Anda di halaman 1dari 58

Laporan Kasus

DENGUE SHOCK SYNDROME

Oleh:
Rizkia Retno Dwi Ningrum, S.Ked 04054821618114
Fauzan Ditiaharman, S.Ked 04054821618122

Pembimbing:
dr. Silvia Triratna, Sp.A (K)

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017

HALAMAN PENGESAHAN
Diskusi Kasus

DENGUE SHOCK SYNDROME

Oleh:
Rizkia Retno Dwiningrum, S.Ked
Fauzan Ditiaharman, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
kepaniteraan klinik di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
periode 26 Desember 2016 6 Maret 2017.

Palembang, Januari 2017


Pembimbing

dr. Silvia Triratna, Sp.A (K)

BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi


klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile
illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) dan demam berdarah
dengue disertai syok (dengue shock syndrome = DSS). Gambaran manifestasi klinis
yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, DBD dan DSS
sebagai kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak gunung es yang
kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue
infection dan demam dengue) merupakan dasarnya.
Dengue shock syndrome (DSS) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. DSS adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. Syok dapat berulang dan/atau
berkepanjangan karena resusitasi yang kurang adekuat, kebocoran plasma (plasma
leakage) berat, hipoksemia, dan asidosis metabolik atau perdarahan, yang selanjutnya
dapat menyebabkan disfungsi atau gagal organ.
Dengue Shock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan
kesehatan masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga
merupakan suatu permasalahan klinis, karena 30-50% penderita demam berdarah
dengue akan mengalami renjatan dan berakhir dengan kematian terutama bila tidak
ditangani secara dini dan adekuat. Pada dasarnya, tatalaksana bersifat suportif, yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dan sebagai akibat perdarahan. Pertolongan yang cepat dan tepat sangat membantu
penyelamatan hidup pada kasus kegawatan demam berdarah dengue. Disfungsi
sirkulasi atau syok pada DBD, dengue shock syndrome (DSS), disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas vaskular yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya
perfusi organ. Pemberian cairan resusitasi yang tepat dan adekuat pada fase awal syok
merupakan dasar utama pengobatan DSS. Prognosis kegawatan DBD tergantung pada
pengenalan, pengobatan yang tepat segera dan pemantauan ketat syok. Oleh karena
itu peran dokter sangat membantu untuk menurunkan angka kematian.

BAB II
STATUS PEDIATRIK

I. IDENTIFIKASI
Nama : An. CRA
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat badan : 20 kg
Panjang badan : 120 cm
Lingkar Kepala : 52 cm
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jl. Iswahyudi Lr. Fitrah No. 44D, Kalidoni, Palembang
No. Rekam Medik : 986866
MRS : 4 Januari 2017 (05:00 WIB)

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 4 Januari 2017 pukul 16.00 WIB, diberikan
oleh ibu kandung pasien)

Keluhan utama : Kaki dan tangan dingin


Keluhan tambahan : Gelisah
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sekitar 5 hari SMRS anak demam tinggi terus menerus, sakit kepala (+),
batuk (+), dahak (+), nyeri sendi (+), muntah (+) isi apa yang di makan dan cairan
@1/4 gelas, mimisan (-), gusi berdarah (-), pilek (-), mual (-), nyeri perut (-),
bintik-bintik merah di kulit (-), BAB hitam (-), BAK biasa. Penderita dibawa ke
dokter dan diberi obat paracetamol syrup. Pasien masih mau makan dan minum.
Sekitar 12 jam SMRS demam tidak ada, kaki dan tangan anak teraba
dingin, nyeri perut (+), mual (+), muntah (+), frekuensi 1x isi apa yang dimakan
dan diminum, tidak menyemprot. Bintik-bintik merah (+) di kedua lengan dan
tungkai, mimisan (-), pendarahan gusi (-), BAK bewarna kuning pekat, jumlahnya
sedikit. Pasien dibawa ke RS Pusri. Dilakukan pemasangan IVFD RL 100 cc
selama 30 menit dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Didapatkan hasil Hb
17,4 g/dL, leukosit 5 x 10/mm, DC 0/0/2/69/27/2, Ht 50% dan trombosit 23 x
103/mm3. Pasien dibawa ke RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat penyakit DBD sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


o Riwayat penyakit DBD di dalam keluarga dan lingkungan sekitar ada,
yaitu kakak penderita 1 minggu yang lalu

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa kehamilan : Aterm
Partus : Spontan
Ditolong Oleh : Bidan
Tanggal : 18 Agustus 2011
Berat badan : 2700 g
Panjang Badan : 47 cm

Riwayat Makanan
ASI : Sejak lahir hingga usia 2 tahun (10-12x/hari)
Susu Formula : Sejak usia 2 tahun
Kesan : Asupan makanan cukup
Riwayat Vaksinasi
BCG : BCG sudah dilakukan, Skar (+)
Polio : (Polio 1, Polio 2, Polio 3)
DPT-HB : (DPT-HB 1, DPT-HB 2, DPT-HB 3)
Campak : (+)
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik


Pertumbuhan
BB/U : P75
PB/U : diatas P95
BB/PB : 20/22 x 100% = 91%
Kesan : Status gizi baik

Perkembangan
Usia 4 bulan : Pasien dapat tengkurap sendiri
Usia 7 bulan : Pasien dapat duduk
Usia 9 bulan : Pasien dapat berdiri usia 9 bulan
Usia 12 bulan : Pasien dapat berjalan sendiri
Usia 5 tahun : Pasien sekarang sekolah di Taman Kanak-Kanak. Pasien
mempunyai banyak teman di sekolah dan di rumah. Pasien
dapat berinteraksi baik dengan teman-temannya.
Kesan : Perkembangan sesuai usia

III. PEMERIKSAAN FISIK


(Dilakukan tanggal 4 Januari 2017 pukul 16.45 WIB)
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : E4M5V4
Tekanan Darah : 100/80 mmHg
Nadi : 130 kali/menit, reguler, isi dan tegangan kurang
Pernapasan : 30 kali/menit
Suhu : 36,6 oC
Berat badan : 20 kg
Tinggi badan : 120 cm

Keadaan Spesifik
Kepala
Mata : mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, refleks cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, 3 mm/3
mm
Hidung : epistaksis (-), napas cuping hidung (-)
Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mulut : Sianosis sirkumoral tidak ada
Tenggorok : Dinding faring tidak hiperemis, T1-T1, tenang, tidak
hiperemis
Leher : pembesaran KGB tidak ada, JVP tidak meningkat, kaku
kuduk tidak ada, Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus cordis, dan voussour cardiaque tidak terlihat
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR = 130 kali/menit, irama reguler, murmur dan gallop tidak
ada, bunyi jantung I dan II normal

Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba,
turgor kulit kembali lambat
Perkusi : Timpani

Lipat paha dan genitalia


Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

Ekstremitas
Superior : Akral dingin (+), pucat (+), sianosis (-), edema (-), petechie (+), CRT
3s. rumple leed test (+)
Inferior : Akral dingin (+), pucat (+), sianosis (-), edema (-), petechie (+), CRT
3s

Status neurologis
Pemeriksaan Superior Inferior
motorik Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan Luas Luas Luas Luas


Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - Tidak ada Tidak ada
Refleks fisiologi Normal Normal Normal Normal
Refleks patologi Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tanda rangsang meningeal tidak ada

Sensorik : uji sentuhan (+), uji rasa nyeri (+). Otonom : disfungsi
sfingter urine dan retensio alvi tidak ada
Kesan: pemeriksaan neurologis dalam batas normal.

IV. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM


(4 Januari 2017 pukul 12:05 di RSMH)
Hb : 16,3 g/dl* AST/SGOT : 211 U/L*
Eritrosit : 6,36 x 106/mm* ALT/SGPT : 80 U/L*
Leukosit : 5,1 x 10/mm GDS : 70 mg/dl
Ht : 47 %* Kalsium (Ca) : 7,6 mg/dL*
Trombosit : 24 x 103/mm3# Natrium (Na) : 135 mEq/L
MCV : 73,3 fL* Dengue IgG : positif
MCH : 26 pg Dengue IgM : positif
MCHC : 35 g/dL* Dengue NS I Ag: negatif
LED : 2 mm/jam
Hitung Jenis : 0/0*/29*/58*/13*

(4 Januari 2017 pukul 18:38 di RSMH)


Hb : 15,8 g/dl*
Eritrosit : 6,19 x 106/mm*
Leukosit : 9,4 x 10/mm
Ht : 45 %*
Trombosit : 20 x 103/mm3#
Hitung Jenis : 0/1/28*/58*/13*
(4 Januari 2017 pukul 22:56 di RSMH)
Hb : 15,3 g/dl
Eritrosit : 5,72 x 106/mm*
Leukosit : 7,1 x 10/mm
Ht : 44 %*
Trombosit : 25 x 103/mm3#
Hitung Jenis : 0/0*/31*/56*/13*

(5 Januari 2017 pukul 06:15 di RSMH)


Hb : 15,0 g/dl*
Ht : 43 %*
Trombosit : 17 x 103/mm3#

(6 Januari 2017 pukul 7.20)


Hb : 13,0 g/dl
Eritrosit : 5,01 x 106/mm*
Leukosit : 5,9 x 10/mm
Ht : 38 %
Trombosit : 33 x 103/mm3#
Hitung Jenis : 0/0*/30*/58*/12*

(7 Januari 2017 pukul 7.20)


Hb : 12,8 g/dl
Eritrosit : 5,03 x 106/mm*
Leukosit : 10,5 x 10/mm
Ht : 36 %*
Trombosit : 100 x 103/mm3*
Hitung Jenis : 0/2/27*/54*/17*
V. DAFTAR MASALAH
1. Kaki dan tangan dingin
2. Demam hari ke VI
3. Rumple leed test (+)
4. Tekanan darah sempit
5. Takikardi dengan isi dan tegangan kurang
6. Nyeri epigastrium
7. Petekie di lengan dan tungkai

VI. DIAGNOSIS BANDING


- TDBD Grade III
- TDBD Grade IV

VII. DIAGNOSIS KERJA


TDBD Grade III

VIII. RENCANA PEMERIKSAAN


Pemeriksaan darah (Hb, Ht, Trombosit serial/6 jam)

IX. PENATALAKSANAAN
O2 kanul nasal 2L/menit
IVFD RL 200 cc/jam gtt 40/menit dalam 1 jam
Paracetamol 200 mg po tiap 8 jam bila suhu 38,5oC
Observasi tanda vital dan diuresis/jam
Observasi manifestasi perdarahan
Cek Hb, Ht, Trombosit, Leukosit/6jam
Komunikasi, informasi, dan edukasi

