Anda di halaman 1dari 219

BUKU DELAPAN

TAHUN TENSHO KESEPULUH


1582

MUSIM PANAS
TOKOH dan TEMPAT

HORI KYUTARO, pengikut senior marga Oda


ODA NOBUTAKA, putra ketiga Nobunaga
ODA NOBUO, putra kedua Nobunaga
NIWA NAGAHIDE, pengikut senior marga Oda
TSUTSUI JUNKEI, pengikut senior marga Oda
MATSUDA TAROZAEMON, pengikut senior
marga Akechi
ISHIDA SAKICHI, pengikut Hideyoshi
SAMBOSHI, cucu dan pewaris Nobunaga
TAKIGAWA KAZUMASA, pengikut senior marga
Oda
MAEDA GENI, pengikut senior marga Oda
SAKUMA GENBA, keponakan Shibata Kaisuie
SHIBATA KATSUTOYO, putra angkat Kaisuie
Kurir Bernasib Buruk

HIDEYOSHI belum bergerak. Debu halus ber-


jatuhan di sekitar kaki lentera kemungkinan sisa-
sisa surat Hasegawa.
Kanbei masuk terpincang-pincang, dan Hide-
yoshi menyambutnya dengan anggukan kepala.
Kanbei menekuk kakinya yang cacat dan duduk di
lantai. Pada waktu ditawan di Benteng Itami, ia
terserang gangguan kulit kepala yang tak kunjung
sembuh, dan ketika ia duduk berdekatan dengan
lentera, rambutnya yang tipis seakan-akan tembus
pandang.
"Hamba telah menerima perintah untuk meng-
hadap Yang Mulia. Apa gerangan yang sedemikian
mendesak di tengah malam ini," tanyanya.
Hideyoshi menjawab. "Hikoemon akan men-
jelaskannya." Kemudian ia melipat tangan dan me-
nundukkan kepala sambil mendesah panjang.
"Tuan Kanbei tentu akan merasa sangat ter-
pukul." Hikoemon mulai berkata.
Kanbei tersohor akan ketabahannya, tapi ketika
mendengar penjelasan Hikoemon, wajahnya men-
jadi pucat. Tanpa berkata apa-apa, ia pun men-
desah, melipat tangan, dan menatap Hideyoshi.
Kyutaro kini maju beringsut-ingsut dan berkata,
"Ini bukan saatnya memikirkan yang telah berlalu.
Angin pembawa perubahan berembus di dunia,
angin baik untuk Yang Mulia. Waktu yang tepat
untuk menaikkan layar dan berangkat."
Kanbei menepuk lutut dan berkata, "Tepat
sekali! Langit dan bumi memang abadi, tapi roda
kehidupan berputar hanya karena segala sesuatu
berubah seiring musim. Dari sudut pandang yang
lebih luas, kejadian ini justru menguntungkan."
Pendapat kedua orang itu membuat Hideyoshi
tersenyum puas, sebab pikiran mereka sejalan
dengan pikirannya sendiri. Meski demikian, ia tak
dapat memperlihaykan perasaannya di depan
umum tanpa risiko salah paham. Bagi seorang
