Anda di halaman 1dari 46

BAB II

KAJIAN PUSATAKA

2.1. Persepsi

Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi

ke dalam otak manusia. Dengan persepsi manusia terus-menerus mengadakan

hubungan dengan lingkungannya. Slameto menyampaikan dalam bukunya

Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi, hubungan manusia dengan

lingkungannya dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihat, pendengar,

peraba, perasa dan pencium (2003: 102). Secara etimologis, Sobur berpendapat

bahwa persepsi berasal dari kata perception (Inggris), berasal dari bahasa Latin

perception; dari percipare yang artinya menerima atau mengambil (2003: 445).

Rakhmat mengemukakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek,

peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan

informasi dan menafsirkan pesan (2002: 51).

Seseorang mendapatkan informasi yang diterima melalui indera, yaitu

indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, pencium. Slameto dalam bukunya

Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi, menguraikan beberapa prinsip

dasar tentang persepsi, berikut ini beberapa prinsip dasar tentang persepsi (2003:

103). (1) Persepsi Itu Relatif Bukan Absolut, manusia bukanlah instrument ilmiah

yang mampu menyerap segala sesuatu persis seperti keadaan sebenarnya. Dalam

hubungannya dengan kerelatifan. dapat dicontohkan seorang guru dapat

meramalkan dengan baik persepsi dari siswanya untuk pelajaran berikutnya

karena guru tersebut telah mengetahui lebih dahulu persepsi yang telah dimiliki

11
oleh siswa dari pelajaran sebelumnya. (2) Persepsi itu selektif, seseorang hanya

memperhatikan beberapa rangsangan saja dari banyak rangsangan yang ada di

sekelilingnya pada saat-saat tertentu. Ini berarti bahwa rangsangan yang diterima

akan tergantung pada apa yang pernah ia pelajari, apa yang pada suatu saat

menarik perhatiannya dan ke arah mana persepsi itu mempunyai kecenderungan.

(3) Persepsi itu mempunyai tatanan, orang menerima rangsangan tidak dengan

cara sembarangan. Ia akan menerimanya dalam bentuk hubungan-hubungan atau

kelompok-kelompok. Jika rangsangan yang datang tidak lengkap, ia akan

melengkapinya sendiri sehingga hubungan itu menjadi jelas. (4) Persepsi

dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan, harapan dan kesiapan penerima pesan

akan menentukan pesan mana yang akan dipilih untuk diterima, selanjutnya

bagaimana pesan yang dipilih itu akan ditata dan demikian pula bagaimana pesan

tersebut akan diinterpretasi. (5) Persepsi Seseorang atau Kelompok Dapat Jauh

Berbeda dengan Persepsi Orang atau Kelompok Lain Sekalipun Situasinya Sama.

Perbedaan persepsi dapat ditelusuri pada adanya perbedaan-perbedaan individual,

perbedaan dalam kepribadian, perbedaan dalam sikap atau perbedaan dalam

motivasi. Dapat dicontohkan, bagi seorang guru ini berarti bahwa agar dapat

diperoleh persepsi yang kurang lebih sama dengan persepsi yang dimiliki oleh

kelas lain yang telah diberikan materi pelajaran serupa, guru harus menggunakan

metode yang berbeda. Dengan lain perkataan dapat dikatakan bahwa tidak ada

satu pun metode yang akan mampu memberikan hasil yang sama pada kelas atau

bahkan orang yang berbeda atau pada waktu yang berbeda.

12
Siagian dalam Suardi mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang

mempengaruhi persepsi seseorang yaitu (1995: 101-105): (1) diri seseoang yang

bersangkutan, apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan

interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik

individual yang turut berpengaruh seperti sikap, motif, kepentingan, pengalaman

minat, dan harapannya. (2) sasaran persepsi, sasaran tersebut mungkin berupa

orang, benda atau peristiwa. Sasaran tersebut biasanya berpengaruh terhadap

persepsi orang yang dilihatnya. (3) faktor situasi, persepsi harus dilihat secara

kontekstual, yang berarti situasi dimana persepsi itu timbul perlu pula

mendapatkan perhatian. Situasi adalah faktor yang turut memperdalam

tumbuhnya persepsi seseorang.


Mahmud dalam Suardi menyampaikan bahwa setiap orang belum tentu

mempunyai persepsi yang sama tentang suatu objek yang sama. Perbedaan ini

ditentukan bukan hanya pada stimulusnya sendiri, tetapi juga pada latar belakang

keadaan stimulus itu (1990: 41). Latar belakang yang dimaksud mencakup

pengalaman-pengalaman sensoris, perasaan saat terjadinya suatu peristiwa,

prasangka, keinginan, sikap, dan tujuan.


Slameto menyampaikan dalam bukunya Belajar dan Faktor-faktor yang

Mempengaruhi, hubungan manusia dengan lingkungannya dilakukan lewat

inderanya, yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, perasa dan pencium (2003:

102). Siagian dalam Suardi mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang

memengaruhi persepsi seseorang yaitu (1995: 101-105): (1) Diri seseorang yang

bersangkutan, apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan

interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik

13
individual yang turut berpengaruh seperti sikap, motif, kepentingan, pengalaman

minat, dan harapannya. (2) Sasaran persepsi, sasaran tersebut mungkin berupa

orang, benda atau peristiwa. Sasaran tersebut biasanya berpengaruh terhadap

persepsi orang yang dilihatnya. (3) Faktor situasi, persepsi harus dilihat secara

kontekstual, yang berarti situasi dimana persepsi itu timbul perlu pula

mendapatkan perhatian. Situasi adalah faktor yang turut memperdalam

tumbuhnya persepsi seseorang.

Pengertian persepsi menurut Davidoff sebagaimana dikutip oleh Bimo

Walgito (2002:53) adalah stimulus yang diindera oleh individu dan

diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari,

mengerti tentang apa yang diinderanya itu. Bimo Walgito (2002:53) menjelaskan

bahwa persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan yaitu

merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat

reseptornya. Namun proses itu tidak berhenti sampai disitu saja melainkan

stimulus itu diteruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak, dan terjadilah proses

psikologis sehingga individu menyadari apa yang ia dengar dan sebagainya.

Adapun menurut Dimyati (1990:41), mengemukakan bahwa persepsi

adalah penafsiran stimulus yang telah ada dalam otak. Sedangkan menurut

Jalaluddin Rahmat (2004:51) persepsi adalah pengalaman tentang obyek

peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan

informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi berarti memberikan makna pada

stimulus inderawi (Sensory Stimulus). Berdasarkan beberapa pengertian diatas,

nampak jelas bahwa di dalam Pengertian persepsi mengandung muatan: (1)

14
adanya proses penerimaan stimulus melalui alat indera, (2) adanya proses

psikologis di dalam otak, (3) adanya kesadaran dari apa yang telah diinderakan,

(4) memberikan makna pada stimulus.

Persepsi seseorang selalu didasarkan pada kejiwaan berdasarkan

rangsangan yang diterima oleh inderanya. Disamping itu persepsi juga didasarkan

pada pengalaman dan tujuan seseorang pada saat terjadi persepsi. Hal senada juga

dikatakan Jalaludin Rahmat (2004:52) yang mengemukakan bahwa persepsi

adalah suatu pengalaman tentang suatu obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan

yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Organisme dirangsang oleh suatu masukan tertentu (obyek dari luar peristiwa dan

lain-lain) dan organisme itu merespon dan menggabungkan masukan itu dengan

salah satu kategori obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa.

Obyek-obyek disekitar kita dapat ditangkap dengan indera dan

diproyeksikan pada bagian-bagian tertentu diotak sehingga tubuh dapat

mengamati obyek tersebut. Sebagian tingkah laku dan penyesuaian individu

ditentukan oleh persepsinya. Teori diatas diperjelas oleh Bimo Walgito (2002:87-

88) yang mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses aktif dimana yang

memegang peran bukan hanya stimulus yang mengenai, tetapi juga individu

sebagai kesatuan dengan pengalaman baik yang di dapat secara langsung maupun

melalui proses belajar.

Individu dalam melakukan pengalaman untuk mengartikan rangsangan

yang diterima, agar proses pengamatan tersebut terjadi maka perlu obyek yang

diamati, alat indera yang cukup baik dan perhatian. Itu semua merupakan langkah-

15
langkah sebagai suatu persiapan dalam pengamatan yang ditujukan dengan tahap

demi tahap, yaitu tahap pertama merupakan tanggapan yang dikenal sebagai

proses kealaman atau proses fisik, merupakan ditangkapnya stimulus dengan alat

indera manusia. Sedangkan tahap kedua adalah tahap yang dikenal orang dengan

proses fisiologi merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh

perseptor ke otak melalui syaraf-syaraf sensorik, dan tahap ketiga dikenal dengan

proses psikologi merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus

yang diterima oleh perseptor.

Persepsi tidak hanya sekedar proses penginderaan tetapi terdapat proses

pengorganisasian dan penilaian yang bersifat psikologis. Faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi sebagai berikut : Menurut Walgito (1992:70) faktor

faktor mempengaruhi persepsi adalah: (a) Objek yang dipersepsi (Stimulus).

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus

dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga datang dari dalam

diri individu yang bersangkutan yang langusung mengenai syaraf penerimaan

yang bekerja sebagai reseptor, namun sebagian besar stimulus datang dari luar

individu. (2) Indera (Reseptor), Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk

menerima stimulus. Disamping itu juga harus ada syaraf sensorik sebagian alat

untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor kepusat susunan syaraf, yaitu

otak sebagai pusat kesadaran dan sebagai alat untuk mengadakan respon yang

diperlukan syaraf motoris. (3) Perhatian, untuk menyadari atau mengadakan

persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai

suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan

16
pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada

sesuatu atau sekumpulan objek.

