Anda di halaman 1dari 4

Resensi

Data Buku
Judul : Sejarah Islam di Nusantara
Penulis : Michael Laffan
Penerjemah : Indi Aunullah & Rini Nurul Badariah
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : September 2015
Tebal : xx + 328 halaman
ISBN : 978-602-291-058-9

SINOPSIS

Agama Islam tidak dilahirkan di Indonesia, namun justru negara inilah yang memiliki
penduduk muslim dengan jumlah terbesar di dunia. Bagaimanakah cara agama ini masuk
dan berkembang di antara suku dan budaya yang beragam di nusantara? Fondasi
pertanyaan ini kemudian menggerakkan Michael Laffan, Profesor Sejarah di Universitas
Princenton, untuk meneliti proses tumbuh kembangnya Islam di Indonesia yang memiliki
corak dan ciri khusus. Dari aneka ragam sumberdaya, Laffan mereka ulang sejarah interaksi
dan diskusi ihwal Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Islam di Indonesia kerap digambarkan bersifat moderat berkat peran yang dimainkan
Sufisme mistis dalam membentuk pelbagai tradisinya. Menurut para pengamat Baratmulai
dari para administrator kolonial, para cendekiawan orientalis Belanda, hingga para
antropolog modern seperti Clifford Geertzpenafsiran Islam yang damai ala Indonesia terus-
menerus mendapat ancaman dari luar oleh tradisi-tradisi Islam yang lebih keras dan
intoleran.

Sejarah Islam Nusantara menawarkan sebuah penilaian yang lebih berimbang terhadap
sejarah intelektual dan kultural Indonesia. Michael Laffan menyusuri bagaimana citra
populer mengenai Islam Indonesia dibentuk oleh berbagai perjumpaan antara para
cendekiawan kolonial Belanda dan para pemikir Islam reformis. Tak berhenti sampai di situ,
Laffan juga menyuguhkan peran-peran tradisi Arab, Cina, India, dan Eropa yang telah saling
berinteraksi sejak awal masuknya Islam. Hasil perkawinan lintas budaya dan intelektualitas
inilah yang kemudian melahirkan Islam Nusantara.

"Sejarah Islam Nusantara merupakan kontribusi keilmuan yang mengesankan dan penting,
mengandung informasi berlimpah dan sudut pandang kritis bagi para cendekiawan dan
peneliti yang sebidang.

Christina Sunardi, American Journal of Islamic Social Sciences

Terlepas dari gaya berapi-api yang kadang jenaka, buku ini padat dan dapat menjadi bahan
diskusi.... Menarik."
Anthony H. Johns, Journal of Southeast Asian Studies

"Michael F. Laffan menulis buku yang gembur, sangat informatif, dan sangat inspiratif.
Semua orang yang ingin menekuni Islam di Indonesia dan Orientalisme Belanda harus
membacanya."

Stephan Conermann, Sehepunkte

"Buku ini merupakan sumbangsih besar bagi Islam di Indonesia.

Barbara Watson Andaya, co-writer A History of Malaysia

Narasi besar Islam yang merentang selama ratusan tahun di bumi Nusantara harus
diletakkan sebagai endapan ganjil dari pelbagai unsur yang hiruk. Islam yang kita
saksikan sekarang merupakan hasil kloning sempurna dari kultur hibrida, dari
lanskap budaya yang berbeda-beda.

Maka, ketika belakangan ini mencuat diskursus Islam Nusantara yang diwedarkan
sebagai bentuk capture identitas dalam konteks sosio-antropologis, argumen-
argumen penolakan yang bersifat ambisius dan dadakan perlu segera diluruskan.
Mengapa? Lewat Sejarah Islam di Nusantara, Michael Laffan menyediakan
jawabannya.

Hasil riset profesor sejarah dari Universitas Princeton ini mendedahkan secara
eksplisit bahwa Islam (di) Nusantara memiliki akar-akar sejarah yang menghunjam
jauh ke masa silam. Dengan lain kata, apa yang disebut sebagai Islam Nusantara
tak lain adalah salinan pucat dari sejarah Islam di Nusantara itu sendiri.

Di titimangsa ini, yang gamang mulai tampak terang: bahwa Islam Nusantara
bukanlah aliran sempal (firqah) yang mencoba memekarkan diri dari kelopak
keislaman yang sudah menangkai lebih dulu. Islam Nusantara, seperti yang akan
kita lihat, adalah ejawantah langsung dari relasi-relasi subtil antarmanusia, juga
antarbangsa.

Peran Ordo Sufi


Seperti halnya kebanyakan sejarawan, Michael Laffan percaya bahwa kesuksesan
Islam menapak bumi Nusantara sangat ditentukan oleh peran penting ordo-ordo sufi
yang memiliki reputasi baik sejak awal kedatangannya. Namun ia masih ragu
mengenai faktor paling dominan dalam proses islamisasi yang mencengangkan
tersebut.

