Anda di halaman 1dari 59

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidemiologi Anemia dan Transfusi Sel Darah merah dalam ICU

Transfusi sel darah merah umumnya dibutuhkan oleh pasien - pasien dalam

keadaan kritis. Beberapa penelitian observasional multisenter terbaru melaporkan,

hampir sepertiga dari keseluruhan pasien kritis menerima transfusi darah pada

satu waktu selama perawatannya di ICU.17 Setidaknya 15 juta kantong darah

merah ditransfusikan di Amerika Serikat18 dan 85 juta di seluruh dunia.20

Laju transfusi sel darah merah di ICU cukup tinggi karena kebanyakan pasien

menderita anemia tingkat sedang sampai berat. Anemia sendiri merupakan tanda

dari keadaan kritis yang muncul pada 90% kasus. Penyebab anemia sangat

banyak, namun adanya suatu proses inflamasi dianggap sebagai faktor penting.

Anemia muncul di awal keadaan kritis, istilah anemia inflamasi saat ini mulai

digantikan dengan anemia penyakit kronik, yang lebih menggambarkan keadaan

pasien kritis.21

Penelitian menunjukkan 77% pasien kritis memiliki anemia selama

perawatannya di rumah sakit dan lebih dari 1/3 nya menerima transfusi darah.

Sedangkan WHO menyatakan 60% pasien yang masuk ke ICU dalam kondisi

anemis dan20-30% diantaranya memiliki kadar Hb 9 g/dl.13

Pada penelitian observasional multisenter kohort di Skotlandia, 25% pasien

yang masuk ke ICU memiliki kadar Hb dibawah 9 g/dl. Hasil yang sama

dilaporkan oleh ABC17,22 dimana 29% pasien memiliki kadar Hb dibawah 10 g/dl.

5
6

Bahkan pada pasien non-perdarahan di ICU, kadar Hb menurun di awal

perawatan.17,22 Penurunan ini lebih nyata terlihat pada pasien dengan sepsis

dibandingkan dengan pasien non sepsis17,23, hal ini disebabkan oleh respons

inflamasinya sendiri, selain oleh karena pengambilan sampel darah untuk

kebutuhan laboratorium yang cukup sering.17

Penelitian di Kanada yang melibatkan 5298 pasien ICU melaporkan 25%

diantaranya menerima transfusi darah selama perawatan ICU.24,25 Di Inggris, 53%

dari 1247 pasien kritis menerima transfusi darah selama di ICU.24,26 Penelitian

ABC yang dilakukan di 146 negara negara Eropa Barat dan melibatkan 3534

pasien menyatakan 33% pasien menerima transfusi darah selama di ICU.24,27

Angka ini meningkat seiring lamanya waktu perawatan selama di ICU(25%

pasien dalam waktu kurang dari 2 hari, 56% pasien dngan waktu lebih dari 2 hari,

dan 73% pasien dengan lama perawatan lebih dari 7 hari). CRIT menyatakan 44%

pasien menerima transfusi darah selama perawatan di ICU.24,28Penelitian SOAP

yang melibatkan 3147 pasien dari 198 ICU di Eropa melaporkan 33% pasien

menerima transfusi darah selama perawatannya.24,29

Dua penelitian lainnya menilai insidensi anemia dan penggunaan transfusi

darah di Eropa dan Amerika Serikat. Penelitian di Eropa menyatakan angka

transfusi pada pasien mencapai 33% sedangkan di Amerika Serikat 44%. Angka

rerata kadar Hb bekisar 8,4-8,6 g/dl sebelum transfusi di kedua negara. 14

Selebihnya, kedua penelitian meyatakan bahwa terdapat hubungan antara

penerimaan transfusi dengan prognosis yang buruk.


7

Tabel 2.1.Studi Observasional Multicenter :Transfusi pada Pasien ICU

Author Year study Country/ No. Of Percentage Pretransfusi Mean no.of Mean age of
was region patients and transfused on units blood (days)
conducted number of in ICU hemoglobin transfused
ICUs level in ICU
Hebert et al. 1993 Canada 5,298 25.0 Mean: 8.6 NS NS
patients in 6 1.3 g/dl
ICUs

Vincent et al. 1999 Western 3,534 33.0 Mean: 8.4 4.8 5.2 NS
Europe patients in 1.3 g/dl
146 ICUs
Rio et al. 1999 UK 1,247 53.0 Median: 8.5 6.75 16.2 6.7
patients in 9 (IQR 7.9-9) (hemorrhage
ICUs g/dl ) and 4.25
(anemia)
Corwin et al. 2000-2001 USA 4,892 44.0 Mean: 8.6 4.6 4.9 NS
patients in 1.7 g/dl
284 ICUs

Walsh et al. 2001 UK 1,023 39.5 Median: 7.8 Mea: 1.87 21 11.4
(Scotland) patients in (7.3-8.5) g/dl unit/ICU
10 ICUs admission

French et al. 2001 Australia 1,808 19.8 Median: 8.2 Mean: 4.18 NS
and New patients in (range:4.4-
zealand 18 ICUs 18.7)g/dl

Vincent et al. 2002 Western and 3,147 33.0 Median: 8.2 5.0 5.8 NS
Eastern patients in g/dl
Europe 198 ICUs
Westbrook et 2008 Australia 5,128 14.7 Mean: 7.7 Median: 2 Median: 14
al. and New patients in g/dl (IQR 1-4) (IQR 9.5-
Zealand 47 ICUs 21.5)
Sumber : Lelubre, C., Vincent, L.17

B. Transfusi Darah Dalam Penanganan Masa Kritis


Prosedur transfusi darah dapat menyelamatkan nyawa, namun juga memiliki

resiko tersendiri, baik resiko infeksi maupun non-infeksi. Terdapat perdebatan

pada literatur medis yang mengusut penggunaan darah dan produk darah lainnya

secara layak. Uji klinis yang menginvestigasi penggunaannya menyarankan

memulai transfusi pada kadar Hb yang lebih rendah, lebih menguntungkan.30


1. Sel Darah Merah
a. Indikasi
8

Satu satunya rekomendasi yang baik untuk penggunaan

transfusi RBC adalah untuk menanggulangi perdarahan akut

dengan hemodinamika yang tidak stabil atau kurangnya

pengiriman oksigen sebagai kebutuhan jaringan. Bila tidak

ada perdarahan yang terlalu besar, praktik transfusi

konservatif dianjurkan untuk menjaga kadar Hb > 7g/dl pada

hampir semua pasien dengan keadaan kritis, termasuk di

dalamnya pasien trauma, pasien yang membutuhkan mesin

ventilator, dan pasien dengan angina stabil.31 Pengecualian

yang paling mungkin bagi prosedur transfusi RBC konservatif

adalah pada fase awal pasien mengalami iskemia jaringan,

seperti pada pasien ACS dan sepsis berat/syok sepsis,

meskipun pada petunjuk transfusi saat ini menyarankan agar

transfusi darah dilakukan pada fase akut resusitasi pasien

dengan sepsis (untuk meningkatkan kadar Ht sampai 30%

yang dibutuhkan agar kadar ScvO2 mencapai 70%).31


b. Efikasi
Beberapa penelitian tentang transfusi sel darah merah mengenai

penggunaannya di luar pengobatan untuk perdarahan akut menunjukkan hasil

yang signifikan. Waktu pemberian transfusi dapat memberikan hasil yang

membingungkan, namun efek samping mikrosirkulasi dari penempatan sel

darah merah dapat memberikan penjelasan lebih lanjut. Penurunan

konsentrasi yang cepat dari S-nitrosohemoglobin dan sel darah merah yang
9

rusak telah diduga menjadi mekanisme potensial yang akan terjadi bila terjadi

oklusi perdarahan mikro dan iskemia jaringan yang berlanjut.31


c. Risiko
Kepedulian pada transmisi potensial patogen melalui darah seperti HIV

telah membawa kita pada tingkat kehati-hatian yang lebih tinggi untuk

transfusi RBC alogenik. Masalah utama dari seluruh perhatian adalah

hubungan antara transfusi Sel darah merah dengan infeksi, kompikasi paru

seperti TRALI, dan TACO, kegagalan fungsi multi organ, dan risiko

kematian. Faktor penyebab yang menghubungkan transfusi dan efek

sampingnya masih menjadi polemik, perhatian saat ini ditujukan pada lesi

penempatan sel darah merah dan imunomodulasi yang berhubungan dengan

transfusi atau transfusion-related immuno modulation yang dikenal dengan

TRIM.31
Gambar 2.1.Konsekuensi Biologis dan Fisiologis Penyimpanan PRC

Sumber :Kor, D.J., Gajic, O31

2. Fresh Frozen Plasma


a. Indikasi
Indikasi penggunaan FFP:
(1) Penggantian kekurangan faktor tunggal koagulasi yang

bebas virus.
10

(2)Penggantian kekurangan protein spesifik seperti C1

esterase inhibitor.
(3)Penggantian kekurangan faktor koagulasi multipel yang

berhubungan dengan pendarahan dalam.


(4) Sebagai pengganti komponen plasma pada pasien dengan

purpura trombositopenia.
(5) Kebalikan dari antikoagulasi warfarin saat terjadi

pendarahan hebat dan konsentrat protrombin kompleks

tidak tersedia.
(6) Pencegahan dilusi koagulopati pada pasien dengan

perdarahan hebat.
(7) Pencegahan pendarahan pada pasien dengan penyakit

hati tingkat lanjut dan masa pembekuan yang memanjang

yang direncanakan melakukan prosedur invasif seperti

operasi.31
b. Efikasi
Kemampuannya membentuk trombus in vivo bergantung

pada kondisi faktor koagulasinya menjadi pengetahuan yang

signifikan. Satu yang harus diapresiasi dimana penggunaan

FFP terkadang menormalkan kadar INR yang meningkat,

meningkatkan kadar faktor koagulasi dan menurunkan risiko

perdarahan.31

Tabel 2.2.Indikasi Transfusi Fresh Frozen Plasma

Indication Associated conditional/additional information


11

International Normalized Inherited deficiency of single clotting factors with no virus-safe or


Ratio > 1.6 recombinant factor available-anticoagulant factors II, V, X, or XI
Prevent active bleeding in patient on anticoagulant therapy before
procedure
Active bleeding
Emergent reversal od Major or intracranial hemorrhage
warfarin (Courmadin) Prophylactic transfusion in a surgical procedure that cannot be delayed
Acute disseminated With active bleeding and correction of underlying condition
intravascular coagulopathy
Microvascular bleeding 1 blood volume (replacing approximately 5,000 nL in an adult who
during massive transfusion weighs 155.56 lb[70 kg])

Replacement fluid for Thrombotic thrombocytopenic purpura; hemolytic uremic syndrome


apheresis in thrombotic
microangiopathies
Hereditary angioedema When C1 esterase inhibitor is unavailabe9

Sumber :Sharma, S., Sharma, P., dan Tyler, L.N30


c. Risiko
Ada 3 hal yang harus diperhatikan saat pemberian transfusi

plasma yaitu, reaksi alergi, TACO dan TRALI. Reaksi alergi

muncul dengan tanda yang bervariasi dari pruritus ringan

sampai reaksi anafilaktik. Meskipun TACO termasuk kasus

yang jarang ditemui, insidensinya sampai di angka 11% dari

keseluruhan resipien transfusi.31


3. Keping Darah / Platelets
a. Indikasi
Trombositopenia dan gangguan fungsi platelet menjadi

indikasi utama pemberian transfusi platelet. 31 Meskipun

kelainan bawaan jarang dijumpai, trombositopenia sering

ditemukan di ICU. Diperkirakan 40% pasien yang

membutuhkan perawatan di ICU memiliki jumlah platelet

kurang dari 150x109/L pada satu waktu selama perawatan di


12

ICU dan lebih dari 25% memiliki jumlah platelet kurang dari

100x109/L.31 Adanya trombositopenia di ICU dihubungkan

dengan adanya perdarahan, lamanya masa tinggal di ICU,

dan kematian.31
Tabel 2.3. Indikasi Transfusi Platelet pada Pasien Dewasa

Prophylactic transfusion Platelet count (x103 per L)


indications
Major surgery or invasive 50
procedure, no active bleeding

Ocular surgery or neurosurgery, 100


no active bleeding

Surgery with active bleeding < 50 (usually)