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

XI. RESUME
Pasien An. CRA, perempuan usia 5 tahun dibawa ke IGD RSMH dengan
keluhan kaki dan tangan dingin disertai gelisah. Sekitar 5 hari SMRS anak
demam tinggi terus menerus, sakit kepala (+), batuk (+), dahak (+), nyeri sendi
(+), muntah (+) isi apa yang di makan dan cairan @1/4 gelas, mimisan (-), gusi
berdarah (-), pilek (-), mual (-), nyeri perut (-), bintik-bintik merah di kulit (-),
BAB hitam (-), BAK biasa. Penderita dibawa ke dokter dan diberi obat
paracetamol syrup. Pasien masih mau makan dan minum. Sekitar 12 jam SMRS
demam tidak ada, kaki dan tangan anak teraba dingin, nyeri perut (+), mual (+),
muntah (+), frekuensi 1x isi apa yang dimakan dan diminum, tidak menyemprot.
Bintik-bintik merah (+) di kedua lengan dan tungkai, mimisan (-), pendarahan
gusi (-), BAK bewarna kuning pekat, jumlahnya sedikit. Pasien dibawa ke RS
Pusri. Dilakukan pemasangan IVFD RL 100 cc selama 30 menit dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Didapatkan hasil Hb 17,4 g/dL, leukosit 5 x 10/mm,
DC 0/0/2/69/27/2, Ht 50% dan trombosit 23 x 103/mm3. Pasien dibawa ke RSMH.
Riwayat DBD sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit DBD di dalam
keluarga dan lingkungan sekitar ada. Riwayat kehamilan ibu normal dan riwayat
kelahiran anak normal, ditolong bidan. Riwayat makanan mendapat ASI sampai
usia 2 tahun. MP ASI mulai usia 6 bulan. Riwayat pertumbuhan dan
perkembangan normal. Riwayat imunisasi dasar lengkap. Status gizi baik. Hasil
laboratorium tanggal 4 Januari 2017 pukul 12.05 Hb: 16,3 g/dL, Ht: 47%, Plt: 24
x 103/mm3.

XII. FOLLOW UP
Tanggal 4 Januari 2017 (pukul 18:00) hari sakit ke 6, bebas demam hari ke 2,
hari rawat ke 1, bebas syok 12 jam.
S : demam (-) mual (-) muntah (-) mimisan (-)
O : Hasil Lab
Hb : 15,8 gr/dl trombosit : 20.000 Ht : 45%
Sensorium : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
N : 110 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 24 x/menit
T : 36,3oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan epigastrium (+), BU (+) normal
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT 3 s, edema pretibial (-)
Diuresis : 0,6 cc/kgBB/jam
A : DBD Grade III
P : IVFD RL 7 cc/kgBB/jam 140 cc/jam
Observasi tanda-tanda perdarahan
Follow up dan diuresis per jam
PCT 200 mg (po) jika T 38,5
Periksa Hb, Ht, Trombosit tiap 6 jam
Tanggal 5 Januari 2017 (pukul 06.00) hari sakit ke 7, bebas demam hari ke 3,
hari rawat ke 2, bebas syok 24 jam.
S : demam (-), batuk berdahak (+), pilek (-), mual dan muntah (-), belum mau
makan, nyeri perut (-), nyeri kepala (-)
O : Sensorium : compos mentis
TD : 100/70 mmHg
N : 106 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 24 x/menit
T : 37,2oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 s, edema pretibial (-)
Diuresis : 2 cc/kgBB/jam
A : DBD Grade III
P : IVFD RL 5 cc/kgBB/jam 100cc/jam
Pantau diuresis dan balance cairan berkala tiap 6 jam
PCT 200 mg (po) jika T 38,5
Periksa Hb, Ht, Leukosit, Trombosit /12jam

Tanggal 6 Januari 2017 (pukul 07.00 WIB) hari sakit ke 8, bebas demam hari ke
4, hari rawat ke 3, bebas syok 48 jam.

S : demam (-), perdarahan (-), nyeri ulu hati (-)


O : Sensorium : compos mentis
TD : 100/70 mmHg
N : 98 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 24 x/menit
T : 36,7oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 s, edema pretibial (-)
Diuresis : 2,3 cc/kgBB/jam
A : DBD Grade III fase konvalesens
P : Cek Hb, Ht, Leukosit, Trombosit/12 jam
Balance dan diuresis/6 jam

Tanggal 7 Januari 2017 (pukul 07.00 WIB) hari sakit ke 9, bebas demam hari ke
5, hari rawat ke 4, bebas syok 72 jam.
S : demam (-), perdarahan (-), nyeri ulu hati (-), nafsu makan membaik
O : Sensorium : compos mentis
TD : 100/70 mmHg
N : 110 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 24 x/menit
T : 37,2oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT <2 s, edema pretibial (-)
A : DBD Grade III fase konvalesense
P : Cek Hb, Ht, Leukosit, Trombosit/12 jam
Balance dan diuresis/6 jam

Lab 4 Januari 2017 5 Jan 6 Jan 7 Jan 12 Jan


2017 2017 2017 2017
jam 12.05 Jam 18.38 Jam 22.56 Jam Jam 12.00 Jam 7.20 Jam 9.45
06.10
Hb 16,3 gr/dl 15,8gr/dl 15,3 gr/dl 15 gr/dl 13 gr/dl 12,8 gr/dl
Ht 47% 45 % 44% 43% 38 % 36 %
Ht 6% 11% 13% 16% 31% 38%

Trombosi 24 x 20 x 25 x 17 x 33 x 100 x
t 103/mm3 103/mm3 103/mm3 103/mm3 103/mm3 103/mm3
RBC 6,36 x 6,19 x 5,72 x 5,01 x 5,03 x
106/mm 106/mm 106/mm 106/mm 106/mm

WBC 5,1 x 9,4 x 7,1 x 5,9 x 10,5 x


10/mm 10/mm 10/mm 10/mm 10/mm

DC 0/0/29/58/1 0/1/28/58 0/0/31/56 0/0/30/58/ 0/2/27/54/


3 /13 /13 12 17
Dengue Positif Negatif
IgM
Dengue Positif Positif
IgG
Den NS I Positif
Ag
SGOT 211 U/L
SGPT 80 U/L
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DENGUE SHOCK SYNDROME


2.1.1 Definisi
Dengue shock syndrome (DSS) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. DSS adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal
Dengue Shock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan
kesehatan masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga
merupakan suatu permasalahan klinis, karena 30-50% penderita demam berdarah
dengue akan mengalami renjatan dan berakhir dengan kematian terutama bila tidak
ditangani secara dini dan adekuat.

2.1.2 Etiologi
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae merupakan
penyebab dari demam dengue dan DHF. Serotipe dari virus ini adalah DEN-1, DEN-
2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan
kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang
lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami
infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya. Dengue adalah penyakit daerah tropis dan
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang
menggigit pada siang hari. Faktor resiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan
faktor penderita seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis.
Virus dengue yang matur terdiri dari single stranded RNA genom (ssRNA)
yng mempunyai polaritas positif. Genom ini dikelilingi oleh Nucleocapsid
icosahedral dengan diameter 30 nm. Nucleocapsid ini ditutupi oleh suatu lipid
envelope yang tebalnya 10 nm. Genom virus mengandung 3 protein struktural dan 7
protein non struktural. Protein struktural termasuk kapsul protein yang kaya arginine
dan lisin serta protein prM nonglycosylated. Sedangkan protein non struktural dikenal
sebagai NS1-7 yang mempunyai fungsi yang berbeda.

2.1.3 Epidemiologi
Suatu penelitian di Jakarta oleh Sumarmo (1973-1978) mendapatkan bahwa
penderita DSS terutama pada golongan umur 1-4 tahun (46,5%), sedang wong (1973)
dari singapura melaporkan pada umur 5-10 tahun dan di Manadoterutama dijumpai
pada umur 6-8 tahun kemudian pada tahun 1983 didapatkan terbanyak pada umur 4-6
tahun. Tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin tetapi kematian lebih banyak
ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki.
Jumlah penderita DBD/DHF yang mengalami renjatan berkisar antara 26-
65%, dimana Sumarmo dkk. (1985) mendapatkan 63%, Kho dkk. (1979) melaporkan
50%, Rampengan (1986) melaporkan 59,4% sedangkan WHO (1973) melaporkan
65,45% dari seluruh penderita demam berdarah dengue yang dirawat.

2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi yang terjadi pada Dengue Shock Syndrom ialah peninggian
permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya
perembesan plasma dan elekrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk
kedalam ruang interstitial, sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi,
hipoproteinemia dan efusi cairan ke rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang
sampai kurang lebih 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan hipovolemi
ini bila tidak segera diatasi maka dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis
metabolik, sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler.
Mekanisme ini diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot jantung dan venous
pooling, sehingga lebih lanjut akan memperberat renjatan.
Sebab lain kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran
pencernaan yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi
adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh :
a Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
b Gangguan fungsi trombosit
c Kelainan system koagulasi, masa tromboplastin partial, masa
protrombin memanjang sedangkan sebagian besar penderita
didapatkan masa thrombin norma. Beberapa factor pembekuan
menurun, termasuk factor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen.
d Pembekuan intravaskuler yang meluas (Disseminated Intravascular
Coagulation-DIC).

2.1.5 Manifestasi Klinis


Dengue Shock Syndrome (DSS) menurut klasifikasi WHO (1975)
merupakan demam berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah dengue
dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan.
Terjadinya renjatan pada DBD biasanya terjadinya pada saat atau setelah
demam menurun yaitu antara hari ke-3 dan ke-7, bahkan renjatan dapat terjadi pada
hari ke-10.
Manifestasi klinik renjatan pada anak terdiri atas :
a Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan
dan hidung.
b Anak semula rewel, cengeng dan gelisah lambat-laun kesadaran
menurun menjadi apati, sopor dan koma.
c Peubahan nadi baik frekuensi maupun amplitudonya.
d Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
e Tekanan sistolik menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
f Oligouri sampai anuria.

