Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan

1.4 Tinjauan Pustaka

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Renumerasi

Kata remunerasi menurut Oxford American Dictionary adalah payment


atau reward yang berarti pembayaran, penghargaan, imbalan yang mana
istilah imbalan dalam Bahasa Indonesia digunakan istilah kompensasi.
Berbagai buku Management SDM yang banyak beredar di Indonesia
terutama buku yang berasal dari terjemahan Amerika menggunakan istilah
kompensasi untuk mengungkapkan istilah remunerasi. Namun Bahasa
Inggris maupun Organisasi Internasional (ILO) menyebutnya Remuneration.

Remunerasi adalah imbalan kerja yang dapat berupa gaji, honorarium,


tunjangan tetap, insentif, bonus atau prestasi , pesangon, atau pensiun.
Sedangkan, pengertian remunerasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah pembelian hadiah (jasa atau lainnya), imbalan. Bagi Pegawai Negeri
Sipil, remunerasi berarti imbalan kerja di luar gaji yang dikaitkan dengan
sistem penilaian kinerja. Remunerasi yang ada di tubuh Kementrian
Keuangan adalah penataan kembali pemberian imbalan kerja berupa
tunjangan yang dikenal dengan Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan
Negara (TKPKN) dengan didasari atas tingkat tanggung jawab dan resiko
jabatan/ pekerjaan yang diemban.

2.2 Latar belakang adanya Renumerasi Aparatur Birokrasi

Remunerasi pemerintahan adalah merupakan bagian yang tidak


terpisahkan dari Kebijakan Reformasi Birokrasi. Dilatarbelakangi oleh
kesadaran sekaligus komitmen pemerintah untuk mewujudkan clean and
good governance. Namun, pada tataran pelaksanaannya, Perubahan dan
pembaharuan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata
pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak mungkin akan
dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang layak
dari pegawai yang melaksanakannya. Perubahan dan pembaharuan tersebut
dilaksanakan untuk menghapus kesan Pemerintahan yang selama ini dinilai
buruk. Antara lain ditandai oleh indikator :

a) Buruknya kualitas pelayanan publik (lambat, tidak ada kepastian


aturan/hukum, berbelit belit, arogan, minta dilayani atau feodal style,
dsb);
b) Sarat dengan perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme);
c) Rendahnya kualitas disiplin dn etos kerja aparatur negara;
d) Kualitas.manajemen pemerintahan yang tidak produktif, tidak efektif
dan tidak efisien;
e) Kualitas pelayanan publik yang tidak akuntabel dan tidak transparan.

2.3 Maksud dan tujuan kebijakan Remunerasi

Para aparatur negara adalah bagian dari Pemerintahan. Maka dalam


konteks Reformasi birokrasi dilingkungan tersebut, upaya untuk menata dan
meningkatkan kesejahteraan para pegawai adalah merupakan kebutuhan
yang sangat elementer, mengingat kaitannya yang sangat erat dengan misi
perubahan kultur pegawai (Reformasi bidang kultural). Sehingga dengan
struktur gaji yang baru (nanti), setiap pegawai diharapkan akan mempunyai
daya tangkal (imunitas) yang maksimal terhadap rayuan atau iming-iming
materi (kolusi).

Tujuan dan manfaat remunerasi PNS ini adalah mendorong agar


menjadi SDM yang berkualitas, dan tidak pindah ke swasta, juga akan
mengurangi KKN. Pada prakteknya penetapan kompensasi atas tugas dan
pekerjaan adalah merupakan hal yang kompleks dan sulit, karena didalamya
melibatkan dasar kelayakan, logika, rasional, dan dapat
dipertanggungjawabkan serta menyangkut faktor emosional dari aspek
tenaga kerja.

