Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KASUS

Pasien didiagnosis pada saat masuk rumah sakit sebagai marasmus kondisi V
dengan gagal tumbuh dan perawakan pendek + Bronkopneumonia. Diagnosis ini
ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Kekurangan energi protein (KEP) atau malnutrisi atau yang lebih dikenal gizi
buruk dimanifestasikan terutama karena konsumsi makanan yang tidak cukup
memadai dari protein dan energi, baik karena kekurangan asupan makanan yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan normal atau karena kebutuhan untuk pertumbuhan
lebih besar dari pada yang dapat disediakan. Gizi buruk dapat dibagi dalam tiga
bentuk. Marasmus (nonedematous) terjadi akibat kekurangan energi, kwashiorkor
(edematous), terjadi karena kekurangan protein, dan marasmus kwashiorkor,
terjadi karena kekurangan energi dan protein (IDAI, 2009)..

Marasmus (gizi buruk nonedematous) ditandai dengan kegagalan untuk


menambah berat badan dan iritabilitas, diikuti dengan penurunan berat badan dan
kelesuan sampai anak terlihat sangat kurus. Kulit kehilangan turgor dan menjadi
berkerut serta longgar akibat kehilangan lemak subkutan. Kehilangan lemak dari
bagian pipi sering terjadi terlambat dalam perjalanan penyakit, dengan demikian,
wajah bayi dapat dipertahankan dalam bentuk yang relatif normal dibandingkan
dengan seluruh tubuh, tetapi pada akhirnya akan menjadi menyusut dan keriput.
Perut buncit atau mungkin datar, dengan pola usus mudah terlihat. Terjadi
hipotrofi dan atrofi otot, suhu biasanya menjadi di bawah normal dan denyut nadi
melambat (IDAI, 2009).
Pasien ini tidak mengalami peningkatan berat badan sejak 2 bulan terakhir, berat
badan cenderung menurun. Pasien tampak kurus. Perhitungan gizi berdasarkan
growth chart WHO pada pasien ini, didapatkan hasil pengukuran BB/U, TB/U,
dan BB/TB <-3SD (z-score WHO 2006) (Susanto, 2011). Pada pemeriksaan fisik
juga didapatkan rambut coklat kekuningan, mata cekung, konjungtiva anemis,
muscles wasting (+), dan baggy pants (+). Jika dilihat berdasarkan tipe gizi
buruknya, yang dialami pasien ini adalah tipe marasmus (Matondang, 2003).
Ketika datang ke RSAM, pasien ini tidak mengalami keadaan syok, letargi,
maupun muntah/ diare/ dehidrasi, sehingga pasien ini dikategorikan sebagai gizi
buruk tipe marasmus kondisi V (tabel 1) (Kemenkes RI, 2011).

Tabel 1. Menetapkan kondisi penderita (Kemenkes RI, 2011)


Tanda bahaya dan tanda Kondisi
penting I II III IV V

Renjatan (syok) + - - - -

Letargis (tidak sadar) + + - + -

Muntah/diare/dehidrasi + + + - -

Riwayat minum ASI pasien sebelum sakit cukup baik yaitu 10-12 kali sehari.
Namun, setelah mengalami batuk berdahak dan sesak napas sejak usia 40 hari,
frekuensi menyusunya menurun menjadi 6-7 kali sehari. Berat badan pasien tidak
mengalami pertambahan dan justru mengalami penurunan berat badan. Pasien
tidak pernah menderita diare sebelumnya. Dari informasi tersebut diduga
penyebab gizi buruk dari pasien ini adalah kurangnya intake asupan gizi
(frekuensi menyusu pasien sangat kurang sejak mengalami sesak napas dan batuk
berdahak), dalam hal ini ASI. Dalam rangka mempermudah akses asupan gizi ke
dalam tubuh pasien, maka dilakukan pemasangan OGT.

Secara teori, ada 10 langkah tata laksana gizi buruk, yaitu (1) mencegah dan
mengatasi hipoglikemia, (2) mencegah dan mengatasi hipotermia, (3) mencegah
dan mengatasi dehidrasi, (4) memperbaiki gangguan elektrolit, (5) mengobati
infeksi, (6) memperbaiki kekurangan zat gizi mikro, (7) memberikan makanan
untuk stabilisasi (8) memberikan makanan untuk transisi dan rehabilitasi, (9)
stimulasi sensorik dan dukungan emosional pada anak, dan (10) tindak lanjut di
rumah (Susanto, 2011).

