Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

GANGGUAN JIWA PADA ANAK DAN REMAJA

OLEH:

1. Afridapuspita (201601001)

2. Anastasia Yuliawati (201601002)

3. Puri Rahayu (201601022)

4. Sheryl Theo Vanny (201601026)

5. Yossi Mei Kartika (201601034)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KATOLIK

ST.VINCENTIUS A PAULO

SURABAYA

2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Interaksi komunikasi merupakan salah satu modal bagi sesorang untuk

memperoleh informasi melalui lingkungan dan orang sekitar. Jika seseorag

mengalami hambatan dalam interaksi dan berkomunikasi maka akan sangat

berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan seseorang.

Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami peningkatan. Dalam

penelitian yang dirangkum Synopsis of Psychiatry awal 1990-an, kasus autisme

masih berkisar pada perbandingan 1 : 2.000. Angka ini meningkat di tahun 2000

dalam catatan Sutism Research Institute di Amerika Serikat sebanyak 1 dari 150

anak punya kecenderungan menderita autis. Di Inggris, datanya lebih

mengkhawatirkan. Di sana berdasarkan data International Congress on Autism

tahun 2006 tercatat 1 dari 130 anak punya kecenderungan autis.

Di Indonesia sering kali cukup sulit mendapatkan data penderita auitis, ini

karena orangtua anak yang dicurigai mengidap autisme seringkali tidak menyadari

gejala-gejala autisme pada anak. Akibatnya, mereka merujuknya ke pintu lain di

RS.

Autisme adalah gangguan komplek perkembangan pada fungsi otak yang di

sertai dengan defisit intelektual dan perilaku dalam rentang dan keparahan yang

luas autisme dimanifestasikan selama masa bayi dan awal masa kanak kanak teruma

sejak usia 18-30 bulan. Sekitar 40 lebih sering pada laki laki di banding perempuan
(biasanya perempuan lebih parah tidak berhuungan dengan tingkat sosial ekonomi,

ras, gaya hidup orang tua).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarakan latar belakang di atas, rumusan masalah yang muncul adalah

sebagai berikut:

1) Apa pegertian dari autisme ?

2) Apa penyebab dari anak autisme ?

3) Apa saja klasifikasi dari anak autisme ?

4) Apa saja tanda dan gejala dari anak autisme ?

5) Apa saja penatalaksanaan dari autisme ?

6) Bagaimana cara melakukan pengkajian dari autisme ?

7) Bagaimana diagnosa keperawatan pada anak autisme ?

8) Apa saja intervensi dan tindakan yang akan dilakukan pada anak autisme ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1) Mengetahui pengertian dari autisme

2) Mengetahui penyebab dari autisme

3) Mengetahui klasifikasi dari anak autisme

4) Mengetahui tanda dan gejala dari anak autisme

5) Mengetahui penatalaksanaan dari anak autisme

6) Mengetahui cara pengkajian dari anak autisme.

7) Mengetahui diagnosa keperawatan pada anak autisme.

8) Mengetahui intervensi dan tindakan pada anaka autisme.


BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Autisme

Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme

seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan oleh

Leo Kanner sejak tahun 1943 (Handojo, 2008).

Autisme bukan suatu gejala penyakit, tetapi berupa sindroma (kumpulan

gejala) yang terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa,

dan kepedulian terhadap sekitar (Yatim, 2003). Autisme masa kanak-kanak dini

adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada

bayi tidak terlihat tanda dan gejala. Menurut kamus psikologi, pengertian dari

autisme adalah anak dengan kecenderungan diam dan suka menyendiri yang

ekstrem. Anak autisme bisa duduk dan bermain berjam-jam lamanya dengan

jemarinya sendiri atau dengan serpihan kertas, serta tampaknya mereka itu

tenggelam dalam satu dunia sendiri.

Autisme menurut Rutter 1970 adalah gangguan yang melibatkan kegagalan

untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam

pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif.

