapat terisi dalam 2-3 detik. Cara
pengukuran pengisian ulang kapiler ini yaitu dengan menekan ujung jari(kuku)
hingga pucat (kurang lebih selama 5 detik), kemudian dilepas dan dihitung waktunya
pada saat ujung jari(kuku) menjadi merah kembali. Pada pasien dengan fase awal
syok distributif (anafilaksis, sepsis) akan terjadi vasodilatasi, sehingga kulit akan
teraba hangat, denyut nadi akan teraba kuat dan terdapat pengisian ulang kapiler yang
cepat (1-2 detik). Pada keadaan ini, perfusi kulit tidak dapat dipercaya untuk
menegakkan diagnosis, sehingga harus dicari gangguan metabolik lain seperti
lactoacidosis, hal ini dapat mendukung bahwa telah terjadi gangguan DO2.
3 Fungsi sistem organ lain
Pada ginjal dengan perfusi normal, dapat mengeluarkan 1-2 ml urin/kgBB/jam
atau lebih. Kerusakan ginjal dapat disebabkan karena kerusakan awal pada keadaan
iskemik-hipoksik, sehingga terjadi acute tubular necrosis (ATN). Sehingga dapat
dikatakan bahwa output urin tidak spesifik untuk menentukan kelayakan perfusi dan
volume intravaskuler.
4 Status asam basa
Adanya asidosis metabolik atau penurunan serum bikarbonat dapat membatu
untuk mendiagnosa syok. Asidosis metabolik dapat timbul karena hilangnya serum
bikarbonat seperti pada diare, yang dapat terjadi bersamaan dengan syok dan
dehidrasi. Dengan dilakukannya pengukuran level serum laktat, maka dapat diketahui
kehilangan bikarbonat akibat asidosis laktat karena syok
2.8 MONITORING
Monitoring yang dilakukan pada syok meliputi monitoring hemodinamik respirasi
dan metabolik. Yang harus di ketahui pada syok:
1 PaO2 -> diperlukan monitoring terutama pada PaO2 karena oksigenasi jaringan
2 Asam Laktat -> asam laktat meniggi pada sepsis hiperdinamik dan kelainan
enzim piruvat dehidrogenase. Asam laktat ini meninggi 12 jam setelah
terjadinya syok dan juga indikasi terjadinya MOSF
3 Indeks transport O2 -> dapat di catat dengan mengetahui kardiak indeks DO 2
dan VO2 yang harus di pertahankan di atas 2,1 l/mnt/m tubuh
4 Tekanan Vena sentral (CVP) -> penting untuk mengevakuasi syok sedini
mungkin.peninggian CVP dapat terjadi karena peninggian volume
intravaskuler, peninggian vasomotor, peninggian tekanan torakis dan
peninggian compliance dari ventrikel kanan
5 Tekanan darah -> evaluasi tekanan darah lebih bermakna dari pada hanya
sekali mengukur tekanan darah
6 Produksi urin -> produksi urin normal pada org dewasa 0,5 cc/kg/jam , pada
anak 1-2 cc/kg/jam
7 Pulse oksimeter -> Oksigenasi jaringan di tentukan oleh perfusi, kadar Hb dan
saturasi oksigen yang dapat di monitor dengan pulse oksimeter, digunakan
secara rutin untuk menilai syok.
Monitoring yang dilakukan:
1 Non Invasif: yakni memonitor tanda tanda vital, tekanan darah, nadi , PaO2,
jumlah urin, ECG, intake serta output.
2 Invasif: monitoring meliputi kateterisasi arteri, CVP, dan kateter pulmonalis.
3 Metabolik: asam laktat
Phenylephrine 2-10 - ++ ++
mcg/kg/min
Dobutamine 2.5-10 + +/- -
mcg/kg/min
6. Sodium Bikarbonat
Penggunaan sodium bikarbonat dalam penatalaksanaan syok masih
kontroversial. Dalam keadaan syok, terjadi asidosis yang akan mengganggu
kontraktilitas miokardium dan fungsi optimal dari katekolamin. Namun,
pemberian bikarbonat akan memperburuk keadaan asidosis intraselular karena
sodum bikarbonat hanya mengkoreksi asidosis serum. Hal ini disebabkan
karena ion bikarbonat tidak dapat melewati membran sel semipermiabel.
