Anda di halaman 1dari 34

Tugas THT KL Boyolali

RHINORRHEA

Disusun oleh :
Dwi Bhakti Pertiwi
G99152091

Pembimbing :
dr. Antonius Christanto, M.Kes., Sp.THT-KL
NIP. 1969 0310 199903 1 006

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD PANDANARANG
BOYOLALI
2017
1. Sebutkan keluhan utama di bidang THT
Terdapat berbagai simptom atau keluhan utama yang dirasakan pasien yang menyebabkan
pasien tersebut datang ke poli THT-KL antara lain sebagai berikut.
a. Keluhan di telinga, meliputi :
1) Nyeri telinga (otalgia),
2) Keluar cairan dari telinga(otorrhea),
3) Telinga berdenging/berdengung(tinnitus),
4) Gangguan pendengaran/tuli (deafness),
5) Telinga terasa penuh,
6) Pusing berputar (vertigo),
7) Benda asing di dalam telinga (corpal),
8) Telinga gatal (itching),
9) Sakit kepala (cephalgia),
10) Sakit kepala sebelah (migraine).
b. Keluhan di hidung, meliputi :
1) Pilek/keluar cairan dari hidung (rhinorrhea),
2) Hidung tersumbat (nasal obstruksi),
3) Bersin-bersin (sneezing),
4) Rasa nyeri di daerah muka dan kepala,
5) Perdarahan dari hidung/mimisan (epistaksis),
6) Gangguan penghidu (anosmia/hiposmia),
7) Benda asing di dalam hidung (corpal),
8) Suara sengau (nasolalia),
9) Hidung berbau (foetor ex nasal).
c. Keluhan di tenggorok, meliputi :
1) Nyeri menelan (odinofagia),
2) Sakit tenggorokan,
3) Tenggorok berlendir/banyak dahak di tenggorok,
4) Sulit menelan (disfagia),
5) Suara serak (hoarseness),
6) Benda asing di dalam tenggorok (corpal),
7) Amandel (tonsil),
8) Bau mulut (halitosis),
9) Tenggorok kering,
10) Rasa sumbatan di leher,
11) Batuk.
(Soepardi et al., 2010)
2. Pilek/keluar cairan dari hidung (Rhinorrhea)
a. Patofisiologi rhinorrhea
1) Anatomi hidung

2
Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam.Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas. Struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian, paling atas yaitu kubah tulang yang tak dapat digerakkan,
di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan paling
bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti
piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2)
batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4) ala nasi,5) kolumela,dan 6)
lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1)
tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os
frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
Anatomi hidung dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung

3
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. (Ballenger
JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)
Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadidua ruang, kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, kristamaksila, krista palatina serta krista
sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
Kavum nasi
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. . (Ballenger JJ,1994)
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalisos maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju
bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.(Ballenger JJ,1994)
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus
medial.(Ballenger JJ,1994)
Konka fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut
meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang
teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis
os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maksila bagian superiordan palatum. (Ballenger JJ,1994)
Meatus superior

4
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massalateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atasbelakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. (Ballenger
JJ,1994)
Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior.Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang
letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit
yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk
bulan sabit yang menghubungkan meatus media dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris.Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah
satu sel etmoid.Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di infundibulum.Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya
bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang kadang duktus nasofrontal
mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra
PL, 2007)
Meatus Inferior
Meatus inferior merupakan meatus terbesardi antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5
cm di belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares
posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam

5
oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis ossfenoid dan bagian luar oleh
lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalisdan puncaknya menghadap ke arah apeks
prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994; Hilger PA,1997)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan
bagian lateralnya berasal dari rongga hidunghingga bagian inferomedial dari orbita
dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh epitel pseudokompleks
kolumner yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga
hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet
Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagiandari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung.Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea.Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret
akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan
sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media.
Vaskularisasi hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari A.etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari A.oftalmika dari A.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang A.maksilaris interna,

6
di antaranya adalah ujung A.palatina mayor dan A.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama N.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posteriorkonka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang cabang A.fasialis. (Soetjipto D &Wardani RS,2007)
Pada bagian depan septumterdapat anastomosis dari cabang-cabang
A.sfenopalatina, A.etmoidanterior, A.labialis superior, dan A.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial
dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
(pendarahan hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D &Wardani RS,2007).
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya.Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
V.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Inervasi hidung
Bagian depan dan atas ronggahidung mendapat persarafan sensoris dari
N.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari N.nasosiliaris, yang berasal dari
N.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari N.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.Ganglion sfenopalatinum
selain memberikan persarafan sensorisjuga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
N.maksila (N.V-2), serabut parasimpatisdari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatinum terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007).
Nervus olfaktoriusturun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atashidung. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore merupakansinus paranasal yang
terbesar.Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus

7
tersebut terjadi pada hari ke 70 masakehamilan.Saat lahir sinus maksila bervolume 6-
8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa.
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan
ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa
celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi
tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah
ini akan lebih ke arah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7x4x4 mm,
yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut
setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap
tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia
12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan
kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga.
Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan
maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke
fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina , dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah
dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh
lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka
inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis.Dinding superiornya ialah dasar orbita dan
dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris,
ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15
tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan
infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang
terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk
dari membran.Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang

8
sebenarnya.Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus. (Ballenger
JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2),kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar
(M3), bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup
oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuh dekat
dengan dasar sinus.Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya
tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat
menjalar kemukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan
gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan
sinusitis.
Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.(Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada
sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris,
satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis
tengah.Kurang lebih 15% orangdewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal
3x2-2,5x1,5-2 cm dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum
atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.Sinus
frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid

9
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir -
akhir ini dianggap paling penting karena dapat menjadi fokus infeksi bagi sinus
lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007) Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk
pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior dan suprema yang
membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada
padawaktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai
mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5
cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka
media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi
sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior
yang bermuara di meatus superior.Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada
bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus
frontal.Sel etmoid yang terbesardisebut bula etmoid(Mangunkusumo E., Soetjipto D.
2007).
Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal
dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai evaginasi mukosa
di bagian posterior superior kavum nasi.Perkembangannya berjalan lambat, sampai
pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago
nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid

10
masih kecil, namun telah berkembang sempurna padausia 12 sampai 15 tahun.
Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang
sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang
tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.
(Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah 2 x 2,3 x 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat
sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi
sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding
sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan A.karotis interna (sering tampak sebagai
indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di
daerah pons. ( Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2) Histologi Hidung
Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas
permukaan kavum nasi sekitar 150 cm dan total volumenya sekitar 15 ml. Permukaan
kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan
berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara
histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius) dan sebahagian besar mukosa pernafasan (mukosa respiratori).Mukosa
olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan di bawahnya terletak
mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel, membran
basalis dan lamina propia (Soetjipto D & Wardani RS, 2007).
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada
hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu sel kolumnar bersilia, sel
kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas
dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebagian besar tipe respiratorius. Mukosa
olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak

11
mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel, membran
basalis dan lamina propia (Ballenger, 1994; Hilger, 1997). Mukosa respiratori
terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang bervariasi sesuai dengan lokasi
yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat macam sel. Pertama sel torak
berlapis semu bersilia (pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai 50-
200 silia tiap selnya. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian
besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk
kerja silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang
mempunyai mikrovili) (Watelet, 2002). Epitel respiratorius lainnya adalah epitel
pipih berlapis yang terdapat pada daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang
terletak persis di belakang vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi
ini dilengkapi dengan rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis
pada vestibulum akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung
anterior konka dan ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi
maka epitel akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus
media dan inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan
tersusun rapi (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ).
Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili
yang berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah
nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing
pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya 1/3 silia
dan mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan
fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan
diantara sel-sel. Di samping itu juga memperluas permukaan sel (Ballenger, 1994;
Waguespack,1995).
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya
memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-
sel goblet yang telah mati (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997).

12
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering
terkena aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi
metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah
merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet
(Ballenger JJ, 1994 ; Soetjipto D & Wardani RS, 2007).
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya
lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat dengan
periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium, gerakannya akan
mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa juga banyak
ditemukan didekat ostium (Ballenger;1994; Waguespack, 1995 ; Levine, 2002).
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa
macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk
kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah
kontrol saraf parasimpatis (Ballenger, 1994).
3) Fisiologi hidung
Berdasarkan Soetjipto D & Wardani RS,2007 dalam teori struktural, teori
revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal
adalah :
a. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal
b. Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
c. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
d. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
e. Refleks nasal.
Sedangkan menurut Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007 fungsi sinus paranasal
antara lain adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

13
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi.Keberatan terhadap teori ini adalah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung. Volume
pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada
tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total
dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar
yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-
organ yang dilindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.

d. Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan
tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
4) Patofisiologi Rhinorrhea Rhinitis Alergi:
Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi
dengan perantaraan IgE.Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi

14
yang terdiri atas berbagai macam sel. Pada rinitis alergika selain granulosit,
perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting. Ternyata IgE tidak saja
diproduksi lokal pada mukosa hidung tetapi terjadi responsselular yang meliputi:
kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel transendotel. Pelepasansitokin dan
kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan RANTES berpengaruh pada
penarikansel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi. Aktivasi dan
deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel CD4+T, sel mast,dan
sel epitel. Alergen menginduksi sel Th-2, selanjutnya terjadi peningkatan ekspresi
sitokintermasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 yang merangsang
IgE, dan sel Mast.Selanjutnya sel mast menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase
pada epitel.Mediator dansitokin akan mengadakan upregulasi ICAM-1.
Khemoattractant IL-5 dan RANTESmenyebabkan infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-
2, dan sel Mast.Perpanjangan masa hidup selterutama dipengaruhi oleh IL-
5.Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan cystenil-
leukotrienyang merupakan mediator utama dalam rinitis alergika menyebabkan gejala
rinorea, gatal, dan buntu.Penyusupan eosinofil menyebabkan kerusakan mukosa
sehingga memungkinkanterjadinya iritasi langsung polutan dan alergen pada syaraf
parasimpatik, bersama mediator Eosinophil Derivative Neurotoxin(EDN) dan
histamin menyebabkan gejala bersin.Terdapat hubungan antara system imun dan
sumsum tulang. Fakta ini membuktikan bahwa epitelmukosa hidung
memproduksiStem Cell Factor (SCF) dan berperan dalam atraksi, proliferasi,dan
aktivasi sel Mast dalam inflamasi alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas
nasalmerupakan akibat dari respons imun di atas, merupakan tanda penting rinitis
alergika.
5) Patofisiologi Rhinorrhea Rhinitis Vasomotor:
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi
dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf
simpatis sedangkanparasimpatis mengontrol sekresi kelenjar.Pada rinitis vasomotor
terjadi disfungsi system saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja
parasimpatis yang disertai penurunankerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang
hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan

15
dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang
akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dankongesti.
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel
seperti selmast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin,
prostaglandin, polypeptide intestinal vasoaktif dan kinin.Elemen-elemen ini tidak
hanya mengontrol diameterpembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga
meningkatkan efek asetilkolindari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung
yang menyebabkan rinorrhea.Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh
Ig-E (non-Ig E mediated) seperti padarinitis alergi.
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis
vasomotor.Banyakkasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yangspesifik.
Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, parfum,asap
rokok, polusi udara dan stress (emosional atau fisikal).
Dengan demikian,patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rhinitisvasomotor
yaitu :
a) meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
b) mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
c) mengurangi peptide vasoaktif
d) mencari dan menghindari zat-zat iritan.
6) Patofisiologi Rhinorrhea Rhinovirus :
Palut lendir (muocus blanket) terdapat pada sel mukosa dan menghasilkan
mucus yang berfungsi menghangatkan, membersihkan terutama dari partikel, bakteri
maupun virus.Mukus dihasilkan oleh sel goblet dan sel epitel mukosa tersebut. Dalam
kondisi normal bakteri maupun virus akan terjebak dalam mucus dan menjadi inaktiv
sehingga tidak mampu menimbulkan kerusakan. Bakteri maupun virus inaktiv
tersebut akan dibawa melalui mekanisme transport mukosliar kemudian dikeluarkan
mealui mekanisme batuk, bersin atau tertelan.
Dalam kondisi dimana daya imun rendah, virus tersebut menyerang silia dan
menyebabkan stasis sehingga mekanisme mucosiliar transport terganggu.Bakteri
maupun virus inaktif yang terjebak pada palut lendir lama kelamaan semakin
menumpuk dan banyak sehingga akhirnya mengakibatkan infeksi dan inflamasi. Palut
lendir akan terus merespon jumlah bakteri maupun virus yang semakin banyak
sehingga terdapat mekanisme rhinorrhea.
7) Patofisiologi Rhinorrhea Rhinitis Medikamentosa :

16
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan
respon normal vasomotor.Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian
vasokontriktor topikal (obat tetes hidungatau obat semprot hidung) dalam waktu lama
dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidungyang menetap.Istilah rhinitis
mendikamentosa ini pertama kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946. Rhinitis
medikamentosa dikenal juga dengan rebound atau rhinitis kimia karena
menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan penggunaan
vasokontriksi topikal yangberlebihan. Obat-obatan lain yang bisa mempengaruhi
keseimbangan vasomotor adalah antagonis -adrenoreseptor oral, inhibitor
fosfodiester, kontrasepsi pil, dan antihipertensi. Tetapi mekanismeterjadinya kongesti
antara vasokontriktor hidung dengan obat-obat di atas berbeda sehingga istilahrhinitis
medikamentosa hanya untuk rhinitis yang disebabkan oleh penggunaan vasokontiktor
topical sedangkan yang disebabkan oleh obat-obat oral dinamakan rhinitis yang
dicetuskan oleh obat (drug induced rhinitis).
8) Patofisiologi Rhinorrhea CSS :
Kebocoran CSS akibat trauma dapat terjadi karena trauma kecelakaan dan
trauma operasi. Kebocoran CSS akibat trauma biasanya akan terlihat segera setelah
trauma (48 jam pasca trauma) sekalipun dapat juga beberapa hari sampai beberapa
minggu kemudian.
Tidak segera terlihat adanya kebocoran CSS pada sebagian kasus dapat
disebabkan oleh tidakterjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang segera.
Kebocoran baru terjadi setelah terjadi lisisbekuan darah pada daerah fistel setelah
beberapa hari menghilangnya edema jaringan lunak, kontraksipinggir luka, hilangnya
vaskularisasi dan nekrosisjaringan lunak dan tulang sekitar luka.Kebocoransetelah
penyembuhan dura pun masih mungkinterjadi, karena terjadi herniasi melalui garis
fraktur.Terjadinya perubahan fisiologis tekanan CSS dapatmenyebabkan progresifitas
herniasi ini dan padaakhirnya menyebabkan dehiscence dan kebocoranCSS.
Cedera terhadap fossa kribriformis dapatterjadi pada saat pendekatan ke
etmoid anterior danresesus frontal atau pada saat reseksi konkha mediayang terlalu
dekat ke dasar tengkorak.Lamela lateraldari fossa kribriformis merupakan lokasi yg
palingsering mengalami cedera. Kejadian ini sering terjadipada operasi BESF sebelah

17
kanan, karena sebagianbesar operator right handed, sehingga terdapatkecenderungan
endoskop mengarah ke medial.Pengarahan kepala pasien ke operator dapatmencegah
kecenderungan ini. Kecenderungan ini akanbertambah jika operator duduk waktu
melakukanoperasi.Lokasi fossa kribriformis yang rendah KerosIII juga merupakan
faktor risiko kemungkinan initerjadi.Kebocoran atap etmoid sering terjadi pada atap
etmoid posterior. Hal ini biasanya terjadi padadasar tengkorak yang tipis dan sinus
maksila yangbesar (high pneumatized) yang meluas ke medial dansuperior yang
menyebabkan pneumatisasi danketinggian etmoid posterior berkurang.Kebocoran
CSS akibat operasi bedah saraf dapat terjadi akibat berbagai jenis operasi, yang
palingsering akibat hipofisektomi transfenoid, yang terjadiantara 0,5-15% kasus.
Kebocoran biasanya terjadijika tindakan bedah menimbulkan kerusakan
padadiafragma sella.

