Anda di halaman 1dari 2

NATAL BAGI MEREKA

YANG HINA, MISKIN


DAN RENDAH
Lukas 1:46-56

Hari ini kita sudah berada dalam minggu adven keempat. Tinggal beberapa hari lagi kita akan
merayakan malam natal, malam kudus. Saya kira masa raya adven adalah masa refleksi, masa perenungan
diri. Masa perenungan dan refleksi ini dimasudkan supaya kita menemukan diri dan nasib kita. Supaya
apa? Supaya kita kenal siapa diri kita di hadapan Tuhan dan sesama. Maka hari ini saya mau bertanya:
bagaimana perasaan hati saudara/i semua dalam masa-masa perenungan dan refleksi itu? Lega? Waduh...
saya lega sekali pak pendeta, karena hari Natal yang saya nanti-nantikan sudah semakin dekat. Tinggal
beberapa hari lagi! Atau kusut? Hati saya kusut sekali pak pendeta, sebab Natal memang sudah tiba,
tetapi? Oh.... ada banyak soal!!! Atau ah, biasa-biasa saja. Natal sudah datang atau belum, sama sekali
tidak berpengaruh. Biasa-biasa saja. Ya, kalau saya ditanya mengenai perasaan hati jamaat, maka saya
akan menjawab: saya benar-benar tidak tahu. Kita masing-masing tahu perasaan kita sendiri-sendiri.
Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan!
Jika kita menghubungkan perikop bacaan kita (Luk. 2:46-57) dengan perikop sebelumnya (Luk.
2:26-38) maka kedua perikop ini membentangkan kepada kita tentang perasaan hati dua orang
perempuan, yang dengan amat sangat menantikan kedatangan Mesias, Tuhan dan Juruselamat. Maria dan
Elisabet. Segera setelah Maria mendapat kabar dari Malaikat Tuhan bahwa ia akan mengandung oleh Roh
Kudus, Sang Mesias, Juruselamat, maka ia pun berangkat menemui Elisabet. Dan dalam ayat 26-38 itu
jelas-jelas tampak keharuan yang mendalam dalam perjumpaan itu. Saya bayangkan Maria dan Elisabet
berpelukan gembira tetapi sambil meneteskan air mata. Mengapa? Karena kepedihan dan kegirangan
sekaligus berkecamuk di dalam hati mereka. Perhatikan ayat 43. Elisabet berkata: Siapakah aku ini
sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Artinya Elisabet merasa dirinya tidak layak. Mengapa ia
tidak layak? Kerena sebelumnya ia hanya seorang perempuan mandul. Mandul pada masa itu disamakan
dengan tidak berguna, karena tidak memberikan anak kepada keluarga. Perempuan-perempuan yang
mandul pada zaman itu sangat direndahkan oleh masyarakat. Nilai dan pandangan masyarakat umum
yang patriarkhit sangat merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan, apalagi yang mandul. Nilai
seorang perempuan begitu murah disamakan dengan kemampuannya memproduksi anak. Sama dengan
pabrik. Semakin memproduksi anak, ia semakin dihargai. Sebaliknya, semakin tidak memproduksi anak,
semakin jatuh harga. Sehingga nilai Imago Dei atau gambar Allah yang merupakan makhota manusia
perempuan juga, dengan begitu mudah disingkirkan oleh pandangan masyarakat umum, terhadap kaum
perempuan yang mandul. Akibatnya, banyak perempuan mandul, yang mungkin kelihatan dari luarnya
ceria, tetapi di dalam sanubarinya tersimpan luka yang sangat dalam dan menganga. Saya namakan ini
sebagai suatu tindakan penindasan massal, terhadap kaum perempuan yang mandul. Dan itulah yang
dialami oleh Elisabet bertahun-tahun hingga ia tua. Itulah juga yang telah menjadi penderitaan dan
kepedihan Elisabet. Karena itu ia tahu diri. Ia kenal siapa dirinya di hadapan Allah. Ia tahu dengan pasti
bahwa kalau sekarang ia bisa hamil dan mengandung Yohanes di dalam rahimnya, maka itu semata-mata
oleh karena anugerah Tuhan. Bagi Elisabet, oh.... anugerah ini terlalu besar. Bahwa gambar Allah, yaitu
harkat dan martabatnya sebagai perempuan mandul yang telah direndahkan oleh masyarakat, tetapi
Tuhanlah yang menyelamatkan dan memulihkannya. Karena itu, sekali lagi ia kenal diri, ia tahu diri. Dan
di dalam pengenalan diri itulah, ia berkata dalam ayat 43: Siapakah aku ini, sampai ibu Tuhanku datang
mengunjungi aku? Ini rahasianya saudara-saudariku, kalau anda mau dikunjungi oleh Tuhan, sang bayi
Natal itu. Apa itu? Merasa tidak layak dikunjungi Tuhan. Saya selalu katakan dalam khotbah minggu-
minggu adven bahwa minngu-minggu adven ini adalah minggu-minggu di mana kita merenung,
berefleksi untuk menemukan keberdosaan kita sebagai makhluk yang hina dan celaka. Sebab hanya orang
yang tahu dirinya berdosa, hina dan tidak layaklah dikunjungi Tuhanlah, yang akan dikunjungi dan
dijumpai oleh Tuhan. Pelajarilah semua bagian Alkitab, dan ketahuilah bahwa semua orang yang
