Anda di halaman 1dari 8

Alergi merupakan sensitifitas abnormal terhadap substansi tertentu seperti

pollen, makanan atau mikroorganisme. Indikasi umum dari alergi di antaranya


adalah bersin, gatal dan ruam kulit. Reaksi yang berat dikenal sebagai syok
anafilaktik yang dapat mengancam nyawa karena bisa terjadi konstriksi jalan
nafas dan hipotensi ekstrem. Histamin merupakan salah satu pendukung reaksi
alergi tersebut. (Dewoto HR)

Pada manusia, histamin merupakan Selain berperan sebagai mediator


penting pada reaksi alergi tipe segera dan reaksi inflamasi, histamin juga terlibat
dalam sekresi asam lambung serta sebagai neurotransmiter maupun
neuromodulator.

Efek-efek yang ditimbulkan oleh histamin adalah sebagai berikut :

a. Sistem kardiovaskular

- Dilatasi kapiler. Histamin dapat menyebabkan dilatasi kapiler (baik


arteriol maupun venul) dengan akibat kemerahan dan rasa panas
pada wajah (blushing area), menurunnya resistensi perifer dan
tekanan darah.

- Meningkatkan permeabilitas kapiler. Ini merupakan efek sekunder


yang menyebabkan protein dan cairan plasma keluar ke ruang
ekstrasel dan menimbulkan edema.

- Triple response Lewis. Apabila disuntikan, histamin akan


menyebabkan tiga hal yaitu bercak merah setempat, flare
(kemerahan yang lebih terang dengan bentuk tidak teratur 1-3cm
sekitar bercak awal), dan edema setempat.

- Pembuluh darah besar. Histamin justru cenderung menyebabkan


konstriksi pembuluh darah besar yang intensitasnya berbeda antar
spesies.
- Jantung. Histamin mempengaruhi langsung kontraktilitas dan
elektrisitas jantung. Pemberian histamin sebagai obat dapat
mempercepat depolarisasi diastol di nodus SA sehingga frekuensi
denyut jantung meningkat. Juga, memperlambat konduksi AV,
meningkatkan automoatisitas sehingga pada dosis tinggi dapat
menyebabkan aritmia.

- Tekanan darah. Penurunan resistensi perifer dapat menyebabkan


penurunan tekanan darah.

b. Otot Polos Non-Vaskular

Jika berikatan dengan reseptor H1, Histamin akan menyebabkan


kontraksi otot polos sedangkan aktivasi reseptor H2 akan
menyebabkan relaksasi otot polos. Pada pasien asma dan penyakit
paru, dapat terjadi bronkokonstriksi akibat histamin.

c. Kelenjar Eksokrin

- Kelenjar lambung. Perangsangan langsung pada sel parietal


melalui reseptor H2 akan memicu sekresi asam lambung oleh
histamin.

- Kelenjar lain. Histamin meninggikan sekresi kelenjar liur,


pankreas, bronkus dan air mata tetapi umumnya efek ini lemah dan
tidak tetap.

d. Ujung Saraf Sensoris

Histamin dapat menstimulasi rasa nyeri dan gatal. Flare pada


histamin disebabkan oleh pengaruhnya pada ujung saraf yang
menimbulkan refleks akson. Hal tersebut merupakan kerja histamin
merangsang reseptor H1 di ujung saraf sensoris.
e. Medula adrenal dan ganglia

Selain merangsang ujung saraf sensoris, histamin dosis besar juga


langsung merangsang sel kromafin medula adrenal dan sel ganglion
otonom. Pada pasien feokromositomia, pemberian histamin IV akan
meningkatkan tekanan darah.

Anti Histamin (AH1)

Anti histamin yang digunakan sebagai anti alergi adalah golongan


antagonis reseptor H1 atau AH1. Secara farmakodinamik, AH1 dapat
menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam otot
polos. AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain
yang disertai pelepasan histamin endogen berlebihan. Bronkokonstriksi,
peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin dapat dihambat
dengan baik.

Mekanisme aksi dari antihistamin diantaranya adalah:

- Mengeblok kerja histamin pada reseptornya


- Berkompetisi dengan histamin untuk mengikat reseptor yang masih
kosong. Jika histamin sudah terikat, antihistamin tidak bisa
memindahkan histamin.
- Pengikatan AH1 mencegah efek merugikan akibat stimulasi
histamin seperti vasodilatasi, peningkatan sekret gastrointestinal
dan respirasi serta peningkatan permeabilitas kapiler.