2.2 Etiologi Autisme

Autisme dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal

meliputi genetik, psikologis, neorobiologis, prenatal, natal, infeksi virus, dan

trauma kelahiran. Sementara faktor eksternalnya antara lain lingkungan bahan


kimia beracun, merkuri, timbal, kadmium, arsenik, dan aluminium (Handojo,

2008).

2.2.1 Faktor Iksternal

1) Faktor psikologis

Orang tua yang emosional, kaku, dan obsesif, yang mengasuh anak mereka

yang secara emosional atau akibat sikap ibu yang dingin (kurang hangat).

2) Neurobiologis

Kelainan perkembangan sel-sel otak selama dalam kandungan atau sudah

anak lahir dan menyebabkan berbagai kondisi yang memengaruhi sistem

saraf pusat. Hal ini diduga karena adanya disfungsi dari batang otak dan

neurolimbik.

3) Faktor genetik

Adanya kelainan kromosom pada anak autisme, tetapi kelainan itu tidak

berada pada kromosom yang selalu sama. Ditemukan 20 gen yang terkait

dengan munculnya gangguan autisme, tetapi gejala autisme baru bisa muncul

jika kombinasi dari banyak gen.

4) Faktor perinatal

Adanya komplikasi prenatal, perinatal, dan neonatal. Komplikasi yang paling

sering adalah perdarahan setelah trimester pertama, fetal distress, dan

penggunaan obat tertentu pada ibu yang sedang hamil. Komplikasi waktu

bersalin, terlambat menangis, gangguan pernapasan, dan anemia pada janin.

2.2.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal berasal dari lingkungan yaitu kontaminasi bahan kimia

beracun dan logam-logam berat berikut ini (Yatim, 2003).


1) Merkuri (Hg)

Logam berat merkuri merupakan cairan yang berwarna putih keperakan.

Paparan logam berat Hg dapat berupa metyl mercury dan etyl mercury

(thimerosal) dalam vaksin. Merkuri dapat memengaruhi otak, sistem saraf,

dan saluran cerna. Racun merkuri menyebabkan defisit kognitif dan sosial

termasuk kehilangan kemampuan berbicara atau kegagalan untuk

mengembangkan gangguan memori, konsentrasi yang buruk, kesulitan

dalam mengartikan kata-kata dari berbagai macam tingkah laku autisme.

2) Timbal

Timbal dikenal sebagai neurotoksin yang diartikan sebagai pembunuh sel-

sel otak. Kadar timbal yang berlebihan pada darah anak-anak akan

memengaruhi kemampuan belajar anak, defisit perhatian, dan sindroma

hiperaktivitas.

3) Kadmium (Cd)

Kadmium merupakan bahan alami yang terdapat pada kerak bumi. Logam

berat ini murni berupa logam. Logam berwarna putih perak lunak dapat

menyebabkan kerusakan sel membran sehingga logam berat lain dipercepat

atau dipermudah masuk ke dalam sel.

4) Arsenik (As)

Arsenik banyak digunakan pengusaha atau kontraktor untuk membangun

ruang bermain, geladak kapal, atau pagar rumah. Arsenik dapat diisap,

ditelan, dan diabsorbsi lewat kontak kulit. Arsenik dapat disimpan di otak,

tulang, dan jaringan tubuh, serta akan merusaknya secara serius. Gejalanya

yang berlangsung lambat dapat menyebabkan diabetes dan kanker, juga


dapat menyebabkan stroke dan sakit jantung. Dalam jangka lama dapat

merusak liver, ginjal, dan susunan saraf pusat.

5) Aluminium (Al)

Keracunan aluminium adalah keadaan serius yang terjadi bila mengabsorbsi

sejumlah besar aluminium yang sering disimpan di dalam otak. Pemaparan

aluminium didapatkan dari konsumsi aluminium dari produk antasid dan air

minum (panic aluminium). Aluminium masuk ke tubuh lewat sistem

digestif, paru-paru, dan kulit sebelum masuk ke jaringan tubuh.

2.3 Klasifikasi Anak Autisme

1) Autisme sejak bayi (autisme infantil)

Anak sudah menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan anak non autistik

dan biasanya terdeteksi sekitar usia bayi 6 bulan.