dikunjungi Tuhan selalu merasa tidak layak. Dan manusia hanya bisa merasakan demikian di dalam
hatinya, kalau ia kenal diri. Ia tahu diri. Hanya orang yang tidak tahu diri, dan tidak kenal dirilah yang
merasa pantas untuk dikunjungi Tuhan. Saya mau bertanya: bagaimana perasaan anda? Apakah anda juga
merasa tidak layak dikunjungi Tuhan? Kalau itu yang anda rasakan, maka dengan wibawa firman Tuhan,
saya mau katakan: bersabarlah sebab Tuhan pasti akan mengunjungi anda.
Lalu bagaimana dengan Maria? Perhatikan ayat 46 dan 47: Lalu kata Maria: "Jiwaku memuliakan
Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku. Ada suasana gembira. Ada suasana sukacita.
Mengapa? Karena Juruselamat itu sedang berdiam di dalam rahimnya. Perempuan siapa yang tidak
bergembira apabila Juruselamat dunia, Raja sorga dan bumi bekenan berdiam di dalam rahimnya? Saya
juga mau jadi perempuan, punya rahim, kalau Tuhan dan Juruselamat itu mau tinggal di dalam rahim.
Tetapi apakah hanya kebahagiaan, tok? Oh.... tunggu dulu! Kalau ungkapan ini adalah sebuah lagu, maka
ini bukan lagu Rock, juga apalagi Dugem. Ini sebuah simfoni balada yang berisi tentang perasaan haru
yang mendalam. Sebuah pernyataan sukacita yang dinyanyikan dengan air mata yang mengalir. Ada
kegembiraan yang mendalam, tetapi sekaligus ada kepedihan yang menyayat hati. Anda bayangkan ada
seorang perempuan muda yang hamil di luar nikah. Tanpa suami. Oh... ini perempuan tidak baik. Ada tiga
resiko besar yang sedang menunggu. Pertama: ia akan dihakimi oleh agama. Ia akan dipandang sebagai
orang berdosa dan patut mendapat hukuman Allah. Kedua, ia akan dihakimi oleh masyarakat. Ia dianggap
sebagai pembawa penyakit sosial bagi masyarakat. Biasa, khan? Kalau perempuan hamil di luar nikah,
maka perempuannya yang dihukum. Dianggap sebagai yang tidak tahu jaga diri. Lalu laki-lakinya? Tidak
dianggap sebagai yang tidak menjaga diri, khan? Seorang perempuan hamil karena perbuatan laki-laki
tetapi, perempuannya yang menanggung akibatnya. Ketiga: dan ini sangat berat bagi Maria yaitu ia akan
diputuskan oleh Yusuf, calon suaminya. Karena ia dianggap sebagai perempuan murahan. Perempuan
yang tidak setia. Ya, laki-laki siapa yang mau menikah dengan perempuan yang sudah hamil bukan dari
benihnya? Dan anda tahu apa hukumannya? Ia akan digiring ke jalan, lalu dilempari dengan batu sampai
mati atas nama agama, atas nama nilai-nilai sosial dan kesetiaan terhadap suami. Sakit bukan? Itulah
kepedihan yang mendalam dalam hati Maria. Oleh karena itu maka ketika dalam ayat 38 mengatakan:
"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu", maka pernyataan
itu mencakup seluruh konsekuensi ini. Makanya saya katakan tadi, ada sukacita besar, bahkan terlalu
besar sehingga ia hanya bisa mengungkapkannya dalam dua kalimat, Jiwaku memuliakan Tuhan, hatiku
bergembira karena Allah, Juruselamatku tetapi juga ada kepedihan yang mendalam. Ia bagaikan seorang
gadis muda belia yang sedang bergembira di samping tumpukan batu-batu yang sebentar lagi akan
merajam dirinya. Oleh karena itu maka simbol Natal yang sesungguhnya bukan pohon natal yang mahal
dan gemerlapan. Tetapi kandang domba yang hina, kotor bahkan berbau busuk. Kandang itu tidak
manusiawi. Kandang itu sangat hewani. Maka Kristus terlahir dikandang yang kotor yang hina untuk
menyelamatkan manusia-manusia yang diperlakukan oleh masyarakat dan agama sebagai manusia yang
kotor, yang hina dan yang direndahkan martabatnya sama dengan hewan. Maka perhatikan baik-baik: visi
dan misi natal yang pertama dan terutama adalah mengangkat harkat dan martabat manusia yang telah
direndahkan oleh masyarakat bahkan agama dengan cara-cara yang sangat hewani. Artinya visi dan misi
natal itu adalah pembebasan. Perhatikan ayat 52-53. Pembebasan dalam arti yang rendah ditinggikan dan
yang lapar kenyangkan. Jadi Natal tidak sama dengan menghias diri, merias diri sendiri, tetapi justru
untuk menghias dan merias mereka yang tidak pernah dihias dan dirias yaitu mereka yang rendah
ditinggikan. Natal juga tidak berarti supaya yang sudah kenyang tambah kenyang, yang sudah mewah,
tambah mewah melainkan supaya mereka yang lapar dikenyangkan, yang haus dipuaskan. Dan itu tugas
kita. Mari kita merayakan natal dari perspektif ini. Supaya sebagaimana kedatangan Kristus memberi arti
kepada mereka yang hina dan rendah maka demikian perayaan natal kita turut memberikan arti kepada
sesama kita yang hina, miskin dan rendah, Amin

Anda mungkin juga menyukai