Anda di halaman 1dari 6

3M UNTUK LGBT

PROLOG

Diskusi dan obrolan tentang LGBT beberapa bulan terakhir cukup menyita
perhatian publik di Indonesia. Mulai dari kalangan terpelajar hingga rakyat
kebanyakan hampir semua turut larut dan membincang tentang masalah
ini. Apalagi porsi pemberitaan dan issu tentang hal ini baik di media
massa maupun media sosial mendapatkan porsi yang cukup besar.
Terlebih setelah beberapa artis pesohor di negeri ini ikut diguncang
dengan issu pelecehan seksual yang masih ada kaitannya dengan LGBT,
maka semakin menggelindinglah bola panas LGBT.

Di satu sisi tentu saja massifnya pemberitaan bedampak positif, yaitu


masyarakat semakin melek dan waspada bahwa LGBT adalah ancaman
yang secara nyata kini ada di sekitar kita. Namun di sisi lain ada pula
pihak-pihak yang khawatir justru LGBT akan semakin membesar dengan
adanya pemberitaan yang tidak proporsional.

Untuk itulah maka makalah singkat ini berusaha membedah masalah ini
secara proporsional sehingga kita tidak salah langkah dalam mencegah
dan menangani persoalan ini.

MENGENAL LGBT DAN SSA

Menurut Wikipedia istilah LGBT adalah akronim dari "lesbian, gay,


biseksual, dan transgender". Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-
an dan menggantikan frasa "komunitas gay" karena istilah ini lebih
mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan tadi. Akronim ini
dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman "budaya yang
berdasarkan identitas seksualitas dan gender". Kadang-kadang istilah
LGBT digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan
hanya homoseksual, biseksual, atau transgender. Maka dari itu, seringkali
huruf Q ditambahkan agar queer dan orang-orang yang masih
mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili. Meskipun
demikian, tidak semua kelompok yang disebutkan setuju dengan
pemakaian istilah ini karena dipandang lebih bersifat politik dan sarat
kepentingan kelompok tertentu. Secara ringkas LGBT bisa dianggap
sebagai identitas sosial kelompok yang terwakili dalam akronim tersebut

Berbeda dengan LGBT adapula istilah SSA yang merupakan akronim dari
Same Sex Attraction atau ketertarikan secara seksual terhadap sesama
jenis. Istilah ini menurut psikolog Joseph Nicolosi, Ph.D. dalam bukunya
Reparative Therapy of Male Homosexuality: A New Clinical Approach,
adalah orang yang mengalami perbedaan antara nilai yang ia anut dan
orientasi seksualnya.Sedangkan menurut Sinyo Egie penulis buku Anakku
Bertanya tentang LGBT , mengatakan LGBT dan SSA merupakan dua hal
yang berbeda meski dapat dikatakan berkaitan. Jika LGBT adalah identitas
seksual maka SSA adalah orientasi (ketertarikan) seksual. SSA yang
dimiliki seseorang bisa dianggap sebagai pemberian sekaligus ujian dari
Yang Maha Kuasa.

Orientasi seksual dan identitas sosial tentu saja berbeda. LGBT adalah
identitas sosial; semacam penerimaan diri, pencitraan, aktualisasi diri
yang hadir sebagai lawan dari identitas Heteroseksual. Sedangkan SSA
adalah orientasi seksual sesama jenis. Misalnya ada orang yang
mempunyai SSA dan pernah melakukan tindakan seks sesama jenis tetapi
dia tidak ingin menjadi LGBT maka kita tidak bisa menyebutnya LGBT.
Masih banyak orang SSA yang tidak ingin menjadi LGBT, dia ingin hidup
secara identitas Hetero seperti yang ada dalam agama atau adat
setempat.

Penyikapan yang salah atau penyamarataan antara SSA dengan LGBT ini
bisa berdampak fatal yakni semakin membiaknya jumlah pengikut LGBT
dan semakin tersisihnya orang-orang yang menderita SSA, mereka ingin
sembuh namun tidak ada yang menolong atau membantunya. Memang
setiap pelaku LGBT pasti SSA namun tidak setiap orang SSA pasti LGBT
MENGENAL PENYEBAB