2.1.6 Diagnosis
Hingga kini diagnosis DBD/DSS masih berdasarkan atas patokan yang telah
dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri dari 4 kriteria klinik dan 2
kriteria laboratorik dengan syarat bila criteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal
2 kriteria klinik (satu diantaranya ialah panas) seperti yang telah diuraikan diatas.
Derajat I dan II disebut DHF/DBD tanpa renjatan sedang derajat III dan IV
disebut DHF/DBD dengan renjatan atau DSS. Wong dkk. (1973) juga mengemukakan
beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnosis klinik penderita
dengue shock syndrome, yaitu :
1 Clouding of sensorium
2 Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun
3 Nyeri perut
4 Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri, dan hemoptisis
5 Trombositopenia berat
6 Adanya pleural efosion pada toraks foto
7 Tanda-tanda miokarditis pada EKG

Diagnosa (Kriteria WHO):


Klinis:
1 Panas 2 7 hari
2 Tanda-tanda perdarahan, paling tidak tes RL yang positif
3 Adanya pembesaran hepar
4 Gangguan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan tekanan darah, nadi
meningkat dan lemah serta akral dingin
Laboratorium:
1 Terjadi hemokonsentrasi (PCV meningkat > 20 %)\
2 Thrombocytopenia (Thrombocyte <100.000/cmm)

Dengan merujuk kepada pengertian dari DHF Shock (DSS), yaitu demam
berdarah dengue yang disertai dengan gangguan sirkulasi, terdiri dari, maka dapat
diperoleh pula kriteria klinis DSS sebagai berikut
DHF grade III :
1 Tekanan darah sistolik < 80 mmHg
2 Tekanan nadi < 20 mmHg
3 Nadi cepat dan lemah
4 Akral dingin

DHF grade IV :
1 Shock berat
2 Tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba

2.1.7 Penatalaksanaan
Pada dasarnya bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Pasien DB dapat berobat jalan, sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan
biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase
kritis pada umunya terjadi pada hari ke-3.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia
dan muntah. Pasien perlu diberi minum banyak, 50ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama
berupa air teh dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan
dehidrasi dapat diatasi, berikan cairan rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam
berikutnya. Hiperpireksi dapat diatasi dengan antipiretik, dan bila perlu surface
cooling dengan kompres es dan alkohol 70%. Parasetamol direkomendasikan untuk
mengatasi demam dengan dosis 10-15mg/kgBB/kali.
Segera beri infus kristaloid (Ringer Laktat atau NaCl 0,9% ) 20 ml/kgBB
secepatnya (diberikan selama 30 menit) dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat
(DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur, diberikan ringer laktat 20
mg/kgBB bersama koloid). Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan
trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
Apabila dalam waktu 3 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum
dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (dekstran
40) sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur
infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum,
tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam.
Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah.

2.1.8 Komplikasi
1 Perdarahan massif
2 Kegagalan pernapasan akibat edema paru atau kolaps paru
3 Ensefalopati dengue
4 Kegagalan jantung

2.1.9 Indikasi Memulangkan Pasien


1 Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2 Nafsu makan membaik
3 Tampak perbaikan secara klinis
4 Hematokrit stabil
5 Jumlah trombosit > 50.000/ml
6 Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis) minimal tiga hari setelah syok teratasi

2.1.10 Pencegahan
Pengembangan vaksin untuk dengue sangat sulit karena keempat jenis
serotipe virus bisa mengakibatkan penyakit. Perlindungan terhadap satu atau dua jenis
serotipe ternyata meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang serius.
Saat ini sedang dicoba dikembangkan vaksin terhadap keempat serotipe
sekaligus. sampai sekarang satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian dengue
dan dhf adalah dengan memerangi nyamuk yang mengakibatkan penularan. A.
aegypti berkembang biak terutama di tempat-tempat buatan manusia, seperti wadah
plastik, ban mobil bekas dan tempat-tempat lain yang menampung air hujan. nyamuk
ini menggigit pada siang hari, beristirahat di dalam rumah dan meletakkan telurnya
pada tempat-tempat air bersih tergenang.
Pencegahan dilakukan dengan langkah 3M:
1 menguras bak air
2 menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak
nyamuk
3 mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air.

Di tempat penampungan air seperti bak mandi diberikan insektisida yang


membunuh larva nyamuk seperti abate. Hal ini bisa mencegah perkembangbiakan
nyamuk selama beberapa minggu, tapi pemberiannya harus diulang setiap beberapa
waktu tertentu. Di tempat yang sudah terjangkit dhf dilakukan penyemprotan
insektisida secara fogging, tapi efeknya hanya bersifat sesaat dan sangat tergantung
pada jenis insektisida yang dipakai. Di Samping itu partikel obat ini tidak dapat
masuk ke dalam rumah tempat ditemukannya nyamuk dewasa. Untuk perlindungan
yang lebih intensif, orang-orang yang tidur di siang hari sebaiknya menggunakan
kelambu, memasang kasa nyamuk di pintu dan jendela, menggunakan semprotan
nyamuk di dalam rumah dan obat-obat nyamuk yang dioleskan.

2.1.11 Prognosis
Prognosa penderita tergantung dari beberapa faktor :
1 Sangat erat kaitannya dengan lama dan beratnya renjatan, waktu, metode,
adekuat tidaknya penanganan
2 Ada tidaknya rekuren syok yang terutama terjadi dalam 6 jam pertama
pemberian infuse dimulai
3 Panas selama renjatan
4 Tanda-tanda serebral

2.2 SYOK PADA ANAK


2.2.1 Definisi
Syok adalah syndrome gawat akut akibat ketidakcukupan perfusi dalam
memenuhi kebutuhan tubuh. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan
metabolik (kebutuhan oksigen) atau penurunan pasokan metabolik. Ketidakcukupan
akan pasokan oksigen mengakibatkan tubuh merespon dengan merubah metabolisme
energi sel menjadi anaerobic, akibatnya dapat terjadi asidosis laktat. Jika perfusi
oksigen ke jaringan terus berkurang maka respon system endokrin, pembuluh darah,
inflamasi, metabolisme, seluler dan sistemik akan muncul dan mengakibatkan pasien
menjadi tidak stabil.
Syok adalah proses yang progresif, dimana apabila tubuh tidak mampu
mentoleransi maka dapat mengakibatkan kerusakan irreversible pada organ vital dan
dapat menyebabkan kematian. Syok memiliki pola patofisiologi, manisfestasi klinis,
dan pengobatan berbeda tergantung pada etiologinya. Hypovolemic dan septic syok
adalah syok yang paling sering dijumpai pada anak- anak, cardiogenik syok dijumpai
pada neonatus yang memiliki kelainan jantung congenital juga pasca bedah kelainan
jantung congenital syok bisa terjadi pada anak yang lebih dewasa.
Syok sering menimbulkan sindrom respon inflamasi sistemik dan sindrom
kegagalan multiorgan. Kegagalan kardiovaskular diakibatkan oleh kekurangan
kardiak output (CO), sistemik vascular resistance (SVR), atau keduanya. CO adalah
hasil dari heart rate dan stroke volume. Stroke volume ditentukan oleh tekanan
pengisian ventrikel kiri dan kontraksi miokard. SVR menggambarkan tahanan ke
ejeksi ventrikel kiri (afterload). Di dalam kamus "shock," yang didominasi
vasokonstriksi di klasifikasikan sebagai "cold shock" dan yang didominasi oleh
vasodilatasi disebut "warm shock." Pengenalan dan manajemen yang dini dari
berbagai tipe dan kegagalan sirkulasi adalah sangat krusial untuk mengembalikan
perfusi jaringan yang adekuat sebelum kerusakan organ menjadi irreversible.

2.2.2 Epidemiologi
Kejadian syok pada anak dan remaja sekitar 2% pada rumah sakit di Amerika
serikat, dimana angka kematian sekitar 20-50% kasus. Hampir seluruh pasien tidak
meninggal pada fase hipotensi tapi karena hasil dari satu atau lebih komplikasi akibat
syok. Disfungsi multiple organ meningkatkan resiko kematian( satu organ 25%
kematian, dua organ 60% kematian, tiga organ atau lebih >85%)Angka kematian
syok pada anak menurun sebanding dengan tingkat edukasi yang baik, dimana
pengenalan awal syok dan management yang baik dan cepat memberi kontribusi
lebih.

2.2.3 Patofisiologi
Metabolisme aerobic sel bisa menghasilkan 36 Adenosin Triphosphate,
sedangkan pada sel yang kekurangan oksigen (syok) sel akan merubah system
metabolisme aerobic menjadi anaerobic, yang mana hanya menghasilkan 2 ATP
molekul tiap molekul glukosa dan hasil pembentukan dan penimbunan asam laktat.
Akhirnya metabolisme sel tidak cukup menghasilkan energi homeostasis sel,
sehingga mengakibatkan gangguan pertukaran ion melalui membrane sel. Dimana
terjadi akumulasi sodium didalam sel dengan pengeluaran potassium dan
penumpukan cytosolic calsium. Sel menjadi membengkak, membrane sel hancur, dan
terjadilah kematian sel. Kematian yang luas dari sel menghasilkan kegagalan pada
banyak organ, jika irreversible maka pasien meninggal. Kekacauan metabolic sel
mungkin terjadi dari kekurangan oksigen yang absolute (hipoksia syok) atau
kombinasi hipoksia dan kekurangan substrat khususnya glukosa, disebut sebagai
iskemic syok.
Anak-anak bukan orang dewasa yang kecil. Kalimat ini harus dipahami
dengan benar ketika membicarakan distribusi total cairan tubuh dan respon
kompensasi kardiovaskular pada anak-anak selama keadaan insufisiensi sirkulasi
yang progresif. Gejala dan tanda syok yang dapat dengan mudah dilihat pada orang
dewasa mungkin tidak akan terlihat pada anak, mengakibatkan terlambatnya
pengenalan dan mengabaikan keadaan syok yang parah. Walaupun anak lebih besar
persentase total cairan tubuhnya tapi untuk melindungi mereka dari kolaps
kardiovaskular, peningkatan sisa metabolik rata-rata, peningkatan insensible water
loss, dan penurunan renal concentrating ability biasanya membuat anak lebih mudah
terjadi hipoperfusi pada organ. Gejala dan tanda awal dari berkurangnya volume
dapat tidak diketahui pada anak-anak, tapi sejalan dengan perkembangan penyakit,
penemuan gejala dan tanda menjadi dapat ditemukan sama seperti orang dewasa.
Respon kompensasi kardiovaskular pada anak dengan keadaan penurunan
ventrikular preload, melemahkan kontraksi miokard, dan perubahan dalam pembuluh
darah berbeda dari yang terjadi pada dewasa. pada pasien anak, CO lebih tergantung
pada heart rate daripada stroke volume oleh karena kekurangan massa otot ventrikel.
Takikardi adalah yang terpenting pada anak untuk mempertahankan CO yang adekuat
pada kondisi penurunan ventricular preload, kelemahan kontraksi miokard, atau
kelainan jantung congenital yang digolongkan oleh anatomi left-to-right shunt. Stroke
volume tergantung oleh pengisian ventrikel (preload), ejeksi ventrikel (afterload), dan
fungsi pompa intrinsik (myocardial contractility).
Syok Syok septik Syok
hipovolemik kardiogenik

Mediator

Kebocoran Vasodilator Depresi

Kontraktilitas
Preload

Cardiak Output Tekanan darah

Terkompensasi
Pengeluaran
simpatetik

Vasokonstriksi
CO dan tekanan
darah membaik denyut jantung

Iskemia jaringan CO

Pelepasan
Hilangnya
mediator
autoregulasi Kematian
Kematian sel
Gambar 1. Alur respon tubuh terhadap syok.
Fungsi sel

