Anda di halaman 1dari 5

Upacara Adat Jawa

1. Upacara Adat Tingkeban

Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa,


upacara ini disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang arti nya
tujuh. Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan
pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa pendidikan
bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di
dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di
mandikan dengan air kembang setaman dan disertai doa yang
bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan
rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan
sehat.

Menurut tradisi Jawa, upacara dilaksanakan pada tanggal 7 , 17


dan 27 sebelum bulan purnama pada penanggalan Jawa, dilaksanakan
di kiri atau kanan rumah menghadap kearah matahari terbit. Yang
memandikan jumlahnya juga ganjil misalnya 5,7,atau 9 orang. Setelah
disiram, dipakaikan kain /jarik sampai tujuh kali, yang terakhir/ ketujuh
yang dianggap paling pantas dikenakan. Diikuti oleh acara
pemotongan tumpeng tujuh yang diawali dengan doa kemudian makan
rujak, dan seterusnya. Hakekat dasar dari semua tradisi Jawa adalah
suatu ungkapan syukur dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa
untuk keselamatan dan kenteraman, namun diungkapkan dalam
bentuk lambang-lambang yang masing-masing mempunyai makna.

2. Upacara Khitanan

Pada umunya masyarakat Jawa, bila anak perempuan telah


mencapai umur 8 tahun atau satu windu perlu disunati dengan
dilengkapi berbagai selamatan.
Selamatan tersebut antara lain: Jenang merah putih, jenang boro-boro,
tumpeng robyong, tumpeng gundul, gula kelapa sepasang (setangkep),
kelapa setandan (setundun). Dilengkapi dengan satu nampan yang
berisi beras, kemiri, menyan, lawe, lampu minyak kelapa (dlupak),
kendi, ayam betina yang masih hidup seekor, dan uang, sebanyak Rp
250,00 atau Rp 2500,00 (nilai uang tersebut adalah perempatan),
pisang ayu dan sirih ayu, jambe dengan tangkainya.
Tempat yang dipergunakan untuk sunatan dilapisi tikar atau
permadani, diberi daun-daun seperti daun kluwih, daun kara, daun
dadap srep (dadap yang tak berduri), daun maja, alang-alang.
Setelah itu ditutup dengan tikar lagi dan kalau ada tikar bangka
yang kelilingnya diberi pliser kain merah. Perlengkapan lain yang
diperlukan adalah kain sindur, selendang lurik, kain batik bermotif
yuyu sekandang, bunga mayang dan lawon putih.
Selanjutnya anak yang akan disunat duduk di pangkuan orang yang
dituakan (pinisepuh) yang hidupnya harmonis dan bahagia dengan
maksud agar di kemudian anak tersebut mendapatkan keharmonisan
dan kebahagiaan lahir batin.
Jalan upacaranya:
1. Anak yang disunat matanya ditiup dari belakang oleh orang
tuanya yang memangkunya.
2. Juru sunatan segera mulai menyunat atau istilah Jawa
netesi.
3. Hasil sunatan dicampur kunyit dan kapas yang selanjutnya
dimasukkkan ke dalam cuwo yang berisi bunga setaman.Cuwo
adalah semacam tempayan yang dibuat dari tanah liat.
4. Cuwo yang berisi hasil tetesan/sunatan kemudian dilabuh di
sungai atau bengawan.
5. Setelah selesai disunat, anak tersebut disuruh mengunyah
jamu yang terbuat dari lengkuas, kencur, kunyit, asam,
tumbar, adas pula waras, kunyit manis (semuanya mentahan).
6. Cara mengunyahnya bergantian dan yang diambil adalah
isapan air ludah, sedangkan ampasnya dibuang.
7. Setelah selesai mengunyah jamu tersebut, anak yang
bersangkutan menelan telur ayam mentah.
8. Selanjutnya anak itu dimandikan dengan duduk di bangku
(dingklik), beralaskan seperti waktu disunati. Yang
dipergunakan gosokan adalah lulur.
9. Setelah selesai dimandikan selanjutnya berbusana model
Jawa yaitu kain kebaya yang masih baru
3. Upacara Tetesan

Tetesan merupakan suatu upacara sunatan bagi anak perempuan


yang diselenggarakan untuk menandai bahwa anak sudah menginjak
dewasa, ditandai dengan kematangan fisik. Dalam ilmu psikologi
dinamakan puber pertama. Kematangan fisik bagi anak perempuan
ditandai dengan datangnya menstruasi, sedangkan anak laki-laki
ditandai dengan mimpi basah, yaitu keluarnya air mani di saat tidur.
Upacara bagi anak perempuan yang telah puber sering disebut dengan
tetesan, sedangkan untuk anak- laki-laki disebut khitanan. Apabila
anak perempuan akan memasuki usia kematangan maka segera
dilakukan upacara tetesan. Upacara ini dilakukan pada waktu anak
berumur satu windu atau 8 tahun.

Tujuan upacara ini adalah untuk mengucapkan rasa syukur


kepada Tuhan sebab si anak telah memasuki tahapan baru dalam
siklus hidup, yakni memasuki usia kematangan sekaligus memintya
perlindungan kepada Tuhan agar dalam menapaki masa remaja si anak
dapat selamat tanpa aral melintang, tumbuh sebagai remaja putri
yang luwes, cantik, dan lembut.

Untuk menandai upacara tetesan ini


dilakukan selamatan. Selamatan dilakukan dengan menyediakan
beberapa perlengkapan selamatan yang terdiri
dari jenang merah, jenang putih, jenang boro-boro, tumpeng robyong,
tumpeng gundul, gula kelapa setangkep, kelapa setandan (setundhun).
Selain itu disediakan pula beras, kemiri, menyan, lawe, lampu minyak
kelapa (dlupak), kendi, ayam betina yang masih hidup seekor, pisang
ayu (pisang raja dengan kualitas bagus) dan sirih ayu, jambe dengan
tangkainya, dan uang senilai perempatan (misalnya Rp 250,00 atau Rp
2.500).

Anda mungkin juga menyukai