Ada banyak teori yang menganalisa bagaimana terbentuknya perilaku


SSA yang kemudian berkembang menjadi LGBT. Mereka yang pro LGBT
menyusun berbagai teori ilmiah yang menyebutkan bahwa menjadi
seorang Gay (juga lesbian) adalah sesuatu yang given (takdir) yang
diberikan sang pencipta melalui gen atau kromosom yang ada dalam
tubuhnya sejak lahir.
Ilmuwan pertama yang memperkenalkan teori Gen Gay adalah Magnus Hirscheld dari
Jerman pada 1899, yang menegaskan bahwa homoseksual adalah bawaan. Dia kemudian
menyerukan persamaan hukum untuk kaum homoseksual.Kemudian Pada tahun 1991,
peneliti Dr.Michael Bailey dan Dr.Richard Pillard juga melakukan penelitian untuk
membuktikan teori tersebut. Mereka meneliti pasangan saudara: kembar identik, kembar
tidak identik, saudara-saudara biologis dan saudara-saudara adopsi; salah satu di antaranya
adalah seorang gay. Riset tersebut menyimpulkan adanya pengaruh genetik dalam
homoseksualitas. Namun gen di kromosom yang membawa sifat menurun itu gagal
ditemukan.

Pada 1993, riset dilanjutkan oleh Dean Hamer, seorang gay, yang meneliti 40 pasang kakak
beradik homoseksual. Hamer mengklaim bahwa satu atau beberapa gen yang diturunkan oleh
ibu dan terletak di kromosom Xq28 sangat berpengaruh pada orang yang menunjukkan sifat
homoseksual. Hasil riset ini meneguhkan pendapat kaum homoseksual bahwa homoseksual
adalah fitrah / bawaan, bukan penyimpangan sehingga mustahil bisa diluruskan. Hasil
penelitian dari seorang gay inilah yang kemudian dipakai sebagai senjata kuat mereka untuk
memperjuangkan hak-haknya.

Namun berbagai penelitian ilmiah terbaru menemukan hal yang


berlawanan dan justru menolak pendapat atau teori yang mendukung
kaum gay tersebut. Pada 1999, Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario,
Kanada, mengadaptasi riset Hamer dengan jumlah responden yang lebih banyak. Rice dan
tim memeriksa 52 pasang kakak beradik homoseksual untuk melihat keberadaan empat
penanda di daerah kromosom. Hasilnya menunjukkan, kakak beradik itu tidak
memperlihatkan kesamaan penanda di gen Xq28 kecuali secara kebetulan. Para peneliti
tersebut menyatakan bahwa segala kemungkinan adanya gen di Xq28 yang berpengaruh
besar secara genetik terhadap timbulnya homoseksualitas dapat ditiadakan. Sehingga hasil
penelitian mereka tidak mendukung adanya kaitan gen Xq28 yang dikatakan mendasari
homoseksualitas pria.

Penelitian juga dilakukan oleh Prof Alan Sanders dari Universitas Chicago, di tahun 1998-
1999. Hasil riset juga tidak mendukung teori hubungan genetik pada homoseksualitas.
Penelitian Rice dan Sanders tersebut makin meruntuhkan teori Gen Gay.

Hasil riset-riset di atas, meski menemukan adanya link homoseksual secara genetika, namun
menyatakan bahwa gen bukanlah faktor dominan dalam menentukan homoseksualitas. Sudah
puluhan tahun dilakukan penelitian terhadap gen homoseksual tapi tidak ada fakta ilmiah
yang bisa 100 persen mendukung klaim tersebut. Teori yang menyatakan bahwa gay adalah
sifat genetis (ciptaan Allah) adalah propaganda palsu yang dirilis oleh peneliti yang gay. Teori
Gen Gay sifatnya politis, sarat akan kepentingan kaum gay sendiri. Memang ada manusia
yang terlahir hermaprodit alias kelamin ganda, tapi tidak ada manusia yang terlahir dengan
kelamin normal namun punya kecenderungan homoseks.

Penelitian Dr. N. Whitehead yang meneliti Gay Gen slama 40 tahun sebagaimana yang
beliau tulis dalam buku My Genes Made Me Do It justru menunjukan bahwa faktor
lingkunganlah yang lebih dominan membentuk seseorang untuk tumbuh menjadi seorang
yang mempunyai kecenderungan SSA.

Lingkungan pertama seorang anak adalah keluarga, di mana pola asuh adalah faktor utama
yang mempengaruhi bagaimana karakter dan perilaku seorang anak terbangun. Menurut
Sinyo Egie, Penulis Buku Anak Bertanya Tentang LGBT, SSA ini bisa terstimulus salah
satunya akibat pola asuh yang salah.Ada tiga fase yang membentuk perilaku SSA, yakni
usia balita (pembelokkan), 6-10 tahun (penguatan), dan 15 tahun keatas (pengkristalan).