Tambahan pada CO, pengatur utama dari tekanan darah adalah SVR. Anak
memaksimalkan SVR untuk mempertahankan tekanan darah yang normal, pada
keadaan penurunan CO yang signifikan. Peningkatan SVR oleh karena vasokontriksi
perifer yang dipengaruhi system saraf simpatis dan angiotensin. Hasilnya, aliran
darah diredistributsi dari pembuluh nonessential seperti kulit, otot skelet, ginjal dan
organ splanknik ke otak, jantung, paru-paru dan kelenjar adrenal. Sesuai pengaturan
dari pembuluh darah, endogen atau eksogen melalui zat-zat vasoaktif, dapat
menormalkan tekanan darah tanpa tergantung dari CO. Karena itu, pada pasien anak,
tekanan darah merupakan indicator yang jelek dari hemostatis kardiovaskular.
Evaluasi heart rate dan perfusi end-organ, termasuk capillary refill, kualitas dari
denyut perifer, kesadaran, urine output, dan status asam-basa, lebih bernilai daripada
tekanan darah dalam menentukan status sirkulasi anak.
Pada dasarnya, syok merupakan suatu keadaan dimana tidak adekuatnya
suplai oksigen dan substrat untuk memenuhi kebutuhan metabolic jaringan. Akibat
dari kekurangan oksigan dan substrat-substrat penting, maka sel-sel ini tidak dapat
mempertahankan produksi O2 aerobik secara efisien.
Pada keadaan normal, metabolisme aerobik menghasilkan 6 molekul
adenosine trifosfat (ATP) tiap 1 molekul glukosa. Pada keadaan syok, pengiriman O2
terganggu, sehingga sel hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP tiap 1 molekul
glukosa, sehingga terjadi penumpukan dan produksi asam laktat. Pada akhirnya
metabolisme seluler tidak lagi bisa menghasilkan energi yang cukup bagi komponen
hemostasis seluluer, sehingga terjadi kerusakan pompa ion membran dan terjadi
penumpukan natrium intraseluler, pengeluaran kalium dan penumpukan kalsium
sitosol.
Sel membengkak, membran sel rusak, dan akhirnya terjadi kematian sel.
Kematian sel yang luas menyebabkan gagal multi sistem organ dan apabila
ireversibel, dapat terjadi kematian.
Kerusakan metabolik ini dapat disebabkan karena defisiensi absolut dari
transpor oksigen (syok hipoksik) atau disebabkan karena defisiensi transport substrat,
biasanya glukosa (syok iskemik). Yang paling sering terjadi adalah kombinasi dari
kedua hal diatas yaitu hipoksik dan iskemik. Atas dasar hal tersebut diatas, maka
sangatlah penting untuk memberikan oksigen pada keadaan syok.
Pengiriman oksigen (Oxygen Delivery = DO2) adalah jumlah oksigen yang
dibawa ke jaringan tubuh permenit. DO2 tergantung pada jumlah darah yang
dipompa oleh jantung permenit (Cardiac Output = CO) dan kandungan O2 arteri
(CaO2), sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut:
DO2 = CO (L/menit) x CaCO2 (ml/mL/cc)
CaCO2 tergantung pada banyaknya O2 yang terkandung di Hb (Saturasi O2 = SaO2),
sehingga didapatkan persamaan:
CaO2 = Hb (g/100ml) x SaO2 x 1,34 ml O2/g
Keadaan syok dapat terlihat secara klinis apabila terdapat gangguan pada
CaCO2, baik karena hipoksia, yang dapat menyebabkan penurunan SaO2 maupun
karena anemia yang menyebabkan penurunan kadar Hb sehingga menurunkan
kapasitas total pengiriman O2. Cardiac output tergantung pada 2 keadaan, yaitu
jumlah darah yang dipompa tiap denyut jantung (Stroke Volume = SV) dan laju
jantung (Heart Rate = HR). Stroke volume dipengaruhi oleh volume pengisian
ventrikel akhir diastolik (ventricular preload), kontaktilitas otot jantung dan
afterload. Tiap variabel yang mempengaruhi cardiac output diatas, pada keadaan
syok, dapat mengalami gangguan atau kerusakan.

2.2.4 Stadium
Secara klinis, syok terbagi ke dalam 3 fase, yaitu :
Gejala Klinis Kompensasi Dekompensasi Irreversibel
Kehilangan Darah % 25% 25-40% >40%
Frekuensi Jantung Takikardia + Takikardia ++ Takikardia/Bradikardi
Volume Nadi Normal/Menurun Menurun + Menurun ++
Pengisian Kapiler Normal/Meningkat Meningkat + Meningkat --
Kulit Dingin, pucat Dingin, mottled Pucat mati
RR Takipnue + Takipnue ++ Sighing respiration
Tingkat Kesadaran Agitasi ringan Berkooperasi Bereaksi hanya pada
rasa sakit atau tidak
responsive

2.2.5 Klasifikasi dan Etiologi


Tipe Septik Kardiogenik Distributif Hipovolemik Obstruktif
Syok
Karakteristik Infeksi Kegagalan 1.Kelainan Menurunnya CO rendah;
organisme jantung dalam saraf: jumlah sianosis;
melepaskan memompa Mengganggu cairan tekanan
toksin darah untuk keseimbangan menurunkan nadi rendah
yang memenuhi cairan CO;
mempengar kebutuhan sehingga asidosis
uhi tubuh memudahkan metabolic
distribusi terjadinya membuat
darah, asidosis volume
cardiac 2.Overdosis intravaskuler
output dosis obat berkurang
dan lainnya yang dan perfusi
mengganggu ke jaringan
distribusi menurun;
cairan gangguan
keseimbangan
elektrolit
Etiologi Bakteri Kardiomio- Anafilaksis Enteritis Tension
Virus pati Toxin Perdarahan pneumotorax
jamur Kongenital Reaksi Luka bakar Pericardial
Heart disease Alergi Diabetes tamponade
Ischemic insipidus
insult Defisiensi
Adrenal
2.2.6 Tanda dan Gejala
1 Sistem Kardiovaskuler
a Gangguan sirkulasi perifer mengakibatkan pucat, ekstremitas dingin.
Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan
penurunan tekanan darah. Nadi cepat dan halus.
b Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena
adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume
sirkulasi darah.
c Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
d CVP rendah.
2 Sistem Respirasi
a Pernapasan cepat dan dangkal.
3 Sistem saraf pusat
a Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah
rendah sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai
tidak sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin
bahwa gelisahnya pasien memang karena kesakitan.
4 Sistem Saluran Cerna
a Bisa trjadi mual dan muntah.
5 Sistem Saluran kemih
a Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa
adalah 60 ml/jam (0,5-1 ml/kg/jam). Pada anak 1-2ml/kg/jam.

2.3 SYOK HIPOVOLEMIK


Ini adalah syok yang paling umum ditemui, terjadi karena kekurungan volume
sirkulasi yang disebabkan karena kehilangan darah dan juga cairan tubuh. Kehilangan
darah dibagi menjadi dua yaitu perdarahan yang tampak dan tidak tampak.
Perdarahan yang tampak misal perdarahan dari luka dan hematemesis, sedangkan
perdarahan yang tak tampak misal perdarahan pada saluran cerna seperti perdarahan
tukak duodenum, cedera limpa, patah tulang. Kehilangan cairan terjadi pada luka
bakar yang luas dimana terjadi kehilangan cairan pada permukaan kulit yang hangus
atau terkumpul didalam kulit yang melepuh. Muntah hebat dan diare juga
mengakibatkan kehilangan banyak cairan intrvaskuler. Obstruksi ileus juga bisa
menyebabkan banyak kehingan cairan, juga pada sepsis berat dan peritonitis bisa
menyebabkan kehingan cairan.

2.3.1 Tanda dan Gejala


1 Anxietas, lemas, gangguan mental karena menurunya perfusi k eotak
2 HIpotensi karena menurunya volume sirkulasi
3 Nadi cepat, lemah karena penurunan aliran darah
4 Kulit dingin dan lembab karena vasokontriksi dan stimulasi kelenjar keringat
5 Oligouria karena vasokonstriksi arteri renalis
6 Pernafasan cepat dan dalam karena stimulasi saraf simpatis dan asidosis
7 Hipotermi karena menurunya perfusi dan penguapan keringat
8 Haus dan mulut kering karena kekurangan cairan
9 Lemah dan lelah karena inadekuat oksigenasi

2.3.2 Jenis cairan yang hilang


1 Darah
2 Plasma
3 Cairan ekstrasel

2.3.3 Penyebab
1 perdarahahn
2 luka bakar
3 cedera yang luas
4 dehidrasi
5 kehilangan cairan pada muntah, diare, ileus

2.3.4 Patofisiologi
Syok hipovolemik yaitu syok yang terjadi karena kekurangan sirkulasi
didalam pembuluh darah oleh berbagai sebab, berkurangnya sirkulasi ini
mengakibatkan darah yang kembali ke jantung melalui vena akan berkurang.
Akibatnya darah yang masuk ke atrium kanan juga menurun, sebagai kompensasi atas
hal ini frekuansi jantung akan meningkat untuk menyesuaikan agar perfusi sistemik
dapat dipenuhi. Gejalanya akan tampak tekanan darah sistolik menurun dan denyut
nadi yang cepat.
Menurunya perfusi sistemik mengakibatkan organ mengalami iskemia,
sehingga akan merubah siklus metabolic dari aerobic menjadi anaerobic dimana
siklus ini menghasilkan residu asam laktat, asam amino dan asam fosfat di jaringan.
Hal ini menimbulkan asidosis metabolic yang menyebabkan pecahnya membrane
lisosom sehingga menimbulkan kematian sel. Hipoksia dan asidosis metabolic juga
menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena pulmonalis, hal ini menimbulkan
peninggiian tahanan pulmonal yang mengganggu perfusi dan pengembangan paru.
Akibatnya dapat terjadi kolaps paru, kongesti pembuluh darah paru, edema interstisial
dan alveolar. Maka pada penderita dengan syok hipovolemik terlihat gangguan
pernafasan. Iskemia pada otak akan menimbulkan edema otak dengan segala
akibatnya. Pada ginjal, iskemia ini akan menyebabkan gagal ginjal.
Sebagai mekanisme kompensasi terhadap hipovolemia, cairan interstisial akan
masuk kedalam pembuluh darah sehingga hematokrit menurun. Karena cairan
interstisial jumlahnya berkurang akibat masuknya cairan tersebut kedalam ruang
intraseluler, maka penambahan cairan sangat mutlak diperlukan untuk memperbaiki
gangguan metabolik dan hemodinamik ini. Pada syok juga terjadi peninggian sekresi
kortisol 5-10 kali lipat. Kortisol mempunyai efek inotrofik positif pada jantung dan
memperbaiki metabolism karbohidrat, lemak dan protein. Sekresi renin dari sel-sel
juksta glomerulus ginjal meningkat sehingga pelepasan angiotensin I dan II juga
meningkat. Angiotensin II ialah vasokonstriktor yang kuat dan merangsang pelepasan
kalium oleh ginjal.
Meningginya sekresi norepinefrin akan mengakibatkan vasokonstriksi, selain
itu juga mempunyai sedikit efek inotropik positif pada miokardium. Efineprin
disekresikan hampir tiga kali lipat daripada norepinefrin, terutama menyebabkan
peninggian isi sekuncup dan denyut jantung. Kerja kedua katekolamin ini dipotensiasi
oleh aldosteron. Peninggian sekresi hormone antidiuretik (ADH) dari hipofisis
posterior mengakibatkan resorpsi air ditubulus distal meningkat.