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan pemberian
Dextrose 10% sejak hari pertama perawatan. Hal ini bertujuan untuk mencegah
dan mengatasi hipoglikemi. Pengukuran suhu badan berkala juga dilakukan setiap
3 jam sekali. Apabila terjadi hipotermia pada pasien, langkah awal untuk
menghangatkan tubuh pasien adalah dengan mendekap pasien oleh ibu atau orang
dewasa lain di dadanya lalu ditutupi selimut (metode kanguru) dengan
memastikan pasien dapat bernapas (Susanto, 2011). Selain itu, untuk mencegah
dan mengatasi dehidrasi harus diamati tanda-tanda seperti pasien memiliki riwayat
diare, pasien sangat kehausan, mata cekung, nadi lemah, akral dingin atau pasien
tidak buang air kecil dalam waktu cukup lama. Pada pasien ini tidak ditemukan
tanda-tanda tersebut sehingga dapat disimpulkan pasien tidak mengalami
dehidrasi.

Selain itu, untuk mencegah terjadinya dehidrasi, perlu diberikan nutrisi sesuai
dengan fase penatalaksanaan gizi buruk, yakni fase stabilisasi, fase transisi, dan
fase rehabilitasi (Kemenkes, 2011). Fase stabilisasi dilakukan pada hari ke-1 ke-
7. Pada fase stabilisasi pasien ini diberikan formula WHO 75 sebanyak 10 30
cc/3 jam dimulai pada tanggal 11 Agustus 2014 17 Agustus 2014. Seharusnya
pada fase stabilisasi, pasien ini dengan berat badan 4,4 kg memperoleh formula
WHO 75 sebanyak 50 cc/2 jam, setelah 10 jam bila kondisi baik dilanjutkan
dengan 70 cc/3 jam dan selanjutnya menjadi 95 cc/4 jam. Lakukan pemantauan
TTV dan asupan F75. Alur tatalaksana fase stabilisasi adalah sebagai berikut:

Berikan 50ml glukosa/larutan gula pasir 10% oral


Pantau TTV

2 Jam pertama
Berikan F75 setiap 30 menit, dosis untuk 2 jam sesuai berat badan
Pantau TTV dan asupan F75 setiap 30menit

10 Jam berikutnya
Teruskan pemberian F75/ 2 jam
Pantau TTV dan asupan F75

Bila anak dapat menghabiskan sebagian besar F75 ubah menjadi setiap 3 jam

Bila anak dapat menghabiskan F75, ubah menjadi setiap 4 jam

Fase transisi dilakukan pada hari ke 8-14 dengan pemberian F100. Pemberian
F100 pada pasien ini baru dimulai pada tanggal 26 Agustus 2014. Pada pasien ini
diberikan F100 sebanyak 60 cc tiap 3 jam dinaikkan bertahap hingga mencapai
75-90cc tiap 3 jam selama seminggu. Pada pasien ini seharusnya diberikan F100
sebanyak 95 cc tiap 4 jam selama 2 hari. Selama pemberian F100 berlangsung,
dilakukan pemantauan TTV tiap 4 jam. Pada hari ketiga pemberian F100
sebanyak 110cc/ 4 jam dan dilakukan peningkatan volume F100 sebanyak 10cc/ 4
jam sampai anak tidak mampu menghabiskan F100 dengan catatan tidak melebihi
dosis maksimal. Pada hari keempat diberikan F100 sebanyak 130-140 cc tiap 4
jam dan dipertahankan sampai hari ke 7-14. Alur tatalaksana pemberian F100
adalah sebagai berikut:
anti dengan F100, diberikan setiap 4 jam dengan dosis sesuai BB seperti dosis F75, dipertahankan selama 2 hari. Ukur

B untuk dosis F100. 4 jam berikutnya dosis dinaikkan 10 ml, sampai anak tidak mampu menghabiskan jumlah yang dib

antara dosis minimal dan maksimal. Pemberian ini dipertahankan hingga hari ke 7-14 sesuai kondisi anak. Selanjutnya

