Anda di halaman 1dari 2

Home > Gaya Hidup Muslim

Bersabarlah, Karena Stok Sabar Tak Akan


Habis
Kamis, 12 April 2012

KITA sering mendengar ungkapan kesabaran saya sudah habis atau sabar itu ada
batasnya. Ungkapan ini seolah sudah menjadi tameng bagi segenap orang untuk
melampiaskan nafsu amarah yang bercokol dalam diri mereka, atau minimal
dijadikan alasan untuk mendapatkan pemakluman agar segala tindakannya yang
membabi buta dibenarkan oleh orang lain.

Misalkan, seorang guru atau orangtua menghadapi putra/putrinya yang susah


diatur. Setelah dinasehati berkali-kali, namun tetap saja tidak ada perubahan. ,
akhirnya terucaplah kalimat ampuh tersebut untuk bertindak kasar ke pada
mereka. Kamu ini sudah dinasehati berkali-kali, masih saja bandel. Kesabaran saya
sudah habis gara-gara kamu. Ingat, kesabaran seseorang itu ada batasnya,
damprat mereka.

Bahkan, tidak jarang setelah marah dengan verbal, diikuti pula dengan tindakan
fisik.

Sekalipun apa yang ditulis di atas hanyalah sebuah ilustrasi, namun realitasnya
tidak sedikit orang telah mempraktekkannya. Tidak hanya dalam menghadapi
masalah keluarga, terhadap permasalahan sosial pun hal ini kerap terjadi.

Yang lebih membahayakan kalau kalimat-kalimat tersebut diarahkan kepada Allah.


Kadangkala ada orang yang merasa Allah telah menzaliminya dengan ujian yang
dia anggap telah berada di atas kemampuannya. Yang memprihatinkan, adegan
semacam ini sering sekali menjadi tontonan masyarakat melalui film-film ataupun
sinetron-sinetron di layar kaca.

Benarkah tindakan semacam ini? Bagaimana sikap yang benar dalam menyikapi
suatu permasalahan/ujian agar justru mengundang rahmat Allah di dalamnya?

Sabar Itu Jamu

Sabar adalah satu kata yang sangat ringan diucapkan, namun sukar untuk
dilaksanakan. Setiap orang mampu untuk mengutarakannya. Namun, apakah dia
juga kuasa melaksanakannya? Belum tentu. Hal ini masih dibutuhkan pembuktian.
Namun, yang perlu kita perhatikan, bahwa sabar merupakan cara ampuh dalam
menghadapi segala permasalahan dengan bijak. Sebaliknya, sikap reaktif
memandang suatu permasalahan bisa membuat kita bertindak gegabah, bahkan
tidak jarang justru semakin memperkeruh permasalahan.

Kisah Nabi Ishaq yang mengatakan Fa-shabrun jamiil (maka kesabaran yang baik
itulah (kesabaranku)), ketika anak-anaknya mengabarkan kehilangan Yusuf dan
Bunyamin, bisa kita jadikan teladan. Dengan kesabarannya itu pada akhirnya Allah
mengembalikan Nabi Yusuf dan Bunyamin kepada Nabi Ishaq.

Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi sekiranya Nabi Ishaq marah-marah,
bahkan mengusir anaknya dari tempat tinggal mereka. Dia tentu akan rugi dua kali.
Pertama, dia sudah kehilangan Yusuf dan Bunyamin; Kedua, dia akan bermasalah
dengan anak-anaknya yang lain.

Teladan ini lah yang perlu kita contoh dan dijadikan rujukan dalam menghadapi
permasalahan. Sejalan dengan itu ada pribahasa Arab yang menyatakan bahwa
sabar adalah solusi dari permasalahan: Ash-Shabru yuiinu alaa kulli amalin
(Kesabaran itu membantu setiap pekerjaan).
Dengan demikian, tidak seharusnya kita kehabisan stok sabar. Justru yang
seharusnya kita upayakan adalah senantiasa memupuk dan memupuk sifat sabar
dalam diri, bukan memanjakan emosi sehingga seolah-olah berada di titik akhir
kesabaran.

Orang yang tak kehabisan kesabarannya adalah orang yang istimewa dan luar
biasa. Orang yang demikian mendapat pujian dari Rasulullah, Sungguh
menakjubkan keadaan orang mukmin itu, karena sesungguhnya semua
keadaannya itu merupakan kebaikan baginya dan kebaikan yang sedemikian itu
tidak dapat diperoleh melainkan hanya oleh orang mukmin saja, yaitu apabila ia
mendapatkan kelapangan hidup, ia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan
baginya. Sedangkan apabila ia ditimpa oleh kesukaranyakni yang merupakan
musibahia pun bersabar dan hal ini pun adalah merupakan kebaikan baginya."
(Riwayat Muslim).

Namun, yang menjadi catatan besar dalam permasalahan sabar di sini, bukan
berarti pasrah, menerima apa adanya. Hal yang demikian ini bukan merupakan sifat
sabar, namun lebih kepada keputusasaan.

Jadi sabar itu, kita harus ridha dengan apa yang kita terima, namun juga harus
berikhtiar semaksimal mungkin untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Kembali kepada kasus Nabi Ishaq, beliau tidak hanya mengatakanFashabrun
jamiil, namun beliau juga melakukan suatu aksi kongkrit untuk mencari anak-
anaknya yang hilang, dengan memerintahkan anak-anaknya yang lain menyebar,
mencari tahu keberadaan dua anaknya yang hilang. Bahkan, beliau memberi
ultimatum untuk tidak kembali ke rumah terlebih dahulu, sebelum mereka berdua
ditemukan.

Dengan izin Allah, pada akhirnya kedua anaknya tersebut ditemukan. Poin yang
bisa kita ambil, bahwa sabar itu bukan berarti pasrah dengan keadaan, harus
diiringi dengan perjuangan mengatasi masalah, diakhiri dengan sikap tawakkal dan
ridha terhadap ketetapan Allah.

Fahami Hakikat Kehidupan

Untuk mencapai singgasana sabar dengan mulus, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan sehingga semakin menguatkan kita untuk senantiasa bersabar dalam
menghadapi segala hal.

Pertama, pahami bahwa hidup di dunia ini adalah ujian. Segala macam kondisi
yang kita rasakan, senang, susah, bahagia atau sengsara, semuanya adalah ujian.

Kedua, yakinlah bahwa Allah Maha Melihat, dan Dia Maha Mengetahui sejauhmana
kemampuan seorang hamba menerima cobaan darinya. Karena Allah tidak pernah
menguji hamba-Nya di atas kemampuan mereka.

Terakhir, yakinilah bahwa di luar diri kita terdapat orang-orang yang memiliki
beban hidup jauh lebih berat daripada yang kita pikul, dan tidak sedikit dari mereka
mampu keluar dari lingkaran permasalahan mereka masing-masing. Jadi optimislah
bahwa kita sendiri pun akan mampu melewati rintangan yang tengah kita hadapi.

Dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip ini, semoga diri kita menjadi semakin
kuat dan sabar dalam menghadapi berbagai persoalan di muka bumi ini, bukan
menjadikan stok kesabaran kita pada posisi minus. Semoga bermanfaat. Wallahu
alam bi-shawab.*/Kairul Hibri, Anggota Asosiasi Penulis Islam (API).

Red: Cholis Akbar

Sumber : www.hidayatullah.com

Anda mungkin juga menyukai