> 100 (rarely)

Stable nonbleeding <10


Stable nonbleeding and body <20
temperature > 100.4F (38C) or
undergoing invasive procedure
Sumber :Sharma, S., Sharma, P., dan Tyler, L.N30
Tabel 2.4.Indikasi Transfusi pada Pasien Pediatrik

Platelet count (x103 per L) Indications


<20 Always transfuse
20 to <30 Consider transfusion; transfuse for clinical reasons(e.g.,
active bleeding, lumbar puncture)

30 to 50 Transfuse if any of the following indications exist:


First week of life with birth weight < 1,000 g (2 lb, 4 oz)
Intraventricular or intraparenchymal cerebral hemorrhage
Coagulation disorder
Sepsis or fluctuating arterial venous pressure
Invansive procedure
Alloimmune neonatal thrombocytopenia*
Sumber :Sharma, S., Sharma, P., dan Tyler, L.N30
b. Ambang Transfusi
13

Meskipun bukti menyarankan angka platelet menjadi pemicu transfusi

platelet di icu berkisar di rentang 40-50x10 9/L, penjelasan praktik transfusi

liberal di masa perioperatif plateletnya terhitung 85x109/L pada pasien

operasi bukan jantung dan 102x109/L untuk pasien yang mengalami operasi

bypass jantung paru. Saat mengenali batasan ini, petunjuk terbaru bagi pasien

dengan diseminasi koagulasi intravaskular, perdarahan hebat, atau yang akan

melakukan prosedur invasif dianjurkan untuk memulai transfuse platelet dari

angka 50x109/L. batas atas direkomendasikan untuk operasi tertentu dengan

perhatian yang ditingkatkan untuk pendarahan periprosedural (operasi saraf

dan operasi mata).31


c. Risiko
Seperti FFP, platelet memiliki volume plasma yang tinggi dengan

kesamaan risiko termasuk TRALI, TACO, hemolysis akut, dan reaksi

anafilaktik.31 Perhatian penting tentang transfusi platelet adalah sepsis31,

dengan kontaminan bakteri yang menjadi salah satu dari ketiga hal utama

penyebab kematian akibat transfusi.31 Penyimpanan platelet pada suhu

ruangan dapat menjadi lingkungan yang baik bagi bakteri agar dapat

mengontaminasi sehingga transfusi septik tidak terelakkan.31


4. Kriopresipitat
Kriopresipitat dibuat dengan melelehkan FFP dan mengumpulkan

presipitatnya. Kriopresipitat kaya akan faktor koagulan VIII dan fibrinogen,

sehingga menjadi pilihan utama untuk digunakan dalam kasus

hipofibrinogenemia, yang sering muncul pada kondisi perdarahan hebat. Indikasi

transfusi kriopresipitat dapat terlihat dalam tabel berikut.30


Tabel 2.5.Indikasi Transfusi Kriopresipitat

Adults Neonates (continued)


14

Hemorrhage after cardiac Anticoagulant factor XIII


surgery deficiency
Massive hemorrhage or Congenital
transfusion dysfibrinogenemia
Surgical bleeding Congenital fibrinogen
deficiency
Neonates
Anticoagulant factor VIII von Willebrand disease*
deficiency*
Sumber :Sharma, S., Sharma, P., dan Tyler, L.N30

C. Tujuan Transfusi
Tujuan utama dari transfusi darah adalah untuk meningkatkan penghantaran

oksigen (DO2) yang ditentukan oleh curah jantung dan oksigen dalam arteri. Di

sini, secara teori, transfusi darah dapat mencegah hipoksia jaringan. 17,32, 34,35 Tetapi

apakah benar dalam praktik klinis terjadi hal yang demikian? Sudah jelas transfusi

sel darah merah dapat menyelamatkan nyawa pada situasi seperti perdarahan akut

atau anemia akut yang berat dengan cara meningkatkan cardiac output. Pada

absennya perdarahan aktif, peningkatan konsentrasi Hb dapat berubah drastis

dengan adanya penurunan cardiac output akibat viskositas darah yang meningkat

yang dihubungkan dengan adanya penurunan respon saraf simpatis.17,33,34


Penghantaran oksigen (DO2) terlihat meningkat seiring pemberian transfusi

sel darah merah pada sejumlah studi17,32, meskipun tidak semua studi menyatakan

hal yang sama.17,35 Efek transfusi sel darah merah pada hubungan antara DO 2

dengan pengambilan oksigen (oxygen uptake, VO2) ternyata susah untuk

diprediksi.Beberapa studi menunjukkan bahwa VO2 ikut meningkat seiring

pemberian transfusi meskipun ada juga yang melaporkan sebaliknya 17,54, dan efek
15

variabel didapatkan terjadi masalah pada perfusi jaringan, yang dinilai dari pH

mukosa lambung atau spektroskopi inframerah (NIRS).17,39


Semua alasan untuk hasil kontradiktif terletak pada tingkat keparahan

hipoksia sebelum transfusi sel darah merah17,33, yang mempengaruhi

ketergantungan VO2 dan DO2. Masalah metode yang digunakan(ketidaktepatan

penentuan VO2, penilaian VO2 secara keseluruhan, korelasi yang buruk antara

parameter oksigenasi sistemik, dan oksigenasi pada mikrosirkulasi) 17,33 juga dapat

berpengaruh pada hasil yang inkonsisten ini.17,39

D. Anemia pada Perawatan Masa Kritis


WHO menyatakan bahwa seseorang dikatakan anemia bila kadar Hb kurang

dari 13 g/dl pada pria dan kurang dari 12 g/dl pada wanita, dan mengenai dari

seluruh populasi dunia, setidaknya 50% pada pasien rawat inap, dan sampai 75%

pasien geriatri rawat inap.41 Presentasi yang tinggi pada pasien yang menjadi

anemis selama perawatan di ICU, dari 60%-66% saat masuk, meningkat 90-97%

setiap harinya.41,42,43Data dikumpulkan selama tahun 2000 pada lebih dari 81000

peserta asuransi mengindikasikan angka tertinggi anemia terjadi pada pasien

dengan penyakit ginjal kronik (34,5%), kanker (21%), penyakit jantung

kronis(18%), inflammatory Bowel disease(13%), arthritis rheumatoid(10%), dan

infeksi HIV(10%).41
Anemia sering dijumpai pada pasien-pasien kritis dan berhubungan dengan

penyakit penyerta yang dapat memburuk. Prevalensi anemia pada pasien-pasien

kritis dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu beratnya penyakit, campuran

berbagai penyakit, dan kemunculan penyakit penyerta. Studi kohort dari 3534

pasien yang masuk ke dalam ICU di negara-negara Eropa Barat melaporkan

bahwa 63% pasien memiliki konsentrasi Hb < 12 g/dl saat masuk ICU, sedangkan
16

29% diantaranya memiliki konsentrasi Hb <10 g/dl. Dalam penelitian ini, anemia

muncul lebih sering dan lebih berat pada pasien yang lebih tua usianya.Selama

perawatan di ICU, konsentrasi Hb menurun dengan rata-rata 0,66 g/dl/hari untuk

3 hari pertama dan selanjutnya 0,12 g/dl/hari.44


Penurunan dini angka Hb secara drastis juga dilaporkan pada studi kohort

prospektif observasional satu pusat pada pasien dengan lama rawat inap di ICU

lebih dari 24 jam. Penelitian lain menemukan bahwa 77,4% pasien yang bertahan

dan keluar dari ICU dalam kondisi anemis (dengan kadar Hb < 13 g/dl pada pria

dan <11,5 g/dl pada wanita) saat dipulangkan ke rumah dan 32,5% diantaranya

memiliki konsentrasi Hb dibawah 10 g/dl. 50% pasien yang menghabiskan lebih

dari 7 hari dalam ICU memiliki konsentrasi Hb < 10 g/dl saat keluar dari rumah

sakit.44

1. Penyebab Anemia
Anemia diduga timbul karena satu faktor saja seperti defisiensi nutrisi atau

multifaktor. Anemia merupakan hasil dari satu atau lebih kejadian berikut:

kehilangan sel darah merah, tidak adekuatnya produksi sel darah merah,

meningkatnya penghancuran sel darah merah, dan siklus sel darah merah yang

pendek. Banyak faktor tersebut berkontribusi untuk pembentukan anemia

kompleks pada pasien rawat inap, termasuk defisiensi nutrisi, reduksi produksi

akibat penekanan akibat pengobatan, peradangan sitokin (anemia inflamasi atau

anemia penyakit kronik), flebotomi, atau perdarahan akut/kronis.41


Bagan 2.1.Diagram Skematik dari Penyebab Anemia
17

Sumber :Ortega, D. dan Sakr, Y44

a. Anemia pada penyakit kronis


Anemia penyakit kronis adalah bentuk umum pada anemia yang muncul

pada pasien yang menderita penyakit kronis yang lama atau tingkat lanjut.

Pasien diduga memiliki anemia penyakit kronis saat memunculkan tanda

tanda berikut: 1. Infeksi atau inflamasi kronis, penyakit autoimun atau

keganasan, atau penyakit ginjal, 2. Konsentrasi hb < 13 g/dl pada pria dan

<12 g/dl pada wanita, dan 3. Saturasi transferin yang rendah (<20%) dengan

konsentrasi serum feritin yang dapat normal atau meningkat(>100 ng/ml) atau

konsentrasi serum feritin yang rendah (30-100 ng/ml). Pengukuran melaui

hitung retikulosit, sekresi eritropetin endogen(perbandingan EPO yang ada

dengan EPO yang seharusnya ada), dan kreatinin serum (filtrasi glomerular)
18

mungkin menolong dalam menentukan sebab anemia penyakit kronis. Karena

pasien pasien kritis biasanya memiliki penyakit penyerta yang banyak,

anemia jenis ini berkontribusi pada prevalensi rendahnya kadar Hb saat

masuk ke ICU dalam studi epidemiologi yang besar. 50% pasien yang masuk

ke ICU dengan kadar Hb < 10 g/dl memiliki riwayat antara perdarahan akut

ataupun anemia penyakit kronis.41,44


b. Kehilangan darah akibat flebotomi
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa, rata-rata pasien dengan

penyakit kritis kehilangan 1-2 unit darah akibat proses pengambilan sampel

darah untuk uji laboratorium selama perawatan di RS atau terhitung 30% dari

total darah yang ditransfusikan selama di ICU. Data terbaru mengindikasikan

30-40 ml darah diambil untuk uji lab per harinya, atau mungkin lebih bagi

mereka yang sakitnya lebih parah dan pada mereka yang menjalani

tranplantasi ginjal. Uji lab memainkan peran penting dalam diagnosis dan

pemilihan manajemen terapi pasien dalam keadaan kritis; studi terbaru pada

pasien trauma mengira bahwa uji lab lebih sering dilakukan dengan

peningkatan pada volume darah yang diambil pada tahun 2009 dibandingkan

tahun 2004.17,24,41,44
c. Kehilangan darah akibat perdarahan
Begitu banyak sumber potensial perdarahan pada pasien dengan penyakit

kiritis. Perdarahan gastrointestinal masih mungkin menjadi kontributor

penting meskipun terdapat penurunan dengan penggunaan profilaksis dan

resusitasi dan penanganan yang cepat, tapi pada beberapa kelompok pasien,

mereka yang menerima ventilasi mekanik atau dengan koagulopati dan gagal

ginjal masih memiliki risiko tinggi mengalami perdarahan. Studi terbaru di


19

Australia dan New Zealand melaporkan bahwa perdarahan merupakan alasan

utama untuk transfusi dengan angka kejadian 46% dari keseluruhan kejadian

transfusi.41,44
d. Hemodilusi
Pasien kritis sering ditemukan dalam keadaan hipovolemik intravaskular