2) Autisme reaksi

Autisme ini biasanya terlihat pada anak usia lebih besar (6-7 bulan) sebelum

anak memasuki tahap befikir logis.

2.4 Tanda dan Gejala Anak Autisme

Autisme timbul sebelum anak mencapai usia tiga tahun dan sebagian anak

memiliki gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat

memantau perkembangan anaknya sudah akan melihat beberapa keganjilan

sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang sangat menonjol adalah tidak

adanya atau sangat kurangnya tatapan mata.

Sebagian kecil dari penyandang autisme sempat berkembang normal, tetapi

sebelum mencapai umur tiga tahun perkembangan terhenti, kemudian timbul

kemunduran dan mulai tampak gejala-gejala autisme. Faktor pencetusnya misalnya


ditinggal oleh orang terdekat secara mendadak, punya adik, sakit berat, bahkan ada

yang gejalanya timbul setelah mendapatkan imunisasi. Gejala-gejala akan tampak

makin jelas setelah anak mencapai usia tiga tahun, yaitu meliputi hal berikut (IDAI,

2004).

2.4.1 Gangguan dalam bidang komunikasi verbal dan nonverbal

1) Terlambat bicara.

2) Meracau dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain.

3) Bila kata-kata mulai diucapkan, ia tidak mengerti artinya.

4) Bicara tidak dipakai untuk komunikasi.

5) la banyak meniru atau membeo (echolalia).

6) Beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian, nada, dan kata-kata tanpa

mengerti artinya. Sebagian dari anak-anak ini tetap tak dapat bicara sampai

dewasa.

7) Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan yang terdekat dan

mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.

2.4.2 Gangguan dalam bidang interaksi sosial

1) Menolak atau menghindar utnuk bertatap mata.

2) Tak mau menengok bila dipanggil.

3) Sering kali menolak untuk dipeluk.

4) Tak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain, lebih asyik main

sendiri.

5) Bila didekati untuk diajak main, ia malah menjauh.

2.4.3 Gangguan dalam bidang perilaku

1) Perilaku yang berlebihan (excess) dan kekurangan (deficient).


Contoh perilaku yang berlebihan adalah adanya hiperaktivitas motorik,

seperti tidak bisa diam, jalan mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas,

melompat-lompat, berputar-putar, memukul-mukul pintu atau meja,

mengulang-ulang suatu gerakan tertentu.

Contoh perilaku yang kekurangan adalah duduk diam bengong dengan tatap

mata yang kosong, melakukan permainan yang sama atau monoton dan

kurang variatif secara berulang-ulang, sering duduk diam terpukau oleh

sesuatu misalnya bayangan dan benda yang berputar.

2) Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu, seperti kartu, kertas,

gambar, gelang karet, atau apa saja yang terus dipeganganya dan dibawa ke

mana saja.

3) Perilaku ritual (ritualistic)

2.5.4 Gangguan dalam bidang perasaan atau emosi

1) Tidak dapat ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, misalnya melihat

anak menangis, maka ia tidak merasa kasihan, tetapi merasa terganggu dan

anak yang menangis tersebut mungkin didatangi dan dipukul.

2) Kadang tertawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata.

3) Sering mengamuk takterkendali (bisa menjadi agresif dan destruktif).

2.5.5 Gangguan dalam persepsi sensori

1) Mencium atau menggigit mainan atau benda apa saja.

2) Bila mendengar suara tertentu, maka ia langsung menutup telinga.

3) Tidak menyukai rabaan atau pelukan.

4) Merasa sangat tidak nyaman bila dipakaikan pakaian dari bahan yang kasar.
2.5 Penatalaksanaan Anak Autisme

2.5.1 Terapi Psikofarmaka

Kerusakan sel otak di sistem limbik, yaitu pusat emosi akan menimbulkan

gangguan emosi dan perilaku temper tantrum, agresivitas baik terhadap diri sendiri

maupun pada orang-orang di sekitarnya, serta hiperaktivitas dan stereotipik. Untuk

mengendalikan gangguan emosi ini diperlukan obat yang memengaruhi

berfungsinya sel otak. Obat yang digunakan antara lain sebagai berikut.