Bimo Walgito (2002:54) mengemukakan beberapa syarat sebelum

individu mengadakan persepsi adalah: (a) Adanya Obyek atau sasaran yang dituju

Obyek atau sasaran yang diamati akan menimbulkan stimulus atau rangsangan

yang mengenai alat indera. Obyek dalam hal ini adalah nilai-nilai keteladanan

Pahlawan Nasional untuk meningkatkan semangat kebangsaan akan memberikan

stimulus yang akan ditanggapi oleh siswa. (1) Alat Indera atau Reseptor, Alat

indera atau reseptor yang dimaksud adalah alat indera untuk menerima stimulus

kemudian diterima dan diteruskan oleh syaraf sensorik yang selanjutnya akan

disimpan dalam susunan syaraf pusat yaitu otak sebagai pusat kesadaran. (2)

Adanya Perhatian, untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan

adanya perhatian yaitu langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam

mengadakan persepsi, tanpa perhatian tidak akan terjadi persepsi. Perhatian

merupakan. pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang

ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan obyek.

Pada proses persepsi terdapat komponen-komponen dan kegiatan-

kegiatan kognisi dengan memberikan bentuk dan struktur bagi obyek yang

ditangkap oleh panca indera, sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan

memberikan arti terhadap obyek yang ditangkap atau dipersepsikan individu, dan

akhirnya konasi individu akan berperan dalam menentukan terjadinya jawaban

yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap obyek yang ada. Dengan

demikian pengertian persepsi dapat disimpulkan sebagai suatu tanggapan atau

17
penilaian terhadap suatu obyek tersebut, yang kemudian dilanjutkan dengan

proses psikologis di dalam otak, sehingga individu dapat menyadari dan

memberikan makna terhadap obyek yang telah diinderakan tersebut.

2.2. Patologi Sosial

Patologi sosial merupakan salah satu konsep dalam ilmu sosial untuk

menjelaskan penyakit sosial yang terjadi di masyarakat. Patologi sosial itu sendiri

biasanya muncul akibat dari perkembangan masyarakat yang secara terus menerus

mengalami perubahan. Pada kelompok masyarakat yang tidak mampu

menghadapai perubahan-perubahan tersebut biasanya memunculkan patologi

sosial dalam masyarakat. Kartini Kartono dalam bukunya Patologi Sosial,

mendifinisiakn patologi sosial adalah semua tingkah laku yang bertentangan

dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik,

solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum

formal (1988: 1). Mengacu pada pengertian tersebut, maka semua bentuk tingkah

laku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat

disebut sebagai patologi sosial. Artinya dalam perspektif masyarakat semua

tingkah laku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma dalam masyarakat dilihat

sebagai ketidaklaziman, atau penyimpangan. Mereka yang bertingkah laku

menyimpang ini dianggap sebagai orang sakit yang kemudian sering disebut

sebgai penyakit sosial.


Istilah penyakit sosial ini sangat berkaitan erat dengan pengertian patologi

sosial yang disampaikan oleh Vembriarto (1981), menurutnya Patologi Sosial

mempunyai 2 (dua) arti: Patologi sosial berarti suatu penyelidikan, disiplin, atau

18
ilmu pengetahuan tentang disorganisasi, sosial dan sosial adjustment.yang di

dalamnya di bahas tentang arti, ekstensi, sebab-sebab, hasil-hasil dan tindakan

perbaikan (treatment) terhadap faktor-faktor yang mengganggu atau mengurangi

(social adjusment). Patologi sosial berarti keadaan sosial yang sakit atau

abnormal pada suatu masyarakat. Jadi dalam arti yang pertama patologi sosial

berarti suatui ilmu pengetahuan, sedangkan dalam arti yang kedua patologi sosial

berarti kondisi sosial yang sakit atau abnormal. Berkaitan dengan keadaan

abnormal inilah setiap masyarakat yang kondisinya abnormal dinyatakan sebagai

masyarakat yang sedang sakit. Biasanya mereka yang abnormal adalah mereka

yang perilakunya menyimpang dengan nilai dan norma yang berlaku dalam

masyarakat.

Pengertian lain tentang patologi sosial adalah ketidaksesuaian, yang

sangat (serius) antara berbagai elemen di dalam yang dapat membahayakan

kelangsungan hidup dari kelompok atau yang menghalang-halangi tercapainya

atau terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan fundamental dari

anggota kelompok, yang berakibat hancurnya kohesi sosial. (Koestoer

Partowisastro, 1983: 29). Mengacu pada pengertian tersebut, patologi sosial lebih

diartikan sebagai bentuk penyimpangan yang dilakukan seseorang, dimana

penyimpangan tersebut dapat mengganggu atau dapat mengancam kelompok lain.

Pengertian lain yang hampir senada disampaikan oleh Lindsmith dan Strauss,

dalam buku Masalah-Masalah Kemasyarakatan di Indonesia, mengatakan bahwa

agresivitas dilakukan oleh orang-orang dengan kepribadian yang menyimpang

dari normal seperti psikotik, eksentrik, neurotik, atau subnormal (kecerdasannya


19
kurang). Selain itu juga dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam

masyarakat yang berkepribadian menyimpang seperti kaum kriminil, pecandu

obat dan aklohol, atau kaum homo seksual. Definisi tersebut semakin

menegaskan, bahwa patologi sosial merupakan perilku menyimpang yang tidak

sesuai dengan nilai sosial, dan agama yang berlaku dalam masyarakat. Terkait

dengan praktek prostitusi yang dilakukan oleh PSK, menunjukkan tindakan

tersebut merupakan patologi sosial yang melanggar nilai dan norma yang berlaku

dalam masyarakat.

2.3. Masyarakat Kota dan Desa

Masyarakat merupakan suatu kesatuan manusia yang berpola tingkah laku

yang menyangkut semua aspek kehidupan dalam batas kesatuan yang sifatnya

khas, mantap dan berkesinambugan sehinga menjadi adat istiadat. Oleh sebab itu

adat istiadat khas yang meliputi sektor kehidupan serta kontinuitas waktu, warga

suatu masyarakat juga harus memiliki suatu cirri lain, yaitu rasa identitas bahwa

mereka merupakan suatu kesatuan yang khusus yang berbeda dari kesatuan-

kesatuan manusia lainnya. Masyarakat dari suku jawa misalnya mempunyai ciri

khas yang tidak dimilki oleh masyarakat lain. Sebagai contoh dalam masyarakat

jawa, ritual-ritual adat amat ditekankan dalam perkawinan; sebaliknya dalam

masyarakat Tapanuli Selatan, Mandailing, yang di tekankan adalah upacara

agama. (Hasibuan, 2002; 154)

Secara kewilayahan masyarakat dapat di bagi menjadi masyarakt desa dan

kota. Perbedaan antara masyarakat desa dengan kota adalah pada masyarakat desa

lebih mengutamakan kebersamaan sedangkan masyarakat kota lebih


20
mengutamakan individual. Pola interaksi masyarakat pedesaan adalah dengan

prinsip kerukunan dan pola solidaritas sosial masyarakat pedesaan timbul karena

adanya kesamaankesamaan kemasyarakatan. sedangkan pola interaksi

masyarakat kota adalah individual (Soerjono Soekanto,1982). Lebih lanjut di

katakan bahwa pada dasarnya masyarakat desa merupakan suatu kesautan hukum

dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan sendiri. Sedangkan

menurut Bintaro masyarakat desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi,

sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah)

dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain (Astrid

dkk : 1993). Berdasarkan pengertian tersebut di atas, masyarakat desa secara

operasianal merupakan lingkungan geografis, diaman dalam lingkungan tersebut

terdapat sekelompok orang yang terikat dalam suatu aturan dan hukum serta

masyarakat tersebut mematuhi segala aturan dan hukum tersebut. Komunitas

msayarakat secara bahu membahu membangun kebersamaaan dan saling

tergantung satu sama lainnya. Dalam kontek seperti ini masyarakat desa sangat

terikat dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masayarakat dan ada

kecenderungan saling bergotong royong dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam perspektif yang lain masyarakat pedesaan diartikan masyarakat

yang memiliki hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam daripada hubungan

mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya diluar batas wilayahnya. Pada

umumnya golongan orang tua memegang peranan penting dalam masyarakat

pedesaan, orangorang akan meminta nasihat pada mereka apabila mendapat

kesulitan dan pada masyarakat pedesaan rasa persatuan yang erat menimbulkan

21
rasa saling mengenal dan tolong menolong yang akrab. (Slamet Santosa, 2004).

Pengertian tersebut mengisyarakatkan bahwa pada masyarakat desa orang yang

dipatuhi sebagai orang yang dituakan. Mereka yang dituakan menjadi penasehat

bagi masyarat desa apabila mereka mengalami kesulitan. Disamping itu persatuan

dan kesatuan masyarakat lebih kokoh dan erat. Masyarakat desa adalah individu

yang bertinggal di desa dan kelurahan. Secara sosiologis, desa pada hakekatnya

sebagai satu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat

tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal dan corak

kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantunggg pada alam, dan di

desa sering diasosiasikan sebagai suatu masyarakat yang hidup sederhana (Dirjen

Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negri : 2009 )


Pengertian lain tentang masyarakat. Dikatakan sebagai berikut,

masyarakat desa adalah kesatuan hidup manusia di lingkungan pedesaan yang

berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan

terkait oleh suatu rasa identitas yang sama (Koentjaraningrat, 1984 ). Pengertian

ini menekankan bahwa adat istiadat menjadi nilai dan norma yang harus dipatuhi

oleh masyarakat desa yang telah terikat dalam satu kesatuan, sebagai anggota

masyarakat desa. Berdasarkan perspektif sumber daya alam, masyarakat desa erat

sekali hubungannya dengan alam, penduduk di desa merupakan unit sosial dan

unit kerja. Masyarakat desa mewujudkan paguyuban, mereka pada umumnya

kehidupannya masih tergantung pada alam, anggotanya saling mengenal, sifat

gotong royong erat penduduknya sedikit perbedaan penghayatan dalam

kehidupan religi lebih kuat (Darsono : 2005 ). Pengertian tersebut di atas menitik

22
beratkan bahwa pada dasarnya masyarakat pedesaan adalah masyarakat hidupnya

sangat tergantung pada sumber daya alam. Berdasarkan beberapa pengertian

tersebut di atas dapat disimpulkan masyarakat desa adalah sekelompok

masyarakat dalam satu lingkungan yang sama, dimana mereka saling mengenal

satu sama lain. Mereka bergantung pada alam, dan bergaya hidup sederhana.