18
b. Skema penanganan pasien dengan keluhan pilek
c. Rhinorea
d.

e.
Jernih seperti air Mukus / Mukopurulen/ Purulen Bercampur
f. darah

g. Anamnesis Anamnesis Anamnesis Anamnesis


Anamnesis hidung tersumbat,
Serangan bersin berulang hidung tersumbat, hidung tersumbat hidung tersumbat,
h. bergantian kanan dan kiri, nyeri di daerah sinus, epistaksis, sekret
terutama pagi, rinore rinore jernih sampai
meburuk saat bangun tidur post nasal drip, bercampur darah,
encer dan banyak, hidung purulen,
i. di pagi haririnore kental, pendengaran rinore, diplopia,
tersumbat, mata gatal, hiposmia/anosmia
pencetus: rangsangan non terganggu, nyeri gangguan visus, gigi
lakrimasi, riwayat alergi,
j. spesifik kepala, hiposmia, goyang, ulkus
pencetus : alergen
batuk kronik palatum, penonjlan di
k. pipi, anestesia, sakit
Pemeriksaan fisik kepala hebat
l. deformitas hidung luar,
massa pucat mudah Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik
m. digerakkan edema mukosa, konka Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik oedem, muka
merah gelap, permukaan wajah asimetri,
Mukosa edema, basah, bengkak, post nasal
n. licin atau berbenjol rinoskopi anterior
berwarna pucat atau livid, drip
sekret Pemeriksaan dan posterior
o. encer banyak, allergic
shiner, allergic salute, allergic penunjang
crease, Pemeriksaan
p. geographic tongue, nasoendoskopi, foto Pemeriksaan
cobblestone appearance penunjang penunjang Pemeriksaan
polos sinus paranasal,
q. hitung eosinofil, IgE foto polos sinus penunjang
CT scan total, IgE spesifik, skin foto polos sinus
paranasal, CT-Scan
r. prick test paranasal, CT Scan,
MRI, foto thorak,
s. biopsi
Pemeriksaan penunjang Polip hidung Rhinosinusitis
hitung eosinofil, IgE total, Rhinitis vasomotor
t.
IgE spesifik, skin prick test
Tumor sinonasal
19
Rhinitis alergi
u. Differential diagnosis
v. Serous
1) Rinitis Alergi
w. Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinorrhea, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.
x. Penatalaksanaan
a) Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoi dance) dan eliminasi.
b) Medikamentosa
y. Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara per oral. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang
sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon).Kortikosteroid topical bekerja
untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.
c) Operatif
z. Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
d) Imunoterapi
aa. Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala
yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak

20
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.
ab.
ac. Mukoid
2) Rhinitis Vasomotor
ad. Rinitis vasomotor merupakan istilah yang digunakan untuk gangguan pada
mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi
kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh beberapa rangsangan seperti
perubahan kelembapan dan suhu atau iritasi di alam yang tidak spesifik.Hal ini dapat
terjadi akibat ketidakseimbangan vasomotor dan juga pengaruh faktor endokrin.
ae. Pada umumnya pasien dengan rinitis vasomotor mengeluhkan gejala yang
dominan seperti hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung dengan
posisi pasien. Selain itu juga terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Gejala ini akan
dicetus dan diperparah oleh pengaruh wangi-wangian (seperti parfum, asap rokok, bau
cat, tinta), alkohol, makanan pedas, emosi dan faktor lingkungan seperti suhu,
perubahan tekanan barometrik dan cahaya terang.
af. Etiologi
ag.
Penyebab pasti terjadinya rinitis vasomotor masih belum
diketahui.Mayoritas 75-80% dari faktor individual.Etiologi rinitis vasomotor diduga
akibat adanya gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yaitu bertambahnya
aktivitas parasimpatis dimana terjadi gangguan vasomotor atau gangguan fisiologik
lapisan mukosa hidung yang dipicu oleh zat-zat tertentu.
ah.
Faktor presiposisi terjadinya rinitis vasomotor yaitu :
a.
Herediter
b.
Infeksi yaitu riwayat infeksi bakteri dan virus sebelumnya
c.
Psikologi dan emosional
d.
Obat-obatan yang menginduksi gejala dari rinitis seperti aspirin dan obat
nonsteroidal anti-inflammatory (NSAID), reserpin, hidralazin, guanetidin,
pentolamin, metildopa, penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE), -
blocker, antagonis -adrenoceptor, klorpromazin, kontrasepsi oral, nasal
dekongestan topikal dan agen psikotropik.