1) Haloperidol

Suatu obat antipsikotik yang mempunyai efek meredam psikomotor, biasanya

digunakan pada anak yang menampakkan perilaku temper tantrum yang tidak

terkendali serta mempunyai efek lain yaitu meningkatkan proses belajar

biasanya digunakan dalam dosis 0,20 mg.

2) Fenfluramin

Suatu obat yang mempunyai efek mengurangi kadar serotonin darah yang

bermanfaat pada beberapa anak autisme.

3) Naltrexone

Merupakan obat antagonis opiat yang diharapkan dapat menghambat opioid

endogen sehingga mengurangi gejala autisme seperti mengurangi cedera pada

diri sendiri dan mengurangi hiperaktivitas.

4) Clompramin

Merupakan obat yang berguna untuk mengurangi stereotipik, konvulsi,

perilaku ritual, dan agresivitas, serta biasanya digunakan dalam dosis 3,75

mg.
5) Lithium

Merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif

dan mencederai diri sendiri.

6) Ritalin

Untuk menekan hiperaktivitas.

2.5.2 Terapi Perilaku

Penatalaksanaan gangguan autisme menggunakan metode Lovass. Metode

Lovass adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied

Behavioral Analysis (ABA). ABA juga sering disebut sebagai intervensi perilaku

(behavioral intervension) atau modifikasi (behavioral modification). Dasar

pemikirannya adalah perilaku yang diinginkan atau yang tidak diinginkan bisa

dikontrol atau dibentuk dengan sistem penghargaan (reward) dan hukuman

(punishment). Pemberian penghargaan akan meningkatkan frekuensi munculnya

perilaku yang diinginkan, sedangkan hukuman akan menurunkan frekuensi

munculnya perilaku yang tidak diinginkan.

2.5.3 Terapi Bicara

Gangguan bicara dan berbahasa diderita oleh hampir semua anak autisme.

Tata laksana melatih bicara dan berbahasa harus dilakukan karena merupakan

gangguan yang spesifik pada anak autisme. Anak dipaksa untuk berbicara kata demi

kata, serta cara ucapan harus diperhatikan. Setelah mampu berbicara, diajarkan

berdialog. Anak dipaksa untuk memandang terapis, karena anak autisme tidak mau

adu pandang dengan orang lain. Dengan adanya kontak mata, maka diharapkan

anak dapat meniru gerakan bibir terapis.


2.5.4 Terapi Okupasional

Melatih anak untuk menghilangkan gangguan perkembangan motorik

halusnya dengan memperkuat otot-otot jari supaya anak dapat menulis atau

melakukan keterampilan lainnya.

2.5.5 Terapi Fisik

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak di antara

individu autis mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya.

Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk

menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

2.5.6 Terapi Sosial

Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autis adalah dalam bidang

komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam

keterampilan berkomunikasi dua arah dan main bersama di tempat bermain.

Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk

bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya.

2.5.7 Terapi Bermain

Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan

pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk

belajar bicara, komunikasi, dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa

membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.

2.5.8 Terapi Perkembangan

Floortime, Son-rise, dan Relationship Developmental Intervention (RDI)

dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya,


kekuatannya, dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan

sosial, emosional, dan intelektualnya.

2.5.9 Terapi Visual

Individu dengan autisme lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners

atau visual thinkers). Hal ini yang kemudian dipakai untuk mengembangkan

metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode

Picture Exchange Communication System (PECS). Beberapa video games bisa juga

dipakai untuk mengembangkan keterampilan komunikasi.

2.5.10 Pendidikan Khusus

Anak autisme mudah terganggu perhatiannya, sehingga pada pendidikan

khusus satu guru menghadapi satu anak dalam ruangan yang tidak luas dan tidak

ada gambar-gambar di dinding atau benda-benda yang tidak perlu, yang dapat

mengalihkan perhatian anak. Setelah ada perkembangan, maka mulai dilibatkan

dalam lingkungan kelompok kecil, kemudian baru kelompok yang lebih besar. Bila

telah mampu bergaul dan berkomunikasi, maka mulai dimasukkan pendidikan biasa

di TK dan SD untuk anak normal.