Sehingga, asidosis dalam serum ditambah dengan bikarbonat akan
menyebabkan produksi karbondioksida dan air, seperti yang terdapat pada
persamaan Henderson-Hasselbach. Apabila karbondioksida yang meningkat
tidak dikeluarkan melalui ventilasi, maka karbondioksida ini akan masuk ke
dalam sel dan terjadi reaksi Henderson-Hasselbach namun dalam arah yang
sebaliknya dan meningkatkan asidosis intraselular. Asidosis intraselular ini
akan menyebabkan penurunan kontraktilitas otot jantung (Cingolan, 1985;
Pannier,1968). Selain itu, pemberian bikarbonat akan menyebabkan
hipernatremia dan hiperosmolalitas. Oleh karena itu, asidosis yang terjadi
pada keadaan syok dapt dikoreksi dengan meningkatkan perfusi dengan
pemberian cairan tambahan dan penggunaan obat-obatan kardiotropik
dibarengi dengan ventilasi yang optimal. Pada pasien dengan syok persisten
dengan kehilangan bicarbonat yang terus menerus (misalnya pada diare),
pemberian bikarbonat secara hati-hati dapat diindikasikan.
Pemberian bikarbonat dapat dihitung sebagai berikut :
HCO3- (mEq) = Defisit basa x berat badan pasien (kg) x 0,3
Jumlah pemberian awal merupakan setengah dari hasil hitungan di atas
dan dapat diulangi sambil memantau perkembangan pasien. Atau, bikarbonat
dapat juga diberikan 0.5-1 mEq/kg/dosis IV selama 1-2 menit. Penelitian pada
pasien dengan cardiovascular arrest, gagal untuk menunjukkan perbaikan
setelah diberikan terapi bikarbonat.
7. Kalsium
Kalsium merupakan mediator coupling reaksi eksitasi-kontraksi dalam
sel, termasuk sel jantung. Syok dapat menyebabkan perubahan dalam kadar
ion kalsium serum. Pemberian produk darah (yang mengandung sitrat) dapat
mengikat kalsium bebas, sehingga dapat menyebabkan penurunan kadar
kalsium. Karena itu, pemberian kalsium berguna pada pasien syok dengan
hipkalsemia. Pemberian kalsium juga diindikasikan untuk pasien syok yang
disebabkan oleh aritmia akibat hiperkalemia, hipermagnesemia, atau toksisitas
calcium channel bloker. Kalsium dapat diberikan dalam bentuk kalsium
glukonat atau kalsium klorida. Kalsium klorida merupakan obat terpilih pada
kasus syok, karena kalsium klorida memiliki efek yang dapat lebih
meninggikan dan mempertahankan kadar kalsium dalam darah. Dosis yang
direkomendasikan adalah 10-20mg/kg (0,1- 0,2 ml/kg kalsium klorida 10%)
IV, dimasukan bersama cairan ifus dengan kecepatan tetesan tidak lebih dari
100mg/menit IV.
Tiga komponen PAT adalah penampilan anak, upaya napas, dan sirkulasi kulit.
1. Penampilan anak
Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda tides meliputi
penilaian tonus (T=tone), interaksi (I=interactive), konsolabilitas
(C=consolability), cara melihat (L=look/gaze) dan berbicara atau menangis
(S=speech/cry).
Tabel 2.1. Penilaian dengan metode Ticles (TICLS)
Karakteristik Hal yang dinilai
Tone Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan
dengan kuat? Apakah tonus ototnya baik atau lumpuh?
Interactiveness Bagaimana kesadarannya? Apakah suara
mempengaruhinya? Apakah dia mau bermain dengan
mainan atau alat pemeriksaan? Apa anak tidak bersemangat
berinteraksi dengan pengasuh atau pemeriksa?