dan membutuhkan resusitasi cairan. Penanganan terkini melibatkan cairan

kristaloid atau koloid selama resusitasi dan menahan pemberian transfusi

kecuali terjadi perdarahan hebat. Hasil selanjutnya pada keadaan tersebut

adalah hemodilusi yang menyebabkan penurunan yang cepat pada konsentrasi

Hb yang terlihat di awal masuk pasien keadaan kritis ke ICU dan dapat

menyebabkan anemia tanpa mengurangi massa dari sel darah merah.44

e. Reaksi Obat
Obat-obatan yang diberikan selama di ICU dapat memberikan efek

samping, salah satunya anemia dengan 2 cara, karena hemolisis atau

penekanan produksi eritropoetin dari ginjal. Anemia hemolitik akibat obat

jarang ditemukan tapi memiliki efek samping serius yang disebabkan oleh

meningkatya penghancuran sel darah merah yang rusak akibat obat oleh

makrofag dalam limpa dan hati. 3 obat yang sering menyebabkan anemia

hemolitik adalah piperacillin, cefotetan dan ceftriaxone.41


Penghentian pemberian obat diketahui sebagai satu-satunya cara bila

antibodi yang mengaktifkan makrofag bersifat drug-dependent. Untuk anemia

hemolitik golongan bebas pengaruh obat, kortikosteroid menjadi lini pertama

pengobatan, disusul rituximab yang mengurangi kadar makrofag yang

mengakibatkan hemolisis. Reaksi obat juga dapat menyebabkan anemia pada

pasien ICU dengan cara menekan pelepasan eritropetin.41


20

Penggunaan obat seperti ACE-inhibitors dan ARB (untuk penanganan

hipertensi), Ca-channel blocker, teofilin, dan -adrenergic blocker menekan

pelepasan eritropoetin ke plasma pada beberapa pasien.41

Tabel 2.6.Obat-Obatan yang Berhubungan dengan Anemia Hemolitik

Mechanism of hemolysis Common medications


Immune Cephalosporins/cephamycins
Cefotetan
Ceftriaxone
-lactams
Penicillin derivatives
Piperacillin
Nonsteroidal anti-inflammatories
Diclofenac
Ibuprofen
Antineoplastics
Fludarabine
Others
Methyldopa
Quinine/quinidine
Nonimmune Nitrofurantoin
Phenazopyridine
Primaquine
Sulfa drugs

Sumber :McEvoy, M.T. dan Shander, A41

2. Patofisiologi Anemia
Penghantaran oksigen global (DO2) dari jantung ke jaringan adalah hasil dari

isi oksigen pada arteri dengan curah jantung. Isi arterial O 2 dihitung sebagai

oksigen yang dibawa Hb ditambah dengan O2 terlarut dalam keadaan sehat; >
21

99% oksigen terikat pada Hb untuk transportasi. Hipoksia jaringan dapat muncul

selama penyakit kritis sebagai hasil dari permasalahan sluruh tingkat oksigen

termasuk jalan nafas dan penyakit paru, fungsi jantung yang tidak adekuat, dan

pengurangan atau distribusi yang abnormal pada aliran mikrovaskular.13


Anemia mengurangi kapasitas pembawa O2 dan terdapat bukti kuat yang

dapat dipercaya bahwa hal ini juga menimbulkan hipoksia jaringan. Saat DO 2

jaringan menurun drastis, mekanisme kompensatoris asupan O 2 kewalahan dan

transport O2 langsung menjadi proporsional saat asupan oksigen tersedia.13


Di beberapa bagian, hipoksia jaringan berat seringkali muncul. Penelitian

menggunakan normovolemik hemodilusi yang mengindikasikan dewasa muda

dapat menjaga asupan oksigen pada kadar Hb 4-5 g/dl dengan meningkatkan

cardiac output dan ekstrasi O2. Jantung dan otak memiliki tingkat rasio ekstraksi

O2 yang tinggi, yang membatasi mekanisme kompensatoris ini. Sebagai

tambahan, konsumsi O2 meningkat pada pasien dengan penyakit kritis sehingga

anemia kurang dapat ditoleransi selama pasien menjalani masa kritis). Penilaian

terhadap perbandingan risiko atau keuntungan dari transfusi untuk meningkatkan

kapasitas membawa O2 adalah kunci pertimbangan untuk mengoptimalkan hasil

keluaran dari pasien.13

3. Perbandingan Toleransi Anemia pada orang sehat dengan Pasien Kritis


Toleransi terhadap anemia sangat bergantung pada status volume pasien,

penyimpanan fisiologis, dan dinamika selama anemia (sebagai contoh, anemia

kronik akibat sepsis versus anemia akut akibat kehilangan darah). Anemia

normovolemik ditoleransi lebih baik dibanding anemia pada keadaan

hipovolemik (sebagai contoh, perdarahan akut pada pasien perdarahan akibat

trauma atau operasi) di mana curah jantung tiba-tiba menurun. Pada subjek yang
22

sehat, untuk dilakukan hemodilusi normovolemik, curah jantung meningkat

karena penurunan viskositas darah(khususnya relevan pada pasien dengan

anemia berat), memunculkan respons adrenergik hingga takikardi dan

meningkatkan kontraktilitas otot jantung.17


Fenomena lain termasuk redistribusi aliran darah ke otak dan jantung dan

peningkatan rasio ekstrasi oksigen (dicerminkan dengan penurunan saturasi

vena). Mekanisme ini membuat manusia sehat untuk menoleransi tingkat

keparahan dari anemia normovolemik, meskipun efek samping seperti aritmia

dan perubahan segmen ST pada EKG, dapat diobservasi pada kasus ekstrim.17
Otot jantung menjadi organ yang berisiko pada kasus anemia akut akibat

takikardi dan peningkatan kontraktilitas ventrikel yang berujung pada

peningkatan permintaan oksigen pada otot jantung itu sendiri. Karena ekstraksi

oksigen pada otot jantung hampir sempurna, setiap peningkatan permintaan

oksigen dikompensasi dengan peningkatan aliran darah koroner. Hal ini dapat

menjadi masalah pada pasien dengan stenosis arteri koroner terlebih saat

takikardi muncul yang dapat menurunkan perfusi ventrikel kiri yang bergantung

pada tekanan diastol.17


Kemudian, pada pasien kritis dengan gagal jantung atau penyakit jantung

koroner, otot jantung tidak dapat menolerir hal seperti kadar Hb yang rendah 17

dan anemia sendiri meningkatkan angka kesakitan bahkan kematian. Pada infark

miokard akut, anemia mungkin memperparah iskemia pada otot jantung,

menimbulkan aritmia, dan sangat potensial memperluas ukuran infark. 17Pada

pasien dengan ACS atau gagal jantung, anemia dapat meningkatkan angka

kesakitan dan kematian.17Dengan berbagai alasan inilah pasien dengan kondisi di

atas lebih memakai pendekatan umum untuk melakukan transfusi.17,45,46


23

Kebanyakan bahaya transfusi yang potensial sangat jarang dapat dideteksi

dengan bukti-bukti yang telah kita lihat, dan studi lanjutan maupun review

dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan ini. Klinisi membuat keputusan setiap

hari dengan bukti yang kurang lengkap. Kami percaya petunjuk ini menyediakan

rekomendasi yang dipertimbangkan baik baik, diantaranya kualitas bukti,

keuntungan dan risiko transfusi, dan kumpulan beberapa pandangan dari banyak

panel ahli / subspesialis. Rekomendasi definitif lanjutan membutuhkan uji klinis

yang lebih jauh.17

E. Pemicu Transfusi
Kriteria optimal Hb/Ht untuk transfusi masih menjadi kontroversi pada

beberapa aturan klinis.35 Sejarahnya, standard klinis yang diterima secara luas

untuk menransfusi pasien saat kadar Hb jatuh dibawah 10 g/dl atau hematokrit

dibawah 30%. Aturan 10/30 ini pertama kali diperkenalkan oleh Adam dan

Lundy pada tahun 1942 dan digunakan sebagai pemicu transfusi RBC selama

bertahun tahun.
Bagaimanapun, NIHCC tahun 1988 di Amerika Serikat melaporkan bukti

bukti yang ada tidak mendukung satu kriteria saja untuk transfusi.35Sejak itu,

beberapa publikasi memiliki pertimbangan untuk menolak penggunaan satu

kriteria untuk pemberian transfusi, menganjurkan bahwa penggunaan status Hb

dengan rentang 6-10g/dl dapat dipakai tergantung kehadiran penyakit penyerta

yang serius(AAGBI 2008, ASA 2006, ASBT 2001, BCTMAG 2003, Napolitano

2009, NBUGI 2001).35,47


Bagan 2.2.Pendekatan Transfusi pada Pengananan Pasien Kritis.
24

Sumber :Retter, A., et al13


1. Saturasi Oksigen Vena Sebagai Pemicu Transfusi Fisiologis
Saturasi oksigen vena merupakan satu alat klinis yang mengintegasikan

seluruh hubungan pengambilan-ke-pasokan oksigen (VO2 DO2). Pada kasus

klinis, ketiadaan saturasi oksigen vena campiran (SvO2) yang muncul karena

kateter arteri paru (PAC), saturasi oksigen vena pusat (ScvO 2) menjadi sering

digunakan sebagai pengganti yang akurat.48,50Kateter vena pusat (CVCs) lebih

simpel dan secara umum lebih aman dan murah dibandingkan dengan PACs.

CVC memungkinkan pensampelan darah untuk pengukuran ScvO2, atau bahkan

pemonitoran ketika kateter oksimeter digunakan. Rentang normal untuk SvO 2

adalah 68 sampai 77% dan SvO2 dianggap 5% diatas nilai tersebut.11,48,51.


Penurunan hemoglobin (Hb, g/dl) sepertinya berhubungan dengan penurunan

DO2 ketika curah jantung (CO) tetap tidak berubah, karena DO 2 = CO x CaO2,

dimana C aO2 merupakan isian oksigen arterial, yaitu = Hb x SaO 2 x 1,34

(dimana SaO2 adalah saturasi oksigen arterial dalam %; dan 1,34 adalah

kapasitas bawaan oksigen Hb dalam mlO2/g Hb), ketika kita dapat tidak

menyertakan oksigen yang tidak terikat dengan Hb. 17,45,47 Penurunan Hb


25

merupakan salah satu empat penentu yang bertanggungjawab atas penurunan

SvO2 (atau ScvO2), secara sendiri atau kombinasi dengan hipoksemia (penurunan

SaO2), peningkatan VO2 tanpa peningkatan DO2, atau curah jantung yang

menurun.48
Ketika DO2 menurun, VO2 tetap tidak berubah (setidaknya di awal) melalui

peningkatan ekstraksi oksigen (O2ER) karena O2ER = VO2/DO2. Karena VO2 =

(SaO2 SvO2) x (Hb x 1,34 x CO) dan DO 2 = SaO2 x Hb x 1,34 x CO, O 2ER dan

SvO2 dan dengan demikian dihubungkan dengan persamaan sederhana: O 2ER =

(SaO2 SvO2) / SaO2 atau bahkan persamaan yang lebih simpel lagi: O 2ER = 1

SvO2. Dengan berasumsi bahwa SaO2 = 117,83,87, jika SvO2 adalah 40% kemudian

O2ER adalah 60%.3,11,17,48


Karena hal ini mengintegrasikan Hb, curah jantung, VO 2 dan SaO2, saturasi

oksigen vena dengan demikian dapat membantu untuk menilai hubungan VO 2-

DO2 dan toleransi terhadap anema selama kehilangan darah.3,48


Ketika DO2 menurun diatas ambang batas tertentu, hal ini akan memicu

penurunan VO2. Poin ini dikenal sebagai DO 2 yang kritis (DO2 krit), dibawah

kondisi ketergantungan VO2-DO2 yang juga dikenal sebagai disoksia jaringan.