2.4 Pihak yang Mendapatkan Remunerasi


Sesuai dengan Undang-undang No. 17 tahun 2007, tentang Rencana
Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025 dan Peraturan Meneg
PAN, Nomor:PER/15/M.PAN/7/2008, tentang Pedoman umum Reformasi
birokrasi. Kebijakan Remunerasi diperuntukan bagi seluruh Pegawai negeri di
seluruh lembaga pemerintahan. Yang berdasarkan urgensinya dikelompokan
berdasarkan skala prioritas ke dalam tiga kelompok :

a) Prioritas pertama adalah seluruh Instansi Rumpun Penegak Hukum,


rumpun pengelola Keuangan Negara, rumpun Pemeriksa dan Pengawas
Keuangan Negara serta Lembaga Penertiban Aparatur Negara.
b) Prioritas kedua adalah Kementerian/Lembaga yang terkait dengan
kegiatan ekonomi, sistem produksi, sumber penghasil penerimaan
Negara dan unit organisasi yang melayani masyarakat secara langsung
termasuk Pemerintah Daerah (PEMDA).
c) Prioritas ketiga adalah seluruh kementerian/lembaga yang tidak
termasuk prioritas pertama dan kedua.

2.5 Landasan Hukum Kebijakan Remunerasi

Berikut adalah landasan hukum yang mendasari kebijakan tentang


pemberian remunerasi, yaitu:

a) UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih


dan bebas dari KKN.
b) UU No.43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No.8 tahun 1974
tentang pokok-pokok kepegawaian. Yang salah satu substansinya
menyatakan bahwa setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji
yang adil & layak sesuai dengan beban pekerjaan & tanggung
jawabnya. ( Pasal 7, UU No.43 tahun 1999).
c) Undang-undang No. 17 tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan
Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Khususnya pada Bab IV butir 1.2,
huruf E. Yang menyatakan bahwa : Pembangunan Aparatur Negara
dilakukan melalui Reformasi birokrasi untuk meningkatkan
profesionalisme aparatur negara dan tata pemerintahan yanq baik. Di
pusat maupun di daerah, agar mampu mendukung keberhasilan
pembangunan dibidang bidang lainnya. .
d) Perpres No.7 tahun 2005, tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional.
e) Konvensi ILO No. 100 Diratifikasi pada tahun 1999, bunyinya Equal
remuneration for jobs of equal value (Pekerjaan yang sama nilai atau
bobotnya harus mendapat imbalan yang sama).

Sedangkan yang menjadi payung hukum pemberian remunerasi di


Kementerian Hukum dan HAM RI adalah Peraturan Presiden No. 40 tahun
2011 tentang Tunjangan Kinerja Bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam Peraturan tersebut juga dicantumkan
nominal tunjangan kinerja berdasarkan kelas jabatannya (Job Class) masing-
masing.

Mengenai pelaksanaan pemberian remunerasi telah tercantum dalam


Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-18 KU.01.01. tahun 2011
tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di
Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI. Yang perlu diperhatikan dalam
pemberian remunerasi di Kementerian Hukum dan HAM RI, tertera dalam
bab 2 mengenai komponen penentu besaran tunjangan kinerja yang
tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-18
KU.01.01. tahun 2011. Dalam pasal 3 menyebutkan bahwa tunjangan kinerja
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 diberikan berdasarkan 3 komponen,
yaitu:

a) Target kinerja yang dihitung menurut kategori dari nilai capaian


Standar Kinerja Pegawai (SKP);
b) Kehadiran menurut hari dan jam kerja di lingkungan Kementerian
Hukum dan HAM RI serta cuti yang dilaksanakan oleh pegawai; dan
c) Ketaatan pada kode etik dan disiplin Pegawai Negeri Sipil.
d) Sedangkan dalam pasal 4 disebutkan bahwa :
e) Tunjangan kinerja dibayarkan secara proporsional berdasarkan kategori
dan nilai capaian SKP;
f) Ketentuan mengenai kategori dan nilai capaian SKP sebagaiamana
dimaksud dalam pasal 3 huruf a serta penerapannya diatur dalam
Peraturan Menteri.

Besaran tunjangan kinerja yang akan diterima tidak mutlak sama


dengan besaran yang ditetapkan sesuai grade karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor, misalnya jumlah kehadiran (telah diatur dalam Peraturan
Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-18 KU.01.01. tahun 2011). Selain itu di
masa yang akan datang, besaran tunjangan kinerja bisa naik atau juga bisa
turun, tergantung dari hasil penilaian Tim Evaluasi Independen.

2.6 Prinsip Dasar Kebijakan Remunerasi

Prinsip dasar kebijakan Remunerasi adalah adil dan proporsional.


Artinya kalau kebijakan masa lalu menerapkan pola sama rata (generalisir),
sehingga yang tidak berkompeten juga mendapatkan penghasilan yang
sama. Maka, dengan kebijakan Remunerasi besar penghasilan (reward) yang
diterima oleh seorang pejabat akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga
jabatan yang disandangnya.