2.4 SYOK DISTRIBUTIF


Syok distributif adalah syok yang terjadi karena kekurangan volume darah
yang bersifat relative, dalam artian jumlah darah didalam pembuluh darah cukup
namun terjadi dilatasi pembuluh darah sehingga seolah-olah volume darah didalam
pembuluh darah berkurang. Syok distributive ada 3 bentuk:
1. Syok septik: disebabkan karena infeksi yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah. Contoh infeksi karena bakteri gram negative seperti Escherichiacoli.
Tanda dan gejala shock septic:
Gejala sama dengan syok hipovolemik, namun untuk tahap syok septik diawali
dengan:
a demam atau suhu yang rendah, disebabkan oleh infeksi bakteri
b vasodilatasi dan peningkatan cardiac output

2. Syok anafilaktik: disebabkan karena reaksi anfilaktik terhadap allergen, antigen,


obat, benda asing yang menyebabkan pelepasan histamine yang menyebabkan
vasodilatasi. Juga memudahkan terjadinya hipotensi dan peningkatan permeabilitas
kapiler.
Tanda dan gejala syok anafilaktik :
a erupsi kulit dan
b edema local terutama pada muka
c nadi cepat dan lemah
d batu dan sesak nafas karena penyumbatan jalan nafas dan radang tenggorok

3. Syok neurogenik : ini adalah shock yang jarang terjadi. Disebabkan oleh trauma
pada medulla spinalis, terjadi kehilangan mendadak pada reflek otonom dan motorik
dibawah lesi. Tanpa adanya stimulasi simpatis, dinding pembuluh darah vasodilatasi
yang tak terkontrol, hasilnya penurunan resistensi pembuluh darah perifer sehingga
menyebabkan vasodilatasi dan hypotensi. Tanda dan gejala syok neurogenik sama
dengan syok hipovolemik.

2.5 SYOK OBSTRUKTIF


Terdapat penyumbatan yang menyebabkan aliran darah terganggu, pada
beberapa kondisi hal ini bisa menyebabkan timbulnya syok.
Contoh syok obstruktif
1 Cardiac tamponade : biasanya terjadi karena pericarditis yang menyebabkan
penimbunan cairan didalam rongga pericardium, cairan yang banyak menekan
jantung sehingga venus return menurun. Hal ini menyebabkan jantung tak
mampu mensuplai darah sesuai kebutuhan tubuh. Akibatnya tubuh bisa
kekurangan oksigen, terutama pada organ sehingga bisa menimbulkan shock
2 Tension pneumotorax : peningkatan tekanan intratorak sehingga venous return
terhambat, cardic output pun berkurang syok
3 Emboli massive paru : mengurangi aliran darah dari paru ke jantung, cardiac
output menurun syok
4 stenosis aorta : sebabkan aliran darah keluar dari ventrikel terhambat
perfusi berkurang syok
5 Tanda dan gejala sama dengan shock hypovolemic tapi ditambah dengan
6 peningkatan JVP
7 pulsus paradoksus karena tamponade jantung

2.6 SYOK KARDIOGENIK


Syok tipe ini adalah syok yang terjadi karena kagagalan efektivitas fungsi
pompa jantung. Hal ini disebabkan karena kerusakan otot jantung, paling sering yaitu
infark pada myocard. Syok kardiogenik juga bisa disebabkan aritmia. Syok ini jarang
terjadi pada anak-anak.
Tanda dan gejala syok kardiogenik sama dengan syok hipovolemik ditambah dengan:
1 Takikardi dengan nadi yang sangat lemah
2 Hepatomegali
3 Gallop
4 Murmur
5 Rasa berat di precordial
6 Kardiomegali
7 Hipertrofi jantung
8 Distensi V. Jugularis, dan peningkatan JVP
9 ECG abnormal

2.7 EVALUASI KLINIK


Untuk mengkategorikan dan menentukan penatalaksanaan yang tepat,
pertama-tama harus ditentukan tekanan darah sentral. Tujuan pengukuran tekanan
darah adalah untuk mengetahui perfusi organ-organ penting (otak dan jantung).
Kebutuhan tekanan darah minimum dapat ditentukan dengan mengetahui persentil
kelima dari tekanan darah sistolik pada anak sehat dan perfusi baik. American Heart
Association dengan PALS (Pediatric Advance Life Support) menentukan persentil
kelima dari tekanan darah anak-anak adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Tekanan darah sistolik pada anak (persentil kelima)
Umur Persentil kelima tekanan darah sistolik
Neonatus 60 mmHg
Bayi (1 bulan-1 tahun) 70 mmHg
Anak-anak (>1 tahun) 70+2x(umur dalam tahun)

Anak dengan perfusi yang buruk dan tekanan darahnya di bawah parameter
seperti tabel 1, dapat dikatakan menderita syok yang tidak terkompensasi. Keadaan
ini apabila tidak cepat ditangani maka akan mengarah kepada kerusakan organ dan
terjadi syok ireversibel bahkan kematian. Pada anak-anak dengan tekanan darah
sistoliknya masih adekuat, namun keadaan klinisnya syok, maka ini disebut sebagai
syok yang terkompensasi. Sehingga, apabila perfusi pada organ-organ vital seperti
jantung dan otak masih adekuat, namun organ vital lainnya mengalami hipoperfusi
dan rentan akan kerusakan, apabila tidak segera diberikan terapi maka keadaan ini
akan berlanjut menjadi syok yang tidak terkompensasi. Maka dalam menegakkan
diagnosis diperlukan banyak indikator untuk menentukan keadaan syok, antara lain :
1 Denyut jantung
Cardiac output dapat dipengaruhi oleh stroke volume dan heart rate, sehingga
apabila terjadi penurunan stroke volume maka tubuh akan berusaha mempertahankan
cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate. Namun, ada keadaan-keadaan
tertentu dimana heart rate tidak daat meningkat, yaitu pada blokade farmakologik dan
kerusakan neurologik.
Pasien pada tahap awal syok akan mengalami takikardi. Namun tanda ini
tidak signifikan pada anak-anak, karena anak-anak dapat mengalami takikardi pada
keadaan lain, seperti demam, nyeri dan agitasi. Namun demikian, diluar pengecualian
keadaan-keadaan tersebut, takikardi biasa muncul pada tahap awal dan merupakan
temuan yang penting pada syok yang terkompensasi maupun yang tidak
terkompensasi.
2 Perfusi kulit
Kulit dapat dianggap sebagi bagian yang non vital. Pasien yang memiliki
kemampuan untuk mengkompensasi penurunan DO2 dengan menarik darah dari
organ yang non vital (selain otak dan jantung), menunjukkan tanda-tanda penurunan
perfusi kulit. Hal ini dikenali dengan adanya tanda-tanda denyut nadi distal yang
menghilang, kulit akan teraba dingin dan pengisian ulang kapiler memanjang (>5
detik), yang pada keadaan normal biasanya dapat terisi dalam 2-3 detik. Cara
pengukuran pengisian ulang kapiler ini yaitu dengan menekan ujung jari(kuku)
hingga pucat (kurang lebih selama 5 detik), kemudian dilepas dan dihitung waktunya
pada saat ujung jari(kuku) menjadi merah kembali. Pada pasien dengan fase awal
syok distributif (anafilaksis, sepsis) akan terjadi vasodilatasi, sehingga kulit akan
teraba hangat, denyut nadi akan teraba kuat dan terdapat pengisian ulang kapiler yang
cepat (1-2 detik). Pada keadaan ini, perfusi kulit tidak dapat dipercaya untuk
menegakkan diagnosis, sehingga harus dicari gangguan metabolik lain seperti
lactoacidosis, hal ini dapat mendukung bahwa telah terjadi gangguan DO2.
3 Fungsi sistem organ lain
Pada ginjal dengan perfusi normal, dapat mengeluarkan 1-2 ml urin/kgBB/jam
atau lebih. Kerusakan ginjal dapat disebabkan karena kerusakan awal pada keadaan
iskemik-hipoksik, sehingga terjadi acute tubular necrosis (ATN). Sehingga dapat
dikatakan bahwa output urin tidak spesifik untuk menentukan kelayakan perfusi dan
volume intravaskuler.
4 Status asam basa
Adanya asidosis metabolik atau penurunan serum bikarbonat dapat membatu
untuk mendiagnosa syok. Asidosis metabolik dapat timbul karena hilangnya serum
bikarbonat seperti pada diare, yang dapat terjadi bersamaan dengan syok dan
dehidrasi. Dengan dilakukannya pengukuran level serum laktat, maka dapat diketahui
kehilangan bikarbonat akibat asidosis laktat karena syok

2.8 MONITORING
Monitoring yang dilakukan pada syok meliputi monitoring hemodinamik respirasi
dan metabolik. Yang harus di ketahui pada syok:
1 PaO2 -> diperlukan monitoring terutama pada PaO2 karena oksigenasi jaringan
2 Asam Laktat -> asam laktat meniggi pada sepsis hiperdinamik dan kelainan
enzim piruvat dehidrogenase. Asam laktat ini meninggi 12 jam setelah
terjadinya syok dan juga indikasi terjadinya MOSF
3 Indeks transport O2 -> dapat di catat dengan mengetahui kardiak indeks DO 2
dan VO2 yang harus di pertahankan di atas 2,1 l/mnt/m tubuh
4 Tekanan Vena sentral (CVP) -> penting untuk mengevakuasi syok sedini
mungkin.peninggian CVP dapat terjadi karena peninggian volume
intravaskuler, peninggian vasomotor, peninggian tekanan torakis dan
peninggian compliance dari ventrikel kanan
5 Tekanan darah -> evaluasi tekanan darah lebih bermakna dari pada hanya
sekali mengukur tekanan darah
6 Produksi urin -> produksi urin normal pada org dewasa 0,5 cc/kg/jam , pada
anak 1-2 cc/kg/jam
7 Pulse oksimeter -> Oksigenasi jaringan di tentukan oleh perfusi, kadar Hb dan
saturasi oksigen yang dapat di monitor dengan pulse oksimeter, digunakan
secara rutin untuk menilai syok.
Monitoring yang dilakukan:
1 Non Invasif: yakni memonitor tanda tanda vital, tekanan darah, nadi , PaO2,
jumlah urin, ECG, intake serta output.
2 Invasif: monitoring meliputi kateterisasi arteri, CVP, dan kateter pulmonalis.
3 Metabolik: asam laktat