Bila BB <7 kg Bila BB >7 kg


Berikan F100 + makanan bayi/lumat dan sariBerikan
buah F100 + makanan anak/lumat dan buah

Terus berikan makanan tahap rehabilitasi sampai tercapai:


BB/TB -2 SD

Fase rehabilitasi dilakukan setelah fase transisi selesai. Fase rehabilitasi ini
dilakukan dengan melanjutkan pemberian F100 sebanyak 130-140cc tiap 4 jam.
Pada fase rehabilitasi pasien diberikan F100 + makanan lumat dan sari buah.
Makanan pada tahap rehabilitasi dilakukan sampai tercapai BB/TB >-2SD. Fase
rehabilitasi seharusnya dilakukan pada minggu ke 2-6.

Gangguan elektrolit juga sering terjadi pada pasien dengan gizi buruk. Pada
pasien ini kadar natrium 138 mmo/L, Kalium 6,3 mmo/L, dan Clorida 103 mmo/L
berada pada kadar normal. Namun kadar Calsium pasien hanya 8,5 mg/dL yang
seharusnya adalah antara 8,8 mg/dL 12 mg/dL. Koreksi kadar elektrolit
dilakukan dengan pemberian F75 dan F100 (Susanto, 2011).

Selain gangguan elektrolit, pasien ini juga mengalami infeksi pada saluran
pernapasan. Diagnosis banding pada kasus pasien ini adalah tuberculosis paru dan
bronkopneumonia. Pemilihan diagnosis banding didasarkan pada keluhan yang
dialami pasien. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pasien ini mengalami batuk
berdahak sejak usia 40 hari yang disertai sesak napas. Pada pasien yang dicurigai
mengalami tuberculosis paru, perlu dilakukan scoring untuk menilai apakah
pasien tersebut mengarah pada diagnosis tuberculosis tersebut atau tidak. Scoring
tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Skoring TB (WHO, 2009)


Pada pasien ini dilakukan skoring TB pada tanggal 11 Agustus 2014, riwayat
kontak TB (skor 2), uji tuberkulin belum dilakukan (skor 0), status gizi tampak
sangat kurus gizi buruk (skor 2), demam tanpa sebab jelas sering dialami namun
tidak pernah lebih dari 2 minggu (skor 0), batuk sejak usia 40 hari (skor 1),
pembesaran kelenjar limfe tidak ditemukan (skor 0), pembengkakan tulang/sendi
tidak ditemukan (skor 0), foto thorax menunjukkan gambaran bronkopneumonia
(skor 0). Hasil skor dikatakan positif TB apabila jumlah scoring 6. Jumlah skor
pada pasien ini adalah 5 sehingga pasien ini dikatakan belum memenuhi syarat
untuk didiagnosa dengan TB.

Berdasarkan pembahasan di atas maka saat ini penyulit gizi buruk yang dialami
pasien ini lebih mengarah kepada diagnosa bronkopneumonia. Gambaran klinis
bronkopneumonia pada bayi bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi
secara umum terbagi menjadi gejala infeksi umum dan gejala gangguan
respiratori. Gejala infeksi umum berupa demam, gelisah, malaise, penurunan
napsu makan, keluhan gastrointestinal, dan kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner. Gejala gangguan respiratori berupa batuk, sesak napas, retraksi
dada, takipneu, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada
pasien ini ditemukan keluhan yang mengarah pada diagnosis bronkopneumonia
yaitu sesak napas, batuk, retraksi dada, napas cuping hidung, demam dan
penurunan napsu makan. Pemeriksaan fisik bayi dengan bronkopneumonia
biasanya menunjukkan tanda klinis berupa pekak perkusi, suara napas melemah,
dan adanya ronki basah halus. Pada pasien ini ditemukan pekak perkusi dan
adanya ronki basah halus (Said, 2010).

Pasien dengan bronkopneumonia dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori.