pengikut, kematian junjungannya merupakan
tragedi, suatu tragedi yang harus diberi balasan
setimpal.
"Kanbei, Kyutaro, kalian berdua telah mem-
besarkan hatiku. Hanya ada satu hal yang dapat
kita lakukan sekarang," ujar Hideyoshi dengan
yakin. "Berdamai dengan pihak Mori secepat
mungkin, tanpa diketahui orang banyak."
Ekei, si biksu, telah mendatangi perkemahan
sebagai utusan marga Mori untuk merundingkan
perjanjian damai. Mula-mula Ekei menghubungi
Hikoemon, karena keduanya sudah cukup lama
saling mengenal; kemudian ia bertemu dengan
Kanbei. Sampai saat ini, Hideyoshi menolak
berunding dengan pihak Mori, tanpa memandang
apa yang mereka tawarkan. Pertemuan antara Ekei
dan Hikoemon hari itu berakhir tanpa kesepa-
katan.
Sambil berpaling pada Hikoemon, Hideyoshi
berkata, "Kau bertemu Ekei hari ini. Apa rencana
orang-orang Mori?"
"Kita bisa segera mencapai kesepakatan, jika kita
menyetujui syarat-syarat mereka," balas Hikoemon.
"Tidak!" ujar Hideyoshi dengan tegas, "Syarat-
syarai yang mereka ajukan tak mungkin kuterima.
Dan apa yang ditawarkan Ekei padamu, Kanbei?"
"Lima provinsi, yaitu Bitchu, Bingo, Mimasaka,
Inaba, dan Hoki, jika kita mengakhiri penge-
pungan Benteng Takamatsu dan membiarkan
Jendral Muncharu dan anak buahnya tetap
hidup."
"Sepintas lalu lawaran mereka cukup menarik.
Tapi, kecuali Bingo, keempat provinsi lain yang
ditawarkan marga Mori sudah tidak berada dalam
kekuasaan mereka. Kita tak bisa menerima tawaran
itu tanpa menimbulkan kecurigaan mereka,"
Hideyoshi menanggapi. Tapi jika pihak Mori
mengetahui apa yang telah terjadi di Kyoto,
mereka takkan mau berdamai. Moga-moga mereka
belum mendengar apa-apa. Para dewa memberikan
waktu beberapa jam padaku, tapi kita harus buru-
buru."
"Sekarang baru hari ketiga. Jika besok kita
meminta perundingan damai resmi, pertemuannya
dapat diselenggarakan dalam dua atau tiga hari,"
Hikoemon mengusulkan.
"Tidak, itu terlalu lama." balas Hideyoshi. "Kita
harus mulai sekarang juga. Kita bahkan tak bisa
menunggu sampai fajar. Hikoemon, usahakan agar
Ekei datang lagi ke sini."
"Perlukah hamba mengirim kurir sekarang?"
tanya Hikoemon.
"Tidak, tunggu beberapa waktu. Kedatangan
kurir di tengah malam buta tentu akan membuat-
nya curiga. Kita harus memikirkan masak-masak,
apa yang akan kita sampaikan padanya."