21
e.
Pengaruh endokrin, rinitis vasomotor terjadi saat usia muda, pubertas, selama
menstruasi, kehamilan serta rangsangan seksual.
ai. Faktor pesipitasi dari rinitis vasomotor yaitu:
a. Keadaan cuaca, perubahan kelembapan dam suhu
b. Asap, asap rokok, debu, wangi-wangian dan alkohol
aj. Penatalaksanaan
ak. Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor sangat bervariasi, tergantung pada
faktor penyebab dan gejala yang menonjol.Menghindari faktor presipitasi yang
diketahui merupakan langkah awal yang tepat dalam pencegahan terjadinya vasomotor
rinitis. Pemberian antihistamin topikal pada pasien yang menujukkan gejala seperti
rinore dengan bersin, post nasal drip dan hidung tersumbat. Pada pasien yang
mengeluhkan rinore semata, pemberian antikolinergik topikal dapat menjadi langkah
awal.
al. Pemberian kortikosteroid topikal dapat diberikan pada pasien yang
mengeluhkan hidung tersumbat dan mengalami obstruksi.Saat ini terdapat
kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti flutikason propionate dan
mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali sehari dengan dosis 200
mcg.Selain itu dikenal juga operasi bedah beku, elektrokauter, diatermi submukosal,
laser-turbinectomy, krioterapi dan turbinektomi pembedahan sebagai penatalaksanaan
rinitis vasomotor yang bersifat invasif.4 Pilihan terapi ini tidak memberikan 100% efek
perubahan untuk semua gejala.
am.
an. Mukopurulen
3) Polip Nasi
ao. Polip nasi adalah suatu pseudotumor bersifat edematosa yang merupakan
penonjolan keluar dari mukosa hidung atau sinus paranasalis, massa lunak,
bertangkai, bulat, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga
hidung. Sering kali berasal dari sinus dimana menonjol dari meatus ke rongga hidung.
Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasi terletak di dinding lateral cavum nasi
terutama daerah meatus media. Paling banyak di sel-sel eithmoidalis.Dapat juga
berasal dari mukosa di daerah antrum, yang keluar dari ostium sinus dan meluas ke
belakang di daerah koana posterior (polip antrokoanal).
ap. Etiologi

22
aq. Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti.Penyakit ini masih banyak
menimbulkan perbedaan pendapat, terutama mengenai etiologi dan patogenesisnya.
Terjadinya polip nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal : umur, alergi, infeksi dan
inflamasi dominasi eosinofil. Deviasi septum juga dicurigai sebagai salah satu faktor
yang mempermudah terjadinya polip nasi.Penyebab lainnya diduga karena adanya
intoleransi aspirin, perubahan polisakarida dan ketidakseimbangan vasomotor.
ar. Gejala dan Tanda
as. Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan
cepat setelah infeksi akut.Sumbatan di hidung adalah gejala utama.dimana dirasakan
semakin hari semakin berat.Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-
sembuh, sengau, sakit kepala.Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia
atau anosmia, rasa lendir di tenggorok. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak
adanya massa lunak, bertangkai, tidak nyeri jika ditekan, tidak mudah berdarah dan
pada pemakaian vasokontriktor (kapas efedrin 1%) tidak mengecil. Pada pemeriksaan
rhinoskopi posterior bila ukurannya besar akan tampak massa berwarna putih keabu-
abuan mengkilat yang terlihat mengggantung di nasofaring.
at. Penatalaksanaan
a) Terapi Konservatif
Kortikosteroid sistemik merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka pendek
pada polip nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid
sistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun, terutama
untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi.
Kortikosteroid spray dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif
untuk polip yang masif Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan
ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untuk mencegah
kekambuhan
Leukotrin inhibitor menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5-
lipoxygenase yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator
inflamasi.
b) Terapi operatif
Polipektomi intranasal
Antrostomi intranasal
Ethmoidektomi intranasal

23
Ethmoidektomi ekstranasal
Caldwell-Luc (CWL)
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
au.
4) Rhinosinusitis
av. Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal
Rinosinusitis yang terjadi pada orang dewasa diartikan sebagai inflamasi dari hidung
dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, satu diantaranya
harus ada penyumbatan pada hidung/obstruksi/kongesti atau discharge nasal
(anterior/posterior/post nasal drip) ditambah dengan ada atau tidak nyeri tekan pada
muka.Pada dewasa dapat ditandai dengan ada atau tidaknya gangguan penciuman,
namun pada anak-anak ditandai dengan ada atau tidaknya batuk.
aw. Etiologi
a) Infeksi
ax. Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus,
kemudian diikuti oleh infeksi bakteri yang sekunder.Virus sangat mudah
menempel pada mukosa hidung yang menganggu sistem mukosiliar rongga
hidung dan virus melakukan penetrasi ke selaput lendir dan masuk ke sel tubuh
dan menginfeksi secara cepat. Akibat dari infeksi virus dapat terjadi edema dan
hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal
untuk perkembangan bakteri. Bakteri aerob yang paling sering ditemukan, antara
lain Staphylococcus aureus, Streptococcus viridians, Haemophilis influenze,
Neisseria flavus, Staphylococcus epidermidis.Bakteri anaerob termasuk
Corynebacterium, Peptostreptococcus dan Vellonela.
b) Alergi
ay.
Alergi juga dapat merupakan salah satu faktor predisposisi
terjadinya rinosinusitis karena alergi dapat menyebabkan mukosa udem dan
hipersekresi.Mukosa sinus yang udem dapat menyumbat muara sinus dan
menganggu drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya dapat
menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah
pada rinosinusitis kronis.
az.
Penatalaksanaan