Masyarakat desa sangat menjunjung tinggi gotong royong dan sangat menjaga

kerukunan dengan sesema masyarakat, mereka masih memegang teguh tradisi dan

status.
Sedangkan masyarakat kota itu sendiri identik dengan sifat individual,

matrealistis, penuh kemewahan, di kelilingi gedung-gedung yang menjulang

tinggi, perkantoran yang mewah, dan pabrik-pabrik yang besar. Asumsi kita

tentang kota adalah tempat kesuksesan seseorang. Masyarakat perkotaan lebih

dipahami sebagai kehidupan komunitas yang memiliki sifat kehidupan dan ciri-

ciri kehidupannya berbeda dengan masyarakat pedesaan. Akan tetapi

kenyataannya di perkotaan juga masih banyak terdapat beberapa kelompok

pekerja-pekerja di sektor informal, misalnya tukang becak, tukang sapu jalanan,

pemulung sampai pengemis. Dan bila kita telusuri masih banyak juga terdapat

perkampungan-perkampungan kumuh tidak layak huni. Menurut Cholil Mansyur,

dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, masyarakat

kota adalah masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari manusia yang

bermacam-macam lapisan atau tingkatan hidup, pendidikan, kebudayaan dan lain-

lain serta mayoritas penduduknya hidup berjenis-jenis usaha yang bersifat non

agraris. Sementara menurut Soerjono Soekamto mayarakat perkotaan atau urban

23
community adalah masyarakat yang hidup di perkotaan yang tidak tentu jumlah

penduduknya serta masyarakat kota sudah memandang pengunaan kebutuhan

hidup.
Ada beberapa ciri yang melekat pada masyarakat kota, diantaranya

Pertama; Netral Afektif yaitu suatu ciri yang memperlihatkan sifat yang lebih

mementingkat Rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep

Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukan hal-hal yang

bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal

yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam

perasaannya. Kedua; Orientasi Diri yaitu manusia dengan kekuatannya sendiri

harus dapat mempertahankan dirinya sendiri, pada umumnya dikota tetangga itu

bukan orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita oleh karena itu

setiap orang dikota terbiasa hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain,

mereka cenderung untuk individualistik. Ketiga; Universalisme yaitu

berhubungan dengan semua hal yang berlaku umum, oleh karena itu pemikiran

rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk Universalisme. Keempat,

Prestasi yaitu mutu atau prestasi seseorang akan dapat menyebabkan orang itu

diterima berdasarkan kepandaian atau keahlian yang dimilikinya. Kelima;

Heterogenitas yaitu masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat Heterogen,

artinya terdiri dari lebih banyak komponen dalam susunan penduduknya.

Berdasarkan ciri masyarakat Kota dan Desa, ada kecenderungan

masayarakat kota lebih longgar dalam menyikapi kehadiran PSK. Sifat

individualisits masyarakat kota yang sebenarnya menyebabkan mereka tidak

24
peduli terhadap kehadiran PSK di tengah-tengah masyarakat. Pada masyarakat

kota juga sangat longgar terhadap nilai dan norma sosial yang berlaku dalam

masyarakat, menyebabkan daya tolak masyarakat kota terhadap lokalisasi tidak

begitu keras. Sebaliknya pada masyarakat desa yang lebih bersifat gotong royong

dan mengagungkan nilai serta norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, lebih

cenderung menolak kehadiran PSK. Asumsi ini didasarkan pengalaman-

pengalaman empiris yang terjadi selama ini, meski tidak berlaku secara mutlak.

Itulah sebabnya kehadiran PSK di selalu menjadi persoalan di tengah-tengah

masyarakat pedesaan, di satu sisi mereka melanggar nilai dan norma dalam

masyarakat dan harus ditutup, disisi lain mereka sekumpulan orang mengandalkan

lokalisasi sebagai sumber kehidupan. Sementara kehadiran prostitusi di tengah

masyarakat kota, seperti terlegalkan, dan masayarakat cenderung bisa

menerimanya.

2.4. Norma dan Tata Nilai Dalam Masyarakat

Manusia dalam kehidupan sehar-hari selalu terkait dengan nilai dan

normas. Sementara antara norma dengan nilai itu saling berkaitan, kaitan itu

nampak dalam nilai terdapat norma dan aturan yang berfungsi sebagai pedoman

untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan yang dilakukan oleh

seseorang. Makna nilai itu sendiri menurut Menurut Kattsoff dalam Sumargono

mengungkapkan bahwa hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara:

pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif, bergantung kepada pengalaman

manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua nilai merupakan kenyataan-kenyataan

ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-
25
nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Ketiga,

nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan. Sadulloh

mengemukakan tetang hakikat nilai berdasarkan teori-teori sebagai berikut:

menurut teori voluntarisme, nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau

kemauan. Menurut kaum hedonisme, hakikat nilai adalah pleasure atau

kesenangan, sedangkan menurut formalisme, nilai adalah sesuatu yang

dihubungkan pada akal rasional dan menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila

memenuhi kebutuhan dan nilai instrumental yaitu sebagai alat untuk mencapai

tujuan (Sofyan Sauri dan Herlan Firmansyah: 2010: 6).

Nilai itu sendiri menurut Kluckhohn adalah konsepsi (tersurat atau

tersirat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa

yang diinginkan, yang memengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan antar

dan tujuan akhir. Defenisi ini berimplikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya,

seperti yang diungkapkan oleh Brameld dalam bukunya tentang landasan-

landasan budaya pendidikan (Mulyana, 2004:1). Menurutnya ada enam implikasi

terpenting tentang nilai, yaitu sebagai berikut: (1) Nilai merupakan konstruk yang

melibatkan proses kognitif (logis dan rasional) dan proses ketertarikan dan

penolakan menurut kata hati. (2) Nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi

tidak selalu bermakna apabila diverbalisasi. (3) Apabila hal itu berkenaan dengan

budaya, nilai diungkapkan dengan cara unik oleh individu atau kelompok. (4)

Karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu diyakini bahwa

pada dasarnya disamakan dari pada diinginkan, ia didefenisikan berdasarkan

keperluan sistem kepribadian dan sosiol budaya untuk mencapai keteraturan dan

26
menghargai orang lain dalam kehidupan social. (5) Pilihan diantara nilai-nilai

alternatif dibuat dalam konteks ketersediaan tujuan antara (means) dan tujuan

akhir (ends) (6) Nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya, dan pada

saat yang sama ia adalah norma-norma yang telah disadari.

Ada dua pendapat mengenai nilai. Pertama mengatakan bahwa nilai

objektif. Sedangkan pendapat kedua mengatakan nilai itu subjektif. Menurut

aliran idealisme, nilai itu objektif, ada pada setiap sesuatu. Tidak ada yang

diciptakan di dunia tanpa ada suatu nilai yang melekat di dalamnya. Dengan

demikian, segala sesuatu ada nilainya dan bernilai bagi manusia. Hanya saja

manusia tidak atau belum tahu nilai apa dari objek tersebut. Aliran ini disebut

juga aliran objektivisme. Pendapat lain menyatakan bahwa nilai suatu objek

terletak pada objek yang menilainya. Misalnya, air menjadi sangat bernilai

daripada emas bagi orang yang kehausan di tengah padang pasir, tanah memiliki

nilai bagi seorang petani, gunung bernilai bagi orang seorang pelukis, dan

sebagainya. Jadi, nilai itu subjektif. Aliran ini disebut aliran subjektif. Di luar

kedua pendapat itu, ada pendapat lain yang menyatakan adanya nilai ditentukan

oleh subjek yang menilai dan objek yang dinilai. Sebelum ada subjek yang

menilai maka barang atau objek itu tidak bernilai. Inilah ajaran yang berusaha

menggabungkan antara aliran subjektivisme dan objektivisme.

Pengertian Nilai Menurut Louis O. Kattsoff (1987): membedakan nilai

dalam dua macam, yaitu: (1) NIlai intrinsik dan 2) nilai instrumental. Nilai

intrinsik adalah nilai dari sesuatu yang sejak semula sudah bernilai, sedangkan

nilai instrumental adalah nilai dari sesuatu karena dapat dipakai sebagai sarana

27
untuk mencapai tujuan sesuatu. Sedangakan pengertian nilai menurut Notonagoro:

membagi nilai dalam tiga macam nilai pokok, yaitu nilai materil, vital, dan

kerohanian. Nilai dalam bahasa Inggris adalah value. Nilai masuk dalam bidang

kajian filsafat, yaitu filsafat nilai. Istilah nilai dalam bidang filsafat dipakai untuk

menunjukan kata benda yang abstrak, yang artinya worlh (keberhargaan) atau

goodness (kebaikan). Selanjutnya nilai menurut Pengertian Nilai Menurut Max

Scheler (Hadiwardojo, 1985): mengelompokkan nilai menjadi; nilai kenikmatan,

kehidupan, kejiwaan, dan kerohanian. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan

bahwa nilai adalah sesuatu yang penting, baik dan berharga. Dalam nilai

terkandung sesuatu yang ideal, harapan yang dicita-citakan untuk kebajikan.

Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan menghubungkan sesuatu dengan yang

lain dan kemudian mengambil keputusan. Sesuatu dianggap punya nilai jika

sesuatu itu dianggap penting, baik dan berharga bagi kehidupan umat manusia.

Baik ditinjau dari segi religius, politik, hukum, moral, etika, estetika, ekonomi dan

sosial budaya.

Adanya nilai dalam masayarakat, membuat seseorang dapat menentukan

bagaimana ia harus bertingkah laku agar tingkah lakunya tersebut tidak

menyimpang dari norma yang berlaku, karena di dalam nilai terdapat norma

norma yang dijadikan suatu batasan tingkah laku seseorang. Nilai itu sendiri

dalam masyarakat menjadi parameter untuk menjustifikai apakah tindakan itu

benar atau tidak benar. Seuatu dianggap bernilai apabila sesuatu itu memilki sifat

sebagai berikut. (1) menyenangkan (peasent), (2) berguna (useful), (3)

Memuaskan (satisfying), (4) Menguntungkan (profutable), (3) Menarik

28
(ineteresting). Konsekuensinya apabila seseorang bertindak tidak sesuai dengan

nilai, maka tindakan tersebut sebagai tindakan yang menyimpang, dan akiba dari

tindakan itu seseorang bisa dikatan tindakannya tidak bermanfaat atau sia-sia.

Oleh karena itu dengan adanya nilai, tindakan seseorang tidak bisa bebas

sekehendaknya, tetapi sebaliknya tindakan tersebut dibatasi oleh nilia. Batasan-

batasan yang membingkai tindakan seseorang itulah yang disebut dengan norma,

itulah sebabnya di dalam nilai ada norma. Melalui norma-norma yang telah

dirumuskan dalam masyarakat, seseorang akan bertindak sesuai dengan norma

yang berlaku, apabilai menyimpang dari norma, maka bisa dikatakan tindakan itu

telah melanggar norma, konsekuensi mereka bisa mendapat sanksi sosial.

Norma itu sendiri diartikan secara umum, adalah sebuah aturan, patokan

atau ukuran, yaitu sesuatu yang bersifat pasti dan tidak berubah. Pengertian

Norma lainnya adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai

tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh

dilakukan di lingkungan kehidupannya. Menurut Menurut Robert m.z. Lawang:

Norma adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma

memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakan

itu akan dinilai oleh orang lain. Norma juga merupakan kriteria bagi orang lain

untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang. Sedangkan menurut menurut

Soerjono Soekanto, norma adalah suatu perangkat agar hubungan di dalam suatu

masyarakat terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Norma-norma mengalami

proses pelembagaan atau melewati suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk

menjadi bagian dari salah satu lembaga masyarakat sehingga norma tersebut

29
dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupansehari-hari. Lebih

lanjut dikatakan oleh Isworo Hadi Wiyono, norma adalah peraturan atau petunjuk

hidup yang memberi ancar-ancar perbuatan mana yang boleh dijalankan dan

perbuatan mana yang harus dihindari. Norma bertujuan untuk mewujudkan

ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas norma merupakan suatu ukuran

perilaku seseorang dalam masyarakat atau serangkaian petunjuk hidup yang berisi

perintah dan larangan yang dilengkapi sanksi bagi yang melanggar. Norma yaitu

juga suatu peraturan hidup yang tumbuh dalam masyarakat sebagai unsur pengikat

dan pengendali manusia dalam kehidupan masyarakat. Dengan ditaatinya norma-

norma tersebut maka kehidupan bermasyarakat tentunya ada dalam kedamaian

dengan toleransi tinggi. Guna mendukung tercapainya nilai yang dianut, tentu

dibutuhkan norma-norma sebagai aturan berperilaku. Disamping itu norma juga

merupakan sekumpulan pendapat tentang bagaimanakah seharusnya manusia itu

harus bertingkah laku bahkan harus bertindak yang pantas sehingga keharusan dan

kepantasan itu menjadi terbiasa dan selanjutnya diturunkan secara turun-temurun

hingga mewujudkan peraturan-peraturan hidup dalam pergaulan sehari-hari.

Berdasarkan pengertian norma sebagaimana di jelaskan di atas norma

sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Umumnya tidak tertulis, meskipun

tidak tertulis norma tetap hidup dan dilestarikan dalam masyarakat sebagai aturan

bersama yang dipatuhi. (2) Hasil dari kesepakatan masyarakat, pada dasarnya

norma lahir berdasarkan kesepakatan masyarakat, yang kemudian disepakati

secara turun temurun sebagai aturan, (3) Warga masyarakat sebagai pendukung

30
sangat menaatinya, norma bisa hidup di masyarakat, karena norma di dukung oleh

masyarakat secara turun temurun. (4) Apabila norma dilanggar maka yang

melanggar norma harus menghadapi sanksi, walaupun tidak tertulis norma ini

dipatuhi oleh masyarakat, maka siapa yang melanggar akan mendapat sanksi

sosial. (5) Norma sosial kadang-kadang bisa menyesuaikan perubahan sosial,

sehingga norma sosial bisa mengalami perubahan, Artinya norma sosial bersifat

fleksibel dan luwes terhadap perubahan sosial. Setiap ada keinginan dari

masyarakat untuk berubah, norma akan menyesuaikan dengan perubahan tersebut.

Meskipun tidak berubah seluruhnya, aturan ini pasti akan mengalami perubahan.

Dalam kontek PSK di Kedung Banteng, tindakan yang dilakukan mereka

bertentangan dengan nilai dan norma. Berdasarkan perspektif nilai, tindakan

prostitusi yang dilakukan PSK, merupakan tindakan buruk atau tidak baik, sebab

masyarakat menganggap hubungan sex, harus diikuti dengan perkawaninan, oleh

karena itu siapapun yang melakukan hunungan sex di luar pernikahan dianggap

sebagai tindakan yang buruk atau jahat. Kemudian apabila dikaitkan dengan

perspektif norma, praktek prostitusi yang dilakukan PSK tidak sesuai dengan

ukuran-ukuran yang telah disepekati bersama dalam masayarakat. Ukuran-ukuran

tersebut sebenarnya merupakan parameter bagi seseorang untuk bertindak.

Sebagai misal, seseorang bisa melakukan hubungan sex apabila mereka sudah

secara resmi menikah, maka apabila mereka melakukan hungungan sex dengan

tidak diikuti tali pernikahan, maka dianggap melanggar norma masyarakat yang

disepakati bersama. Begitu juga apabila dilihat perspektif agama, agama melarang

orang melakukan zina, melakukan hubungan sex di luar pernikahan merupakan

31
zina, oleh karena itu meraka yang melakukan zina dianggap telah melanggar

agama. Konsekeunsi dari pelanggaran norma tersebut, dikenakan sanksi baik

sanksi hukum maupun sosial. Itulah sebabnya masyarakat memandang PSK,

sebagai sekelompok orang yang melanggar norma sosial dan agama.

2.5. Kedudukan Ibu Rumah Tangga.

Secara definitif rumahtangga diartikan sebagai lembaga dimana di

dalamnya terdapat sepasang suami istri, dan kemudian anak-anaknya yang akan

dibesarkan oleh suami istri itu sebagai ayah dan bunda. Bebrepa ahli mencoba

menjelaskan, bahwa kata tangga dalam rumahtangga diartikan sebagai susunan

atau tingkat, mungkin semacam hirarki, baik hirarki tanggungjawab, hirarki

wewenang, hirarki kepatuhan, dsb. Artinya tangga adalah susunan, berarti dalam

rumahtangga harus ada susunan dan tingkatan wewenang dan tanggungjawab

yang diatur dan dikelola dengan baik. Rumahtangga akan kacau-balau jika insan-

insan yang berdiam di dalamnya tidak berlaku sesuai dengan tingkatannya dalam

rumahtangga tersebut. Mereka yang menduduki posisi tertinggi dalam rumah

tangga adalah suami, kedudukan suami sebagai pimpinan, kemudian kedudukan

istri dan anak sebagai angora rumah tangga. Rumah tangga yang baik dan

harmonis, apabila masing-masing anggota dalam rumah tangga dapat menjalankan

fungsinya dengan baik, sebaliknya apabila masing-masing anggota tidak dapat

menjalankan fungsi dengan baik, keadaan rumah tangga menjadi kacau balau.

Kata rumah tangga tidak bisa dilepaskan dengan konsep keluarga, istilah

rumah tangga dan keluarga secara konseptual memiliki makna yang sama. Oleh

32
karena itu untuk memahami istilah rumah tangga dalam tulisan ini akan

menghubungkan dengan pengertian keluarga. Pengertian keluarga berdasarkan

asal-usul kata sebagaimana dikemukakan Ki Hajar Dewantara (Abu & Nur, 2001:

176), bahwa keluarga berasal dari bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata yaitu

kawula dan warga Didalam bahasa Jawa kuno kawula berarti hamba dan warga

artinya anggota. Artinya setiap anggota dari kawula merasakan sebagai satu

kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan dirinya juga merupakan

bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan. Dari pengertian sebagaimana

di jelaskan tersebut di atas mengandung makna bahwa dalam keluarga terdapat

anggota keluarga, dimana masing-masing anggota kelurga memiliki fungsi dan

perannya masing-masing, seorang ayah berkedudukan sebagai pemimpin dalam

keluarga dengan kewajiban mencari nafkah, seorang ibu berkewajiban mengasuh

anak-anak dan mengatur kehidupan rumah tangga sehari-hari, dan seorang anak

berkewajiban membantu dan mematuhi perintah orang tua.