Namun yang pasti, sufi-sufi yang berdatangan dari seberang seperti Persia, India
dan Afrika Utara kadang-kadang merupakan pedagang yang sekaligus juru dakwah
Islam. Di abad-abad pertama milineum kedua, mudah sekali kita temukan sosok sufi
yang nyambi jadi petani, pedagang, hakim, dan profesi duniawi lainnya.
Para penyebar Islam yang umumnya multitalenta itu, telah mengejutkan dan
membuat decak kagum orang-orang pribumi sehingga mereka cepat sekali
beradaptasi. Uniknya, dalam temuan Michael Laffan, untaian kearifan-kearifan kaum
sufi dengan mudah menjadi tren dan diadopsi oleh penguasa setempat (hal, 27).

Hal ini tidak lepas dari yang namanyadalam istilah Michael Laffangravitasi
kecendekiaan yang bersumber dari Mesir, Baghdad, Damaskus hingga Turki
Utsmani. Terma-terma sufistik yang menjadi tren di Timur Tengah, lewat persilangan-
persilangan mencengangkan, lalu dibawa dan akhirnya menjadi tren juga. Tren
sufisme di abad-abad lampau sama pentingnya dengan tren mode zaman sekarang
(hal, 253-254).

Antara abad 15 hingga 18, ordo-ordo sufi dengan leluasa keluar-masuk istana.
Tampaknya, penetrasi lembut antara ajaran sufi dan politik kekuasaan menjadi
penyokong utama langgengnya agama Islam di Nusantara. Pola-pola semacam itu
lazim terjadi di Asia Tenggara, terutama di sekitar poros Patani-Malaka-Jawa.

Islam yang Terus Berubah


Abad-abad berikutnya semakin rumit dan musykil. Ketika pondasi Islam boleh
dibilang sudah kukuh, sengkarut yang silang menyilang gencar terjadi. Ordo-ordo
sufi mulai menarik diri dari istana. Sementara itu, gerakan-gerakan revivalisme Islam
mulai tumbuh dan langsung mengambil jalur politik-kekuasaan.

Di sisi lain, katup kolonialisme yang kian menganga turut membawa dampak buruk
bagi posisi Islam Nusantara. Sejak itu, polarisasi dalam Islam tidak dapat dihindari
lagi. Muncullah Wahhabisme, Pan-Islamisme, dan seterusnya.

Sementara Islam bersusah payah menghadapi perpecahan yang menggerogoti


tubuhnya sendiri, dari luar tengah mengarah serbuan getol dari misionaris Kristen
yang dibonceng pemerintah Hindia Belanda. Bab 6 dan 7 secara khusus memotret
perseteruan dan perebutan panggung yang dramitis itu.

Dalam konteks yang lebih serius dan rumit, Christiaan Snouck Hurgronje hadir
sebagai eksemplar yang sangat menentukan terhadap narasi Islam di dunia yang
lebih modern kelak. Michael Laffan mencurahkan perhatiannya pada segmentasi ini
secara detail di bab 8, 9, dan 10.

Pada bab-bab berikutnya, Michael Laffan menyoroti setiap perubahan di dalam


sejarah Islam Nusantara yang arkaik dan tumpang tindih dengan pelbagai dimensi
kecil namun penting. Dengan tetap meyakini bahwa sejarah tidak pernah final,
Michael Laffan juga berkesimpulan bahwa Islam Nusantara juga bukan adonan
yang persis bulat dan final.

Sejak awal Michael Laffan mengingatkan bahwa yang khas bagi Islam Nusantara
justru karena ia tidak benar-benar khas (sejauh khas diidentikkan dengan orisinal).
Sebab, Islam Nusantara merupakan hasil tungkus-lumus, persentuhan, perpaduan
dari ajaran, perilaku, budaya dan citarasa yang aduhai jamaknya. Dan itu mustahil
dikrop untuk menjadi satu warna.

Apa yang ditulis Michael Laffan dalam buku ini, pada dasarnya, sekadar patahan-
patahan sumir, potongan-potongan kecil, atau celah-celah mungil yang terjadi di
dalam lipatan-lipatan sejarah yang enggan dibahas oleh sejarawan lain.Pembaca
tidak akan menemukan keutuhan, misalnya, sebagaimana buku-buku M.C. Ricklefs.
Tetapi justru di situ nilai plusnya. Dengan gaya penulisan yang tidak konvensional,
Michael Laffan berhasil memetakan serpihan-serpihan penting sejarah Islam
Nusantara ke dalam narasi yang enak dibaca. Hanya, pembaca yang belum tahu
secara persis anatomi sejarah Indonesia, jelas akan kesulitan mencerna konteksnya.

Buku ini, saya kira, unggul di satu sisi, tapi lemah di sisi yang lain. Sebagai buku
sejarah, buku ini sangat berharga karena keunikan data-data di dalamnya. Namun
keunikan itu tidak akan sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan penting yang
bercorak antropologis. Di sinilah reputasi Michael Laffan sebagai sejarawan tulen
patut ditepuktangani.

Anda mungkin juga menyukai