Sesuai perintah Hideyoshi, anak buah Asano Yahei


melakukan pemeriksaan ketat terhadap semua
orang yang masuk atau keluar daerah itu. Sekitar
tengah malam, para penjaga menghentikan orang
buta yang berjalan dengan membawa tongkat
bambu dan menanyakan tujuannya.
Dikepung oleh para prajurit, laki-laki itu ber-
tumpu pada tongkatnya. "Aku bermaksud mengun-
jungi rumah saudara di Desa Niwase," ia berkata
dengan sangai sopan.
"Kalau hendak ke Niwase, mengapa kau ada di
jalan gunung ini di tengah malam?" tanya perwira
yang memegang komando.
"Aku tidak mendapat tempat menginap, jadi
aku terus berjalan saja," si buta membalas sambil
menundukkan kepala, seakan-akan mengharapkan
belas kasihan. "Barangkali Tuan dapat menunjuk-
kan sebuah desa dengan penginapan."
Perwira di hadapannya tiba-tiba berseru, "Dia
hanya pura-pura! Ikat dia."
"Aku tidak pura-pura," si buta menyangkal.
"Aku pemusik buta yang terdaftar di Kyoto. Aku
tinggal bertahun-tahun di sana. Tapi sekarang
bibiku di Niwase sedang menjelang ajalnya." Ia
merapatkan tangan dengan gaya memohon.
"Kau bohong!" ujar si perwira. "Matamu
memang terpejam, tapi aku sangsi apakah kau
memerlukan ini!"
Tanpa peringatan, perwira itu merebut tongkat
si buta dan membelahnya dengan pedang. Sebuah
surat yang tergulung rapat jatuh ke tanah.
Kedua mata orang itu kini tampak berapi-api.
Sambil mencari titik lemah dari lingkaran prajurit
di sekelilingnya, ia bersiap-siap melarikan diri. Tapi
dalam keadaan terkepung oleh dua puluh orang,
musang ini pun tak mungkin lolos. Ia segera di-
ringkus dan diikat sampai nyaris tak dapat ber-
gerak, lalu dinaikkan ke atas kuda, seperti
sepotong barang.
Ia terus mencaci maki dan menyumpah-nyum-
pah, sampai akhirnya dibungkam dengan mulut-
nya dijejali tanah. Sambil memecut perut kuda,
para prajurit segera menuju perkemahan Hide-
yoshi dengan membawa tawanan mereka.
Pada malam yang sama, seorang pertapa di-
hadang oleh patroli lain. Berlainan dengan orang
yang mengaku sebagai pemusik buta, orang ini
bersikap angkuh.
"Aku murid Kuil Shogo," katanya congkak.
"Kami, para pertapa, sering berjalan sepanjang
malam tanpa istirahat. Kakiku melangkah sesuka
hatiku. Apa maksud kalian menanyakan tujuanku?
Orang dengan tubuh seperti awan yang beter-
bangan dan sungai yang mengalir tidak memerlu-
kan tujuan."
Selama beberapa waktu, si pertapa terus
mengoceh dengan nada yang sama, lalu berusaha
kabur. Tapi seorang prajurit berhasil menjegal
kakinya dengan tombak, sehingga ia terempas
sambil berteriak.
Pada waktu menggeledahnya, para prajurit
menemukan bahwa ia sama sekali bukan pertapa.
Ia biksu-prajurit Honganji yang membawa laporan
rahasia mengenai peristiwa di Kuil Honno, untuk
disampaikan pada orang-orang Mori. Ia pun segera
dikirim ke perkemahan Hideyoshi seperti se-
potong barang.
Malam itu hanya dua orang itulah yang ditang-
kap, namun seandainya salah satu dari mereka
sempai lolos dari pemeriksaan dan berhasil men-
jalankan misinya, keesokan paginya kematian
Nobunaga bukan rahasia lagi bagi pihak Mori.
Pertapa gadungan itu tidak diutus oleh
Mitsuhide, tapi orang yang berlagak sebagai
pemusik buta ternyata samurai Akechi yang mem-
bawa surat dari Mitsuhide untuk Mori Terumoro.
Ia bertolak dari Kyoto pada pagi hari kedua.
Mitsuhide juga mengirim kurir lain pada pagi yang
samalewat laut dari Osakatapi karena kapalnya
dihantam badai, kurir itu terlambat mencapai
perkemahan marga Mori.