Secara konseptual pengertian keluarga adalah keluarga adalah rumah

tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan

terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif

keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan. Fitzpatrick

(2004), memberikan pengertian keluarga dengan cara meninjaunya berdasarkan

tiga sudut pandang yang berbeda, yaitu pengertian keluarga secara struktural,

pengertian keluarga secara fungsional, dan pengertian keluarga secara

intersaksional. Secara Struktural: Keluarga didefenisikan berdasarkan kehadiran

atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat

33
lainnya. Defenisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga.

Dari perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga sebaga asal-usul

(families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of

procreation), dan keluarga batih (extended family). secara Fungsional: Keluarga

didefenisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi

psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak,

dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Defenisi ini

memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga. Transaksional:

Keluarga didefenisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman

melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga

(family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita

masa depan. Defenisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan

fungsinya.

Pengertian keluarga dalam perspektif para ahli, Duvall dan Logan

(1986) Menurutnya keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan,

kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan

budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial

dari tiap anggota keluarga. Sementara menurut Bailon dan Maglaya ( 1978 )

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga

karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling

berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan

menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. Berdasarkan pengertian

sebagaimana tersebut di atas keluarga memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1)

34
Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan

atau adopsi. (2) Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah

mereka tetap memperhatikan satu sama lain. (3) Anggota keluarga berinteraksi

satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial : suami, istri, anak,

kakak dan adik. (4) Mempunyai tujuan : menciptakan dan mempertahankan

budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota.

Kedudukan istri dalam keluarga sebagaimana karakteristik kelauraga

sebagaimana disebutkan di atas sebagai anggota keluarga yang memiliki peran

menjalankan berbagai pekerjaan di rumah dan mengatur seluruh kehidupan sehari-

hari. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ibu rumah tangga dapat diartikan

sebagai seorang wanita yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam

pekerjaan rumah tangga, atau dengan pengetian lain ibu rumah tangga merupakan

seorang istri (ibu) yang hanya mengurusi berbagai pekerjaan dalam rumah tangga

(tidak bekerja di kantor). Mengacu pada pengertian tersebut di atas, ibu rumah

tangga dalam penelitian ini adalah seorang istri yang terikat oleh tali perkawinan

yang syah, dan memilik tugas mengatur penyelenggaraan berbagai pekerjaan

rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari.

2.6. Lokalisasi

Lokalisasi merupakan lingkungan masyarakat yang di dalamnya

seringkali terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan

agama yang dianut masyarakat. Menurut Soejono lokalisasi adalah sebagai

bentuk usaha untuk mengumpulkan segala macam aktivitas/kegiatan pelacuran

dalam satu wadah. Pengadaan lokalisasi dilakukan untuk meminimalkan dampak


35
negatif lokalisasi dari dunia luar dengan cara mengisolir kegiatan prostitusi pada

suatu tempat tertentu (Soedjono, 1977: 122). Mengacu pada pengertian tersebut di

atas, lokalisasi merupakan suatu tempat yang dijadikan sebagai transasksi sex,

dengan maksud bahwa kegiatan transaksi sek tersebut meluas ke wilayah lain.

Dari perspektif pelacuran, maka dalam lokalisasi ada pelanggaran nilai-norma

sosial dan agama. Pelanggaran nilai dan norma agama utama, yang biasa

dilakukan adalah hubungan sex di luar perkawaninan yang dilakukan setelah

melakukan transaksi antara PSK dengan para lelaki yang menggunakan PSK. Ini

artinya seks bebas menjadi pemandangan di lingkungan lokalisasi. Tidak hanya

itu, sering juga terjadi peristiwa-peristiwa penganiayaan, penyalahgunaan obat

terlarang, minum-minuman keras, pemerasan, pembunuhan, dan berbagai bentuk

tindak kejahatan yang lain. Biasanya pemandangan sehari-hari di lokalisasi yang

bisa dilihat adalah perempuan berpakaian seksi dengan gaya duduk, berjalan,

memandang dan bicara yang menantang. Orang secara terbuka berpelukan,

berciuman dan saling merayu.

Kartono memberi gambaran secara operasional, bahwa lokalisasi pada

umumnya terdiri atas rumahrumah kecil yang berlampu merah, yang dikelola

oleh mucikari atau germo. Di luar negri germo mendapat sebutan madam,

sedang di Indonesia mereka biasa dipanggil sebutan mami. Di tempat tersebut

disediakan segala perlengkapan, tempat tidur, kursi tamu, pakaian, dan alat

berhias. Juga tersedia mecammacam gadis dengan tipe karakter dan suku bangsa

yang berbeda. Disiplin di tempattempat lokalisasi tersebut diterapkan dengan

ketat misalnya tidak boleh mencuri uang langganan, dilarang merebut langganan

36
orang lain, tidak boleh mengadakan janjijanji di luar, dilarang memonopoli

seorang langganan, dan lainlain. Wanitawanita pelacur itu harus membayar

pajak rumah dan pajak obatobatan, sekaligus juga uang keamanan agar mereka

terlindung dan terjamin identitasnya (Kartono. 2011 : 254). Berdasarkan

gambaran tersebut menunjukkan bahwa dalam lokalisasi ada aturan-aturan yang

disepakati bersama antar mereka, aturan tersebut walaupun tidak tertulis, tetapi

dipatuhi oleh para penghuni lokalisasai.

2.7. PSK Sebagai Individu Otonom

Pengertian Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah seseorang yang

menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Kata PSK,

menunjuk pada pelaku prostitusi, dalam konteks sosial PSK berkedudukan

sebagai individu yang terikat oleh masyarakat dan sebagai individu yang bebas.

PSK sebagai bagian dari masyarakat, menempatkan perilaku PSK sangat

tergantung dengan struktur yang berlaku. Dalam perspektif teori sosial ada dalam

ranah teori struktur fungsional. Teori tersebut sangat mengabaikan peran individu.

Individu hanya bagian dari sebuah struktur yang akan menjalankan fungsinya,

dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap nilai atau norma yang

berlaku dalam masyarakat. Disamping itu teori ini juga tidak mampu

mengungkap makna yang tersembuyi dari tindakan individu, karena teori ini

beranggapan bahwa fenomena yang muncul pada individu adalah sebuah relaitas

sosial yang sesungguhnya. Pandangan seperti ini mendapat rekasi dari kelompok

peletak dasar teori definisi sosial, bahwa perilaku manusia secara fundamental

berbeda dengan perilaku objek alam. Menurutnya manusia selalu sebagai agen
37
dalam bertindak mengkonstruksi realitas kehidupan sosial. Tindakan manusia

sangat tergantung, bagaimana memahami atau memberi makna terhadap perilaku

mereka itu sendiri. Maka dari itu, yang perlu dilakukan adalah mengamatai cara

agen melakukan penafsiran, memberi makna terhadap realitas, makna itu sendiri

adalah makna partisipan yakni agen yang melakukan konstruk melalui satu proses

partisipasi dalam kehidupan di mana ia hidup. Pandangan tersebut di atas yang

membedakan dengan kelompok stuktur fungsional, yang mengabaikan peranan

individu sebagai agen dalam masyarakat. Dengan berpijak pada pandangan

tersebut, PSK sebagai subjek atau individu mendapat pijakan sebagai agen yang

mampu mengkonstruksi realitas sosial dan memproduksi makna.

2.8. Prostitusi

Dalam kajian Ilmu Sosial, prostitusi digolongkan sebagai penyakit sosial

atau salah satu dari patologi sosial. Praktek prostitusi merupakan tindakan yang

melanggar noema sosial sekaligus norma agama. Namun demikian dalam

kenyataannya praktek prostitusi selalu menggunakan dua kaki atau berstandar

ganda. Di satu sisi menolak bahkan mengaharamkam pelacuran, namun

sebaliknya menerima juga sebagai sesuatu keniscayaan yang tak dapat dielakkan.

Masyarakat secara tegas memberi stigma buruk terhadap prostitusi, sebuah

kehidupan yang penuh dosa dan kemaksiatan. Namun demikian, dunia prostitusi

menjanjikan harapan dan impian. Impian yang harus di raih dengan

mengorbankan tubuh para wanita pada lelaki hidung belang. Sejarah

membuktikan dari dahulu sampai sekarang praktek prostitusi masih tetap berjalan.

Beberapa hasil penelitian mengungkapkan prostitusi ada di India sejaki tahun


38
1864-1883 (Chatterjee, 1992) dan juga Korea di abad 20-an (Lie, 1995).

Sementara di Indonesia, kegiatan prostitusi sudah ada sejak jaman kerajaan-

kerajaan Jawa. Di Asia Tenggara sendiri sebagaimana disampaikan oleh Andaya

(1998) bahwa prostitusi sudah ada sejak abad 16 di Asia Tenggara.

Beberapa ilmuwan sosial berusaha merumuskan pengertian prostitusi,

sebagaimana dirumuskan oleh Iwan Bloch, p elacuran adalah suatu bentuk

perhubungan kelamin diluar pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada

siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk

persebadanan maupun kegiatan sex lainnya yang memberikan kepuasan yang

diinginkan oleh yang bersangkutan. Pengertian tersebut menggambarkan adanya

transaksi jasa tubuh yang diberikan pada kaum lelaki, yang ditukarkan dengan

uang, kedua belah pihak mendapat keuntungan, pihak perempuan mendapatkan

uang, pihak lelaki menikmati tubuh wanita. Jadi dengan demikian prostitusi

adalah hubungan sex yang didasarkan pada pertukaran. Pengertian lain tentang

prostitusi diungkapkan oleh George Ryley Scott, dikatakan Pelacuran adalah

seorang laki-laki atau perempuan, yang karena semacam upah, baik berupa uang

atau lainnya atau karena semacam kesenangan pribadi dan sebagian atau

keseluruhan pekerjaannya, mengadakan perhubungan kelamin yang normal atau

tidak normal dengan berbagai jenis orang, yang sejenis atau berlawanan jenis

dengan pelacur itu. Pengertian ini memberi jangkaun yang lebih luas dalam

hubungan sebadan yang ditukar dengan uang, dimana hubungan sebadan itu tidak

hanya sebatas antara laki-laki dan perempuan, tapi bisa antara laki-laki dengan

39
lak-laki dengan catatan salah satu pihak mendapatkan tubunhnya, pihak yang lain

membayarnya.