Salah satu contoh kesalahan asuh orangtua pada fase balita di antaranya, kata Sinyo, adalah
salah mengambil role model, yaitu perilaku orangtua atau hubungan ayah-ibu yang tidak
sepatutnya dilihat anak. Sedangkan pada fase 6-10 tahun, kesalahan yang biasa terjadi
diantaranya seperti keluarga yang tak harmonis, ayah yang otoriter dan cenderung kasar,
dominasi ibu, terlalu dibiarkan (liar) dan sebagainya.
Demikian juga pola komunikasi atau sikap yang salah terhadap misalnya anak bungsu, anak
sulung, anak yang perempuan atau laki-laki sendiri diantara saudaranya. Komunikasi dan
sikap terhadap latarbelakang itu semua perlu dipahami, papar Sinyo dalam bukunya.

Fenomena ayah yang kasar terhadap istri misalnya, sambung Sinyo, dapat membentuk
persepsi anak yang antipati terhadap gender laki-laki, karena dinilai sebagai sosok yang
kejam. Sehingga dalam pandangan anak bahwa laki-laki itu jahat, laki-laki itu menyakiti
wanita. Akhirnya dia berpikir untuk tidak mau seperti laki-laki, karena melihat model yang
demikian, ujar pengurus Yayasan Peduli Sahabat ini.

Dan kesalahan yang juga biasa terjadi pada usia 15 tahun keatas diantaranya seperti Self
Hypnosis, yaitu persepsi diri yang semakin menyeret anak untuk menegaskan dirinya
mempunyai kecenderungan seksual yang berbeda.

PENCEGAHAN

Pertama. Mari perbaiki pola asuh kita kepada anak-anak, terutama pada usia dini. karena
setiap trauma yang dimiliki oleh anak ketika dia masih kecil, itu memiliki dampak
penyimpangan perilaku yang bermacam-macam, termasuk diantaranya adalah tumbuhnya
perasaan SAA yang bisa berkembang ke arah lgbt.

Kedua.Mari kita pahamkan dengan baik kepada anak tentang nilai-nilai dasar ajaran agama,
tentang apa apa yang Allah ridha dan apa-apa Ya Allah Benci. Termasuk di dalamnya
bagaimana pendidikan seksual yang sehat dan benar menurut ajaran agama.

Ketiga. Mari kita jaga pergaulan anak-anak kita. Perhatikan dengan siapa ia bergaul. Awasi
tontonan anak-anak kita, dan jaga apa apa yang didengar oleh anak-anak kita, juga apa yang
mereka baca.

Terakhir.Jangan lupa kita berdoa dan bertawakal kepada Allah, karena hanya Allah yang bisa
membantu dan membimbing kita menghadapi tantangan kehidupan yang semakin berat ini

PENANGANAN
Apabila ada diantara teman, saudara atau kenalan kita yang terindikasi penyimpangan seksual
ini maka sudah sewajarnya bagi kita untuk membantu dan menolongnya agar kembali kepada
jalur fitrahnya.

Adapun langkah-langkahnya adalah

Pertama, memberikan pemahaman yang benar kepadanya tentang apa yang terjadi padanya,
akibat yang bisa ditimbulkannya beserta jalan keluar yang harus ia tempuh

Kedua, mendampinginya dalam menjalani perjalanan kembali ke normal dengan


mengarahkannya untuk bertemu dengan orang-orang atau pihak yang berkompeten untuk
menangani persoalan ini.

Ketiga, tidak menghujat secara individu penderita gangguan apalagi mereka yang menjadi
korban. Kita harus bisa membedakan antara pelaku dengan perilaku. Aatara Individu dengan
sebuah gerakan

Inilah tugas besar bagi kita semua dalam rangka menyelamatkan generasi kita dari ancaman
penyimpangan seksual ini. Ini merupakan pekerjaan berat yang membutuhkan kerjasama
semua pihak, baik pemerintah, pemuka agama, pendidik, iluwan dan orang tua tentu saja.
Semua harus bekerjasama mencegah dan menanggulangi penyimpangan yang bisa
mengancam kemanusiaan ini.

Surakata, 11 maret 2016

Edy Wirastho

(Aktifis Peduli Sahabat)

Anda mungkin juga menyukai