Kategori yang pertama yaitu pneumonia berat (sesak napas, harus dirawat dan
diberikan antibiotik). Kategori yang kedua yaitu pneumonia (tidak ada sesak
napas, napas cepat dengan laju napas >50x/ menit, tidak perlu dirawat, diberikan
antibiotik oral). Kategori yang ketiga yaitu bukan pneumonia (tidak ada napas
cepat dan sesak napas, tidak perlu rawat dan antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatik). Pada pasien ini ditemukan adanya sesak napas dan laju
napas yang cepat (>50x/menit), sehingga pada pasien ini dilakukan perawatan RS
dan diberikan terapi berupa antibiotik (Said, 2010).

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan


antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Identifikasi dini mikroorganisme
penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya uji mikrobiologis yang
cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris.
Umumnya pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada kemungkinan etiologi
penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis serta faktor
epidemiologis (Said, 2010).

Antibiotik yang biasa digunakan pada pasien dengan kisaran usia 2 bulan 5
tahun adalah beta laktam amoksisillin, amoksisillin-amoksisillin klavulanat,
golongan sefalosporin, kotrimoksazol, dan makrolid (eritromisin). Penelitian
Trehan et al (2013) menyebutkan bahwa pemberian antibiotik dapat menurunkan
angka kematian pada pasien malnutrisi akut berat dengan komplikasi. Antibiotik
yang digunakan pada pasien ini adalah Cefotaxim 200mg/12 jam IV (dosis
cefotaxim 100-150 mg/kg/hari). Penggunaan cefotaxim sudah tepat sesuai berat
badan. Pasien ini mendapatkan terapi cefotaxim selama 22 hari yaitu pada tanggal
8 18 Agustus dan 4-16 September 2014. Cefotaxim merupakan antibiotika beta-
laktam dan termasuk golongan sefalosporin generasi ke-III (antibiotika spektrum
luas). Penggunaan antibiotik golongan sefalosporin ini biasanya dikombinasikan
dengan antibiotik golongan aminoglikosida. Hal ini bertujuan untuk memperluas
dan memperkuat aktivitasnya. Pada pasien ini terapi antibiotik lain yang diterima
adalah Gentamicin 20mg/24 jam (dosis gentamicin 3-5mg/kg/hari). Gentamicin
merupakan antibiotik golongan aminoglikosida (Tjay, 2007).

Pada tanggal 18 Agustus 4 September 2014 pasien mendapatkan terapi


antibiotik Ceftriakson injeksi 200mg/12 jam (dosis ceftriaxon 80mg/kgBB/hari).
Penggunaan ceftriaxon sudah tepat sesuai berat badan. Ceftriaxon merupakan
antibiotika beta-laktam dan termasuk golongan sefalosporin generasi ke-III
(antibiotika spektrum luas). Pada tanggal 17-20 September 2014 pasien
mendapatkan terapi antibiotik Ceftazidime 150mg/ 8 jam (dosis Ceftazidime 30-
100mg/kgBB/hari). Penggunaan ceftazidine sudah tepat sesuai berat badan.
Ceftazidime merupakan antibiotika beta-laktam dan termasuk sefalosporin
generasi ke-III (antibiotika spektrum luas).

Pasien ini juga mendapatkan terapi berupa nebulisasi menggunakan ventolin


(salbutamol) sebanyak ampul (0,625 mg). Salbutamol merupakan salah satu
agen bronkodilator golongan agonis beta-2 kerja singkat (PDPI, 2006). Pasien ini
datang dengan keadaan sesak napas. Pemberian salbutamol inhalasi ditujukan
untuk mengurangi keluhan sesaknya. Dosis salbutamol inhalasi untuk anak adalah
0,05mg/kgBB/kali. Pada pasien ini dosis salbutamol yang diberikan dirasa terlalu
besar.

Pasien juga mendapatkan terapi Dexamethasone 0,5 mg 1/3 ampul/ 12 jam (dosis
dexamethasone 0,08-0,3mg/kg/hari). Penggunaan dexamethasone sudah tepat
sesuai berat badan. Dexamethasone merupakan obat golongan kortikosteroid yang
biasanya berfungsi sebagai antiinflamasi. Pemberian dexamethasone pada kasus
ini ditujukan untuk mengurangi sesak napas yang dialami pasien. Dexamethasone
memiliki efek samping imunosupresan (Tjay, 2007). Pada pasien ini timbul
keluhan kandidiasis setelah pemberian dexamethasone hari ke-4. Pemberian
dexamethasone kemudian dihentikan pada hari ke-5. Untuk mengatasi keluhan
berupa candidiasis, pasien diberi nystatin drop 0,5cc/6 jam (dosis nystatin drop
pada bayi 3-4cc/hari). Pemberian nystatin pada pasien ini dirasa kurang adekuat
karena hanya diberikan 2cc/hari sehingga keadaan mulut berjamur masih terus
dikeluhkan pasien hingga hari ini.