24
ba.
Penatalaksanaan dilakukan tergantung penyebabnya.Pada rinosinusitis
viral dapat dilakukan dengan menghilangkan gejala dari hidung tersumbat dan rinore
yang diderita, sedangkan untuk rinosinusitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri
dapat dilakukan penatalaksanaan dengan pemberian antibiotik untuk mngeradikasi
infeksi, mencegah komplikasi dan mencegah penyakit agar tidak menjadi kronis.
bb.
Menurut The European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps (EPOS) 2012 merekomendasikan pemberian antibiotik harus diberikan pada
pasien dengan gejala yang berat seperti discaj yang bewarna, nyeri local (VAS >7),
demam (>380C), peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP)
serta gejala yang timbul lebih berat dari gejala sebelumnya.Adapun pengobatan
antibiotik seperti golongan cephalosporin (cefpodoxime, cefuroxime, cefdinir,
ceftriaxone) dan amoxicillin/clavulanate potassium dapat direkomendasikan sebagai
pengobatan inisial. Pasien dilakukan perujukan jika ditemukan beberapa kondisi
sebagai berikut periorbital edema,eritema, globe dysplaced, penglihatan ganda,
oftalmoplegia, pengurangan lapangan penglihatan, nyeri kepala yang hebat unilateral
atau bilateral, bengkak pada bagian frontal, tanda-tanda meningitis dan tanda-tanda
neurologis lainnya.

25
bc.

bd.

be.

5) Korpus Alienum
bf. Etiologi
bg.
Benda asing adalah benda yang berasal dari luar (eksogen) atau dalam
(endogen) tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada pada tubuh. Benda asing dapat
masuk melalui hidung atau mulut.Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair

26
atau gas.Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah, bekuan darah, nanah,
krusta, membrane difteri atau cairan amnion.
bh.
Pembagian lain juga membagi benda asing menjadi benda asing hidup dan
benda asing mati. Benda asing hidup yang pernah ditemukan yaitu larva lalat, lintah
dan cacing sedangkan benda asing mati yang tersering yaitu manik-manik, baterai
logam dan kancing baju.
bi.
Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing kedalam
saluran nafas antara lain faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi
sosial, tempat tinggal), kegagalan mekanisme proteksi yang normal, faktor fisik,
faktor dental, faktor medikal dan surgikal, faktor kejiwaan, ukuran dan bentuk benda
asing serta faktor kecerobohan. Benda asing dapat masuk melalui hidung dan dapat
tersangkut di hidung, nasofaring, laring, trakea dan bronkus.
bj. Penatalaksanaan
bk. Secara prinsip benda asing yang berada pada saluran nafas diatasi dengan
pengangkatan segera secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman dan dengan
trauma yang minimum.Benda asing yang berada dalam hidung dapat dilakukan
pengangkatan dengan menggunakan pengait (haak) yang dimasukkan kedalam bagian
hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring.Setelah
itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik kedepan. Dengan cara ini benda asing itu
akan terbawa keluar. Cara lain yang dapat digunakan dengan alat cunam Nortman atau
wire loop.
bl.
6) Rinitis Atrofi (Ozaena)
bm.
Rinitis atrofi didefinisikan sebagai penyakit infeksi pada hidung yang
kronik.Penyakit ini ditandai dengan adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang
konka serta terdapat adanya pembentukan krusta.Secara klinis, mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mongering, sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.
bn. Etiologi

27
bo. Penyebab rinitis atrofi belum dapat diketahui sampai sekarang. Adapun
beberapa keadaan yang menjadi faktor predisposisi yang dianggap berhubungan
dengan terjadinya rinitis atrofi yaitu :
Infeksi setempat atau kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh
Klebsiella ozaena. Kuman spesifik lainnya antara lain Stafilokokkus,
Streptokokus, Pseudomonas dan Kokobasil.
Defisiensi Fe dan vitamin A
Infeksi sekunder seperti sinusitis kronis
Kelainan hormon
Penyakit kolagen termasuk penyakit autoimun
bp.
bq. Penatalaksanaan
br.
Penatalaksanaan rinitis atrofi lebih ditujukan dalam mengatasi etiologi dan
menghilangkan gejala.Pengobatan rinitis atrofi bersifat konservatif yaitu diberikan
antibiotik bersprektrum luas yang sesuai dengan uji resistensi kuman yang
dikultur.Pemberian antibiotik dianjurkan harus adekuat dan lama pemberian bervariasi
tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret yang kehijauan.
bs. Selain itu untuk membantu dalam menghilangkan bau busuk yang
dihasilkan dari proses infeksinya, dapat diberikan obat cuci hidung yang sering
diberikan yaitu larutan garam hipertonik. Larutan ini dimasukkan kedalam rongga
hidungdan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan sekuat-kuatnya atau yang masuk
ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut.Pencucian ini dilakukan dua kali dalam
sehari.
bt.
Jika dengan menggunakan pengobatan konservatif tidak memberikan
perbaikan, maka dilanjutkan dengan melakukan pengobatan operatif. Teknik operasi
yang akan dilakukan dengan menutup lubang hidung atau penyempitan lubang hidung
dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini diharapkan dapat
mengurangi turbulensi udara dan pengeringan sekret serta inflamasi dari mukosa juga
berkurang.
bu. Akhir-akhir ini dilakukan bedah endoskopik fungsional (BSEF) untuk
mengatasi rinitis atrofi.Dilakukannya pengangkatan sekat-sekat tulang yang