2.5.11 Terapi Alternatif

Terapi yang digolongkan terapi altenatif adalah semua terapi baru yang masih

berlanjut dengan penelitian. Salah satunya adalah terapi detoksifikasi. Terapi ini

menggunakan nutrisi dan toksikologi. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan

atau menurunkan kadar bahan-bahan beracun yang lebih tinggi dalam tubuh anak

autisme dibanding dengan anak normal, agar tidak mengancam perkembangan otak.

Kandungan yang dikeluarkan terutama bahan beracun merkuri atau air raksa dan

timah yang memengaruhi sistem kerja otak. Terapi ini meliputi mandi sauna,
pemijatan, dan shower, yang diikuti olahraga, konsumsi vitamin dosis tinggi, serta

air putih minimal dua liter sehari. Tujuannya untuk mengeluarkan racun yang

menumpuk dalam tubuh.

2.6 Pengkajian Anak Autisme

1) Tidak suka dipegang

2) Rutinitas yang berulang

3) Tangan digerak-gerakkan dan kepala diangguk-anggukan

4) Terpaku pada benda mati

5) Sulit berbahasa dan berbicara

6) 50% diantaranya mengalami retardasi mental

7) Ketidakmampuan untuk memisahkan kebutuhan fisiologis dan emosi diri sendiri dengan

orang lain

8) Tingkat ansietas yang bertambah akibat dari kontak dengan dengan orang lain

9) Ketidakmampuan untuk membedakan batas-batas tubuh diri sendiri dengan oranglain

10) Mengulangi kata-kata yang dia dengar dari yang diucapkan orang lain atau gerakkan-

gerakkan mimik orang lain

11) Penolakan atau ketidakmampuan berbicara yang ditandai dengan ketidakmatangan stuktur

gramatis, ekolali, pembalikan pengucapan, ketidakmampun untuk menamai benda-benda,

ketidakmampuan untuk menggunakan batasan-batasan abstrak, tidak adanya ekspresi

nonverbal seperti kontak mata, sifat responsif pada wajah, gerak isyarat.

Hal-hal yang harus dikaji oleh perawat terhadap anak yang mengalami autisme:

1) Lakukan pengakajian fisik dan perkembangan

2) Riwayat keluarga mengenai retardasi mental dan gangguan herediter


3) Riwayat kesehatan untuk mendapatkan bukti adanya trauma prenatal yaitu

alkoholisme,perinatal,pascanatal,cedera fisik.

4) Nutrisi tidak adekuat

5) Penyimpangan lingkungan

6) Gangguan psikiatrik

7) Infeksi trauma melibatkan otak (meningitis)

8) Tes diagnostik yaitu kromosom, disfungsi metabolik, radiografi, tomografi,

elektroensefalografi

9) Tes intelegensi stanford binet wechsler intelegance scale for children

10) Tes periaku adaptif

11) Observasi adanya manifestasi retardasi mental

(1) Tidak responsif terhadap kontak

(2) Kontak mata buruk selama menyusun

(3) Penurunan aktifitas spontan

(4) Penurunan kesadaran terhadap suara

(5) Menyusun lambat

2.7 Diagnosa Keperawatan Anak Autisme

1) Risiko tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan dengan ketidakmampuan untuk

mempercayai orang lain.

2) Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan konsep diri.

3) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mempercayai

orang lain dan menarik diri.

4) Gangguan identitas pribadi berhubungan dengan kurang berkembangnya percaya diri dan

distres terhadap perubahan lingkungan.


2.8 Intervensi Anak Autisme

2.8.1 Risiko terhadap mutilasi diri

Tujuan: Pasien akan mendemonstrasikan perilaku-perilaku alternative (missalnya

memulai interaksi antara diri dengan perawat) sebagai respons terhadap kecemasan.