Pada manusia, disoksia biasanya muncul ketika SvO 2 menurun sampai titik kritis

40 50% (SvO2krit); hal ini juga muncul pada tingkat SvO 2 yang lebih tinggi

ketika O2ER rusak. Biasanya upaya di dalam perbaikan curah jantung (dengan

cairan atau inotrop), dan/atau Hb dan/atau SaO2 dan/atau VO2 harus

mengembalikan tingkat SvO2 (ScvO2) dari 50 sampai 65-70%.17,83,84,88Pada pasien

kritis yang disedasi/ dibius dimana dukungan hidup tidak dilanjutkan, DO 2krit

diketahui setingkat 3,8 sampai 4,5 mlO2/kg/menit untuk VO2 sekitar 2,4
26

mlO2/g/menit; O2ER mencapai O2Erkrit 60%45 dengan SvO2krit menjadi =

40%.48
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rivers dkk45,49, pasien pengidap sepsis

yang parah dan kejang septik yang dirujuk ke bagian gawat darurat pun dipilih

untuk diberikan terapi standar (ditujukan untuk mencapai tekanan vena pusat

[CVP] dengan nilai 8-12mmHg, tekanan arterial purata (MAP) 65 mmHg, dan

output/ buangan urin 0,5 ml/kg/jam) atau untuk diberikan terapi yang

berorientasi hasil dini, selain pada parameter sebelumnya, ScvO 2 yang nilainya

setidaknya 70% ditargetkan dengan mengoptimalisasi pemberian cairan,

menjaga hematokrit untuk tetap 30%, dan/atau diberikan dobutamin sampai

nilati maksimum 20 g/kg/menit. ScvO2 awal pada kedua kelompok adalah

rendah (49 12%), menandakan kondisi hipodinamik sebelum dimulainya

resusitasi. Dari jam ke-1 sampai jam ke-7, jumlah cairan yang diterima secara

signifikan lebih besar pada pasien yang mendapatkan terapi berorientasi-

hasil/tujuan awal (= 5.000 ml vs 3.500 ml, p < 0,001), sedikit pasien yang ada

pada kelompok terapi berorientasi/ berpedoman tujuan awal pun diberikan

vasopresor (27,4 vs 30,3%, p = NS), dan banyak pasien diberikan dobutamin

(13,7 vs 0,8%, p < 0,001). Diketahui secara jelas bahwa jumlah pasien yang

mendapatkan sel darah merah (RBC) secara signifikan lebih banyak pada

kelompok terapi berorientasi/ berpedoman tujuan awal dibandingkan dengan

kelompok kendali (64,1 vs 18,5%), hal ini menandakan bahwa strategi

penargetan ScvO2 dengan tingkat setidaknya 70% berhubungan dengan

keputusan untuk mentransfusikan cairan, vasopresor, dan dobutamin telah

dititrasi untuk meningkatkan oksigenasi jaringan. Pada periode tindak lanjut


27

antara jam ke-7 dan jam ke-72, menandakan ScvO 2 lebih tinggi, pH arterial purat

lebih tinggi, serta tingkat laktat plasma dan ekses basa lebih rendah pada pasien

yang mendapatkan terapi berorientasi/ berpedoman tujuan awal. Skor gagal

organ dan mortalitas secara signifikan berbeda pada pasien yang mendapatkan

terapi standar jika dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi

berorientasi/berpedoman tujuan awal. Ini merupakan penelitian pertama yang

mendemonstrasikan bahwa inisiasi terapi berorientasi/berpedoman tujuan awal

untuk mencapai tingkat oksigenasi jaringan yang cukup melalui DO2 (seperti

yang dinilai melalui pemonitoran ScvO2) secara signifikan dapat menurunkan

tingkat mortalitas.48
Pada satu penelitian observasional prospektif48,53, kami menguji bagaimana

bisa ScvO2 sesuai dengan rekomendasi transfusi darah versi Perancis dan

keputusan para dokter ahli anestesi tentang transfusi darah. Rekomendasi

transfusi darah Perancis dipresentasikan selama konferensi konsensus yang

diselenggarakan pada tahun 2003 oleh Himpunan Kedokteran Penanganan

Intensif Perancis (SRLF)48,54. Rekomendasi ini beracuan pada konsentrasi Hb

plasma dan kondisi klinis yang ada (Tabel 2.11), dan terpisah dari pasien septik

dan pasien penderita jantung, nilai ambang batas Hb untuk transfusi adalah 7

g/dl. Enam puluh pasien bedah beresiko yang kebutuhan akan transfusi darahnya

dibahas pascaoperasi pun disertakan menjadi subjek penelitian. 48,53 Pasien-pasien

ini layak untuk dimasukan menjadi subjek penelitian jika kondisi

hemodinamisnya stabil dan mendapatkan kateter vena pusat.


Tabel 2.7. Rekomendasi Perancis dalam hal transfusi darah pada pasien
yang sakit kritis dengan berdasarkan pada konsensus yang
dibuat oleh Himpunan Kedokteran Penanganan Intensif Perancis
28

Threshold value of Hb (g/dl) Clinical context

10 Acute coronary syndrome

9 Ischemic heart disease


Stable heart failure

8 Age > 75
Severe sepsis

7 Others

Sumber :Valllet, B., Robin, E., dan Lebufffe, G48


Keputusan untuk melakukan transfusi ditentukan oleh dokter ahli anestesi.

Dokter ahli anestesi pun berfokus pada rekomendasi SRLF; jika diminta, dokter

ini diberikan data tentang nilai ScvO2 yang didapat pada saat sampel darah

diambil untuk mengetahui konsentrasi Hb. Parameter berikutnya pun diukur:

Usia, riwayat penyakit kardiovaskular, keberadaan sepsis, jumlah unit darah

yang ditransfusikan, dan kesesuaian dengan rekomendasi SRLF. Keputusan

untuk melakukan transfusi diambil pada 53 dari 60 pasien bedah urologi dan

umum. Nilai ScvO2 dan Hb pun diukur sebelum dan setelah tindakan transfusi

darah bersamaan dengan parameter hemodinamik (detak jantung dan tekanan

arterial sistolik).48
Para pasien pun dibagi ke dalam dua kelompok dengan mengacu kepada nilai

ScvO2 sebelum dilakukannya transfusi (< atau 70%); tiap kelompok ini

kemudian dibagi lahi mejadi dua kelompok dengan mengacu pada kesesuaian

atau ketidaksesuaian dengan rekomendasi SRLF (rekomendasi Perancis dalam

hal strategi transfusi darah). Nilai ambang batas ScvO 2 69,5% (sensitivitas 82%;

spesifisitas 76%) pun divalidasi dengan analisis kurva karakteristik operator

penerima (ROC) (Grafik 4).48


29

Grafik 2.1.Analisis kurva ROC yang mengilustrasikan kegunaan dari


pengukuran ScvO2 sebelum dilakukannya transfusi darah untuk
memprediksikan peningkatan 5% pada ScvO2 setelah transfusi
darah. Nilai ambang batas untuk ScvO2 dengan sensitivitas dan
spesifisitas terbaik adalah 69,5% (*sensitivitas: 82%, spesifisitas:
76%, area dibawah kurva: 0,831 0,059).

Sumber :Valllet, B., Robin, E., dan Lebufffe, G48


Secara keseluruhan, ciri demografik nya adalah sama (usia, berat badan,

jumlah unit darah yang ditransfusikan) di semua kelompok. Transfusi darah

menyebabkan peningkatan konsentrasi hemoglobin yang sama di seluruh pasien

pada keempat kelompok, namum nilai ScvO2 hanya meningkat secara signifikan

pada pasien yang memiliki nilai ScvO 2 < 70% sebelum mendaptkan transfusi

darah (Gambar 2 dan Tabel 2). Detak jantung dan tekanan arterial sistolik tidak

banyak membantu di dalam pengambilan keputusan untuk melakukan transfusi.


Grafik 2.2.Perubahan pada nilai ScvO2 sebelum dan sesudah transfusi darah
dengan mengacu pada (Reko+) atau bukan (Reko-) dengan
rekomendasi SRLF untuk tindakan transfusi dan mengacu pada
nilai ScvO2 sebelum transfusi (< atau 70%).
30

Sumber :Valllet, B., Robin, E., dan Lebufffe, G48

Detak jantung dan tekanan arteri sistolik tidak membantu dalam hal

keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan transfusi. Kesimpulan dari

penelitian observasional ini adalah sebagai berikut: 1) Duapuluh dari 53 pasien

(33,7%) menerima transfusi darah dengan tidak mengacu pada rekomendasi

SRLF; 2) Tigabelas dari 20 pasien (65%) memiliki nilai ScvO 2< 70%, dan

tampaknya medapatkan manfaat dari transfusi darah (mengacu pada hubungan

VO2/DO2), dan kita dapat berspekulasi bahwa faktanya mereka tidak patuh

terhadap rekomendasi SRLF untuk transfusi darah, dengan kata lain pasien ini

dapat dikatakan kekurangan transfusi darah.48


31

Rekomendas ScvO2 <70% ScvO2 70% Uji


i SRLF Kru
Wa
< 0,
Ya (n=15) Tdk (n=13) Ya (n=18) Tdk (n=7)

ScvO2 preBT 57.4[48.2-62.0] 58.0 [55.3-65.0] 76.9[72.0-80.8] 75.7[75.0-86.4] p< 0


ScvO2 postBT 68.7*[63.0-75.6] 67.8*[60.7-72.0] 78.7[70.0-84.2] 74.0*[65.0-76.7] p<0
Hb preBT 7.4[7.1-7.9] 7.8[7.4-8.7] 7.5 [7.3-8.1] 8.1[7.5-8.2] Ns
Hb postBT 9.4**[8.7-9.7] 10.0**[9.4-10.6] 10,1**[9.3-10.6] 9.8*[9.4-10.7] Ns
HR preBT 88[78-90] 96[93-120] 92[85-105] 95[81-112] Ns
HR postBT 92[84-97] 95[89-100] 89[78-104] 96[78-100] Ns
SAP preBT 118[101-141] 130[120-150] 128[114-150] 130[124-151] Ns
SAP postBT 133[119-140] 120[106-140]] 141*[128-161] 140*[133-175] p=0
Tabel 2.8.Nilai saturasi O2 vena pusat (ScvO2), hemoglobin (Hb), detak jantung
(HR), dan tekanan arteri sistolik (SAP) (median [CI 95%]) pada 53
pasien pasca-operasi yang stabil secara hemodinamis yang mendapatkan
transfusi darah (BT), dibagi menjadi dua kelompok dengan mengacu
pada nilai ScvO2 sebelum transfusi darah (< atau 70%); dan kemudian
dibagi menjadi empat kelompok dengan mengacu pada persetujuan atau
tidak dengan rekomendasi SRLF untuk melakukan transfusi.
Ns: tidak signifikan; *p < 0,05, **p < 0,01; Uji Wilcoxon untuk nilai sebelum
transfusi (preBT) vs. setelah transfusi (postBT).