Ada lima prinsip yang akan diterapkan dalam reformasi sistem remunerasi
yaitu:

a) Sistem merit, yaitu penetapan penghasilan pegawai berdasarkan harga


jabatan;
b) Adil, dalam arti jabatan dengan beban tugas dan tanggung jawab
pekerjaan dengan bobot yang sama dibayar sama dan pekerjaan yang
menuntut pengetahuan, keterampilan serta tanggung jawab yang lebih
tinggi, dibayar lebih tinggi;
c) Layak, yaitu dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (bukan minimal);
d) Kompetitif, di mana gaji PNS setara dengan gaji pegawai dengan
kualifikasi yang sama di sektor swasta, guna menghindari brain drain;
e) Transparan, dalam arti PNS hanya memperoleh gaji dan tunjangan
resmi.
Sedangkan struktur remunerasi terdiri atas tujuh komponen yaitu:

a) Gaji, tidak lagi memakai istilah gaji pokok, di mana gaji ditetapkan
dengan memperhatikan peranan masing-masing PNS dalam
melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan;
b) Tunjangan biaya hidup (kamahalan), yang terdiri atas tunjangan
pangan, perumahan, dan transpor;
c) Tunjangan kinerja (insentif), berupa tunjangan prestasi yang diberikan
pada akhir tahun;
d) Tunjangan hari raya, yang besarnya sama dengan gaji dan diberikan
sekali dalam satu tahun;
e) Tunjangan kompensasi yang diberikan kepada PNS yang bertugas di
daerah terpencil, daerah rawan konflik, dan di daerah dengan
lingkungan yang tidak nyaman, berbahaya atau berisiko tinggi;
f) Iuran bagi pemeliharaan kesehatan PNS dan keluarganya dan diberikan
minimal sama dengan yang dibayar oleh PNS;
g) Iuran dana pensiun dan tunjangan hari tua (THT) dengan jumlah yang
minimal sama dengan yang dibayar oleh PNS.

2.7 Studi Kasus ( Renumerasi Tak Cegah Korupsi )

Berdasarkan artikel yang diposting di halaman REPUBLIKA.CO.ID


(Kamis, 11 April 2013, 01:30 WIB), masih banyak ditemukan kasus korupsi di
Direktorat Jendral Pajak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga
Pargono Riyadi, penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Direktorat Jenderal
Pajak, Kementerian Keuangan, memeras wajib pajak Asep Hendro. Kasus ini
memunculkan anggapan sistem remunerasi untuk pegawai pajak tidak
efektif mencegah perilaku korup. Wakil Ketua Komisi XI Achsanul Qosasih
mengatakan, godaan terhadap petugas yang terkait langsung dengan
penerimaan negara, seperti perpajakan, memang sangat tinggi. Sistem
remunerasi atau tunjangan kinerja diberikan agar pegawai pajak
menghindari sifat korup. Remunerasi ini tidak ampuh, Ungkap beliau,
kepada Republika, Rabu (10/4/2013).
Achsanul Qosasih juga berkesimpulan, masih adanya pegawai pajak
yang memeras atau menerima pemberian ini menunjukkan persoalan bukan
pada tidak terpenuhinya kebutuhan, tetapi masalah mental. Dia
menerangkan, persoalan mental ini menjadi persoalan yang sulit ditemukan
solusinya. Perbaikan kesejahteraan dalam bentuk lainnya dipastikan tidak
bakal memperbaiki mental tersebut. Diberikan Gaji berapa pun, rasanya
masih akan ada aparat yang mencoba merongrong penerimaan negara," ujar
Achsanul. Menurut anggota Fraksi Partai Demokrat ini, saat ini sebenarnya
ada banyak pegawai pajak yang baik dan memiliki dedikasi terhadap negara.
Tetapi, peristiwa ini mengingatkan Ditjen Pajak perlu melakukan perbaikan
secara terus-menerus.