Pada pasien ini juga diberikan terapi berupa ranitidin 5mg/12 jam (dosis ranitidin
2-4mg/kg/hari). Indikasi ranitidin adalah untuk ulkus gaster ringan, ulkus
duodenum ringan, keadaan yang menimbulkan hipersekresi lambung, dan refluks
gastro esofageal. Ranitidin pada kasus ini digunakan untuk menghindari
timbulnya stress ulcer akibat bronkopneumonia dan gizi buruk yang diderita.

Paracetamol sebagai obat simtomatik juga diberikan pada pasien ini. Dosis
pemberiannya 0,5cc/6jam hanya jika timbul keluhan demam. Dosis ini sudah tepat
mengingat dosis paracetamol pada anak dan bayi adalah sebesar 0,6cc 3-4 kali
sehari.

Pasien juga mendapat racikan obat ambroxol 2mg dan prednison 1/4tablet dengan
dosis pemberian 3 kali sehari. Ambroxol biasa digunakan pada pasien dengan
penyakit saluran napas akut dan kronis yang disertai sekresi bronkial yang
abnormal. Dosis ambroxol pada anak dengan usia kurang dari 2 tahun adalah
15mg per hari dibagi dalam 2 dosis.

Pasien juga mengeluhkan diare beberapa hari setelah di rawat. Pasien kemudian
diberi zink dan probiotik. Zink diberikan 20mg/hari (dosis pada bayi usia 6bulan
yaitu 20mg/hari selama 10 hari). Zink merupakan salah satu zat gizi mikro yang
penting untuk kesehatan dan pertumbuhan anak. Zink meningkatkan sistem
kekebalan tubuh sehingga mencegah resiko terulangnya diare selama 2-3 bulan
setelah anak sembuh dari diare (Depkes RI, 2011). Sementara itu probiotik
diberikan 2x1/2 sachet. Probiotik menghasilkan asam organik yang menghambat
bakteri merugikan, sehingga dapat membantu memperbaiki ketidakseimbangan
flora usus ketika diare terjadi.

Pasien dengan bronkopneumonia dapat dipulangkan jika gejala dan tanda


pneumonia telah menghilang, asupan peroral adekuat, pemberian antibiotik dapat
diteruskan di rumah (peroral), keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian
terapi dan rencana kontrol, kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan
lanjutan di rumah (Said, 2010). Pada pasien ini gejala dan tanda pneumonia masih
tampak, asupan peroral belum adekuat, dan keluarga khawatir tidak dapat
menangani apabila sewaktu-waktu timbul keluhan berupa sesak kembali. Oleh
karena itu, sampai saat ini pasien masih dalam perawatan di RSAM.

Pada tanggal 6 September 2014, dilakukan scoring TB ulang pada pasien ini.
Riwayat kontak TB (skor 2), Uji tuberkulin tidak dilakukan (skor 0), keadaan gizi
klinis gizi buruk (skor 2), demam yang tidak diketahui penyebabnya berlangsung
> 2 minggu (skor 0), batuk kronik lebih dari 3 minggu (skor 1), pembesaran
kelenjar limfe colli (skor 1), pembengkakan tulang/ sendi/ panggul/ lutut/ falang
(skor 0), foto thoraks pada tanggal 1 Agustus 2014 sugestif TB (skor 2). Total skor
pada pasien ini adalah 7. Diagnosa kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor 6 5.
Berdasarkan hasil skoring tb anak di atas, disimpulkan saat ini pasien mengalami
penyakit TB.
Pasien ini mendapatkan terapi TB berupa RHZ. Isoniazid diberikan 1x50mg/ hari.
Dosis isoniazid pada anak adalah 5-15mg/ kgBB/ hari. Rifampicin diberikan
1x75mg/hari. Dosis rifampicin pada anak adalah 10-20 mg/kgBB/ hari.
Pirazinamid diberikan 1x125 mg/ hari. Dosis pirazinamid pada anak adalah 15-30
mg/kgBB/ hari. Berdasarkan dosis dan berat badan pasien, pemberian ketiga OAT
tersebut sudah tepat.