28
mengalami osteomyelitis dengan harapan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi dan
drainase sinus kembali menjadi normal.
7) Rhinitis Hipertrofi
bv. Etiologi
bw.
Rinitis hipertrofi terjadi dikarenakan adanya proses inflamasi yang
disebabkan oleh infeksi berulang dalam hidung dan sinus, kelanjutan dari rinitis alergi
dan rinitis vasomotor serta akibat paparan bahan iritan kimiawi dan udara kotor.
bx. Penatalaksanaan
by. Pada penatalaksanaan rinitis hipertrofi ditujukan untuk mengatasi faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya rinitis hipertrofi. Terapi simtomatis hanya dapat
meredakan sumbatan hidung akibat terjadinya hipertrofi konka, antara lain dapat
menggunakan nitras argenti atau dengan kauter listrik .Bila tidak ada perbaikan dapat
dilakukan dengan luksasi konka, frakturisasi konka multipel, konkoplasti ataupun
konkotomi parsial.
bz.

8) Rhinitis Tuberkulosa
ca. Etiologi
cb.
Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra
pulmoner.Penyakit ini meningkat seiring dengan meningkatnya kasus
tuberculosis.Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis ini
berbentuk noduler atau ulkus pada hidung dan dapat mengenai tulang rawan septum
bahkan dapat menyebabkan perforasi septum.
cc. Penatalaksanaan
cd. Penatalaksanaan rinitis tuberkulosa seiiring dengan etiologinya yaitu
melakukan pengobatan antituberkulosis dan diberikan obat cuci hidung untuk
menghilangkan sekret dan bau yang berada pada hidung.
ce.
9) Rhinitis Jamur
cf. Etiologi
cg. Rinitis akibat jamur dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat
invasive atau non invasif.Rinitis jamur non invasif dapat menyerupai rinolith dengan
inflamasi mukosa yang lebih berat, sedangkan rinitis jamur tipe invasive ditandai

29
dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propria.Adapun jamur penyebab rinitis
jamur yaitu Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium dan Mucor.
ch. Aspergilosis merupakan infeksi jamur paling sering yang menyebabkan
rinitis kronik spesifik dengan koloni jamur yang terdapat dalam sinus paranasal.
ci. Penatalaksanaan
cj. Penatalaksanaan rinitis jamur non invasif dapat dilakukan dengan
mengangkat bola jamur (fungus ball). Pemberian obat anti jamur untuk non invasif
tidak begitu diperlukan, sedangkan untuk pengobatan rinitis jamur invasif dapat
diberikan anti jamur oral dan topikal yang bertujuan untuk mengeradikasi agen
penyebabnya. Obat cuci hidung dapat diberikan untuk pembersihan hidung dari
krusta-krusta yang lengket. Khusus untuk rinitis jamur invasif perlu dilakukannya
tindakan debridement sebelumnya untuk mengangkat seluruh jaringan yang nekrotik
dan tidak sehat sehingga tidak akan terjadi proses destruksi tulang yang lebih lanjut.
ck.
cl. Bercampur Darah
10) Neoplasma Sinonasal
cm. Etiologi
cn. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara
lain :
a) Penggunaan tembakau
co. Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok
pipa, mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko terbesar
penyebab kanker pada kepala dan leher.
b) Alkohol
cp. Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko
kanker kepala dan leher.
c) Inhalan spesifik
cq. Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin
dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal,
termasuk diantaranya adalah :
Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit sintetis,
dan tepung.
Debu logam berat : kromium, asbes

30
Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan sepatu.
d) Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV
e) Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr
f) Usia
cr. Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun
hingga 85 tahun.
g) Jenis Kelamin
cs. Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali
lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita.
ct.
d. Pilihan obat untuk meringankan atau menghilangkan gejala rhinorrhea
berdasarkan Formularium Nasional
1) Antihistamin
Cetirizine : Berkompetisi dengan histamine pada reseptor H1. tablet 5mg, 10mg.
Digunakan untuk alergi perennial, alergi musiman, dan vasomotor rhinitis.
Meredakan keluhan pilek, urtikaria, angioedema, reaksi anafilaksis, pruritus, dan
konjungtivitis alergi.
Levocetirizin : Antagonis reseptor histamine 1.tablet 5mg. Digunakan untuk
rhinitis alergi, utikaria kronis.
Loratadine : Menginhibisi reseptor H1 dengan selektif.Sirup 5mg/5ml, tablet
10mg. Digunakan untuk rhinitis alergi, dan urtikaria.
2) Decongestan
Pseudoephedrine: Menstimulasi vasokonstriksi dengan secara langsung
mengaktifkan alpha-adrenergik reseptor dari mukosa pernafasan. Tablet kerja
cepat 30mg , 60mg. Tablet lepas lambat 120mg, 240mg. Digunakan untuk
kongesti hidung.
3) Kortikosteroid nasal
Mometasone : Nasal spray, menurunkan aktifitas dan jumlah sel inflamasi.
Digunakan untuk rhinitis alergi dan polip nasi.
4) Kortikosteroid Sistemik