Sumber :Valllet, B., Robin, E., dan Lebufffe, G48

Memang, mengacu pada nilai ScvO2 (yang tetap berada dibawah 70%),

transfusi darah bahkan tidaklah cukup (n = 2 unit darah) pada sub-kelompok ini;

4) 54,5% pasien (18/32) yang sesuai dengan rekomendasi SRLF memiliki nilai

ScvO2 70% dan mendapatkan transfusi darah walaupun VO2/DO2 tetaplah

cukup; kita dapat berspekulasi bahwa transfusi pada pasien ini dapat

berkontribusi terhadap kondisi kelebihan transfusi darah.48


Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Rivers dkk 48,51dan hasil

observasi yang kami lakukan, kita dapat menyimpulkan bahwa nilai ScvO 2 dapat
32

menjadi parameter yang baik untuk membantu mengambil keputusan transfusi

pada para pasien yang secara hemodinamis tidak stabil yang mengidap sepsis

parah atau pasien bedah dengan resiko tinggi stabil yang dipasang kateter vena

pusat. ScvO2 dapat dijadakan pemicu transfusi fisiologis universal yang

sederhana. Hal ini membutuhkan penelitian acak terkendali sebagai konfirmasi

dimana para pasien akan dibagi kedalam dua kelompok penanganan: 1) Satu

kelompok kendali dimana keputusan untuk melakukan transfusinya mengacu

pada nilai ambang batas Hb (sama dengan yang dipresentasikan oleh SRLF); 2)

kelompok pasien dengan terapi berorientasi/ berpedoman tujuan yang strategi

transfusinya mengacu pada nilai ScvO2< 70%, nilai Hb kurang dari 10 g/dl

(hematokrit < 30%) dan CVP nya adalah 8 sampai 12 mmHg.48,49

2. Transfusion Requirements in Critical Care (TRICC)


Pada percobaan acak terkontrol terbesar untuk meneliti keamanan dari

strategi transfusi terbatas dan liberal, Hebert mempelajari selama 30 hari total

penyebab kematian pada 838 pasien euvolemik di ICU dengan kadar Hb kurang

dari 9 g/dl dalam 72 jam setelah masuk ICU. Dari pasien tersebut, 418 pasien

dipilih secara acak untuk dibatasi transfusinya sehingga menjaga kadar Hb

sekitar 7-9 g/dl dan transfusi baru diberikan bila kadar Hb menurun dibawah 7

g/dl, dimana 420 lainnya menerima perlakuan yang berbeda, yaitu menjaga

kadar Hb pada level 10-12g/dl dan baru diberikan transfusi jika kadar Hb

menurun di bawah 10g/dl.9,13,14,17 Hasilnya, tidak ada perbedaan yang signifikan

diantara ke dua grup penelitian. Namun, terdapat penurunan kematian di rumah

sakit pada pasien yang menerima perlakuan pertama. Selain itu, laju kematian

selama 30 hari menurun jelas pada pasien yang lebih muda dan dengan penyakit
33

ringan.9,13,14,17 Pada pasien dengan usia kurang dari 55 tahun angka kematiannya

5,7% dibandingkan 13% pada perlakuan pertama dan kedua masing-

masing(95% confidenceinterval [CI] 1,1 13,5%; P 0,02), dan pada pasien

dengan skor APACHE II 20 atau kurang, angka kematian selama 30 hari adalah

8,7% dan 16,1% (95% CI 1,0 13,6%; P 0,03), memperkirakan bahwa

setidaknya subset dari pasien dalam keadaan ini, strategi khusus transfusi RBC

yang lebih mulai diaplikasikan. Tidak ada perbedaan signifikan pada kematian

pada kedua perlakuan setelah analisa selesai, termasuk pasien dengan penyakit

jantung, infeksi berat dan syok septik, serta trauma.9,13,14,17,20,21,55


TRICC merekomendasikan ambang transfusi bila kadar Hb 9 g/dl dengan

target perbaikan Hb 7-9 g/dl, menjadi standar bagi seluruh pasien kritis, kecuali

terdapat penyakit penyerta spesifik atau penyakit akut yang berhubungan dengan

faktor yang dapat mengubah keputusan klinis, dan pemicu transfusi tidak

melebihi 9 g/dl, pada kebanyakan pasien kritis.13,14,20

3. Transfusion Requirements in Pediatric Intesive Care Unit(TRIPICU)


Kebanyakan data mengenai ambang Hb untuk memulai pemberian transfusi

oleh dokter anak didapat dari penelitian oleh TRIPICU, yang mengikutsertakan

633 pasien anak-anak dalam keadaan kritis yang stabil.56


Dalam TRIPICU pasien dianggap stabil bila nilai standar deviasi MAP tidak

di bawah rerata normal untuk usia dan penyokong kardiovaskular tidak

meningkat selama paling tidak 2 jam(perlu dicatat bahwa status pernafasan dan

status neurologis tidak diambil dalam perhitungan pada definisi ini).Partisipan

dialokasikan untuk menerima transfusi RBC hanya jika level Hb menurun

hingga 7 g/dl pada pasien yang menerima perlakuan khusus dan 9,5g/dl pada

pasien yang menerima perlakuan umum. Hasil pengukuran pertama adalah


34

proporsi kematian pasien selama 28 hari pertama setelah pengacakan atau

mengacu kepada siapa yang memunculkan tanda baru atau memburuknya

sindrom disfungsi multipel organ.56


MODS didefinisikan sebagai disfungsi 2 organ atau lebih pada saat yang

bersamaan pada satu waktu selama 28 hari pertama setelah percobaan atau satu

disfungsi organ yang disusul oleh disfungsi organ lainnya pada satu waktu

selama 28 hari pertama setelah percobaan. MODS yang progresif

dipertimbangkan menjadi salah satu penyebab kematian tersering.56


Tidak perlu menjadi seorang ahli statistik untuk mengerti hasilnya, 38 kasus

MODS yang baru ataupun progresif pada kelompok perlakuan khusus, dan 39

kasus yang menerima perlakuan umum. Hasilnya kebanyakan hampir sama

untuk pengukuran sekunder, termasul angka kematian selama 28 hari (14 vs 14),

angka tertinggi disfungsi organ (1.6-1.4vs1.5-1.2,P0.87), dan skor PELOD (9.8-

11.9 vs 8.4-10.9, P 0.16). Hasil tersebut menyarankan ambang Hb untuk

memulai transfusi pada 7 g/dl dapat diaplikasikan dengan aman pada pasien

anak dalam keadaan kritis yang stabil. Dapatkah kita mengaplikasikan hal ini ke

dalam subgrup pasien lainnya dalam TRIPICU, tabel 2.13 melampirkan data dari

analisis subgrup dalam penelitian TRIPICU ini.56


Tabel 2.9.Resiko NP/MODS : Analisis Subgrup Studi TRIPICU

TRIPICU Planned Analysis Patients Number Absolute Risk


Subgroup Reduction (95%
confidence interval)
All patients in 633 0.4% (-4.6 to + 5.5)
TRIPICU
PRISM score Yes
0 (1st quartile) 128 +1.5% (-6.3 to + 9.4)
1-4 (2nd quartile) 239 -0.3% (-7.9 to + 7.4)
5-7(3rd quartile) 121 -2.2% (-13.0 to +8.7)
8 (4th quartile) 149 + 1.5% (-6.3 to +9.4)
Cases of sepsis Yes 133 +0.3%(-12 to +14)
35

Pediatric Yes 124 +1.1%(-8.9 to +11)


noncardiac surgery
Cardiac surgery Yes 125 +6.3%(-4 to +16.5)
(noncyanotic)
Respiratory No 480 +0.1%
dysfunction
Acute long injury No 73 -6.3%
ARDS No 48 -2.8%
Neurological No 40 -10.6%
dysfunction
Severe head trauma No 30 +2.3%
Severe trauma Yes 40 -5.8%
ARDS, acute respiratory distress syndrome: CI, confidence interval: NP/MODS, new
or progressive multiple organ dysfunction syndrome: PRISM, pediatric risk of
mortality score; TRIPICU, transfusion requirements in pediatric intensive care units.
Sumber :Lacroix, J., Demaret, P., dan Tucci, M56
Selebihnya, para ahli epidemiologi klinis mempertimbangkan Analisa

subgrup tersebut seharusnya digunakan hanya untuk membuat hipotesis.

Namun, konsistensi dari semua pebandingan mendukung suatu pemikiran utama

bahwa rekomendasi utama dari studi TRIPICU adalah untuk mempertimbangkan

transfusi PRC pada anak dengan penyakit kritis yang stabil, hanya bila Hb

mereka < 7 g/dL, dimana hal tersebut dapat diaplikasikan pada pasien anak

dengan penyakit kritis yang satabil. Dengan kata lain, tidak ada penetapan untuk

menggunakan ambang Hb lebih dari 7 g/dL pada anak-anak dengan penyakit

kritis yang stabil, kecuali bila mereka mengidap penyakit jantung sianotik.56
Bagan 2.4 menggambarkan suatu bagan keputusan dalam transfusi PRC pada

PICU.Ambang Hb 9 g/dL disarankan pada anak dengan penyakit jantung

sianotik dan 7 g/dL pada anak dengan penyakit kritis yang stabil. Penentu yang

paling tepat dalam transfusi PRC pada pasien PICU yang tidak stabil belum

dipastikan saat ini, namun upaya mempertahankan ScvO2 70% menjadi tujuan

yang tepat dalam pelaksanaan transfusi PRC pada 6 jam pertama penanganan
36

anak dengan sepsis berat dan syok sepsis. Pada semua pasien dengan syok

hemoragik harus mendapatkan transfusi PRC.56


Bagan 2.3. Keputusan Transfusi Sel Darah Merah pada PICU

Sumber :Lacroix, J., Demaret, P., dan Tucci, M56


Dibutuhkan penelitian lanjutan mengenai transfuse PRC pada pasien anak

dengan penyakit kritis. Sebagai contoh, RCTs harus dilakukan pada pasien

dengan syok hemoragik, pasien anak yang tidak stabil, anak dengan gangguan

jantung, kasus PICU dengan gangguan neurologis, dan pada pasien di ruang

operasi dan di Unit Gawat Darurat. Menentukan tujuan tepat dalam pelaksanaan

transfusi PRC dapat menjadi keberminatan yang baik dalam konteks klinis ini.56
4. Transfusion Trigger Trial for Functional Outcomes in Cardiovascular

Patients Undergoing Surgical Hip Fracture Repair.


Dalam Transfusion Trigger Trial for Functional Outcomes in Cardiovascular

Patients Undergoing Surgical Hip Fracture Repair (FOCUS),57,58Carson dkk

menjelaskan strategi lain: penggunaan ambang Hb yang rendah untuk inisiasi

transfusi. Review Cochrane terbaru, dari 17 percobaan yang membandingkan

bermacam macam pemicu transfusi, termasuk ambang Hb yang rendah (7-9

g/dl) atau ambang Hb yang tinggi (10-12 g/dl) menyimpulkan bahwa meskipun

ambang Hb yang rendah lebih sedikit membutuhkan kantung darah untuk

mengembalikan kadar Hb, data yang tersedia tidak cukup kuat menyebutkan
37

bukti adanya efek samping yang buruk pada status fungsional atau hal besar

lainnya.13,57 Hasilnya menyarankan hal serupa dengan ambang Hb yang rendah

bila dibandingkan dengan ambang Hb yang tinggi untuk inisiasi transfusi tidak

memungkinkan untuk dapat dipakai secara umum diatas kondisi ICU dan

sebagian pasien dengan penyakit jantung.57


Dalam penggunaan ambang Hb yang rendah untuk memulai transfusi, risiko

kurangnya transfusi tidak perlu terlalu diperhatikan. Keputusan transfusi

seharusnya dimulai dari penilaian pasien secara individu dengan dasar

kombinasi dari tanda, gejala dan hasil laboratorium, bukan hanya dari kadar Hb

semata. Dalam percobaan FOCUS, transfusi untuk gejala sering muncul pada

kelompok perlakuan khusus dan gangguan pada protokol mengakibatkan

perlunya transfusi tambahan dalam kelompok ini (total 56) mungkin dapat

dikurangi.57
Meski dengan peringatan ini, percobaan FOCUS menyediakan bukti baru

untuk mendukung pandangan bahwa perlakuan secara khusus untuk ambang

transfusi tanpa adanya gejala dari anemia mungkin dapat diterima, termasuk

pasien geriatri dengan risiko penyakit kardiovaskular. Seperti pada peraturan

yang akan mengurangi paparan transfusi darah alogenik dengan risiko dan biaya

yang menyertainya.13,57
5. Pemicu Transfusi BedasarkanAmerican Association of Blood Bank
Petunjuk yang dipublikasikan sebelumnya untuk penggunaan transfusi sel

darah merah termasuk dari ASA, BCSH, ANZSBT telah membuat rekomendasi

umum untuk ambang transfusi Hb yang layak(transfusi umumnya tidak

diindikasikan saat kadar Hb > 10 g/dl melainkan dimulai saat kadar Hb < 7

g/dl).20
38

Namun, tidak satupun petunjuk merekomendasikan pemicu transfusi yang

spesifik. Petunjuk terbaru menganjurkan strategi khusus (transfusi dilakukan saat

kadar Hb kurang dari 7 g/dl) untuk pasien trauma dewasa dan pasien kritis,

dengan pengecualian pada pasien dengan iskemik miokard akut.20


Lebih jauh lagi, petunjuk-petunjuk tersebut menghindari transfusi

berdasarkan pemicu Hb saja. Selain Hb, hal lain yang harus dinilai adalah faktor

individual seperti perdarahan, status kardiopulmonal, dan volume intravaskular.

