***
Prinsip utama
Untuk menang dalam perang
Adalah membuat prajurit
Mati bahagia.
Nobunaga mengulanginya berkali-kali, tapi ia
menyangsikan apakah ia sendiri memiliki kemampuan
itu, yang sama sekali tidak terkait dengan strategi,
taktik, maupun wibawa.
"Hari ini tuanku bangun pagi-pagi sekali. Tuanku
bisa lihat sendiri apa yang kami lakukan dengan
tembok pertahanan,"
Nobunaga menatap kakinya dan melihat Tokichiro
yang sedang berlutut dengan kedua tangan menempel
di tanah.
"Monyet?*' Tawa Nobunaga meledak. Baru sekarang
ia melihat wajah Tokichiro. yang setelah tiga hari tiga
malam tanpa tidur, tampak seolah-olah tertutup
plesteran kasar setengah kering. Maunya merah dan
pakaiannya berlcpotan lumpur.
Nobunaga tertawa lagi, tapi segera merasa kasihan
pada orang itu dan berkata dengan serius, "Kau telah
melaksanakan tugasmu dengan baik. Kau tentu lelah
sekali. Sebaiknya kau tidur sepanjang hari."
"Terima kasih banyak." Tokichiro menikmati pujian
itu. Diberiuhu bahwa ia boleh tidur sepanjang hari,
padahal seluruh provinsi tidak memiliki kesempatan
beristirahat, merupakan pujian tanpa tandingan.
Tokichiro berkata dalam hati ketika air mata mulai
membasahi kelopaknya. Namun, meski sedang
merasakan kepuasan seperti itu, ia berkata dengan
hati-hati. "Hamba ada permintaan, tuanku."
"Apa yang kauinginkan?"
"Uang."
"Banyak?"
"Tidak, sedikit saja."
"Untukmu?"
"Bukan." Tokichiro menunjuk ke arah parit. "Bukan
hanya hamba yang mengerjakan ini semua. Hamba
hanya minu uang secukupnya untuk dibagi-bagikan
kepada para pekerja yang begitu lelah, hingga tertidur
di tempat."
"Bicaralah dengan bendahara dan ambillah
sebanyak yang kauperlukan. Tapi kau pun pantas
menerima imbalan. Berapa upahmu sekarang?"
"Tiga puluh kan."
"Hanya itu?"
"Itu sudah lebih dari yang patut hamba peroleh."
"Aku akan menaikkannya menjadi seratus kan, lalu
memindahkanmu ke kesatuan tombak. Mulai hari ini
kau akan membawahi tiga puluh prajurit infanteri.
Tokichiro tetap membisu. Dipandang dari segi
jabaun, posisi pengawas arang dan kayu bakar serta
posisi pengawas pembangunan dicadangkan bagi
samurai berpangkat tinggi. Tapi dalam tubuh
Tokichiro mengalir darah muda, sehingga telah ber-
tahun-tahun ia berharap dapat bertugas aktif dalam
kesatuan pemanah atau penembak. Membawahi tiga
puluh prajurit infanteri merupakan posisi komandan
yang paling rendah. Namun tugas ini jauh lebih
menyenangkan baginya daripada tugas dapur atau
kandang.
Ia begitu bahagia, sehingga lupa diri sejenak, dan
bicara tanpa berpikir panjang dengan mulut yang
tadinya begitu santun. "Pada waktu hamba menyelesai-
kan pekerjaan ini, ada satu hal yang terus mengusik
pikiran hamba. Sistem pengadaan air di benteng
tidaklah memuaskan. Seandainya benteng dikepung,
persediaan air minum takkan memadai, dan dalam
malau singkat parit pun akan mengering, jika terjadi
sesuatu, benteng hanya sanggup menahan serangan
mendadak. Tapi kalau diserbu oleh pasukan yang..."
Sambil memalingkan wajah ke samping, Nobunaga
berlagak tidak mendengarkannya. Namun Tokichiro
tidak mau berhenti di tengah jalan. "Sejak dulu hamba
berpendapat bahwa Bukit Komaki lebih menguntung-
kan daripada Kiyosu, baik dari segi pengadaan air
maupun dari segi penyerangan dan pertahanan.
Hamba mengusulkan agar tuanku pindah dari Kiyosu
ke Komaki."