31
Prednisolone : Mengurangi inflamasi dengan mensupresi migrasi leukosit
polimorfonuklear dan menurunkan permeabilitas kapiler. Tablet 5 mg. Digunakan
untuk polip nasi, rheumatoid atritis, multiple sklerosis.
Prednisone : menurunkan inflamasi dengan mencegah peningkatan permeabilitas
kapiler dan mensupresi sel PMN. tab 1mg, 5mg, 10mg, 20mg, 50 mg. Digunakan
untuk polip hidung, asma akut, alergi, giant cell atritis.
Dexametasone : Mengurangi inflamasi dengan mensupresi migrasi leukosit
polimorfonuklear dan menurunkan permeabilitas kapiler. Tab 0.5 mg, 1mg, 2mg.
6mg. injeksi 4mg/ml, 10mg/ml. digunakan untuk inflamasi, cerebral edema,
kondisi alergi, polip nasi.
5) Antibiotik
Penicilin: Amoxilin, Amoxicilin clavulanat. Antibiotik yang berkerja secara
sensitive melawan bakteri dengan mencegah biosintesis dari dinding sel
mukopeptide. Untuk sinusitis bacterial akut, lower respiratory track infection.
Cepalosporin : Cefixim, ceftriaxone. Mengikat penicillin binding protein, yang
menghentikan sintesis dinding bakteri dan menginhibisi pertumbuhan bakteri.
Makrolides: erythromycin. Menghentikan pertumbuhan bakteri dengan memblock
disosiasi peptidil t-rna dari ribosom yang menyebabkan sintesis protein berhenti.
Flouroquinolone : Levofloxacin, CiproFloxacin. Antibiotic spectrum luas dengan
aktifitas melawan bakteri gram negative dan positif aerobic. Obat ini
menghentikan sintesis DNA bakteri dengan menginhibisi DNA gyrase.
6) Ekspektoran
cu. Ambroxol tab 30 mg : Nitrat oksida yang berlebihan (NO) dikaitkan dengan
inflamasi dan beberapa gangguan lain fungsi saluran nafas. NO meningkatkan
aktivasi guanylate cyclase larut dan akumulasi cGMP. Ambroxol telah terbukti
menghambat NO dependent dari aktivasi larut guanylate cyclase. Juga mungkin
bahwa penghambatan aktivasi NO-dependent dari larut guanylate cyclase dapat
menekan sekresi lendir yang berlebihan, sehingga menurunkan viskositas lendir dan
meningkatkan transportasi mukosiliar dari sekresi bronkial.
7) Mukolitik
cv. N-acetylsystein kapsul 200 mg, injeksi nebulizer 300mg/3ampul: N-
acetylcysteine mempunyai aktivitas fluidifikasi melalui gugus sulfhidril bebas pada
sekret mukoid atau mukopurulen dengan cara memutus jembatan disulfida
intramolekul dan intermolekul dalam agregat glikoprotein.
8) Antitusif
32
cw. Kodein (HCl/Fosfat) tab 10 mg, 15 mg, 20mg : Kodein merangsang reseptor
susunan saraf pusat (SSP) yang dapat menyebabkan depresi pernafasan, vasodilatasi
perifer, inhibisi gerak perilistatik usus, stimulasi kremoreseptor dan penekanan reflek
batuk.
cx.
cy.
cz.
da.
db.

dc. DAFTAR PUSTAKA


dd.

1. Kamus Kedokteran Dorland.EGC.edisi ke 31. 2010:1991


2. Adam, Boies, Higler. Rinitis vasomotorik. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
6.Jakarta: EGC. 1997:218-19
3. Patricia W, Wheeler MD, Stephen F. Vasomotor rhinitis. Kentucky : American Academy
of Family Physicians Publishing. 2005.
4. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis vasomotor. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2007:135-37
5. Druce HM. Allergic and nonallergic rhinitis. Dalam : Middleton E jr, Ellis EF, Yunginger
JW, Reed CE, Adkinson NF, Busse WW,edisi Allergy principles and practices.Edisi ke 5.
St.Louis:Mosby.1998:1005-16
6. Garay G. Mechanism of vasomotor rhinitis.France:Journal of Allergy.2004:4-10
7. Downtown D, Blau JN. Vasomotor rhinitis in a synopsis of otolaryngology. Edisi ke4.
Bristol:Wright.1985:230-31.
8. Dolovich J, Kennedy L, Vickerson F, Kazim F. Control of the hypersecretion of
vasomotor rhinitis by topical ipratropium bromide. J Allergy Clin Immunol.1987;274-8.
9. Ellen A, Jaatun, Claude L. Radio-wave therapy of inferior turbinates for treatment of
intractable vasomotor rhinitis-a clinical study of the subjective long term outcome.
Clinical Medicine and Diagnostics. Norway.2012;1-5.
10. Endang M,Damajanti S. Sinusitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2007: 150-4
11. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl.2012 Mar(23):1-298.

33
12. Paul C, Potter MD, Ruby P. Indication, efficacy and safety of intranasal corticosteroids in
rhinosinusitis. WAO Journal.Tokyo.2012:14-17.
13. Dewey C, Sched MD, Robert M. Acute bacterial rhinosinusitis in adults: part
II.treatment. American Academy Family Physician.Oklahoma.2004:1711-12.
14. Junizaf MH. Benda asing di saluran nafas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2007: 259-265
15. Wardani RS, Mangunkusumo E. Rhinorea, infeksi hidung dan sinus. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI.
2007:139-143.
de.

34

Anda mungkin juga menyukai