KPK menangkap Pargono ketika menerima uang Rp 25 juta dari


Rukimin Tjahyono alias Andreas di Stasion Gambir, Jakarta Pusat, Selasa
(9/4/2013). Dari hasil pemeriksaan, juru bicara KPK Johan Budi mengatakan,
Pargono diduga menyalahgunakan wewenang dan memaksa Asep Hendro
untuk menyerahkan sejumlah uang. Kepada Asep, Pargono menyatakan
pajak pribadi dan perusahaannya, yaitu Asep Hendro Racing Sport (AHRS),
bermasalah. Untuk menyelesaikannya, Asep harus menyerahkan uang Rp
125 juta. Asep menyerahkan uang melalui Rukimin sebagai perantara.
Pargono disangkakan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 UU Nomor 20/2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 421 KUHP.
Ancaman pasal ini, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen


Pajak, Kemenkeu, Kismantoro Petrus mengatakan, proses penangkapan
Pargono dan Andreas serta Asep merupakan hasil koordinasi dan kerja sama
antara KPK dan Ditjen Pajak. Terkait nasib pargono, Kismantoro menyatakan,
dia dibebaskan sementara dari jabatannya sebagai Fungsional Pemeriksa
Pajak Madya di Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat sejak menjadi terperiksa di
KPK. Apabila bersalah, dia akan diberhentikan dengan tidak hormat. Sampai
Rabu (10/4/2013) malam, KPK hanya menetapkan Pargono sebagai
tersangka pemerasan. Sedangkan Asep Hendro bersama tiga orang lainnya
dibebaskan dari sangkaan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Remunerasi adalah imbalan kerja yang dapat berupa gaji, honorarium,


tunjangan tetap, insentif, bonus atau prestasi , pesangon, atau pensiun. Bagi
Pegawai Negeri Sipil, remunerasi berarti imbalan kerja di luar gaji yang
dikaitkan dengan sistem penilaian kinerja. Peningkatan kesejahteraan PNS
dengan adanya remunerasi bertujuan untuk meningkatkan kinerja PNS. PNS
diharapkan berkomitmen melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya, karena tunjangan remunerasi yang diterima sudah
cukup dan sesuai dengan beban pekerjaannya. Sehingga, PNS tidak lagi
mencari pekerjaan sampingan di luar jam kantor karena gaji yang diterima
itu tidak mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan.
Menurut Deny Suryana (2010), remunerasi pemerintahan adalah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kebijakan Reformasi Birokrasi.
Remunerasi dilatarbelakangi oleh kesadaran sekaligus komitmen pemerintah
untuk mewujudkan clean and good governance. Sesuai dengan Undang-
undang No. 17 tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka
Panjang 2005-2025 dan Peraturan Meneg PAN, Nomor:PER/15/M.PAN/7/2008,
tentang Pedoman umum Reformasi birokrasi, kebijakan remunerasi
diperuntukan bagi seluruh Pegawai negeri di seluruh lembaga pemerintahan.

Prinsip dasar kebijakan Remunerasi adalah adil dan proporsional.


Artinya kalau kebijakan masa lalu menerapkan pola sama rata (generalisir),
sehingga yang tidak berkompeten juga mendapatkan penghasilan yang
sama. Maka, dengan kebijakan Remunerasi besar penghasilan (reward) yang
diterima oleh seorang pejabat akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga
jabatan yang disandangnya.

3.2 Saran

Menurut saya, remunerasi hanya akan efektif jika dilaksanakan


bersamaan dengan penerapan manajemen kepegawaian yang berorientasi
pada kinerja, sehingga ada kejelasan tentang apa yang menjadi tugas dan
tanggung jawab masing-masing pegawai, serta ukuran/target kinerja yang
bagaimana yang harus dicapai, dengan demikian setiap pegawai memahami
bahwa untuk mendapatkan imbalan tertentu harus mencapai kinerja tertentu
pula. Selain itu, untuk efektifitas remunerasi perlu dilakukan pembinaan
mental terhadap PNS yang terbiasa berperilaku korup bila diberikan amanah,
dan menyiapkan sanksi bagi PNS yang tidak amanah dalam melaksanakan
tugasnya. Selain itu, remunerasi ini harus didukung langkah internal lembaga
agar mampu meningkatkan kinerja PNS berupa pembiasaan PNS melakukan
aktivitas kerjanya sesuai dengan sasaran kerja yang menjadi target
pekerjaannya dengan melihat prosesnya, pembinaan mental PNS dan
pengenaan sanksi kode etik.

Anda mungkin juga menyukai