Antihistamin dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu

1. Generasi 1 atau antihistamin tradisional


2. Generasi 2 atau antihistamin non sedatif

Obat generasi pertama merupakan obat yang dapat bekerja baik secara
perifer maupun sentral. Efek antikolinergiknya lebih besar dibandingkan dengan
agen nonsedatif. Penghambatan SSP akibat AH1 dapat bermanifestasi sebagai
gejala mengantuk, maupun kewaspadaan turun. Contohnya adalah difenhidramin
(Benadryl), chlorpheniramine (Chlor-Trimeton), Ethylenediamines, piperazin,
phenothiazines, piperadines.

Obat generasi 2 merupakan anti histamin non sedatif yang dikembangkan


untuk mengeliminasi efek samping sedasi dari obat generasi pertama. Obat ini
berukuran besar dan tidak bersifat lipofilik sehingga tidak bisa menembus BBB.
Dengan begitu, efek ke sistem saraf pusatnya lebih kecil. Dibandingkan generasi
1, obat ini memiliki durasi kerja yang lebih lama dan memiliki spesifisitas
reseptor H1 dan atau H2 untuk menekan efek histamin. Contohnya adalah
fexofenadine dan loratidine.

Banyak AH1 yang bersifat mirip atropin. Efek yang muncul pada beberapa
pasien di antaranya adalah mulut kering, kesukaran miksi, dan impotensi.
Namun,ada juga yang tidak berpengaruh terhadap reseptor muskarinik seperti
terfenadin dan astemizol.

Dalam dosis terapi, AH1 tidak menimbulkan efek berarti pada sistem
kardiovaskular. Selain sebagai antihistamin, AH1 dengan dosis yang tinggi juga
bisa berfungsi sebagai anestetik lokal seperti prometazin dan pirilamin.

Intensitas Efek Beberapa Antihistamin


Efek
Golongan Efek Samping
Saluran Cerna
Antihistamin Sedatif Atikolinergik Antiemetik
1. Etanolamin +sd++ +sd+++ +++ ++sd+++ +
2. Etilendiamin +sd++ +sd++ - - +++
3. Alkilamin ++sd+++ +sd++ ++ - +
4. Piperazin ++sd+++ +sd+++ + +++ +
5. Fenotiazin +sd+++ +++ +++ ++++ -
6. Antihistamin ++sd+++ -sd+ -sd+ - -
nonsedatif

sd = sampai dengan

- = tidak ada
+sd+++ = menggambarkan tingginya intensitas efek secara relative

Farmakokinetik

AH1 dapat diabsorpsi dengan baik secara parenteral maupun oral. Efek
timbul dalam 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam.
Lama kerja antihistamin generasi I setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6
jam, sedangkan beberapa derivat piperazin seperti meklizin dan hidroksizin
memiliki masa kerja yang lebih panjang seperti juga umumnya antihistamin
generasi II.

Indikasi

Indikasi pemberian AH1 adalah untuk pengobatan simpatomimatik


berbagai alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.

Penyakit alergi

AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut seperti polinosis
dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi dan menghambat efek histamin
yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak berpengaruh
terhadap intensitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan penyebab berbagai
gangguan alergik. Keadaan tersebut hanya dapat diatasi dengan menghindari
alergen, desensitisasi atau menekan efek tersebut dengan kortikosteroid.

Untuk asma bronkial terutama yang disebabkan oleh SRS-A atau


leukotrien, AH1 saja tidak efektif. AH1 efektif jika digunakan sebagai profilaksis
pada asma bronkial yang ringan. Untuk asma bronkial yang berat, aminofilin,
epinefrin, dan isoproterenol merupakan pemilihan utama. Pada reaksi anafilaktik,
AH1 merupakan tambahan dari epinefrin sebagai pilihan utama.
AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore, dan gatal pada mata, hidung dan
tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 efektif terhadap alergi yang
disebabkan oleh debu, tetapi kurang efektif bila jumlah debu banyak dan
kontaknya lama. Pada urtikaria akut, AH1 cukup efektif meskipun pada urtikaria
kronis hasilnya kurang baik. Terkadang, AH1 juga digunakan dalam menangani
dermatitis atopik, dermatitis kontak dan gigitan serangga.

Selain sebagai obat alergi, AH1 juga digunakan untuk mengatasi mabuk
perjalanan. Contoh obat yang digunakan adalah difenhidramin, dimenhidrinat,
derivat piperazin dan prometazin. AH1 dapat memberikan antikolinergik yang
kuat. Untuk mencegah mabuk kendaraan, AH1 diberikan setengah jam sebelum
berangkat.