Sebaliknya, the ESC merekomendasikan menunda transfusi pada pasien dengan

sindrom koroner akut kecuali pasien memiliki kadar Hb < 8 g/dl. Di sisi lain

petunjuk yang didiskusikan, kami secara gamblang menggunakan proses bukti

kejadian yang memakai metode GRADE.20


Kekuatan rujukan dalam petunjuk klinis ini terletak pada terbatasnya data uji

klinis pada pasien dengan populasi yang jelas. Hasil dari ketiga percobaan besar

(TRICC, TRIPICU,dan FOCUS) tidak direplikasi dan tidak termasuk populasi

pasien lainnya yang sering menerima transfusi darah.20


Uji klinis dibutuhkan pada populasi pasien lainnya termasuk (namun tidak

terbatas pada) pasien dengan ACS, pasien geriatri yang dalam masa pemulihan

dan perlu dirawat, pasien dengan perdarahan gastrointestinal, pasien yang

bergantung pada transfusi, pasien dengan koagulopati atau syok hemoragik, dan

pasien dengan trauma otak.20


Untuk selanjutnya, percobaan dibutuhkan untuk menilai ambang transfusi

yang lebih rendah lagi (<6 g/dl) karena bukti saat ini telah menilai ambang

transfusi dengan nilai 7 g/dl pada pasien ICU dan 8 g/dl untuk populasi pasien

lainnya. Kekurangan yang relatif dari data uji klinis ini menjadi penghalang bagi

diterimanya petunjuk ini secara lebih luas.20


39

6. Pemicu Transfusi pada Sepsis


Angka rerata kantong transfusi sel darah merah yang dibutuhkan pada setiap

pasien di ICU adalah 5 unit dengan kadarHb sebelum transfusi 8,5 g/dl. 60,63 Ini

menunjukkan bahwa kebanyakan transfusi diberikan karena konsentrasi Hb yang

rendah dengan setidaknya satu dari 5 pasien di transfusi karena pendarahan aktif.

Kuranglebih 40-50% pasien yang dikirim ke ICU telah ditransfusi I kantong unit

sel darah merah. Beberapa penelitian menunjukkan transfusi sel darah merah di

sepsis tidak mengubah penghantaran oksigen, konsumsi oksigen, saturasi

oksigen dalam vena atau kadar laktat.60


Hal ini dianggap bahwa transfusi sel darah merah pada pasien sepsis tidak

berhubungan dengan perubahan oksigenasi jaringan meskipun terlihat perbaikan

pada kadar Hb. Bukti klinis ini akan membahas periode waktu yang berbeda: 6

jam pertama pasien menderita sepsis dan setelah 6 jam pertama pasien menderita

sepsis.60
Tabel 2.10. Kriteria Diagnostik: Sepsis, Sepsis Berat, dan Syok Sepsis
General variables
Fever (core temperature > 38.3C)
Hypothermia (core temperature < 32C)
Elevated heart rate (>90 beats per min or > 2SD above the upper limit of the normal range for age)
Tachypnea
Altered mental status
Substantial edema or positive fluid balance (.20 ml/kg of body weight over a 24- hr period)
Hyperglycemia (plasma glucose > 120mg/dl [mmol/liter]) in the absence of diabetes

Inflammatory variables
Leukocytosis (white-cell count> 12,000/mm3)
Leukopenia (white-cell count< 4,000/mm3)
Normal white cell count with> 10% immature forms
Elevated plasma C-reactive protein (>2 SD above the upper limit of the normal range)
Elevated plasma procalcitonin ( >2SD above the upper limit of the normal range)

Hemodynamic variables
Arterial hypotension (systolic pressure<90 mmHg: mean arterial pressure, <70 mmHg: or decrease in
systolic pressure of > 40mmHg in adults or to >2 SD below the lower limit of the normal range for
40

age)
Elevated mixed venous oxygen saturation (>70%)
Elevated cardiac index (>3.5 liters/min/square meter of body-surface area)

Organ-dysfunction variables
Arterial hypoxemia (ratio of the partial pressure of arterial oxygen to the fraction of inspired oxygen,
<300)
Acute oliguria (urine output <0.5 ml/kg.hr or 45.hr for at least 2 hr)
Increase in creatinine level of >0.5mg/dl (>44mol/liter)
Coagulation abnormalities (international normalizes ratio,>1.5;or activated partial-thromboplastin
time,>60 sec)
Paralytic ileus (absence of bowel sounds)
Thrombocytopenia (platelet count<100,000/mm3)
Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dl [68mol/liter])

Tissue-perfusion variables
Hyperlactatemia (lactate,>1 mmol/liter)
Decreased capillary refill or mottling
Severe sepsis (sepsis plus organ dysfunction)
Septic shock (sepsis plus either hypotension [refractory to intravenous fluids] or
hyperlactatemia)
In childern, diagnostic criteria for sepsis are sign and symptoms of inflammation plus infection with hyperthermia or
hypothermia (rectal temperature,>38.5C or <35C respectively), tachycardia(may be absent with hypothermia) and at least
one of the following indications of altered organ function: altered mental status, hypoxemia, increased serum lactate level or
bounding pulses.
A mixed venous oxygen saturation level of more than 70% is normal in newborns and children (pediatric range 75 to 80%).
A cardiac index ranging from 3.5 to 5.5 liters per minute per square meter is normal in children.
Refractory hypotension is defined as either persistent hypotension or a requirement for vasopressors after the
administration of an intravenous fluid bolus.

Perubahan mikrosirkulasi mengganggu oksigenasi jaringan pada kasus sepsis.

Transfusi sel darah merah meningkatkan penghantaran oksigen (DO 2) namun

jarang sekali meningkatkan uptake oksigen ke jaringan pada pasien sepsis.

Penyebab paling mungkin dari hal tersebut adalah karena perubahan sel darah

merah karena penyimpanan yang lama atau munculnya mediator inflamasi

sebagai residu dari leukosit.60


Suatu penelitian prospektif teracak, 20 pasien dengan sepsis dibagi menjadi

dua grup, yakni yang menerima transfusi tidak terleukodeplesi (n=10) dan yang

terleukodeplesi (n=10). Densitas mikrovaskular dan perfusinya dinilai dengan


41

pencitraan sublingual Sidestream Dark Field (SDF), 1 jam sebelum dan setelah

transfusi.60
Studi tersebut tidak meenunjukan suatu hasil signifikan dari perbandingan

kedua transfusi terhadap perfusi mikrovaskular pada pasien sepsis, walau

didapat efek yang lebih signifikan pada transfusi sel darah merah terleukodeplesi

pada aliran mikrovaskular. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memastikan

hasil penelitian di atas. 60


Peranan pasti transfusi sel darah merah untuk resusitasi awal pada syok sepsis

masih belum diketahui. Suatu studi mengevaluasi apakah transfusi sel darah

merah berhubungan atau tidak dengan peningkatan saturasi oksigen vena sentral

(ScvO2) atau fungsi organ pada pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis yang

menerima EGDT (Early Goal-Directed Therapy), melalui studi kohort

retrospektif (n=93).62
Grafik 2.3.Perubahan individual pada parameter mikrosirkulasi setelah
transfusi sel darah merah pada grup terleukodeplesi dan tidak
terleukodeplesi.
42

(A) Microcirculatory flow index (in small vessels). (B) Total small vessel density. (C) Perfused small
vessel density. (D) Proportion of perfused small vessels. (E) De Backer score. (F) Blood flow
velocity. *P <0.05, Wilcoxon matched-pairs signed-rank test; #P <0.05, Mann-Whitney U test.

Hasilnya, 34 dari 93 pasien yang menerima setidaknya satu unit transfusi sel

darah merah, target ScvO2> 70% tercapai pada 71,9% pasien yang menerima

PRBC dan 66,1 % pada pasien non PRBC (p=0,30). Tidak ada perbedaan pada

perubahan skor SOFA (Sequential Organ Failure Assessment) dalam 24 jam

petama pada kedua grup (p=0.85), waktu pencapaian tekanan vena sentral > 8
43

mmHg (p=0,14), atau pada penggunaan norephinephrine untuk mempertahankan

MAP > 65 mmHg (p=0,77).62


Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa transfusi sel darah merah tidak

berkaitan dengan peningkatan oksigenasi seluler, peningkatan fungsi organ, atau

peningkatan pencapaian target EGDT lainnya pada resusitasi awal pasien syok

sepsis.62
a. Sepsis Dalam 6 Jam Pertama
Bukti terbaik yang tersedia berdasarkan efikasi transfusi sel darah merah

padapasienkritisadalahdariuji TRICC, yang dilakukanoleh CCC.57,58 Tidak

disebutkan dalam uji ini apakah transfusi diberikan selama 6 jam pertama

sebelum menderita sepsis atau setelahnya pada subpopulasi pasien dengan

sepsis, namun percobaan ini menjadi dasar untuk percobaan transfusi

selanjutnya dan rekomendasi bagi pasien sepsis sebaik pasien dengan

penyakit kritis.60
Dalam uji ini, strategi umum transfusi (yang dimulai dengan kadar Hb 10

g/dl) dibandingkan dengan strategi khusus (yang dimulai dengan kadar Hb 7

g/dl) pada perawatan medi sumum dan kritis. Pasien dengan kondisi

euvolemik setelah penanganan pertama yang memiliki kadar Hb<9 g/dl

selama 72 jam diikutsertakan dalam penelitian. Uji TRICC mencatat hasil

keseluruhan yang non signifikan pada kelompok perlakuan khusus untuk

angka kematian dalam 30 hari, namun terjadi penurunan yang signifikan bila

pasien memiliki usia < 55 tahun dengan skor APACHE II < 20. Pasien pada

perlakuan khusus menerima 54% lebih sedikit kantung darah dibanding pada

perlakuan umum.60
Keanekaragaman pasien yang dilibatkan pada uji ini dan konsistensi dari

hasil memperkirakan bahwa kesimpulan yang dapat diambil dapat


44

digeneralisasikan penggunaannya untuk kebanyakan pasien kritis termasuk

pasien dengan sepsis, dengan kemungkinan pengecualian terhadap pasien

yang memiliki ACS. Namun, terdapat bukti terbaru bahwa transfusi dapat

diberikan kepada pasien ACS dengan batas kadarHb yang sedikit lebih tinggi,

yaitu dibawah < 8 g/dl.60


Pada analisis terbaruo leh Cochrane, 19 database yang melibatkan 6264

pasien, strategi khusus transfusi dihubungkan dengan pengurangan angka

kematian secara statistic tapi tidak berpengaruh pada angka kematian selama

30 hari pertama percobaan. Penulis menyimpulkan bahwa bukti yang sudah

ada mendukung penggunaan pemicu transfusi khusus pada kebanyakan

pasien termasuk mereka dengan keadaan penyakit penyerta kardiovaskular

sebelumnya. Sebagai tambahan, perlu dilakukannya penelitian yang lebih

jauh dan besar terhadap efek samping dari pemicu transfusi khusus pada

kelompok pasien dengan risiko tingg i seperti pada pasien ACS.60,66


b. Sepsis dalam 6 jam lanjutan
Panduan yang ditetapkan dalam SSC menunjukkan adanya hipoperfusi

padapasien sepsis.60Rekomendasi berdasarkan data yang dikumpulkan oleh

Rivers dkk, mengevaluasi beberapa pendekatan terhadap pasien sepsis berat.