Pengertian lain tentang prositusi disampaikan oleh Commenge

mengatakan prostitusi atau pelacuran itu adalah suatu perbuatan seorang wanita

memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh

pembayaran dari laki-laki yang datang dan wanita tersebut tidak ada pencarian

nafkah lainnya kecuali diperolehnya dari perhubungan sebentar-sebentar dengan

banyak orang. Pengertian ini menegaskan bahwa prostitusi merupakan kegiatan

untuk mendapatkan uang yang dilakukan oleh seorang wanita dengan cara

menjual tubuhnya pada kaum lelaki. Lebih lanjut P.J deBruine van Amstel

menyatakan prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki

dengan pembayaran. Sejalan dengan itu pula, W. A. Bonger, dalam bukunya

Versprede Geschiften antara lain mengemukakan prostitusi adalah gejala sosial,

dimana wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan sexuil sebagai mata

pencahariannya. Berdasarkan pengertian tersebut di atas prostitusi adalah

hubungan sex antara laki-laki dengan perempuan yang dilakukan di luar

pernikahan, tetapi dilakukan berdasarkan pada imbalan uang, dimana pihak lelaki

memberi uang kepada wanita, sebagai imbalan wanita tersebut menyerahkan

tubuhnya pada lelaki tersebut.

Keenyataan yang terjadi di masyarakat praktek-praktek prostitusi

memiliki beberapa pola Dalam bagian ini akan diketengahkan secara garis besar

beberapa pola prostitusi sebagai berikut, Pertama, Prostitusi Bordil: yaitu praktek

pelacuran, dimana para pelacur dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu, berupa

40
rumah-rumah yang dinamakan bordil, yang mana umumnya di tiap bordil

dijumpai dimiliki oleh orang-orang yang namanya germo. Kedua, prostitus

panggilan (Call Girl Prostitution): Praktek pelacuran, dimana si pelacur dipanggil

oleh di pemesan ke tempat lain yang telah ditentukan, mungkin di hotel atau

wisma di daerah pariwisata. Pelacuran panggilan biasanya dikoordinir secara rapi

dan terselubung. Namun ada pula wanita-wanita yang secara individual berprofesi

sebagai gadis panggilan yang biasanya dihubungi pertelepon atau perantara-

perantara (calo-calo). Ketiga, prostitusi jalan. (Street Prostitution): Ini merupakan

bentuk prostitusi yang menyolok. Di kota-kota besar kerapkali orang dengan

mudah dapat menjumpai wanita yang berdandan dan berias menyolok, seolah-

olah menjajakan diri, untuk dibawa oleh yang menghendakinya. Biasanya pelacur

yang dijalan dibawa ke hotel-hotel murahan, atau ke bordil atau kemana saja

sesuka yang membawa.

2.9. Paradigma Definisi Sosial

Paradigma definisi sosial mencakup teori-teori yang menganggap subjek

kajian dari sosiologi adalah tindakan sosial yang penuh arti. Paradigma ini diambil

dari salah satu aspek yang sangat khsusu dari karya Max Weber, yakni tentang

tindakan social. Apabila ditelusur lebih jauh peran subjek sebagai agen yang

memproduksi realitas sosial pada awalnya dikembangkan Weber (1864),

meskipun ia hidup sejaman dengan Durkheim, pandangannya sangat

berseberangan dengan Emile Durkheim. Dalam analisisnya tentang tindakan

sosial, Weber memperkenalkan konsep suatu tindakan. Inti tesisnya yaitu suatu

tindakan yang penuh arti. Oleh karena itu Weber juga diklasifikasikan sebagai
41
salah satu tokoh yang menghasilkan teori paradigma sosial. Dalam

mengembangkan teorinya, Weber menempatkan tindakan indvidu sebagai pusat

kajiannya. Ia melihat bagaimana individu menjalin dan memberi makna terhadap

hubungan sosial di mana individu menjadi bagian di dalamnya, oleh karena itu

Weber mendefinisikan sosiolog sebagai ilmu yang mengusahakan pemahaman

interpretative atau makna mengenai tindakan sosial atau yang dikenal dengan

pendekatan verstehen agar dengan cara itu dapat menghasilkan sebuah penjelasan

kausal mengenai tindakan sosial dan akibat-akibatnya.

Konsep Weber tentang fakta sosial berbeda sekali dari konsep Durkheim.

Weber tidak memisahkan dengan tegas antara struktur social dengan pranata

sosial. Struktur sosial dan pranata sosial keduanya membantu untuk membentuk

tindakan manusia yang penuh arti atau penuh makna. Mempelajari perkembangan

suatu pranata secara khusus dari luar tanpa memperhatikan tindakan manusianya

sendiri, menurut Weber, berarti mengabaikan segi-segi yang prinsipil

darikehidupan social. Perkembangan dari hubungan sosial dapat pula diterangkan

melalui tujuan tujuan-tujuan dari manusia yang melakukan hubungan social

itudimana ketika ia mengambil manfaat dari tindakan itu sendiri dalam

tindakannya;memberikan perbedaan makna kepada tindakan itu sendiri. Karya

Weber tersebut membantu menimbulkan minat para teoritisi yang

menganutparadigma ini dalam mempelajari cara aktor mendifinisikan situasi

sosial mereka dandalam mempelajari pengaruh definisi situasi social terhadap

tindakan dan integrasiberikutnya.

42
Menurut Weber individu manusia dalam masyarakat merupakan aktor

yang kreatif dan realitas sosial bukan merupakan alat yang statis daripada paksaan

fakta sosial. Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma,

kebiasaan, nilai, dan sebagainya yang tercakup dalam konsep fakta sosial.

Walaupun pada akhirnya Weber mengakui bahwa dalam masyarakat terdapat

struktur sosial dan pranata sosial. Dikatakan bahwa struktur sosial dan pranata

sosial merupakan dua konsep yang saling berkaitan dalam membentuk tindakan

sosial. Dengan demikian pada dasarnya tindakan individu sangat berpengaruh di

masyarakat, dengan catatan bahwa tindakan sosial (social action) individu,

berhubungan dengan rationalitas, baik rationalitas instrumental ataupun

rationalitas nilai, bahkan mungkin merupakan tindakan tradisional non rational,

berdasar kan pada kebiasaan atau tindakan afektif yang didominasi perasaan atau

emosi belaka.

Dari pemikiran tersebut di atas, kemudian Weber melakukan kajian atas

tindakan sosial, yang kemudian mengelompokkannya menjadi empat tipologi

tindakan sosial sebagai berikut; (1) zweckrationalitas, (rational Instrumental),

yaitu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan dan alat yang

dipergunakan untuk mencapai tujuan, sebuah tindakan yang mencerminakan

efektivitas dan efisiensi, (2) wetrationalitat (rationalitas tujuan), yaitu tindakan

yang melihat alat-alat hanya sekedar pertimbangan dan perhitungan yang sadar

sebab tujuan yang terkait dengan nilai-nilai sudah ditentukan, (3) tindakan

tradisional ialah tindakan yang dilakukan berdasarkan kebiasaan tanpa

perencanaan, tanpa refleksi yang sadar, dan (4) tindakan efektif, yaitu tindakan

43
yang dilakukan dan didominasi oleh perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual

atau perencanaan yang sadar.

Dalam pimikiran Weber, tindakan sosial dari tingakah laku pada umum-

nya dengan mengatakan bahwa sebuah gerakan bukanlah sebuah tindakan kalau

gerakan itu tidak memiliki makna subjektif untuk orang yang bersangkutan. Ini

menunjukkan bahwa seorang pelaku memiliki sebuah kesadaran akan apa yang

sedang ia lakukan yang bisa dianalisis menurut maksud-maksud, motif-motif dan

perasaan-perasaan sebagaimana yang mereka alami. Dengan demikian tindakan

berbeda dengan dari segi-segi yang sama sekali mekanis dari fungsi badaniah.

Kemudian untuk memahami tindakan sosial perlulah memiliki bukti yang

meliputi makna subjektif khusus para pelaku, dan hal ini menuntut sebuah

kemampuan untuk menangkap seluruh kompleks makna yang dipakai pelaku itu

untuk merumuskan alasan-alasannya untuk bertindak dengan cara yang ia

lakukan. Oleh karena itu yang harus didahulukan adalah menafsirkan dan

menginterpretasikannya dengan cara menyelami kehidupan tersebut, dan dengan

demikian berarti berada pada tataran mind bukan body.

2.10. Fenomenologi PSK

Fenomenologi pada awalnya merupakan pemikiran pemikran filsafat

yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Gerakan filsafat ini dipelopori oleh

Edmund Husserl (18591838). Beberapa disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi

dari fenomenologi, seperti Psikologi, Sosiologi, antropologi, sampai arsitektur,

mendapat ruh baru dengan munculnya fenomenologi. Dalam berfenomenologi

langkah yang utama adalah menghindari semua asumsi dan konstruksi pemikioran
44
yang ada dalam pemikiaran untuk memahami suatu pengalaman. Baik itu

berkaitan dengan filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus

dihindari adanya asumsi atau pemikiran untuk menjelaskan. Penjelasan apapun

tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan

dalam pengalaman itu sendiri. Fenomenologi mementingkan perlunya filsafat

melepaskan diri dari ikatan historis, tradisi metafisika, epistimologi, atau sains.