Kriteria hasil:

1) Rasa gelisah dipertahankan pada tingkat anak merasa tidak memerlukan perilaku-perilaku

mutilatif diri

2) Pasien memulai interaksi antara diri dan perawat apabila merasa cemas

Intervensi:

Intervensi Rasional
Jamin keselamatan anak dengan memberi rasa aman, Perawat bertanggung jawab untuk menjamin
lingkungan yang kondusif untuk mencegah perilaku keselamatan anak
merusak diri

Kaji dan tentukan penyebab perilaku – perilaku pengkajian kemungkinan penyebab dapat memilih
mutilatif sebagai respon terhadap kecemasan cara /alternative pemecahan yang tepat.

Pakaikan helm pada anak untuk menghindari trauma saat Untuk menjaga bagian-bagian vital dari cidera
anak memukul-mukul kepala, sarung tangan untuk
mencegah menarik – narik rambut, pemberian bantalyang
sesuai untuk mencegah luka pada ekstremitas saat gerakan-
gerakan histeris

Untuk membentuk kepercayaan satu anak dirawat oleh satu Untuk dapat bisa lebih menjalin hubungan saling
perawat percayadengan pasien

Tawarkan pada anak untuk menemani selama waktu - Dalam upaya untuk menurunkan kebutuhan pada
waktu meningkatnya kecemasan agar tidak terjadi mutilasi perilaku-perilaku mutilasi diri dan memberikan rasa
aman

2.8.2 Kerusakan interaksi sosial

Tujuan: anak mulai berinteraksi dengan diri dan orang lain, pasien menggunakan kontak

mata dan perilaku-perilaku non verbal dalam berinteraksi dengan orang lain dan pasien

tidak menarik diri dari kontak fisik dengan orang lain.


Intervensi:

Intervensi Rasional
Jalin hubungan satu – satu dengan anak untuk Interaksi staf dengan pasien yang konsisten meningkatkan
meningkatkan kepercayaan. pembentukan kepercayaan

Berikan benda-benda yang dikenal (misalnya : mainan Benda-benda ini memberikan rasa aman dalam waktu-
kesukaan, selimut) untuk memberikan rasa aman dalam waktu aman bila anak merasa distres
waktu-waktu tertentu agar anak tidak mengalami distress.

Sampaikan sikap yang hangat, dukungan, dan Karakteristik - karakteritik ini meningkatkan
kebersediaan ketika anak berusaha untuk memenuhi pembentukan dan mempertahankan hubungan
kebutuhan – kebutuhan dasarnya untuk meningkatkan saling percaya
pembentukan dan mempertahankan hubungan saling
percaya

Lakukan dengan perlahan-lahan, jangan memaksakan Pasien autisme dapat merasa terancam oleh suatu
interaksi-interaksi, mulai dengan penguatan yang positif rangsangan yang gencar pada pasien yang tidak terbiasa
pada kontak mata, perkenalkan dengan berangsur-angsur
dengan sentuhan, senyuman, dan pelukan

Dengan kehadiran anda beri dukungan pada pasien yang Kehadiran seorang yang telah terbentuk hubungan saling
berusaha keras untuk membentuk hubungan dengan percaya dapat memberikan rasa aman
orang lain di lingkungannya

2.8.3 Kerusakan komunikasi verbal

Tujuan: Anak akan membentuk kepercayaan dengan seorang pemberi perawatan

ditandai dengan sikap responsive dan kontak mata dalam waktu yang telah ditentukan.

Kriteria hasil:

1) Pasien memulai berinteraksi verbal dan non verbal dengan orang lain

2) Menggunakan suara, kata-kata, atau gerakan tubuh dalam cara yang interktif dengan orang

lain.