Transfusi RBC untuk mempertahan kan nilai Ht pada kisaran 30%

dimasukkan dalam kelompok denganp asien yang memiliki kadar saturasi

oksigen dalam vena < 70%. Pasien yang mampu mendapatkan tujuan ini

memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak. Efek spesifik

memang tidak dibahas dalam penelitian ini, karena penelitian memang

dirancang untuk menilai secara keseluruhan dan bukan untuk setiap

komponen.60
45

Dengan menggunakan NIRS atau SDF beberapa peneliti melaporkan

adanya perubahan pada mikrosirkulasi dan perubahan-perubahan ini lebih

berat pada non-survivor dibanding yang bertahan, dan perbahan

mikrovaskular yang persisten dikaitkan dengan MODS dan kematian,

danmerupakan hal yang paling sensitif dan spesifik sebagai penentu bahwa

pasien akan atau sedang mengalami sepsis. Efek yang terjadi bila diberikan

transfusi kepada pasien sepsis dengan perubahan mikrosirkulas itersebut

dapat beragam . Beberapa penelitian mendemonstrasikan alirah sel darah

merah yang terganggu(meningkatnya agregasi, menurunnya deformitas, dan

perubahan bentuk sel darah merah) pada pasien sepsis yang menerima

transfusi.60
Sel darah merah juga dapat berperan sebagai sensor oksigen, yang dapat

memodulas variabel aliran oksigen padajaringan lewat pelepasan

vasodilator, N2O, atau ATP. Pelepasan vasodilator dari sel darah merah selama

hipoksia dapat terganggu saat penyimpanan atau dengan adanya sepsis.

Penyimpanan sel darah merah menurunkan kadar dari 2,3-diphosphoglycerate

dan ATP dengan hasil meningkatnya afinitas oksigen dan menurunnya

kemampuan hemoglobin dalam melepasoksigen. Perubahan morfologi pada

sel darah merah yang muncul selama proses penyimpanan memungkinkan

adanya peningkatan fragilitas, penurunan viabilitas, dan penurunan

perombakan sel darah merah. Pelepasan beberapa substans imuncul dan

mengakibatkan respons sistemik seperti demam, kerusakan sel,

perubahanpada regional ataukeseluruhanalirandarah, dandisfungsi organ.

Pada keadaan umum pasien kritis, penggunaan NIRS, oksigenasi


46

jaringanotot, konsumsi oksigen dan reaktivitas mikrovaskular secara umum

tidak berubah dengan pemberian transfusi sel darah merah yang leukositnya

telah direduksi (creteur, dkk) bagaimanapun, konsumsi oksigen otot dan

reaktivitas mikrovaskular mengubah persyaratan transfusi pada pasien dengan

perubahan variabel tersebut dari dasar.60


Padapasien sepsis berat yang membutuhkan transfuse sel darah merah

dengan leukosit yang telah direduksi, menggunakan SDF, Sakr dkk

menunjukkan mikrosirkulasi sublingual secara umum tidak mengalami

perubahan, namun terjadi perubahan pada perfusi kapilernya. Dengan

menggunakan SDF dan NIRS, sadaka dkk memperhatikan pasien yang

mendapatkan non leuko reduksi sel darah merah dengan hemoglobin 7 g/dl

atau pada rentan 7-9 g/dl baik dengan asidosis laktat ataupun saturasi oksigen

dalam vena < 70%.Dengan SDF, sadaka dkk menunjukkan bahwa konsumsi

oksigen pada jaringan otot, reaktifitas mikrovaskular, dan mikrosirkulasi

sublingual pada pasien sepsis berats ecara umum tidak menunjukkan

perubahan karena transfuse sel darah merah. Bagaimanapun konsumsi

oksigen pada jaringan otot menunjukkan peningkatan pada pasien dengan low

baseline dan penurunan pada pasien dengan keadaan awal yang buruk.60
Penelitian selanjutnya dengan sampel yang lebih besar sangat dibutuhkan

untuk menilai hubungan antara transfusi sel darah merah dengan hasilnya

pada pasien sepsis berat yang telah diresusitasi dengan tujuan menerangkan

lebih jelas lagi kontribusi potensial dari faktor mikrovaskular.60


Tabel 2.11. Panduan Transfusi Sel Darah Merah Pada Sepsis

Sepsis Beyond The Initial 6HOURS


RBC transfusion is indicated for patients with evidance of hemorrhagic shock
A restrictive strategy of RBC transfusion (transfuse when Hb <7g/dL) in patients with
47

hemodynamically stable anemia


In the absence od acute hemorrhage RBC, transfusion should be given as single units
Consider transfusion if Hb <7g/dL in patients with stable cardiac disease. There is no benefit
of a liberal transfusion strategy (when Hb<10 g/dL) in patients with stable cardiac disease
RBC transfusion may be beneficial in patients with acute myocardial ischemia who are
anemic (Hb<8g/dL).
Within 6 Hours of Severe Sepsis
Transfuse RBC when Hb<10 g/dL to achive Scv02 = 70% (only after CVP of 8-12mmHg and
MAP > 65mmHg are achieve)

Sumber : Sadaka, F. 60

c. Laktat pada Sepsis


Studi mengenai hipoksia, status aliran yang lemah, dan syok sepsis awal

telah memberikan dasar pada konsep hyperlactatemia dengan manifestasi

inadekuatnya pengiriman oksigen dan metabolisme anaerob. Hipoxia

menggangu proses fosfolirasi oksidatif yang menghambat pembentukan ATP

dan reoksidasi NADH serta membentuk akumulasi asam piruvat. Perubahan

piruvat menjadi laktat me-reoksidasi NADH menjadi NAD+ dan

meningkatkan perbandingan laktat: piruvat lebih besar dari 10:1. Namun pada

sepsis, penyebab nonhipoksemi seperti proses inflamasi dan pengaruh

katekolamin dalam mempercepat glikolisis, stimulasi aktivitas pompa Na-K

ATPase, dan penghambat pada piruvat dehydrogenase dalam kompartemen

spesifik seperti otot dan paru-paru64, dan juga penurunan metabolisme

laktatoleh hati, menjadi kontributor penting terjadinya hiperlaktatemia. Dan

pengkategorian asidosis laktat dengan ada (type A) atau tidaknya (tipe B)

tanda hipoksia jaringan, dapat membawa kita kehal yang salah yaitu apakah

laktat tidak sensitif dan spesifik untuk standar penentuan hipoksia.64


Uji laktat tidaklah mahal, dan dapat digunakan untuk memprediksi

kematian di rumah sakit (dalam perbandingan, 1,4-2 untuk 2,5 mmol/L [22,5
48

mg/dL]-cutoff; atau 2,6-6,3 untuk 4 mmol/L [32.0 mg/dL]-cutoff). Lebih jauh

lagi, penanganan awal dan pembersihan lebih dari 50% kadar laktat dapat

meningkatkan prediksi keselamatan (rasio perbedaan, 5.2 untuk normalisasi

laktat dan 4.0 untuk pembersihan laktat)64,65,66 dan target resusitasi terhadap

klirens/pembersihan laktat menghasilkan angka keselamatan dalam suatu

studi.64,67 Menurut Panduan dalam SSC merekomendasikan normalisasi laktat

sebagai target resusitasi.64,68 Namun, upaya resusitasi cairan dan penekanan

klirens laktat dapat memperburuk bulah hiperlaktatemia disebabkan oleh

tingginya fluks glikolitik (umum pada resusitasi syok sepsis) dan bukan

karena hipoperfusi. Dalam percobaan ProCESS (protocol-based Care for

early Septic Shock), penanganan protokoler dengan mengdistribusikan cairan

berlebih pada pasien syok sepsis tidak memperbaiki keadaan pasien dengan

atau tanpa hiperlaktatemia.64,69

F. Komplikasi Transfusi
Komplikasi transfusi dapat dikategorikan akut dan kronik yang akhirnya lebih

jauh dibagi atas infeksi dan non-infeksi. Komplikasi akut muncul dalam

hitungan menit sampai 24 jam setelah transfusi, sedangkan komplikasi yang

kronik membutuhkan waktu berhari-hari bahkan bertahun-tahun kemudian.

AABB memakai istilah bahaya non-infeksius yang serius akibat transfusi

untuk mengklasifikasikan komplikasi non-infeksius dari transfusi.30


Tabel 2.12.Non-Infectious Serious Hazards of Transfusion

Acute Delayed
Acute hemolytic reaction Delayed hemolytic reaction
Allergic reaction Iron overload
Anaphylactic reaction Microchimerism
49

Coagulation problems in massive transfusion Overtransfusion or undertransfusion


Febrile nonhemolytic reaction Post-transfusion purpura
Metabolic derangements Transfusion-associated graft-versus-host
disease
Mistransfusion (transfusion of the incorrect product Transfusion-related immunomodulation
to the incorrect recepient)
Septic or bacterial contamination
Transfusion associated circulatory overload
Transfusion related acute lung injury
Urticarial reaction
Sumber :Sharma, S., Sharma, P., dan Tyler, L.N30
Tabel 2.13.Infectous Serious Hazards of Transfusion

Complication Estimated risk


Hepatitis B virus 1 in 350,000
Hepatitis C virus 1 in 1.8 million
Human T-lymphotropic virus 1 or 2 1 in 2 million
Human immunodeficiency virus 1 in 2.3 million
Creutzfeldt-Jakob disease Rare*
Human herpesvirus 8 Rare*
Malaria and babesiosis Rare*
Pandemic influenza Rare*
West Nile virus Rare*
*--Exact risk unknown.
Sumber :Sharma, S., Sharma, P., dan Tyler, L.N30
Tabel 2.14.Explanation of Non-Infectious Serious Hazard of Transfusion
50

Incidence, etiology, and therapeutic and preventative strategies are shown, modified from Hillyer
et al.27 eprinted from Blood Banking and Transfusion Medicine: Basic Principles and Practice, 2nd
edition, Hillyer CD, ilberstein LE, Ness PM, Anderson KC, Roback JD, pp 6789, 2007, with
permission from Elsevier. ACE : angiotensin converting enzyme; ASA : American Society of
Anesthesiologists; DIC : disseminated intravascular coagulation; HLA : human leukocyte antigen;
HPA :human platelet alloantigen; IgA : immunoglobulin A; IV : intravenous; IVIG :
intravenousimmunoglobulin; PTP : posttransfusion purpura; TACO :transfusion associated
circulatory overload; TRALI : transfusion-relatedacute lung injury; TRIM :transfusion-related
immunomodulation.

Sumber :Gilliss, B.M., Looney, M.R., dan Gropper, M.A70


51

Transfusion-associated Circulatory Overload (TACO)

Transfusi produk darah dapat menyebabkan overload sirkulasi yang tampak

seperti edema paru hydrostatic yang tidak dapat dibedakan dengan peningkatan

permeabilitas pembuluh darah paru, seperti yang terjadi pada TRALI. Pasien

tampak memiliki gejala dispnu, takipnu, distensi vena jugularis, dan peningkatan

tekanan darah sistolik. Insidensi TACO biasanya muncul pada 1-10% populasi

pasien, dan pengenalan akan TACO lebih sulit. Sebagai tambahan, tidak ada

definisi consensus dari TACO. Banyak kasus dari edema paru akibat transfusi

yang terjadi dengan kombinasi edema paru nonkardiogenik, seperti pada TRALI,

dan edem paru, seperti pada TACO. Membedakan keduanya cukup menyulitkan,

namun terdapat algoritma yang memfasilitasi diagnosisnya. Echocardiography,

konsentrasi B-Type Natriuretic Peptide, Kateterisasi sisi kanan Jantung, dan

Analisis protein cairan alveolar dapat digunakan sebagai alat diagnostic.