Efek samping

Efek samping yang disebabkan oleh penggunaan AH1 dapat muncul pada
dosis terapi meskipun jarang yang bersifat serius dan bisa hilang bila pengobatan
diteruskan. Toleransi individu juga bisa berbeda-beda terhadap munculnya efek
samping. Efek tersering adalah sedasi, yang kadang justru berguna supaya pasien
dapat beristirahat. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain ternyata
dapat mengurangi efek sedasi ini.

Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 adalah vertigo,
tinitus, lelah, penat, inkordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah,
insomnia, dan tremor. Efek samping lain yang sering muncul adalah nafsu makan
berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare. Efek
samping tersebut dapat berkurang apabila diberikan sewaktu makan. Penggunaan
astemizol, suatu antihistamin non sedatif, lebih dari 2 minggu dapat menyebabkan
bertambahnya nafsu makan dan berat badan.

Efek samping lain yang mungkin muncul oleh AH1 adalah mulut kering,
disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.
Insiden efek samping karena efek antikolinergik lebih sedikit pada pasien yang
mendapatkan antihistamin nonsedatif.

Pemberian terfenadin atau astemizol dosis terapi bersama ketokonazol,


itrakonazol atau antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin dapat
mengakibatkan perpanjangan interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia
ventrikel (torsades de pointes). Keadaan tersebut disebabkan karena antimikroba
tersebut menghambat metabolisme terfenadin atau astemizol oleh enzim CYP3A4
sehingga kadar antihistamin dalam darah naik.

Selain memberikan efek samping, terdapat juga laporan mengenai kasus


keracunan AH1. Efek sentral AH1 pada anak dapat berupa perangsangan dengan
manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis, dan kejang.

Antialergi Lain

AH1 tidak sepenuhnya efektif untuk pengobatan simptomatik reaksi


hipersensitivitas akut, Hal tersebut disebabkan oleh fungsi histamin yang
sebenarnya merupakan pemacu untuk dibentuk dan dilepaskannya autakoid lain
(seperti peptida endogen, prostaglandin, leukotrien). Selanjutnya, histamin dan
autakoid lain ini bersama-sama menimbulkan gejala alergi. Pengobatan alergi
biasanya lebih terkait dengan penggunaan antagonis fisiologis tidak tertuju pada
penyebabnya. Salah satu terapi hipersensitivitas lain ialah secara profilaksis yaitu
menghambat produksi atau pelepasan autakoid dari sel mast dan basofil yang telah
tersensitisasi oleh antigen spesifik.

a. Natrium Kromolin

Kromolin merupakan obat penghambat histamin dari sel mast paru-


paru dan tempat-tempat tertentu, yang diinduksi oleh antigen.
Kromolin tidak merelaksasi bronkus atau otot polos lain. Kromolin
menghambat pelepasan histamin dan autakoid lain termasuk leukotrien
dari paru-paru manusia pada proses alergi yang diperantarai IgE.
Penghambatan leukotrien bermanfaat untuk mengurangi
bronkokonstriksi terutama pada pasien asma bronkial. Kromolin tidak
menghambat ikatan IgE dengan sel mast atau interaksi antara
kompleks sel IgE dengan antigen spesifik, tetapi menekan respons
sekresi akibat reaksi tersebut.

Kromolin diberikan secara inhalasi pada pasien asma bronkial.


Kromolin jarang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan meskipun
digunakan bertahun-tahun. Reaksi tersering berkaitan dengan efek
iritasi bubuk halus kromolin pada paru-paru berupa bronkospasme,
batuk, kongesti, hidung, iritasi faring dan wheezing. Kadang timbul
pusing, disuria, bengkak, nyeri sendi, mual sakit kepala, dan
kemerahan kulit. Gejala yang lebih serius dapat berupa edema laring,
angioderma, urtikaria dan anafilaksis.

b. Nedokromil

Nedokromil menghambat pelepasan mediator dari sel mast bronkus


dan diindikasikan untuk mencegah serangan asma pada pasien dengan
asma bronkial ringan sampai sedang. Nedokromil hanya diindikasikan
pada pasien asma di usia lebih dari 12 tahun dan diberikan secara
inhalasi/semprotan.

c. Ketotifen

Ketotifen bersifat antianafilaktik, karena menghambat pelepasan


histamin. Ketotifen fumarat diabsorpsi dari saluran cerna. Bentuk utuh
dan metabolitnya diekskresi bersama urin dan tinja. Indikasi
pemberiannya adalah untuk profilaksis asma bronkial. Efek samping
yang dapat muncul sama dengan efek samping dari AH1.

Anda mungkin juga menyukai