Selain mengatasi infeksi, pada pasien ini perlu juga dilakukan koreksi kekurangan
zat gizi mikro. Pada pasien ini sudah diberikan tambahan zat gizi mikro. Pasien
mendapatkan beberapa tambahan zat gizi mikro berupa vitamin A sebanyak 1x
50.000 IU, Asam Folat 1 x 5 mg pada hari pertama kemudian dilanjutkan dengan
pemberian asam folat 1 x 1 mg per hari pada hari selanjutnya (Kemenkes RI,
2011). Pemberian vitamin A dengan dosis 50.000 IU dirasa kurang adekuat pada
pasien ini. Pasien dengan gizi buruk dengan usia 6 bulan seharusnya mendapatkan
vitamin A dengan dosis 100.000 IU.

Pada pasien dengan gizi buruk perlu juga diberikan stimulasi sensorik dan
dukungan emosional. Pada pasien ini terjadi keterlambatan perkembangan mental
dan perilaku, karenanya diberikan: kasih sayang, ciptakan lingkungan
menyenangkan, lakukan terapi bermain terstruktur 15-30 menit/hari, rencanakan
aktifitas fisik setelah sembuh, tingkatkan keterlibatan ibu (memberi makan,
memandikan, bermain). Selain itu, harus dilakukan persiapan untuk tindak lanjut
di rumah. Bila gejala klinis dan BB/TB-PB anak sudah berada di garis warna
kuning (-2 SD), anak dinyatakan sembuh dan dapat dirawat di rumah dan
dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas/bidan di desa (Kemenkes RI, 2011).

Pada pemeriksaan penunjang, ditemukan tanda anemia ringan pada pasien ini.
Kadar hemoglobin pada pasien ini saat pertama kali diperiksa adalah 9,5 gr/dl.
Ada banyak faktor resiko yang menyebabkan anemia pada anak, yaitu karena
adanya masalah yang timbul pada masa kehamilan, bayi lahir premature,
perubahan pola makan dan kebutuhan jenis makanan, pemberian ASI dan bukan
ASI yang tidak tepat, faktor ekonomi dan bisa juga karena menderita penyakit
tertentu.

Pada masa kehamilan, ibu pasien mengatakan pernah mengalami perdarahan saat
usia gestasi 16 minggu. Perdarahan berupa flek dan terjadi selama 5 hari. Nutrisi
ibu pasien saat hamil tercukupi dengan baik saat hamil. Ibu pasien juga tidak
pernah mengalami anemia selama kehamilan karena rutin mengonsumsi tablet Fe.
Pasien lahir dibidan, cukup bulan, langsung menangis dan berat badan 3700 gram.
Oleh karena itu, masalah kehamilan dan kelahiran dalam hal ini tidak berperan
sebagai pencetus terjadinya anemia pada pasien.

Pemberian ASI pada pasien, seperti telah dipaparkan sebelumnya adalah 10-12
kali sehari. Namun, ketika pasien mulai mengalami keluhan sesak napas dan batu
berdahak sejak usia 40 hari, frekuensi menyusu pasien hanya 6-7 kali sehari.
Pemberian ASI yang tidak efektif (jumlah tidak cukup) mengakibatkan terjadinya
defisiensi nutrisi dan dapat menjadi salah satu pencetus terjadinya anemia pada
pasien ini.

Kondisi perekonomian orang tua juga merupakan salah satu faktor predisposisi
anemia. Ayah pasien seorang buruh bangunan dan ibunya tidak bekerja. Orang tua
dengan keadaan ekonomi yang tidak mencukupi mengakibatkan sulitnya
melakukan pemenuhan nutrisi pada bayi.
Penyakit tertentu dalam hal ini penyakit kronis juga menjadi salah satu penyebab
anemia. Pasien ini mengalami gizi buruk dengan penyulit bronkopneumonia. Pada
pasien ini telah dilakukan pemeriksaan gambaran darah tepi dan didapatkan
bahwa pasien mengalami anemia normokromik normositer. Salah satu penyebab
anemia normokromik normositer adalah adanya penyakit kronik.