Tugas paling utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan

sehari-hari subjek pengetahuan. Dengan demikian bisa dikatakn tujuan utama

fenomenologi Husserl adalah untuk mendekati fenomena apa adanya, semurni

mungkin. Melalui mencari esensi penampakkan, membiarkan fenomen-fenomen

berbicara sendiri, dan dengan pengandaian adanya relasi epistemologis antara

yang memandang dengan yang dipandang. Pemandang yang tak berkepentingan

itu adalah ego transendental.

Di jelaskan lebih lanjut oleh Maurice Natanson, bahwa dalam

berfenomenologi haruslah bersikap sebagai pemula (beginner), karena

fenomenologi itu sendiri adalah a science of beginnings, (Natanson, Maurice,

1973: 6). Pemula yang dimaksud adalah pemula dalam segala hal, meski dalam

kenyataanya pemula dalam segala hal tidak pernah ada. Pemula dalam segala hal

adalah suatu sikap seolah-olah, dan sikap macam inilah yang memungkinkan kita

melihat fenomen apa adanya. Ini bisa diumpamakan sebagai berikut ; misal kita

melihat sungai di depan rumah, sungai itu seolah-olah baru meilhat pertama

kalinya, dengan sendirinya kita tidak begitu saja percaya bahwa sungai itu ada

disana, yakni diluar kesadaran kita. Kita akan bertanya-tanya apakah sungai itu

45
hasil rekaan pikiran kita saja atau memang ada di luar pikiran, cara berfikir seperti

ini adalah suatu teknik untuk mendekati fenomen semurni mungkin. Bersikap

sebagai pemula dalam pandangan Husserl dirumuskan sebagai reduksi

fenomenologi atau epoche. Anggapan-anggapan bahwa sesuatu itu sudah ada

entah di dalam atau di luar kesadaran ditangguhkan atau dengan istilah yang

digunakan Husserl diberi tanda kurung (eingeklammert), segala sesuatu dibiarkan

menampakkan diri apa adanya.

Dalam fenomenologi yang dikembangkan Husserl ada tiga aspek penting,

yaitu Intensionalitas, Konstitusi dan reduksi fenomenologi. Intensionalitas,

adalah struktur hakiki kesadaran., konsep intesionalitas diambil dari lapangan

psikologi yang biasa diapakai Brentano. Menurutnya semua tindakan mental

bersifat intensional' artinya terarah dan tertuju pada sesuatu. (Hasan Fuad,

Kemudian pengertian konsep intensionalitas diperluas Husserl, dengan

menyatakan bahwa 'semua kesadaran bersifat intensional'; maka tidak ada

'kesadaran' selalu tertuju pada objek yang mengisinya. Sebagai misal tidak ada

kesadaran tentang 'takut' tanpa diisi oleh sesuatu yang tampil menakutkan,

kesadaran 'takut' merupakan pengalaman yang menyatu dengan objek yang tampil

menakutkan itu. Kemudian yang dimaksud konstitudi adalah proses tampaknya

fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen-fenomen mengkonstitusi diri

dalam kesadaran. Dalam hal ini konstitusi juga bisa dikatakan aktivitas kesadaran

yang memungkinkan tampaknya realitas. Dimana benda-benda dibuat

(dikonstitusikan) dalam perbuatan sedemikian rupa, sehinga benda-benda itu tidak

hanya ada dalam akt-akt itu saja, tapi muncul sebagai realitas. Reduksi ini tidak

46
menyangsikan dunia, melainkan seperti netralisasi. Ada tidaknya dunia tidak

relevan: persoalan bisa disisihkan tanpa merugikan. Kemudian yang dimaksud

dengan reduksi adalah tindakan yang harus dilakukan, agar dunia tampil kepada

manusia sebagai profil-profil. Benda material tempat berleluasan dalam ruang,

artinya tidak bisa tampil absolut, tapi hanya dari sudut pandang yang melihatnya.

Untuk mendapatkan sebuah penuturun yang utuh dari para PSK Ibu

Rumah Tangga Gedung Banteng salah satu pendekatan yang sesuai adalah

pendekatan fenemonologi. Melalui pendekatan ini, akan didapatkan sebuah

pengetahuan tentang PSK Gedung Banteng melalui pengalaman langsung yang

dialami oleh guru di lapangan. Dengan kata lain, akan mendengarkan bagaimana

PSK mendiskripsikan tentang Prostitusi. Jadi yang menjadi sentral dalam kajian

ini adalah pengalamam PSK di lapangan, ketika ia melihat, mengamati, dan

merasakan, tanpa ada intervensi dari siapapun.

Dalam kelanjutannya pendekatan fenomenologi berkembang juga dalam

suatu ranah teori yang dikenal dengan Teori Konstruksi Sosial. Teori ini sebagai

tandingan dari teori-teori yang berada pada paradigma fakta sosial, sebagaimana

digagas Emile Durkheim. Akar dari teori pada awalnya teori kefilsafatan yang

dikemukakan Hegel, Husserl dan Schutz, kemudian melalui Max Weber,

fenomenologi menjadi teori yang digunakan untuk menganalisis fenomena sosial.

Menurut Husserl, suatu fenomena yang tampak sebenarnya merupakan refleksi

realitas yang tidak berdiri sendiri, karena yang tampak adalah sebagai objek penuh

dengan makna yang trasendantal. Oleh karena itu, untuk bisa memahami makna

yang realistis tersebut haruslah menerobos masuk ke kedalaman fenomena atau

47
masuk menerobos kepada fenomena yang menampakkan diri tersebut (Waters,

1994 : 31). Atau yang disebut sebagai dunia noumen. Ia adalah pengalaman

individu yang direfleksikan dalam bentuk fenomena atau tindakan yang penuh

dengan makna (Cambell, 1994 : 233-234). Menurt Schulzt, dunia sosial

merupakan suatu yang intersubjektif dan pengalaman yang penuh makna

(meaningfull). Sementara itu, menurut Weber makna tindakan identik dengan

motif untuk tindakan atau in-order to motive, artinya untuk memahami tindakan

individu haruslah dilihat dari motif apa yang mendasari tindakan itu, kemudian

Schultz menambahkan because motive atau motif asli yang benar-benar mendasari

tindakan yang dilakukan oleh individu (Waters, 1994 : 33).

Teori Konstruksi sosial, sebagai kelanjutan dari pendekatan fenomenologi

adalah teori Konstruksi Sosial, yang dikembangkan Berger. Dalam hal ini Berger

cukup banyak mendapat pengaruh dari Schutz, atas kuliah-kuliahnya menganai

konstruksi realitas secara sosial, dan hal ini yang membuat Berger mampu

mengembangkan model teoritis lain mengenai bagaimana dunia sosial terbentuk.

Bersama Thomas Luckmann, Berger menulis risalat teorinya, dalam karyanya

yang berjudul, The Social Construction of Reality (1966) atau Tafsir Sosial atas

Kenyataan Menurutnya realitas sosial secara objektif memang ada, tetapi

maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif (individu) dengan dunia

objektif, Berger juga setuju dengan pernyataan fenomenologi terdapat realitas

berganda. Menurutnya ada realitas kehidupan sehari-hari, yang menurutnya sangat

penting, dan biasanya diabaikan begitu saja, realitas itu memiliki dua dimensi,

yaitu dimensi subjektif dengan dimensi obejektif. Di antara dua dimensi subjektif

48
dan objektif, ada tiga proses objektivisasi, internalisasi, dan ekternalisasi,

merupakan sebuah proses perubahan yang bersifat dialektis.

2.11. Teori Interaksi Sosial Untuk Mengkonstruksi Realitas PSK

Pilihan untuk mengkonstruksi realitas PKS adalah dengan Teori Interaksi

Simbolik yang digagas Blumer. Ide dasar dari teori Interakasi simbolik adalah

suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan

hubungan masyarakat dengan individu.Interaksi yang terjadi antar individu

berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial

merupakan rangkaian perisitwa yang terjadi pada beberapa individu dalam

masyarakat. Interaksi yang dilakukan antara individu itu berlangsung secara sadar.

Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain suara dan vokal,

gerakan fisik, ekpresi tubuh yang semua itu mempunyai maksud dan disebut

dengan symbol. Pada prinsipnya interaksi simbolik berlangsung di antara

berbagai pemikiran dan makna yang menjadi karakter masyarakat. Dalam

interaksi simbolik kedirian individual (one self) dan masyarakat sama-sama

merupakan aktor.Individu dan masyarakat merupakan satu unit yang tidak dapat

dipisahkan, keduanya saling menentukan satu dengan lainnya. Dengan kata lain

tindakan seorang adalah hasil dari stimulasi internal dan ekternal atau dari

bentuk sosial diri dan masyarakat. Uraian tersebut di atas menjadi asumsi dasar

dari interaksi simbolik. Sementara itu interaksi simbolik ditandai oleh hubungan

yang terjadi antar individu dalam masyarakat, dimana individu yang satu

berinteraksi dengan yang lain melalui komunikasi. Individu adalah simbol-simbol

49
yang berkembang melalui interaksi simbol yang mereka ciptakan, dan masyarakat

itu sendiri merupakan rekapitulasi individu secara terus menerus.