2.9 TATALAKSANA SYOK


Pengenalan awal akan syok membutuhkan pemahaman tentang kebiasaan
anak yang normal dan keadaan anak yang memang menderita shock. Pucat ringan,
ekstremintas dingin, mengantuk ringan atau acuh terhadap sekitar, takikardia yang
taksesuai dan factor lain seperti cemas, demam dan hal lain yang penting sering
terabaikan. Oliguria adalah tanda yang penting, anak dengan trauma berat atau sepsis
membutuhkan pemasangan kateter untuk menghitung secara cermat cairan yang
keluar dan kebutuhancairan secara akurat. Nilai normal nadi dan tekanan darah
berbeda untuk tiap umur, terkadang nilai normal sering tak sesuai dengan panduan
ketika anak mengalami distress.
Pada tahap awal, syok memerlukan penanganan yang segera untuk
mempertahankan hidup, bagaimanapun penanganan shock tergantung seberapa cepat
untuk bisa mendapat pertolongan di rumah sakit.
Pertolongan awal syok:
1. Segera beri pertolongan, jika pasien masih sadar tempatkan dengan nyaman
2. Jika pasien sendiri, cari pertolongan, atau meminta seseorang mencari
pertolongan dan seseorang menjaga pasien
3. Pastikan jalan nafas dan pernafasan baik.
4. Lindungi pasien dengan jaket tapi jangan terlalu rapat agar tidak terjadi
vasodilatasi
5. Jangan beri minum
6. Siapkan untuk cardiopulmonary resuscitation
7. Berikan banyak informasi ketika ambulan datang

Tatalaksana syok dimulai dengan tindakan umum untuk memulihkan perfusi


jaringan dan oksigenasi sel. Tindakan ini tidak tergantung pada penyebab syok.
Diagnosa harus segera dibuat sehingga dapat diberikan pertolongan sesuai dengan
kausa.
Tujuan utama adalah mengembalikan perfusi dan oksigenasi terutama di otak,
jantung dan ginjal. Tanpa memandang etiologi syok, oksigenasi dan perfusi jaringan
dapat diperbaiki dengan memperhatikan 4 variabel ini:
1. Ventilasi dan oksigenasi ( Airway dan Breathing )
a. Memperbaiki jalan napas, ventilasi buatan dan oksigen 100%
b. Akses vena dan pemberian cairan diberikan bersamaan dengan oksigen
100%.
2. Curah jantung dan volume darah di sirkulasi ( Cirkulasi ). Resusitasi cairan
dan pemberian obat vasoaktif merupakan metode utama untuk
meningkatankan curah jantung dan mengembalikan. Perfusi organ vital.
a. Resusitasi cairan:
1) Pada syok hipovolemik apapun penyebabnya, resusitasi cairan dimulai
dengan cairan kristaloid (Rl atau garam fisiologis) sebanyak 20 ml/kg
secepatnya. Bila tidak terlihat perbaikan (frekuensi jantung masih
tinggi, perfusiperifer jelek, kesadaran belum membaik) dan dicurigai
masih terjadi hipovolemia diberikan lagi cairan yang sama sebanyak
20 ml/kg dan pasien dievaluasi kembali. Syok kardiogenik dan
obstruksi harus dipertimbangkan apabila tidak ada perbaikan setelah
resusitasi cairan. Sebagian besar pasien dengan syok hipovolemik akan
menunjukkan perbaikan terhadap pemberian cairan 40 ml/kg.
2) Pada syok septik, resusitasi cairan berguna untuk mengembalikan
volume intravaskular. Jenis cairan masih konroversial, cairan kristaloid
dapat menyebabkan edema paru akibat penurunan tekanan onkotik
intravaskular dan memperberat kebocoran kapiler. Sedangkan cairan
koloid, walaupun dapat mempertahankan tekanan onkotik pada
akhirnya dapat merembes ke ruang interstisial akibat hilangnya
integritas vaskular. Resusitasi pada syok septik memerlukan kombinasi
cairan kristaloid dan koloid untuk mengembalikan perfusi yang
adekuat.
3) Pada syok distributif, pemberian cairan kristaloid yang cepat telah
terbukti menyelamatkan jiwa pasien.
4) Pada syok endokrin gangguan yang terjadi diperbaiki. Hipotiroid
membutuhkan levothyroxine, pada hyperthyroid produksi hormon
thyroid dihambat oleh sitostatika seperti methimazole (tapazole) atau
PTU (propylthiouracil). Insufisiensi adrenal diobati dengan suplemen
kortikosteroid.
b. Obat vasoaktif
Ada beberapa obat yang dapat digunakan sebagai penunjang dalam
penanganan syok bila resusitasi cairan belum cukup untuk menstabilkan
system kardiovaskular. Obat inotropik meningkatan kontraktilitas miokard
dan obat kronotropik meningkatkan frekuensi jantung. Obat vasoaktif yang
paling banyak digunakan adalah golongan amin simpatomimetik yaitu
golongan katekolamin, epinefrin, norepinefrin, dopamine endogen,
dobutamin, dan isoproternol sintetis. Obat ini bekerja merangsang
adenilsiklase yang menyebabkan terjadinya sintetis AMP siklik, aktifasi
kinase protein, fosforilasi protein intrasel, dan peningkatan kalsium intrasel.
Obat tersebut bekerja memperbaiki tekanan darah dengan konsekuensi
peningkatan resistensi vaskuler dan penurunan aliran darah. Obat vasoaktif ini
diberikan bila pemberian cairan danoksigenasi alveolar telah maksimal.
Beberapa obat vasoaktif yang dapat diberikan berikut dosisnya dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini.
Dosis dan efek klinis beberapa obat vasoaktif
Obat Dosis Efek klinis
Dobutamin 2-20 g/kg/menit Memperbaiki konraktilitas miokard
Berguna pada gagal jantung dengan syok
Dopamine 2-20 g/kg/menit Dosis rendah (4-5 g/kg/menit):
memperbaiki aliran darah ginjal
Dosis tinggi: efek
Memperbaiki kontraktilitas miokard bila
dosis ditingkatkan
Efinefrin 0,05-1 g/kg/menit Dosis rendah: efek
Dosis tinggi: efek
Berguna bila dikombinasi dengan
dopamine dosis rendah
Norefinefrin 0,05-1 g/kg/menit Efek sangat kuat
Hipotensi refrakter
Amrinon 0,75-4 mg/kg/kali Kombinasi dengan katekolamin
5-20 g/kg/menit Memperbaiki fungsi miokard
Milrinon 50-75 g/kg/kali Kombinasi dengan katekolamin
0,5-1 g/kg/kali Memperbaiki fungsi miokard

Kapasitas angkut oksigen


1. Sebagian besar anak dengan syok tidak memerlukan transfusi darah, tetapi
kapasitas angkut oksigen diruang intravaskular harus cukup untuk memenuhi
kebutuhan oksigen jaringan.
2. Transfusi darah dipertimbangkan apabila tidak ada perbaikan setelah
pemberian cairan isotonik sebanyak 60mL/kg
3. Transfusi darah harus diberikan berdasarkan penilaian klinis an tidak
berdasarkan kadar hemoglobin
4. Pada anak dengan anemia kronis (anemia defisiensi) darah harus diberikan
dengan hati-hati. Pemberian tidak boleh melebihi 5-10mL/kg dalam 4 jam
untuk mencegah gagal jantung kongestif, kecuali bila proses kehilangan darah
masih berlangsung.
Kelainan yang mendasari
1. Pasien dengan syok septik memerlukan antibiotik segera
2. Pasien dengan syok hipovolemik dievaluasi terhadap kehilangan cairan
melalui saluran cerna atau perdarahan.
3. Syok kardiogenik mungkin memerlukan terapi farmakologis untuk
menurunkan afterload atau intervensi bedah untuk mengatasi obstruksi
4. Syok anafilaktik memerlukan epinefrin, eliminasi penyebab dan antihistamin.

2.10 TERAPI CAIRAN


Dalam tubuh, faal sel tergantung pada keseimbangan cairan dan elektrolit.
Jumlah air dalam tubuh harus di pertahankan dalam batas batas tertentu untuk
berlangsungnya metabolisme tubuh dengan baik. Tubuh manusia terdiri atas :
1. Lean body mass (tubuh tanpa lemak), yaitu air (73%), tulang, jaringan bukan
lemak.
2. Jaringan lemak

Cairan tubuh (60%) terdiri atas:


1. Cairan intraseluler 40%
2. Cairan ekstra seluler 20% :
a. cairan interstisial 15%
b. plasma darah 5%

Air masuk ke dalam tubuh terutama melalui penyerapan dari saluran


pencernaan. air meninggalkan tubuh terutama sebagai air kemih yang dikeluarkan
dari ginjal. ginjal bisa mengeluarkan sampai beberapa liter air kemih dalam sehari
atau dapat menahannya dengan membuang kurang dari 0,5 l air kemih dalam sehari.
Sekitar 1 liter air juga dibuang setiap harinya melalui penguapan dari kulit dan paru-
paru. keringat yang berlebihan (misalnya karena latihan berat atau cuaca panas), bisa
meningkatkan jumlah air yang hilang melalui penguapan.
Dalam keadaan normal, sedikit air dibuang melalui saluran pencernaan. Pada
muntah yang berkepanjangan atau diare yang berat, sebanyak 3,84 l air bisa hilang
melalui saluran pencernaan. Bila asupan cairan sesuai dengan cairan yang hilang,
cairan tubuh akan tetap seimbang. Untuk menjaga keseimbangan cairan, orang sehat
dengan fungsi ginjal yang normal dan tidak berkeringat berlebihan, harus minum
sedikitnya 1 l cairan/hari. Untuk mencegah dehidrasi dan pembentukan batu ginjal,
dianjurkan untuk minum cairan sebanyak 1,5-2 l/hari. Bila otak dan ginjal berfungsi
dengan baik, tubuh dapat mengatasi perubahan yang ekstrim dalam asupan cairan.
Seseorang biasanya dapat minum cairan yang cukup untuk menggantikan kehilangan
air yang berlebihan dan mempertahankan volume darah dan konsentrasi dari garam-
garam mineral yang terlarut (elektrolit) dalam darah. Jika seseorang tidak dapat
minum air yang cukup untuk menggantikan kehilangan air yang berlebihan (seperti
yang terjadi pada muntah berkelanjutan atau diare hebat), maka bisa mengalami
dehidrasi.
Jumlah air dalam tubuh berkaitan erat dengan jumlah elektrolit tubuh.
konsentrasi natrium darah merupakan indikator yang baik dari jumlah cairan dalam
tubuh. Tubuh berusaha untuk mempertahankan jumlah total cairan tubuh sehingga
kadar natrium darah tetap stabil. Jika kadar natrium terlalu tinggi, tubuh akan
menahan air untuk melarutkan kelebihan natrium, sehingga akan timbul rasa haus dan
lebih sedikit mengeluarkan air kemih. Sedangkan jika kadar natrium terlalu rendah,
ginjal mengeluarkan lebih banyak air untuk mengembalikan kadar natrium kembali
ke normal.