Mendengar saran itu, Nobunaga memelototinya
dan menghardik, "Monyet, cukup! Kau mulai lupa
diri! Pergilah tidur sekarang juga!"
"Baik, tuanku." Tokichiro angkat bahu. Aku
mendapat pelajaran berharga, katanya dalam hati.
Kegagalan sangat mudah dalam keadaan menguntung-kan.
Sebaiknya kita dimarahi kalau hati kita sedang gembira.
Ternyata aku belum cukup pengalaman. Aku terbawa
perasaan dan melangkah terlalu jauh. Aku harus mengakui
bahwa aku belum berpengalaman.
Setelah membagi-bagikan uang imbalan kepada para
pekerja, ia tetap tidak pulang untuk tidur, melainkan
berjalan-jalan keliling kota seorang diri, sambil geleng-
geleng kepala. Dalam hati ia membayangkan sosok
Nene yang tak pernah dilihatnya selama beberapa
waktu.
Entah apa yang dikerjakannya belakangan ini?
Begitu memikirkan Nene, ia mulai cemas mengenai
nasib sahabatnya yang rela berkorban dan keras
kepala, Inuchiyo, yang meninggalkan provinsi dan
menyerahkan cinta Nene kepadanya. Sejak Tokichiro
mengabdi pada marga Oda, satu-satunya orang yang
dianggapnya teman adalah Inuchiyo.
Aku yakin dia mampir dulu di rumah Nene. Dalam
keadaan terpaksa pergi sebagai ronin, dia takkan bisa
memastikan apakah dia akan melihat Nene lagi. Dia pasti
berpesan sesuatu sebelum pergi, pikir Tokichiro.
Sebenarnya saat ini Tokichiro lebih memerlukan tidur
daripada cinta maupun makanan. Tapi ketika teringat
pada persahabatan, keberanian, dan kesetiaan
Inuchiyo, ia tak bisa tidur begitu saja.
Laki-laki sejati akan mengenali laki-laki sejati
lainnya. Jadi, mengapa Nobunaga tidak segera
menyadari nilai Inuchiyo? Pengkhianatan Yamabuchi
Ukon telah diketahui selama beberapa saat, paling
tidak oleh Inuchiyo dan Tokichiro. Ia tak mengerti
mengapa Nobunaga tidak menyadarinya, dan dengan
perasaan tak senang ia bertanya-tanya mengapa
Inuchiyo, yang mencederai Ukon, dijatuhi hukuman.
Hmm, Tokichiro berkata pada dirinya sendiri,
barangkali Inuchiyo memang dihukum, tapi mungkin juga
pengasingannya justru merupakan perwujudan kasih sayang
Nobunaga. Waktu aku bicara tanpa pikir panjang, sambil
pasang wajah serba tahu, aku langsung ditegur keras. Harus
kuakui bahwa bicara mengenai pengadaan air dan
mengusulkan untuk pindah ke Komaki di hadapan para
pengikut lain memang tidak pada tempatnya, pikir
Tokichiro ketika ia berjalan keliling kota. Ia tidak
sakit, tapi secara berkala ia merasa seakan-akan bumi
bergerak di bawah kakinya. Dalam keadaan tak bisa
tidur, cahaya matahari musim gugur terasa
menyilaukan sekali.
Ketika ia melihat rumah Mataemon di kejauhan,
kantuknya mendadak lenyap. Sambil tertawa ia
mempercepat langkahnya.
"Nene! Nene!" ia berseru, ia berada di kawasan
tempat tinggal para pemanah, bukan daerah dengan
gerbang beratap megah dan rumah-rumah besar,
melainkan deretan pondok mungil dengan
pekarangan rapi dan pagar kayu yang menimbulkan
perasaan tenteram.
Sudah kebiasaan Tokichiro untuk bicara dengan
suara keras, dan ketika ia tiba-tiba melihat sosok
kekasihnya, yang tak dijumpainya selama beberapa
waktu, ia melambaikan tangan dan bergegas tanpa
menutup-nutupi perasaannya. Sikapnya begitu men-
colok, hingga semua orang di sekitar tentu bertanya-
tanya apa yang terjadi. Nene berbalik. wajahnya yang
putih memperlihatkan keheranan.