Pemeriksaan berkala terhadap kadar Hb sudah dilakukan pada pasien ini. Pada
tanggal 22 Agustus 2014 , kadar Hb pasien masih 9,5 gr/dl. Pemeriksaan ketiga
pada tanggal 4 Agustus 2014, kadar Hb pasien meningkat menjadi 9,9 gr/dl.
Pemeriksaan keempat pada tanggal 15 September 2014, kadar Hb pasien 10 gr/dl.
Pada kasus gizi buruk, biasanya dilakukan penatalaksanaan berupa pemberian
tablet Fe dan transfusi darah. Pada pasien ini tidak dilakukan pemberian tablet Fe
dan transfusi darah. Tatalaksana tersebut dilakukan apabila kadar hemoglobin
pasien mencapai nilai <6 gr/dl.

Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya gambaran kardiomegali


(CTR >60%). Kardiomegali pada pasien ini diduga terkait dengan penyakit
jantung bawaan yang dialaminya. Pasien telah melakukan echocardiografi pada
tanggal 30 Agustus 2014 dan dikatakan mengalami ASD (Atrial Septal Defect)
sekundum kecil. Secara anatomis, teradapat 3 tipe ASD yaitu: defek sekundum,
defek primum, dan defek tipe sinus venosus. Defek tipe sekundum merupakan
bentuk kelainan terbanyak (50%-70%). Defek dengan ukuran 3-8 mm menutup
pada usia 1 tahun pada 80% pasien (IDAI, 2009). Oleh karena itu, pasien
dianjurkan untuk melakukan echocardiografi ulang 1 tahun lagi.

Pasien ini juga mengalami gagal tumbuh. Gagal tumbuh didefinisikan sebagai
perpindahan posisi berat badan terhadap umur yang melewati lebih dari 2 persentil
utama atau 2 standar deviasi ke bawah jika diplot pada grafik BB menurut umur.
Gagal tumbuh bukanlah suatu diagnosis lemainkan gejala yang harus dicari
penyebabnya (IDAI, 2009). Penyebab gagal tumbuh pada pasien ini diduga akibat
asupan kalori yang tidak mencukupi karena penyakit yang dialaminya, yaitu
Bronkopneumonia + TB Paru + ASD Sekundum Kecil. Perawakan pendek pada
pasien mungkin saja disebabkan oleh keadaan malnutrisi sehingga menyebabkan
zat-zat gizi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan tulang tidak tersedia.
Akhirnya hipertrofi dan hiperplasi sel-sel tulang pun terhambat.

Secara keseluruhan, gizi buruk menyebabkan menurunnya jumlah sel-sel


serebrum dan batang otak, dimana penurunan terbanyak adalah pada serebrum.
Gizi buruk yang terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan mengakibatkan hambatan
pertumbuhan dan beberapa sentimeter lebih pendek dari potensi tinggi badannya
pada masa dewasa serta terdapat bukti bahwa orang dewasa yang mengalami gizi
buruk pada masa awal kehidupan menunjukkan gangguan kemampuan intelektual.

Bronkopneumonia sendiri sebenarnya dapat sembuh total dengan mortalitas


kurang dari 1%. Namun, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak
dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Pasien ini
juga mengalami infeksi kuman TB. Infeksi berat dapat memperburuk keadaan
melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh.
Sebaliknya malnutrisi memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh
terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergi memberikan dampak negatif yang
lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi
apabila berdiri sendiri. Namun, dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat serta
edukasi yang baik kepada orang tua, pasien gizi buruk dengan penyulit dapat
memperoleh prognosis yang lebih baik dan keluarga dapat mendukung proses
pengobatan hingga anak dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal dengan
kualitas hidup yang baik. Faktor prognosis pada pasien ini ad vitam dubia ad
bonam, ad functionam dubia ad bonam, ad sanactionam dubia ad bonam.

Anda mungkin juga menyukai