2.11 PEMBERIAN CAIRAN


2.11.1 Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid yang di gunakan biasanya NaCl 0,9% dan ringer laktat.
Cairan kristaloid akan menyebar cepat ke ekstraseluler. Menurut Dillon kehilangan
1cc darah harus di gantikan 3cc kristaloid. Akan tetapi menaiknya permeabilitas
kapiler pada syok juga dapat menyebabkan cairan kristaloid keluar dari pembuluh
darah. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar ini mempunyai maksud :
1. Larutan kristaloid dapat mengurangi gagal ginjal
2. Larutan kristaloid dapat mengurangi menurunnya fungsi paru secara progresif
secara cepat dari intravaskuler dan interstitial volume dari kristaloid 2-4 kali
lebih tinggi dari koloid yang di butuhkan untuk mempertahankan
hemodinamik , namun CVP ( central venous pressure ) menjadi berkurang dan
cairan berkumpuldi interstitial sehinggamenghambat oksigenasi jaringan,
memperlambat penyembuhan luka, mengurangi gerakan gastrointestinal dan
daya obstruksi. Pada syok hipovolemik cairan berkumpul, intra vascular, dan
pemberian cairan kristaloid dapat mengatasi deficit cairan, karena itu lebih
banyak di gunakan kristaloid daripada koloid karena di perlukan cairan terus
menerus.

Cairan Na+ K+ Cl- Ca++ HCO3 Tekanan


(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) osmotik
(mOsm/L)
Ringer 130 4 109 3 28* 273
Laktat
Ringer 130 4 109 3 28: 273
Asetat
NaCl 154 - 154 - - 308
0.9%

2.11.2 Cairan Koloid


Cairan koloid yang dapat di gunakan pada syok adalah hemasel, gelofusin,
dekstran 70, hespan, albumin 4,5% dan albumin 20%. Penggunaan cairan koloid yang
lebih besar di butuhkan untuk mempertahankan volume plasma untuk meningkatkan
fungsi kardiovaskuler dan oksigen konsumsi, begitu pula dengan cairan koloid dapat
di kurangi pengumpulan cairan interstitial dan cairan intravaskular.
Apabila permeabilitas cairan bertambah zat ini keluar dari intravascular dan
menyebabkan meningginya tekanan onkotik interstitialdan menyebabkan terjadinya
udem. Di samping itu koloid juga menghambat diuresis oleh karena itu masih
menjadi pertanyaan penggunaan cairan koloid karena bahayanya terutama bila
permeabilitas kapiler bertambah. Dalam keadaan kritis cairan koloid harus di berikan
sebanyak kristaloid, yang dapat merupakan cairan:
1. Albumin
2. Dekstran
3. Hemasel
4. HAS (Human Albumin Sollution)
1. Albumin
Albumin terdapat sebagai donor plasma. Albumin sama dengan
osmotic koloid plasma dengan masa tengah 10 15 hari. Dapat terjadi reaksi
anafilaktoid walaupun jarang dan tidak rutin di gunakan. Keadaan
hipoalbuminemi dapat bersamaan dengan hipovolemi, edema, dan ascites di
berikan albumin 20%.
2. Dekstran
Dekstran merupakan polimer polisakarida dalam dekstrosea 5% atau
NaCl 0,9% dengan berat molekul 40.000. dekstran dengan cepat di keluarkan
oleh ginjaldan dapat membentuk kompleks dengan fibrinogen sehingga
menyebabkan koagulopati. Dua bentuk dekstran : dekstran 40 dan dekstran
70. Dekstran 40 lebih sering di gunakan dan terdapat kemungkinan alergi.
3. Hemasel
Hemasel mengandung kalsium 10kali lebih banyak 6,3 mmol/l, dan
kalium 5,1mmol/l. pemberian dalam jumlah banyak tidak di anjurkan karena
menyebabkan defek koagulasi dan tidak mempengaruhi fungsi ginjal.
Pemberian dalam jumlah besar dalam bentuk gelatin kompleks dapat
menyebabkan kebocoran pada kapiler dan menyebabkan edema paru.
4. HAS ( Human Albumin Solution )
HAS di bebaskan melalui ginjal melalui hidrolisis dengan
amylase.HAS juga tersimpan dalam RES.

2.12 TERAPI FARMAKOLOGI


Obat-obatan inotropik dapat meningkatkan kontraktilitas miokard dan
memiliki berbagai macam efek pada resisten vaskular perifer. Obat-obatan inotropik
antara lain adalah vasokonstriktor (misalnya, epinefrin, norepinefrin), vasodilator
(misalnya, dobutamine, milrinon). Indikasi penggunaan obat-obatan ini adalah
apabila pasien memerlukan perbaikan fungsi kontraksi atau pada pasien dengan syok
yang tidak terkompensasi yang tidak respon hanya dengan terapi cairan.
1. Dopamin
Dopamin sering digunakan pada pasien dengan syok septik, baik
hanya dopamin saja maupun dikombinasi dengan obat inotropik lainnya.
Dopamin berguna dalam fungsi vasodilatornya untuk perfusi end-organ
seperti pembuluh darah di ginjal maupun di intestinal dengan dosis rendahnya
(2-5 mcg/kg/min IV). Pada dosis intermediet (5-10 mcg/kg/min IV) obat ini
dapat meningkatkan kontraktilitas miokard bersama dengan efek obat agonis-
beta1. Pada dosis tinggi (10-20 mcg/kg/min IV), obat ini dapat meningkatkan
vasokonstriksi perifer dan meningkatkan tekanan darah sentral.
2. Epinefrin
Epinefrin menstimulasi kedua reseptor alfa dan beta, sehingga dapat
meningkatkan kontraktilitas miokard dan meningkatkan vasokonstriksi
perifer. Dosis pemberian biasanya diawali dengan 0.1 mcg/kg/min IV. Pada
kasus berat, pasien dapat menerima 2-3 mcg/kg/min IV atau lebih.
3. Dobutamin
Dobutamin merupakan agen inotropik murni, dengan efek beta-1
agonis yang dapat meningkatkan kontraktilitas jantung. Obat ini juga dapat
memberikan efek beta-2 ringan, yaitu vasodilatasi perifer yang akan
mengurangi tahanan vaskuler sistemik dan afteload, juga dapat meningkatkan
perfusi jaringan. Karena itu, dobutamin merupakan obat yang cukup baik bagi
pasien dengan syok kardiogenik dengan tujuan untuk meningkatkan
kontraktilitas otot jantung. Dobutamin jarang menyebabkan disritmia
ventrikular dibandingkan dengan epinefrin. Dosis pemberian awal adalah 5
mcg/kg/menit IV dan dapat ditingkatkan perlahan-lahan hingga 20
mcg/kg.menit IV.
4. Norepinefrin
Norepinefrin merupakan agonis alfa yang dapat memberikan efek
vasokonstriksi perifer dan meningkatkan tahanan vaskular perifer. Efek utamanya
adalah sebagai pressor agent untuk meningkatkan tekanan darah di sekitar muka pada
keadaan syok setelah diberikan terapi cairan.
Beberapa ahli menyarankan untuk mengkombinasi norepinefrin dengan
dobutamin untuk mendapatkan efek vasokonstriksi melalui reseptor alfa dan
mendapatkan efek peningkatan kontraktilitas otot jantung. Penggunaan norepinefrin
diawali dengan dosis 0.1 mcg/kg/menit IV.
5. Glukosa
Bayi dan anak-anak memiliki simpanan glikogen yang terbatas yang
dapat cepat berkurang pada keadaan syok sehingga terjadi hipoglikemia.
Karena glukosa merupakan substrat yang penting, maka harus segera
dilakukan pemeriksaan kadar glukosa pada pasien syok. Apabila didapatkan
kadar gula yang rendah maka berikan dextrosa IV. Dosis pemberian dextrose
adalah 0.5-1 gr/kg IV. Dextrosa sangat baik diberikan secara IV.
Table 3. Vasoactive Drugs in Sepsis and Usual Hemodynamic Responses
Drug Dose Cardiac Blood Systemic Vascular
Output Pressure Resistance
Dopamine 2.5-20 + + +
mcg/kg/min
Norepinephrine 0.05-2 + ++ ++
mcg/kg/min
Epinephrine 0.05-2 ++ ++ +
mcg/kg/min

Phenylephrine 2-10 - ++ ++
mcg/kg/min
Dobutamine 2.5-10 + +/- -
mcg/kg/min

6. Sodium Bikarbonat
Penggunaan sodium bikarbonat dalam penatalaksanaan syok masih
kontroversial. Dalam keadaan syok, terjadi asidosis yang akan mengganggu
kontraktilitas miokardium dan fungsi optimal dari katekolamin. Namun,
pemberian bikarbonat akan memperburuk keadaan asidosis intraselular karena
sodum bikarbonat hanya mengkoreksi asidosis serum. Hal ini disebabkan
karena ion bikarbonat tidak dapat melewati membran sel semipermiabel.
Sehingga, asidosis dalam serum ditambah dengan bikarbonat akan
menyebabkan produksi karbondioksida dan air, seperti yang terdapat pada
persamaan Henderson-Hasselbach. Apabila karbondioksida yang meningkat
tidak dikeluarkan melalui ventilasi, maka karbondioksida ini akan masuk ke
dalam sel dan terjadi reaksi Henderson-Hasselbach namun dalam arah yang
sebaliknya dan meningkatkan asidosis intraselular. Asidosis intraselular ini
akan menyebabkan penurunan kontraktilitas otot jantung (Cingolan, 1985;
Pannier,1968). Selain itu, pemberian bikarbonat akan menyebabkan
hipernatremia dan hiperosmolalitas. Oleh karena itu, asidosis yang terjadi
pada keadaan syok dapt dikoreksi dengan meningkatkan perfusi dengan
pemberian cairan tambahan dan penggunaan obat-obatan kardiotropik
dibarengi dengan ventilasi yang optimal. Pada pasien dengan syok persisten
dengan kehilangan bicarbonat yang terus menerus (misalnya pada diare),
pemberian bikarbonat secara hati-hati dapat diindikasikan.
Pemberian bikarbonat dapat dihitung sebagai berikut :
HCO3- (mEq) = Defisit basa x berat badan pasien (kg) x 0,3
Jumlah pemberian awal merupakan setengah dari hasil hitungan di atas
dan dapat diulangi sambil memantau perkembangan pasien. Atau, bikarbonat
dapat juga diberikan 0.5-1 mEq/kg/dosis IV selama 1-2 menit. Penelitian pada
pasien dengan cardiovascular arrest, gagal untuk menunjukkan perbaikan
setelah diberikan terapi bikarbonat.
7. Kalsium
Kalsium merupakan mediator coupling reaksi eksitasi-kontraksi dalam
sel, termasuk sel jantung. Syok dapat menyebabkan perubahan dalam kadar
ion kalsium serum. Pemberian produk darah (yang mengandung sitrat) dapat
mengikat kalsium bebas, sehingga dapat menyebabkan penurunan kadar
kalsium. Karena itu, pemberian kalsium berguna pada pasien syok dengan
hipkalsemia. Pemberian kalsium juga diindikasikan untuk pasien syok yang
disebabkan oleh aritmia akibat hiperkalemia, hipermagnesemia, atau toksisitas
calcium channel bloker. Kalsium dapat diberikan dalam bentuk kalsium
glukonat atau kalsium klorida. Kalsium klorida merupakan obat terpilih pada
kasus syok, karena kalsium klorida memiliki efek yang dapat lebih
meninggikan dan mempertahankan kadar kalsium dalam darah. Dosis yang
direkomendasikan adalah 10-20mg/kg (0,1- 0,2 ml/kg kalsium klorida 10%)
IV, dimasukan bersama cairan ifus dengan kecepatan tetesan tidak lebih dari
100mg/menit IV.