Bagi Herbert Blumer (1900-1987), Interaksi simbolik bertumpu pada tiga

premis, pertama; manusia betindak, terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna

yang ada pada sesuatu bagi mereka, kedua; makna tersebut berasal dari interaksi

sosial seseorang dengan orang lain, dan ketiga; makna-makna tersebut

disempurnakan disaat proses interaksi berlangsung. Disebutkan lebih lanjut

makna tersebut berasal dari interaksi dengan orang lain, sebagai dikatakan

Blumer, bagi seseorang makna dari sesutau berasal dari cara-cara orang lain

bertindak terhadapnya dalam kaitannya dengan sesuatu itu. Mengenai sebab

tindakan, mengatakan tindakan manusia bukan disebabkan sjemulah kekuatan

luar ataupun kekuatan dalam, melainkan ketikan individu membentuk objek-

objek, merancang objek-objek yang berbeda, memberinya arti, menilai

kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian

tersebut. Inilah yang dimasud dengan penafsiran atau bertindak berdasarkan

simbol-simbol. Dengan demikian manusia merupakan aktor yang sadar dan

reflektif, yang menyatukan objek-objek yang diketahui melalui apa yang

disebutnya sebagai proses self-indication, yaitu proses komunikasi yang sedang

berjalan dimana individu selalu menilainya, memberinya makna dan memutuskan

untuk bertindak berdasarkan makan. Proses sel-indication terjadi dalam konteks

sosial di mana individu mencoba untuk mengantisipasi tindakan-tindakan orang

lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu.

50
Implementasi teori Interaksi Simbolik dalan kaitannya dengan praktek

prostitusi yang dilakukan PSK Kedung Banteng. Bahwa PSK Kedung Banteng

akan memaknai prostitusi setelah mereka berinteraksi dengan para pelanggan

mereka. Sebagaimana subsantsi dari teori Interaksi Simbolik, bahwa makna pada

dasarnya dibangun karena adanya interaksi. Tentunya para PSK Kedung Banteng

yang melakukan interaksi dengan lelaki pelanggannya, pengelola lokalisasi, dan

masayarakat pada umumnya melahirkan berbagai makna tenteng prostitusi.

Melalui interaksi itulah dimungkinkan memperoleh beragam makna yang

berbeda-beda, baik makna yang dibangun oleh PSK, lelaki pengguna PSK,

pengelola PSK dan masyarakat yang memandang PSK akan memproduksi makna

prostitusi makna yang berbeda.

2.12. Penelitian Terdahulu

Studi penelitian terdahulu telah dilakukan sebelum penelitian ini

dilaksanakan, tujuan melakukan studi tentang penelitian terdahulu dimaksudkan

untuk melihat sejauhmana masalah yang dikaji dalam penelitian ini pernah diteliti,

dengan melihat temuan terdahulu, maka dapat dilakukan perbandingan sekaligus

kajian tentang temuan yang dilakukan, pendekatan apa yang dilakukan, dan teori

apa yang digunakan dalam penelitian tersebut. Temuan-temuan tersebut dapat

dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam mengambil kesimpulan dalam

penelitian ini.

Penelitian pertama, tentang PSK yang dilakukan oleh Elanda Juwita

dengan judul tema Pekerja Sek Komersial, fokus kajian pada pekerja seks

komersial dalam membagi perannya menjadi seorang ibu sebagai pilihan rasional.

51
Pendekatan yang dilakuakn adalah pendekatan kualitatif dengan perspektif teori yang

diganakan adalag teori pilihan rational yang dikembangkan oleh Coelman. Temuan

penelitian menyimpulkan bahwa peran ganda yang dijalankan PSK disebabkan oleh

rendahnya pendidikan. Walaupun sudah berkeluarga dan memiliki anak, mereka

mengambil pilihan rational praktek prostitusi. Praktek prostitusi itu sendiri

menyababkan sebuah fungsi keluarga yang kurang sempurna akibat pekerjaan

tersebut (Juwita). Tema dan pendekatan penelitian yang dilakuakn Elanda Juwita

sama dengan penelitian yang akan dilakukan, tetapi teori yang dipakai berbeda.

Pada penelitian ini teori yang dipakai adalah teori fenomenologi yang

dikembangkan oleh Peter L Berger sedangkan teori yang dipakai oleh Elanda

adalah teori pilihan rational yang dikembangkan oleh Coolman. Perbedaan teori

yang dipakai memungkinan kesimpulan atas temuan penelitin ini berbeda dengan

kesimpulan penelitian PKS dalam membagi perannya menjadi seorang ibu yang

dilakukan oleh Elanda.

Peneliatan kedua, dilakukan oleh Arman Zainuddin tentang Problematika

Dakwah Terhadap Pekerja Seks Komersiil (PSK) di Kota Makassar, dengan

menggunakan pendekatan kualitatif, beberapa teori yang dipakai sebagai bahan

pijkan untuk menganalisis temuan penelitian adalah fenomenologi, rationalitas

dan normative. Temuan penelitian ini menyimpulkan pertama, keadaan ekonomi

PSK, terklasifikasi dalam tiga kelompok yakni PSK jalanan sebanyak 241 orang,

PSK lokalisasi sebanyak 732, dan PSK professional sebanyak 249. Jumlah PSK di

kota Makassar selama penelitian berlangsung sebanyak 1.222 orang. Kedua,

aplikasi dakwah dalam pembinaan PSK di kota Makassar melalui bimbingan dan

52
penyuluhan yang dilaksanakan oleh dinas sosial Makassar dan mengikutsertakam

instansi terkait. Ketiga, terdapat banyak tantangan sekaligus menjadi kendala

implementasi dakwah dikalangan PSK di kota Makassar, antara lain faktor

lingkungan lokalisasi PSK yang kurang konduktif dan sulit dijangkau oleh

sentuhan dakwah (Zainudin, 2011). Tema penelitian Zainuddin sama dengan tema

penelitian yang akan dileksanakan, tetapi focus kajiannya berbeda pada penelitian

Zaenudin lebih menekankan pada aspek untuk mempengaruhi PSK, sedangkan

penelitian ini lebih menekankan pada konstruksi sosial PSK yang telah berumah

tangga tentang praktek prostitusi yang dilakukan.

Penelitian ketiga, tentang kepuasan pernikahan pada pekerja seks

komersial (PSK) yang dilakukan Rera Aqmalia dkk. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif dengan subjek penelitian adalah PSK yang telah berumah

tangga. Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa pada kasus ini, subjek tidak

merasakan kepuasan pernikahan dengan pasangannya karena selamamenjalani

pernikahan dengan pasangannya subjek hanya bisa menerima kekurangan-

kekurangan yang ada pada pasangannya. Seperti kesetiaan, kejujuran, ekonomi,

bahkan sampai pasangan subjek yang suka ringan tangan. Pada kasus ini juga,

yang menjadi faktorfaktor yang menyebabkan kepuasan dalam pernikahan

subjek adalah pernikahan yang terjadi pada orang tua subjek, masa kana-kanak

yang subjek alami, komunikasi, kehidupan sosial, pendapatan, persetujuan akan

peran, anak, companionship (pertemanan) dan sharing (saling berbagi) dan

keyakinan religius. Kesamaan penelitian yang dilakukan oleh Aqmalia dkk,

memiliki kesamaan tema dan subjek dalam penelitian ini, melalui perspektif

53
psikologi mereka para PSK yang telah berumah tangga melakukan praktek

prostitusi dikarenakan ada ketidakpuasan sex dalam berumah tangga. Temuan ini

menambah perbendaharaan refrensi untuk menyimpulkan penelitian yang akan

dilakukan.

2.13. Kerangka Konseptual


Berdasarkan kajian teoritik sebagaimana diurakan diatas dan

berdasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun penelitian, maka dapat dibangun

kerangka konseptual penelitiaan. Kerangka konseptual ini merupakan alur berpikir

penelitian untuk menjawab masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

Adapun kerangka konseptual tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut :

54
Kerangkan konsepatual sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai

berikut: Masyarakat Ponorogo, kebudayaan setempat, norma yang berlaku dalam

masyarakat, agama dan tradisi menjadi eleman penting untuk menilai kebaradaan

PSK Kedung Banteng. Penilaian tersebut tentunya didasarkan baik dan buruk,

oleh karena itu keberaan PSK Kedung Banteng sangat terkat dengan cara pandang

masyarakat Ponorogo yang didasarkan pada kebudayaan, norma, agama dan

tradisi. Selama elemen tersebut menolak kehadiran PSK, maka keberadaan PSK

Kedung Banteng dalam posisi ditolak masayarakat Kedung Banteng. Namun

55
demikian semua eleman tersebut dimungkinkan dalam penerapannya di

masayarakat tidak begitu kaku, sehingga masih ada flesibelitas, fleksibelitas

norma, agama dan kebuadayaan inilah yang memungkinkan kebaradaan PSK

Kedung Banteng masih tetap eksis. Keberadaan PSK juga sangat tergantung dari

beberapa lembaga, seperti Disnakertrans dan Kemenag serta tokoh masayarakat.

Sejauh mana lembaga menerapakan kebijakan tentang PSK Keduang Banteng.

Selama kebijakannya memberi kelonggaran pada PSK Kedung Banteng, maka

PSK Kedung Banteng tetap eksis dan terus beroperasi sampai sekarang. Melalui

cara pandang yang berbeda Keberadaan PSK Kedung Banteng dalam penelitian

ini ingin dikaji melalui perspesktif definis sosial, melalui perspektif definisi sosial,

akan dikaji keberadaan PSK dari sudut pandang PSK itu sendiri, yang

menempatkannya PSK sebagai aktor yang otonom. Kajian tentang PSK melalui

sudut pandang individu PSK akan menghasil temuan-temuan penelitian, yang

selanjutnya akan dibangun proposisi yang menghubungkan anata fenomena sosial

yang satu dengan yang lain.

56

Anda mungkin juga menyukai