Cinta seharusnya merupakan rahasia yang ter-
pendam dalam lubuk hati paling dalam. Namun jika
seseorang memanggil begitu keras, hingga semua
tetangga membuka jendela, dan ayah-ibu di dalam
rumah pun mendengarnya, tidaklah aneh bila seorang
gadis jadi merasa malu. Sejak tadi Nene berdiri di
muka gerbang, menatap langit musim gugur. Tapi,
ketika mendengar suara Tokichiro. wajahnya menjadi
merah dan ia bersembunyi dengan rubuh gemetar di
balik gerbang.
"Nene! Ini aku, Tokichiro!" Suara Tokichiro
semakin lantang, dan ia bergegas mendekat. "Aku
minta maaf karena kurang memperhatikanmu. Aku
sibuk sekali dengan tugas-tugasku."
Nene setengah bersembunyi di balik gerbang, tapi
karena Tokichiro sudah menyapanya, ia terpaksa
membungkuk dengan anggun. "Kesehatanlah yang
harus diutamakan,'' katanya.
"Ayahmu di rumah?" tanya Tokichiro.
"Tidak. Ayah sedang pergi."
Daripada mengajak Tokichiro masuk. Nene
memilih melangkah keluar.
"Hmm, jika Tuan Mataemon sedang pergi..."
Tokichiro segera menyadari bahwa Nene mungkin
merasa kikuk. "Sebaiknya aku juga pergi saja."
Nene mengangguk, seakan-akan ia pun meng-
anggapnya sebagai pemecahan terbaik.
"Sebetulnya aku datang karena ingin tahu apakah
Inuchiyo mampir ke sini."
"Tidak." Nene menggelengkan kepala, tapi wajahnya
tersipu-sipu.
"Dia datang ke sini, bukan?"
"Tidak."
"Betulkah?"
Sambil mengamati capung merah yang beterbangan,
Tokichiro termenung sejenak. "Dia tidak mendatangi
rumahmu sama sekali?"
Nene menundukkan kepala, matanya berkaca-kaca.
"Inuchiyo memancing kegusaran Yang Mulia dan
meninggalkan Owari. Kau sudah dengar itu?"
"Ya."
"Kau mendengarnya dari ayahmu?"
Tidak."
"Kalau begitu, siapa yang memberitahumu? Kau
tidak perlu menutup-nutupinya. Dia dan aku ber-
sahabat. Apa pun yang dikatakannya padamu, itu tak
jadi masalah. Dia datang ke sini. bukan?"
"Tidak. Aku baru saja mengetahuinyalewat
sepucuk surat."
"Surat?"
"Baru saja seseorang melemparkan sesuatu ke
pekarangan di depan kamarku. Waktu aku keluar, aku
menemukan sepucuk surat yang membungkus batu
kecil. Surat itu berasal dari Tuan Inuchiyo." Ketika
bicara, suaranya terputus-putus. Ia mulai menangis
dan berbalik membelakangi Tokichiro. Selama ini
Tokichiro selalu memandangnya sebagai perempuan
yang bijak dan cerdas, tapi sebenarnya Ncnc hanyalah
seorang gadis.
Tokichiro telah menemukan segi lain dan ke-
indahan dan daya tarik yang terkandung dalam diri
perempuan ini. "Maukah kau memperlihatkan
suratnya padaku? Atau lebih baik jika aku tidak
membacanya?" Ketika Tokichiro menanyakannya.
Nene mengeluarkan surat itu dari kimono dan
menyerahkannya tanpa ragu-ragu.
Perlahan-lahan Tokichiro membukanya. Tak salah
lagi, itu memang tulisan tangan Inuchiyo. Isi surat itu
sederhana saja, tapi bagi Tokichiro surat itu meng-
ungkapkan lebih banyak daripada yang tertulis.
***
Narumi telah bersiap-siap menghadapi perang, dan
terus mengamari gerak-gerik di Kiyosu. Tapi men-
jelang akhir tahun belum juga ada tanda-tanda bahwa
Nobunaga akan menyerang.
Rasa bimbang dan curiga mengusik ketenangan
kedua Yamabuchi, ayah dan anak. Kesulitan mereka
dirambah lagi dengan hal lain. Mereka bukan saja
membelot dari Nobunaga, tapi juga dipandang dengan
sikap bermusuhan oleh bekas sekutu mereka, marga
Imagawa di Suruga.
Pada titik inilah desas-desus disebarkan di Narumi.
Komandan Benteng Kasadera dikabarkan ber-
sekongkol dengan Nobunaga. dan akan menyerang
Narumi dari belakang.
Kasadera merupakan perwakilan marga Imagawa.
Entah atas perintah orang-orang Imagawa, atau karena
bersekongkol dengan Nobunaga, tidaklah mustahil
mereka melancarkan serangan.
Desas-desus itu semakin gencar. Di antara para
anggota marga Yamabuchi serta pengikut-pengikut
mereka, tanda-tanda panik mulai tampak. Pendapat
umum adalah bahwa mereka sebaiknya mengadakan
serangan mendadak ke Kasadera. Ayah dan anak. yang
telah bersiap-siap bertahan di dalam benteng, akhirnya
mengambil inisiatif. Dengan menggerakkan pasukan
mereka pada malam hari, mereka berencana
menyerbu Benteng Kasadera pada pagi buta.
Akan tetapi desas-desus yang sama juga telah
beredar di Kasadera. dan menimbulkan kegelisahan
yang sama pula. Garnisun setempat segera berundak
dan mempersiapkan diri menghadapi serangan.
Orang-orang Yamabuchi menyerang, dan dalam
waktu singkat keberuntungan berpaling menentang
pasukan yang bertahan. Pasukan Kasadera, tak
sanggup menunggu bala bantuan dari Suruga. Mem-
bakar benteng dan binasa dalam pertempuran di
tengah kobaran api.
Pasukan Narumi berhasil menduduki benteng yang
telah hangus. Kekuatan mereka pun telah berkurang
setengah, akibat banyaknya korban yang berguguran.
Tapi mereka terus maju dan menyerbu reruntuhan
yang berasap, sambil mengacungkan pedang, tombak,
dan senapan.
Semuanya melepaskan teriakan kemenangan. Pada
saat itu, sejumlah penunggang kuda dan prajurit
infanteri tiba dari Narumi. Mereka berhasil
meloloskan diri dengan lari terpontang-panting.
"Ada apa ini?" tanya Samanosuke dengan heran.
"Pasukan Nobunaga bergerak cepat sekali. Entah
bagaimana, dia mengetahui apa yang terjadi di sini,
dan tiba-tiba saja dia membanjiri benteng dengan
lebih dari seribu orang. Serangan mereka gencar
sekali, dan tak dapat berbuat apa-apa!" Laki-laki yang
cedera itu meneruskan laporannya. terengah-engah
menarik napas, dan mengakhirinya dengan berkata
bahwa bukan saja benteng mereka berhasil direbut,
tapi putra Samanosuke pun, Ukon, yang belum
sembuh dari luka-lukanya, ditangkap dan dipancung.
Samanosuke, yang baru saja mengumandangkan
nyanyian kemenangan, membisu. Daerah sekitar
Benteng Kasadera, yang baru digempur direbutnya,
hanya tersisa puing-puing hangus tak berpenghuni.
"Ini kehendak para dewa!" Sambil berseru, ia
mengambil pedang dan membelah perutnya. Sungguh
mengherankan bahwa ia menyalahkan para dewa.
padahal nasibnya ditemukan oleh ulahnya sendiri.
Dalam satu hari Nobunaga berhasil menundukkan
Narumi dan Kasadera. Tokichiro menghilang entah ke
mana setelah pekerjaan perbaikan tembok pertahanan
selesai, dan tidak terlihat selama beberapa waktu.
Namun, begitu mendapat kabar bahwa Narumi dan
Kasadera sudah jatuh di tangan Owari, ia pun kembali
secara diam-diam.
"Kaukah yang menyebarkan desas-desus di kedua
belah pihak, sehingga mengakibatkan perselisihan di
antara musuh-musuh kita?" Ketika ditanya. Tokichiro
hanya menggelengkan kepala dan tidak berkata apa-
apa.
Sandera Yoshimoto
***
Bangunlah! Bangunlah!
Hidup manusia
Hanya lima puluh tahun di bawah langit...
Hidup manusia
Hanya lima puluh tahun di bawah langit.
Jelas bahwa dunia ini
Tak lebih dari mimpi yang sia-sia.
Hidup hanya sekali
Adakah yang tidak akan hancur?
***
***
***
***
***
Waktu terus berlalu, dan pada suatu hari baik di
musim gugur, pernikahan Tokichiro dan Nene
dirayakan di rumah keluarga Asano.
Tokichiro merasa resah dan gelisah. Keadaan di
rumahnya serbasemrawut, dengan Gonzo, si pelayan
perempuan, dan orang-orang lain yang datang untuk
membantu. Sejak pagi ia tak sanggup melakukan apa-
apa, kecuali keluar-masuk rumah. Hari ini hari ketiga di
Bulan Delapan, bukan? Berulang-ulang Tokichiro
memastikannya dalam hati. Sesekali ia membuka
lemari pakaian, atau mencoba bersantai di bantal, tapi
ia tak bisa diam. Aku akan menikahi Nene dan akan
menjadi anggota keluarganya, Tokichiro berkata pada
diri sendiri. Akhirnya saat yang kutunggu-tunggu sudah
tiba, tapi entah kenapa aku malah merasa tidak tenang
sekarang.
Setelah rencana pernikahan mereka diumumkan.
Tokichiro menjadi malu-malu, tidak seperti biasanya.
Ketika para tetangga dan rekan-rekan kerjanya men-
dengar berita itu, mereka datang dengan membawa
hadiah, tapi Tokichiro tersipu-sipu dan berbicara
seakan-akan hendak menyelamatkan reputasinya. "Ah,
sebenarnya hanya pesta keluarga. Sebenarnya aku
merasa masih terlalu dini untuk menikah, tapi pihak
keluarga ingin pernikahan kami diselenggarakan
secepat mungkin."
Tak ada yang tahu bahwa hasrat Tokichiro menjadi
kenyataan berkat sahabatnya, Maeda Inuchiyo.
Inuchiyo bukan saja rela melepaskan Nene. Ia juga
sudah mempengaruhi Oda dari Nagoya untuk
melibatkan diri.
"Kudengar Tuan Oda sudah memberikan rekomen-
dasi. Kecuali itu, Asano Mataemon pun menyetujui-
nya. Artinya, mereka tentu beranggapan bahwa si
Monyet menjanjikan sesuatu." Jadi, mula-mula di
antara rekan-rekannya, lalu di kalangan berkedudukan
tinggi maupun rendah, reputasi Tokichiro terangkat
berkat perkawinan ini, dan desas-desus bernada
sumbang pun dapat dibatasi.
Tokichiro, di pihak lain, tidak memedulikan desas-
desus, baik maupun buruk. Baginya, menyampaikan
kabar pada ibunya di Nakamura-lah yang paling
penting. Sudah tentu ia hendak berangkat sendiri ke
sana untuk bercerita mengenai Nene, mengenai
keturunan dan wataknya, serta mengenai beberapa hal
lain. Namun ibunya berpesan agar Tokichiro
mengabdi dengan tekun, dan membiarkannya tinggal
di Nakamura, dan tidak memikirkannya sampai ia
menjadi orang berpengaruh.
Tokichiro menekan keinginannya untuk segera
menemui ibunya, dan mencernakan perkembangan
terakhir melalui surat. Dan ibunya sering mengirim
balasan. Yang paling menyenangkan bagi Tokichiro
adalah bahwa berita mengenai kenaikan pangkatnya
dan kabar mengenai perkawinannya dengan putri
seorang samurai, berkat jasa baik sepupu Nobunaga.
telah diketahui luas di Nakamura. Akibatnya, ia
menyadari, baik ibunya maupun kakak perempuannya
kini dipandang secara berbeda oleh para warga desa.
"Bolehkah hamba menata rambut Tuan?" Gonzo
muncul dengan kotak berisi sisir dan berlutut di
samping Tokichiro.
"Apa? Rambutku harus diikat?"
"Malam ini Tuan menjadi pengantin, dan rambut
Tuan harus ditata secara pantas."
Setelah Gonzo selesai, Tokichiro pergi ke
pekarangan.
Bintang-bintang mulai terlihat di antara dahan-
dahan pohon. Si pengantin pria dilanda perasaan
sentimental. Tokichiro dikelilingi luapan kegembira-
an. Namun setiap kali menjumpai kebahagiaan, ia
selalu teringat ibunya. Karena itu kebahagiaannya
selalu bercampur dengan setitik kesedihan. Hasrat
manusia tak ada batasnya. Tapi di pihak lain, ia
menghibur diri, di dunia ini juga ada orang yang tidak
memiliki ibu.
Tokichiro berendam di bak mandi. Malam ini ia
berniat menggosok tengkuknya lebih lama daripada
biasanya. Seusai mandi, memakai kimono tipis, dan
kembali ke dalam rumah, ia menemukan begitu
banyak orang, sehingga sukar untuk memastikan
apakah ini rumahnya atau rumah orang lain. Sambil
terheran-heran mengapa semua orang demikian sibuk.
Tokichiro memandang berkeliling dan akhirnya ber-
bagi tempat dengan kawanan nyamuk di suatu sudut
ruangan.
Suara-suara melengking menyerukan berbagai
perintah, dan ditanggapi oleh suara-suara yang tak
kalah melengking.
"Perlengkapan pribadi pengantin pria harap disusun
di atas lemari pakaiannya."
"Aku sudah mengurusnya. Kipas dan kotak obatnya
juga ada di sana."
Segala macam orang berlalu-lalang. Istri siapakah
itu? Dan suami siapa di sebelah sana? Orang-orang itu
bukan saudara dekat, tapi mereka semua bekerja sama
secara harmonis.
Sang pengantin pria yang masih berdiri seorang diri
di pojok ruangan, mengenali wajah semua orang itu
dan merasakan kegembiraan mendalam. Di salah satu
ruangan, seorang laki-laki tua yang ramai sedang
berbicara mengenai tradisi dan tata cara mengambil
menantu dan istri. "Apakah sandal pengantin pria
sudah usang? Pengantin pria tidak boleh memakai
sandal tua. Dia harus memakai sandal baru pada
waktu mendatangi rumah calon istrinya. Kemudian,
nanti malam, ayah pengantin wanita akan tidur sambil
memegang sandal itu, dan kaki si pengantin pria
takkan meninggalkan rumah mereka."
Seorang perempuan tua angkat bicara. "Orang-orang
harus membawa lampion. Tidak pantas mendatangi
rumah pengantin wanita sambil membawa obor.
Kemudian lampion-lampion itu diserahkan pada
keluarga pengantin wanita, dan diletakkan di hadapan
altar rumah selama tiga hari tiga malam." Ia berbicara
dengan nada ramah, seakan-akan putranya sendiri
yang bakal menjadi pengantin.
Pada waktu itu, seorang kurir tiba, mengantarkan
surat pertama dari pengantin wanita untuk pengantin
pria. Dengan malu-malu salah satu istri menembus
kerumunan orang sambil membawa sebuah kotak
berisi surat.
Tokichiro berkata dari serambi. "Aku di sini."
"Ini surat pertama dari pengantin wanita."
perempuan tadi berkata. "Dan berdasarkan tradisi,
sang pengantin pria harus memberikan jawaban."
"Apa yang harus kutulis?"
Perempuan itu tertawa cekikikan, namun tidak
menjawab. Kertas dan perlengkapan tulis diletakkan
di hadapan Tokichiro.
Dengan bingung Tokichiro meraih kuas. Selama ini
ia tak pernah menekuni kesusastraan. Ia belajar
menulis di Kuil Komyo, dan ketika ia bekerja di toko
tembikar, kemampuan menulisnya paling tidak
termasuk rata-rata, jadi ia tidak merasa sungkan
karena harus menulis di depan orang-orang. Ia hanya
tidak tahu apa yang mesti ia katakan. Akhirnya ia
menorehkan:
Hidup manusia
Hanya lima puluh tahun...
"Jangan, berhenti." Inuchiyo cepat-cepat menutupi
mulut Tokichiro dengan satu ungan. Tidak pantas
kaunyanyikan tembang ini. Ini dari Atsumon. yang
begitu digemari Yang Mulia."
"Aku mempelajari larian dan nyanyian yang sering
dibawakan Tuan Nobunaga dengan meniru beliau. Ini
bukan tembang terlarang, jadi salahkah kalau aku
menyanyikannya?"
"Ya, salah sekali."
"Kenapa begitu?"
"Tembang ini tidak patut ditampilkan dalam acara
pernikahan."
"Yang Mulia membawakan tarian Atsumori pada
pagi hari sebelum pasukan kita berangkat ke
Okehazama. Mulai malam ini, kami berdua, suami-
istri yang dilanda kemiskinan, akan menempuh hidup
baru. Jadi, bukankah pilihanku pantas?"
"Ketetapan hati untuk maju ke medan tempur dan
pesta pernikahan merupakan dua hal berbeda. Prajurit
sejati bertekad untuk hidup lama bersama istri, sampai
kedua-duanya telah berambut putih."
Tokichiro menepuk lututnya. "Itu benar. Terus
terang, justru itulah yang kuharapkan. Kalau terjadi
perang, apa boleh buat, tapi aku tak ingin mati sia-sia.
Lima puluh tahun belum cukup. Aku ingin hidup
bahagia dan setia pada Nene selama seratus tahun."
"Dasar mulut besar. Lebih baik kau menari saja.
Ayo, mulailah."
Mendengar Inuchiyo mendesak-desak si pengantin
pria, sejumlah tamu lain segera mendukungnya.
"Tunggu. Harap tunggu sejenak. Aku akan menari."
Sambil membujuk teman-temannya untuk bersabar,
Tokichiro berpaling ke arah dapur, bertepuk tangan,
dan memanggil, "Nene! Persediaan sake sudah
menipis."
"Sebentar." jawab Nene. Ia sama sekali tidak malu-
malu di hadapan para tamu. Dengan riang ia
membawa botol-botol sake, melayani orang-orang
seperti yang diminta oleh Tokichiro. Yang merasa
terkejut hanya orangtua Nene dan para saudaranya
yang sejak dulu cuma menganggapnya anak kecil.
Namun hati Nene telah bersatu dengan hati suaminya,
dan Tokichiro pun tidak kelihatan kikuk dengan istri
yang baru dinikahinya. Sesuai dugaan, Inuchiyo yang
sudah agak mabuk berulang kali tersipu-sipu ketika
dilayani Nene.
"Hah, Nene, mulai malam ini. kau istri Tuan
Kinoshita. Izinkanlah aku memberi selamat sekali
lagi," Inuchiyo berkata sambil menyingkirkan meja
iokt dari hadapan Nene. "Ada satu hal yang diketahui
oleh semua sahabatku dan yang tak pernah ku-
sembunyikan dari mereka. Daripada merasa malu dan
merahasiakannya, aku akan menyelesaikannya sampai
tuntas. Bagaimana, Kinoshita?"
"Ada apa?"
"Perkenankan aku meminjam istrimu sejenak."
Sambil tertawa, Tokichiro berkata. "Silakan."
"Begini, Nene. Pada suatu ketika, semua orang tahu
bahwa aku mencintaimu, dan ini belum berubah.
Kaulah perempuan yang kucintai." Inuchiyo menjadi
lebih serius. Dan seandainya pun sikapnya tidak
berubah, dada Nene sudah penuh gejolak emosi,
karena baru saja menjadi istri seseorang. Sejak malam
ini, hidupnya sebagai perempuan muda yang masih
sendiri lelah berakhir, tapi ia tak sanggup
memadamkan perasaannya terhadap Inuchiyo.
"Nene, kata orang, hati seorang gadis muda tak
dapat ditebak, tapi kau telah mengambil langkah
terbaik ketika memilih Tokichiro. Aku rela melepas-
kan orang yang telah merebut hatiku. Tapi cintaku
terhadap Kinoshita bahkan lebih kuat daripada
cintaku padamu. Boleh dibilang aku memberikanmu
padanya sebagai tanda tinta dari satu laki-laki kepada
laki-laki lain. Berarti aku telah memperlakukanmu
seperti barang, tapi begitulah laki-laki. Betul tidak.
Kinoshita?"
"Aku menerimanya tanpa ragu-ragu, karena aku
sudah menyangka bahwa itulah alasanmu."
"Hmm, kalau kau ragu-ragu mengenai perempuan
yang baik ini, berarti akulah yang salah menilaimu,
dan untuk selanjutnya kau takkan kupandang sebelah
mata. Kau memperoleh perempuan yang berada jauh
di atasmu."
"Bicaramu tak keruan."
"Ah, ha ha ha ha. Pokoknya, aku bergembira. Hei.
Kinoshita, kita menjalin persahabatan kekal, tapi
pernahkah kau menduga bahwa kita akan mengalami
malam sebahagia sekarang?"
"Tidak, kurasa tidak."
"Nene, adakah rebana di sekitar sini? Kalau aku
memainkan rebana, kuharap salah seorang berdiri dan
menari. Karena Kinoshita ini bukan orang berakal
sehat, aku yakin kemampuan menarinya pun tak
seberapa."
"Ehm, untuk menghibur para hadirin, izinkanlah
aku membawakan tarian sebisaku." Orang yang
berbicara ini adalah Nene. Inuchiyo, Ikeda Shonyu,
dan tamu-tamu lainnya tertegun dan membelalakkan
mata. Diiringi permainan rebana Inuchiyo, Nene
membuka kipas dan mulai menari.
"Bagus! Bagus!" Tokichiro bertepuk tangan, seolah-
olah ia sendiri yang menari. Mungkin karena mereka
sedang mabuk, kegembiraan mereka tidak mem-
perlihatkan tanda-tanda akan surut. Kemudian se-
seorang mengusulkan agar mereka pindah ke
Sugaguchi, kawasan paling meriah di Kiyosu. Dan tak
seorang pun di antara mereka cukup sadar untuk
mengatakan tidak.
"Baiklah! Mari kita ke sana!" Tokichiro, si pengantin
baru, berdiri dan berjalan di depan. Ia tidak
mengacuhkan sanak saudara yang tampak marah.
Rombongan yang datang untuk mengadakan upacara
siraman pun melupakan maksud semula, dan sambil
berangkulan dengan si pengantin pria, mereka
meninggalkan ruang pernikahan, saling menopang
dan melambaikan tangan.
"Sungguh malang nasib si pengantin wanita." Para
kerabat merasa iba pada Nene yang ditinggalkan
begitu saja. Tapi ketika mereka menatap berkeliling
untuk mencari Nene yang tadi masih menari, mereka
tidak menemukannya. Nene telah membuka pintu
samping dan menyusul keluar.
Sambil mengejar suaminya yang dikelilingi oleh
teman-teman yang mabuk, ia berseru, "Bersenang-
senanglah!" lalu menyelipkan dompet ke bagian depan
kimono Tokichiro.
Tempat yang sering dikunjungi para pemuda dari
benteng adalah sebuah kedai minum bernama
Nunokawa, Terletak di bagian lama Sugaguchi, kedai
itu konon bekas toko saudagar sake, yang telah tinggal
di sana sebelum marga Oda, maupun pendahulunya,
marga Shiba menjadi penguasa Owari. Jadi, toko itu
terkenal karena bangunan kunonya yang besar.
Tokichiro lebih dari sekadar pelanggan. Bahkan jika
wajahnya tidak terlihat ketika orang-orang berkumpul
di sana, para pelayan dan teman-temannya merasa
seakan-akan ada yang kurangseperti sebuah senyum
dengan satu gigi hilang. Pernikahan Tokichiro
merupakan alasan kuat bagi para pengunjung untuk
mengangkat cawan. Ketika rombongan Tokichiro
menerobos masuk lewat tirai di pintu, seseorang
langsung memberi pengumuman.
"Para hadirin dan pegawai Nunokawa! Sambutlah
kedatangan tamu istimewa. Kami membawa pengantin
pria yang tak ada duanya di dunia ini! Silakan tebak
siapa orangnya. Namanya Kinoshita Tokichiro.
Bergembiralah, bergembiralah! Kita akan menyeleng-
garakan upacara siraman untuknya."
Langkah mereka tersendat-sendat. Tokichiro dioper-
oper dan masuk sambil terhuyung-huyung.
Para pegawai tampak bingung, tapi setelah
menyadari apa yang sedang terjadi, tawa mereka pun
meledak. Terheran-heran mereka mendengarkan cerita
bagaimana si pengantin pria diciduk dan dibawa pergi
dan tengah upacara pernikahan.
"Ini bukan upacara siraman." mereka berkelakar.
"Ini lebih pantas disebut penculikan pengantin." Dan
semuanya tenawa terbahak-bahak. Tokichiro bergegas
masuk, seakan-akan hendak melarikan diri, tapi
kawan-kawannya yang gemar bersenda gurau segera
mencari tempat duduk, mengelilinginya, dan mem-
beritahunya bahwa ia akan disekap sampai fajar tiba.
Siapa yang tahu seberapa banyak yang mereka
minum? Hampir tak ada yang sanggup memastikan
lagu dan tarian apa saja yang mereka bawakan.
Akhirnya masing-masing orang tertidur di tempat-
nya tumbang, dengan sebelah lengan memeluk bantal,
atau dengan tangan dan kaki terentang. Ketika malam
semakin larut, bau-bauan musim gugur diam-diam
merayap masuk.