2.13 PAT (PEDIATRIC ASSESSMENT TRIANGLE)

Tiga komponen PAT adalah penampilan anak, upaya napas, dan sirkulasi kulit.
1. Penampilan anak
Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda tides meliputi
penilaian tonus (T=tone), interaksi (I=interactive), konsolabilitas
(C=consolability), cara melihat (L=look/gaze) dan berbicara atau menangis
(S=speech/cry).
Tabel 2.1. Penilaian dengan metode Ticles (TICLS)
Karakteristik Hal yang dinilai
Tone Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan
dengan kuat? Apakah tonus ototnya baik atau lumpuh?
Interactiveness Bagaimana kesadarannya? Apakah suara
mempengaruhinya? Apakah dia mau bermain dengan
mainan atau alat pemeriksaan? Apa anak tidak bersemangat
berinteraksi dengan pengasuh atau pemeriksa?
Consolability Apakah dia dapat ditenangkan oleh pengasuh atau
pemeriksa? Atau anak menangis terus atau terlihat agitas
sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut?
Look/gaze Apakah memfokuskan penglihatan pada muka? Atau
pandangan kosong?
Speech/cry Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat atau
lemah atau parau?

2. Upaya napas
Karakteristik hal yang dinilai adalah suara napas yang tidak normal, posisi
tubuh yang tidak normal, retraksi, dan cuping hidung.

Tabel 2.2. Penilaian upaya nafas


Karakteristik Hal yang dinilai
Suara napas yang tidak normal Mengorok, parau, stridor, merintih, mengi
Posisi tubuh yang tidak normal Sniffing, tripoding, menolak berbaring
Retraksi Supraklavikula, interkosta, substernal, head
bobbing
Cuping hidung Napas cuping hidung
3. Sirkulasi kulit
Hal yang dinilai adalah pucat, mottling, dan sianosis.
Tabel 2.3. Penilaian sirkulasi kulit
Karakteristik Hal yang dinilai
Pucat Kulit atau mukosa tampak kurang merah
karena kurangnya aliran darah ke daerah
tersebut
Mottling Kulit berbercak kebiruan akibat vasokonstriksi
Sianosis Kulit dan mukosa tampak biru

Secara ringkas penerapan PAT dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Penampilan (Normal) Upaya napas ( ) Distress


pernapasan
Sirkulasi kulit (Normal)

Penampilan (Abnormal) Upaya napas ( / ) Gagal


napas
Sirkulasi kulit (Normal/ )

Penampilan (Abnormal) Upaya napas (Normal) Syok

Sirkulasi kulit ( )
Penampilan (Abnormal) Upaya napas (Normal) Gangguan
metabolik atau
Sirkulasi kulit (Normal) gangguan primer
susunan syaraf
pusat
Gambar 2.1 Penggunaan PAT secara ringkas

BAB III
ANALISIS MASALAH

Laporan kasus An. CRA, perempuan, 5 tahun dengan diagnosis Dengue Shock
Syndrome (DSS). Pada saat di IRD, dilakukan Pediatric Assessment Triangle (PAT)
pada pasien, didapatkan:
1. Appeareance
o Tonus : Pasien bisa bergerak secara spontan
o Interactiveness : Pasien gelisah, kurang memberikan respon ke
lingkungan sekitar
o Consolability : Pasien tampak gelisah
o Look/Gaze : Tidak kontak mata dengan pemeriksa
o Speech/Cry : masih bisa berbicara spontan
2. Work of Breathing
o Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-), Stridor (-),
Grunting (-), Wheezing (-)
o Abnormal Positioning : Sniffing position (-), Tripoding (-),
Prefers seated posture (-)
o Retractions : SC (-), IC (-), SS (-), E (-)
o Flaring : (-)
3. Circulation to Skin
o Pallor : Ya
o Mottling : Tidak
o Sianosis : Tidak

Dari pemeriksaan PAT yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
syok didapatkan dari gangguan pada tampilan umum di mana tampak penurunan
kesadaran, pasien gelisah, sesak napas, dan gangguan pada sirkulasi dimana pasien
tampak pucat. Setelah pemeriksaan PAT secara umum, dilakukan pemeriksaan
survey primer seperti berikut:
1. Evaluasi tanda vital : TD 100/80 mmHg, Nadi 130 x/menit dengan
isi dan tegangan kurang, frekuensi napas 30
x/menit, suhu tubuh 36,6oC
2. Penilaian Airway : Bebas, tidak ada obstruksi jalan napas, bunyi
napas abnormal seperti stridor tidak ada
3. Penilaian Breathing : Nafas spontan (+), adekuat, sesak (+), napas
cuping hidung (-), retraksi iga/intrasternal (-),
dada simetris dan dinamis. Bunyi paru
vesikuler
(+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
4. Penilaian Circulation : Nadi teraba lemah, teratur, kualitas kurang,
frekuensi 130 x/menit, perdarahan (-), petekie
(+) pada ekstremitas, akral dingin (+), CRT
4 detik
5. Penilaian Disability : PCS (pediatric coma scales) 11 (E4M5V4).
6. Penilaian Exposure : Luka di ekstremitas (-).

Dari survey primer, didapatkan situasi di mana pasien mengalami


syok.
Secara klinis, syok terbagi ke dalam 3 fase, yaitu:
Gejala Klinis Kompensasi Dekompensasi Irreversibel
Kehilangan Darah 25% 25-40% > 40%
Frekuensi Jantung Takikardia + Takikardia ++ Takikardia/Bradikardi
Volume Nadi Normal/Menurun Menurun + Menurun ++
Pengisian Kapiler Normal/Meningka Meningkat + Meningkat ++
t
Kulit Dingin, pucat Dingin, mottled Pucat mati
RR Takipnue + Takipnue ++ Sighing respiration
Tingkat Kesadaran Agitasi ringan Berkooperasi Bereaksi hanya pada
rasa sakit atau tidak
responsive

Berdasarkan gejala klinisnya, anak ini telah mengalami syok fase kompensasi
yang membutuhkan penatalaksanaan segera untuk mencegah terjadi perburukan.
Tatalaksana syok awal:
o O2 2L/menit via nasal kanul
o IVFD RL 20 cc/kgBB 400 cc dalam waktu secepatnya kemudian evaluasi,
lanjutkan dengan IVFD RL 10 cc/kgBB 200 cc/jam (50 tetes/menit, makro)
evaluasi ulang tanda-tanda vital, kemudian resusitasi cairan diturunkan bertahap
sesuai kondisi
o Observasi tanda vital dan diuresis/jam
o Cek Hb, Ht, Trombosit, PT, apTT, SGOT, SGPT, CRP, ureum, kreatinin, elektrolit

Setelah dilakukan tatalaksana awal, maka dilakukan secondary survey di


mana didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan gejala-gejala yang timbul pada anak tersebut, mengindikasikan bahwa
anak tersebut mengalami syok akibat demam berdarah dengue atau Dengue Shock
Syndrome (DSS) berdasarkan kriteria WHO, yaitu:
1. Demam akut terus menerus selama 2-7 hari pada pasien selama 4 hari
2. Adanya minimal satu dari manifestasi perdarahan (uji torniquet positif,
ekimosis, purpura, petechie, perdarahan pada mukosa, hematemesis,
melena) pada pasien uji torniquet positif
3. Pembesaran hati pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan hepar yang
membesar
4. Syok, yang ditandai oleh nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,
penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg), penurunan tekanan darah
hingga tidak terukur, akral dingin, kulit lembab, CRT > 2 detik, dan
pasien tampak gelisah pada pasien ditemukan keadaan umum gelisah,
lethargi, nadi cepat (130 x/menit) dan lemah, CRT 3 detik serta akral
dingin.
5. Kriteria laboratorium :
Trombositopenia (< 100.000/mm3) pada pasien Trombosit pertama
diperiksa 23.000/mm3
Hemokonsentrasi (> 20%) pada pasien Ht tertinggi adalah 50%
dan Ht terendah adalah 36 %
HT = Ht tertinggi Ht terendah x 100%
Ht terendah
= 50-36 x 100% = 38,89 %
36
Uji serologis, Dengue IgM positif, Dengue IgG positif

Berdasarkan gejala klinis, laboratorium, dan uji serologis pasien ini


masuk kriteria Dengue Shock Syndrome (DSS). Kemudian segera dilakukan
resusitasi dan dirawat inap hingga kondisi pasien stabil. Adapun komplikasi
yang bisa terjadi pada pasien ini adalah perdarahan massif, edema paru,
kegagalan jantung dan ensefalopati dengue.
Prognosis pada pasien DSS tergantung dari beberapa faktor,
berdasarkan pemantauan yang dilakukan pada pasien ini, prognosisnya dubia
ad bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Noisakran, S and Perng, G.C. 2008. Alternate hypothesis on the pathogenesis


of dengue hemorrhagic fever (DHF)/dengue shock syndrome (DSS) in dengue
virus infection. Exp Biol Med,. 233(4):401-8.
2. Tantracheewathorn, T and Tantracheewathorn, S. 2007. Risk factors of dengue
shock syndrome in children. J Med Assoc Thai., 90(2):272-7.
3. WHO. 2013. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock
Syndrome in The Context of Integrated Management of childhood Illness.
WHO/FCH/CAH/05.13.
4. Wahono TD., dkk. Demam Berdarah Dengue. Available at ; http://www.dkk-
bpp.com
5. Rampengan T.H., Laurentz I.R. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p.136-157
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985. p.607-21.
7. Behrman RE., et.al. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.Saunders,
Philadelphia.2004
8. Diktat Penyakit Infeksi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar. 2003. p. 39-57.
9. World Health Orgonization. Dengue hemorhagic Fever: Diagnosis, treatment,
prevention, and control. 2nd ed. Geneva: World Health Organization
Publication; l997.
10. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7.

Anda mungkin juga menyukai