Consolability Apakah dia dapat ditenangkan oleh pengasuh atau
pemeriksa? Atau anak menangis terus atau terlihat agitas
sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut?
Look/gaze Apakah memfokuskan penglihatan pada muka? Atau
pandangan kosong?
Speech/cry Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat atau
lemah atau parau?
2. Upaya napas
Karakteristik hal yang dinilai adalah suara napas yang tidak normal, posisi
tubuh yang tidak normal, retraksi, dan cuping hidung.
Secara ringkas penerapan PAT dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Sirkulasi kulit ( )
Penampilan (Abnormal) Upaya napas (Normal) Gangguan
metabolik atau
Sirkulasi kulit (Normal) gangguan primer
susunan syaraf
pusat
Gambar 2.1 Penggunaan PAT secara ringkas
BAB III
ANALISIS MASALAH
Laporan kasus An. CRA, perempuan, 5 tahun dengan diagnosis Dengue Shock
Syndrome (DSS). Pada saat di IRD, dilakukan Pediatric Assessment Triangle (PAT)
pada pasien, didapatkan:
1. Appeareance
o Tonus : Pasien bisa bergerak secara spontan
o Interactiveness : Pasien gelisah, kurang memberikan respon ke
lingkungan sekitar
o Consolability : Pasien tampak gelisah
o Look/Gaze : Tidak kontak mata dengan pemeriksa
o Speech/Cry : masih bisa berbicara spontan
2. Work of Breathing
o Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-), Stridor (-),
Grunting (-), Wheezing (-)
o Abnormal Positioning : Sniffing position (-), Tripoding (-),
Prefers seated posture (-)
o Retractions : SC (-), IC (-), SS (-), E (-)
o Flaring : (-)
3. Circulation to Skin
o Pallor : Ya
o Mottling : Tidak
o Sianosis : Tidak
Dari pemeriksaan PAT yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
syok didapatkan dari gangguan pada tampilan umum di mana tampak penurunan
kesadaran, pasien gelisah, sesak napas, dan gangguan pada sirkulasi dimana pasien
tampak pucat. Setelah pemeriksaan PAT secara umum, dilakukan pemeriksaan
survey primer seperti berikut:
1. Evaluasi tanda vital : TD 100/80 mmHg, Nadi 130 x/menit dengan
isi dan tegangan kurang, frekuensi napas 30
x/menit, suhu tubuh 36,6oC
2. Penilaian Airway : Bebas, tidak ada obstruksi jalan napas, bunyi
napas abnormal seperti stridor tidak ada
3. Penilaian Breathing : Nafas spontan (+), adekuat, sesak (+), napas
cuping hidung (-), retraksi iga/intrasternal (-),
dada simetris dan dinamis. Bunyi paru
vesikuler
(+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
4. Penilaian Circulation : Nadi teraba lemah, teratur, kualitas kurang,
frekuensi 130 x/menit, perdarahan (-), petekie
(+) pada ekstremitas, akral dingin (+), CRT
4 detik
5. Penilaian Disability : PCS (pediatric coma scales) 11 (E4M5V4).
6. Penilaian Exposure : Luka di ekstremitas (-).
Berdasarkan gejala klinisnya, anak ini telah mengalami syok fase kompensasi
yang membutuhkan penatalaksanaan segera untuk mencegah terjadi perburukan.
Tatalaksana syok awal:
o O2 2L/menit via nasal kanul
o IVFD RL 20 cc/kgBB 400 cc dalam waktu secepatnya kemudian evaluasi,
lanjutkan dengan IVFD RL 10 cc/kgBB 200 cc/jam (50 tetes/menit, makro)
evaluasi ulang tanda-tanda vital, kemudian resusitasi cairan diturunkan bertahap
sesuai kondisi
o Observasi tanda vital dan diuresis/jam
o Cek Hb, Ht, Trombosit, PT, apTT, SGOT, SGPT, CRP, ureum, kreatinin, elektrolit
DAFTAR PUSTAKA