Penggunaan transfusi dengan lambat, diuretic, dan identifikasi pasien berisiko,

yakni seperti pada pasien penyakit kritis, penyakit jantung, penyakit ginjal, atau

neonates, dapat mengurangi insidensi TACO.70

TRALI

Transfusion-related acute lung injury didefinisikan sebagai edema paru

nonkardiogenik yang muncul dalam 6 jam pertama setelah transfusi. Laporan

insidensi dari TRALI berdasar klinis sungguh bervariasi namun secara kasar dapat

diperkirakan terjadi pada 1 dari 5000 transfusi. Namun, studi belakangan ini telah

menyorot keberadaan efek subklinis sebelumnya dari transfusi yang mungking


52

terlihat biasa. Patofisiologi dari TRALI masih sulit dipahami, namun dapat

dijelaskan oleh hipotesis two-hit, yakni pada pasien yang ditransfusi dengan

antibody antihuman leukocyte antigen, antibodi antineutrofil, atau respon biologis

lainnya yang menyebabkan ALI. TRALI telah diumumkan sebagai penyebab

terbanyak morbiditas dan mortalitas akibat transfusi, dan di 2009, 20% dari

kematian akibat transfusi di Amerika Serikat dikaitkan atau diduga karena TRALI.

Penanganan kasus TRALI kebanyakan suportif, dan upaya dalam pencegahannya.

Mitigasi plasma (pengumpulan plasma dari lelaki atau wanita yang belum

melahirkan) dan membatasi transfusi yang tidak penting dapat mengurangi

insidensi TRALI.70

Tabel 2.15. Kriteria Konsensus Diagnostik TRALI

Sumber :Gilliss, B.M., Looney, M.R., dan Gropper, M.A70

Bagan 2.4. Pendekatan dalam Membedakan TRALI dari TACO


53

Sumber :Gilliss, B.M., Looney, M.R., dan Gropper, M.A70

G. Strategi Pengurangan Komplikasi Non Infeksius Akibat Transfusi


Beberapa usulan intervensi untuk mengurangi komplikasi non-infeksius dari

transfusi telah menarik banyak perhatian dan membuat penelitian lanjutan.

Terdapat 3 strategi yang paling efektif untuk menghindari penyakit akibat

transfusi namun yang utama adalah menggunakan produk darah sesuai dengan

bukti dan angka kejadian.70

a. Leukoreduksi Universal
Reduksi leukosit universal merujuk pada proses eliminasi leukosit dari

kantong eritrosit atau platelet untuk mendapatkan standard kemurnian.17,32

Reduksi leukosit membantu mencegah 3 komplikasi transfusi: reaksi febrile

non hemolisis, akibat alloimunisasi leukosit antigen, dan transmisi


54

citomegalovirus. Hal menguntungkan lainnya seperti minimalnya TRIM, efek

progresi kanker, dan tingkat infeksi masih menjadi kontroversi.70


Tahun 2003 Hebert mempublikasikan laporan yang menjelaskan tentang

status kesehatan pasien di Kanada dalam 12 bulan sebelum dan sesudah

transisi ke reduksi leukosit universal. Peneliti mencatat pengurangan 1% pada

kematian, demam setelah transfusi, dan pengurangan penggunaan antibiotik

setelah transisi ke leukoreduksi universal.70

Grafik 2.4.Pengaruh Leukoreduksi Universal

Sumber :Gilliss, B.M., Looney, M.R., dan Gropper, M.A70


b. Penggunaan Plasma Pria untuk Pencegahan TRALI
Pelarangan donor berdasarkan gender telah dilakukan sebagai strategi

untuk mengurangi insidens TRALI akibat akumulasi dari bukti epidemiologis

bahwa wanita adalah pendonor risiko tinggi karena proses alloimunisasi yang

muncul selama kehamilan. Sebuah penelitian kasus awal mendemonstrasikan

bahwa mayoritas kasus TRALI dihubungkan dengan pendonor wanita

multipara.SHTP di Inggris melaporkan bahwa semua donor antara tahun 1996


55

dan 2002 yang ditemukan memiliki antileukosit antibodi yang mengenali

antigen resipien adalah wanita.70


Bukti klinis TRALI muncul pada setidaknya 1 dari 5000 transfusi,

sehingga cukup sulit mengadakan RCT pada efek plasma wanita. Pada tahun

2001, penelitian prsopektif, double-blind, crossover secara acak menjelaskan

pengurangan FiO2/PaO2 pada hilangnya peningkatan tekanan darah setelah

transfusi plasma dari wanita multipara pada 100 pasien ICU.70


Meskipun keseluruhan angka kejadian efek samping yang dilaporkan ke

SHTP meningkat pada periode ini, angka kejadian yang mendekati diagnosa

atau kemungkinan TRALI menurun. Dan meskipun angka kejadian yang

dihubungkan dengan platelet atau plasma menurun, angka kejadian yang

dihubungkan dengan unit eritrosit masih relatif konstan.70


Grafik 2.5.Totalreported adverse events versus reports of TRALI to the

SHOT Program 19962009.

Use of male-only plasma was initiated in 2003 (red bars, TRALI reports; blue bars, total
adverse events) (A). Components implicated in TRALI 20022008. TRALI events associated
with fresh frozen plasma (FFP) and platelets fell after the transition to male-only plasma was
initiated in 2003 (red bars, number of cases with FFP or platelets implicated;blue bars,
number of cases with erythrocyte units implicated) (B).

Sumber :Gilliss, B.M., Looney, M.R., dan Gropper, M.A70

c. Pengaturan Umur Eritrosit


56

Maret 2008, NEJM mempublikasikan studi retrospektif oleh Koch

dkk35dari cleveland clinic yang melaporkan keluaran setelah transfusi dari

unit eritrosit lama dan baru pada 6002 pasien yang menjalani operasi jantung.

Terdapat pengurangan kematian dalam rumah sakit, waktu intubasi,

kegagalan ginjal, dan sepsis pada resipien unit eritrosit yang paling singkat

masa penyimpanannya. Yang menakjubkan, sebuah kelompok yang diteliti

menunjukkan angka absolut 3,6% pengurangan kematian setelah 1 tahun pada

pasien yang menerima kantong darah yang disimpan kurang dari 14 hari.70
Grafik 2.6.Perubahan Karakteristik Penyimpanan Eritrosit
57

RBC 2,3-DPG (A), potassium (B), pH (C), lactate (D), PO2 (E), SO2 (F), cell-free hemoglobin
in storage medium (G), and RBC surface phosphatidyl serine (PS) expression (H) as a
function of storage time. Data are median with 25th and 75th percentiles. P values
represent significance for change over time. Free Hb :free hemoglobin; HbSO2 :percent of
hemoglobin saturated with oxygen; pO2 :partial pressure of oxygen; RBC Surface PS
Expression : erythrocyte surface phosphatidyl serine expression; RBC 2,3-DPG
:erythrocyte 2,3-diphosphoglycerate.

Sumber :Gilliss, B.M., Looney, M.R., dan Gropper, M.A70


58

BAB 3
Transfusi Masif

Perdarahan masif membutuhkan transfusi masif (TM) untuk mempertahankan

sirkulasi dan hemostasis yang memadai. Untuk pengelolaan optimal pasien

dengan perdarahan masif, terlepas dari etiologi (trauma, obstetrik, bedah),

persiapan dan komunikasi yang efektif antara layanan transfusi dan layanan

laboratorium lain dan tim klinis sangat penting.71

Transfusi masif adalah tranfusi produk darah dalam volume yang besar dalam

waktu singkat. Didefinisikan sebagai transfusi lebih dari 10 unit PRC dalam

waktu 24 jam atau sesuai kehilangan volume darah lebih dari 1 sampai 1,5 kali

lipat dari volume darah tubuh.71,72

Protokol Transfusi Masif adalah prosedur untuk menggambarkan bagaimana

produk darah dipesan, disiapkan, dan diberikan, menentukan algoritma

laboratorium untuk digunakan sebagai guideline transfusi; dan memfasilitasi

komunikasi antar personil yang terlibat.73

Definisi Transfusi Masif

Transfusi Masifadalah transfusi volume besar produk darah selama periode

waktu yang singkat untuk pasien yang memiliki perdarahan berat atau tidak

terkontrol.71,73

Tiga definisi TM yang paling umum pada pasien dewasa :

1. Transfusi 10 unit sel darah merah (RBC), yang mendekati volume darah

total (TBV) (Tabel 1) dari pasien dewasa rata-rata, dalam waktu 24 jam,
2. Transfusi >4 unit RBC dalam 1 jam dengan antisipasi kebutuhan lanjutan

untuk dukungan produk darah,


59

3. Penggantian > 50% dari TBV oleh produk darah dalam waktu 3 jam

Definisi TM berikut pada populasi pediatrik 71,72:

1. Transfusi >100% TBV dalam waktu 24 jam,


2. Dukungan transfusi untuk menggantikan perdarahan yang sedang

berlangsung > 10% TBV per menit


3. Penggantian > 50% TBV oleh produk darah dalam waktu 3 jam

Epidemiologi Transfusi Masif

Transfusi masif dibutuhkan dalam berbagai kondisi klinis, seperti trauma,

obstetrik, dan operasi besar.Secara umum, keparahan cedera dan kebutuhan

transfusi berhubungan dengan kematian.Sebagian besar (99%) pasien yang

menerima, 10 unit RBC dalam 24 jam pertama selamat, sedangkan hanya 60%

pasien yang menerima > 10 unit RBC dalam 24 jam pertama yang selamat.73

Patofisiologi Defek Hemostatik Pada Pasien Yang Menerima Transfusi Masif

Pasien yang mengalami perdarahan masif akan mengalami defek hemostatik

yang disebabkan oleh early trauma induced coagulopathy (ETIC), transfusi

produk darah, dan infus kristaloid. ETIC ini berkaitan erat dengan transfusi PRC

dan kristaloid tanpa disertai dengan pemberian trombosit, plasma, atau keduanya.

ETIC berhubungan dengan hasil klinis yang buruk dikarenakan proses

antikoagulasi dan hiperfibrinolisis sistemik.71,73

Cedera jaringan akibat operasi atau trauma melepaskan tissue factor, secara

lokal dan kemudian secara sistemik, yang mengaktifkan jalur koagulasi. inisiasi

ini menyebabkan koagulopati konsumtif masif yang menyebabkan sindrom seperti

consumptive disseminated intravascular coagulation. Selanjutnya, hipoperfusi

dari pendarahan masif menyebabkan ekspresi trombomodulin pada sel endotel.


60

Kompleks Thrombin-thrombomodulin kemudian mengaktivasi protein C, yang

selanjutnya membatasi koagulasi dengan menghambat aktivasi faktor V dan VIII

dan meningkatkan fibrinolisis dengan mengurangi penghambat aktivator

plasminogen-1 (PAI-1) dan mempercepat pembentukan plasmin. Perpindahan

trombin dari pemecahan fibrinogen (untuk pembentukan bekuan darah) untuk

mengikat thrombomodulin juga mengurangi aktivasi trombin-

activatablefibrinolisis inhibitor (TAFI), yang selanjutnya menyebabkan

hiperfibrinolisis73

Bagan 2.5. Patofisiologi Defek Hemostatik dalam Transfusi Masif

Protokol Transfusi Masif

Protokol transfusi masifadalah prosedur untuk menggambarkan bagaimana

produk darah dipesan, disiapkan, dan diberikan, menentukan algoritma


61

laboratorium untuk digunakan sebagai guideline transfusi; dan memfasilitasi

komunikasi antar personil yang terlibat.73

Protokol ini bervariasi dalam hal paket transfusi yang telah ditentukan, tapi

semuanya termasuk unit trombosit dan plasma dengan unit RBC73,74.

Bagan 2.6. Protokol Tranfusi Masif

Komplikasi Dari Transfusi Masif


62

Selain risiko reaksi alergi dari transfusi, pasien dengan transfusi masif berada

pada risiko lainnya karena volume transfusi yang besar, seperti hipokalsemia dan

asidosis karena sitrat dan hipotermia. Pasien harus dipantau ketat

terhadapkomplikasi karena komplikasi ini mungkin berpengaruh terhadap

koagulopati. Pasien Pediatri, pasien dengan penyakit jantung, hati, dan penyakit

ginjalyang sudah ada sebelumnya atau pasien yang berusia tua lebih berisiko

untuk mengalami komplikasi ini74.

Grafik 2.2. Massive Transfusion Guidelines


Tabel 2.16. Komplikasi pada Transfusi Masif

63

Anda mungkin juga menyukai