Intervensi Rasional
Pertahankan pemberi asuhan yang sama untuk anak Hal ini memudahkan kepercayaan dan kemampuan
untuk memahami tindakan-tindakan dan komunikasi
pasien

Antisipasi dan penuhi kebutuhan-kebutuhan anak hingga Pemenuhan kebutuhan pasien akan dapat
komunikasi dapat dibangun atau tercapai mengurangi kecemasan anak sehingga anak
akan dapat mulai menjalin komunikasi dengan
orang lain dengan asertif

Ulangi dan dorong aproksimasi suara ketika Memberi informasi kepada anak tentang
digunakan oleh anak harapan pemberi asuhan dan dapat mendorong
untuk berkomunikasi.
Gunakan pendekatan tatap muka (mata- Kontak mata mengekspresikan minat yang murni terhadap
dengan-mata) untuk menyampaikan ekspresi dan hormat kepada seseorang
nonverbal yang tepat

Dorong kontak mata dengan sesuatu yang Kontak mata penting untuk menangkap perhatian anak
dapat diterima oleh anak (mis: makanan dan untuk mengawali percakapan.
objek)

2.8.4 Gangguan indentitas pribadi

Tujuan: Pasien akan menyebutkan bagian-bagian tubuh diri sendiri dan

bagian-bagian tubuh dari pemberi perawatan dalam waktu yang ditentukan

untuk mengenali fisik dan emosi diri terpisah dari orang lain saat pulang.

Kriteria hasil:

1) Pasien mampu untuk membedakan bagian-bagian dari tubuhnya dengan

bagian-bagian dari tubuh orang lain

2) Pasien menceritakan kemampuan untuk memisahkan diri dari lingkungannya

dengan menghentikan ekolalia (mengulangi kata-kata yang di dengar) dan

ekopraksia (meniru gerakan-gerakan yang dilihatnya)

Intervensi Rasional
Beri penguatan positif untuk mendukung kontak mata Kontak mata memungkinkan fokus anak pada
pengenalan orang lain.

Bantu anak belajar menamai bagian tubuhnya sendiri. Aktivitas ini meningkatkan kewaspadaan diri
Sediakan cermin dan gambar untuk identifikasi diri saat terpisah dari orang lain

Dorong sentuhan dengan orang lain dan Jika dilakukan secara bertahap anak merasa
sentuhan dari pemberia asuhan perbedaan antara diri sendiri dan orang lain
tanpa ansietas yang berlebihan.

Dorong untuk melakukan aktivitas perawatan Aktivitas dapat membantu anak untuk mengidentifikasi
diri yang membedakan anak dari lingkungan batasan tubuh.
(mis: makan sendiri, mencuci, berpakaian, dll)
Tingkatkan upaya anak untuk mempelajari bagian- Dapat memberikan gambaran tentang bentuk tubuh dan
bagian dari batas-batas tubuhdengan menggunakan gambaran diri pada anak secara tepat.
cermin dan lukisan serta gambar-gambar dari anak
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Autis suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara

klinis ditandai oleh gejala – gejala diantaranya kualitas yang kurang dalam

kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam

kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas, perilaku tak wajar,

disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan (stereotipik). Selain itu tampak pula

adanya respon tak wajar terhadap pengalaman sensorik, yang terlihat sebelum usia

3 tahun. Sampai saat ini penyebab pasti autis belum diketahui, tetapi beberapa hal

yang dapat memicu adanya perubahan genetika dan kromosom, dianggap sebagai

faktor yang berhubungan dengan kejadian autis pada anak, perkembangan otak

yang tidak normal atau tidak seperti biasanya dapat menyebabkan terjadinya

perubahan pada neurotransmitter, dan akhirnya dapat menyebabkan adanya

perubahan perilaku pada penderita. Dalam kemampuan intelektual anak autis tidak

mengalami keterbelakangan, tetapi pada hubungan sosial dan respon anak terhadap

dunia luar, anak sangat kurang. Anak cenderung asik dengan dunianya sendiri. Dan

cenderung suka mengamati hal – hal kecil yang bagi orang lain tidak menarik, tapi

bagi anak autis menjadi sesuatu yang menarik.

Terapi perilaku sangat dibutuhkan untuk melatih anak bisa hidup dengan

normal seperti anak pada umumnya, dan melatih anak untuk bisa bersosialisasi

dengan lingkungan sekitar.


DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Kliegman, Arvin. (1999). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakarta:
EGC

Handojo, Y. (2008). Autisme: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk


Mengajar Anak Normal, Autis, dan Perilaku Lain. Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer

Yusuf, A., Rizky F.P.K., & Hanik E.N. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai