ODA NOBUTAKA, putra ketiga Nobunaga ODA NOBUO, putra kedua Nobunaga NIWA NAGAHIDE, pengikut senior marga Oda TSUTSUI JUNKEI, pengikut senior marga Oda MATSUDA TAROZAEMON, pengikut senior marga Akechi ISHIDA SAKICHI, pengikut Hideyoshi SAMBOSHI, cucu dan pewaris Nobunaga TAKIGAWA KAZUMASA, pengikut senior marga Oda MAEDA GENI, pengikut senior marga Oda SAKUMA GENBA, keponakan Shibata Kaisuie SHIBATA KATSUTOYO, putra angkat Kaisuie Kurir Bernasib Buruk
HIDEYOSHI belum bergerak. Debu halus ber-
jatuhan di sekitar kaki lentera kemungkinan sisa- sisa surat Hasegawa. Kanbei masuk terpincang-pincang, dan Hide- yoshi menyambutnya dengan anggukan kepala. Kanbei menekuk kakinya yang cacat dan duduk di lantai. Pada waktu ditawan di Benteng Itami, ia terserang gangguan kulit kepala yang tak kunjung sembuh, dan ketika ia duduk berdekatan dengan lentera, rambutnya yang tipis seakan-akan tembus pandang. "Hamba telah menerima perintah untuk meng- hadap Yang Mulia. Apa gerangan yang sedemikian mendesak di tengah malam ini," tanyanya. Hideyoshi menjawab. "Hikoemon akan men- jelaskannya." Kemudian ia melipat tangan dan me- nundukkan kepala sambil mendesah panjang. "Tuan Kanbei tentu akan merasa sangat ter- pukul." Hikoemon mulai berkata. Kanbei tersohor akan ketabahannya, tapi ketika mendengar penjelasan Hikoemon, wajahnya men- jadi pucat. Tanpa berkata apa-apa, ia pun men- desah, melipat tangan, dan menatap Hideyoshi. Kyutaro kini maju beringsut-ingsut dan berkata, "Ini bukan saatnya memikirkan yang telah berlalu. Angin pembawa perubahan berembus di dunia, angin baik untuk Yang Mulia. Waktu yang tepat untuk menaikkan layar dan berangkat." Kanbei menepuk lutut dan berkata, "Tepat sekali! Langit dan bumi memang abadi, tapi roda kehidupan berputar hanya karena segala sesuatu berubah seiring musim. Dari sudut pandang yang lebih luas, kejadian ini justru menguntungkan." Pendapat kedua orang itu membuat Hideyoshi tersenyum puas, sebab pikiran mereka sejalan dengan pikirannya sendiri. Meski demikian, ia tak dapat memperlihaykan perasaannya di depan umum tanpa risiko salah paham. Bagi seorang pengikut, kematian junjungannya merupakan tragedi, suatu tragedi yang harus diberi balasan setimpal. "Kanbei, Kyutaro, kalian berdua telah mem- besarkan hatiku. Hanya ada satu hal yang dapat kita lakukan sekarang," ujar Hideyoshi dengan yakin. "Berdamai dengan pihak Mori secepat mungkin, tanpa diketahui orang banyak." Ekei, si biksu, telah mendatangi perkemahan sebagai utusan marga Mori untuk merundingkan perjanjian damai. Mula-mula Ekei menghubungi Hikoemon, karena keduanya sudah cukup lama saling mengenal; kemudian ia bertemu dengan Kanbei. Sampai saat ini, Hideyoshi menolak berunding dengan pihak Mori, tanpa memandang apa yang mereka tawarkan. Pertemuan antara Ekei dan Hikoemon hari itu berakhir tanpa kesepa- katan. Sambil berpaling pada Hikoemon, Hideyoshi berkata, "Kau bertemu Ekei hari ini. Apa rencana orang-orang Mori?" "Kita bisa segera mencapai kesepakatan, jika kita menyetujui syarat-syarat mereka," balas Hikoemon. "Tidak!" ujar Hideyoshi dengan tegas, "Syarat- syarai yang mereka ajukan tak mungkin kuterima. Dan apa yang ditawarkan Ekei padamu, Kanbei?" "Lima provinsi, yaitu Bitchu, Bingo, Mimasaka, Inaba, dan Hoki, jika kita mengakhiri penge- pungan Benteng Takamatsu dan membiarkan Jendral Muncharu dan anak buahnya tetap hidup." "Sepintas lalu lawaran mereka cukup menarik. Tapi, kecuali Bingo, keempat provinsi lain yang ditawarkan marga Mori sudah tidak berada dalam kekuasaan mereka. Kita tak bisa menerima tawaran itu tanpa menimbulkan kecurigaan mereka," Hideyoshi menanggapi. Tapi jika pihak Mori mengetahui apa yang telah terjadi di Kyoto, mereka takkan mau berdamai. Moga-moga mereka belum mendengar apa-apa. Para dewa memberikan waktu beberapa jam padaku, tapi kita harus buru- buru." "Sekarang baru hari ketiga. Jika besok kita meminta perundingan damai resmi, pertemuannya dapat diselenggarakan dalam dua atau tiga hari," Hikoemon mengusulkan. "Tidak, itu terlalu lama." balas Hideyoshi. "Kita harus mulai sekarang juga. Kita bahkan tak bisa menunggu sampai fajar. Hikoemon, usahakan agar Ekei datang lagi ke sini." "Perlukah hamba mengirim kurir sekarang?" tanya Hikoemon. "Tidak, tunggu beberapa waktu. Kedatangan kurir di tengah malam buta tentu akan membuat- nya curiga. Kita harus memikirkan masak-masak, apa yang akan kita sampaikan padanya."
Sesuai perintah Hideyoshi, anak buah Asano Yahei
melakukan pemeriksaan ketat terhadap semua orang yang masuk atau keluar daerah itu. Sekitar tengah malam, para penjaga menghentikan orang buta yang berjalan dengan membawa tongkat bambu dan menanyakan tujuannya. Dikepung oleh para prajurit, laki-laki itu ber- tumpu pada tongkatnya. "Aku bermaksud mengun- jungi rumah saudara di Desa Niwase," ia berkata dengan sangai sopan. "Kalau hendak ke Niwase, mengapa kau ada di jalan gunung ini di tengah malam?" tanya perwira yang memegang komando. "Aku tidak mendapat tempat menginap, jadi aku terus berjalan saja," si buta membalas sambil menundukkan kepala, seakan-akan mengharapkan belas kasihan. "Barangkali Tuan dapat menunjuk- kan sebuah desa dengan penginapan." Perwira di hadapannya tiba-tiba berseru, "Dia hanya pura-pura! Ikat dia." "Aku tidak pura-pura," si buta menyangkal. "Aku pemusik buta yang terdaftar di Kyoto. Aku tinggal bertahun-tahun di sana. Tapi sekarang bibiku di Niwase sedang menjelang ajalnya." Ia merapatkan tangan dengan gaya memohon. "Kau bohong!" ujar si perwira. "Matamu memang terpejam, tapi aku sangsi apakah kau memerlukan ini!" Tanpa peringatan, perwira itu merebut tongkat si buta dan membelahnya dengan pedang. Sebuah surat yang tergulung rapat jatuh ke tanah. Kedua mata orang itu kini tampak berapi-api. Sambil mencari titik lemah dari lingkaran prajurit di sekelilingnya, ia bersiap-siap melarikan diri. Tapi dalam keadaan terkepung oleh dua puluh orang, musang ini pun tak mungkin lolos. Ia segera di- ringkus dan diikat sampai nyaris tak dapat ber- gerak, lalu dinaikkan ke atas kuda, seperti sepotong barang. Ia terus mencaci maki dan menyumpah-nyum- pah, sampai akhirnya dibungkam dengan mulut- nya dijejali tanah. Sambil memecut perut kuda, para prajurit segera menuju perkemahan Hide- yoshi dengan membawa tawanan mereka. Pada malam yang sama, seorang pertapa di- hadang oleh patroli lain. Berlainan dengan orang yang mengaku sebagai pemusik buta, orang ini bersikap angkuh. "Aku murid Kuil Shogo," katanya congkak. "Kami, para pertapa, sering berjalan sepanjang malam tanpa istirahat. Kakiku melangkah sesuka hatiku. Apa maksud kalian menanyakan tujuanku? Orang dengan tubuh seperti awan yang beter- bangan dan sungai yang mengalir tidak memerlu- kan tujuan." Selama beberapa waktu, si pertapa terus mengoceh dengan nada yang sama, lalu berusaha kabur. Tapi seorang prajurit berhasil menjegal kakinya dengan tombak, sehingga ia terempas sambil berteriak. Pada waktu menggeledahnya, para prajurit menemukan bahwa ia sama sekali bukan pertapa. Ia biksu-prajurit Honganji yang membawa laporan rahasia mengenai peristiwa di Kuil Honno, untuk disampaikan pada orang-orang Mori. Ia pun segera dikirim ke perkemahan Hideyoshi seperti se- potong barang. Malam itu hanya dua orang itulah yang ditang- kap, namun seandainya salah satu dari mereka sempai lolos dari pemeriksaan dan berhasil men- jalankan misinya, keesokan paginya kematian Nobunaga bukan rahasia lagi bagi pihak Mori. Pertapa gadungan itu tidak diutus oleh Mitsuhide, tapi orang yang berlagak sebagai pemusik buta ternyata samurai Akechi yang mem- bawa surat dari Mitsuhide untuk Mori Terumoro. Ia bertolak dari Kyoto pada pagi hari kedua. Mitsuhide juga mengirim kurir lain pada pagi yang samalewat laut dari Osakatapi karena kapalnya dihantam badai, kurir itu terlambat mencapai perkemahan marga Mori.
"Kupikir kita akan berjumpa di pagi hari. "* ujar
Ekei setelah menyapa Hikoemon , "tapi surat Tuan berpesan agar aku datang secepat mungkin, jadi aku langsung berangkat." "Aku mohon maaf karena mengganggu istirahat Tuan Ekei." Hikoemon membalas tanpa ambil pusing. "Besok pun tidak apa-apa, dan aku menyesal bahwa akibat pemilihan kataku yang kurang cermat, Tuan terpaksa mengorbankan waktu tidur." Kanbei membawa Ekei ke suatu tempat yang lazim disebut Hidung Karak, dan dari sana mereka menuju rumah petani yang kosong, tempat mereka mengadakan pertemuan sebelumnya. Hikoemon duduk tepat di hadapan Ekei, dan berkata dengan sungguh-sungguh. "Kalau dipikir- pikir, kita berdua sepertinya terikat oleh satu karma." Ekei mengangguk. Kedua-duanya lalu menge- nang pertemuan mereka di Hachisuka, sekitar dua puluh tahun silam, ketika Hikoemon masih men- jadi pimpinan segerombolan ronin, dan dikenal dengan nama Koroku. Ketika menginap di ke- diaman Hikoemon, Ekei untuk pertama kali mendengar mengenai samurai muda bernama Kinoshita Tokichiro yang belum lama mengabdi pada Nobunaga di Benteng Kiyosu. Di tahun- tahun awal itu, ketika kedudukan Hideyoshi masih jauh di bawah jendral-jendral Nobunaga, Ekei menulis pada Kikkawa Motoharu: Kekuasaan Nobunaga masih akan bertahan lama. Sesudah ia jatuh kelak, Kinoihita Tokichiro-lah orang berikut yang perlu diperhatikan. Ramalan Ekei kemudian terbukti luar biasa jitu. Dua puluh tahun yang lalu ia telah melihat kemampuan yang tersimpan dalam diri Hideyoshi; sepuluh tahun yang lalu ia menebak kehancuran Nobunaga. Namun pada malam itu, ia sendiri tak mungkin menyadari betapa tepat ramalannya. Ekei bukan biksu biasa. Ketika ia masih pem- bantu pendeta yang belajar di Kuil Ankokuji, Motonari, kepala marga Mori yang terdahulu. memerintahkan Ekei masuk ke dalam jajaran pengikutnya. Selama masa hidup Motonari, si Biksu Kecildemikian julukan yang diberikan Motonari pada Ekeimenyertai junjungannya dalam semua operasi militer. Setelah kematian Motonari, Ekei meninggalkan marga Mori dan mengembara ke setiap pelosok Jepang. Ketika kembali, ia diangkat sebagai kepala biksu di Kuil Ankokuji, dan dijadikan penasihat kepercayaan oleh Terumoto, kepala marga Mori yang baru. Sepanjang perang melawan Hideyoshi, Ekei tak henti-hentinya menyarankan perdamaian. Ia mengenal Hideyoshi dengan baik, dan merasa bahwa wilayah Barat takkan sanggup menangkal serangannya. Hal lain yang mempengaruhinya adalah persahabatannya dengan Hikoemon yang telah terjalin lama. Sebelumnya, Ekei dan Hikoemon sudah be- berapa kali bertemu, tapi setiap kali mereka ter- bentur pada masalah yang sama: nasib Muneharu. Maka Hikoemon pun berkata pada Ekei, "Ketika aku berbicara dengan Yang Mulia Kanbei sebelum ini, beliau mengatakan bahwa Yang Mulia Hideyoshi sesungguhnya jauh lebih murah hati daripada yang disangka orang-orang. Beliau mengisyaratkan bahwa seandainya pihak Mori bersedia memberikan satu kelonggaran lagi, perdamaian tentu akan tercapai. Menurut beliau, jika kami mengakhiri pengepungan dan mem- biarkan Jendral Muneharu tetap hidup, akan timbul kesan bahwa pasukan Oda terpaksa mene- rima kesepakatan untuk berdamai. Yang Mulia Hideyoshi tak dapat menyampaikan syarat-syarat tersebut pada Yang Mulia Nobunaga. Satu-satunya persyaratan kami adalah kepala Muneharu. Tentu- nya Tuan takkan menemui kesulitan untuk meng- akhiri masalah ini." Persyaratan yang diungkapkan Hikoemon belum berubah, tapi ia sendiri tampak berbeda sejak pertemuan mereka yang terakhir. "Aku hanya dapat menegaskan kembali posisi- ku," balas Ekei. "Jika marga Mori harus menyerah- kan lima dari kesepuluh provinsinya, dan nyawa Muneharu tidak terselamatkan, berarti mereka gagal mengikuti Jalan Samurai." "Meski demikian, apakah Tuan sempat memas- tikan sikap mereka setelah pertemuan terakhir kita?" "Tak ada perlunya. Pihak Mori takkan pernah menyetujui kematian Muneharu. Mereka meng- hargai kesetiaan lebih tinggi daripada apa pun, dan tak seorang pun, mulai dari Yang Mulia Terumoto sampai pengikutnya yang paling rendah, akan menyesalkan pengorbanan itu, biarpun mereka terpaksa kehilangan seluruh wilayah Barat." Langit mulai terang; di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok. Malam mulai berganti fajar di hari keempat bulan itu. Ekei tidak mau menerima persyaratan Hiko- emon; sebaliknya, Hikoemon pun tidak bersedia mengalah. Mereka kembali menghadapi jalan buntu. "Hmm, tampaknya tak ada lagi yang perlu dikatakan." Ekei menyimpulkan dengan lesu. "Akibat kemampuanku yang terbatas," Hikoe- mon mohon maaf, "aku tak berhasil mencapai titik temu dengan Tuan. Jika Tuan berkenan, aku akan minta Yang Mulia Kanbei untuk menggantikan tempatku." "Aku bersedia bicara dengan siapa saja," jawab Ekei. Hikoemon menyuruh putranya menghubungi Kanbei, yang tak lama kemudian tiba di atas tandunya. Kanbei turun, dan dengan susah payah ia duduk bersama kedua laki-laki lainnya. "Akulah yang meminta agar Yang Mulia Hikoe- mon menemui Tuan Biksu untuk pembicaraan terakhir," ujar Kanbei. "Jadi, bagaimana hasilnya? Begitu sukarkah mencapai kata sepakat? Pem- bicaraan ini sudah berlangsung sejak tengah malam." Keterusterangan Kanbei membangkitkan sema- ngat mereka. Wajah Ekei bertambah cerah dalam cahaya pagi. "Kami telah berusaha," ia berkata sambil tertawa. Dengan alasan harus memper- siapkan penyambutan Nobunaga, Hikoemon mengundurkan diri. "Yang Mulia Nobunaga akan berkunjung selama dua atau tiga hari," kau Kanbei. "Setelah ini, sukar rasanya menemukan waktu untuk melanjutkan perundingan damai." Gaya diplomasi Kanbei sederhana dan lurus, juga amat angkuh. Jika pihak Mori hendak ber- debat mengenai persyaratan, tak ada jalan keluar selain perang. "Jika Tuan dapat membantu pasukan Oda hari ini, masa depan Tuan tentu akan terjamin." Setelah berganti lawan bicara, hilanglah ke- fasihan lidah Ekei. Namun wajahnya tampak lebih bersemangat dibandingkan ketika ia menghadapi Hikoemon. "Jika dapat dipastikan bahwa Muneharu akan melakuan seppuku, aku akan menanyakan masalah penyerahan kelima provinsi kepada Yang Mulia. dan aku yakin beliau bersedia mencari jalan tengah. Tapi bagaimanapun sudikah Tuan me- nyampaikan tawaran kami kepada Jendral Kikkawa dan Jendral Kobayakawa pagi ini? Aku punya firasat ini merupakan penentuan damai dan perang." Mendengar uraian Kanbei, Ekei merasa ter- dorong untuk bertindak. Perkemahan Kikkawa di Gunung Iwasaki hanya berjarak sekitar tiga mil. Perkemahan Kobayakawa di Gunung Hizashi berjarak kurang dari enam mil. Tak lama kemudian, Ekei terlihat memacu kudanya. Setelah mengantar biksu itu, Kanbei men- datangi Kuil Jihoin. Ia mengintip ke kamar Hideyoshi dan menemukannya sedang tidur. Lentera di meja telah padam, minyaknya habis terbakar. Kanbei membangunkan Hideyoshi dan berkata, "Tuanku, hari sudah mulai terang. "Fajar?" tanya Hideyoshi sambil terkantuk- kantuk. Kanbei segera melaporkan pertemuannya dengan Ekei. Hideyoshi merengut, tapi segera bangkit. Para pelayan sudah menunggu di ambang pintu pemandian, siap dengan air, agar Hideyoshi dapat menyegarkan diri. "Begitu selesai makan, aku akan meninjau seluruh perkemahan. Keluarkan kudaku seperti biasa, dan suruh pembantu-pembantuku bersiap- siap," ia memerintahkan sambil mengeringkan wajah. Hideyoshi berkuda di bawah payung besar. didahului oleh panji komandan. Sambil terayun- ayun di pelana, ia lewat di bawah pohon-pohon ceri yang sedang berbunga, di sepanjang jalan dari gerbang kuil ke kaki gunung, Setiap hari Hideyoshi meninjau perkemahan. Waktunya tidak tentu, tapi jarang pada pagi hari. Hari ini ia tampak lebih gembira, dan sesekali ia bersenda gurau dengan para pembantunya, seakan- akan tak ada masalah sama sekali. Tak ada tanda- tanda bahwa kabar mengenai kejadian di Kyoto telah bocor, meski hanya ke anak buahnya sendiri. Setelah memastikannya, dengan santai Hideyoshi kembali ke markas besarnya. Kanbei telah menunggunya di muka gerbang kuil. Pandangannya memberitahu Hideyoshi bahwa misi Ekei berakhir dengan kegagalan. Biksu itu kembali dari perkemahan Mori beberapa saat sebelum Hideyoshi selesai melakukan pemeriksa- an, tapi jawaban yang dibawanya belum berubah:
Jika kami membiarkan Muneharu mati, artinya kami
tidak menaati Jalan Samurai. Kami takkan menerima perdamaian yang memaksa Muneharu mengorbankan nyawa.
"Panggil Ekei ke sini." Hideyoshi memerintah-
kan. Sepertinya ia tidak berkecil hati; semakin lama ia justru tampak semakin optimis. Ia mengajak biksu itu ke dalam sebuah ruangan yang terang dan membuatnya merasa nyaman. Setelah berbincang-bincang mengenai masa lampau dan saling bertukar gosip dari ibu kota, Hideyoshi membelokkan percakapan. Ia mulai menyinggung persoalan utama. "Hmm, kelihatan- nya perundingan damai terhenti karena kedua belah pihak tak dapat mencapai kata sepakat tentang nasib Muneharu. Tidak dapatkah Tuan Ekei menemui Yang Mulia Muneharu secara pribadi, menjelaskan duduk perkaranya padanya, lalu menganjurkan agar dia menyerahkan diri? Orang-orang Mori tak akan memerintahkan pengikut setia melakukan seppuku, tapi jika Tuan menjelaskan kesulitan mereka kepadanya, Mune- haru dengan senang hati akan memberikan nyawanya. Bagaimanapun, kematiannya akan menyelamatkan nyawa orang-orang di dalam benteng dan menghindarkan marga Mori dari kehancuran." Setelah mengemukakan pandangan- nya, Hideyoshi mendadak berdiri dan pergi.
Di dalam Benteng Takamatsu, nasib lebih dari
lima ribu prajurit dan warga sipil terancam bahaya. Para jendral Hideyoshi telah membawa tiga kapal besar, dilengkapi meriam, melintasi pe- gunungan, dan telah mulai menembaki benteng. Salah satu menara sudah nyaris runtuh, dan akibat penembakan itu, tak sedikit yang mati atau cedera. Ditambah lagi masih musim hujan, dan semakin banyak orang jatuh sakit. Persediaan makanan pun membusuk dalam udara lembap. Pasukan bertahan telah mengumpulkan pintu- pintu dan papan-papan, dan membuat beberapa perahu untuk menyerang kapal-kapal perang Hideyoshi. Dua atau tiga perahu berhasil diteng- gelamkan, tapi mereka yang selamat segera berenang ke benteng dan melancarkan serangan kedua. Ketika pasukan Mori tiba, dan umbul-umbul serta panji-panji mereka terlihat berkibar-kibar, orang-orang di dalam benteng menyangka mereka sudah selamat. Namun tak lama kemudian mereka pun menyadari situasi sesungguhnya. Jarak antara pasukan penyelamat dan mereka sendiri, serta kesulitan operasional yang timbul karena itu, tak memungkinkan tindakan penyelamatan. Tapi, meski kecewa, mereka tidak kehilangan semangat juang. Justru sebaliknya, kini mereka bertekad untuk mati. Ketika sebuah pesan rahasia dari pihak Mori mengizinkan Muneharu menyerah guna menye- lamatkan orang-orang di dalam benteng, ia mem- balas dengan geram, "Kami belum pernah belajar menyerah. Pada saat seperti ini, kami semua siap menghadapi ajal." Pada pagi hari keempat di Bulan Keenam, para penjaga di tembok benteng melihat sebuah perahu kecil menuju ke arah mereka, dari tepi danau yang dikuasai musuh. Seorang samurai memegang dayung, dan satu-satunya penumpang adalah seorang biksu. Ekei datang untuk meminta Muneharu melaku- kan seppuku. Muneharu mendengarkan penjelasan si biksu tanpa berkata apa-apa. Baru setelah Ekei selesai, dan seluruh tubuhnya bersimbah peluh. Muneharu angkat bicara, "Hmm, ini memang hari keberuntunganku. Kalau aku memandang wajah Tuan, aku tahu bahwa ucapan Tuan bebas dari kepalsuan." Ia tidak mengatakan apakah ia setuju atau tidak. Pikiran Muneharu telah jauh melampaui per- setujuan dan penolakan. "Sudah beberapa lama Yang Mulia Kobayakawa dan Yang Mulia Kikkawa mencemaskan diriku yang tak berarti ini, dan aku bahkan disarankan agar menyerah. Sekarang, jika kata-kata Tuan dapat kupercaya, keamanan marga Mori telah terjamin, dan orang-orang di dalam benteng pun akan selamat. Kalau memang begitu, tak ada alasan bagiku untuk menolak. Malah sebaliknya, ini merupakan kegembiraan besar bagiku. Kegembiraan besar!" ia mengulangi dengan sungguh-sungguh. Ekei gemetar. Ia tak menyangka tugasnya akan demikian mudah, bahwa Muneharu akan demiki- an gembira menyambut maut. Namun di balik itu, ia pun merasa malu. Ia biksu, tapi apakah ia memiliki keberanian untuk menghadapi kematian seperti itu jika saatnya telah tiba? "Kalau begitu, Yang Mulia setuju?" "Ya." Tak perlukah Yang Mulia mcmbicarakan urusan ini dengan keluarga Yang Mulia?" "Nanti saja kusampaikan keputusanku pada mereka. Seharusnya mereka turut bersukacita ber- samaku." "Danwah, ini sungguh sukar untuk dibicara- kan, tapi masalahnya cukup mendesakkabarnya tak lama lagi Yang Mulia Nobunaga akan tiba di sini." "Waktu tak ada artinya. Kapan aku diharapkan mengakhiri urusan ini?" "Hari ini. Yang Mulia Hideyoshi memberi batas waktu sampai jam Kuda, berarti lima jam dari sekarang." "Kalau selama itu," ujar Muneharu, "aku takkan mengalami kesulitan dalam mempersiapkan kematianku."
***
Pertama-tama Ekei melaporkan tanggapan Mune-
haru pada Hideyoshi, kemudian ia memacu kudanya ke perkemahan Mori di Gunung Iwasaki. Baik Kikkawa maupun Kobayakawa dibuat cemas oleh kedatangan Ekei yang mendadak. "Apakah mereka memutuskan perundingan?" tanya Kobayakawa. "Tidak." jawab Ekei. "Sudah ada tanda-tanda keberhasilan." "Hmm, kalau begitu, Hideyoshi bersedia me- ngalah?" Kobayakawa kembali bertanya. Ia tampak agak kaget. Namun Ekei menggelengkan kepala. "Orang yang paling mendambakan penyelesaian damai telah menawarkan untuk mengorbankan diri demi perdamaian." "Siapa yang kaumaksud?" "Yang Mulia Muneharu. Beliau berpesan bahwa dia hendak menebus segala kebaikan Yang Mulia Terumoto selama ini dengan nyawanya." "Ekei, apakah kau bicara dengannya atas per- mintaan Hideyoshi?" "Yang Mulia tahu bahwa hamba tak mungkin mendatangi benteng tanpa izin beliau." "Kalau begitu kau menjelaskan situasinya pada Muneharu, dan dia menawarkan diri untuk melakukan seppuku atas kemauannya sendiri?- "Ya. Beliau akan menyerahkan nyawanya pada Jam Kuda, di atas perahu yang terlihat jelas oleh kedua belah pihak. Pada saat itulah perjanjian damai mulai berlaku, nyawa orang-orang di dalam benteng akan terselamatkan, dan keamanan marga Mori akan terjamin untuk selama-lamanya." Sambil menahan gejolak batinnya. Kobayakawa bertanya, "Bagaimana tanggapan Hideyoshi ?" "Perasaan Yang Mulia Hideyoshi pun tergugah ketika beliau mendengar tawaran Jendral Mune- haru. Beliau berkata bahwa hanya orang berhati batu yang akan menutup mata terhadap kesetiaan tanpa tandingan itu. Karena itu, walaupun Yang Mulia telah berjanji untuk menyerahkan lima provinsi, beliau hanya akan mengambil tiga, dan membiarkan kedua provinsi lainnya, sebagai peng- hargaan atas pengorbanan Muneharu. Jika tidak ada keberatan, beliau akan mengirim perjanjian tertulis segera sesudah menyaksikan seppuku Muneharu." Tak lama setelah Ekei pergi, Muneharu mengumumkan keputusannya. Satu per satu para samurai Benteng Takamatsu menghadap jun- jungan mereka dan memohon agar diperkenankan mengikuti jejaknya. Muneharu berdebat, mem- bujuk, dan memarahi mereka, tapi para samurai tak mundur sedikit juga. Ia kehabisan akal, tapi akhirnya ia tidak meluluskan permohonan satu orang pun. Ia memberikan perintah pada seorang pem- bantunya untuk menyiapkan perahu. Isak tangis memenuhi benteng. Setelah permohonan para pengikutnya ditolak dan Muneharu tampak agak lebih lega, Gessho, kakaknya, mendatanginya untuk mengajaknya bicara. "Aku mendengar semua yang kaukatakan," ujar Gessho. "Tapi tak ada alasan bagimu untuk menyerahkan nyawa. Biarkan aku menggantikan tempatmu.' "Kakak, kau biksu, sedangkan aku jendral. Kuhargai tawaranmu, tapi aku tak mungkin mem- biarkan orang lain menggantikan tempatku." "Akulah putra sulung, dan seharusnya aku yang membawa nama keluarga. Tapi aku meninggalkan kehidupan duniawi, sehingga tanggung jawabku terpaksa kauambil alih. Jadi sekarang, pada waktu kau harus melakukan seppuku, tak ada alasan bagi- ku untuk meneruskan apa yang tersisa dari hidupku sendiri." "Apa pun yang kaukatakan," balas Muneharu, "aku takkan mcmbiarkan kau atau siapa pun melakukan seppuku demi aku." Muneharu menolak tawaran Gessho, tapi meng- izinkannya ikut dalam perahu. Muneharu merasa tenteram. Ia memanggil pelayan pribadinya dan menyuruhnya menyiapkan kimono kebesaran ber- warna biru muda untuk menyambut kematian. "Bawakan juga kuas dan tinta untukku," ia memerintahkan ketika teringat untuk menulis surat kepada istri dan putranya. Jam Kuda mendekat dengan cepat. Sudah lama setiap tetes air minum dianggap menentukan bagi nyawa orang-orang di dalam benteng, tapi sekarang ia minta diambilkan seember air untuk member- sihkan semua kotoran yang melekat pada badan- nya selama pengepungan berlangsung. Betapa damai suasana di sela pertempuran ini, Matahari tampak lugu di angkasa. Tak ada angin sedikit pun, dan air berlumpur di semua sisi benteng tetap sekeruh biasanya. Gelombang-gelombang kecil yang menjilat-jilat tembok benteng berkilauan dalam cahaya mata- hari, dan dari waktu ke waktu teriakan bangau putih memecah keheningan. Sebuah bendera kecil berwarna merah dinaik- kan ke Hidung Katak di tepi seberang, menanda- kan waktunya telah tiba. Muneharu berdiri dengan tiba-tiba. Para pembantunya tak kuasa mengendali- kan perasaan. Muneharu cepat-cepat menuju tembok benteng, seakan-akan mendadak tuli. Tarikan dayung menimbulkan riak berpola tak teratur pada permukaan danau. Perahu itu berisi lima penumpang: Muneharu, Gessho, dan tiga pengikut. Semua laki-laki, perempuan, dan anak- anak di dalam benteng berkerumun di atas tembok. Mereka tidak meratap ketika menyaksikan kepergian Muneharu, melainkan hanya merapat- kan tangan untuk berdoa atau mengusap air mata. Perahu itu meluncur pelan pada permukaan danau. Ketika ia menoleh, Gessho melihat Benteng Takamatsu sudah jauh di belakang, dan bahwa perahu mereka berada di tengah-tengah antara benteng dan Hidung Katak. "Cukup sampai di sini." Muneharu berkata kepada orang yang memegang dayung. Tanpa berkata apa-apa orang itu mengangkat dayungnya dari air. Mereka tak perlu menunggu lama-lama. Ketika perahu mereka berangkat dari benteng, perahu lain bertolak dari Hidung Katak. Perahu itu membawa saksi dari pihak Hideyoshi, Horio Mosuke. Sebuah bendera merah berukuran kecil terpasang pada haluan perahu, dan karpet ber- warna merah digelar di dasarnya. Perahu Muneharu berayun pelan, mengikuti irama gelombang ketika menunggu sampai perahu Mosuke merapat. Danau diliputi suasana damai. Gunung-gunung di sekitar diliputi suasana damai. Satu-satunya bunyi yang terdengar adalah suara kayuhan dari perahu yang tengah mendekat. Muneharu menghadap ke arah perkemahan Mori di Gunung Iwasaki, dan membungkuk. Dalam hati ia mengucapkan terima kasih atas perlindungan yang diterimanya selama bertahun- tahun. Ketika melihat panji-panji junjungannya, matanya berkaca-kaca. "Apakah perahu ini membawa jendral pembela Benteng Takamatsu, Shimizu Muneharu?" Mosuke bertanya. "Tuan benar." Muneharu menjawab sopan. "Akulah Shimizu Muneharu. Aku datang untuk melakukan seppuku sebagai syarat perjanjian damai." "Ada hal lain yang perlu kusampaikan, jadi tunggulah sejenak." ujar Mosuke. "Rapatkan perahu," ia lalu berkata pada pengikut Muneharu yang memegang dayung. Pinggiran kedua perahu saling mendekat. sampai akhirnya bergesekan. Mosuke lalu berkata penuh wibawa. "Aku mem- bawa pesan dari Yang Mulia Hideyoshi. Perdamai- an takkan tercapai tanpa persetujuan Tuan dalam urusan ini. Pengepungan berkepanjangan tentu melelahkan bagi Tuan, dan Yang Mulia Hideyoshi berharap Tuan sudi menerima persembahan ini sebagai tanda penghargaan beliau. Jangan risau jika matahari semakin tinggi di langit. Selesaikanlah perpisahan ini sesuka hati Tuan." Segentong kecil sake terbaik dan berbagai hidangan lezat dipindahkan dari perahu ke perahu. Wajah Muneharu berseri-seri. "Ini sungguh tak terduga. Jika ini kehendak Yang Mulia Hideyoshi, dengan senang hati aku akan mencicipi semua- nya." Muneharu juga menuangkan sake untuk rekan-rekannya. "Mungkin karena sudah lama aku tak pernah mereguk sake sebaik ini, aku merasa agak mabuk. Maafkanlah permintaanku yang janggal ini, jendral Horio, tapi aku ingin menari untuk terakhir kali." Lalu, sambil berpaling pada rekan-rekannya, ia bertanya, "Kita tidak membawa rebana, tapi bersediakah kalian menembang dan bertepuk tangan untuk mengatur irama? Muneharu berdiri di perahu kecil itu dan mem- buka kipas berwarna putih. Ketika ia bergerak seirama tepuk tangan, perahunya terayun-ayun. menimbulkan gelombang kecil pada permukaan danau. Mosuke menundukkan kepala, tak sanggup menyaksikan adegan itu. Begitu tembangnya berakhir, Muneharu sekali lagi angkat bicara dengan tegas, "Jendral Mosuke, harap perhatikan ini baik-baik." Mosuke mengangkat wajah dan melihat bahwa Muneharu telah berlutut dan membelah perut dengan pedangnya. Bagian dalam perahu menjadi merah karena darah yang menyembur. "Saudaraku, aku akan menyusul!" Gessho ber- seru, lalu menyayat perutnya. Setelah para pengikut Muneharu menyerahkan kotak berisi kepala junjungan mereka pada Mosuke dan kembali ke benteng, mereka pun mengikuti langkahnya. Pada waktu Mosuke tiba di Kuil Jihoin, ia melaporkan seppuku Muneharu dan meletakkan kepalanya di hadapan kursi Hideyoshi . "Sayang sekali," Hideyoshi berkeluh. "Muneharu samurai yang sangat baik." Belum pernah ia kelihatan demikian terharu. Tapi tak lama kemudian ia menyuruh Ekei menghadap. Ketika si biksu tiba, Hideyoshi segera memperlihatkan sebuah dokumen. "Kini kita tinggal saling menukar surat per- janjian. Bacalah apa yang kutulis, lalu aku akan mengirim utusan untuk mengambil surat perjanji- an dari pihak Mori." Ekei mempelajarinya, kemudian mengembali- kannya pada Hideyoshi dengan penuh hormat. Hideyoshi minta diambilkan kuas dan membubuh- kan tanda tangan. Ia lalu mengiris kelingking dan menempelkan segel darah di sebelah tanda tangan- nya. Perjanjian damai telah resmi berlaku. Beberapa jam sesudah itu, rasa kaget melanda perkemahan Mori bagaikan angin puyuh, akibat laporan mengenai kematian Nobunaga. Di markas Terumoto, orang-orang yang sejak semula menen- tang upaya perdamaian kini angkat bicara dengan geram. Mereka menuntut agar pasukan Mori segera melancarkan serangan terhadap Hideyoshi. "Kita ditipu!" "Bajingan itu memperdaya kita!" "Perjanjian damai itu harus disobek-sobek!" "Kita tidak dikelabui," Kobayakawa berkata dengan tegas. "Kitalah yang memprakarsai pe- rundingan damai, bukan Hideyoshi. Dan dia pun tak mungkin meramalkan bencana di Kyoto." Kikkawa, mewakili mereka yang hendak me- neruskan perang, mendesak Terumoto. "Kematian Nobunaga pasti membawa perpecahan dalam pasukan Oda; mereka takkan sanggup menandingi kita sekarang. Hideyoshi-lah yang paling ber- peluang menggantikan Nobunaga. Kita takkan mengalami kesulitan menyingkirkan dia jika kita menyerang sekarang dan di sini, terutama meng- ingat kelemahan barisan belakangnya. Dengan cara itu, kita akan menjadi penguasa seluruh negeri." "Tidak, tidak, Aku tidak setuju,'' ujar Kobayakawa. "Hanya Hideyoshi yang dapat mengembalikan perdamaian dan ketertiban. Selain itu, pepatah lama di kalangan samurai mewanti- wanti agar jangan menyerang musuh yang tengah berduka. Seandainya kita merobek-robek per- janjian itu dan menyerang Hideyoshi, kalau sampai selamat, dia pasti akan kembali untuk menuntut balas." "Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini," Kikkawa berkeras. Sebagai upaya terakhir, Kobayakawa menying- gung pesan terakhir bekas junjungan mereka, "Marga harus mempertahankan batas-batasnya sendiri. Tak pengaruh seberapa kuat atau kayanya kita kelak, kita tak boleh melebarkan wilayah melampaui provinsi-provinsi Barat." Tiba waktunya bagi pemimpin marga Mori untuk mengumumkan keputusan. "Aku sepen- dapat dengan pamanku, Kobayakawa. Kita tidak akan melanggar perjanjian perdamaian dan men- jadikan Hideyoshi musuh untuk kedua kalinya." Pertemuan rahasia mereka berakhir pada malam hari keempat di bulan iiu. Ketika kedua jendral berjalan kembali ke perkemahan mereka, mereka berjumpa dengan serombongan pengintai. Perwira yang memegang komando menunjuk ke kegelapan dan berkata, "Pihak Ukita sudah mulai menarik pasukan." Kikkawa mendengarkan laporan itu dan ber- decak. Kesempatan mereka telah berlalu. Kobaya- kawa membaca pikiran kakaknya. "Kau masih diliputi penyesalan?" "Tentu saja." "Hmm, andai kata kita memang berhasil meng- ambil alih kekuasaan atas seluruh negeri," Kobaya- kawa melanjutkan, "kaupikir kau yang akan me- megang tampuk pemerintahan?" Hening sejenak. "Kau membisu. Berarti kau sendiri menyangsi- kannya. Jika negeri ini dipimpin oleh seseorang yang tak memiliki kemampuan yang diperlukan, kekacauanlah akibatnya. Dan kekacauan itu tak- kan berhenti dengan kehancuran marga Mori." "Kau tak perlu berkata apa-apa lagi, aku paham," ujar Kikkawa sambil memalingkan wajah. Dengan sedih ia memandang langit malam di atas provinsi- provinsi Barat, dan berjuang untuk membendung air mata yang bergulir di pipinya. (Created by syauqy_arr Upacara Berdarah
PASUKAN Oda harus segera munduritulah
alasan di balik perjanjian perdamaian, dan malam itu juga sekutu Hideyoshi, orang-orang Ukita, mulai menarik pasukan. Tapi tak satu prajurit pun ditarik dari perkemahan utama Hideyoshi. Pada pagi hari kelima, Hideyoshi belum juga bergerak. Walaupun pikirannya sudah melayang ke ibu kota, ia tidak memperlihatkan gelagat hendak mem- bongkar perkemahannya. "Hikoemon, seberapa jauh air sudah surut?" "Sekirar satu meter." "Jangan biarkan surut terlalu cepat." Hideyoshi keluar ke pekarangan kuil. Meski tanggul telah dijebol dan permukaan danau mulai turun sedikit demi sedikit. Benteng Takamatsu masih terkepung hamparan air. Malam sebelum- nya salah satu bawahan telah mendatangi benteng itu untuk menerima pernyataan menyerah. Dan kini pasukan bertahan tengah diungsikan. Ketika malam tiba, Hideyoshi mengutus se- seorang untuk memata-matai pasukan Mori. Kemudian ia berunding dengan Kanbei dan para jendral lain, lalu segera mengadakan persiapan untuk membongkar perkemahan. "Suruh orang- orang segera menjebol tanggul." ia memerintahkan pada Kanbei. Tanggul itu kini dijebol di sepuluh tempat. Hampir seketika air mulai bergolak. Pusaran air yang tak terhitung jumlahnya muncul ketika air danau menerjang keluar bagai gelombang pasang. Mana yang lebih cepat, air danau atau Hide- yoshi, yang kini memacu kudanya ke arah timur? Tempat-tempat tinggi di sekitar benteng dengan cepat berubah menjadi dataran kering, sementara tempai-tempat rendah dilintasi oleh sejumlah sungai; jadi, biarpun pasukan Mori hendak mengejar, mereka belum dapat menyeberang selama dua-tiga hari lagi. Pada hari ketujuh, Hideyoshi tiba di tempat penyeberangan Sungai Fukuoka, dan menemukan sungai itu tengah banjir. Para prajurit membuat bantalan pelindung untuk kuda-kuda mereka dengan mengikatkan barang-barang bawaan, lalu menyeberang, membentuk rantai manusia dengan bergandengan tangan atau dengan menggenggam gagang tombak yang dibawa oleh orang di depan. Hideyoshi yang pertama melintasi sungai itu. dan ia duduk di kursinya di tepi seberang. "Jangan panik! Jangan terburu-buru!" ia berseru. Sepertinya ia sama sekali tak terganggu oleh angin dan hujan. "Kalau satu orang tenggelam, musuh akan menga- takan kita kehilangan lima ratus; kalau kalian kehilangan sepotong barang, mereka akan bilang seratus, jangan sia-siakan nyawa atau senjata di sini." Barisan belakang kini bergabung dengan pasukan utama, dan dengan kesatuan demi kesatuan saling menyusul, kedua tepi sungai dipenuhi prajurit. Komandan barisan belakang menghadap Hideyoshi dan melaporkan keadaan di Takamatsu. Penarikan pasukan telah rampung, dan tetap tidak ada tanda-tanda dari pihak Mori. Kelegaan yang dirasakan Hideyoshi terbaca jelas di wajahnya. Sepertinya baru sekarang ia merasa benar-benar aman; kini ia dapat menyalurkan segenap tenaganya ke satu arah. Pada pagi hari kedelapan, pasukan itu kembali ke Himeji. Berlumuran lumpur, lalu diterpa hujan badai, para prajurit menempuh sekitar enam puluh mil dalam satu hari. "Yang pertama-tama ingin kulakukan," Hide- yoshi berkata pada pembantunya, "adalah mandi." Komandan benteng bersujud di hadapan Hideyoshi. Setelah mengucapkan selamat datang, ia memberitahukan bahwa dua kurir telah tiba. salah satunya dari Nagahama dengan berita penting. "Aku akan menemui mereka sehabis mandi. Aku minta air panas yang banyak. Baju tempur dan pakaian dalamku sampai basah kuyup karena hujan." Hideyoshi berendam dalam bak berisi air panas. Matahari pagi tampak indah, seakan-akan dibing- kai oleh jendela pemandian; cahayanya menembus lewat kisi-kisi dan menerpa wajahnya, terapung- apung dalam uap air. Hideyoshi meloncat keluar dari bak menimbul- kan suara bagaikan air terjun. "Hei, tolong gosok punggungku!" serunya. Kedua pelayan yang menunggu di luar bergegas masuk. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, mereka menggosok-gosok tubuhnya, mulai dari tengkuk sampai ke ujung jari. Tiba-tiba Hideyoshi tertawa dan berkata. "Wah. lihat kotorannya! Ketika menatap dasar sekitar kakinya, ia melihat kotoran yang terlepas dari badannya menyerupai kotoran burung. Bagaimana mungkin orang itu memiliki penam- pilan demikian berwibawa di medan perang? Tubuhnya yang telanjang tampak kurus meng- ibakan hati. Memang benar, tenaganya terkuras habis selama operasi di wilayah Barat yang ber- langsung lima tahun, tapi pada dasarnya tubuhnya yang berusia empat puluh enam tahun memang kurang berisi. Sekarang pun bayang-bayang bocah petani dari Nakamura, yang miskin dan kurus, masih terlihat. Tubuhnya bagaikan pohon cemara yang merana di celah-celah bebatuan, atau seperti pohon prem kerdil yang digerogoti angin dan saljukuat, namun menunjukkan tanda-tanda ketuaan. Tapi tidaklah adil membandingkan usia dan perawakannya dengan orang biasa. Kulit maupun tubuhnya penuh vitalitas. Bahkan adakalanya ia tampak seperti orang muda jika sedang gembira atau marah. Ketika mengeringkan ludah sehabis mandi. Hideyoshi memanggil seorang pelayan dan berkata, "Ini harus segera diumumkan: Pada tiupan sangkakala pertama, seluruh pasukan harus makan; pada tiupan kedua, korps perbekalan harus berangkat, pada tiupan ketiga, seluruh pasukan harus berkumpul di muka benteng." Hideyoshi lalu memanggil Hikoemon serta orang-orang yang bertanggung jawab atas keuangan dan perbekalan. "Berapa isi kas kita?" tanya Hideyoshi. "Sekitar tujuh ratus lima puluh satuan perak, dan lebih dari delapan ratus keping emas," seorang petugas menjawab. Hideyoshi berpaling pada Hikoemon dan memerintahkan. "Ambil semuanya dan bagi-bagi- kan kepada para prajurit, sesuai upah masing- masing." Kemudian ia menanyakan berapa banyak beras yang tersimpan dalam gudang-gudang, sambil berkomentar. "Kita tidak menghadapi penge- pungan di sini, jadi kita tak perlu menimbun beras banyak-banyak. Bagikan beras sebanyak lima kali jatah biasa kepada para pengikut." Ia meninggalkan pemandian dan langsung me- nuju tempat kurir dari Nagahama menunggu. Ibu dan istrinya berada di Nagahama, dan ia terus dihantui kecemasan mengenai mereka. Begitu Hideyoshi melihat kurir itu bersujud di hadapannya, ia bertanya. "Mereka baik-baik saja, bukan? Apakah terjadi sesuatu?" "Ibunda maupun istri Yang Mulia dalam keadaan sehat." "Benarkah? Kalau begitu, apakah benteng di Nagahama berada di bawah serangan?" "Hamba diutus dari Nagahama pada pagi hari keempat, ketika segerombolan musuh mulai menyerang." "Orang-orang Akechi?" "Bukan, mereka ronin Asai yang bersekutu dengan marga Akechi. Tapi menurut desas-desus yang hamba dengar dalam perjalanan, pasukan Akechi berkekuatan besar sedang menuju Naga- hama." "Bagaimana rencana orang-orang di Nagahama?" "Kekuatan mereka tidak memadai untuk meng- hadapi pengepungan, jadi dalam keadaan darurat, mereka berencana mengungsikan keluarga Yang Mulia ke sebuah tempat persembunyian di pe- gunungan." Si kurir meletakkan sepucuk surat di hadapan Hideyoshi. Surat itu dari Nene. Sebagai istri sang Penguasa Benteng, ia berkewajiban mengurus segala sesuatu sementara suaminya pergi. Walau- pun surat itu tentu ditulis di tengah badai kebingungan dan kebimbangan, coretan kuasnya tampak rapi. Namun isi suratnya jelas-jelas meng- isyaratkan bahwa surat tersebut mungkin yang terakhir.
Jika keadaan bertambah buruk, hamba menjamin
bahwa istri Tuanku takkan berbuat apa pun yang dapat menodai nama tuanku. Satu-satunya kepentingan ibunda tuanku serta hamba adalah bahwa tuanku dapat mengatasi segala kesulitan dalam masa rawan ini.
Tiupan sangkakala pertama terdengar nyaring di
benteng dan di kota. Hideyoshi memberikan wejangan terakhir pada para pengikutnya di Benteng Himeji. "Kemena- ngan atau kekalahan ditentukan oleh takdir, tapi seandainya aku gugur di tangan Mitsuhide, bakar- lah benteng ini sehingga tak ada yang tersisa. Kita harus bersikap gagah, mengikuti contoh yang di- berikan orang-orang yang menemui ajal di Kuil Honno." Tiupan kedua berkumandang dan iring-iringan perbekalan pun mulai bergerak. Pada waktu matahari hendak terbenam di barat. Hideyoshi memerintahkan agar kursinya dipindahkan ke luar benteng, dan menyuruh seorang prajurit meniup sangkakala untuk ketiga kalinya. Kegelapan malam mulai menyelubungi belang-belang luas serta pohon-pohon pinus yang berderet-deret di sepan- jang jalan pesisir. Dari senja sampai lewat tengah malam, tanah terasa bergetar ketika sepuluh ribu prajurit bergabung dengan divisi masing-masing di luar Benteng Himeji. Fajar menyingsing, dan satu per satu siluet pohon-pohon pinus di jalan pesisir mulai tampak. Di timur, matahari merah muncul di cakrawala di atas lain Harima, menguak awan, seakan hendak memacu semangat para prajurit. "Lihat!" Hideyoshi berseru. "Kita diberi angin baik. Panji-panji dan pataka kita berkibar ke arah timur. Aku tahu bahwa nasib manusia tak dapat dipastikan. Kita tidak tahu apakah kita akan hidup sampai fajar berikut, tapi para dewa menunjukkan jalan ke depan. Mari kita kumandangkan teriakan perang yang nyaring, agar para dewa mengetahui keberangkatan kita."
Dalam sepuluh hari sejak kematian Nobunaga,
situasi nasional berubah dramatis. Di Kyoto, orang-orang resah sejak peristiwa Kuil Honno. Kedua jendral senior Nobunaga, Shibata Katsuie, dan Takigawa Kazumasu, berada di tempat jauh; Tokugawa Ieyasu telah kembali ke provinsi asalnya: pendirian Hosokawa Fujitaka dan Tsutsui Junkei tidak jelas, dan Niwa Nagahide berada di Osaka. Desas-desus bahwa pasukan Hideyoshi telah tiba di Amagasaki, di dekat Kyoto, menyebar bagai- kan angin pada pagi hari kesebelas. Banyak yang tidak mempercayainya. Kabar selentingan yang beredar memang tidak sedikitbahwa Yang Mulia Ieyasu menuju ke Barat; bahwa Nobuo, yang tertua di antara putra-putra Nobunaga yang masih hidup, sedang menyiapkan serangan balasan; bahwa pasukan Akechi terlibat pertempuran di sini atau di sana. Desas-desus yang paling dapat dipercaya adalah bahwa pasukan Hideyoshi ditahan di Taka- matsu oleh pihak Mori. Hanya mereka yang mengenal Hideyoshi dengan baik luput dari ang- gapan keliru ini. Kecakapan yang diperlihatkan Hideyoshi dalam penyerbuan ke wilayah Barat selama lima tahun terakhir telah menyadarkan sejumlah jendral Nobunaga akan kemampuan yang dimilikinya. Di antara orang-orang ini terdapat Niwa Nagahide, Nakagawa Sebei, Takayama Ukon, dan Ikeda Shonyu. Mereka memandang keteguhan Hide- yoshi di bawah kesengsaraan berkepanjangan se- bagai bukti kesetiaan tak tergoyahkan terhadap bekas junjungan mereka. Ketika mendengar bahwa Hideyoshi telah berdamai dengan marga Mori dan sedang menuju ibu kota, mereka gembira bahwa harapan-harapan mereka tidak dikecewakan. Pada waktu Hideyoshi menempuh perjalanan ke arah timur, mereka mengirim pesan-pesan penting kepadanya, mendesaknya agar bergerak secepat mungkin, dan terus melaporkan pergerakan ter- akhir pasukan Akechi. Saat Hideyoshi mencapai Amagasaki, Nakagawa Sebei dan Takayama Ukon membawa sebagian pasukan masing-masing dan berkunjung ke per- kemahan Hideyoshi. Ketika kedua jendral itu tiba, samurai yang ber- tugas jaga tidak kelihatan terlalu gembira karena kehadiran mereka, dan ia pun tidak bergegas mengumumkan kedatangan keduanya. "Yang Mulia sedang beristirahat sekarang," katanya pada mereka. Baik Sebei maupun Ukon tercengang. Mereka sangat sadar akan nilai mereka sebagai sekutu. Kekuaran militer orang yang memperoleh du- kungan mereka akan berlipat ganda. Selain itu, benteng-benteng mereka menguasai jalan masuk ke Kyoto. Dengan mengamankan kedua benteng kunci tersebut, yang terletak hampir di tengah- tengah wilayah musuh. Hideyoshi akan mem- peroleh keuntungan strategis dan logistik yang luar biasa. Jadi, ketika mendatangi perkemahan Hideyoshi. mereka menganggap sudah sewajarnya kalau Hide- yoshi sendiri yang keluar untuk menyambut mereka. Kedua jendral itu tak dapat berbuat apa- apa selain menunggu. Selama itu, mereka meng- amati orang-orang yang terlambat tiba. Kurir-kurir pun datang dan pergi ke segala arah. Di antara mereka ada satu orang yang dikenali oleh Nakagawa Sebei. "Bukankah itu samurai Hosokawa?" gumamnya. Bukan rahasia lagi bahwa Mitsuhide dan Hosokawa Fujitaka teramat dekat. Kedua orang itu berteman akrab selama bertahun-tahun, dan kedua keluarga mereka dihubungkan oleh ikatan per- kawinan. Kenapa kurir marga Hosokawa ada di sini? Sebei bertanya dalam hati. Urusan tersebut tidak menyangkut kedua jendral yang tengah menunggu Hideyoshi saja, melainkan seluruh bangsa. "Penjaga tadi mengaku Yang Mulia Hideyoshi sedang tidur, tapi aku yakin dia bohong. Apa pun yang sedang dilakukannya, sikap Hideyoshi tak dapat diterima," Ukon menggerutu. Mereka sudah hendak pergi ketika salah satu pelayan pribadi Hideyoshi bergegas menghampiri mereka, dan mengundang keduanya ke kuil yang dijadikan markas oleh Hideyoshi. Hideyoshi tidak berada di dalam ruangan yang mereka masuki, tapi bisa dipastikan bahwa ia telah bangun agak lama. Tawa berderai terdengar dari ruang Kepala Biara. Bukan seperti ini sambutan yang diharapkan oleh kedua jendral. Mereka telah datang untuk ber- sekutu dengan Hideyoshi dan menghukum Mitsuhide. Ukon tampak dongkol, kegetiran yang dirasakannya dalam hati terbaca pada wajahnya; Sebei merengut. Hawa panas yang menyesakkan napas semakin memperkuat ketidakpuasan mereka. Musim hujan seharusnya sudah berakhir, tapi udara masih saja lembap. Di langit, awan-awan bergerak tanpa aturan, seolah-olah mencerminkan keadaan yang melanda seluruh negeri. Dari waktu ke waktu sinar matahari menembus lapisan awan. "Panas sekali, Sebei," Ukon berkomentar. "Ya, dan tidak ada angin sama sekali." Kedua orang itu tentu saja mengenakan baju tempur lengkap. Baju tempur kini memang sudah lebih ringan dan lentur, namun tak pelak lagi bahwa di bawah pelindung dada mereka, keringat mengalir seperti sungai. Sebei membuka kipas dan mengayun-ayunkan- nya. Lalu, untuk menunjukkan bahwa kedudukan mereka tidak di bawah Hideyoshi, Sebei dan Ukon sengaja menduduki kursi yang disediakan bagi orang-orang dengan pangkat tertinggi. Saat itulah seseorang menyapa mereka dengan riang, Hideyoshi. Begitu duduk di hadapan mereka, ia segera mohon maaf sedalam-dalamnya. "Aku sungguh menyesal telah bersikap kasar. Ketika bangun tadi, aku langsung pergi ke kuil utama, dan sementara kepalaku dicukur, seorang kurir dari Hosokawa Fujitaka tiba dengan pesan penting. Jadi aku lebih dulu berbicara dengannya, sehingga Tuan-Tuan terpaksa menunggu," ia ber- kata sambil menepuk-nepuk kepalanya yang kini tanpa rambut. Ia duduk dengan gayanya yang biasa, tanpa memedulikan pangkat. Kedua tamunya terkesima, dan pandangan mereka melekat pada kepala Hideyoshi yang gundul, yang memantulkan kehijauan pepohonan di kebun yang berdekatan. "Paling milik, sekarang kepalaku terasa sejuk," Hideyoshi menambahkan sambil menangis. "Men- cukur rambut sampai habis memang sangat menyegarkan." Ia tampak agak salah tingkah, dan terus meng- gosok-gosok kepalanya. Ketika Sebei dan Ukon mengetahui bahwa Hideyoshi sampai mencukur kepala demi Nobunaga, mereka segera menying- kirkan segala ketidaksenangan, dan justru merasa malu atas kepicikan mereka. Masalahnya, setiap kali menatap Hideyoshi, mereka seakan-akan dipaksa tertawa. Walaupun tak ada lagi yang secara terang-terangan memanggil- nya Monyet, julukan lama serta penampilannya kini memancing rasa geli. "Kecepatanmu mengejutkan kami." Sebei mem- buka percakapan. "Kau tentu tidak tidur antara sini dan Takamatsu. Kami lega melihatmu dalam keadaan sehat," ia melanjutkan sambil berjuang menahan tawa. Hideyoshi berkata dengan manis, "Aku sungguh menghargai laporan-laporan yang kalian kirimkan padaku. Berkat laporan-laporan itulah aku dapat mengetahui pergerakan pasukan Akechi, dan yang lebih penting, mengetahui bahwa kalian merupa- kan sekutuku." Tapi baik Sebei maupun Ukon tidak sebegitu bodoh, hingga termakan oleh sanjungan seperti itu. Hampir tanpa menanggapi komentar Hide- yoshi, mereka segera mulai memberikan saran- saran padanya. "Kapan kau akan bertolak ke Osaka? Yang Mulia Nobutaka ada di sini bersama Niwa." "Sekarang ini aku tidak ada waktu untuk pergi ke Osaka; bukan di sini tempat musuh bercokol. Tadi pagi aku sudah mengirim sebuah pesan ke Osaka." "Yang Mulia Nobutaka merupakan putra ketiga Yang Mulia Nobunaga. Bukankah kau sebaiknya berjumpa dulu dengan beliau?" "Aku tidak mengundang beliau ke sini. Aku mengundang beliau untuk turut ambil bagian dalam pertempuran mendatang, yang akan me- rupakan upacara bagi Yang Mulia Nobunaga. Beliau bersama Niwa, jadi kupikir tak perlu ber- sikap terlalu resmi. Besok beliau akan bergabung dengan kita." "Bagaimana dengan Ikeda Shonyu? "Kita juga akan bertemu dengannya. Aku belum berjumpa dengannya, tapi dia menjanjikan dukungan melalui kurir yang diutusnya. Hideyoshi merasa yakin mengenai para sekutu- nya. Bahkan Hosokawa Fujitaka pun menolak ajakan Mitsuhide. Ia hanya mengirim pengikutnya ke perkemahan Hideyoshi untuk menyampaikan bahwa ia tak sudi bergabung dengan seorang pem- berontak. Hideyoshi lalu menjelaskan pada kedua tamunya bahwa kesetiaan ini bukan hanya suatu kecenderungan alami, melainkan merupakan prinsip moral golongan samurai. Akhirnya, setelah membahas berbagai topik, Sebei dan Ukon secara resmi menyerahkan sandera-sandera yang mereka bawa sebagai bukti iktikad baik mereka. Hideyoshi menolak sambil tertawa. "Itu tidak perlu. Aku mengenal Tuan-Tuan dengan baik. Kembalikanlah anak-anak ini ke rumah masing- masing." Pada hari yang sama, Ikeda Shonyu, yang mengenal Hideyoshi sejak mereka sama-sama di Benteng Kiyosu, bergabung dengan pasukan Hideyoshi. Beberapa waktu sebelum berangkat pagi itu. Shonyu pun telah mencukur kepalanya sampai licin. "Wah! Kau juga mencukur kepalamu?" ujar Hideyoshi ketika melihat sahabatnya. "Secara kebetulan kita melakukan hal yang sama." "Jalan pikiran kita serupa." Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Shonyu kini menambahkan keempat ribu prajuritnya ke dalam barisan prajurit Hideyoshi. Mula-mula Hideyoshi membawahi sekitar sepuluh ribu orang, tapi dengan tambahan kedua ribu prajurit Ukon. kedua ribu lima ratus prajurit Sebei, keseribu prajurit Hachiya, dan keempat ribu prajurit Ikeda, ia kini memimpin pasukan berkekuatan lebih dari dua puluh ribu orang. Di luar dugaan, Sebei dan Ukon mulai saling mendebat ketika mengikuti rapat perang pertama, dan keduanya tidak bersedia mundur sedikit pun dari pendirian masing-masing. "Sejak dulu telah menjadi kebiasaan di kalangan samurai bahwa penguasa benteng yang terdekat dengan posisi musuh berhak memimpin barisan depan." ujar Ukon. "jadi, sama sekali tak ada alasan mengapa prajurit-prajurit harus mengikuti pasukan Sebei." Sebei tak mau mengalah. "Pembedaan antara barisan belakang dan depan seharusnya tak ada sangkut-paut dengan jarak antara medan tempur dan benteng seseorang. Kemampuan pasukan dan komandan bersangkutanlah yang menentukan." "Maksud Tuan, aku tak pantas memimpin barisan depan dalam serangan terhadap musuh?" "Entahlah. Tapi aku yakin aku takkan mengalah pada siapa pun. Dan hasratku untuk memimpin barisan depan dalam pertempuran ini tak ter- goyahkan. Aku, Nakagawa Sebei, yang paling pantas untuk itu." Sebei mendesak Hideyoshi agar diberi kehor- matan ini, namun Ukon pun membungkuk dan menatap Hideyoshi, dengan harapan menerima tongkat komando. Hideyoshi mengambil ke- putusan sesuai dengan kedudukannya sebagai panglima tertinggi. "Kalian berdua sama-sama pantas, jadi masuk akal kalau Sebei memimpin satu unit baris dalam gugus tempur pertama, dan Ukon membawahi yang satu lagi. Aku berharap kalian memper- lihaikan tindakan yang sepadan dengan ucapan kalian." Selama rapat berlangsung, pengintai-pengintai terus berdatangan untuk memberikan laporan. "Mitsuhide telah menarik pasukannya dari Horagamine dan memusatkan kekuatannya di daerah sekitar Yamazaki dan Enmyoji. Semula dia seakan-akan hendak mundur ke Benteng Saka- moto, tapi pagi ini dia mendadak menunjukkan sikap ofensif. Kini satu divisi pasukannya sedang menuju ke arah Benteng Shoryuji." Ketika mendengar laporan tersebut, para jendral tiba-tiba kelihatan tegang. Jarak antara perkemahan mereka di Amagasaki dan Yamazaki kurang dari sesambaran petir. Mereka sudah bisa merasakan kehadiran musuh di daerah itu. Sebei dan Ukon sama-sama diberi tanggung jawab memimpin barisan depan, dan mereka ber- diri dan bertanya, "Tidakkah kita harus segera menuju Yamazaki?" Hideyoshi, yang tak terpengaruh oleh ke- bingungan saat itu, menjawab dengan amat tenang. "Kupikir kita sebaiknya menunggu satu hari lagi, sampai Yang Mulia Nobutaka tiba di sini. Memang, selama kita menunggu, kesempatan baik ini akan berlalu sedikit demi sedikit, namun aku ingin salah satu putra bekas junjungan kita turut serta dalam pertempuran ini. Aku tak mau menempatkan Yang Mulia Nobutaka ke dalam situasi yang akan disesalinya sepanjang hidupnya." "Tapi bagaimana kalau sementara itu musuh berhasil mencapai lokasi menguntungkan?" "Hmm, tentu saja harus ada batas waktu. Apa pun yang terjadi, besok kita sudah harus bertolak ke Yamazaki. Setelah seluruh pasukan berkumpul di Yamazaki, kita akan berhubungan lagi, jadi sebaiknya kalian berdua segera berangkat se- karang." Sebei dan Ukon keluar dari ruang rapat. Urut- urutan keberangkaun barisan depan ditetapkan sebagai berikut: Pertama-tama, korps Takayama; kedua, korps Nakagawa: dan ketiga, korps Ikeda. Begitu meninggalkan Tonda, kedua ribu prajurit Takayama mengayunkan langkah, seolah- olah musuh sudah berada di depan mata. Ketika mengamati debu yang diterbangkan oleh kuda- kuda mereka, Sebei dan semua orang dalam korps kedua bertanya-tanya, apakah pasukan Akechi belum sampai di Yamazaki. "Untuk itu pun mereka bergerak terlalu cepat." seseorang berkomentar curiga. Segera sesudah memasuki Desa Yamazaki, anak buah Ukon menutup semua gerbang di jalan-jalan yang menuju kota, bahkan menghadang orang- orang yang melewati jalan-jalan kecil di kawasan itu. Pasukan Nakagawa yang menyusul kemudian tentu saja menemui rintangan-rintangan ini, dan mendadak paham mengapa Ukon demikian ter- buru-buru; ia tak sudi didului orang lain. Sebei meninggalkan posisi strategis ini dan langsung menuju sebuah bukit bernama Tennozan. Akhirnya Hideyoshi berkemah di Tonda malam itu, tapi keesokan harinya ia menerima laporan bahwa Nobutaka dan Niwa telah tiba di tepi Sungai Yodo. Begitu mendengar kabar itu, Hideyoshi melom- pat gembira, nyaris membalikkan kursinya "Bawa- kan kuda! Bawakan kuda untukku!" ia memerin- tahkan. Sambil menaiki kuda, ia berpaling kepada para penjaga gerbang dan berseru. "Aku akan pergi menyambut Yang Mulia Nobutaka!" Lalu ia memacu kudanya ke arah Sungai Yodo. Sungai lebar itu hampir meluap. Di tepinya pasukan Nobutaka terbagi menjadi dua korps, masing-masing berkekuatan empat ribu dan tiga ribu prajurit. "Di manakah Yang Mulia Nobutaka?" Hideyoshi berseru ketika turun di tengah-tengah kerumunan prajurit yang bermandikan keringat. Tak seorang pun dari mereka menyadari bahwa ia Hideyoshi. "Ini aku, Hideyoshi," ia menyebutkan namanya. Para prajurit terbengong-bengong. Hideyoshi tidak menunggu sambutan resmi. Sambil menerobos kerumunan orang, ia menuju pohon tempat Nobutaka memasang panjinya. Dikelilingi para perwira, Nobutaka menduduki kursi lipat tanpa sandaran, melindungi matanya dari pantulan cahaya menyilaukan. Tiba-tiba ia ber- balik dan melihat Hideyoshi berlari ke arahnya, memanggil-manggil. Begitu melihat Hideyoshi, Nobutaka dikuasai rasa terima kasih. Inilah pengikut yang dididik selama bertahun-tahun oleh ayahnya, dan apa yang kini dilakukan orang itu jauh melampaui ikatan yang biasa terdapat antara junjungan dan pengikut. Sorot matanya menun- jukkan bahwa ia tengah diliputi emosi yang biasa- nya hanya dirasakan jika ia berhadapan dengan sanak saudara. "Hideyoshi!" Nobutaka berseru. Tanpa menunggu uluran tangan Nobutaka, Hideyoshi menghampiri dan menggenggam tangannya dengan erat. "Yang Mulia Nobutaka!" Hanya itu yang diucap- kan Hideyoshi. Kedua laki-laki itu tidak berkata apa-apa lagi, tapi mata mereka berbicara panjang- lebar. Air mata bergulir di pipi masing-masing. Melalui air matalah Nobutaka dapat mengungkap- kan perasaan terhadap mendiang ayahnya kepada seorang pengikut marganya. Dan Hideyoshi pun memahami isi hati pemuda itu. Ia akhirnya me- lepaskan tangan yang digenggamnya demikian erat dan segera berlutut di tanah. "Kedatangan Yang Mulia sungguh membahagia- kan hati. Tak ada waktu untuk mengatakan apa- apa lagi, dan sebenarnya memang tak ada lagi yang dapat hamba katakan, Hamba hanya bersyukur bahwa hamba dapat berada di sini bersama Yang Mulia, dan hamba yakin arwah ayah Yang Mulia pun merasa senang. Akhirnya hamba memperoleh kesempatan untuk menyampaikan belasungkawa dan memenuhi kewajiban hamba sebagai pengikut. Untuk pertama kali sejak Benteng Takamatsu, hamba merasa gembira." Belakangan pada hari itu, Hideyoshi mengun- dang Nobutaka untuk menemaninya ke per- kemahannya di Tonda, dan bersama-sama mereka berpaling ke Yamazaki. Mereka tiba di Yamazaki pada jam Monyet. Kesepuluh ribu prajurit pasukan cadangan ber- gabung dengan kedelapan ribu lima ratus prajurit dari ketiga korps gugus tempur pertama. Ke mana pun mata memandang hanya terlihat kuda dan prajurit. "Kami baru terima laporan bahwa pasukan Akechi menyerang korps Nakagawa di perbukitan sebelah timur Tennozan." Sekaranglah waktu untuk bertindak. Hideyoshi memberikan perintah menyerang pada seluruh pasukan.
Pada pagi hari kesembilan, ketika Hideyoshi ber-
tolak dari Himeji, Mitsuhide kembali ke Kyoto. Kurang dari seminggu telah berlalu sejak pem- bunuhan Nobunaga. Pada Jam Kambing di hari kedua, sementara reruntuhan Kuil Honno masih berasap, Mitsuhide telah meninggalkan Kyoto untuk menyerang Azuchi. Tapi baru saja keluar dari ibu kota, ia telah menemui rintangan di tempat penyeberangan sungai di Seta. Pada pagi itu ia telah mengirim surat yang menuntut agar Benteng Seta segera menyerah, tapi komandan benteng itu membunuh kurir yang mengantarkan surat tersebut, lalu membakar bentengnya dan Jembatan Seta. Dengan demikian, pasukan Akechi tak dapat menyeberangi sungai. Kedua mata Mitsuhide menyala-nyala karena marah. Jembatan yang di- musnahkan api itu seakan-akan menertawakannya. Dunia memandang kita tidak seperti kita me- mandang dunia, ia menyadari. Setelah terpaksa kembali ke Benteng Sakamoto, Mitsuhide melewatkan dua atau tiga hari tanpa hasil, menunggu jembatan itu diperbaiki. Namun setelah akhirnya ia berhasil memasuki Azuchi, ia menemukan kota itu telah dikosongkan. Benteng- nya yang besar pun diserahkan kepada angin. Di kotanya sendiri tak ada barang atau papan nama toko yang tersisa. Keluarga Nobunaga telah melari- kan diri, tapi karena terburu-buru, mereka terpaksa meninggalkan seluruh emas dan perak milik Nobu- naga, serta koleksi seninya. Barang-barang itu dipamerkan pada Mitsuhide setelah pasukannya mengamankan benteng, tapi ia tidak merasa lebih kaya karenanya. Entah kenapa, ia justru merasa lebih miskin. Bukan ini yang kucari, ia berkata dalam hati, dan sungguh menyedihkan bahwa orang-orang menyangka inilah tujuanku. Seluruh emas dan perak yang mereka temukan dibagi-bagikan kepada pasukannya. Prajurit- prajurit biasa menerima beberapa ratus keping emas, sementara para jendral tersohor mem- peroleh antara tiga ribu sampai lima ribu keping emas. Apa yang kauinginkan? Berkali-kali Mitsuhide mengulangi pertanyaan itu dalam benaknya. Memimpin negeri! Terngiang-ngiang di telinganya, tapi bunyinya sungguh hampa. Ia terpaksa me- ngakui bahwa ia tak pernah memeluk harapan sedemikian tinggi, karena tidak memiliki ambisi maupun kemampuan untuk itu. Sejak semula ia hanya mempunyai satu tujuan: membunuh Nobu- naga. Keinginan Mitsuhide telah terpuaskan oleh kobaran api di Kuil Honno, dan yang tersisa kini hanyalah nafsu tanpa keyakinan. Menurut selentingan yang beredar saat ini, Mitsuhide mencoba melakukan bunuh diri ketika mendengar Nobunaga sudah wafat. Para pengikut harus mencegahnya secara paksa. Begitu Nobunaga berubah menjadi abu, kebencian yang membeku- kan hati Mitsuhide pun larut seperti salju men- cair. Namun kesepuluh ribu prajurit yang meng- abdi pada Mitsuhide berbeda pendapat dengan junjungan mereka. Mereka justru beranggapan bahwa imbalan sesungguhnya masih akan diraih. "Mulai hari ini, Yang Mulia Mitsuhide merupa- kan penguasa seluruh negeri," para jendral Akechi berkata dengan keyakinan yang tak dimiliki Mitsuhide. Namun junjungan yang mereka sanjung-sanjung telah berubah. Ia berbeda dalam penampilan dan watakbahkan dalam kecerdasan. Mirsuhide berdiam di Azuchi dari hari kelima sampai pagi hari kedelapan, dan selama itu ia merebut benteng Hideyoshi di Nagahama serta benteng Niwa Nagahide di Sawayama. Begitu seluruh Provinsi Omi berada dalam genggaman- nya, Mitsuhide kembali memperlengkapi pasukan- nya dan sekali lagi bertolak menuju ibu kota. Saat itulah Mitsuhide menerima kabar bahwa marga Hosokawa menolak bergabung dengannya. Semula ia sangat yakin bahwa Hosokawa Tadaoki, menantunya, akan segera mengikuti jejaknya setelah Nobunaga digulingkan. Tapi jawaban dari marga Hosokawa ternyata berupa penolakan mentah-mentah. Sejauh ini Mitsuhide disibukkan oleh pertanyaan siapa yang akan menjadi sekutu- nya; ia nyaris tak memikirkan siapa yang bakal menjadi lawannya yang paling tangguh. Baru sekarang Mitsuhide teringat pada Hide- yoshi, dan dadanya serasa ditonjok keras. Ia bukan- nya menutup mata terhadap kemampuan dan ke- kuatan militer Hideyoshi di wilayah Barat. Justru sebaliknya, ia sadar sepenuhnya bahwa Hideyoshi merupakan ancaman besar. Yang agak menen- teramkan pikiran Mitsuhide adalah keyakinannya bahwa Hideyoshi masih ditahan oleh marga Mori dan takkan sanggup kembali dengan cepat. Paling tidak, satu dari kedua kurir yang diutusnya ke orang-orang Mori berhasil menjalankan tugasnya. Dan jawaban dari pihak Mori tentu akan segera tiba, memberitahunya bahwa mereka telah menye- rang dan menghancurkan Hideyoshi. Namun orang-orang Mori tak kunjung memberi kabar, sama halnya dengan Nakagawa Sebei. Ikeda Shonyu, dan Takayama Ukon. Berita yang sampai ke telinga Mitsuhide setiap paginya justru ter- dengar seperti hukuman dari para dewa. Bagi Mitsuhide, Benteng Sakamoto menyimpan kenangan buruk mengenai peristiwa-peristiwa yang belum lama ini terjadi: penghinaan yang diterima- nya dari Nobunaga; pengusirannya dari Azuchi; kunjungan ke Sakamoto, ketika ia menghadapi persimpangan yang penuh kebimbangan. Kini segala keraguan dan kemarahannya telah terhapus. Dan pada waktu yang sama ia juga kehilangan kemampuan bermawas diri. Kecerdasannya yang mengagumkan telah ia tukar dengan gelar penguasa negeri yang tanpa makna. Pada malam hari kesembilan, Mitsuhide masih belum mempunyai bayangan di mana Hideyoshi berada, tapi sikap para pembesar setempat menim- bulkan rasa gelisah dalam dirinya. Keesokan paginya ia meninggalkan perkemahan di Shimo Toba dan mendaki ke Horagamine Pass di Yamashiro, tempat ia telah mengatur pertemuan dengan pasukan Tsutsui Junkei. "Apakah Tsutsui Junkei sudah kelihatan?" secara berkala Mitsuhide bertanya kepada para pengintai. Berhubung Mitsuhide bekerja sama dengan Tsutsui Junkei sebelum serangan ke Kuil Honno, ia tak pernah meragukan kesetiaan sekutunya itu sampai sekarang. Ketika malam tiba, belum juga ada tanda-tanda mengenai kedatangan pasukan Tsutsui. Bukan itu saja, ketiga pengikut Oda yang hendak ia tarik ke pihaknyaNakagawa Sebei, Takayama Ukon, dan Ikeda Shonyutidak me- nanggapi surat panggilannya, walaupun mereka biasanya berada di bawah komandonya. Kegelisahan Mitsuhide bukan tanpa alasan. Ia berunding dengan Saito Toshimitsu, "Kaupikir ada yang tidak beres, Toshimitsu?" Mitsuhide ingin percaya bahwa terjadi sesuatu dengan para kurir yang dikirimnya, atau bahwa Junkei dan yang lain hanya terlambat, namun Saito Toshimitsu telah menerima kenyataan. "Tidak, tuanku." orang tua itu menjawab. "Hamba kira Yang Mulia Tsutsui memang tak berniat datang kemari. Rasanya tak mungkin dia memerlukan waktu selama ini untuk menyusuri jalanan datar dari Koriyama." "Tidak, pasti ada alasan lain," Mitsuhide ber- keras. Ia memanggil Fujita Dengo, cepat-cepat menulis surat, dan mengutusnya ke Koriyama. "Ambil kuda-kuda terbaik. Kalau kau menempuh perjalanan dengan kecepatan penuh, menjelang pagi kau seharusnya sudah berada di sini lagi." "Jika Yang Mulia Tsutsui berkenan menemui hamba, hamba akan kembali saat fajar," ujar Dengo. "Kenapa dia mesti tidak bersedia bicara dengan- mu? Dapatkan jawaban darinya, walaupun di tengah malam buta." "Baik, tuanku." Dengo segera berangkat ke Koriyama. Tapi sebelum ia kembali, beberapa pengintai membawa berita bahwa pasukan Hideyoshi sedang menuju ke Timur, dan bahwa barisan depan mereka sudah memasuki provinsi tetangga, Hyogo. "Tak mungkin! Kalian pasti keliru!" Mitsuhide meledak ketika mendengar laporan itu. Ia tak dapat percaya bahwa Hideyoshi bisa berdamai dengan pihak Mori, dan kalaupun bisa, bahwa Hideyoshi mampu menggerakkan pasukannya yang besar sedemikian cepat. "Hamba kira ini bukan laporan palsu, tuanku." ujar Toshimitsu, sekali lagi mengungkapkan ke- benaran. "Bagaimanapun, menurut hamba, kita se- baiknya segera menyiapkan strategi balasan." Menyadari kebimbangan Mitsuhide, Toshimitsu langsung menyampaikan rencana konkret. "Se- andainya hamba menunggu Yang Mulia Tsutsui di sini, tuanku dapat bergegas untuk mencegah Hideyoshi memasuki ibu kota." "Kedatangan Tsutsui tak bisa diharapkan lagi, bukan?" Mitsuhide akhirnya mengakui. "Menurut hamba, peluang bahwa dia akan ber- gabung dengan tuanku hanya satu atau dua ber- banding sepuluh." "Strategi apa yang bisa kita pakai untuk meng- hentikan Hideyoshi?" "Rasanya sudah dapat dipastikan bahwa Ukon, Sebei, dan Shonyu berada di pihak Hideyoshi, jika pasukan Tsutsui Junkei pun bergabung dengannya, kekuatan militer kita tidak memadai untuk meng- ambil inisiatif dan menyerang. Namun berdasar- kan perkiraan hamba, Hideyoshi memerlukan lima atau enam hari lagi untuk menggerakkan seluruh pasukannya ke sini. Selama itu, jika kita memperkuat kedua benteng di Yodo dan Shoryuji, mendirikan kubu pertahanan di sepanjang jalan utara-selatan ke Kyoto, serta mengerahkan seluruh kekuatan di Omo dan daerah-daerah lain, kita mungkin mampu menghalaunya untuk sementara waktu." "Apa? Semua itu hanya akan menghalaunya untuk sementara saja?" "Sesudah itu kita memerlukan strategi yang jauh lebih menyeluruhbukan sekadar pertempuran kecil. Tapi sekarang ini kita berada dalam posisi kritis. Sebaiknya tuanku segera berangkat." Toshimitsu menunggu sampai Fujita Dengo kembali dari tugasnya di Koriyama. Dengo muncul dengan wajah berkerut-kerut karena marah. "Percuma saja," ia melaporkan pada Toshimitsu. "Junkei keparat itu mengkhianati kita. Dia mencari-cari alasan karena tidak datang ke sini, tapi dalam perjalanan pulang, hamba me- ngetahui bahwa dia telah mengadakan hubungan dengan Hideyoshi. Rasanya tak terbayangkan bahwa orang yang begitu dekat dengan marga Akechi tega berbuat seperti ini!" Caci maki Dengo tak ada habisnya, tapi gurat wajah Toshimitsu tidak memperlihatkan emosi sama sekali. Mitsuhide berangkat sekitar siang, tanpa meraih apa-apa. Ia tiba di Shimo Toba kira-kira pada waktu yang sama saat Hideyoshi menikmati tidur siang singkatnya di Amagasaki. Baik kuil Zen di Amagasaki maupun perkemahan di Shimo Toba sama-sama dilanda hawa panas. Begitu Mitsuhide sampai di perkemahannya, ia memanggil para jendralnya ke markas dan membahas strategi per- tempuran. Ia belum juga menyadari bahwa Hide- yoshi sudah berada di Amagasaki. Walaupun barisan depan Hideyoshi sudah mulai mengambil posisi, Mitsuhide menyangka masih ada waktu beberapa hari sebelum Hideyoshi sendiri tiba. Rasanya tak adil untuk menghubungkan kesalahan ini dengan kecerdasannya. Ia hanya membuat penilaian berdasarkan akal sehat, dengan meng- gunakan kecerdasannya yang luar biasa. Kecuali itu, penilaian tersebut sejalan dengan apa yang dianggap logis oleh orang-orang lain. Rapat itu diakhiri tanpa ada waktu terbuang, dan Akechi Shigetomo-lah yang berangkat pertama. Ia segera menuju Yodo guna memulai kegiatan pembangunan untuk memperkuat benteng di sana. Jalan gunung sempit yang menuju ibu kota tentu akan merupakan salah satu sasaran serangan musuh. Benteng Yodo terletak di sebelah kanannya, benteng Shoryuji di sebelah kirinya. Mitsuhide memberikan perintah pada divisi- divisi yang ditempatkan di sepanjang tepi Sungai Yodo. "Mundur ke Shoryuji dan ambil posisi ber- tahan. Bersiap-siaplah menghadapi serangan musuh." Mitsuhide melakukan berbagai persiapan, tapi ketika menaksir kekuatan musuh, ia tak sanggup menutup-nutupi kelemahannya sendiri. Banyak prajurit dari ibu kota dan daerah sekitarnya ber- kumpul di sini dan menempatkan diri di bawah komandonya, tapi semuanya samurai berpangkat rendah atau ronintak berbeda dengan tentara sewaan yang mencari jalan pintas untuk mencari nama. Tak seorang pun dari mereka mempunyai kecakapan militer maupun kemampuan memim- pin. "Berapa jumlah keseluruhan orang kita?" Mitsu- hide bertanya kepada para jendralnya. Dengan menghitung prajurit-prajurit di Azuchi, Sakamoto, Shoryuji, Horagamine, dan Yodo, pasukan Mitsuhide berkekuatan sekitar enam belas ribu orang. "Kalau saja Hosokawa dan Tsutsui mau ber- gabung denganku," gumam Mitsuhide, "takkan ada yang sanggup mengusirku dari ibu kota." Setelah menentukan strategi pun ia tetap bingung akibat perbedaan besar dalam kekuatan. Otak Mitsuhide bekerja berdasarkan angka-angka, dan kini tak ada secercah harapan pun bahwa ia memegang keuntungan. Itu saja dapat menentukan kalah atau menang. Ia mulai tertelan gelombang yang dicipta- kannya sendiri. Mitsuhide berdiri di sebuah bukit di luar per- kemahan, memandang awan-awan. "Sepertinya bakal turun hujan," katanya pada diri sendiri, sambil menghadapi angin yang tidak membawa tanda-tanda hujan. Memperhatikan cuaca sangat penting bagi jendral yang hendak terjun ke medan pertempuran. Lama Mitsuhide berdiri mencemaskan pergerakan awan dan arah angin. Akhirnya ia mengalihkan pandangannya ke Sungai Yodo. Lentera-lentera kecil yang berayun- ayun tertiup angin tentu lentera-lentera dari perahu-perahu patrolinya sendiri. Sungai besar itu tampak putih, sementara gunung-gunung di belakangnya kelihatan hitam pekat. Langit luas membentang di atas sungai, sampai ke muara yang jauh di Amagasaki. Mitsuhide memandang ke arah itu, matanya seakan-akan me- nyorotkan cahaya, dan ia bertanya pada diri sendiri. "Apa yang dapat dilakukan Hideyoshi?" Kemudian ia berseru dengan nada keras yang jarang digunakannya. "Sakuza? Sakuza? Di mana Sakuzaemon?" Ia cepat-cepat berbalik, dan dengan langkah panjang kembali ke perkemahan. Angin kencang mengguncang barak-barak, bagaikan gelombang raksasa. "Ya tuanku? Yojiro di sini!" seorang pembantu menjawab, lalu bergegas keluar menghampirinya. "Yojiro, berikan aba-aba. Kita berangkat sekarang juga." Sementara pasukannya membongkar per- kemahan. Mitsuhide mengirimkan pesan penting pada semua komandannya, termasuk pada sepupunya, Mitsuharu, di Benteng Sakamoto, membertahukan keputusannya pada mereka. Ia takkan mundur dan menjalankan strategi detensif. Ia telah bertekad menyerang Hideyoshi dengan segenap kekuatannya. Giliran jaga malam telah berganti satu kali. Tak satu bintang pun tampak di langit. Sebuah kesatuan tempur menuruni bukit; kesatuan itu ditugaskan berjaga di hagian hilir dan hulu Sungai Katsura. Unit perbekalan, kesatuan-kesatuan utama, serta barisan belakang menyusul kemudian. Tiba-tiba hujan mulai turun. Pada waktu seluruh pasukan berada di tengah sungai, mereka diterpa hujan deras. Angin pun mulai bertiupangin dingin dari arah umur laut. Para prajurit bergumam-gumam ketika memandang permukaan sungai yang gelap. "Sungai dan angin ini datang dari gunung- gunung di Tamba." Seandainya hari masih terang, mereka mungkin bisa melihat. Oinosaka tidak jauh dari tempat mereka berada, dan baru sepuluh hari berlalu sejak mereka melewati Oinosaka dan meninggalkan pangkalan Akechi di Benteng Tamba. Namun bagi para prajurit rasanya itu sudah terjadi beberapa tahun silam. "Jangan jatuh! Jangan sampai sumbu-sumbu kalian basah!" para perwira berseru-seru. Kekuatan arus Sungai Katsura jauh lebih dahsyat daripada biasanya, kemungkinan akibat hujan deras di pegunungan. Pasukan tombak menyeberang, masing-masing prajurit berpegangan pada lombak orang di depan- nya, diikuti pasukan senapan yang saling meng- genggam laras dan moncong senapan. Para pe- nunggang kuda di sekitar Mitsuhide berpacu ke tepi seberang, meninggalkan buih dan gelembung pada permukaan sungai. Sesekali terdengar letusan senapan dari suatu tempat di depan mereka, sementara di kejauhan bunga api tampak beter- bangan, kemungkinan dari rumah-rumah petani yang terbakar. Namun begitu suara tembakan terhenti, api pun padam dan segala sesuatu kembali diserap kegelapan. Tak lama kemudian seorang prajurit berlari membawa laporan. "Orang-orang kita telah me- mukul mundur regu pengintai musuh. Mereka sempat membakar beberapa rumah petani ketika melarikan diri." Tanpa mengindahkan laporan ini, Mitsuhide bergerak maju melalui Kuga Nawate, melewati Benteng Shoryuji, yang kini berada di tangan anak buahnya, dan sengaja mendirikan perkemahan di Onbozuka, sekitar lima ratus sampai enam ratus meter lebih ke tenggara. Hujan yang telah merepotkan mereka selama dua-tiga hari kini mereka, dan bintang-bintang mulai berkilauan di langit yang sebelum nya hanya menampilkan bcrbagai corak hitam dan kelabu. Musuh juga diam saja. pikir Mitsuhide ketika berdiri di Onbozuka. menatap kegelapan ke arah Yamazaki. Pcrasaannya bergolak. dan ia pun merasa tegang ketika membayangkan akan mcnghadapi pasukan Hideyoshi pada jarak kurang dari dua mil. Dengan mcmusatkan kekuatan di Onbozuka dan memanfaatkan Benteng Shoryuji sebagai pangkalan perbekalan. la menyebar pasukannya dalam satu garis, dari Sungai Yodo di tenggara ke Sungai Enmyoji. seakan-akan membuka kipas. Saat semua kesatuan barisan depan telah menempati posisi masing-masing. fajar telah menyingsing dan Sungai Yodo yang panjang sudah mulai kelihatan. Tiba-tiba gema tembakan gencar terdengar dari arah Tennozan. Matahari belum terbit dan awan- awan tampak gelap karena kabut tebal. Hari itu hari ketiga belas di Bulan Keenam, dan masih begitu pagi, sehingga belum ada satu kuda pun yang terdengar meringkik di jalan menuju Yamazaki. Ketika memandang dari perkemahan utama Mitsuhide di Onbozuka, para prajurit melihat Tennozan berjarak kira-kira setengah mil ke arah tenggara. Sisi kirinya diapit oleh jalan menuju Yamazaki dan sebuah sungai besarSungai Yodo.
Tennozan berlereng terjal, dan ketinggiannya men-
capai tiga ratus meter. Pada hari sebelumnya, ketika pasukan Hideyoshi maju sampai Tonda, semua perwiranya menatap lurus ke depan dan mengamati bukit itu. Beberapa dari mereka be- tanya pada pemandu setempat, "Bukit apakah itu?" "Apakah itu Yamazaki di perbukitan sebelah timur?" "Musuh berada di Shoryuji. Di sebelah mana Tennozan-kah itu?" Setiap kesatuan disertai oleh seseorang yang mengenal medan di tempat itu. Setiap orang yang memahami strategi menyadari bahwa penguasaan tempat tinggilah yang merupakan kunci keme- nangan. Dan semua jendral pun menyadari bahwa orang pertama yang menancapkan panjinya di punggung Tennozan akan lebih disanjung daripada orang yang merebut kepala pertama di daratan. Setiap jendral telah berikrar bahwa ia sendiri yang akan melakukannya. Pada malam hari ketiga belas. beberapa jendral Hideyoshi memohon supaya rencana penyerangan mereka disetujui, dengan harapan mereka segera diberi perintah menyerbu bukit ini. "Pertempuran besok akan menentukan segala- galanya." ujar Hideyoshi. "Yodo, Yamazaki, dan Tennozan bakal menjadi medan tempur utama. Bukitkan bahwa kalian pantas disebut laki-laki. Jangan saling bersaing, jangan hanya pikirkan kejayaan masing-masing. Ingatlah bahwa Yang Mulia Nobunaga dan sang Dewa Perang akan mengawasi setiap langkah kalian." Namun begitu memperoleh restu dari Hide- yoshi, dengan semangat menyala-nyala para penembak berlomba-lomba menuju Tennozan, menimbulkan kekacauan di tengah malam buta. Tempat strategis yang telah menarik perhatian para jendral Hideyoshi itu juga tak luput dari pandangan Mitsuhide. Ia telah memerintahkan pasukannya agar bergerak cepat, melintasi Sungai Katsura, dan segera menuju Onbozuka untuk merebut Tennozan. Mitsuhide mengenai medan di daerah itu sama baiknya dengan kedua jendral barisan depan musuh, Nakagawa Sebei dan Takayama Ukon. Dan walaupun mereka memandang gunung- gunung dan sungai-sungai di daerah yang sama, pikiran Mitsuhide tentu saja melampaui pikiran orang-orang lain. Setelah melintasi Sungai Katsura dan melewati Kuga Nawaie, ia memisahkan satu divisi dari pasukannya, dan memberi perintah agar mereka menempuh jalan lain. "Daki Tennozan dari sisi utara dan rebutlah puncaknya. Jika musuh menyerang, hadapi mereka dan jangan lepaskan titik strategis itu." Perlu dikatakan bahwa ia memang gesit. Perintah dan tindakan Mitsuhide selalu tepat waktu; ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan menyerang. Meski demikian, pada saat ini pasukan Hideyoshi, yang sudah mencapai Hirose di lereng selatan, juga berada di atas bukit. Keadaan gelap gulita, dan banyak prajurit sama sekali tidak mengenal medan yang mereka lalui. "Di sini ada jalan setapak yang menanjak." "Tunggu, kita tidak bisa lewat jalan itu." "Siapa bilang begitu? Tentu saja bisa." "Itu jalan yang salah. Di atas sana ada tebing terjal." Sambil berputar-putar di kaki bukit, mereka berusaha menemukan jalan ke puncaknya. Jalan setapak itu amat terjal, dan hari masih gelap. Karena tahu bahwa mereka berada di tengah sekutu, para prajurit berbaris tanpa memedulikan unit atau korps mana yang mereka ikuti. Mereka bergegas dengan napas terengah-engah, menuju puncak. Kemudian, ketika hampir sampai di atas, mereka disambut berondongan peluru. Serangan itu dilancarkan oleh pasukan penem- bak Akechi di bawah komando Matsuda Taro- zaemon. Belakangan diketahui bahwa ketujuh ratus orang dalam korps Matsuda telah dibagi menjadi dua unit. Para prajurit Horio Mosuke, Nakagawa Sebei, Takayama Ukon, dan Ikeda Shonyu saling berlomba menjadi orang pertama yang berhasil mendaki Tennozan, tapi hanya Hori Kyutaro yang memerintahkan pasukannya meng- ambil jalan ke sisi utara bukit. Setelah menyusuri kaki bukit, mereka mencoba tindakan yang lain sama sekalimemotong jalan mundur musuh. Seperti dapat diduga, serangan dari samping ini mengejutkan korps Matsuda dan menempatkan jendral mereka, Matsuda Tarozaemon, tepat di depan mata. Bentrokan ini jauh lebih ganas di- bandingkan bentrokan di puncak Tennozan. Per- tempuran jarak dekat pecah di antara pohon- pohon pinus dan bongkahan-bongkahan batu yang tersebar di lereng bukit. Senjata api terlalu me- repotkan, jadi para prajurit lebih banyak meng- gunakan tombak dan pedang panjang. Sejumlah orang jatuh dari tebing sambil ber- gulat dengan musuh. Beberapa orang yang sedang mengimpit prajurit musuh ditikam dari belakang. Korps pemanah pun hadir, dan dengung panah serta letusan senapan seakan tak putus-putusnya. Tapi yang lebih keras lagi adalah teriakan perang kelima ratus atau enam ratus prajurit. Teriakan- teriakan itu tidak keluar dari tenggorokan semata- mata, melainkan terpancar dari seluruh jiwa raga, bahkan dari rambut dan pori-pori. Para prajurit maju dan didesak mundur, dan akhirnya matahari terbit. Langit biru dan awan putih tampak untuk pertama kali sejak lama. Sinar matahari yang langka ini rupanya membungkam jangkrik-jangkrik. Sebagai gantinya, teriakan- teriakan perang para prajurit mengguncang bumi. Dalam sekejap mayat-mayat berlumuran darah ber- gelimpangan di lereng bukit, saling tumpang tindih. Ada yang tergeletak sendiri di suatu tempat, sementara di tempat lain dua atau tiga mayat tampak menumpuk. Para prajurit dipacu oleh pemandangan ini, dan mereka yang me- langkahi mayat rekan-rekan mereka sendiri me- masuki ruang yang melampaui hidup dan mati. Ini berlaku bagi para prajurit korps Hori maupun bagi orang-orang Akechi. Situasi di puncak bukit kurang jelas. namun di sini pun kemenangan mungkin saja segera disusul dengan kekalahan. Di tengah-tengah pertempuran. teriakan-teriakan korps Matsuda tiba-tiba tak lagi terdengar garang, dan malah menyerupai suara anak kecil yang sedang terisak-isak. Keyakinan mereka telah berubah menjadi perasaan putus asa. "Ada apa?" "Kenapa kita mundur? Jangan mundur!" Sambil mempertanyakan kebingungan rekan- rekan mereka, beberapa anggota korps Matsuda berseru-seru dengan geram. Namun orang-orang ini pun segera berlari ke arah kaki bukit, seolah- olah terbawa tanah longsor. Jendral mereka, Matsuda Tarozaemon, rupanya terkena tembakan dan kini sedang digotong oleh para pembantunya di depan mata pasukannya. "Serang! Bantai mereka!" Sebagian besar korps Hori sudah mulai melaku- kan pengejaran, tapi Kyutaro berteriak sekuat tenaga, berusaha mencegah anak buahnya. "Jangan kejar mereka!" Namun dalam suasana saat itu, perintahnya tidak berpengaruh apa-apa. Seperti bisa diduga, barisan depan korps Matsuda kini menerjang menuruni bukit, bagaikan sungai lumpur. Bala bantuan tak kunjung tiba, dan jendral mereka telah tertembak. Mereka tak punya pilihan selain melarikan diri. Dari segi jumlah, korps Hori tidak sebanding dengan orang-orang Akechi. Kini, tanpa per- tempuran dan penghalang, mereka terdesak ke bawah dan diinjak-injak oleh musuh yang berlari menuruni lereng bukit terjal. Bagian korps Hori yang pertama-tama mengejar musuh kini ter- perangkap dalam suatu gerakan penjepit, persis seperti yang dikhawatirkan Kyutaro. Pertemuan yang mengerikan pun terjadi. Saat itulah gabungan korps Horio, Nakagawa. Takayama, dan Ikeda mencapai puncak bukit. "Kita menang!" "Tennozan di tangan kita!" Teriakan kemenangan berkumandang untuk pertama kali. Hideyoshi menanti kedatangan Nobutaka di Sungai Yodo, sehingga ia belum tiba di garis depan. Hari telah sore, sekitar Jam Kambing, ketika Hideyoshi menambahkan pasu- kan Nobutaka dan Niwa Nagahide pada pasukan- nya sendiri dan menuju perkemahan utama. Hujan pagi telah mengering di bawah terik mata- hari, para prajurit maupun kuda-kuda mereka di- selubungi keringat bercampur debu, dan baju tempur serta mantel mereka yang berwarna-warni telah berubah putih. Satu-satunya benda yang tampak cemerlang di hari yang panas ini adalah panji Hideyoshi dengan lambang labu emas. Sementara gema letusan tembakan masih ter- dengar di Tennozan, setiap rumah di desa kelihatan kosong. Namun ketika pasukan Akechi mundur dan pasukan yang baru membanjiri jalan- jalan, ember-ember penuh air, tumpukan semang- ka, dan teko-teko berisi teh tiba-tiba muncul di semua ambang pintu. Pada waktu pasukan Hideyoshi memenuhi jalanan, kaum perempuan pun terlihat di tengah kerumunan warga desa, dan menyampaikan ucapan selamat. "Tak satu prajurit musuhkah yang tersisa di sini?" Hideyoshi tidak turun dari kudanya, melainkan memandang panji-panji para prajuritnya, yang kini tampak di atas bukit yang berdekaran. "Tak satu pun," balas Hikoemon. Ia telah menyusun laporan-laporan dari semua korps, mempelajari situasinya, dan kini melapor pada Hideyoshi. "Korps Matsuda kehilangan komandan pada awal pertempuran. Beberapa anak buahnya melari- kan diri ke perbukitan di sebelah utara, sementara yang lain bergabung dengan sekutu-sekutu mereka di sekitar Tomooka." "Kenapa orang seperti Mitsuhide demikian cepat melepaskan tempat strategis ini?" "Kemungkinan dia tak menyangka kita datang demikian cepat. Dia keliru menaksir waktu." "Bagaimana dengan pasukan utamanya?" "Sepertinya mereka berkemah di daerah antara Sungai Yodo dan Shimoueno, dengan Shoryuji di belakang dan Sungai Enmyoji di depan mereka." Tiba-tiba terdengar teriakan perang dan letusan senapan dari arah Sungai Enmyoji. Ketika itu Jam Monyet. Sungai Enmyoji, di sebelah timur Desa Yamazaki, merupakan anak Sungai Yodo. Kedua sungai itu bertemu di daerah paya-paya yang penuh ilalang. Daerah tersebut biasanya diramaikan oleh kicauan burung, tapi hari ini tak satu burung pun bernyanyi. Sepanjang pagi, kedua pasukan yang bertikai sayap kiri pasukan Mitsuhide dan sayap kanan Hideyoshiberbaris di kedua tepi sungai. Sesekali ilalang berdesir dibelai angin. Sementara ujung- ujung tongkat bendera tampak, tak satu orang maupun kuda kelihatan di kiri-kanan sungai. Namun di tepi utara, kelima ribu orang di bawah komando Saito Toshimitsu, Abe Sadaaki, dan Akechi Shigetomo telah siap bergerak. Di tepi selatan, kedelapan ribu lima ratus prajurit di bawah komando Takayama Ukon, Nakagawa Sebei, dan Ikeda Shonyu tersusun dalam barisan berlapis-lapis. Sambil bersimbah peluh di tempat panas dan lembap itu, mereka menanti aba-aba untuk menyerang. Mereka menunggu sampai Hideyoshi tiba dan memberikan perintah. "Ke mana saja pasukan utama?" Mereka mencaci maki pasukan Hideyoshi karena terlambat datang, tapi selain itu mereka hanya dapat mengertakkan gigi. Akechi Mitsuhide, yang masih berada di per- kemahan utamanya di Onbozuka, telah menerima laporan bahwa Matsuda Tarozaemon gugur di Tennozan, dan bahwa pasukannya digulung musuh. Ia menyalahkan diri sendiri karena keliru memperhitungkan waktu. Ia sadar sepenuhnya bahwa secara strategis terdapat perbedaan besar antara bertempur dengan Tennozan di tangan anak buahnya dan menghadapi pertempuran menentukan setelah menyerahkan tempat itu kepada musuh. Sebelum maju ke Tennozan, perhatian Mitsu- hide memang terpceah pada tiga hal: peng- khianatan Tsutsui Junkei; perintahnya untuk memperkuat Benteng Yodoakibat meremehkan kecepatan Hideyoshi; serta kekurangan pada wataknyaia sukar mengambil keputusan. Harus- kah ia menyerang atau bertahan? Sampai bergerak ke Onbozuke pun ia belum menentukan pilihan- nya. Pertempuran pecah secara hampir kebetulan. Kedua pasukan melewatkan pagi hari di tengah ilalang, disiksa oleh ngengat dan nyamuk. Selama itu mereka saling berhadapan dan menunggu perintah jendral masing-masing. Tapi tiba-tiba seekor kuda dengan pelana indah meloncat dari sisi Hideyoshi dan berlari ke tepi Sungai Enmyoji, barangkali karena terdorong rasa haus. Empat atau lima prajuritkemungkinan peng- ikut pemilik kuda itusegera mengejarnya. Se- konyong-konyong tembakan senapan meletus dari tepi seberang, diikuti oleh berondongan demi berondongan. Sebagai balasan, pasukan Hideyoshi pun me- lepaskan tembakan ke tepi utara, untuk membantu rekan-rekan mereka yang berlindung di tengah ilalang. Kini tak ada waktu untuk menunggu perintah. "Serbu!" Perintah Hideyoshi untuk melancarkan serangan umum baru terdengar setelah tembak- menembak tadi. Pasukan Akechi tentu saja tidak tinggal diam, dan mereka pun mulai melangkah memasuki sungai. Tempat Sungai Enmyoji bertemu dengan Sungai Yodo cukup lebar, tapi tidak jauh dari sana, Sungai Enmyoji tak lebih dari kali kecil. Namun arusnya deras akibat hujan yang turun selama beberapa hari berturut-turut. Sementara korps penembak Akechi muncul dari ilalang di tepi utara dan memberondong barisan Hideyoshi yang berdiri di tepi selatan, para prajurit korps tombakkorps pilihan marga Akechibergegas menyeberangi sungai, menimbulkan buih dan percikan air. "Kerahkan pasukan tombak!" perwira korps Takayama berseru. Karena sungainya sempit, pasukan penembak tak banyak berguna. Pada waktu barisan belakang maju agar barisan depan dapat mengisi senjata, mereka terancam bahaya bahwa musuh melancar- kan serangan mendadak dan menerjang ke tengah- tengah para penembak. "Pasukan penembak segera menyingkir! Jangan halangi orang-orang di barisan depan!" Korps Nakagawa telah siap siaga dengan tombak masing-masing. Sebagian besar dari mereka kini mengacungkan tombak dan menusuk ke bawah dari tepi sungai, ke dalam air. Mereka tentu saja membidik musuh, tapi dari- pada berulang kali menarik dan menusukkan tombak, mereka lebih suka menebas-nebaskan tombak masing-masing untuk mencegah musuh naik ke tepi. Pertempuran sengit meletus di tengah-tengah sungai, tombak melawan tombak, tombak melawan pedang panjang, bahkan tombak melawan gagang tombak. Prajurit-prajurit terlihat menikam musuh, dan tak lama kemudian meng- alami nasib serupa. Mereka memekik-mekik dan saling bergulat. Tubuh-tubuh yang telah kehilangan nyawa jatuh ke dalam sungai, memercikkan air. Arus ber- lumpur terus berputar-putar. Darah kental meng- ambang di permukaan sungai, lalu hanyut terbawa arus. Saat itu korps pertama di bawah Nakagawa Sebei telah menyerahkan tugas tempur di bagian depan kepada para prajurit di bawah komando Takayama Ukon. Bagaikan barisan pemuda yang mengusung tandu kebesaran dalam suatu peraya- an, mereka mendesak maju ke garis depan sambil bersorak serempak. Setelah melawan ilalang di tepi timur sungai, dengan ganas mereka menerjang ke tengah-tengah musuh. Matahari mulai terbenam. Awan merah yang menandakan datangnya senja tercermin dalam kerumunan orang yang berteriak-teriak di bawah langit yang muram. Sam jam lagi berlalu, dan pertempuran itu masih berlangsung sengit. Keuletan korps Saito di luar dugaan. Setiap kali kehancuran mulai mem- bayang, mereka kembali menggalang kekuatan dan melawan dengan gigih. Sambil bertahan di paya- paya, mereka menghalau serangan demi serangan. Dan bukan mereka saja, hampir segenap pasukan Akechi memperlihatkan tekad membaja, pekikan- pekikan mereka memancarkan kegetiran yang tentunya juga dirasakan Mitsuhide dalam dadanya. "Mundur sebelum mereka mengepung kita! Mundur! Mundur!" Seruan mengibakan ini terdengar berulang kali, dan berita buruk tersebut menyebar bagaikan angin ke dua korps Akechi yang lain. Inti pasukan utama, yang bertindak sebagai pasukan cadangan, terdiri atas kelima ribu orang yang di Onbozuka berada langsung di bawah komando Mitsuhide. Di sebelah kanan mereka terdapat empat ribu orang lagi, termasuk dua ribu prajurit di bawah komando Fujita Dengo. Dengo memerintahkan agar genderang besar dibunyikan, dan para prajurit segera berpencar untuk membentuk susunan tempur. Secara serempak para anggota korps pemanah melepaskan anak panah, dan seketika pihak musuh membalas dengan hujan peluru. Atas perintah Dengo, barisan pemanah me- nyingkir dan digantikan oleh korps penembak. Tanpa menunggu sampai awan mesiu menipis, prajurit-prajurit dengan tombak besi muncul di hadapan musuh dan mulai menerobos barisan mereka. Akhirnya Dengo dan pasukan pilihannya berhasil memukul korps Hachiya. Sambil menggantikan tempat korps tersebut. para prajurit di bawah Nakagawa kembali menyer- bu dan menyerang pasukan Akechi. Tapi mereka pun digulung oleh Dengo. Saat itu anak buah Dengo seakan-akan tidak mempunyai lawan sepadan. Genderang korps Fujita berdentam nyaring. Bunyinya seolah-olah memancarkan kebanggaan marga tersebut yang tanpa tandingan, dan mengan- cam para samurai berkuda yang mengelilingi Nobutaka, sehingga mereka berdesak-desak bingung. Sekonyong-konyong sebuah kesatuan berke- kuatan lima ratus orang menyerang korps Fujita dari samping, meneriakkan pekikan perang bagai- kan pasukan besar. Merahnya senja masih membayang di awan- awan, tapi keadaan di bawah sudah gelap. Dengo menyadari bahwa ia melangkah terlalu jauh, dan segera mengubah taktiknya. "Bergeser ke kanan!" ia memerintahkan. "Ber- putarlah! Berputarlah sejauh mungkin ke arah kanan." ia ingin seluruh korpsnya mengambil jalan melingkar untuk bergabung kembali dengan pasukan utama, lalu meneruskan pertempuran. Namun secara tiba-tiba sebuah unit di bawah komando Hori Kyutaro menyerang dari sisi kiri. Di mata Dengo, prajurit-prajurit musuh ini seakan- akan muncul dari dalam tanah. Tak ada waktu untuk mundur. Dengo segera menyadari, tapi ia pun tak punya waktu untuk meralat perintahnya. Secepat angin pasukan Hori memotong jalan anak buah Dengo, dan mulai mengepung. Panji-panji Nobutaka terlihat semakin men- dekati Dengo. Pada saat itulah gerombolan yang terdiri atas sekitar lima ratus orang, termasuk putra dan adik Dengo, memacu kuda masing-masing. Tanpa takut mereka menerjang barisan musuh. Kegelapan malam telah menyelubungi medan laga. Angin membawa pekikan-pekikan dari pergumulan hidup-mati ini, memenuhi langit dengan bau darah. Korps Nobutaka dipandang sebagai yang ter- kuat dalam divisi Hideyoshi, dan kini korps tersebut diperkuat oleh ketiga ribu orang di bawah komando Niwa Nagahide. Dengo dan anak buahnya memang gagah perkasa, tapi mereka pun tak sanggup menembus barisan musuh. Dengo terluka di enam tempat. Akhirnya, setelah sedemikian lama bertempur dan berputar- putar di aras kudanya, ia mulai kehilangan kesadaran. Tiba-tiba sebuah suara memanggil dari kegelapan di belakangnya. Karena menyangka suara itu suara putranya, ia mengangkat kepala dari leher kudanya. Saat itulah sesuatu membentur kepalanya di atas mata kanan. Rasanya seperti bintang yang jatuh dari langit dan menghantam keningnya. "Jangan turun dari pelana! Berpeganglah pada pelana, kau terserempet anak panah dan meng- alami luka ringan di dahi," "Siapa ini? Siapa yang menahanku?" "Ini aku, Tozo." "Ah, saudaraku. Bagaimana keadaan Ise Yosa- buro?" "Dia telah gugur dalam pertempuran." "Bagaimana dengan Suwa?" "Suwa pun mengalami nasib sama." "Dan Denbei?" "Dia masih dikepung musuh. Biarkan aku menemanimu. Bersandarlah ke pegangan pelana- mu." Tanpa membahas nasib Denbei lebih lanjut, Tozo meraih moncong kuda kakaknya dan lang- sung melarikan diri, menerobos kekacauan di sekeliling mereka. (Created by syauqy_arr) Dua Gerbang
ANGIN sunyi berembus di antara pohon-pohon
pinus yang tumbuh di sekitar perkemahan Mitsu- hide di Onbozuka. Tirai markasnya yang mengem- bang tampak bagaikan makhluk raksasa berwarna putih. Tak henti-hentinya tirai itu mengepak- ngepak tertiup angin, melantunkan nyanyian kematian yang menyeramkan. "Yoji! Yoji!" Mitsuhide memanggil. "Ya, tuanku!" "Kurirkah yang baru datang itu?" "Ya, tuanku." "Kenapa dia tidak melapor langsung padaku?" "Kebenaran laporannya belum dipastikan." "Adakah peraturan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh sampai ke telingaku?" Mitsuhide bertanya kesal. "Hamba mohon ampun, tuanku." "Teguhkan hatimu! Kau mulai gelisah karena adanya pertanda buruk?" "Tidak, tuanku. Tapi hamba telah siap meng- hadapi kematian." "Begitukah?" Mitsuhide tiba-tiba menyadari nadanya yang melengking, dan segera merendahkan suara. Kemudian ia mengingatkan diri bahwa mungkin ia sendiri yang perlu mendengarkan kata-kata yang baru saja dipergunakannya untuk menegur Yojiro. Angin terdengar jauh lebih sedih dibandingkan pada siang hari. Kebun-kebun sayur dan ladang- ladang berada di belakang lereng yang landai. Di sebelah timur terletak Kuga Nawate; di sebelah utara, gunung-gunung; di sebelah barat. Sungai Enmyoji. Tapi dalam kegelapan malam hanya bintang-bintang yang berkelap-kelip redup yang menerangi medan laga. Baru tiga jam berlalu antara Jam Monyet dan pertengahan kedua Jam Ayam Jantan. Ketika itu panji-panji Mitsuhide memenuhi semua ladang. Di manakah panji-panji itu sekarang? Semuanya telah dicampakkan ke tanah. Ia telah mendengarkan daftar nama orang yang gugur, sampai ia tak sanggup lagi meneruskan hitungannya. Semuanya hanya memakan waktu tiga jam. Tak pelak lagi bahwa Yojiro baru saja kembali me- nerima kabar buruk. Dan ia telah kehilangan keberanian untuk menyampaikan kabar tersebut pada junjungannya. Setelah ditegur Mitsuhide, Yojiro sekali lagi menuruni bukit. Sambil meman- dang berkeliling, dengan lesu ia bersandar pada sebatang pohon pinus dan menatap bintang- bintang di atasnya. Seorang penunggang kuda mendekati Yojiro dan berhenti di hadapannya. "Kawan atau lawan?" Yojiro berseru sambil menghadapi orang tak dikenal itu dengan tombak yang semula digunakannya sebagai tongkat pe- nyangga. "Kawan," jawab si penunggang kuda sambil turun. Hanya dengan mengamati langkahnya yang ter- tatih-tatih Yojiro mengetahui bahwa ia cedera berat. Yojiro menghampirinya dan mengulurkan tangan. "Gyobu!" Yojiro berkata ketika mengenali rekan- nya. "Genggamlah lenganku. Biar kusangga badan- mu." "Kaukah itu, Yojiro? Di mana Yang Mulia Mitsuhide?" "Di puncak bukit." "Beliau masih di sini? Tempat ini sekarang teramat berbahaya bagi beliau. Beliau harus segera meninggalkan tempat ini." Gyobu menemui Mitsuhide. Ia nyaris terjungkal pada waktu bersujud di hadapan junjungannya. "Seluruh pasukan kita dipukul mundur. Orang- orang yang tengah sekarat jatuh menimpa mereka yang sudah tewas; begitu banyak yang menemui ajal secara gagah berani, sehingga hamba tak sanggup mengingat nama semuanya." Ketika menengadah, ia hanya melihat wajah Mitsuhide yang pucat. Wajah itu seolah-olah mengambang di bawah pohon-pohon pinus yang gelap. Mitsuhide tidak memberi tanggapan, seakan- akan tidak mendengarkan ucapan Gyobu. Gyobu melanjutkan. "Suatu ketika, kami sempat mendesak mendekati pusat kekuatan Hideyoshi, namun waktu hari mulai gelap, jalur mundur kami terputus, dan kami tak dapat menemukan Yang Mulia Dengo. Divisi Jendral Sanzaemon dikepung musuh, dan pertempuran yang luar biasa sengit pun pecah. Beliau akhirnya berhasil meloloskan diri, tapi hanya sekitar dua ratus orang yang tersisa dari divisi beliau. Pesan terakhir beliau adalah sebagai berikut, Segera pergi ke Onbozuka dan beritahu Yang Mulia agar secepat mungkin mundur ke Benteng Shoryuji, lalu bersiap-siap mempertahankan benteng atau kembali ke Omi pada malam hari. Sampai saat itu, aku akan bertindak sebagai barisan belakang. Setelah menerima kabar bahwa Yang Mulia selamat, kami akan segera menerjang ke per- kemahan Hideyoshi dan bertempur sampai titik darah penghabisan." Mitsuhide tetap membisu. Sehabis memberikan laporannya, Gyubo pun ambruk dan mengembus- kan napas terakhir. Mitsuhide menatap Gyubo dari kursinya. Lalu menatap Yojiro dengan pandangan kosong. Ia bertanya, "Parahkah luka Gyubo?" "Ya, tuanku," Yojiro menjawab. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. "Kelihatannya dia sudah mendahului kita." "Ya, tuanku." "Yojiro," Mitsuhide mendadak berkata dengan nada yang berbeda sama sekali. "Bagaimana laporan kurir sebelumnya?" "Hamba takkan menutup-nutupi apa pun, tuanku. Pasukan Tsutsui Junkei muncul di medan tempur dan menyerang sayap kiri kita. Saito Toshimitsu dan seluruh korpsnya tak kuasa meng- halanginya, dan mereka menderita kekalahan total." "Apa?! Itukah yang terjadi?" "Hamba sadar bahwa jika hamba menyampai- kannya sekarang, tuanku tentu sukar mempercayai- nya. Scsungguhnya hamba ingin mengemukakan hal ini pada saat yang tepat, agar tidak menambah penderitaan tuanku." "Inilah dunia." Kemudian ia menambahkan. "Tak ada pengaruhnya." Mitsuhide tertawa. Paling tidak, suara menye- rupai tawa. Kemudian ia mendadak melambaikan tangan ke arah belakang perkemahan. Dengan tak sabar ia menyuruh seseorang membawakan kuda- nya. Sebagian besar pasukan Mitsuhide telah dikirim ke garis depan, tapi mestinya masih ada sekitar dua ribu orang di perkemahannya, termasuk para pengikut senior. Bermodalkan kekuatan ini. Mitsu- hide hendak bergabung dengan sisa korps Sanzae- mon dan bertempur untuk terakhir kali. Sambil menaiki kudanya, ia menyerukan perintah menyerang dengan suara yang terdengar di seluruh Onbozuka. Kemudian, tanpa menunggu sampai para prajurit berkumpul, ia berputar dan mulai memacu kudanya menuruni bukit, diikuti hanya oleh beberapa samurai berkuda. "Siapa kau?" Mitsuhide bertanya sambil meng- hentikan kudanya. Seseorang telah bergegas dari perkemahan, berlari menuruni lereng, dan meng- halangi jalan dengan tangan terentang. "Tatewaki, kenapa kau menghadangku seperti ini?" Mitsuhide bertanya dengan tajam. Orang itu ternyata salah satu pengikut seniornya, Hide Tatewaki, dan ia langsung meraih kekang kuda Mitsuhide. Binatang itu mengentak-entakkan kaki dengan liar. "Yojiro! Sanjuro! Kenapa kalian tidak mencegah beliau? Turunlah dari kuda kalian," ujar Tatewaki. memarahi para pembantu Mitsuhide. Kemudian ia membungkuk ke arah Mitsuhide dan berkata, "Orang yang berada di hadapan hamba bukanlah Yang Mulia Mitsuhide yang menjadi junjungan hamba. Menderita kekalahan dalam satu pertem- puran tidak berarti kalah perang. Yang Mulia Mitsuhide yang hamba kenal takkan mencampak- kan hidupnya setelah satu pertempuran saja. Musuh akan mengejek kita jika menyangka kita tak sanggup mengendalikan diri. Meski mengalami kekalahan di sini, Yang Mulia masih mempunyai keluarga di Sakamoto dan sejumlah jendral di berbagai provinsi yang hanya menunggu perintah Yang Mulia. Yang Mulia perlu menyusun rencana untuk masa depan. Pertama-tama, kembalilah ke Benteng Shoryuji." "Apa maksudmu, Tatewaki?" Mitsuhide meng- gelengkan kepala. "Mungkinkah orang-orang yang telah gugur bangkit kembali? Mungkinkah semangat juang mereka kembali berkobar-kobar seperti sediakala? Aku tak bisa meninggalkan anak buahku dan membiarkan mereka dibantai musuh. Aku akan memberi pelajaran pada Hideyoshi dan menghukum pengkhianatan Tsutsui Junkei. Aku bukan mencari tempai untuk mati sia-sia. Aku akan memperlihatkan siapa Mitsuhide. Sekarang menyingkirlah!" "Mengapa sorot mata tuanku yang bijak begitu nanar? Pasukan kita menerima pukulan telak hari ini, dan paling tidak tiga ribu orang telah tewas. Mereka yang terluka bahkan tak terhitung lagi. Banyak jendral kita telah gugur, sementara orang- orang yang baru direkrut tercerai-berai. Menurut tuanku, berapa jumlah prajurit yang tersisa di perkemahan ini?" "Lepaskan kudaku! Aku bisa berbuat sesuka hatiku! Lepaskan kudaku!" "Ucapan tak bertanggung jawab inilah yang membuktikan bahwa tuanku hendak bergegas menyambut maut, dan hamba akan berusaha sekuat tenaga untuk mencegahnya. Seandainya masih ada tiga atau empat ribu prajurit di sini, per- soalannya tentu berbeda. Tapi hamba menduga hanya sekitar empat atau lima ratus orang yang akan mengikuti tuanku. Yang lainnya telah menyusup keluar dari perkemahan dan melarikan diri." ujar Tatewaki dengan suara berat karena menahan air mata. Serapuh itukah otak manusia? Dan jika otak berhenti berfungsi, pastikah orang yang ber- sangkutan menjadi gila? Tatewaki menatap Mitsu- hide dan bertanya-tanya bagaimana junjungannya itu bisa berubah begitu banyak. Sambil menitikkan air mata, ia mengenang betapa bijaksana dan cerdas Mitsuhide dulu. Jendral-jendral lain kini ikut berkerumun di depan kuda Mitsuhide. Dua dari mereka sudah sempat berada di garis depan, namun karena men- cemaskan keselamatan junjungan mereka, kedua- nya kembali ke perkemahan. Salah satu dari mereka berkata, "Kami sependapat dengan Yang Mulia Hide. Shoryuji tidak jauh, dan tentunya belum terlambat untuk menuju ke sana dulu, lalu menyusun strategi untuk langkah berikutnya." "Selama kita berada di sini, pasukan musuh akan semakin mendekat, dan segala sesuatu bisa saja berakhir di titik ini. Sebaiknya kita pacu kuda masing-masing dan secepat mungkin kembali ke Shoryuji." Tatewaki tak lagi menanyakan kehendak jun- jungannya. Ia menyuruh seseorang meniup sangka- kala, dan segera memerintahkan mereka mundur ke arah utara. Yojiro dan seorang pengikut lainnya turun dari kuda. Sambil berjalan kaki mereka meraih kekang kuda Mitsuhide dan menuntunnya ke utara. Semua prajurit dan komandan yang berada di bukit itu mengikuti mereka. Tapi, seperti dikatakan Tatewaki tadi, jumlah mereka tak sampai lima ratus orang. Miyake Tobei komandan Benteng Shoryuji. Di sini pun pertanda kekalahan sudah membayang, dan seluruh benteng diliputi suasana murung. Dikelilingi lentera-lentera yang berkelap-kelip redup, semua orang sibuk memikirkan jalan untuk menyelamatkan diri. Namun ketika mereka men- cari-cari kemungkinan yang masuk akal, Mitsuhide pun terpaksa mengakui bahwa tak ada yang dapat mereka lakukan. Para penjaga di luar benteng sudah berulang kali melaporkan bahwa musuh sedang mendekat, dan benteng itu sendiri tak cukup kuat untuk menentang kekuatan pasukan Hideyoshi. Benteng Yodo pun berada dalam kondisi serupa beberapa hari yang lalu, ketika Mitsuhide memerintahkan benteng tersebut diperkuat. Usaha itu tak ubahnya membangun tanggul pada waktu suara ombak yang mengamuk telah terdengar. Barangkali satu-satunya hal yang tidak disesali Mitsuhide pada saat ini adalah bahwa sejumlah jendral dan prajurit tetap setia padanya dan ber- tempur dengan garang. Dari satu segi, sungguh ganjil bahwa ada orang di dalam marga Akechi marga yang telah menggulingkan junjungan mereka sendiriyang masih terus menegakkan ikatan antara junjungan dan pengikut. Mitsuhide memang berbudi luhur, dan orang-orang itu ber- pegang teguh pada hukum yang melandasi Jalan Samurai. Karena inilah jumlah korban yag tewas dan terluka luar biasa tinggi, meskipun pertempuran berlangsung tak lebih dari tiga jam. Berdasarkan taksiran yang dilakukan kemudian, pihak Akechi kehilangan lebih dari tiga ribu orang, sementara jumlah pasukan Hideyoshi berkurang lebih dari tiga ribu tiga ratus orang. Jumlah orang yang terluka tak dapat dipastikan. Angka-angka ini men- cerminkan semangat pasukan Akechi, yang tak kalah sedikit pun dari semangat panglima mereka. Mengingat kekuatan Mitsuhide yang tak seberapa kira-kira hanya separo kekuatan musuhdan medan yang tak menguntungkan tempat ia ber- tempur, kekalahan yang diderita Mitsuhide bukanlah kekalahan yang membuatnya harus me- nanggung malu.
Pada hari ketiga belas Bulan Keenam, bulan
tampak kabur di balik awan tipis. Satu-dua prajurit berkuda mendului rombongan mereka. Tiga belas penunggang kuda membentuk beberapa kelompok kecil, dan menuju Fushimi dari utara Sungai Yodo. Ketika mereka akhirnya mencapai jalan setapak gelap di tengah-tengah pegunungan. Mitsuhide berbalik dan bertanya pada Tatewaki, "Di mana kita sekarang?" "Ini Lembah Okame, tuanku." Cahaya bulan yang menerobos di antara dahan- dahan pohon mengenai Tatewaki dan orang-orang yang menyusul di belakangnya. "Kau bermaksud melintas di sebelah utara Momoyama, lalu keluar di Jalan Kuil Kanshu dari Ogurusu?" tanya Mitsuhide. "Benar. Jika kita menempuh jalur itu dan bisa sampai di dekat Yamashina dan Otsu sebelum hari terang, kita tak perlu khawatir." Shinshi Sakuzaemon tiba-tiba menghentikan kudanya di depan Mitsuhide dan memberi isyarat agar jangan ada yang bersuara. Mitsuhide dan para penunggang kuda yang mengikutinya juga ber- henti. Tanpa bersuara, mereka memperhatikan Akechi Shigetomo dan Murakoshi Sanjuro maju sebagai pengintai. Kedua orang itu menghentikan kuda masing-masing di tepi sebuah kali, dan mem- beri isyarat agar yang lain menunggu. Agak lama mereka berdiri di sana, memasang telinga. Perangkap musuhkah? Akhirnya kesan lega muncul pada wajah mereka. Mengikuti lambaian tangan kedua orang di depan, rombongan itu kembali bergerak maju. Baik bulan maupun awan-awan seakan meng- ambang di tengah langit malam. Tapi betapapun mereka berusaha tidak menimbulkan suara, ketika kuda-kuda mereka mulai menaiki lereng, ada saja batu yang tertendang atau kayu rapuh yang ter- injak, dan gema bunyi-bunyi selemah ini pun sanggup membangunkan burung-burung yang sedang tidur. Setiap kali ini terjadi, Mitsuhide dan para pengikutnya segera menarik tali kekang. Setelah menderita kekalahan telak, mereka sempat melarikan diri ke Benteng Shoryuji dan melepas lelah. Kemudian mereka membahas langkah selanjutnya, namun akhirnya satu-satunya pilihan adalah mundur ke Sakamoto. Semua pengikut Mitsuhide membujuknya agar tetap ber- sabar. Setelah mempercayakan Benteng Shoryuji ke tangan Miyake Tobei, Mitsuhide menyusup ke dalam kegelapan. Pasukan yang mengikutinya ketika meninggal- kan Shoryuji masih berjumlah empat ratus atau lima ratus orang. Namun pada saat mereka memasuki Desa Fushimi, sebagian besar telah menghilang. Segelintir orang yang masih tersisa adalah para pengikut kepercayaannya, dan jumlah mereka hanya tiga belas orang. "Rombongan besar justru akan menarik per- hatian musuh, dan setiap orang yang belum mem- bulatkan tekad untuk menyertai junjungan kita dalam keadaan apa pun hanya akan menjadi penghalang. Yang Mulia Mitsuharu berada di Sakamoto beserta tiga ribu prajurit. Satu-satunya keinginanku adalah tiba dengan selamat di sana. Aku berdoa agar para dewa sudi membantu jun- jungan kita yang malang." Dengan cara inilah para pengikut setia yang masih tersisa saling menghibur diri. Meski daerah yang mereka lalui berbukit-bukit, tak ada bagian yang benar-benar terjal. Bulan tampak di langit, tapi akibat hujan, tanah di bawah pohon-pohon becek, dan di sana-sini air meng- genang di permukaan jalan. Kecuali itu, baik Mitsuhide maupun para pengikutnya telah lelah. Mereka sudah berada di dekat Yamashina, dan jika berhasil sampai di Otsu, mereka akan aman. Inilah kata-kata yang mereka gunakan untuk saling membesarkan hati, tapi bagi orang-orang yang nyaris kehabisan tenaga itu, jaraknya terasa seperti beratus-ratus mil. "Kita memasuki sebuah desa." "Ini tentu Ogurusu. Jangan berisik." Pondok-pondok beratap rumbia terlihat di sana- sini. Sebenarnya rombongan Mitsuhide sedapat mungkin ingin menghindari daerah pemukiman, tapi jalan yang mereka lalui melintas di antara rumah-rumah itu. Untung saja tak satu lentera pun tampak menyala. Pondok-pondok itu dikelilingi rumpun-rumpun bambu yang diterangi cahaya bulan, dan segala sesuatu mengisyaratkan bahwa semua orang sedang tidur nyenyak, tanpa menya- dari kekacauan yang melanda dunia. Dengan sorot mata tajam yang menembus kegelapan, Akechi Shigetomo dan Murakoshi Sanjuro menjalankan tugas sebagai pengintai, menyusuri jalan desa yang sempit, tanpa gangguan. Di tempat jalanan membelok di balik sebuah rumpun bambu, mereka berhenti dan menunggu Mitsuhide serta rombongannya. Sosok kedua orang itu, dan pantulan tombak- tombak mereka, terlihat jelas di hadapan bayang- bayang pepohonan yang berada lima puluh meter di depan. Sekonyong-konyong bunyi bambu diinjak-injak serta dengusan binatang liar seakan-akan meledak dari kegelapan. Tatewaki, yang sedang menuntun kudanya di depan Mitsuhide, segera menoleh ke belakang. Kegelapan menyelubungi pagar sebuah pondok yang berada di bawah naungan rumpun bambu. Sekitar dua puluh meter di belakang, siluet Mitsu- hide tampak seolah-olah terpaku di tempat . "Tuanku," Tatewaki memanggil. Rumpun bambu muda bergoyang-goyang di langit yang tanpa angin. Tatewaki baru hendak berbalik ketika Mitsu- hide tiba-tiba memacu kudanya dan melesat melewati Tatewaki, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia merunduk dan memeluk leher kuda- nya. Tatewaki menganggapnya ganjil, namun ke- mudian segera mengikuti junjungannya, sama hal- nya dengan yang lain. Dengan cara inilah mereka memacu kuda masing-masing sekitar tiga ratus meter, tanpa ke- jadian apa pun. Setelah bergabung kembali dengan kedua pengintai tadi, ketiga belas orang itu me- neruskan perjalanan. Mitsuhide berada di urutan keenam dari depan. Tiba-tiba kuda Murakoshi memberontak. Se- ketika ia menghunus pedang dan mengayunkan- nya di sebelah kiri pelana. Bunyi gemerincing terdengar nyaring ketika pedangnya menebas ujung sebuah bambu runcing. Tangan yang memegang tombak itu segera meng- hilang di dalam rumpun bambu, tapi yang lain sempat melihat apa yang terjadi. "Apa itu? Bandit?" "Mestinya. Awas, sepertinya mereka bersem- bunyi di tengah rumpun bambu ini." "Murakoshi, kau tak apa-apa?" "Hah, kaupikir aku bisa terluka oleh bambu runcing pencuri yang hina?" "Jangan terpancing! Teruskan perjalanan. Jangan cari masalah." "Bagaimana dengan Yang Mulia?" Semuanya menoleh. "Lihat, di sebelah sana!" Mereka mendadak pucat. Kira-kira seratus langkah di depan mereka, Mitsuhide terjatuh dari kudanya. Bukan itu saja, ia menggeliat di tanah. mengerang-erang kesakitan, dan sepertinya tak sanggup bangkit kembali. "Tuanku!" Shigetomo dan Tatewaki turun dari kuda, ber- lari menghampirinya, dan mencoba mengangkat- nya ke pelana. Namun rupanya Mitsuhide sudah tak mampu meneruskan perjalanan. Ia hanya menggelengkan kepala. "Tuanku, apa yang terjadi?" Yang lainnya segera berkerumun dalam kegelapan. Hanya erangan Mitsuhide serta desahan para pengikutnya yang ter- dengar. Dan tepai pada saat itu bulan bersinar lebih cerah. Tiba-tiba bunyi langkah dan teriakan-teriakan para bandit terdengar dari kegelapan yang menye- lubungi rumpun bambu. "Sepertinya mereka hendak menyerang dari belakang. Beginilah kebiasaan para perampok; mereka memanfaatkan setiap tanda kelemahan. Sanjuro dan Yojiro, tangani mereka." Atas perintah Shigetomo, mereka segera ber- pencar. Tombak disiagakan dan pedang-pedang di- hunus. "Bedebah!" Sambil berteriak lantang, seseorang melompat keluar dari rumpun bambu. Bunyi yang menyerupai bunyi daun berguguran, atau mungkin suara sekawanan monyet, memecahkan kehe- ningan malam. "Shigetomo... Shigetomo..." Mitsuhide berbisik. "Hamba di sini, tuanku." "Ah... Shigetomo," Mitsuhide berkata sekali lagi. Kemudian ia meraba-raba, seakan-akan mencari tangan yang menopangnya. Darah bercucuran dari sisi dadanya, pandangan- nya mulai kabur, dan ia sukar berbicara. "Hamba akan membalut luka tuanku, lalu mem- berikan obat, jadi hamba mohon tuanku bersabar sejenak." Mitsuhide menggelengkan kepala untuk menga- takan bahwa lukanya tak perlu dibalut. Kemudian kedua tangannya bergerak, seolah-olah mencari sesuatu. "Ada apa, tuanku?" "Kuas..." Shigetomo cepat-tepat mengeluarkan kertas, tinta, dan kuas. Mitsuhide meraih kuas itu dengan jari gemetar dan menatap kertas yang putih. Shigetomo sadar bahwa junjungannya hendak me- nuliskan sajak kematiannya, dan tenggorokannya mulai tercekat. Ia nyaris tidak tahan menyaksikan sikap Mitsuhide, dan berpegang teguh pada apa yang dirasakannya sebagai takdir junjungannya, ia berkata. "Jangan coretkan kuas dulu, tuanku. Perjalanan ke Otsu tinggal secarikan napas, dan kalau kita tiba di sana, tuanku akan disambut oleh Yang Mulia Mitsuharu. Perkenankanlah hamba membalut luka ini." Ketika Shigetomo meletakkan kertas tadi ke tanah dan mulai membuka ikat pinggangnya, Mitsuhide tiba-tiba mengibaskan tangannya de- ngan tenaga tak terduga. Kemudian, dengan tangan kirinya, ia menolakkan tubuhnya dari tanah. Sambil merentangkan tangan kanan, ia menggenggam kuas tadi dengan erat dan mulai menulis:
Tak benar ada dua gerbang: kesetiaan dan pengkhianatan.
Tapi tangannya begitu gemetar, sehingga ia
seakan-akan tak sanggup menuliskan baris berikut- nya. Mitsuhide menyerahkan kuas pada Shige- tomo. "Tolong selesaikan sisanya." Sambil bersandar pada pangkuan Shigetomo, Mitsuhide memutar kepalanya ke arah langit dan memandang bulan selama beberapa waktu. Ketika bayangan maut yang bahkan lebih pucat daripada bulan mengisi seluruh wajahnya, ia berkata dengan nada mantap yang tak terduga dan menyelesaikan sajaknya.
Jalan Besar menembus lubuk hati.
Terjaga dari mimpi lima puluh lima tahun, Aku berpulang kepada Yang Satu. Shigetomo meletakkan kuas dan mulai me- nangis. Saat itulah Mitsuhide mencabut pedang pendek dan menggorok lehernya sendiri. Sakuzae- mon dan Tatewaki segera berlari menghampirinya. Keduanya mendekati jenazah junjungan mereka, lalu menjatuhkan diri ke atas pedang masing- masing. Empat orang lagi, lalu enam, lalu delapan mengelilingi jenazah Mitsuhide dengan cara yang sama dan menyusulnya ke akhirat. Dalam sekejap tubuh-tubuh tak bernyawa itu tergeletak di tanah, menyerupai sekuntum bunga yang terbuat dari darah. Yojiro telah menerobos ke tengah-tengah rumpun bambu untuk menghadapi gerombolan bandit tadi. Murakoshi memanggil-manggil ke dalam kegelapan, cemas akan keselamatan rekan- nya. "Yojiro, kembalilah! Yojiro! Yojiro!" Tapi beberapa kali pun ia memanggil. Yojiro tidak muncul-muncul. Murakoshi pun mengalami cedera di beberapa tempat. Ketika ia akhirnya ber- hasil merangkak keluar dari semak-semak, ia melihat satu sosok lewat di hadapannya. "Ah! Yang Mulia Shigetomo." "Sanjuro?" "Bagaimana keadaan yang Mulia Mitsuhide?" "Beliau telah mengembuskan napas terakhir." "Oh!" Sanjuro terkejut. "Di mana?" "Beliau ada di sini, Sanjuro." Shigetomo menun- juk kepala Mitsuhide yang terbungkus kain dan tergantung pada pelananya. Dengan sedih ia memalingkan wajah. Sanjuro langsung melompat maju. Ketika me- raih kepala Mitsuhide, ia melepaskan teriakan pan- jang bernada meratap. Beberapa saat kemudian ia bertanya. "Apa ucapan terakhir beliau?" "Beliau membacakan sebuah sajak yang dimulai dengan, 'Tidak benar ada dua gerbang: kesetiaan dan pengkhianatan.'" "Beliau berkata begitu?" "Walaupun beliau menyerang Nobunaga, tin- dakannya tak dapat dipandang dari segi kesetiaan atau pengkhianatan. Beliau dan Nobunaga sama- sama samurai, dan keduanya mengabdi pada sang Tenno. Ketika Yang Mulia Mitsuhide akhirnya terjaga dari mimpi yang berlangsung lima puluh lima tahun, beliau menyadari bahwa beliau pun tak dapat meloloskan diri dari cercaan maupun sanjungan dunia. Setelah mengucapkan kata-kata itu, beliau mencabut nyawa sendiri." "Hamba mengerti." Murakoshi terisak-isak. Dengan tangan terkepal ia menghapus air mata dari wajahnya. "Beliau tidak mengindahkan teguran Yang Mulia Toshimitsu dan tidak meng- hindari pertempuran yang menentukan di Yamazaki dengan pasukan kecil di medan yang tak menguntungkan, semua karena beliau berpegang teguh pada Jalan Kebesaran. Dari segi itu, mundur dari Yamazaki tak ubahnya menyerahkan Kyoto kepada musuh. Setelah menyadari apa yang ter- simpan di hati beliau, hamba tak kuasa menahan tangis." "Walaupun dikalahkan, Yang Mulia tak sekali pun menyimpang dari jalan yang diyakininya, dan tak pelak beliau wafat dengan ambisi yang telah lama diiidam-idamkan itu. Tapi, kalau kita mem- buang-buang waktu di sini, begundal-begundal tadi mungkin kembali dan menyerang lagi." "Benar." "Aku tak sanggup menangani segala sesuatu di sini seorang diri. Aku meninggalkan jenazah junjungan kita tanpa kepala. Sudikah kau mengu- burnya agar tak ditemukan siapa pun?" "Bagaimana dengan yang lain?" "Mereka berkumpul di sekitar jasadnya dan gugur dengan gagah." "Setelah melaksanakan perintah Yang Mulia, hamba pun akan mencari tempat untuk menuju akhirat." "Aku akan membawa kepala beliau pada Yang Mulia Mitsutada di Kuil Chionin. Setelah itu aku pun akan menyambut maut. Selamat jalan." "Selamat jalan." Kedua laki-laki itu menuju arah berlawanan pada jalan setapak sempit yang melewati rumpun bambu. Pancaran cahaya bulan yang menerobos dedaunan sungguh indah dipandang. Malam itu Benteng Shoryuji dipaksa bertekuk lutut, kira-kira pada saat Mitsuhide menemui ajal di Ogurusu. Nakagawa Sebei, Takayama Ukon, Ikeda Shonyu, dan Hori Kyutaro memindahkan pos komando masing-masing ke sana. Setelah menyalakan api unggun raksasa, mereka menderet- kan kursi di muka gerbang benteng dan menanti- kan kedatangan Hideyoshi dan Nobutaka. Tak lama kemudian Nobutaka telah berdiri di hadapan mereka. Merebut benteng itu merupakan kemenangan gemilang. Para prajurit dan perwira sama-sama menegakkan panji-panji dan memandang Nobu- taka dengan takzim. Ketika Nobutaka turun dari kuda dan memeriksa barisan. Ia mengangguk- angguk ramah. Sikapnya terhadap para jendral bahkan hampir terlalu sopan. Ia menyapa mereka dengan hormat, dan secara terang-terangan menunjukkan rasa terima kasihnya. Sambil meraih tangan Sebei , ia berkata, "Berkat kesetiaan dan keberanianmulah orang-orang Akechi dapat dihancurkan dalam pertempuran satu hari. Kini arwah ayahku telah tenteram, dan aku takkan pernah melupakan ini." Pujian yang sama diberikannya kepada Taka- yama Ukon dan Ikeda Shonyu. Tapi Hideyoshi, yang tiba beberapa saat kemudian, tak mengucap- kan sepatah kau pun pada semua orang itu. Ketika lewat di atas tandunya, ia malah seakan-akan meremehkan mereka. Kegarangan Sebei dikenal tanpa tandingan, biarpun di tengah-tengah prajurit yang kasar, jadi tidak aneh kalau ia merasa tersinggung oleh sikap Hideyoshi. Ia berdeham cukup keras. Hideyoshi melirik dari tandu dan berlalu sambil ber- komentar. "Pekerjaanmu bagus, Sebei." Sebei mengentakkan kaki dengan geram. "Yang Mulia Nobutaka pun bersedia turun dari kuda untuk kita, tapi orang ini begitu congkak, sehingga tetap saja duduk dalam tandu. Barangkali si Monyet menyangka telah menguasai seluruh negeri." Ucapannya cukup keras untuk didengar semua orang di sekelilingnya, tapi selain itu ia tak kuasa berbuat apa-apa. Ikeda Shonyu, Takayama Ukon, dan yang lain berkedudukan sederajat dengan Hideyoshi, namun sejak beberapa waktu lalu, Hideyoshi mulai ber- sikap seolah-olah mereka bawahannya. Mereka pun merasa bahwa entah bagaimana mereka berada di bawah komando Hideyoshi. Tak perlu diragukan bahwa perasaan itu tak berkenan di hati mereka, tapi tak seorang pun mengatakan sesuatu. Ketika memasuki benteng pun Hideyoshi hanya menatap sekilas pada reruntuhan bangunan yang telah hangus itu. Tampaknya ia belum memikir- kan istirahat. Setelah memerintahkan agar petak bertirai didirikan di pekarangan, ia menempatkan kursinya di samping kursi Nobutaka, segera me- manggil para jendral, dan mulai memberikan perintah-perintah. "Kyutaro, bawa pasukanmu ke Desa Yamashina, lalu maju ke arah Awadaguchi. Tugasmu adalah menutup jalan antara Azuchi dan Sakamoto di Otsu." Kemudian ia berpaling pada Sebei dan Ukon. "Kalian harus segera menyusuri Jalan Raya Tamba. Kelihatannya banyak musuh melarikan diri ke arah Tamba, dan kita tidak boleh memberi kesempatan pada mereka untuk mencapai Benteng Kameyama, sehingga mereka dapat mengadakan persiapan. Jika kita berlambat-lambat di sini, kita akan kehilangan lebih banyak waktu lagi. Kalau kalian bisa tiba di Kameyama besok siang, benteng itu seharusnya dapat kalian taklukkan tanpa banyak kesulitan." Kemudian beberapa orang dikirim ke Toba dan ke daerah Shichijo, sementara sejumlah orang lain disuruh menuju sekitar Yoshida dan Shirakawa. Perintah-perintah itu sangat jelas, dan Nobutaka hanya mendengarkan semuanya, tanpa berkata apa-apa. Namun di mata para jendral, sikap Hideyoshi sungguh lancang. Meski demikian, Sebei pun, yang semula menyuarakan ketidaksenangannya secara terang- terangan, kini diam saja dan menerima perintah yang diberikan padanya seperti yang lain. Akhirnya mereka membagi-bagikan ransum kepada para prajurit, menuang sake, mengisi perut masing- masing, dan sekali lagi bertolak ke medan tempur berikut. Hideyoshi paham bahwa selalu ada waktu dan tempat yang tepat untuk membuat orang-orang tunduk padanya, dan kali ini ia sengaja menunggu sampai masing-masing jendral berhasil meraih kemenangan. Namun Hideyoshi juga menyadari bahwa rekan-rekannya merupakan orang dengan keberanian tanpa tandingan dan tak pernah gentar, sehingga ia pun tak berani bersikap gegabah dengan hanya mengandalkan satu cara ini. Sebuah pasukan harus mempunyai pemimpin. Dari segi kedudukan, Nobutakalah yang paling pantas menjadi panglima tertinggi. Tapi ia baru saja bergabung, dan semua jendral mengakui bahwa baik wibawa maupun tekadnya tidak memadai. Karena itu, tak ada yang dapat me- megang tampuk kepemimpinan selain Hideyoshi. Meski tak satu jendral pun rela tunduk pada Hideyoshi, semuanya menyadari bahwa tak ada orang lain yang dapat diterima oleh semua pihak. Hideyoshi merencanakan pertempuran ini sebagai upacara peringatan bagi Nobunaga dan telah mengumpulkan mereka semua. Jadi, jika kini mereka mengeluh karena ia memperlakukan mereka sebagai bawahan, mereka hanya akan membuka peluang untuk dituduh mengejar ke- pentingan pribadi. Para jendral tidak mendapat kesempatan ber- istirahat, melainkan diharuskan langsung bertolak ke medan tempur baru, sesuai perintah yang mereka terima. Ketika mereka berdiri untuk berangkat, Hideyoshi tetap duduk di kursi komandan dan hanya memberi isyarat dengan gerakan dagunya kepada masing-masing orang. Hideyoshi tinggal di Kuil Mii, dan pada malam hari keempat belas, badai petir kembali melanda. Bara api di reruntuhan Benteng Sakamoto padam, sepanjang malam kilat menyambar-nyambar di atas Shimeigatake dan danau yang warnanya menye- rupai tinta. Namun seiring fajar, awan-awan kelabu me- nyingkir dan langit musim panas muncul sekali lagi. Dari perkemahan utama di Kuil Mii, asap tebal berwama kuning terlihat mengepul dari arah Azuchi di tepi timur danau. "Azuchi terbakar!" Mendengar laporan para penjaga, para jendral keluar ke serambi. Hideyoshi dan yang lainnya melindungi mata dengan sarung tangan. Seorang kurir melaporkan, "Yang Mulia Nobuo, yang semula berkemah di Tsuchiyama di Omi, dan Yang Mulia Gamo menggabungkan kekuatan dan menyerang Azuchi sejak pagi. Mereka menyulut api di kota dan benteng, dan angin dari danau menyebabkan kobaran api merambat ke seluruh Azuchi. Tapi ternyata tak ada prajurit musuh di Azuchi, sehingga tidak terjadi pertempuran." Hideyoshi dapat membayangkan apa yang ter- jadi di tempat jauh. "Tak ada alasan untuk menyulut kebakaran." ia bergumam sambil merengut. "Yang Mulia Nobuo dan Gamo telah bertindak gegabah." Tapi dengan cepat ia berhasil menenangkan diri. Keruntuhan budaya yang dibentuk Nobunaga dengan darah dan keringat selama setengah umur- nya memang patut disesali, tapi Hideyoshi yakin bahwa tak lama lagidan dengan kekuatannya sendiriia akan membangun benteng dan budaya yang lebih besar lagi. Tepat saat itu, sebuah patroli tiba dari gerbang utama kuil. Mereka mengelilingi satu orang dan menggiringnya ke hadapan Hideyoshi. "Petani dari Ogurusu bernama Chobei ini mengaku menemu- kan kepala Yang Mulia Mitsuhide." Telah menjadi kebiasaan untuk memeriksa kepala jendral musuh dengan khidmat, dan Hide- yoshi memerintahkan agar kursinya disiapkan di muka kuil utama. Tak lama kemudian, ia duduk bersama para jendral lain dan menatap kepala Mitsuhide sambil membisu. Setelah itu, kepala tersebut dipajang di reruntuhan Kuil Honno. Baru satu setengah bulan berlalu sejak panji berlambang kembang lonceng ditegakkan di tengah-tengah teriakan perang pasukan Akechi. Kepala Mitsuhide dipajang agar dapat dilihat oleh para warga ibu kota, dan mereka terus ber- datangan dari pagi sampai malam. Bahkan mereka yang mencela pengkhianatan Mitsuhide kini meng- ucapkan doa, sementara orang-orang lain mena- burkan bunga di bawah tengkorak yang telah mulai membusuk. Perintah-perintah militer Hideyoshi sederhana dan jelas. Ia hanya mempunyai tiga undang- undang: Bekerja sungguh-sungguh. Jangan melaku- kan kesalahan. Pembuat onar akan dihukum mati. Hideyoshi belum mengadakan upacara pema- kaman resmi bagi Nobunaga; upacara kebesaran yang dikehendakinya tak dapat dilaksanakan dengan kekuatan militer semata-mata, dan rasanya tak pantas jika ia memprakarsainya seorang diri. Api di ibu kota akhirnya padam, tapi pengaruhnya menyebar ke semua provinsi. Nobunaga telah wafat, Mitsuhide telah wafat, dan ada kemungkinan seluruh negeri akan kembali terbagi ke dalam tiga kutub kekuasaan, seperti pada masa sebelum Nobunaga. Kecuali itu, sengketa keluarga dan panglima-panglima yang memperjuangkan kepentingan masing-masing mungkin saja menjerumuskan seluruh negeri ke dalam kekacauan yang menandai keshogunan selama tahun-tahun terakhirnya. Dari Kuil Mii, Hideyoshi memindahkan segenap pasukannya ke atas armada kapal perang. Ia mengangkut segala sesuatu, mulai dari kuda- kuda sampai penyekat-penyekat berlapis emas. Ini terjadi pada hari kedelapan belas di bulan itu, dan tujuannya adalah untuk pindah ke Azuchi. Pasukan lain juga merayap ke Timur. Lewat jalan darat. Iring-iringan kapal yang melintasi danau digerakkan oleh angin yang mengibarkan panji- panji, dan bergerak sejajar dengan pasukan darat yang menyusuri pesisir. Tapi Azuchi telah dibumihanguskan, dan begitu pasukan Hideyoshi tiba di sana, mereka langsung patah semangat. Dinding-dinding Azuchi yang ber- warna biru dan emas tak ada lagi. Semua gerbang tembok luar serta atap Kuil Soken yang menjulang tinggi telah terbakar habis. Keadaan di kota benteng bahkan lebih parah lagi. Anjing-anjing liar pun tak sanggup menemukan makanan, dan para misionaris berjalan mondar-mandir dengan pan- dangan kosong. Nobuo seharusnya berada di sini, tapi ia sedang memerangi pemberontak-pemberontak di Ise dan Iga. Akhirnya jelaslah bahwa pembakaran Azuchi tidak diperintahkan oleh Nobuo. Api memang disulut oleh anak buahnya, tapi rupanya perbuatan mereka disebabkan oleh salah paham, atau mung- kin oleh desas-desus palsu yang disebarkan musuh. Hideyoshi dan Nobutaka menempuh per- jalanan ke Azuchi bersama-sama, dan mereka sangat menyesalkan kehancurannya. Namun, se- telah menyadari bahwa bukan Nobuo yang ber- tanggung jawab atas kejadian tersebut, kemarahan mereka sedikit berkurang. Hanya dua hari mereka tinggal di Azuchi. Iring-iringan kapal kembali ber- layar, kali ini ke arah utara. Hideyoshi hendak me- mindahkan pasukan utamanya ke bentengnya di Nagahama. Benteng itu ternyata aman. Tak ada tanda-tanda kehadiran musuh, dan pasukan sekutu telah mulai memasuki pekarangan benteng. Ketika panji komandan berlambang labu emas dikibarkan, para warga kota benteng tampak bersukaria. Mereka memadati jalan-jalan yang dilalui Hideyoshi dari kapal ke benteng. Kaum perempuan, anak-anak, dan orang-orang tua bersujud di tanah untuk menyambutnya. Beberapa orang menitikkan air mata, bahkan ada yang tak sanggup menengadah- kan wajah. Ada yang bersorak-sorai sambil melam- baikan tangan, dan tak sedikit yang seolah-olah lupa diri dan menari-nari riang. Hideyoshi sengaja menunggang kuda untuk menanggapi sambutan meriah yang diberikan padanya. Namun bagi Hideyoshi masih ada satu hal yang sangat membebani pikirannya, dan beban itu semakin berat ketika ia memasuki Benteng Naga- hama. Ia sudah tak sabar untuk melepas rindu. Selamatkah ibu dan istrinya? Setelah duduk di benteng dalam, ia mengajukan pertanyaan ini berulang-ulang pada semua jendral- nya yang datang dan pergi. Tiba-tiba ia sangat men- cemaskan keadaan keluarganya. "Kami telah mencari mereka ke mana-mana, tapi sampai sekarang belum ada laporan jelas," para jendral berkata. "Masa tak satu orang pun yang mengetahui ke- beradaan mereka?" tanya Hideyoshi . "Kami juga berpikir demikian," salah satu jendral menjawab. "Tapi rupanya tak seorang pun melihat mereka. Pada waktu mereka melarikan diri dari sini, tempat yang mereka tuju dirahasiakan secara ketat." "Begitu. Memang benar, seandainya rencana mereka bocor ke kalangan orang kebanyakan, musuh tentu akan melakukan pengejaran, dan mereka akan terancam bahaya." Hideyoshi mengadakan pertemuan dengan jendral lain dan membahas hal yang sama sekali berbeda. Hari itu pasukan musuh di Benteng Sawayama telah meninggalkan benteng tersebut dan melarikan diri ke arah Wakasa. Hideyoshi diberitahu bahwa benteng itu sudah dikembalikan ke tangan bekas komandannya, Niwa Nagahide. Ishida Sakichi serta lima atau empat anggota kelompok pelayan pribadi tiba-tiba kembali dari suatu tempat yang tak diketahui. Sebelum mereka sampai di ruangan Hideyoshi, suara-suara riang ter- dengar dari selasar dan ruang para pelayan, dan Hideyoshi bertanya pada mereka yang berada di sckelilingnya. "Sudah kembalikah Sakichi? Kenapa dia tidak segera ke sini?" Ia mengutus seseorang untuk menegurnya. Ishida Sakichi kelahiran Nagahama, dan ia mengenal medan di daerah itu lebih baik dari siapa pun. Karena itu, ia menganggap sekaranglah waktu terbaik untuk memanfaatkan pengetahuan- nya. Sejak siang ia pergi atas inisiatif sendiri, mencari-cari tempat ibu dan istri junjungannya mungkin bersembunyi. Penuh hormat, Sakichi berlutut di hadapan Hideyoshi. Berdasarkan laporannya, ibu dan istri Hideyoshi, sertna para anggota rumah tangga lainnya, bersembunyi di pegunungan kira-kira tiga puluh mil dari Nagahama. Tampaknya hanya dengan susah payah mereka dapat bertahan. "Baiklah, mari kita bersiap-siap untuk segera berangkat. Jika kita berangkat sekarang, mestinya besok malam kita sudah sampai di sana," ujar Hideyoshi sambil berdiri. Ia nyaris tak sanggup menahan diri. "Uruslah segala sesuatu sementara aku pergi." ia memberi perintah pada Kyutaro. "Hikoemon berada di Otsu, dan Yang Mulia Nobutaka masih di Azuchi." Ketika Hideyoshi keluar lewat gerbang benteng, ia melihat sekitar enam ratus sampai tujuh ratus orang menunggunya sambil berbaris. Berturut- turut mereka mengikuti pertempuran di Yamazaki dan Sakamoto, dan bahkan di Azuchi pun mereka tidak mendapat kesempatan melepas lelah. Prajurit-prajurit itu baru tiba pagi hari, dan wajah- wajah mereka yang berlepotan lumpur masih menyiratkan keletihan. Hideyoshi berkata. "Lima puluh penunggang kuda sudah memadai untuk menyertaiku." Hideyoshi baru mengatakannya setelah para penunggang yang membawa obor mulai memim- pin iring-iringan itu. Berarti sebagian besar dari mereka akan tinggal di Nagahama. "Itu berbahaya." ujar Kyutaro. "Lima puluh penunggang kuda terlalu sedikit. Jalanan yang harus dilalui malam ini melintas di dekat Gunung Ibuki, dan mungkin saja sisa-sisa pasukan musuh masih bersembunyi di sana." Baik Kyutaro maupun Shonyu mewanti-wanti Hideyoshi, namun Hideyoshi tampak yakin bahwa kekhawatiran mereka tidak beralasan. Setelah men- jawab bahwa tak ada yang perlu dicemaskan, ia menyuruh para pembawa obor berjalan di depan. dan mereka mulai menyusun jalan yang diapit pepohonan ke arah timur laut. Dengan berkuda sampai giliran jaga keempat, Hideyoshi menempuh lima belas mil tanpa terlalu terburu-buru. Tengah malam rombongannya tiba di Kuil Sanjuin. Semula Hideyoshi menyangka keda- tangannya akan mengejutkan para biksu, namun di luar dugaannya, ketika mereka membuka gerbang utama, ia melihat bagian dalam kuil terang benderang oleh cahaya lentera-lentera, pekarangan telah disiram air, dan seluruh tempat itu telah disapu sampai bersih. "Pasti ada yang mendului kita dan memberi- tahukan kedatanganku pada mereka." "Hamba yang melakukannya," ujar Sakichi. "Kau?" "Ya. Hamba pikir tuanku mungkin akan mampir di sini untuk beristitahat sejenak, jadi hamba mengutus pemuda jago lari dan memesan makanan untuk lima puluh orang." Sakichi pernah menjadi murid di Kuil Sanjuin. tapi pada usia dua belas tahun ia diterima oleh Hideyoshi sebagai pelayan di Benteng Nagahama. Itu terjadi delapan tahun silam, dan sekarang ia telah berumur dua puluh tahun. Sakichi sangat cerdas dan lebih tanggap daripada kebanyakan orang. Menjelang fajar, sosok Gunung Ibuki mulai membayang di hadapan merah muda dan biru pucatnya langit; tak ada suara selain kicauan burung-burung kecil. Embun membasahi jalan, dan kegelapan masih bercokol di bawah pe- pohonan. Hideyoshi tampak gembira. Ia tahu bahwa dengan setiap langkah, ia semakin mendekati ibu dan istrinya, dan sepertinya ia tak memedulikan jalan yang menanjak maupun kelelahannya sen- diri. Kini, semakin ia mendekati Nishitani seiring semakin terangnya Gunung Ibuki, semakin kuat perasaannya bahwa ia didekap di dada ibunya. Tak peduli berapa lama mereka mendaki dan menyusuri Sungai Azusa, sepertinya mereka tak kunjung tiba di sumbernya. Justru sebaliknya, mereka sampai di sebuah lembah yang sedemikian lebar, sehingga memberi kesan bahwa mereka tidak berada di tengah-tengah pegunungan. "Itu Gunung Kanakuso," ujar biksu yang ber- tindak sebagai pemandu, dan ia menunjuk sebuah puncak terjal tepat di hadapan mereka. Ia meng- usap keringat yang membasahi keningnya. Mata- hari telah mencapai puncak perjalanannya me- lintasi langit, dan udara semakin panas. Biksu itu kembali menyusuri jalan setapak yang sempit. Setelah beberapa saat, jalan setapaknya be- gitu menyempit, sehingga Hideyoshi dan para pem- bantunya terpaksa turun dari kuda. Sekonyong- konyong orang-orang di sekeliling Hideyoshi ber- henti. "Kelihatannya seperti musuh," mereka berkata dengan waswas. Hideyoshi dan rombongan kecilnya baru saja mengitari puncak gunung. Di kejauhan mereka melihat sekelompok prajurit di lereng gunung. Orang-orang itu pun tampak terkejut dan berdiri serempak. Sepertinya salah satu dari mereka mem- berikan perintah-perintah, sementara yang lain segera berpencar dalam keadaan kacau-balau. "Barangkali mereka sisa pasukan musuh," sese- orang berkata, "Hamba dengar mereka melarikan diri sampai ke Ibuki." Itu memang suatu kemungkinan, dan seketika para penembak berlari ke depan. Perintah siaga menghadapi pertempuran segera diberikan, tapi kedua biksu yang bertindak sebagai pemandu langsung berseru-seru. "Mereka bukan musuh. Mereka petugas-petugas pengintai dari kuil. Jangan menembak!" Kemudian mereka berpaling ke arah gunung di kejauhan dan membuka komunikasi dengan me- lambaikan tangan dan berteriak sekuat tenaga. Sesudah itu, para prajurit menuruni gunung bagaikan batu yang menggelinding dari tebing. Tak lama kemudian seorang perwira dengan bendera kecil terpasang di punggung berlari menemui mereka. Hideyoshi mengenalinya sebagai pengikut dari Nagahama.
Kuil Daikichi tak lebih dari kuil pegunungan yang
kecil. Jika turun hujan, air merembes lewat atap. Jika angin bertiup, semua dinding dan balok ber- goyang-goyang. Nene tinggal dan menunggui ibu mertuanya di kuil utama, sementara para dayang ditempatkan di bagian hunian para biksu. Para pengikut yang menyusul dari Nagahama men- dirikan pondok-pondok kecil di daerah sekitar. atau menginap di rumah-rumah petani di desa. Dalam kondisi menyedihkan inilah sebuah keluar- ga besar berjumlah lebih dari dua ratus orang hidup selama lebih dari dua minggu. Ketika berita mengenai pembunuhan Nobu- naga sampai di telinga mereka, barisan depan pasukan Akechi telah terlihat dari benteng, dan hampir tak ada waktu untuk memikirkan langkah yang harus diambil. Nene sempat mengirim surat kepada suaminya yang berada di wilayah Barat yang jauh, tapi hanya pada saat-saat terakhir. Ia membawa ibu mertuanya melarikan diri dari benteng, meninggalkan segala sesuatu di sana. Ia hanya membawa satu kuda beban, dengan pakaian untuk ibu mertua dan hadiah dari Nobunaga untuk suaminya. Dalam situasi itu, Nene merasakan beban tang- gung jawab yang diemban kaum perempuan. Ia memimpin benteng sementara Hideyoshi pergi, dan ia harus melayani mertuanya yang berusia lanjut dan mengatur rumah tangga benteng yang besar. Tentunya dengan sepenuh hati ia ingin merasakan kebahagiaan yang ditimbulkan oleh pujian suaminya, namun Hideyoshi berada jauh di medan tempur. Sampai saat itu, Nene hidup aman di dalam benteng, sementara suaminya berada di medan perang, tapi sekarang tak ada perbedaan lagi di antara mereka. Dalam masa perang, situasi semacam ini bukan alasan untuk berputus asa, tapi Nene risau me- mikirkan ke mana ia harus memindahkan ibu Hideyoshi. Kalaupun benteng diserahkan pada musuh, tak perlu diragukan bahwa Hideyoshi akan segera merebutnya kembali. Tapi sebagai istrinya, jika ia membiarkan ibu mertuanya terluka, ia tak- kan sanggup menghadapi suaminya lagi. "Jangan pikirkan apa-apa selain melindungi ibu mertuaku. Jangan cemaskan aku. Dan walau terasa berat, tinggalkan segala sesuatu yang tak mutlak diperlukan. Jangan terpengaruh oleh harta benda." Demikianlah Nene membesarkan hati para pelayan perempuan dan semua anggota rumah tangga ketika mereka menyusuri jalan ke arah timur. Di sebelah barat Nagahama dibatasi oleh Danau Biwa, daerah sebelah utara dikuasai oleh marga- marga musuh, sedangkan keadaan ke arah Jalan Raya Mino tidak diketahui pasti. Karena itu, tak ada pilihan selain mengungsi ke arah Gunung Ibuki. Jika marganya meraih kemenangan, hati istri prajurit akan meluap oleh kebahagiaan. Tapi jika suaminya berada di pihak yang kalah, atau mereka diusir dari bentengnya dan terpaksa mengungsi, istri yang malang itu merasakan ke- sedihan yang tak terbayangkan oleh laki-laki yang bekerja di ladang atau berdagang di kota. Sejak hari itu, para anggota rumah tangga Hideyoshi mengalami kelaparan, membaringkan diri untuk tidur di tempat terbuka, dan terus di- hantui ketakutan akan patroli musuh. Pada malam hari, mereka sukar menghindari embun; pada siang hari, kaki mereka yang berdarah tak henti- hentinya melangkah. Selama masa penderitaan itu ada satu pikiran yang menjadi pegangan bagi mereka: kalau sampai tertangkap oleh musuh, kita akan menunjukkan pada mereka siapa kita. Hampir semuanya berikrar demikian dalam hati. Desa itu merupakan tempat pengungsian yang baik. Sejumlah penjaga telah ditugaskan di ke- jauhan, sehingga tak ada bahaya serangan men- dadak. Para pengungsi mempunyai tempat meng- inap dan perbekalan memadai. Satu-satunya masalah adalah keterpencilan mereka. Karena begitu jauh dari pemukiman lain, mereka tidak mengetahui perkembangan yang terjadi. Tak lama lagi, kurir yang diutus seharusnya sudah kembali. Nene membiarkan pikirannya me- layang ke langit Barat. Pada malam sebelum me- ninggalkan Nagahama, ia sempat terburu-buru menulis surat untuk suaminya. Dan sejak itu tak ada kabar dari kurir yang bertugas menyampaikan suratnya. Barangkali orang itu tertangkap oleh pihak Akechi, atau ia tak mampu menemukan tempat persembunyian mereka. Siang-malam Nene memikirkan kemungkinan-kemungkinan tersebut Belakangan Nene mendengar bahwa terjadi per- tempuran di Yamazaki. Ketika peristiwa itu di- beritahukan padanya, kulit Nene langsung ber- semu merah. "Mungkin saja. Begitulah anak itu," ujar ibu Hideyoshi. Rambut perempuan tua itu telah putih semua- nya, dan kini ia duduk di bangsal utama Kuil Daikichi sejak terjaga di pagi hari sampai beranjak tidur, hampir tanpa bergerak, berdoa dengan tulus bagi kejayaan putranya. Betapa besar pun ke- kacauan yang melanda dunia, ia yakin sepenuhnya bahwa putra yang dilahirkannya takkan pernah berpaling dari Jalan Kebesaran. Sekarang pun, pada saat berbincang-bincang dengan Nene, ia tak dapat meninggalkan kebiasaan lamanya, yaitu memanggil Hideyoshi dengan sebutan "anak itu". "Biarkan dia kembali dengan membawa ke- menangan, meskipun kemenangannya harus di- tebus dengan tubuh renta ini." Itulah doa yang diucapkannya sepanjang hari. Dari waktu ke waktu ia menengadah sambil mendesah lega dan me- natap patung Dewi Kannon. "Ibu, aku mendapat firasat bahwa tak lama lagi kita akan menerima kabar baik," ujar Nene suatu hari. "Aku juga merasakannya, tapi aku tidak tahu apa sebabnya," kata ibu Hideyoshi. "Aku tiba-tiba saja merasakannya, sewaktu menatap wajah Dewi Kannon," ujar Nene. "Sepertinya Dewi Kannon tersenyum pada kita. kemarin lebih jelas daripada hari sebelumnya, dan hari ini lebih jelas daripada kemarin." Perbincangan kedua perempuan itu terjadi pada pagi hari menjelang kedatangan Hideyoshi. Matahari sedang terbenam, dan temaram senja telah mewarnai dinding-dinding kuil. Nene meng- hidupkan lentera-lentera di tempat persembahan, sementara ibu Hideyoshi duduk berdoa di hadapan patung Dewi Kannon. Tiba-tiba mereka mendengar prajurit-prajurit bergegas keluar. Ibu Hideyoshi menoleh terkejut dan Nene keluar ke serambi. "Yang Mulia datang!" Seruan para penjaga menggema di pekarangan. Setiap hari mereka menyusuri sungai sejauh enam mil ke arah hulu, untuk berjaga-jaga. Mereka ter- engah-engah karena berlari sampai ke gerbang utama, tapi ketika melihat Nene berdiri di seram- bi, mereka langsung berseru-seru, seakan-akan tak ada waktu lagi untuk mendekat. "Ibu!" Nene berseru. "Nene!" Perempuan tua dan menantunya itu berpelukan sambil menitikkan air mata. Ibu Hideyoshi ber- sujud di hadapan patung Dewi Kannon. Nene berlutut di sampingnya dan membungkuk khid- mat. "Sudah lama anak itu tak berjumpa denganmu. Kau tampak agak lelah. Sikatlah dulu rambutmu." "Baik. Ibu." Nene segera pergi ke kamarnya. Ia menyikat rambut, mengambil semangkuk air dari pipa bambu untuk mencuci muka, lalu cepat-cepat memoles wajah. Semua anggota rumah tangga serta para samurai berada di depan gerbang, berbaris berdasarkan usia dan pangkat untuk menyambut Hideyoshi. Baik tua maupun muda, dan tak sedikit di antaranya penduduk desa, mengintip dari balik pepohonan. Mata mereka membeliak karena ingin tahu apa yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian, dua prajurit yang mendului yang lain tiba di gerbang dan mengumumkan bahwa junjungan mereka berikut rombongannya akan segera menyusul. Setelah melapor pada Nene, mereka bergabung di ujung barisan, dan semua orang terdiam. Semua- nya menantikan kemunculan Hideyoshi di ke- jauhan. Sorot mata Nene tampak muram. Tak lama kemudian sekelompok orang dan kuda datang, udara dipenuhi bau keringat dan debu, serta hiruk-pikuk orang-orang yang hendak mengelu-elukan junjungan mereka. Hideyoshi berada dalam rombongan itu. Per- jalanan singkat dari desa ditempuhnya dengan ber- kuda, tapi di dalam gerbang kuil ia segera turun dari kudanya. Sambil menyerahkan tali kekang pada salah satu pembantunya, ia memandang sekelompok anak kecil yang berdiri di ujung barisan di sebelah kanannya. "Di pegunungan ini tentu banyak tempat ber- main," katanya. Lalu ia menepuk-nepuk bahu para bocah yang berdiri di dekatnya. Mereka semua anak para pengikutnya; ibu, nenek, dan kakek mereka pun hadir di sini. Hideyoshi menatap semuanya sambil tersenyum ketika menuju tangga gerbang. "Hmm, hmm. Kelihatannya semuanya aman. Aku lega." Kemudian ia berpaling ke sebelah kirinya, tempat para prajurit marganya berdiri sambil membisu. Hideyoshi meninggikan suara- nya. "Aku telah kembali. Aku memahami ke- sengsaraan yang kalian derita selama kepergianku. Kalian dipaksa bekerja sangat keras." Para prajurit dalam barisan itu membungkuk. Di bawah gerbang di ujung tangga, para pengikut utama serta anggota-anggota kerabat terdekatnya, tua maupun muda, menunggu untuk menyambut- nya. Hideyoshi hanya melirik ke kiri-kanan sambil tersenyum. Kepada istrinya, Nene, ia hanya melirik sekilas, lalu melewati gerbang kuil tanpa berkata apa-apa. Tapi sejak saat itu sang suami selalu disertai sosok istrinya yang bersahaja. Para pelayan yang mengikuti mereka sambil berkerumun dan para anggora keluarga bubar dan beristirahat, sesuai petunjuk Nene, atau memberi hormat dari serambi, lalu menghilang ke kamar masing-masing. Di dalam kuil utama yang berlangit-langit tinggi, sebuah lentera memancarkan cahayanya yang ber- kelap-kelip. Di sebelahnya duduk seorang perem- puan dengan rambut seputih kepompong ulat sutra, mengenakan kimono berwarna cokelat muda. Ia mendengar suara putranya ketika diantar dari serambi oleh istrinya. Tanpa bersuara, ibu Hide- yoshi berdiri dan pindah ke tepi ruangan. Tata cara untuk kesempatan itu menuntut penyam- butan untuk kepala marga yang pulang dengan membawa kemenangan; ini merupakan tradisi golongan samurai, bukan urusan sehari-hari antara orangtua dan anak. Tapi begitu Hideyoshi melihat ibunya dalam keadaan sehat, ia tak merasakan apa pun selain cinta kasih bagi darah dagingnya sen- diri. Sambil membisu ia menghampiri ibunya. Namun dengan sopan perempuan tua itu menolak. "Kau telah kembali dengan selamat. Sebelum menanyakan penderitaan atau kabarku, maukah kau bercerita mengenai kematian Yang Mulia Nobunaga? Dan tolong beritahu aku, apakah kau berhasil menghancurkan musuh kita, Mitsuhide?" Tanpa sadar Hideyoshi menegakkan badan. Ibunya melanjutkan. "Entah kau menyadarinya atau tidak, tapi hari demi hari yang dicemaskan ibumu yang tua ini bukanlah pertanyaan apakah kau masih hidup atau tidak. Aku bertanya-tanya, apakah kau akan bertindak sebagai Jendral Hideyoshi yang agung, pengikut Yang Mulia Nobunaga. Kemudian aku mendengar kau meng- gempur Amagasaki dan Yamazaki. Tapi sesudah itu kami tidak mendapat berita lagi." "Maafkan kelalaianku." Ibu Hideyoshi sengaja menjaga jarak, dan kata- katanya seakan-akan tidak mengandung nada kasih sayang, tapi Hideyoshi gemetar karena bahagia. Ia merasa teguran ibunya menunjukkan kasih sayang yang jauh lebih besar daripada sekadar kasih sayang seorang ibu, dan teguran itu pun mem- berikan semangat padanya untuk menghadapi masa depan. Hideyoshi lalu bercerita secara terperinci mengenai apa saja yang terjadi setelah kematian Nobunaga, dan tentang hal-hal besar yang ingin diraihnya. Ia membicarakan semuanya secara gamblang, agar dapat dimengerti oleh ibunya yang tua. Baru sekarang ibunya menitikkan air mata dan memuji putranya. "Syukurlah kau berhasil menum- pas orang-orang Akechi dalam beberapa hari saja. Arwah Yang Mulia Nobunaga tentu puas, dan beliau takkan menyesal telah membimbingmu selama ini. Sesungguhnya, aku telah bertekad untuk tidak membiarkanmu melewatkan satu malam pun di sini, seandainya kau datang sebelum melihat kepala Mitsuhide." "Dan aku takkan dapat menemui Ibunda sebelum menuntaskan urusan itu, jadi aku tak ada pilihan selain bertempur terus sampai dua atau tiga hari yang lalu." "Pertemuan kita di sini menunjukkan bahwa jalan yang kautempuh scsuai dengan kehendak para dewa dan Buddha. Hmm... Nene, kemarilah. Kita perlu mengucap syukur bersama-sama." Kemudian perempuan itu sekali lagi berpaling kepada patung Dewa Kannon. Sampai saat itu, Nene duduk terpisah dari Hideyoshi dan ibunya. Namun ketika ibu mertuanya memanggil, ia segera bcrdiri dan menghampiri tempat persembahan. Setelah menyalakan lentera, ia segera kembali. Baru sekarang ia duduk di samping suaminya. Ketiga-tiganya membungkuk ke arah cahaya redup di hadapan mereka. Setelah Hideyoshi menenga- dah dan menatap patung itu, mereka membung- kuk sekali lagi. Sebuah lempeng peringatan ber- tuliskan nama Yang Mulia Nobunaga telah di- tempatkan di sana. Setelah selesai, ibu Hideyoshi merasa seolah- olah sebuah beban berat telah terangkat dari pundaknya. "Nene," perempuan tua itu memanggil dengan lembut. "Anak itu tentu ingin mandi. Sudah siap- kah semuanya?" "Sudah. Mandi memang lebih menyenangkan daripada apa pun, jadi aku sudah menyiapkan semuanya." "Bagus, jadi dia bisa membersihkan keringat dan debu yang melekat. Sementara itu, aku akan ke dapur untuk menyiapkan beberapa hidangan kesukaannya." Perempuan tua itu membiarkan mereka ber- duaan saja. "Nene." "Ya?" "Kurasa kau pun melalui banyak penderitaan kali ini. Tapi dengan segala kesulitan yang kau- hadapi, kau berhasil mengamankan ibuku. Sesungguhnya itulah satu-satunya kekhawatiran- ku." "Istri prajurit selalu siap menghadapi cobaan seperti ini, jadi rasanya tidak terlampau berat." "Betulkah? Kalau begitu, kau paham bahwa tak ada yang lebih memuaskan daripada menoleh ke belakang dan melihat bahwa segala kesulitan telah berhasil kaulewati." "Kalau aku melihat suamiku pulang dengan selamat, aku pun memahami maksud ucapan itu." Keesokan harinya mereka kembali ke Naga- hama. Matahari pagi terpantul pada kabut yang putih. Menyusuri Sungai Azusa, jalanan semakin menyempit, para prajurit turun dan menuntun kuda masing-masing. Di tengah perjalanan, mereka bertemu salah satu perwira staf dari Nagahama yang datang untuk melaporkan situasi perang. "Surat tuanku mengenai hukuman terhadap orang-orang Akechi telah dikirim kepada marga- marga lain, dan barangkali karena segera diberi- tahu, pasukan Yang Mulia Ieyasu telah kembali ke Hamamatsu dari Narumi. Di pihak lain, pasukan Yang Mulia Katsuie, yang sudah sempat mencapai perbatasan Omi, kabarnya kini menghentikan gerak majunya." Hideyoshi tersenyum simpul, lalu bergumam, seakan-akan berbicara pada diri sendiri, "Rupanya kali ini Yang Mulia Ieyasu pun agak bingung. Meski tidak secara langsung, kelihatannya kesiaga- an Ieyasu telah membubarkan kekuatan militer Mitsuhide. Para prajurit Tokugawa pasti amat kecewa, karena terpaksa pulang tanpa sempat men- cicipi pertempuran." Jadi, pada hari kedua puluh lima bulan itu, sehari setelah ia mengantar ibunya ke Nagahama, Hideyoshi bertolak ke Mino. Provinsi Mino sempat dilanda huru-hara, tapi begitu pasukan Hideyoshi maju, daerah itu segera kembali tenteram. Pertama-tama ia menyerahkan benteng di Inabayama kepada Nobutaka, dan dengan demikian ia menunjukkan kesetiaannya terhadap marga bekas junjungannya. Kemudian dengan tenang ia menunggu pertemuan di Kiyosu, yang menurut rencana dimulai pada tanggal dua puluh tujuh bulan itu. (Created by syauqy_arr) Perang Kata-Kata
TAHUN itu Shibata Katsuie berusia lima puluh
dua tahun. Sebagai panglima, ia telah turut serta dalam banyak pertempuran; sebagai laki-laki, ia telah menyaksikan banyak perubahan selama per- jalanan hidupnya. Ia berasal dari keluarga ter- pandang dan kariernya menonjol; ia membawahi pasukan yang kuat, dan dikaruniai tubuh kekar. Tak pelak lagi, ia orang terpilih. Ia sendiri pun beranggapan bahwa hal tersebut tak perlu diper- tanyakan. Pada hari keempat di Bulan Keenam, ia berkemah di Uozaki di Etchu. Begitu menerima kabar mengenai peristiwa Kuil Honno, ia berkata dalam hati. "Tindakanku yang berikut teramat penting, dan aku harus melakukannya dengan baik." Karena itulah ia tidak segera bertindak. Demiki- an hati-hatinya ia. Namun bagaikan angin, pikiran- nya langsung melayang ke Kyoto. Ia paling senior di antara para pengikut marga Oda, sekaligus penguasa militer provinsi-provinsi Utara. Kini, berbekal kebijakan dan kekuatan yang dimilikinya, ia mempertaruhkan seluruh kariernya pada satu langkah. Ia meninggalkan medan perang di Utara dan bergegas menuju ibu kota. Walau dikatakan bergegas, ia memerlukan beberapa hari sebelum meninggalkan Etchu dan menghabiskan beberapa hari lagi di bentengnya di Kitanosho di Echizen. Namun ia sendiri tidak menganggap gerakannya lambat. Begitu orang seperti Katsuie memulai misi sepenting ini, segala sesuatu harus dilakukan berdasarkan peraturan, dan itu menun- tut sikap hati-hati dan pemilihan waktu yang tepat. Kecepatan gerak pasukannya dipandang luar biasa oleh Katsuie, tapi pada waktu pasukan utamanya mencapai perbatasan antara Echizen dan Omi, hari kelima belas di bulan itu telah tiba. Baru menjelang siang keesokan harinya barisan belakang dari Kitanosho menyusulnya, dan seluruh pasukan mengistirahatkan kuda-kuda di jalan tembus pegunungan. Ketika menatap dataran yang membentang di bawah, mereka melihat awan musim panas sudah tinggi di langit. Dua belas hari telah berlalu sejak Katsuie mene- rima kabar mengenai kematian Nobunaga. Me- mang benar, Hideyoshiyang tengah menggempur Klan Mori di wilayah Baratmendapat laporan dari Kyoto satu hari lebih awal daripada Katsuie. Tapi pada hari keempat di bulan itu, Hideyoshi telah berdamai dengan pihak Mori, pada hari kelima ia telah berangkat, pada hari ketujuh ia tiba di Himeji, pada hari kesembilan ia berpaling ke arah Amagasaki, pada hari ketiga belas ia me- naklukkan Mitsuhide dalam pertempuran di Yamazaki, dan pada waktu Katsuie mencapai per- batasan Omi, Hideyoshi telah membersihkan ibu kota dari sisa-sisa pasukan musuh. Meski benar bahwa jalan dari Echizen ke ibu koia lebih panjang dan lebih berat dibandingkan jalan dari Takamatsu, kesulitan yang menghadang Hideyoshi dan kesulitan yang dihadapi Katsuie tidaklah sebanding. Katsuie jelas-jelas mempunyai keuntungan. Ia jauh lebih mudah menggerakkan pasukan dan meninggalkan medan tempur diban- dingkan Hideyoshi. Kalau begitu, apa sebabnya ia demikian terlambat? Jawabannya sederhana: bagi Katsuie, sikap hati-hati dan ketaatan pada per- aturan lebih penting daripada kecepatan. Pengalaman yang diperolehnya dengan turut serta dalam sekian banyak pertempuran, dan rasa percaya diri yang muncul sebagai akibatnya, telah membentuk perisai di sekeliling pemikiran dan kemampuannya mengambil keputusan. Sifat-sirat itu justru menjadi penghalang untuk bergerak cepat pada saat kepentingan negara terancam, dan juga menambah ketidakmampuan Katsuie untuk melampaui taktik dan strategi konvensional. Desa pegunungan Yanagase dipenuhi kuda dan orang. Ibu kota terletak di sebelah barat. Jika ber- paling ke timur, pasukan Katsuie akan melewati Danau Yogo dan memasuki jalan menuju Benteng Nagahama. Katsuie mendirikan markas sementara- nya di pekarangan sebuah tempat persembahan kecil. Katsuie teramat peka terhadap udara panas, dan sepertinya ia menderita akibat udara panas serta pendakian pada hari itu. Setelah menaruh kursi- nya di bawah naungan pepohonan, ia menyuruh memasang tirai dari pohon ke pohon, kemudian ia melepaskan baju tempur di baliknya. Ia lalu duduk membelakangi anak asuhnya, Katsutoshi, dan ber- kata, "Gosoklah punggungku. Katsutoshi." Dua pelayan mengayunkan kipas-kipas besar. Setelah peluhnya mengering, tubuh Katsuie mulai gatal-gatal. "Katsutoshi, lebih keras. Lebih keras," ia meng- gerutu. Anak itu baru berusia lima belas tahun. Sungguh mengharukan melihat sikapnya yang demikian taat di tengah-tengah pergerakan militer. Kulit Katsuie terserang semacam ruam. Dan bukan Katsuie saja yang menderita pada musim panas itu. Di antara para prajurit yang mengena- kan baju tempur yang terbuat dari kulit dan logam, banyak yang mengalami gangguan pada kulit, yang mungkin dapat disebut ruam baju tempur, tapi kasus Katsuie termasuk yang paling parah. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa kelemahan- nya dalam musim panas timbul karena selama tiga tahun terakhir ia menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tugasnya di wilayah Utara. Tapi kenyataan yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa seiring bertambahnya usia, ia pun rupanya semakin melemah. Katsutoshi menggosok lebih keras, seperti yang diperintahkan padanya, sampai kulit Katsuie mulai berdarah. Dua kurir tiba. Yang satu pengikut Hideyoshi, satu lagi pengikut Nobutaka. Mereka membawa surat dari majikan masing-masing, dan bersama- sama mereka menyerahkan surat-surat itu pada Katsuie. Kedua surat itu ditulis sendiri oleh Hideyoshi dan Nobutaka, yang sama-sama berkemah di Kuil Mii di Otsu, dan keduanya ditulis pada hari keempat belas bulan itu. Surat Hideyoshi berbunyi sebagai berikut:
Hari ini aku memeriksa kepala sang jendral pem-
berontak, Akechi Mitsuhide. Dengan demikian. upacara peringatan bagi mendiang junjungan kita berakhir sesuai harapan. Kami ingin mengumumkan hal ini secepat mungkin kepada para pengikut Oda yang berada di wilayah Utara, dan akan segera mengirimkan laporan. Wafatnya junjungan kita telah menimbulkan duka tak terkira dalam hati kita semua, tapi kepala sang jendral pemberontak telah dipajang dan pasukan pemberontak dibasmi sampai ke orang terakhir, semuanya dalam waktu sebelas hari. Kami tidak membanggakan hal ini, tapi kami percaya bahwa tindakan kami akan dapat menenteramkan arwah junjungan kita di akhirat, walau hanya sedikit.
Hideyoshi mengakhiri suratnya dengan ber-
pesan bahwa hasil akhir tragedi ini seharusnya ditanggapi dengan sukacita, tapi Katsuie sama sekali tidak gembira. Justru sebaliknya, roman mukanya memperlihatkan emosi berlawanan, bah- kan sebelum ia selesai membaca. Namun dalam surat balasannya ia tentu saja menulis bahwa tak ada yang dapat membuatnya lebih bahagia dari- pada berita Hideyoshi. Ia juga menekankan bahwa pasukannya sendiri telah maju sampai ke Yanagase. Sambil merenungkan laporan para kurir dan isi kedua surat itu, Katsuie bimbang mengenai lang- kahnya yang berikut. Ketika para kurir pergi, ia memilih sejumlah laki-laki muda dengan kaki kuat dan mengirim mereka dari Otsu ke Kyoto untuk menyelidiki keadaan sesungguhnya di sana. Ke- lihatannya ia berniat tetap berkemah di tempat ia berada, sampai ia mengetahui cerita keseluruhan- nya. "Adakah alasan untuk menganggap laporan ini palsu?" Katsuie bertanya. Ia bahkan lebih terkejut dibandingkan ketika menerima laporan tragis mengenai Nobunaga beberapa hari sebelumnya. Jika ada orang yang mendului Katsuie meng- hadapi pasukan Mitsuhide dalam suatu "pertem- puran peringatan", orang itu seharusnya Nobutaka atau Niwa Nagahide, atau bahkan salah satu peng- ikut Oda di ibu kota yang mungkin bergabung dengan Tokugawa Ieyasu, yang pada saat itu sedang berada di Sakai. Dan kalau begitu, kemenangan takkan tercapai dalam satu hari dan satu malam. Tak seorang pun dalam marga Oda berpangkat lebih tinggi dan Katsuie, dan ia tahu persis bahwa sekiranya ia berada di sana, semua orang akan memandangnya sebagai panglima tertinggi dalam pertempuran melawan pihak Akechi. Itu tak perlu dipertanyakan lagi. Katsuie tak pernah menilai Hideyoshi berdasar- kan penampilannya. Malah sebaliknya, ia menge- nal Hideyoshi cukup baik, dan kemampuan Hideyoshi tak pernah ia anggap enteng. Meski demikian, Katsuie tak habis pikir bagaimana cara Hideyoshi berhasil meninggalkan wilayah Barat begitu cepat. Keesokan harinya pertahanan di sekeliling per- kemahan Katsuie mulai diperkuat. Semua jalan dijaga ketat, dan orang-orang yang datang dari ibu kota dihentikan oleh para prajuritnya untuk di- periksa. Setiap informasi segera diteruskan melalui ber- bagai perwira ke markas besar di perkemahan utama. Berdasarkan keterangan yang terkumpul, tak perlu diragukan lagi bahwa pasukan Akechi telah musnah dan bahwa Benteng Sakamoto telah jatuh. Menurut beberapa orang, api dan asap hitam terlihat mengepul di daerah Azuchi pada hari itu, dan seseorang melaporkan bahwa Yang Mulia Hideyoshi membawa sebagian pasukannya ke arah Nagahama. Keesokan harinya pikiran Katsuie belum juga tenang. Ia masih mengalami kesulitan untuk menentukan langkah selanjutnya, dan terus di- hantui rasa malu. Ia telah membawa pasukannya dari Utara, dan ia tak sanggup berdiam diri sementara Hideyoshi mengambil tindakan. Apa yang harus dilakukan? Seharusnya pengikut Oda yang paling seniorlah yang mengemban tanggung jawab untuk menyerang orang-orang Akechi, tapi tugas tersebut telah dirampungkan oleh Hideyoshi. Lantas, dalam keadaan sekarang, urusan manakah yang paling penting dan men- desak? Dan strategi apa yang akan digunakannya untuk menghadapi Hideyoshi yang kini berada di atas angin? Tak henti-hentinya Katsuie memikirkan Hide- yoshi. Kecuali itu, pemikirannya dikuasai oleh rasa tak senang yang menjurus ke arah kebencian. Setelah mengumpulkan para penasihat seniornya, ia membahas masalah itu bersama mereka sampai larut malam. Keesokan harinya, kurir-kurir dan pembawa-pembawa pesan rahasia bergegas ke segala arah dari markas besar. Pada waktu yang sama, Katsuie menulis surat bernada sangat ber- sahabat kepada Tokugawa Ieyasu. Meski pun telah menitipkan surat balasan khusus pada kurir Nobutaka, Katsuie kini menulis dan mengirim satu surat lagi kepada putra Nobu- naga itu. Ia memilih salah satu pengikut senior sebagai utusan, dan menugaskan dua pengikut lain untuk menyertai orang tersebut, mengisyaratkan pentingnya misi mereka. Untuk menghubungi para pengikut dekat lain- nya, dua juru tulis mencatat kata-kata Katsuie, lalu menghabiskan setengah hari untuk menuliskan lebih dari dua puluh surat. Inti surat-surat itu adalah bahwa pada hari pertama Bulan Ketujuh. mereka semua akan bertemu di Kiyosu untuk membicarakan berbagai masalah penting, misalnya siapa yang akan menjadi penerus Nobunaga, dan bagaimana bekas wilayah Akechi akan dibagi- bagikan. Sebagai pemrakarsa rapat tersebut, Katsuie dapat menegakkan wibawanya sebagai pengikut senior. Tentunya semua pihak mengakui bahwa tanpa kehadirannya, masalah-masalah penting seperti itu tak dapat diselesaikan. Dengan meng- andalkan pengaruh ini sebagai "kunci". Katsuie mengubah arah dan menuju Benteng Kiyosu di Owari. Dalam perjalanan, dari apa yang didengarnya dan dari laporan para pengintai, Katsuie menge- tahui bahwa banyak pengikut Oda yang selamat telah menuju Kiyosu sebelum suratnya diantarkan. Samboshi, putra pewaris Nobunaga, Nobutada, sudah berada di sana, dan dengan sendirinya semua orang menganggap bahwa pusat marga Oda pun akan dipindahkan ke tempat itu. Namun Katsuie menduga Hideyoshi-lah yang telah ber- tindak lancang dengan mengatur segala sesuatu- nya.
Setiap hari pemandangan luar biasa berupa iring-
iringan penunggang kuda yang menaiki bukit menuju gerbang benteng terlihat di Benteng Kiyosu. Tanah yang menjadi titik tolak bagi Nobunaga dalam mewujudkan karya agungnya kini dijadikan tempat untuk membicarakan penyelesaian urusan marga. Para pengikut Oda yang berkumpul di sana mengaku datang dalam rangka kunjungan kehor- matan kepada Samboshi. Tak seorang pun me- nyinggung bahwa ia menerima surat Katsuie, atau bahwa ia datang untuk memenuhi undangan Hideyoshi. Tapi semua orang tahu bahwa pertemuan resmi akan segera dimulai di dalam benteng. Topik pertemuan itu pun bukan rahasia lagi. Hanya pengumuman mengenai hari dan waktunya yang masih perlu dipasang. Setelah para pengikut mengunjungi Samboshi, tak satu pun dan mereka akan kembali ke provinsi asalnya. Masing-masing membawa sejumlah prajurit yang menunggu di tempat mereka menginap di kota. Jumlah penduduk kota benteng telah mem- bengkak, dan itu, bersama udara musim panas dan ukuran kota yang kecil, menciptakan suasana yang luar biasa kacau dan gaduh. Dengan kuda-kuda berlarian di jalanan, pelayan-pelayan yang terlibat perkelahian, dan kebakaran yang berulang kali terjadi, tak ada waktu untuk merasa jemu. Menjelang akhir bulan, kedua putra Nobunaga yang selamat, Nobutaka dan Nobuo, dan para jendralnya, termasuk Katsuie dan Hideyoshi, tiba di Kiyosu. Hanya Takigawa Kazumasu yang belum mun- cul. Karena ketidakhadirannya, ia menjadi sasaran kritik di jalan-jalan. "Takigawa tidak keberatan menerima berbagai jabatan semasa hidup Yang Mulia Nobunaga, bahkan ditunjuk untuk menduduki posisi penting sebagai gubernur jendral Jepang bagian timur, jadi kenapa dia begitu terlambat dalam krisis ini? Sikap- nya sungguh memalukan." Orang lain memberikan kritik yang bahkan lebih pedas lagi. "Dia politikus yang lihai, dan dia bukanlah orang dengan kesetiaan tak tergoyahkan. Kemung- kinan inilah sebabnya dia belum bergerak." Selentingan seperti itulah yang beredar di kedai- kedai minuman. Tak lama setelah itu, kritik mengenai keter- lambatan Katsuie dalam menyerang Mitsuhide pun mulai terdengar di sana-sini. Tentu saja marga- marga yang sedang berada di Kiyosu juga men- dengarnya, dan Hideyoshi segera menerima laporan dari para pengikutnya. "Begitukah? Jadi, itu juga sudah mulai? Kritik ini menyangkut Katsuie, jadi tak seorang pun akan menduga bahwa Katsuie sendiri yang menyebarkan desas-desus itu, tapi kelihatannya dia berusaha menanam benih-benih perpecahan di antara kita pertarungan siasat sebelum rapat besar. Tapi tak apalah, biarkan saja mereka, Takigawa toh sudah berada di pihak Katsuie." Sebelum rapat dimulai, semua orang sibuk mengira-ngira masa depan masing-masing, dan mencoba menerka apa yang ada dalam pikiran yang lain. Sementara itu, pertentangan dan per- setujuan yang tak terucapkan terus berjalan, sama halnya dengan penyebaran desas-desus yang tak berdasar. Dengan segala cara, orang-orang ber- usaha merangkul yang lain serta memecah-belah pihak lawan. Hubungan antara Shibata Katsuie dan Nobu- taka cukup mencurigakan; yang satu memiliki pangkat tertinggi di antara para sesepuh marga, sementara yang satu lagi putra ketiga Nobunaga. Keakraban antara kedua orang ini melampaui urusan resmi dan tak dapat dirahasiakan. Pendapat umum mengatakan bahwa Katsuie bermaksud mengabaikan putra kedua Nobunaga. Nobuo, dan bahwa ia mendukung Nobutaka sebagai pewaris berikut. Namun semua orang pun sependapat bahwa Nobuo pasti akan menentang Nobutaka. Hampir tak ada yang meragukan bahwa Nobutaka atau Nobuokeduanya adik Nobutada, yang gugur di Benteng Nijo pada waktu ayahnya wafatyang akan terpilih sebagai penerus Nobu- naga. Tapi semua orang bingung, siapa di antara keduanya yang harus mereka dukung. Nobuo dan Nobutaka; kedua-duanya lahir pada Bulan Pertama di tahun pertama Eiroku, dan masing-masing kini berusia dua puluh empat tahun. Walaupun terasa janggal bahwa mereka lahir di tahun yang sama, namun mereka tetap disebut kakak dan adik; penjelasannya sederhana saja: mereka lahir dari ibu yang berbeda. Meski Nobuo dianggap sebagai kakak dan Nobutaka sebagai adik. Nobutaka sebenarnya lahir dua puluh hari lebih awal daripada Nobuo. Karena itu, se- harusnya Nobutaka yang dipandang sebagai kakak, kalau saja ibunya tidak berasal dari marga kecil yang tidak terkenal. Itulah sebabnya ia disebut putra ketiga, sementara Nobuo dikukuhkan se- bagai putra kedua. Karena itu pula, walaupun mereka disebut kakak-adik, mereka tidak memiliki keakraban yang lazimnya terjalin antara saudara kandung. Pem- bawaan Nobuo lesu dan negatif, dan satu-satunya sikap positif yang ditunjukkannya adalah per- lawanan terhadap Nobutaka, yang ia pandang sebagai adik yang harus tunduk padanya. Kalau keduanya dibandingkan secara adil, semua orang mengakui bahwa Nobutaka jauh lebih pantas menjadi penerus Nobunaga. Di medan tempur, ia jauh lebih menyerupai panglima daripada Nobuo; ia memperlihatkan ambisi besar dalam tutur katanya sehari-hari, dan yang paling penting, ia tidak malu-malu seperti saudaranya. Jadi, tidaklah mengherankan kalau ia secara mendadak mulai menampilkan sikap agresif tak lama setelah pergi ke Yamazaki dan membuat kehadirannya terasa di perkemahan Hideyoshi. Kesediaannya untuk memikul tanggung jawab se- bagai pewaris Oda tercermin dalam ucapan dan sikapnya belakangan ini, dan seakan-akan ingin membuktikan ambisi yang dipendamnya, setelah pertempuran Yamazaki ia pun mulai membenci Hideyoshi. Bagi Nobuo, yang panik ketika orang-orang Akechi menyerang, Nobutaka mempunyai kata- kata tajam. "Jika hukuman dijatuhkan tanpa pandang bulu, dia pun harus mempertanggungjawabkan tin- dakannya. "Nobuo orang bodoh." Meski perasaan- perasaan tersebut tidak dibeberkan secara terbuka, Kiyosu diliputi suasana tegang, dan dapat dipasti- kan bahwa ada orang yang menyampaikan ucapan tersebut kepada Nobuo. Dalam situasi ini, berbagai persekongkolan tersembunyi membawa sifat-sifat manusia yang paling menjijikkan ke permukaan. Pembukaan rapat dijadwalkan pada hari kedua puluh tujuh bulan ini, tapi karena Takigawa Kazumasu terlambat, pembukaannya terus diun- dur-undur, sampai akhirnya, pada hari pertama Bulan Ketujuh, sebuah pengumuman diedarkan kepada semua pengikut penting yang berada di Kiyosu, "Besok, pada pertengahan kedua jam Naga, semuanya diharapkan hadir di benteng, untuk menentukan siapa yang akan menjadi penguasa negeri. Rapat besar ini akan dipimpin oleh Shibata Katsuie." Nobutaka menaikkan gengsi Katsuie, sementara Katsuie menambah pengaruh Nobutaka, dan keduanya berkoar bahwa kehendak merekalah yang akan dituruti dalam rapat. Kecuali itu, ketika rapat tersebut akhirnya dibuka, ternyata banyak yang memang sudah cenderung berpihak pada mereka. Hari itu semua dinding penyekat di Benteng Kiyosu diangkat, tak pelak karena matahari terus bersinar, sehingga hawa panas dan pengap takkan tertahankan seandainya penyekat-penyekat itu di- biarkan tetap terpasang. Tapi tindakan tersebut juga menunjukkan bahwa pihak penyelenggara berusaha mencegah pembicaraan rahasia. Hampir semua penjaga di dalam benteng merupakan pengikut Shibata Katsuie. Pada Jam Ular, semua pembesar telah ber- kumpul di bangsal utara. Susunan tempat duduk mereka sebagai berikut: Katsuie dan Takigawa duduk di sebelah kanan, menghadap Hideyoshi dan Niwa di sebelah kiri. Pengikut-pengikut berpangkat lebih rendah seperti Shonyu, Hosokawa, Tsutsui, Gamo, dan Hachiya, ditempatkan di belakang mereka. Tempat paling depan, tempat bagi orang-orang dengan ke- dudukan paling tinggi, diberikan kepada Nobutaka dan Nobuo. Tapi dari samping, Hasegawa Tamba terlihat memangku anak kecil. Itu, tentu saja, Samboshi. Di sebelah mereka ada Maeda Geni, pengikut yang menerima perintah terakhir Nobutada ketika Nobutada menghadapi ajal dalam pertempuran di Benteng Nijo. Rupanya ia tidak menganggap sebagai kehormatan bahwa ia satu-satunya yang selamat dan kini hadir di sini. Samboshi baru berusia dua tahun, dan ia pun tak bisa diam ketika dipangku walinya di hadapan para pembesar. Ia merentangkan tangan, men- dorong dagu Tamba, dan berdiri di pangkuannya. Untuk membantu Tamba yang kebingungan, Geni berusaha menghibur anak itu dengan mem- bisikkan sesuatu dari belakang; langsung saja Samboshi meraih melewati bahu Tamba dan menarik telinga Geni. Geni diam saja, dan sekali lagi pengasuh anak yang berlutut di belakang mereka meletakkan lipatan kertas berbentuk burung bangau ke tangan Samboshi. Telinga Geni berhasil diselamatkan. Pandangan para jendral tertuju pada anak itu. Beberapa dari mereka tersenyum samar, sementara yang lain menitikkan air mata secara sembunyi- sembunyi. Hanya Katsuie yang tampak merengut. Sepertinya ia hendak menggerutu mengenai "gangguan yang menyusahkan" itu. Sebagai ketua rapat dan juru bicara yang serius dan penuh wibawa, ia seharusnya membuka acara dengan berbicara paling dulu. Namun kini perhaitan semua orang telah beralih, dan ia ke- hilangan kesempatan berbicara. Akhirnya Katsuie membuka mulut dan berkata, "Tuan Hideyoshi." Hideyoshi langsung menatap matanya Katsuie memaksakan senyum. "Apa yang harus kita lakukan?" ia bertanya, seolah-olah membuka perundingan. "Yang Mulia Samboshi masih kanak- kanak tanpa dosa. Pembatasan gerak-geriknya pasti tidak menyenangkan baginya." "Barangkali memang demikian," ujar Hideyoshi dengan nada datar. Katsuie mungkin merasa Hideyoshi bermaksud menjadi penengah, dan ia segera memperlihatkan sikap menentang. Antipati yang bercampur dengan usaha menegakkan wibawa membuatnya tampak kaku, dan kini ia memasang wajah yang mengungkapkan perasaan tak senang. "Baiklah. Tuan Hideyoshi. Bukankah Tuan sendiri yang menuntut kehadiran Yang Mulia Samboshi? Aku sungguh tak mengerti, tapi..." "Tuan tidak keliru. Aku menyarankannya ber- dasarkan keharusan." "Keharusan?" Katsuie merapikan kerut-kerut pada kimono- nya. Hari belum siang, sehingga udara panas belum seberapa mengganggu, tapi akibat pakaian- nya yang tebal dan gangguan kulit yang diderita- nya, ia rupanya merasa sangat tidak nyaman. Hal seperti itu mungkin dianggap sepele, namun tetap mempengaruhi nada suaranya dan menyebabkan roman mukanya berkesan geram. Pandangan Katsuie mengenai Hideyoshi ber- ubah sejak peristiwa Yanagase. Sampai saat itu, ia menganggap Hideyoshi sebagai junior, dan ber- pendapat bahwa hubungan mereka tidak terlalu baik. Tapi pertempuran Yamazaki merupakan titik balik. Nama Hideyoshi kini terus disebut-sebut sehubungan dengan pekerjaan yang belum tuntas setelah kematian Nobunaga. Dan Katsuie tak sanggup menyaksikan hal itu sambil berpangku tangan. Perasaannya diperkuat oleh reaksinya ter- hadap apa yang dianggapnya kelancangan Hide- yoshi dalam memulai pertempuran peringatan bagi Nobunaga. Dipandang setaraf dengan Hideyoshi sangat mengganggu pikiran Katsuie. Ia tidak terima bahwa perannya sebagai sesepuh marga Oda selama bertahun-tahun dikesampingkan karena sepak terjang Hideyoshi belakangan ini. Kenapa Shibata Katsuie harus menempati posisi lebih rendah dari seseorang yang kini mengenakan kimono dan tutup kepala dengan demikian bangga, tapi di zaman dulu di Kiyosu tak lebih dari pesuruh yang merangkak naik dari jabatan pem- bersih selokan dan tukang sapu kotoran kuda? Hari ini dada Katsuie terasa sesak karena emosi dan strategi yang tak terhitung jumlahnya. "Aku tidak tahu bagaimana pandangan Tuan mcngenai rapat hari ini, tapi pada umumnya para pembesar yang berkumpul di sini menyadari bahwa marga Oda belum pernah bertemu seperti ini untuk membicarakan masalah yang teramat penting. Kenapa anak berumur dua tahun itu harus hadir?" Katsuie bertanya secara blak-blakan. Baik ucapan maupun sikapnya menunjukkan bahwa ia mengharapkan dukungan, bukan saja dari Hideyoshi, melainkan juga dari semua pem- besar yang hadir. Ketika menyadari bahwa ia tak- kan memperoleh jawaban jelas dari Hideyoshi, ia melanjutkan dengan nada yang sama. "Kita tidak punya waktu untuk bermain-main. Kenapa kita tidak minta agar Yang Mulia Samboshi menarik diri sebelum kita membuka rapat ini? Bagaimana, setujukah, Tuan Hideyoshi?" Penampilan Hideyoshi tidak istimewa, meski- pun ia mengenakan kimono resmi. Asal-usulnya tak dapat ditutup-tutupi kalau ia berada bersama orang lain. Mengenai pangkatnya, semasa hidup Nobunaga ia diberi sejumlah gelar penting. Ia telah memper- lihatkan kekuatan sesungguhnya, baik dalam operasi militer di provinsi-provinsi Barat maupun ketika ia meraih kemenangan di Yamazaki. Tapi jika seseorang berhadap-hadapan dengan Hideyoshi, tak aneh bila ia merasa ragu, apakah ia akan berpihak pada Hideyoshi dalam masa yang penuh bahaya ini, dan apakah ia bersedia mem- pertaruhkan nyawa untuknya. Di antara para hadirin, ada yang sepintas lalu tampak cukup mengesankan. Takigawa Kazumasu, misalnya, mempunyai sikap gagah yang oleh semua orang diakui sangat pantas bagi jendral tersohor. Niwa Nagahide memiliki kesederhanaan yang anggun, dan dengan garis rambut yang mulai mundur, ia tampak seperti prajurit yang tegap. Gamo Ujisato paling muda di antara semuanya, tapi dengan asal-usulnya yang terhormat serta kemuliaan wataknya, ia memperlihatkan moralitas tinggi. Dari segi ketenangan dan martabat, Ikeda Shonyu bahkan lebih tidak mengesankan daripada Hideyoshi, namun matanya memancarkan sorot tertentu. Lalu ada Hosokawa Fujitaka yang tulus dan lembut, tapi memiliki kematangan yang mem- buatnya tak dapat diduga. Jadi, walaupun penampilan Hideyoshi biasa- biasa saja, ia tampak lusuh jika berada di tengah orang-orang itu. Para pembesar yang berkumpul untuk mengadakan rapat di Kiyosu pada hari itu termasuk yang paling berpengaruh di antara orang- orang sezaman mereka. Maeda Inuchiyo dan Sassa Narimasa tidak hadir, karena masih bertempur di wilayah Utara. Dan meski ia merupakan kasus khusus, seandainya nama Tokugawa Ieyasu ditam- bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa orang-orang di Kiyosu itu merupakan para pemim- pin negeri. Dan Hideyoshi berada di antara mereka, tanpa terpengaruh oleh penampilannya. Hideyoshi sendiri mengakui kebesaran rekan- rekannya, dan ia berhati-hati serta merendah. Kesombongan yang diperlihatkannya seusai per- tempuran Yamazaki kini tak tampak. Sejak awal ia bersikap sangat serius. Ketika menjawab ucapan Katsuie pun ia menahan diri dengan penuh hor- mat. Namun kini ia sepertinya tak lagi bisa mengelak dari penanyaan Katsuie. "Ucapan Tuan masuk akal. Walau sesungguh- nya ada alasan untuk kehadiran Yang Mulia Samboshi dalam rapat ini, berhubung usianya yang begitu muda, dan karena rapat ini tentu akan ber- langsung lama. Yang Mulia pasti merasa terkung- kung. Jika Tuan menghendakinya, nanti kita minta agar Yang Mulia segera menarik diri." Setelah menanggapi tuntutan Katsuie dengan bahasa demikian halus, Hideyoshi menoleh dan minta kepada sang wali agar Samboshi meninggal- kan ruangan. Tamba mengangguk, dan setelah mengangkat Samboshi dari pangkuan, menyerahkan anak itu kepada pengasuh di belakangnya. Samboshi tampaknya menyukai kerumunan laki-laki ber- pakaian lengkap, dan ia menampik tangan pengasuhnya dengan keras. Tapi perempuan itu tetap memegangnya, lalu berdiri untuk pergi. Samboshi tiba-tiba mengayun-ayunkan tangan dan kaki, lalu mulai menangis. Kemudian ia melempar- kan burung-burungan kertas ke tengah-tengah para pembesar yang sedang duduk. Mata semua orang mendadak berkaca-kaca. Siang pun tiba. Ketegangan di bangsal utama seakan-akan dapat diiris dengan pisau. Katsuie memberikan pidato pembukaan. "Ke- matian tragis Yang Mulia Nobunaga telah menim- bulkan kesedihan mendalam, tapi sekarang kita harus memilih penerus yang pantas untuk me- nyambung perjuangan beliau. Kita wajib memper- lihatkan pengabdian kita, meski beliau telah wafat. Inilah Jalan Samurai." Katsuie melemparkan masalah suksesi kepada para hadirin. Berulang kali ia minta usulan dari mereka, namun tak seorang pun bersedia menjadi orang pertama yang angkat bicara untuk me- nyampaikan pandangannya. Kalaupun ada yang cukup gegabah untuk mengemukakan pemikiran- nya dalam kesempatan itu, seandainya orang yang didukungnya sebagai penerus marga Oda tidak ter- pilih dalam seleksi terakhir, dapat dipastikan nyawanya akan terancam. Tak satu pun dari mereka mau membuka mulut secara sembrono, dan semuanya duduk sambil membisu. Katsuie pun memahami hal itu, dan menunggu dengan sabar. Barangkali ia telah men- duga perkembangan ini. Dengan nada penuh wibawa ia berkata, "Jika tak ada yang mempunyai pendapat tertentu, untuk sementara ini perkenan- kanlah aku mengemukakan pandanganku sebagai pengikut senior." Seketika terlihat perubahan pada roman muka Nobutaka yang duduk di kursi kehormatan. Katsuie menatap Hideyoshi, yang sebaliknya me- mandang bolak-balik antara Takigawa dan Nobu- taka. Gerak-gerik samar ini menimbulkan gelombang- gelombang halus yang memancar dari hati ke hati. Benteng Kiyosu diliputi ketegangan yang bisu, seakan-akan tak ada manusia di dalamnya. Akhirnya Katsuie angkat bicara. "Dalam pan- danganku, Yang Mulia Nobutaka berada dalam usia tepat, dan memiliki kemampuan alami serta asal-usul yang cocok untuk menjadi penerus Yang Mulia Nobunaga. Yang Mulia Nobutaka-lah pilihanku." Pernyataan tersebut disusun secara cermat, sehingga hampir merupakan pengukuhan. Katsuie berpendapat bahwa kendali telah berada di tangan- nya. Tapi kemudian seseorang membantah. "Tidak, itu tidak benar." Orang itu ternyata Hideyoshi. "Dari segi silsilah," ia melanjutkan. "urutan yang tepat adalah putra tertua Nobunaga, Yang Mulia Nobutada, lalu putranya, Yang Mulia Samboshi. Provinsi kita mempunyai hukum, dan marga mem- punyai peraturan rumah ungga." Wajah Katsuie langsung merah. "Ah, tunggu sebentar, Tuan Hideyoshi." "Tidak," balas Hideyoshi. "Tuan akan berdalih bahwa Yang Mulia Samboshi masih kanak-kanak. Tapi jika seluruh margamulai dari Tuan sendiri, serta semua pengikut dan jendralbertekad melin- dunginya, tak ada yang perlu dipermasalahkan. Kesetiaan kira seharusnya tidak dikaitkan dengan usia. Menurutku, jika suksesi dijalankan secara benar, Yang Mulia Samboshi-lah yang harus men- jadi penerus." Terkejut, Katsuie mengeluarkan saputangan dari kimono dan mengusap keringat yang mem- basahi tengkuknya. Apa yang dituntut Hideyoshi memang merupakan hukum marga Oda. Ucapan- nya tak dapat dikesampingkan begitu saja sebagai tuntutan tak berdasar. Orang lain yang memperlihatkan kekhawatiran pada wajahnya adalah Nobuo. Ia merupakan saingan utama Nobutaka dan telah secara resmi dikukuhkan sebagai kakak, sedangkan ibunya berasal dari keluarga terpandang. Tak perlu diragu- kan bahwa ia pun menyimpan ambisi terselubung untuk dipilih sebagai penerus ayahnya. Karena harapannya telah dipupuskan, biarpun hanya secara tak langsung, ia segera menunjukkan wataknya yang asli. Ia tampak seolah-olah tak tahan berada di dalam bangsal. Nobutaka, sebaliknya, menatap Hideyoshi sambil mendelik. Katsuie tak sanggup berkata apa-apa, dan hanya bergumam tak jelas. Orang-orang lain pun tidak menyatakan setuju maupun keberatan. Katsuie telah memperlihatkan maksud sesung- guhnya, dan ucapan Hideyoshi pun tak kalah terus terang. Pendapat kedua orang itu saling ber- lawanan dan telah dikemukakan sedemikian jelas, sehingga semua orang terpaksa berpikir dua kali sebelum berpihak pada salah satu. Keheningan menyelubungi para hadirin, bagaikan kerak tebal. Berkali-kali Katsuie mengajak rekan-rekannya untuk mengemukakan pandangan masing-masing, dan setiap kali ia membuka mulut, Takigawa mcngangguk-angguk. Namun rupanya masih sukar untuk menebak isi hati yang lainnya. Sekali lagi Hideyoshi angkat bicara. "Seandainya istri Yang Mulia Nobutada baru mengandung sekarang, dan kita harus menunggu sampai tali pusar dipotong untuk mengetahui apakah anaknya laki-laki atau perempuan, rapat seperti ini memang diperlukan. Tapi kita sudah mempunyai penerus yang cocok, jadi apa lagi yang perlu dipersoalkan atau dibicarakan? Kupikir kira harus segera memu- tuskan untuk menunjuk Yang Mulia Samboshi." Ia tetap bertahan pada posisinya, bahkan tanpa melirik wajah para pembesar lainnya. Ucapannya terutama ditujukan kepada Katsuie. Meskipun pandangan para jendral lain tidak dikemukakan secara terbuka, mereka tampak ter- gerak oleh pendapat Hideyoshi, dan sepertinya dalam hati mereka setuju dengannya. Sebelum per- temuan dibuka, mereka sempat melihat putra Nobutada yang tak berdaya, dan mereka semua mempunyai anak-anak dalam rumah tangga masing-masing. Mereka samurai, dan walaupun mereka hidup pada hari ini, hari esok tetap me- rupakan tanda tanya. Ketika memandang sosok Samboshi yang mengibakan hati, mau tak mau perasaan mereka pun tersentuh. Perasaan itu didukung oleh alasan yang mulia dan kuat. Meskipun para jendral terus membisu, dalam hati mereka terpengaruh oleh tuntutan Hideyoshi. Scbaliknya, biarpun sampai batas tertentu alasan Katsuie tampak masuk akal, sesungguhnya dasarnya lemah. Alasan itu berpangkal pada suatu kebijaksanaan yang mengabaikan status Nobuo. Tidaklah sukar memperkirakan bahwa Nobuo akan mundur untuk mendukung Samboshi, bukannya Nobutaka. Katsuie berusaha keras menemukan dalih yang dapat digunakannya melawan Hideyoshi. Sejak semula Katsuie sudah yakin bahwa Hideyoshi tak- kan begitu saja menerima usulannya dalam per- temuan hari ini, tapi ia tak menyangka betapa gigihnya orang itu dalam memberikan dukungan kepada Samboshi. Ia pun tidak menduga bahwa begitu banyak jendral akan cenderung mendukung anak itu. "Hmm, baiklah. Sepintas lalu ucapan Tuan memang logis, tapi ada perbedaan besar antara mengurus junjungan berusia dua tahun dan mem- beri hormat pada seseorang yang cukup usia dan memiliki kemampuan militer. Jangan lupa, kita, para pengikut yang masih tersisa, wajib memikul tanggung jawab untuk menegakkan pemerintahan dan mengamankan kebijaksanaan jangka panjang di masa mendatang. Selain itu masih ada berbagai masalah dengan marga Mori dan Uesugi. Apa jadi- nya kalau kita memilih junjungan yang masih kanak-kanak? Perjuangan bekas junjungan kita bisa terhenti di tengah jalan, dan wilayah marga Oda bahkan mungkin berkurang. Tidak, jika kita memilih sikap bertahan, musuh-musuh di keempat sisi kita tentu akan merasa kesempatan mereka telah tiba, dan mereka pasti akan menyerang. Kemudian seluruh negeri akan kembali dilanda kekacauan. Tidak, aku menganggap gagasan Tuan terlalu berbahaya. Bagaimana pendapat yang lain?" Sambil memandang orang-orang yang duduk di bangsal utama, matanya mencari-cari siapa yang mungkin mendukungnya. Namun ia bukan saja tidak menemukan tanggapan tegas, tapi tiba-tiba matanya beradu dengan tatapan orang lain. "Katsuie." Seseorang memanggil namanya dengan nada menentang yang begitu kental, sehingga terasa bagai tikaman dari samping. "Ah, Nagahide, ada apa?" Katsuie langsung membalas dengan muak, tanpa berpikir lebih dulu. "Aku sudah mendengarkan uraianmu yang penuh kebijakan, tapi mau tak mau aku harus membenarkan alasan yang dikemukakan Hide- yoshi. Aku sepenuhnya setuju dengan usul Hide- yoshi." Niwa berkedudukan sebagai sesepuh. Setelah memecahkan keheningan dan menunjukkan bahwa ia berpihak pada Hideyoshi, Katsuie dan semua hadirin lain mendadak gelisah. "Kenapa kau berkata demikian, Niwa?" Niwa telah mengenal Katsuie selama bertahun- tahun, dan mengenalnya dengan baik. Karena itu ia berbicara dengan nada menenangkan, "Jangan gusar, Katsuie." Sambil memandang Katsuie dengan ekspresi ramah, ia melanjutkan, "Bagai- manapun, bukankah Hideyoshi yang paling pandai menyenangkan hati junjungan kita? Dan ketika Yang Mulia Nobunaga menemui ajal sebelum waktunya, Hideyoshi-lah yang kembali dari wilayah Barat untuk menyerang Mitsuhide yang tak ber- moral itu." Katsuie meringis. Tapi ia tak sudi mengaku kalah, dan pendiriannya tercermin dalam sikap tubuhnya. Niwa Nagahide kembali berkata. "Pada waktu itu, kau sibuk dengan operasi militer di wilayah Utara. Kalaupun pasukan yang berada di bawah komandomu tidak siap, seandainya kau bergegas ke ibu kota setelah menerima kabar mengenai kematian Yang Mulia Nobunaga, kau tentu mampu menghancurkan orang-orang Akechi bagaimanapun, statusmu jauh lebih tinggi diban- dingkan Hideyoshi. Tapi karena kelalaianmu, kau terlambat, dan itu patut disesalkan." Semua yang hadir berpendapat sama, dan ucapan Niwa mengungkapkan perasaan mereka yang paling dalam. Kelalaian itulah titik lemah Katsuie. Keterlambatan yang menyebabkan ia tidak ikut ambil bagian dalam pertempuran untuk mem- peringati mendiang junjungan mereka tak dapat dimaafkan. Setelah mengungkapkan hal tersebut, Niwa memberikan dukungan pada Hideyoshi dengan menyebut usulannya sebagai adil dan pantas. Setelah Niwa selesai berbicara, suasana di bangsal utama terasa muram. Seakan-akan hendak membantu Katsuie, Taki- gawa segera memanfaatkan kesempatan itu untuk berbisik-bisik pada orang di sebelahnya, dan dalam sekejap seluruh ruangan dipenuhi suara-suara serupa. Tampaknya kesepakatan semakin sukar ter- capai. Ini mungkin titik balik bagi marga Oda. Di permukaan, tak ada apa-apa selain kegaduhan yang ditimbulkan oleh suara-suara para hadirin, tapi di baliknya terselip kecemasan mengenai hasil kon- frontasi antara Katsuie dan Hideyoshi. Di tengah suasana menyesakkan ini, seorang ahli seni minum teh masuk dan memberi tahu Katsuie bahwa hari telah melewati siang. Sambil mengangguk, Katsuie lalu menyuruh orang itu membawa sesuatu untuk menyeka keringat dari tubuhnya. Ketika salah satu pembantunya menye- rahkan kain puiih yang lembap, ia segera meraih- nya dengan tangannya yang besar dan menyeka keringat dari tengkuk. Pada saat itulah Hideyoshi tiba-tiba memegang perutnya. Sambil meringis dan mengerutkan alis, ia berpaling pada Katsuie dan berkata, "Aku mohon diri sejenak, Tuan Katsuie. Perutku men- dadak sakit." Sekonyong-konyong ia berdiri dan meninggal- kan ruang pertemuan. "Ampun, sakitnya." ia mengeluh keras-keras, sehingga orang-orang di sekitarnya menjadi bingung. Hideyoshi tampak amat tidak sehat ketika merebahkan diri di suatu ruangan terpisah. Namun sepertinya ia masih sanggup menguasai diri. Ia sendiri mengatur bantal agar dapat meng- hadap embusan angin dan pekarangan, mem- belakangi yang lain, dan membuka kerah yang basah karena keringat. Baik dokter maupun para pembantu segera dipanggil. Pengikui-pengikut Hideyoshi pun ber- datangan satu per satu, untuk mengetahui keadaannya. Tapi Hideyoshi menoleh pun tidak. Sambil tetap membelakangi mereka, ia menggerakkan tangan, seakan-akan mengusir lalat. "Ini sudah biasa. Biarkan aku sendiri, dan aku akan segera membaik." Para pembantu cepat-cepat menyiapkan ramuan berbau manis untuk Hideyoshi, dan ia meng- habiskannya dengan sekali tenggak. Kemudian ia kembali berbaring dan sepertinya tertidur, sehing- ga para pembantu dan samurai meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang sebelah. Ruang rapat berjarak agak jauh, jadi Hideyoshi tidak mengetahui perkembangan yang terjadi setelah ia mohon diri. Ia pergi pada waktu para pembantu berulang kali mengumumkan bahwa siang telah tiba, sehingga ada kemungkinan para jendral memanfaatkan kepergiannya dengan me- nangguhkan rapat untuk makan siang. Sekitar dua jam berlalu. Selama itu matahari sore bersinar tanpa ampun. Benteng diliputi ke- damaian, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Niwa memasuki ruangan dan bertanya, "Bagai- mana keadaanmu, Hideyoshi? Perutmu sudah lebih tenang?" Hideyoshi berbalik dan menopangkan badan pada satu siku. Melihat wajah Niwa, ia langsung kembali sadar dan duduk tegak. "Astaga, maafkan aku!" "Katsuie minta aku menjemputmu." "Bagaimana pertemuannya?" "Kita tidak bisa melanjutkan selama kau belum hadir. Katsuie memutuskan bahwa kita akan mulai lagi setelah kau kembali." "Aku sudah mengungkapkan segenap isi hati- ku." "Setelah beristirahat satu jam, sikap para pengikut tampaknya berubah. Katsuie pun pikir- pikir lagi." "Mari kita ke sana." Hideyoshi berdiri. Niwa tersenyum, tapi Hide- yoshi sudah melangkah keluar dengan wajah serius. Katsuie menyambutnya dengan tatapan tajam, sementara orang-orang yang berkumpul di sana kelihatan lega. Suasana ruang rapat telah berubah. Secara tegas Katsuie menyatakan bahwa ia bersedia mengalah, dan menerima usul Hideyoshi. Semua- nya telah sepakat bahwa Samboshi akan dikukuh- kan sebagai pewaris Nobunaga. Seiring perubahan pendirian Katsuie, semua awan mendung yang semula menyelubungi ruang rapat terhapus seketika. Suasana damai mulai bangkit. "Semuanya setuju bahwa Yang Mulia Samboshi dipandang sebagai pemimpin marga Oda, dan aku tidak keberatan." Katsuie mengulangi. Menyadari bahwa pendapatnya sendiri ditolak oleh rekan- rekannya. Katsuie segera menarik komentar- komentar sebelumnya, tapi kekecewaannya nyaris tak tertahankan. Namun ada satu harapan yang masih digeng- gamnya. Harapan itu berkaitan dengan masalah berikut yang akan dibahas dalam rapat: nasib bekas wilayah kekuasaan Akechiatau, dengan kata lain, masalah pembagian wilayah tersebut di antara para pengikut Oda yang selamat. Masalah yang secara langsung menyangkut kepentingan semua jendral ini merupakan masalah pelik yangbahkan lebih dari persoalan suksesitak terelakkan. "Urusan ini seyogyanya diputuskan oleh para pengikut senior," ujar Hideyoshi yang telah meraih kemenangan pertama. Pendapatnya ini sangat memperlancar jalannya rapat. "Baiklah, bagaimana pandangan pengikut paling senior?" Niwa, Takigawa, dan yang lain kini menyelamat- kan muka Katsuie dengan memberikan peran sentral padanya. Namun kehadiran Hideyoshi sukar diabaikan, dan akhirnya rencana usulan Katsuie pun sampai ke tangannya. Rupanya rencana itu tak dapat dirampungkan sebelum menanyakan pendapat Hideyoshi lebih dulu. "Ambilkan kuas," ia memerintahkan. Setelah mencelupkan kuas ke dalam tinta, ia segera men- coreti tiga atau empat ketentuan dan menambah- kan pendapatnya sendiri. Setelah itu ia mengem- balikan rencana usulan tersebut. Sekali lagi Katsuie membacanya, dan ia tampak tak senang. Beberapa saat ia merenung sambil membisu; ketentuan-ketentuan yang memuat keinginannya masih basah oleh lima yang dicoret- kan Hideyoshi. Namun Hideyoshi juga mencoret ketentuan mengenai pengalihan hak atas Benteng Sakamoto pada dirinya, yang digantinya dengan Provinsi Tamba. Dengan memperlihatkan bahwa ia tidak me- mentingkan diri sendiri, ia berharap Katsuie pun bersikap demikian. Akhirnya sebagian besar wilayah Akechi diberikan pada Nobuo dan Nobutaka, dan sisanya dibagi-bagikan, sesuai jasa masing-masing orang pada pertempuran Yamazaki. "Besok masih ada urusan lagi," Katsuie berkata. "Dan mengingat rapat panjang ini berlangsung dalam udara begitu panas, aku yakin kalian semua tentu lelah. Yang jelas, aku merasa letih. Bagai- mana kalau rapat kita tangguhkan?" Katsuie akhirnya memilih cara ini agar ter- hindar dari keharusan untuk segera menanggapi usul baru Hideyoshi. Tak ada yang keberatan. Matahari sore bcrsinar cerah, dan udara panas semakin menyesakkan. Hari pertama telah usai. Keesokan harinya Katsuie menyodorkan kom- promi ke hadapan para pengikut senior. Pada malam sebelumnya ia telah mengumpulkan pengikut-pengikutnya sendiri, dan mengadakan perundingan di tempat mereka menginap. Namun usul baru ini pun ditolak oleh Hideyoshi. Pada hari yang sama, ketentuan mengenai pem- bagian wilayah kembali memisahkan kedua orang itu, dan perselisihan mereka semakin menajam. Tapi pada umumnya para pembesar lain cen- derung berpihak pada Hideyoshi. Katsuie mem- perjuangkan pendiriannya dengan gigih, tapi akhir- nya usul Hideyoshi-lah yang diterima. Siang hari diisi masa jeda, dan pada Jam Kambing, semua keputusan diumumkan kepada para jendral. Wilayah yang dibagi-bagikan terdiri atas wilayah Akechi yang disita serta wilayah pribadi Nobunaga. Urutan teratas pada daftar pembagian provinsi- provinsi Oda ditempati oleh Nobuo, yang menerima seluruh Provinsi Owari, diikuti Nobu- taka, yang memperoleh Provinsi Mino. Yang pertama provinsi asal marga Oda; yang satu lagi rumah kedua Nobunaga. Namun masih ada dua ketentuan yang me- rupakan tambahan berarti terhadap usulan semula: Ikeda Shonyu mendapatkan Osaka, Amagasaki, dan Hyogo, yang bernilai seratus dua puluh ribu gantang; Niwa Nagahide memperoleh Wasaka dan dua distrik di Provinsi Omi. Hideyoshi menerima Provinsi Tamba. Satu-satunya pemberian bagi Katsuie adalah Benteng Nagahama milik Hideyoshi, yang merupa- kan titik strategis pada jalan dari Echizen, provinsi asal Katsuie, ke Kyoto. Katsuie telah menuntut keras agar seluruh provinsi diserahkan kepadanya, dan dalam hati ia mengharapkan tiga atau empat distrik lagi, tapi Hideyoshi mencoret semua pem- berian lain. Hideyoshi hanya mengajukan satu syarat, yaitu agar Nagahama dianugerahkan pada Katsutoyo, anak angkat Katsuie. Malam sebelumnya, para pengikut marga Shibata mengelilingi Katsuie dan memprotes pem- bagian yang sedemikian memalukan. Mereka bah- kan mendesak agar Katsuie menolak rencana itu dan segera meninggalkan Kiyosu, dan sampai rapat hari kedua dibuka, Katsuie pun sependapat dengan mereka. Namun ketika menghadapi orang- orang yang duduk di bangsal utama, ia menyadari bahwa tuntutannya takkan diluluskan. "Meski tidak sepantasnya merendah, aku pun tak ingin dianggap mau menang sendiri. Sebagian besar toh akan menyetujui ketentuan-ketentuan ini. Jadi, kalau aku sendiri yang bersikap menen- tang, keadaan mungkin akan bertambah buruk." Di hadapan pendapat para peserta rapat yang lain, ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali menahan diri. Kalau saja aku bisa merebut daerah Nagahama yang strategis dari tangan Hideyoshi, ia berkata dalam hati. Namun akhirnya ia hanya berharap agar maksud terselubung itu dapat dilaksanakan dalam kesempatan lain, dan ia menerima semua persyaratan sebagaimana adanya. Berlawanan dengan Katsuie yang penuh kebim- bangan. Hideyoshi menampilkan sikap tak peduli. Sejak operasi militer di wilayah Barat sampai saat ia meraih kemenangan di Yamazaki, Hideyoshi telah mengambil alih kepemimpinan dalam bidang militer dan pemerintahan, dan dengan sendirinya orang-orang menyangka ia akan memperoleh bagian lebih besar dibandingkan yang lain. Namun apa yang diterimanya ternyata tak lebih dari Provinsi Tamba. Ia melepaskan wilayah Nagahama dan menyerahkan Sakamotoyang oleh semua orang dianggap patut diambilnyakepada Niwa. Dan Sakamoto merupakan kunci ke Kyoto. Mungkinkah ia sengaja mengabaikan Sakamoto, agar jelas bahwa ia tak bermaksud memegang tampuk pemerintahan? Ataukah ia berpendapat bahwa urusan sepele seperti itu sebaiknya ditentu- kan secara bersama dalam kelompok, karena ia yakin mereka akan mengambil keputusan yang tepat? Saat itu belum ada satu orang pun yang dapat menyelami isi hatinya. (Created by syauqy_arr) Peringatan Tengah Malam
RAPAT akhirnya memutuskan bahwa provinsi
pewaris Nobunaga, Samboshi, adalah tiga ratus ribu gantang di Omi. Hasegawa Tamba dan Maeda Geni ditetapkan sebagai pelindung junjungan muda itu, tapi mereka dibantu oleh Hideyoshi. Azuchi telah dimakan api, dan sampai benteng baru selesai dibangun, Samboshi akan berdiam di Benteng Gifu. Kedua paman Samboshi, Nobuo dan Nobutaka bertindak sebagai walinya. Selain pasal-pasal ter- sebut, masih ada masalah struktur pemerintahan. Tanggung jawab untuk mengutus jendral-jendral ke Kyoto sebagai wakil marga Oda diserahkan pada Katsuie, Hideyoshi, Niwa, dan Shonyu. Usul-usul tersebut segera diterima. Pada upacara penutupan, sumpah setia pada junjungan yang baru ditandatangani dan diucapkan di muka tempat persembahan untuk Nobunaga. Hari ini hari ketiga Bulan Ketujuh. Upacara pertama untuk memperingati kematian Nobunaga seharusnya diselenggarakan pada hari sebelumnya. Seandainya rapat berjalan lancar, upacara itu mungkin dapat diadakan pada hari yang tepat, tapi akibat sikap Katsuie, malam pun berlalu dan upacara peringatan ditunda sampai keesokan harinya. Sambil mengeringkan peluh yang membasahi tubuh dan berganti baju duka, para jendral me- nanti jam yang telah ditentukan untuk upacara peringatan di tempat persembahan benteng. Kawanan nyamuk berkerumun di bawah atap, dan bulan muda tampak mengambang di langit. Dengan tenang para jendral melintasi pekarangan. Kembang teratai berwarna merah dan putih ter- gambar pada pintu geser tempat persembahan. Satu per satu mereka melangkah masuk dan duduk. Hanya Hideyoshi yang tidak muncul. Para jendral membelalakkan mata, seakan-akan tak percaya. Tapi ketika memandang ke arah altar yang jauh di depan, mereka melihat Hideyoshi duduk tenang di bawah altar, sambil memangku Sam- boshi. Semuanya bertanya-tanya, apa gerangan maksud Hideyoshi. Namun ketika mereka memikirkannya lebih jauh, mereka teringat bahwa berdasarkan keputusan rapatlah ia dijadikan pembina sang Junjungan Muda, disamping kedua walinya. De- ngan demikian, ia tak dapat dianggap bersikap lancang. Dan, semata-mata karena tidak menemukan alasan untuk mencela Hideyoshi, Katsuie tampak teramat tidak senang. "Harap menuju altar dalam urutan yang tepat," Katsuie menggeram pada Nobuo dan Nobutaka. Suaranya rendah, dan ia hampir meledak karena jengkel. "Permisi," ujar Nobuo pada Nobutaka, lalu ber- diri. Kini giliran Nobutaka mendongkol. Rupanya ia enggan dinomorduakan di hadapan para jendral, karena merasa hal tersebut akan menempatkannya dalam posisi lebih rendah di masa mendatang. Nobuo menghadap lempeng peringatan ayah- nya, memejamkan mata, dan merapatkan tangan untuk berdoa. Setelah membakar dupa, ia sekali lagi berdoa di depan altar, lalu mundur. Melihat gelagat bahwa Nobuo hendak langsung kembali ke tempat duduknya. Hideyoshi ber- deham, seakan-akan bermaksud mengingatkan Nobuo akan kehadiran Samboshi yang duduk di pangkuannya. Tanpa perlu berkata. "Junjunganmu yang baru ada di sini!" ia menarik perhatian Nobuo. Nobuo tampak kaget, dan sambil tetap berlutut, ia cepat-cepat berpaling ke arah mereka. Pada dasarnya ia memang lemah, dan sikapnya menim- bulkan perasaan iba. Sambil menatap Samboshi, Nobuo membung- kuk penuh hormat. Sesungguhnya ia malah ter- lampau sopan. Bukan sang Junjungan Muda yang membalas dengan anggukan kepala, melainkan Hideyoshi. Samboshi anak manja yang nakal, tapi entah kenapa, di pangkuan Hideyoshi ia setenang boneka kecil. Setelah Nobutaka berdiri, ia pun memanjatkan doa di hadapan arwah ayahnya. Tapi karena telah menyaksikan kejadian yang menimpa Nobuo dan tak ingin ditertawakan oleh para jendral lain, ia membungkuk dengan sikap pantas. Kemudian ia kembali ke tempat duduknya. Giliran berikut jatuh pada Shibata Katsuie. Ketika ia berlutut di muka tempat persembahan, tubuhnya yang besar hampir menutupi altar. Kembang teratai berwarna putih dan merah pada dinding-dinding penyekat serta cahaya lentera yang berkelap-kelip menyebabkan badannya seakan- akan terselubung api kemurkaan. Barangkali ia memberikan laporan panjang-lebar mengenai jalan- nya rapat kepada arwah Nobunaga, atau meng- ucapkan sumpah setia pada junjungannya yang baru. Tapi setelah menyalakan dupa, Katsuie duduk lama sambil berdoa dengan tangan saling menempel. Lalu, memilih mundur sekitar tujuh langkah, ia meluruskan punggung dan berpaling ke arah Samboshi. Karena Nobuo dan Nobutaka telah memberi- kan penghormaian kepada Samboshi, Katsuie tak dapat mengabaikan kewajiban tersebut. Mungkin karena berpikir tak ada pilihan lain, ia menggigit bibir dan mcmbungkuk. Sekali lagi Hideyoshi yang mengangguk-angguk untuk menerima penghormatan yang diberikan pada Samboshi. Katsuie langsung melengos dan kembali ke tempat duduknya. Setelah itu ia duduk sambil merengut. Niwa, Takigawa, Shonyu, Hachiya, Hosokawa, Gamo, Tsutsui, dan para jendral lain memberikan penghormatan. Kemudian mereka pindah ke ruang jamuan makan, dan atas undangan janda Nobutada, duduk untuk bersantap. Meja-meja disiapkan untuk lebih dari tempat puluh tamu. Cawan-cawan diedarkan dan lentera-lentera ber- kelap-kelip dalam embusan angin senja yang sejuk. Ketika mereka mulai berbincang-bincang santai untuk pertama kali dalam dua hari terakhir, masing-masing merasa agak mabuk. Jamuan makan malam itu agak berbeda dari biasanya, karena diadakan seusai upacara per- ingatan, sehingga tak ada yang sampai benar-benar mabuk. Meski demikian, ketika pengaruh sake mulai terasa, para jendral berdiri untuk mengobrol dengan yang lain, dan tawa serta percakapan seru terdengar di sana-sini. Kerumunan orang terlihat di hadapan Hide- yoshi. Dan kemudian satu orang lagi bergabung. "Bolehkah aku minta cawan?" tanya Sakuma Genba. Keperkasaan yang diperlihatkan Genba dalam pertempuran-pertempuran di wilayah Utara selalu dipuji-puji, dan konon tak ada musuh yang ber- jumpa dua kali dengannya. Kasih sayang Katsuie bagi orang itu luar biasa. Ia suka menyebutnya sebagai "Genba-ku", atau "keponakanku", dan dengan bangga ia membeberkan kecakapan militer yang dimiliki Genba. Katsuie mempunyai banyak keponakan. tapi jika ia berkata "keponakanku'. yang dimaksudnya hanya Genba seorang. Meski Genba baru berusia dua puluh delapan tahun, ia memimpin Benteng Uyama sebagai jendral marga Shibata, dan ia mempunyai provinsi dan pangkat yang boleh dibilang tak kalah di- bandingkan para jendral besar yang berkumpul di ruang jamuan makan. "Hai, Hideyoshi," ujar Katsuie. "Berikan cawan pada keponakanku ini." Hideyoshi menoleh, seakan-akan baru me- nyadari kehadiran Genba. "Keponakan?" ia berkata sambil mengamati pemuda itu. "Ah, kau," Penampilan Genba memang sesuai bagi seorang pahlawan yang men- jadi buah bibir semua orang, dan tubuhnya yang kekar menyebabkan Hideyoshi tampak semakin pendek dan lemah. Namun Genba tidak memiliki wajah penuh bekas cacar seperti pamannya. Ia berkulit putih tapi gelap, dan sepintas lalu alisnya menyerupai harimau, sementara tubuhnya bagaikan macan tutul. Hideyoshi menyerahkan sebuah cawan pada Genba. Tapi Genba menggelengkan kepala. "Kalau aku diberi cawan, aku minta yang besar itu." Cawan yang dimaksudnya masih berisi sedikit sake. Tanpa pikir panjang Hideyoshi membuangnya dan berseru. "Mana pelayan?" Mulut botol bersepuh emas menyentuh bibir cawan berwarna merah terang, dan meski isi botol itu segera tertuang habis, cawannya belum penuh. Seseorang lalu membawa botol berikut, dan cawan diisi sampai luber. Si pahlawan muda yang tampan menyipitkan mata, menempelkan cawan ke bibir, dan meng- habiskan isinya dengan sekali tenggak. "Nah, bagai- mana dengan Tuan sendiri." "Aku tidak mempunyai kemampuan seperti itu," ujar Hideyoshi sambil tersenyum. Mendengar penolakan Hideyoshi, Genba men- desak. "Mengapa Tuan tidak mau minum?" "Aku tidak kuat minum banyak." "Apa? Sedikit saja." "Aku minum, tapi tidak banyak." Genba tergelak. Kemudian ia berkata, cukup keras untuk didengar semua orang. "Desas-desus yang beredar ternyata benar. Tuan Hideyoshi memang pandai mencari alasan, dan dia orang yang rendah hati. Dulu sekalilebih dari dua puluh tahun laludia pesuruh yang bertugas menyapu kotoran kuda dan membawa sandal Yang Mulia Nobunaga. Sungguh mengagumkan bahwa dia belum melupakan masa itu." Ia tertawa karena kelancangannya sendiri. Yang lain tentu saja terkesima. Segala percakapan men- dadak terhenti, dan semua orang memandang bolak-balik antara Hideyoshi, yang masih duduk di depan Genba, dan Katsuie. Seketika semua orang melupakan cawan masing-masing. Hideyoshi hanya tersenyum ketika menatap Genba. Dengan kesabaran seorang laki- laki berusia empat puluh lima tahun, ia meman- dang pemuda berumur dua puluh delapan tahun di hadapannya. Perbedaan di antara mereka bukan sekadar perbedaan usia belaka. Perjalanan hidup Hideyoshi selama dua puluh delapan tahun pertama dan jalan yang ditempuh Genba sepan- jang hayatnya sangat berlainan, baik dari segi ling- kungan maupun pengalaman. Genba dapat dipan- dang sebagai anak kecil yang tak mengenal pen- deritaan dunia sesungguhnya. Oleh sebab itu ia di- kenal sombong dan berani. Dan rupanya ia ter- masuk orang yang merasa tak perlu bersikap waspada di suatu tempat yang lebih berbahaya di- bandingkan medan perang mana punsebuah ruangan tempat semua pemimpin saat itu ber- kumpul. "Tapi, Hideyoshi, ada satu hal yang tak bisa ku- terima. Tunggu, dengar dulu. Hideyoshi. Kau punya telinga untuk mendengar?" Genba berseru- seru dengan lancang. Sikap kurang ajarnya bukan karena pengaruh sake semata-mata, melainkan lebih karena ada sesuatu yang mengganjal di hati- nya. Namun Hideyoshi menganggap ucapannya se- bagai ocehan orang mabuk, dan menanggapinya dengan tenang. "Kau mabuk," katanya. "Apa?!" Genba menggelengkan kepala dengan tegas dan menegakkan tubuh. "Ini bukan masalah sepele yang bisa ditimpakan pada sake yang ku- minum. Dengar. Di tempat persembahan tadi, ketika Yang Mulia Nobuo dan Yang Mulia Nobu- taka serta semua jendral lain datang untuk meng- hormati arwah Yang Mulia Nobunaga, bukankah kau duduk di kursi kehormatan sambil memangku Yang Mulia Samboshi dan memaksa mereka mem- bungkuk ke arahmu, satu demi satu?" "Wah, wah," ujar Hideyoshi, tertawa. "Apa yang kautertawakan? Apa yang kauanggap lucu, Hideyoshi? Aku yakin kau sengaja meman- faatkan Yang Mulia Samboshi agar kau, yang tak berarti apa-apa, bisa menerima penghormatan keluarga Oda dan para jendralnya. Ya, itu dia. Dan seandainya aku hadir, dengan senang hati aku akan mencopot kepalaku. Yang Mulia Katsuie dan orang-orang terpandang yang duduk di sini begitu pemurah, sehingga aku jadi tak sabar, dan..." Saat itulah Kaisuie, yang duduk berjarak dua kursi dari Hideyoshi, mereguk isi cawannya sampai habis dan memandang berkeliling. "Genba, apa maksudmu bicara seperti ini mengenai orang lain? Tuan Hideyoshi, keponakanku tidak bermaksud jahat. Jadi jangan hiraukan dia," ia berkata sambil tertawa. Hideyoshi tak bisa marah dan tak sanggup pula tertawa. Ia telah ditempatkan ke dalam posisi di mana ia hanya dapat memaksakan senyum tipis, tapi penampilannya memang cocok untuk situasi seperti itu. "Tuan Katsuie, jangan ambil pusing. Tidak apa- apa." ujar Hideyoshi. Ia jelas-jelas berlagak mabuk. "Jangan pura-pura, Monyet. Hei, Monyet!" Genba bersikap lebih congkak daripada biasanya. "'Monyet! Wah, kali ini lidahku tergelincir, tapi di pihak lain memang tidak mudah mengubah nama yang begitu umum digunakan selama dua puluh tahun. 'Monyet.' Itulah yang teringat olehku. Dulu sekali, dia pesuruh mirip monyet yang bekerja membanting tulang di Bcnteng Kiyosu. Saat itu pamanku sesekali bertugas jaga malam. Menurut cerita yang kudengar, suatu malam pamanku merasa jemu dan mengajak Monyet menemaninya. Pamanku lalu memberikan sedikit sake padanya. Setelah bosan minum-minum, pamanku akhirnya berbaring dan minta agar kakinya dipijat. Monyet yang tahu diri itu dengan senang hati menuruti permintaannya." Semua orang yang hadir mendadak tak lagi merasakan pengaruh sake yang menyenangkan. Wajah mereka menjadi pucat, sementara mulut masing-masing terasa kering. Ini bukan situasi biasa. Bukan tak mungkin bahwa di balik dinding- dinding, di bayang-bayang pepohonan, serta di bawah lantai terdapat pedang, tombak, dan busur yang disembunyikan oleh orang-orang Shibata. Bukankah mereka terus berupaya memancing Hideyoshi agar bertindak sembrono? Sebuah perasaan ganjil, yang dialami oleh semua orang, mulai tumbuh dari perasaan tak percaya, dan perasaan itu terbawa oleh angin senja dan bayang- bayang lentera-lentera yang berkelap-kelip. Musim panas telah mencapai puncaknya, tapi semua orang mendadak merinding. Hideyoshi menunggu sampai Genba selesai, lalu tertawa terbahak-bahak. "Ah, Tuan Keponakan, aku tak tahu dari mana kaudengar cerita itu, tapi kau membangkitkan kenangan indah. Dua puluh tahun silam, monyet tua ini dikenal pandai memijat, dan seluruh marga Oda sempat kuremas-remas. Bukan kaki Tuan Katsuie saja yang pernah merasakan pijatanku. Lantas, ketika aku diberi gula-gula sebagai imbalan, ah, betapa nikmat rasanya! Mengenang masa itu, aku jadi ingin mencicipi gula-gula itu sekali lagi." Hideyoshi kembali tertawa. "Paman dengar itu?" Genba bertanya sambil ber- megah-megah. "Berikanlah sesuatu pada Hide- yoshi. Kalau Paman minta kaki Paman dipijat sekarang, siapa tahu dia mau melakukannya." "Jangan bawa permainan ini terlampau jauh, Genba. Tuan Hideyoshi, dia hanya main-main." "Tidak apa-apa. Sekarang pun aku masih suka memijat kaki orang." "Dan siapa gerangan orang itu?" Genba bertanya sambil tersenyum mencemooh. "Ibuku. Tahun ini usia beliau tujuh puluh tahun, dan memijat kakinya merupakan kese- nangan tersendiri bagiku. Namun, karena aku begitu lama berada di medan perang, belakangan ini aku tak sempat merasakan kesenangan itu. Baiklah, sekarang aku mohon diri dulu, tapi yang lain silakan teruskan acara ini." Hideyoshi orang pertama yang meninggalkan jamuan makan. Ketika ia pergi dan menyusuri selasar utama, tak seorang pun berdiri untuk men- cegahnya. Justru sebaliknya, para pembesar lain merasa bahwa ia bertindak dengan arif dan semua- nya terbebas dari perasaan bahaya yang sempat meliputi mereka. Dua pelayan tiba-tiba muncul dari ruangan di dekat pintu masuk, tempat mereka disuruh me- nunggu, lalu segera menyusulnya. Mereka pun merasakan suasana yang menguasai benteng selama dua hari terakhir. Tapi Hideyoshi tidak memperkenankan para pengikutnya memasuki benteng dalam jumlah besar, jadi pada waktu kedua pelayan itu melihat majikan mereka dalam keadaan aman, pikiran mereka pun langsung tenang. Mereka sudah berada di luar dan sedang mengumpulkan para pembantu dan kuda ketika mereka mendengar sebuah suara memanggil dari belakang. "Tuan Hideyoshi! Tuan Hideyoshi!" Seseorang mencarinya di lapangan yang gelap dan terbuka. Bulan sabit tampak mengambang di langit. "Aku di sebelah sini." Hideyoshi sudah duduk di atas kuda. Takigawa Kazumasu segera menghampirinya. "Ada apa?" Hideyoshi bertanya. Ia menatap Takigawa, seperti seorang junjungan menatap pengikutnya. Takigawa berkata, "Tuan pasti marah sekali. Tapi semuanya hanya akibat sake. Dan keponakan Tuan Katsuie masih muda, seperti Tuan lihat sendiri. Kuharap Tuan sudi memaafkannya," Kemudian ia menambahkan. "Ini sesuatu yang sudah dibicarakan sebelumnya, dan Tuan mung- kin sudah lupa, tapi pada hari keempatbesok akan diadakan perayaan untuk mengumumkan suksesi Yang Mulia Samboshi, jadi jangan sampai Tuan tidak datang. Tuan Katsuie menekankan hal ini setelah Tuan meninggalkan jamuan makan." "Begitukah? Hmm..." "Jagalah supaya Tuan hadir." "Aku mengerti." "Dan sekali lagi, mengenai kejadian tadi. Ku- harap Tuan sudi melupakannya. Aku telah mem- beritahu Tuan Katsuie bahwa Tuan berjiwa besar, dan tentu tidak tersinggung oleh kelakar pemuda mabuk." Kuda Hideyoshi sudah mulai berjalan. "Ayo!" ia berseru kepada para pelayan, dan nyaris menabrak Takigawa. Penginapan Hideyoshi terletak di bagian barat kota, tempat ia bermalam itu terdiri atas kuil Zen yang kecil dan rumah milik keluarga kaya yang disewanya. Anak buahnya dan kuda-kuda tidur di kuil, sementara ia sendiri menempati satu lantai di dalam rumah. Sebenarnya ia bisa dengan mudah ditampung oleh keluarga tersebut, tapi ia disertai sekitar tujuh ratus sampai delapan ratus pengikut. Namun jumlah itu tidak seberapa besar, sebab menurut desas-desus, marga Shibata membawa sekitar sepuluh ribu prajurit ke Kiyosu. Begitu Hideyoshi kembali ke tempatnya meng- inap, ia mengeluh mengenai asap yang memenuhi rumah itu. Setelah memerintahkan agar jendela- jendela dibuka, ia segera membuka jubah kebesarannya dengan lambang bunga paulouwnia. Kemudian ia menanggalkan seluruh pakaiannya dan mengatakan ingin mandi. Karena menyangka majikannya sedang gusar. dengan hati-hati pelayannya menuangkan seember air panas ke punggung Hideyoshi. Tapi Hideyoshi malah menguap ketika memberamkan diri di dalam bak. Kemudian, seakan-akan meregangkan tangan dan kaki, ia mendesah. "Ah, sekarang aku mulai santai. Kelambunya sudah dipasang?" "Kelambu sudah kami siapkan, tuanku." jawab para pelayan yang memegang baju tidurnya. "Bagus, bagus. Sebaiknya kalian semua harus tidur cepat. Dan beritahu para prajurit yang ber- tugas jaga." ujar Hideyoshi dari balik kelambu. Pintu-pintu ditutup, tapi jendela-jendela tetap terbuka, agar angin dapat masuk. Cahaya bulan seakan-akan bergetar. Hideyoshi mulai mengantuk. "Tuanku?" seseorang memanggil dari luar. "Ada apa? Kaukah itu, Mosuke?" "Benar, tuanku. Kepala Biara Arima ada di sini. Dia ingin bertemu empat mata dengan tuanku." "Apa? Arima?" "Hamba telah memberitahunya bahwa tuanku sudah tidur, tapi dia terus mendesak." Sejenak tidak terdengar apa-apa dari balik kelambu. Akhirnya Hideyoshi berkata. "Suruh dia masuk. Tapi sampaikan permintaan maaf karena aku tidak turun dari tempat tidur, dan katakan bahwa aku jatuh sakit di benteng dan sudah minum obat." Mosuke terdengar menuruni tangga. Kemudian seseorang menaiki tangga, dan tak lama kemudian seorang laki-laki telah berlutut di lantai kayu, di depan tempat tidur Hideyoshi. "Para pembantu Tuan memberitahuku bahwa Tuan sudah tidur, tapi..." "Tuan Kepala Biara?" "Ada hal penting yang perlu kusampaikan, jadi aku memberanikan diri datang malam-malam begini." "Setelah mengikuti rapat marga selama dua hari. aku lelah jiwa raga. Tapi apa yang membawa Tuan ke sini di tengah malam buta?" Kepala biara itu berkata pelan-pelan. "Tuan hendak menghadiri jamuan makan untuk Yang Mulia Samboshi di benteng besok?" "Hmm, mungkin aku bisa datang kalau aku minum obat dulu. Rasanya aku hanya terkena panas yang terlampau kuat, lagi pula orang-orang tentu akan gusar sekiranya aku tidak hadir." "Barangkali penyakit Tuan ini justru suatu berkah." "Wah, mengapa Tuan berkata demikian?" "Beberapa jam lalu. Tuan meninggalkan jamuan makan sebelum usai. Tak lama setelah itu, tinggal orang-orang Shibata dan sekutu-sekutu mereka yang masih berada di sana, dan tampaknya mereka diam-diam membahas sesuatu. Aku tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan, tapi Meeda Geni juga curiga, dan akhirnya kami pun mencuri dengar." Si kepala biara tiba-tiba terdiam, dan mengintip ke dalam kelambu, seakan-akan ingin memastikan Hideyoshi mendengarkannya. Seekor kumbang berwarna biru muda mengerik di sudut kelambu. Hideyoshi masih berbaring seperti sebelumnya, memandang langit-langit. "Silakan teruskan cerita Tuan." "Kami tidak tahu persis rencana mereka, tapi kami yakin Tuan takkan dibiarkan hidup. Besok, pada waktu Tuan datang ke benteng, mereka hendak membawa Tuan ke sebuah ruangan, meng- hadapkan Tuan dengan daftar kesalahan Tuan, lalu memaksa Tuan melakukan seppuku, jika Tuan menolak, mereka bermaksud membunuh Tuan. Kecuali itu, mereka akan menempatkan prajurit- prajurit di dalam benteng, dan bahkan menguasai kota benteng." "Hmm, ini cukup mencemaskan." "Sebenarnya Geni sendiri ingin datang ke sini untuk memperingatkan Tuan, tapi kepergiannya dari benteng tentu akan menarik perhatian, jadi aku yang datang. Kalau Tuan sedang sakit sekarang, itu pasti suatu tanda dari para dewa. Mungkin ada baiknya kalau Tuan tidak meng- hadiri perayaan besok." "Entah apa yang harus kulakukan." "Aku berhadap Tuan tidak datang. Jangan pergi ke sana." "Jamuan itu diadakan untuk merayakan pelan- tikan Yang Mulia Samboshi, dan semuanya wajib hadir. Aku berterima kasih atas maksud baik Tuan. Terima kasih banyak." Di balik kelambu, Hideyoshi menempelkan tangan dan berdoa ke arah Kepala Biara yang baru saja pergi. Hideyoshi sangat ahli dalam hal tidur. Terlelap seketika, di mana pun seseorang berada, tampak- nya mudah, tapi sebenarnya kemampuan itu sukar tercapai. Ia mengembangkan kemampuan misterius ini, yang begitu dekat dengan pencerahan, karena ter- desak keadaan, dan ia telah merangkumnya men- jadi semacam semboyan yang selalu ia ikuti, baik untuk mengurangi tekanan di medan perang maupun untuk menjaga kesehatannya sendiri. Masa bodoh. Bagi Hideyoshi, ungkapan seder- hana ini merupakan jimat. Sikap masa bodoh mungkin tak dipandang se- bagai sikap yang patut dibanggakan, tapi sikap itulah yang melandasi kemampuan tidur Hide- yoshi. Ketidaksabaran, angan-angan, kasih sayang, kebimbangan, urgensisegala bentuk ikatan ter- putus seketika pada waktu ia memejamkan mata, dan ia tidur dengan pikiran sebersih kertas putih yang belum tercoret. Dan sebaliknya, pada saat terbangun, ia langsung sadar sepenuhnya. Tapi sikap masa bodoh tidak hanya diguna- kannya pada waktu bertempur dengan cerdik atau saat segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Sepan- jang perjalanan hidupnya, ia telah melakukan banyak kesalahan, tapi tak sekali pun ia merenungi kegagalan-kegagalan atau pertempuran-pertem- puran yang berakhir dengan kekalahan. Pada kesempatan seperti itu, ia selalu teringat semboyan- nya: masa bodoh. Kesungguh-sungguhan yang sering dibicarakan orangketetapan hati yang tak tergoyahkan. Ke- gigihan, atau konsentrasi pada satu hal bukanlah sesuatu yang istimewa bagi Hideyoshi, melainkan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Jadi, bagi Hideyoshi jauh lebih penting mencapai sikap masa bodoh yang memberi peluang padanya untuk melepaskan diri dari sifat-sifat itumeski hanya sejenakagar ia dapat menarik napas lega. Sebaliknya, dengan sendirinya ia menyerahkan masalah hidup dan mati pada konsep yang satu itu: masa bodoh. Ia hanya berbaring sebentar. Satu jamkah ia ter- tidur? Hideyoshi bangun. Ia menuruni tangga dan menuju kamar kecil. Seketika orang yang sedang bertugas jaga berlutut di lantai kayu sambil meme- gang lampion. Segera setelah itu, ketika ia keluar dari toilet, orang lain membawa mangkuk kecil berisi air, dan setelah mendekat, mengguyurkan airnya ke tangan Hideyoshi. Hideyoshi mengeringkan tangan dan memper- hatikan posisi bulan di atas atap. Kemudian ia berpaling pada kedua pelayannya dan bertanya, "Gonbei ada di sini?" Ketika orang yang ditanyai muncul, Hideyoshi mulai menuju tangga dan menoleh ke arah Gonbei sambil berjalan. "Pergi ke kuil dan beritahu orang-orang bahwa kita akan berangkat. Susunan prajurit serta nama jalan-jalan yang harus dilewati sudah dicatat waktu kita meninggalkan benteng semalam, dan diserah- kan pada Asano Yahei, jadi mintalah petunjuk dari dia." "Baik, tuanku." "Tunggu dulu. Ada yang lupa kukatakan. Suruh Kumohachi menemuiku." Suara langkah Gonbei terdengar menyusuri rumpun pohon di belakang rumah, lalu menuju ke arah kuil. Setelah ia pergi, Hideyoshi segera menge- nakan baju tempur dan keluar. Penginapan Hideyoshi berada di dekat per- simpangan jalan Raya Ise dan Jalan Raya Mino. Ia berbelok ke pojok gudang dan berjalan ke arah persimpangan. Kumohachi, yang baru saja menerima panggilan Hideyoshi, bergegas menyusulnya sambil ter- huyung-huyung. "Hamba siap menjalankan perin- tah!" Ia berputar dan berlutut di hadapan Hideyoshi. Kumohachi prajurit berusia tujuh puluh lima tahun, tapi ia tak mudah dikalahkan oleh orang- orang yang lebih muda. Hideyoshi melihat ia datang mengenakan baju tempur. "Wah, urusan ini tidak memerlukan baju tempur. Aku minta kau melakukan sesuatu di pagi hari. Aku ingin kau tinggal di sini." "Di pagi hari? Maksud tuanku, di benteng?" "Benar. Kau segera paham, berkat pengalaman dari masa pengabdianmu yang panjang. Kuminta kau menyampaikan pesan ke benteng bahwa aku jatuh sakit semalam, dan mendadak harus kembali ke Nagahama. Katakan juga aku sangat menyesal karena tak dapat menghadiri perayaan, tapi ber- harap semuanya berjalan lancar. Aku bisa mem- bayangkan Katsuie dan Takigawa akan termenung- menung untuk beberapa saat, jadi aku ingin kau menunggu di sana sambil berlagak pikun dan tuli. Jangan berikan tanggapan terhadap apa pun yang kaudengar, lalu tinggalkan tempat itu, seakan-akan tidak terjadi apa-apa." "Hamba mengerti, tuanku." Tubuh prajurit itu bungkuk seperti udang, tapi tombaknya tak pernah lepas dari tangan. Ia memberi hormat sebelum berdiri, lalu memutar tubuhnya, seakan-akan keberatan baju tempur, dan melangkah pergi. Hampir semua orang di kuil telah berbaris di jalan di muka gerbang. Setiap korps, yang ditandai oleh panji masing-masing, dibagi-bagi menjadi beberapa kompi. Para komandan siaga di atas kuda, di depan unit-unit itu. Api pada sumbu-sumbu tampak berkelap-kelip, namun tak satu obor pun dinyalakan. Bulan di langit menyerupai sabit. Menyusuri pepohonan di tepi jalan, ketujuh ratus prajurit itu bergoyang-goyang dalam kegelapan, seperti ombak di tepi pantai. "Hei! Yahei!" Hideyoshi berseru ketika mele- wati barisan prajurit dan perwiranya. Wajah orang sukar dikenali di bawah bayang-bayang pe- pohonan, dan tiba-tiba muncul laki-laki pendek dengan tongkat bambu. yang diikuti enam atau tujuh orang lain. Sebagian besar prajurit mungkin menyangka ia pemimpin sckelompok kuli barang, tapi ketika mereka menyadari bahwa ia Hideyoshi, mereka segera terdiam dan memundurkan kuda agar tidak menghalangi jalannya. "Hamba di sini! Di sebelah sini!" Asano Yahei berada di kaki tangga. Ia sedang memberikan petunjuk pada sekelompok orang. Ketika mendengar suara Hideyoshi, ia segera me- nyelesaikan penjelasannya dan bergegas meng- hampiri junjungannya itu. "Kau sudah siap?" Hideyoshi bertanya tak sabar, hampir tidak memberi kesempatan padanya untuk berlutut. "Kalau semuanya sudah beres, berangkat- lah segera." "Ya, tuanku, kami sudah siap." Setelah mengambil panji komandan berlam- bang labu emas yang disandarkan di sudut gerbang, ia membawanya ke tengah-tengah barisan dan langsung menaiki kudanya. Hideyoshi berangkat, disertai para pelayan pri- badinya dan sekitar tiga puluh penunggang kuda. Biasanya dalam kesempatan seperti ini sangkakala dibunyikan, tapi saat ini keadaan ridak memung- kinkan. Yahei telah menerima kipas komandan berwarna emas dari Hideyoshi, dan melambaikan- nya satu kali, dua kali, lalu untuk ketiga kali. Dengan aba-aba ini, pasukan berkekuatan tujuh ratus orang mulai bergerak. Kepala barisan lalu berubah arah dan lewat di hadapan Hideyoshi. Semua komandan korps me- rupakan pengikut-pengikut kepercayaan. Hanya sedikit veteran berpengalaman yang terlihat, mung- kin karena sebagian besar ditinggalkan di benteng- benteng Hideyoshi di Nagahama, Himeji, dan tempat-tempat lain. Tengah malam, para prajurit Hideyoshi ber- tolak dari Benteng Kiyosu. Sepertinya mereka menyertai junjungan mere- ka. Setelah membelok ke Jalan Raya Mino, mereka mengawali perjalanan ke Nagahama. Hideyoshi sendiri berangkat segera setelah itu. Rombongan yang menyertainya hanya berjumlah tiga puluh atau empat puluh orang. Ia menempuh rute yang berbeda sama sekali, dan bergegas me- lewati jalan-jalan kecil di tempat tak seorang pun akan memergokinya. Menjelang fajar keesokan harinya, ia akhirnya tiba di Nagahama. ***
"Kita gagal, Genba." ujar Katsuie.
"Tidak, rencana kita sebenarnya sudah sempurna." "Apa ada rencana yang sempurna? Entah di mana kita membuat kesalahan, dan karena itulah ikannya bisa lolos dari jaring." "Hmm, aku sudah memperingatkan Paman. Jika Paman hendak bertindak, jangan bertindak setengah-setengah! Kalau saja kita menyerang tempat bermalam bajingan itu, kepala Hideyoshi tentu sudah berada di hadapan kita sekarang. Tapi Paman berkeras memilih jalan diam-diam. Seka- rang semua usaha kita sia-sia, karena Paman tidak mau mendengarkanku." "Ah, kau masih hijau. Kau menyuruhku memakai rencana yang timpang, sedangkan rencana yang kususun lebih baik. Strategi terbaik adalah menunggu sampai Hideyoshi datang ke benteng, lalu memaksanya membelah perutnya sendiri. Tak ada yang lebih baik dari itu. Tapi berdasarkan laporan semalam. Hideyoshi tiba-tiba meninggalkan tempatnya menginap. Mula-mula kupikir kita memang sial, tapi kemudian aku berubah pikiran. Kalau si haram jadah itu mening- galkan Kiyosu malam-malam, itu justru suatu berkah dari para dewa. Berhubung dia pergi tanpa pemberitahuan sebelumnya, aku bisa melaporkan segala kejahatannya. Kau kusuruh menjebak dan membunuhnya dalam perjalanan, agar keadilan dapat ditegakkan." "Sejak awal Paman telah membuat kesalahan." "Aku membuat kesalahan? Apa maksudmu?" "Pertama, Paman terlampau yakin bahwa Hide- yoshi akan memudahkan usaha kita dengan datang ke benteng. Kemudian, walaupun Paman telah memerintahkan agar aku membawa beberapa prajurit untuk membunuhnya di perjalanan, Paman melakukan kesalahan kedua, yaitu lalai menyuruh orang-orang menjaga jalan-jalan kecil." "Bodoh! Aku memberikan wewenang padamu dan menyuruh para jendral lain mengikuti segala perintahmu, karena aku percaya kau takkan me- lupakan hal sepele seperti itu. Berani-beraninya kau melemparkan kesalahan padaku, padahal kau yang menempatkan prajurit-prajurit kita di jalan utama saja, sehingga Hideyoshi bisa lolos! Akuilah bahwa kau masih kurang berpengalaman!" "Baiklah, kali ini aku minta maaf atas kekhi- lafanku, tapi untuk selanjutnya. Paman, tolong jangan terlalu mengandalkan akal bulus. Orang yang hanyut oleh kelicikannya sendiri, suatu hari mungkin tenggelam di dalamnya." "Apa maksudmu? Kaupikir aku terlalu banyak bersiasat?" "Itu sudah menjadi kebiasaan Paman." "Hah, beraninya kau..." "Bukan aku saja. Paman. Semua orang sepen- dapat. 'Hati-hati menghadapi Yang Mulia Katsuie. Kita tak pernah tahu apa rencananya.'" Katsuie terdiam. Alisnya yang hitam tebal tampak berkerut-kerut. Untuk waktu lama, hubungan antara Paman dan keponakan itu jauh lebih hangat daripada sekadar hubungan antara junjungan dan pengikut. Tapi keakraban berlebihan telah mengikis wibawa dan rasa hormat dalam hubungan mereka, sehing- ga hal-hal tersebut kini telah tiada. Pagi itu Katsuie hanya bisa merengut. Perasaan tak senang yang meliputi dirinya di- timbulkan oleh berbagai sebab. Semalam suntuk ia tidak memejamkan mata. Setelah memberikan perintah pada Gemba untuk memburu Hideyoshi. Katsuie menunggu sampai fajar, menanti laporan yang dapat menghilangkan kesuraman di hatinya. Namun ketika Genba kembali, ia tidak mem- bawa laporan yang ditunggu-tunggu oleh Katsuie. "Ternyata hanya para pengikut Hideyoshi yang melewati Jalan Raya. Hideyoshi sendiri tidak tampak batang hidungnya. Kupikir sia-sia saja kami menyerang mereka, jadi aku kembali dengan tangan kosong, tanpa apa pun sebagai bukti usaha- ku." Laporan itu, ditambah kelelahan Katsuie akibat tidak tidur, menyebabkan ia semakin patah semangat. Lalu Genba pun menyalah-nyalahkannya, se- hingga tidak mengherankan bahwa Katsuie merasa murung pada pagi itu. Tapi kemurungannya tak bisa dibiarkan ber- kelanjutan. Hari itu pelantikan Samboshi diraya- kan. Setelah makan pagi, Katsuie tidur sejenak, lalu mandi. Kemudian ia sekali lagi mengenakan pakaian kebesaran yang panas, serta tutup kepala. Katsuie bukan orang yang mau memperlihatkan bahwa ia merasa murung. Hari ini langit tertutup awan dan udara bahkan lebih lembap daripada kemarin, tapi sikap Katsuie ketika menyusuri jalan menuju Benteng Kiyosu lebih gagah dibandingkan siapa pun di kota benteng, dan wajahnya ber- simbah peluh. Orang-orang garang yang pada malam sebelum nya masih mengencangkan tali pengikat helm dan merayap di tengah rerumputan dan semak-semak dengan membawa tombak dan senapan untuk membunuh Hideyoshi, kini berkumpul dengan topi kebesaran dan pakaian upacara. Busur mereka tersimpan dalam kotak masing-masing dan tombak mereka disarungkan. Semuanya tampak seolah tak tahu apa-apa ketika bergabung dalam iring-iringan menuju benteng. Tentu saja orang-orang yang hendak pergi ke benteng bukan anggota marga Shibata semata- mata. Ada pula orang-orang dari pihak Niwa, Takigawa, dan marga-marga lain. Yang kemarin masih hadir tapi kini tak terlihat lagi hanyalah mereka yang berada di bawah komando Hideyoshi. Takigawa Kazumasu memberitahu Katsuie bahwa Kumohachi telah menunggu di benteng sejak pagi, sebagai utusan Hideyoshi. "Dia bilang Hideyoshi tak bisa hadir hari ini karena sakit, dan Hideyoshi menyampaikan per- mintaan maaf kepada Yang Mulia Samboshi. Dia juga menyinggung bahwa dia ingin bertemu Tuan. Sudah agak lama dia menunggu." Katsuie mengangguk dengan geram. Meski merasa gusar bahwa Hideyoshi pura-pura tidak tahu apa-apa, ia pun terpaksa berlagak tidak memahami duduk perkaranya. Ketika menerima Kumohachi, Katsuie mcngajukan pertanyaan demi pertanyaan dengan penuh curiga. Sakit apakah yang diderita Hideyoshi? Jika ia mendadak me- mutuskan untuk kembali ke Nagahama semalam, mengapa ia tidak memberitahu Katsuie? Seandai- nya diberitahu, Katsuie tentu akan mengunjungi- nya dan mengatur segala sesuatu. Tapi sepertinya daya pendengaran Kumohachi sudah amat menurun, dan ia hanya memahami setengah dari apa yang diucapkan Katsuie. Apa pun yang dikatakan Katsuie, orang tua itu tampak tak paham dan terus mengulangi jawaban yang sama. Menyadari bahwa tatap muka ini hanya buang-buang waktu saja, dengan dongkol Katsuie menduga-duga alasan Hideyoshi mengirim prajurit tua yang pikun ini sebagai utusan resmi. Mengomel pun tak mempan terhadap orang tua itu. Sambil memendam emosi, Katsuie meng- ajukan satu pertanyaan lagi pada Kumohachi, untuk mengakhiri percakapan mereka. "Utusan, berapa usiamu sekarang?" "Tepat... ya, benar sekali." Aku menanyakan umurmu. Berapa usiamu sekarang?" "Ya, Yang Mulia benar sekali." "Apa?" Katsuie merasa dipermainkan. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Kumohachi, dan berteriak dengan suara cukup nyaring untuk memecahkan cermin. "Berapa usiamu tahun ini?" Kumohachi mengangguk-angguk, dan men- jawab dengan tenang. "Ah, hamba mengerti. Yang Mulia menanyakan usia hamba. Sesungguhnya hamba belum melaku- kan sesuatu yang berarti, tapi tahun ini usia hamba tujuh puluh lima tahun." Katsuie tercengang. Betapa konyol bahwa ia sampai naik pitam pada orang tua ini, padahal masih banyak yang harus dikerjakan, sehingga kemungkinan ia takkan sempat beristirahat sepanjang hari. Terdorong oleh kebenciannya terhadap Hideyoshi. Katsuie ber- ikrar bahwa sebentar lagi mereka takkan berada di bawah langit yang sama. "Pulanglah. Ini sudah cukup." Sambil memberi isyarat dengan dagu, ia menyuruh orang tua itu pergi, tapi pantat Kumohachi seperti direkatkan di lantai. "Apa? Bagaimana kalau ada jawaban?" Kumo- hachi bertanya dan memandang Katsuie dengan sabar. "Tidak ada! Tidak ada jawaban. Katakan saja pada Hideyoshi bahwa suatu hari kami akan berjumpa lagi." Dengan ucapan terakhir ini, Katsuie berbalik dan menyusuri selasar sempit ke benteng dalam. Kumohachi pun mengayunkan langkah. Sambil berkacak pinggang, ia menoleh ke arah Katsuie. Dan sambil terkekeh-kekeh, ia akhirnya menuju gerbang benteng. Upacara pelantikan Samboshi dilaksanakan hari itu, dan perayaan yang menyusul mengalah- kan perayaan pada malam sebelumnya. Tiga bangsal di dalam benteng dibuka untuk meng- umumkan pengangkatan junjungan yang baru, dan orang-orang pun datang berbondong-bondong. Topik pembicaraan utama di antara para tamu adalah sikap Hideyoshi yang dianggap menghina. Berpura-pura sakit hingga tidak menghadiri acara yang sedemikian penting benar-benar keterlaluan, dan ada saja yang berkomentar bahwa ketidak- setiaan dan ketidaktulusan Hideyoshi terlihat jelas sekarang. Katsuie tahu bahwa celaan-celaan terhadap Hideyoshi dilontarkan oleh para pengikut Taki- gawa Kazumasu dan Sakuma Genba, namun ia tetap menikmati keyakinan bahwa keuntungan kini berada di pihaknya. Setelah rapat besar, peringatan hari kematian Nobunaga, dan perayaan pelantikan, Kiyosu setiap hari diguyur hujan lebat. Sejumlah pembesar kembali ke provinsi masing- masing, sehari sesudah perayaan itu. Tapi beberapa yang lain tertahan oleh Sungai Kiyosu yang meluap. Mereka yang tertinggal menunggu cuaca cerah, mungkin besok atau hari berikutnya, tapi sementara itu mereka tak dapat berbuat apa-apa selain duduk di tempat mereka menginap. Namun bagi Katsuie masa penantian itu belum tentu sia-sia. Berkali-kali ia dan Nobutaka saling mengun- jungi. Perlu diingat bahwa Oichi, istri Katsuie, merupakan adik Nobunaga, dan dengan demikian bibi Nobutaka. Kecuali itu, sesungguhnya Nobu- taka-lah yang membujuk Oichi untuk menikah lagi dan menjadi istri Katsuie. Sejak pernikahan itulah hubungan antara Katsuie dan Nobutaka menjadi akrab, melebihi hubungan antara saudara ipar semata-mata. Takigawa Kazumasu pun mengikuti pertemuan- pertemuan itu, dan kehadirannya mempunyai arti khusus. Pada hari kesepuluh bulan itu, Takigawa mengirim undangan untuk upacara minum teh kepada para pembesar yang masih berada di Kiyosu. Acara itu diadakan pagi hari. Undangan itu berbunyi sebagai berikut:
Hujan yang melanda Kiyosu belakangan ini sudah
mereda, dan kalian semua ingin segera kembali ke kampung halaman. Pepatah di kalangan prajurit mengatakan bahwa pertemuan mereka yang berikut diliputi ketidakpastian. Sambil mengenang mendiang junjungan kita, aku ingin menawarkan secawan teh tawar di tengah embun pagi.. Aku tahu kalian semua harus bergegas pulang setelah kunjungan panjang ini, tapi aku mengharapkan kehadiran kalian.
Hanya itu yang dikatakan, dan memang hanya
itu yang dapat diharapkan. Tapi para warga Kiyosu dihantui kecemasan ketika melihat orang-orang yang datang dan pergi. Ada apa sebenarnya? Rapat perangkah? Orang seperti Hachiya, Tsutsui, Kanamori, dan Kawajiri menghadiri acara minum teh pagi itu, sementara Nobutaka dan Katsuie mungkin merupakan tamu kehormatan. Tapi apakah pertemuan tersebut memang sekadar minum teh bersama, atau suatu pertemuan rahasia, hanya diketahui oleh sang pengundang dan para tamunya. Pada sore hari, para jendral akhirnya kembali ke provinsi masing-masing. Pada malam hari keempat belas. Katsuie mengumumkan bahwa ia akan pulang ke Echizen, dan pada hari kelima belas ia meninggalkan Kiyosu. Namun begitu ia menyeberangi Sungai Kiso dan memasuki Mino, Katsuie mendengar desas- desus bahwa pasukan Hideyoshi telah menutup semua jalan di pegunungan antara Tarui dan Fuwa, serta menghalangi perjalanan ke Echizen. Katsuie baru saja memutuskan bahwa ia akan menyerang Hideyoshi, tapi sekarang situasi telah berbalik, dan ia bagaikan berjalan di atas lapisan es tipis. Untuk mencapai Echizen, Katsuie harus melewati Nagahama, dan lawannya sudah kembali ke sana. Apakah Hideyoshi akan membiarkannya lewat tanpa menyerangnya? Ketika Katsuie bertolak dari Kiyosu, para jen- dralnya menyarankan ia menempuh jalan memu- tar melalui Ise, provinsi Takigawa Kazumasu. Namun jika ia menuruti saran mereka, dunia tentu akan menyangka ia takut terhadap Hide- yoshisebuah aib yang tak tertahankan oleh Katsuie. Tapi pada waktu mereka memasuki Mino, pertanyaannya tadi terus menghantui. Laporan-laporan mengenai pergerakan pasukan di pegunungan memaksa Katsuie menghentikan barisan dan membentuk susunan tempur, sampai kebenaran laporan-laporan terscbut dapat diselidi- ki. Kemudian terdengar kabar angin bahwa unit- unit di bawah komando Hideyoshi terlihat di daerah Fuwa; Katsuie dan para jendralnya yang duduk di atas kuda langsung merinding. Ketika mencoba membayangkan kekuatan dan strategi musuh yang menghadang, mereka pun diliputi perasaan suram. Pasukan dihentikan secara mendadak di ha- dapan Sungai Ibi, sementara Katsuie dan para perwiranya berunding di tempat persembahan setempat. Harus maju atau mundurkah mereka? Satu strategi yang masuk akal adalah mundur sementara dan menguasai Kiyosu serta Samboshi. Kemudian mereka dapat mengumumkan segala kesalahan Hideyoshi, mempersatukan para pang- lima lain, lalu berangkat lagi dengan kekuatan yang lebih besar. Di pihak lain, sekarang pun mereka membawa pasukan besar, dan sebagai samurai, dengan senang hati mereka akan menerobos barisan lawan untuk meraih kemenangan cepat. Ketika mengira-ngira hasil akhir dari masing- masing alternatif, mereka menyadari bahwa pilihan percuma akan menyebabkan perang ber- larut-larut, sementara pilihan kedua akan memberi kepastian seketika. Namun bukannya tak mungkin bahwa justru mereka sendiri yang akan menderita kekalahan. Medan bergunung-gunung di sebelah utara Sekigahara memang menguntungkan orang untuk memasang jebakan. Kecuali itu, pasukan Hide- yoshi yang kembali ke Nagahama pasti bukan pa- sukan kecil yang baru bertolak dari Kiyosu. Dari Omi bagian selatan sampai ke daerah Fuwa dan Yoro, sejumlah besar orang dari benteng-benteng kecil, keluarga-keluarga pembesar provinsi, dan se- jumlah kediaman samurai menjalin ikatan dengan Hideyoshi. Hanya sedikit yang berhubungan dengan marga Shibata. "Dari sudut mana pun masalah ini kupandang, rasanya tak ada strategi untuk menghadapi Hide- yoshi di sini. Dia pasti sengaja pulang cepat-cepat untuk menarik keuntungan seperti ini. Kurasa kita sebaiknya menghindari pertempuran yang diingin- kannya dalam kondisi sekarang," ujar Katsuie, mengulangi saran para jendralnya. Namun Genba tertawa geram. "Tindakan itulah yang paling tepat jika Paman ingin menjadi bahan tertawaan, karena begitu jerih terhadap Hide- yoshi." Dalam rapat perang mana pun, saran untuk mundur merupakan saran lemah, sementara saran untuk maju dianggap lebih kuat. Pendapat Genba khususnya mempunyai pengaruh besar terhadap para anggota staf lapangan. Keberaniannya yang tiada tara, kedudukannya di dalam marga, serta sikap Katsuie terhadapnya, semua itu merupakan faktor yang dijadikan bahan pertimbangan. "Lari ketika melihat musuh, tanpa melepaskan satu anak panah pun, pasti akan menghancurkan reputasi marga Shibata," salah seorang jendral berkata. "Lain halnya kalau keputusan seperti ini diambil sebelum kita meninggalkan Kiyosu." "Yang Mulia Genba benar. Kalau orang-orang mendengar kita sudah sampai di sini lalu mundur lagi, kita akan menjadi bahan tertawaan bagi generasi-generasi yang akan datang." "Bagaimana kalau kita mundur setelah ben- trokan senjata pertama?" "Mereka toh hanya anak buah si Monyet." Semua prajurit muda mendukung Genba dengan menggebu-gebu. Satu-satunya orang yang tetap membisu adalah Menju Shosuke. "Bagai- mana menurutmu, Shosuke?" Katsuie jarang menanyakan pendapat Shosuke. Belakangan ini Shosuke kurang disenangi Katsuie, karena itu ia lebih banyak diam. Kini ia menjawab dengan patuh. "Hamba sependapat dengan Genba." Di tengah-tengah yang lain, yang semuanya ber- darah panas dan siap bertempur, Shosuke tampak sedingin air dan sepertinya kurang berani, meski masih muda. Tapi ia menjawab seakan-akan tak ada pilihan lain. "Kalau Shosuke pun bisa bersikap begini, kita akan mengikuti saran Genba dan terus maju. Tapi kita perlu mengirim pengintai setelah menye- berangi sungai, dan tidak bertindak sembrono. Pasukan infanteri maju lebih dulu, lalu kesatuan tombak. Tempat para penembak di depan barisan belakang. Kalau musuh memang berusaha men- jebak kita, senjata api tak banyak gunanya di depan. Kalau musuh ada di sini dan para pengintai memberikan tanda, segera bunyikan genderang, tapi jangan perlihatkan kebingungan sedikit pun. Para komandan unit harus menunggu aba-aba dariku." Setelah mendapat perintah, pasukan Katsuie melintasi Sungai Ibi. Ternyata tidak terjadi apa- apa. Ketika mereka mulai bergerak menuju Akasaka, tetap tak ada tanda-tanda kehadiran musuh. Unit-unit pengintai sudah jauh di depan, dan sedang mendekati Desa Tarui. Di sini pun mereka tidak menemukan sesuatu yang aneh. Seorang laki-laki mendekat, ia tampak men- curigakan, lalu segera dihampiri dan ditahan oleh anggota unit pengintai. Ketika diancam dan di- mintai keterangan, orang itu langsung membuka mulut, namun mereka yang mengancamlah yang kecewa. "Kalau kalian ingin tahu apakah aku melihat anak buah Yang Mulia Hideyoshi di jalan tadi, ya, aku memang melihat mereka. Pagi-pagi sekali, di sekitar Fuwa. Sekarang mereka sedang melewati Tarui." "Berapa jumlah mereka?" "Aku tidak tahu pasti, tapi tentunya ada be- berapa ratus orang." "Beberapa ratus?" Para pengintai saling pandang. Setelah melepas- kan orang itu, mereka segera melapor pada Katsuie. Berita itu di luar dugaan. Pasukan musuh begitu kecil, sehingga Katsuie dan para jendralnya semakin waswas. Namun perintah untuk maju telah diberikan. Saat itulah tiba laporan bahwa utusan dari Hideyoshi sedang menuju ke arah mereka. Ketika orang itu akhirnya muncul, mereka meihat bahwa ia bukan prajurit berbaju tempur, melainkan pemuda tampan yang mengenakan mantel sutra dan kimono. Bahkan tali kekang kudanya pun dihiasi dengan mewah. "Nama hamba Iki Hanshichiro," pemuda itu memperkenalkan diri, "pelayan pribadi Yang Mulia Hidekatsu. Hamba datang untuk menawarkan jasa sebagai pemandu bagi Yang Mulia Katsuie." Hanshichiro melewati para pengintai yang ter- bengong-bengong. Sambil berseru-seru bingung, komandan mereka mengejar Hanshichiro, ia begitu terburu-buru, schingga nyaris terjatuh dari kuda. Katsuie dan para perwira stafnya memandang pemuda itu dengan curiga. Mereka telah siap menghadapi pertempuran, dan semangat mereka pun berkobar-kobar. Kemudian, di tengah-tengah tombak dan sumbu senapan yang membara, pemuda tampan ini turun dari kuda dan mem- bungkuk sopan. "Pelayan pribadi Yang Mulia Hidekatsu? Aku tak tahu apa artinya ini, tapi bawa dia ke sini. Kita bisa bicara dengannya," Katsuie memerintahkan. Katsuie melangkah ke pinggir jalan dan berdiri di bawah naungan pohon. Setelah kursinya disiap- kan, ia berusaha menutup-nutupi ketegangan yang meliputi anak buahnya dan dirinya sendiri, lalu mempersilakan utusan Hideyoshi untuk duduk. "Kau bawa pesan?" "Yang Mulia tentu lelah setelah menempuh per- jalanan panjang dalam cuaca panas ini." Hanshi- chiro berkata dengan formal. Anehnya, kata-katanya persis seperti sapaan di masa damai. Sambil mengambil sepucuk surat dari kotak yang tergantung pada bahunya, ia melanjut- kan, "Yang Mulia Hideyoshi menyampaikan salam." Kemudian ia menyerahkan surat itu pada Katsuie. Katsuie menerimanya dengan curiga dan tidak segera membukanya. Sambil mengedip-ngedipkan mata, ia menatap Hanshichiro. "Kaubilang kau pelayan pribadi Tuan Hide- katsu?" "Benar, Yang Mulia." "Bagaimana kabar Tuan Hidekatsu? Baik-baik sajakah dia?" "Ya, Yang Mulia." "Dia tentu sudah bertambah besar." "Tahun ini usia beliau tujuh belas tahun, Yang Mulia." "Wah, sudah sebesar itu? Waktu berlalu dengan cepat, bukan? Sudah lama aku tidak bertemu dengannya." "Hari ini beliau mendapat perintah dari ayah beliau untuk datang ke Tarui guna memberikan sambutan." "Apa?" Katsuie tergagap-gagap. Sebuah kerikil di bawah kaki kursinya remuk akibat berat badannya, yang sama besar dengan rasa kaget di hatinya. Sesungguhnya Hidekatsu putra Nobunaga, dan diangkat anak oleh Hideyoshi. "Sambutan? Siapa yang hendak kausambut?" "Yang Mulia, tentu saja." Hanshichiro menutup wajah dengan kipas dan tertawa. Kelopak mata dan mulut lawan bicaranya gemetar tak terkendali, sehingga ia tak sanggup menahan senyum. "Aku? Dia datang untuk menyambut aku?" Katsuie terus bergumam. Katsuie begitu tercengang, sampai-sampai surat di tangannya terlupakan olehnya. Berulang kali ia mengangguk tanpa sebab jelas. Ketika matanya mengikuti kata-kata yang tertulis, berbagai emosi melintas di wajahnya. Surat itu bukan dari Hide- katsu, melainkan tak pelak ditulis oleh Hideyoshi sendiri. Nadanya sangat jujur.
Jalan antara Omi bagian utara dan Echizen sudah sering
dilalui Tuan, jadi kurasa Tuan takkan tersesat. Meski demikian, aku mengutus putra angkatku, Hidekatsu, sebagai pemandu jalan. Kini beredar kabar burung tak berdasar, yang sesungguhnya tak pantas mendapat perhatian Tuan, bahwa Nagahama merupakan tempat yang baik untuk menghalangi perjalanan Tuan. Untuk membantah laporan-laporan palsu tersebut, aku mengutus putra angkatku guna menyambut Tuan, dan Tuan boleh menahannya sebagai sandera, sampai Tuan melewati daerah ini dengan tenang, Sebenarnya aku bermaksud mengundang Tuan ke Nagahama, namun aku sakit sejak kembali dari Kiyosu....
Setelah mendengar ucapan utusan Hideyoshi
dan membaca surat yang dikirimnya, mau tak mau Katsuie merenungkan ketakutannya sendiri. Ia sempat gemetar ketakutan ketika berusaha mengira-ngira apa yang mungkin tersimpan dalam hati Hideyoshi, dan kini ia merasa lega. Sudah lama ia dikenal sebagai ahli strategi yang lihai, dan ia dianggap begitu penuh intrik, sehingga setiap kali berbuat sesuatu, orang-orang langsung ber- komentar bahwa Katsuie sedang beraksi lagi. Namun pada saat seperti ini, Katsuie bahkan tidak berusaha menutup-nutupi perasaannya dengan berlagak tak acuh. Ini sebagian wataknya yang sangat dipahami almarhum Nobunaga. Nobunaga tahu betul akan keberanian Katsuie, kelihaiannya, dan kejujurannya. Karena ini pula Nobunaga memberikan tanggung jawab berat sebagai pang- lima tertinggi dalam operasi militer di wilayah Utara pada Katsuie, menempatkan sejumlah besar prajurit dan sebuah provinsi besar di bawah komandonya, dan menjadikannya andalan utama. Kini, saat Katsuie merenungkan junjungannya yang begitu memahami dirinya, namun tak lagi berada di dunia, ia merasa tak ada orang yang dapat dipercayainya. Tapi sekarang perasaan Katsuie tiba-tiba ter- sentuh oleh surat Hideyoshi, dan segala prasangka yang dipendamnya berbalik seketika. Ia kini mengakui bahwa permusuhan di antara mereka semata-mata disebabkan oleh kecurigaan dan ketakutannya sendiri. "Setelah junjungan kita tiada, Hideyoshi-lah orang yang patut mendapat kepercayaan kita," ujar Katsuie. Malam itu ia asyik berbincang-bincang dengan Hidekatsu. Keesokan harinya ia melintasi Fuwa beserta pemuda itu dan memasuki Nagahama, sambil terus memeluk kesan baik yang baru diperolehnya. Tapi di Nagahama, setelah ia dan para pengikut seniornya mengantar Hidekatsu sampai ke gerbang benteng, Katsuie sekali lagi dikejutkan ketika mengetahui bahwa Hideyoshi sudah beberapa lama tidak berada di Nagahama. Hideyoshi ternyata telah pergi ke Kyoto untuk menyelesaikan berbagai masalah negara. "Lagi-lagi Hideyoshi mengelabuiku!" kata Katsuie, dan kedongkolannya segera bangkit kem- bali. Terburu-buru ia meneruskan perjalanan pulang.
***
Akhir Bulan Ketujuh telah tiba. Untuk memenuhi
janji yang telah diberikannya, Hideyoshi menye- rahkan Benteng Nagahama berikut daerah sekitar- nya pada Katsuie, yang lalu meneruskannya kepada putra angkatnya, Katsutoyo. Katsuie tetap belum tahu, mengapa Hideyoshi dalam rapat di Kiyosu bersikeras agar benteng itu diberikan pada Katsutoyo. Baik para peserta rapat maupun masyarakat umum tidak menaruh curiga pada syarat tersebut, bahkan tidak berusaha men- duga-duga maksud Hideyoshi . Katsuie mempunyai satu putra angkat lagi, Katsutoshi, anak laki-laki yang pada tahun itu merayakan ulang tahun kelima belas. Tak sedikit anggota marga Shibata menyesalkan bahwa jika hubungan antara Katsuie dan Katsutoyo demikian dingin, masa depan marga bisa terancam. "Katsutoyo selalu ragu-ragu," Katsuie mengeluh. "Tak pernah dia melakukan sesuatu dengan jelas dan tegas. Wataknya tidak cocok untuk menjadi putraku. Katsutoshi, sebaliknya, sama sekali tidak memiliki sifat buruk dalam dirinya. Dia benar- benar menganggapku ayahnya." Tapi jika Katsuie lebih menyukai Katsutoshi dibandingkan Katsutoyo, keponakannya Genba bahkan lebih disayanginya. Kasih sayangnya ter- hadap Genba melampaui kasih sayang biasa bagi keponakan atau putra, dan ia cenderung memu- puk perasaan itu. Karenanya Katsuie terus meng- awasi kedua adik Genba, Yasumasa dan Katsu- masa, dan menempatkan keduanya di benteng- benteng strategis, meski mereka baru berusia dua puluhan. Di tengah keakraban antara para anggota keluarga dan para pengikut, hanya Katsutoyo yang merasa tidak puas dengan ayah angkatnya dan kakak-adik Sakuma. Suatu ketika, dalam perayaan Tahun Baru, pada waktu keluarga dan para pengikut Katsuie ber- datangan untuk mengucapkan selamat Tahun Baru, cawan sake pertama dibagikan oleh Katsuie. Dengan sendirinya Katsutoyo menyangka ia yang akan memperolehnya, dan ia telah maju beringsut- ingsut dengan penuh hormat. "Cawan ini bukan untukmu, Katsutoyo, tapi untuk Genba," ujar Katsuie sambil menarik tangannya. Kemudian diketahui bahwa masalah ini me- rupakan sumber ketidakpuasan bagi katsutoyo, dan cerita tersebut juga terdengar oleh mata-mata dari provinsi lain. Tentunya informasi seperti ini juga sampai ke telinga Hideyoshi. Sebelum menyerahkan Nagahama pada Katsu- toyo, Hideyoshi perlu memindahkan keluarganya ke rumah baru mereka lebih dulu. "Sebentar lagi kita akan ke Himeji. Musim dingin di sana tidak seberapa dingin, dan selalu ada persediaan ikan segar dari laut." Dengan perintah ini, ibu dan istri Hideyoshi. beserta seluruh rumah tangga pindah ke benteng- nya di Himeji. Tapi Hideyoshi sendiri tidak ikut. Waktu tak boleh terbuang sia-sia. Ia me- merintahkan agar benteng di Takaradera di dekat Kyoto direnovasi sepenuhnya. Benteng itu merupa- kan kubu pertahanan Mitsuhide pada waktu pertempuran Yamazaki, dan Hideyoshi mempu- nyai alasan tersendiri mengapa ia tidak menyuruh ibu dan istrinya tinggal di sini. Setiap dua hari ia pergi dari Benteng Takaradera ke ibu kota. Pada waktu kembali, ia mengawasi pembangunan; pada waktu pergi, ia menangani pemerintahan seluruh negeri. Ia kini memikul tanggung jawab untuk meng- amankan Istana Kekaisaran, mengatur pemerin- tahan kota, dan mengawasi semua provinsi. Ber- dasarkan keputusan semula yang diambil dalam rapat Kiyosu, semua bidang pemerintahan di Kyoto akan ditangani bersama-sama oleh keempat pemegang kekuasaanKatsuie, Niwa, Shonyu. dan Hideyoshidan sama sekali bukan oleh Hideyoshi sendiri. Tapi Katsuie berada jauh di Echizen, menjalankan manuver-manuver rahasia bersama Nobutaka dan yang lainnya di Gifu dan Ise; Niwa, walaupun berada dekat di Sakamoto, rupanya telah menyerahkan tanggung jawabnya pada Hide- yoshi ; dan Shonyu sudah menjelaskan bahwa ia, meski diberi jabatan, tak mampu menangani pe- merintahan dan kaum bangsawan, sehingga ia memutuskan untuk tidak terlibat lagi dalam kedua tugas itu. Justru dalam bidang-bidang inilah Hideyoshi memiliki kelebihan. Bakatnya terutama bersifat administratif. Hideyoshi menyadari bahwa kemam- puannya yang paling menonjol bukanlah di medan perang. Tapi ia pun sadar bahwa jika seseorang dengan cita-cita tinggi dikalahkan di medan laga, urusan administratif takkan dapat mencapai ke- majuan berarti. Karena itu, ia selalu memper- taruhkan semuanya dalam suatu pertempuran, dan jika sudah mulai melancarkan operasi militer, ia akan menyelesaikannya sampai tuntas. Sebagai imbalan atas segala jasanya, pihak Istana Kekaisaran memberitahukan bahwa ia akan di- angkat sebagai letnan jendral Pasukan Pengawal Istana. Hideyoshi menolaknya, dan berdalih bahwa ia tidak patut menerima kehormatan sebesar itu, namun pihak Istana berkeras, sehingga Hideyoshi akhirnya bersedia menerima pangkat yang lebih rendah. Berapa banyak orang yang hanya bisa melihat sisi buruk dari kebaikan orang lain! Berapa banyak orang yang menjelek-jelekkan mereka yang bekerja dengan tulus! Ini selalu benar, dan setiap perubahan besar senantiasa menimbulkan gosip dan desas-desus. "Sekarang kesombongan Hideyoshi terungkap jelas. Para bawahannya pun berlagak penting." "Mereka mengabaikan Yang Mulia Katsuie. Sikap mereka seakan-akan hanya Hideyoshi yang berjasa." "Kalau melihat pengaruh yang diraihnya bela- kangan ini, sepertinya mereka berusaha menampil- kan Yang Mulia Hideyoshi sebagai penerus Yang Mulia Nobunaga." Hideyoshi menjadi sasaran kritik yang bertubi- tubi. Namun, seperti biasa, identitas orang-orang yang mencelanya tak dapat dipastikan. Hideyoshi bersikap tak peduli. Ia tak punya waktu untuk mendengarkan gosip. Di Bulan Keenam, Nobunaga wafat; pada pertengahan bulan itu, pertempuran meletus di Yamazaki; pada akhir bulan tersebut, Hideyoshi mundur dari Nagahama dan memindahkan keluarganya ke Himeji; dan di Bulan Kedelapan, ia memulai pembangunan Benteng Takaradera. Kini ia terus mondar-mandir antara Kyoto dan Yamazaki. Jika berada di Kyoto, pada pagi hari ia mengunjungi Istana Kekaisaran; pada sore hari ia meninjau kota, di malam hari ia menangani urusan pemerintahan, mengirim surat-surat balasan, dan menerima tamu; di tengah malam ia mempelajari surat-surat dari provinsi-provinsi jauh; dan pada waktu fajar ia mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut permohonan para bawahannya. Setiap hari ia me- macu kudanya, sementara masih mengunyah makanan yang terakhir disantapnya. Ia sering mendatangi beberapa tempat tujuan secara berurutankediaman seorang bangsawan, pertemuan-pertemuan, peninjauan-peninjauan dan belakangan ia berulang kali menuju bagian utara Kyoto. Di sanalah ia memprakarsai proyek pembangunan berskala raksasa. Di dalam pe- karangan Kuil Daitoku ia mulai membangun satu kuil lagi, yaitu Kuil Sokenin. "Pembangunan harus selesai pada hari ketujuh Bulan Kesepuluh. Pada hari kedelapan semuanya sudah harus rapi, dan pada hari kesembilan persiapan upacara sudah harus rampung. Pastikan pada hari kesepuluh sudah tak ada yang perlu di- kerjakan." Ucapan ini ditujukan pada Hikoemon dan saudara iparnya, Hidenaga. Dalam menangani proyek pembangunan apa pun, Hideyoshi tidak bersedia mengubah batas waktunya. Upacara peringatan dilaksanakan di dalam tempat persembahan selebar seratus delapan puluh empat meter. Tirai berwarna cerah tampak berseri, ribuan lentera gemerlapan bagaikan bintang, dan asap dupa mengambang di sela panji-panji yang berkibar-kibar, membentuk awan ber-warna ungu di atas massa yang berduka cita. Di antara para pendeta terdapat pemuka- pemuka dari kelima kuil Zen utama serta biksu- biksu dari kedelapan sekte Buddha. Orang-orang yang menghadiri upacara itu menyebutkan bahwa mereka seakan-akan melihat kelima ratus arhat dan ketiga ribu murid sang Buddha berkumpul di depan mata. Seusai upacara pembacaan naskah-naskah kuno dan penaburan bunga di hadapan sang Buddha, para kepala biara Zen memberikan penghormatan. Akhirnya Kepala Biara Soken mengucapkan gatha perpisahan, dan dengan sekuat tenaga menyeru- kan. "Kwatz!" Sejenak suasana menjadi hening. Lalu, ketika musik khidmat mulai mengalun kembali, kembang-kembang seroja berguguran, dan satu per satu para hadirin membakar dupa di depan altar. Namun di antara para peserta, setengah dari kerabat Oda yang seharusnya hadir tidak menam- pakkan batang hidung mereka. Samboshi tidak muncul, begitu pula Nobutaka, Katsuie, dan Takigawa. Tapi barangkali yang paling tak terduga adalah maksud-maksud yang tersimpan dalam diri Toku- gawa Ieyasu. Setelah peristiwa Kuil Honno, ia berada dalam posisi unik. Bagaimana pikirannya, atau bagaimana matanya yang dingin memandang perkembangan terakhir, tak seorang pun dapat memastikannya.