"Kupikir kita akan berjumpa di pagi hari. "* ujar


Ekei setelah menyapa Hikoemon , "tapi surat Tuan
berpesan agar aku datang secepat mungkin, jadi
aku langsung berangkat."
"Aku mohon maaf karena mengganggu istirahat
Tuan Ekei." Hikoemon membalas tanpa ambil
pusing. "Besok pun tidak apa-apa, dan aku
menyesal bahwa akibat pemilihan kataku yang
kurang cermat, Tuan terpaksa mengorbankan
waktu tidur."
Kanbei membawa Ekei ke suatu tempat yang
lazim disebut Hidung Karak, dan dari sana mereka
menuju rumah petani yang kosong, tempat mereka
mengadakan pertemuan sebelumnya.
Hikoemon duduk tepat di hadapan Ekei, dan
berkata dengan sungguh-sungguh. "Kalau dipikir-
pikir, kita berdua sepertinya terikat oleh satu
karma."
Ekei mengangguk. Kedua-duanya lalu menge-
nang pertemuan mereka di Hachisuka, sekitar dua
puluh tahun silam, ketika Hikoemon masih men-
jadi pimpinan segerombolan ronin, dan dikenal
dengan nama Koroku. Ketika menginap di ke-
diaman Hikoemon, Ekei untuk pertama kali
mendengar mengenai samurai muda bernama
Kinoshita Tokichiro yang belum lama mengabdi
pada Nobunaga di Benteng Kiyosu. Di tahun-
tahun awal itu, ketika kedudukan Hideyoshi
masih jauh di bawah jendral-jendral Nobunaga,
Ekei menulis pada Kikkawa Motoharu: Kekuasaan
Nobunaga masih akan bertahan lama. Sesudah ia
jatuh kelak, Kinoihita Tokichiro-lah orang berikut
yang perlu diperhatikan.
Ramalan Ekei kemudian terbukti luar biasa jitu.
Dua puluh tahun yang lalu ia telah melihat
kemampuan yang tersimpan dalam diri Hideyoshi;
sepuluh tahun yang lalu ia menebak kehancuran
Nobunaga. Namun pada malam itu, ia sendiri tak
mungkin menyadari betapa tepat ramalannya.
Ekei bukan biksu biasa. Ketika ia masih pem-
bantu pendeta yang belajar di Kuil Ankokuji,
Motonari, kepala marga Mori yang terdahulu.
memerintahkan Ekei masuk ke dalam jajaran
pengikutnya. Selama masa hidup Motonari, si
Biksu Kecildemikian julukan yang diberikan
Motonari pada Ekeimenyertai junjungannya
dalam semua operasi militer.
Setelah kematian Motonari, Ekei meninggalkan
marga Mori dan mengembara ke setiap pelosok
Jepang. Ketika kembali, ia diangkat sebagai kepala
biksu di Kuil Ankokuji, dan dijadikan penasihat
kepercayaan oleh Terumoto, kepala marga Mori
yang baru.
Sepanjang perang melawan Hideyoshi, Ekei tak
henti-hentinya menyarankan perdamaian. Ia
mengenal Hideyoshi dengan baik, dan merasa
bahwa wilayah Barat takkan sanggup menangkal
serangannya. Hal lain yang mempengaruhinya
adalah persahabatannya dengan Hikoemon yang
telah terjalin lama.
Sebelumnya, Ekei dan Hikoemon sudah be-
berapa kali bertemu, tapi setiap kali mereka ter-
bentur pada masalah yang sama: nasib Muneharu.
Maka Hikoemon pun berkata pada Ekei,
"Ketika aku berbicara dengan Yang Mulia
Kanbei sebelum ini, beliau mengatakan bahwa
Yang Mulia Hideyoshi sesungguhnya jauh lebih
murah hati daripada yang disangka orang-orang.
Beliau mengisyaratkan bahwa seandainya pihak
Mori bersedia memberikan satu kelonggaran lagi,
perdamaian tentu akan tercapai. Menurut beliau,
jika kami mengakhiri pengepungan dan mem-
biarkan Jendral Muneharu tetap hidup, akan
timbul kesan bahwa pasukan Oda terpaksa mene-
rima kesepakatan untuk berdamai. Yang Mulia
Hideyoshi tak dapat menyampaikan syarat-syarat
tersebut pada Yang Mulia Nobunaga. Satu-satunya
persyaratan kami adalah kepala Muneharu. Tentu-
nya Tuan takkan menemui kesulitan untuk meng-
akhiri masalah ini."
Persyaratan yang diungkapkan Hikoemon
belum berubah, tapi ia sendiri tampak berbeda
sejak pertemuan mereka yang terakhir.
"Aku hanya dapat menegaskan kembali posisi-
ku," balas Ekei. "Jika marga Mori harus menyerah-
kan lima dari kesepuluh provinsinya, dan nyawa
Muneharu tidak terselamatkan, berarti mereka
gagal mengikuti Jalan Samurai."
"Meski demikian, apakah Tuan sempat memas-
tikan sikap mereka setelah pertemuan terakhir
kita?"
"Tak ada perlunya. Pihak Mori takkan pernah
menyetujui kematian Muneharu. Mereka meng-
hargai kesetiaan lebih tinggi daripada apa pun, dan
tak seorang pun, mulai dari Yang Mulia Terumoto
sampai pengikutnya yang paling rendah, akan
menyesalkan pengorbanan itu, biarpun mereka
terpaksa kehilangan seluruh wilayah Barat."
Langit mulai terang; di kejauhan terdengar
ayam jantan berkokok. Malam mulai berganti fajar
di hari keempat bulan itu.
Ekei tidak mau menerima persyaratan Hiko-
emon; sebaliknya, Hikoemon pun tidak bersedia
mengalah. Mereka kembali menghadapi jalan
buntu.
"Hmm, tampaknya tak ada lagi yang perlu
dikatakan." Ekei menyimpulkan dengan lesu.
"Akibat kemampuanku yang terbatas," Hikoe-
mon mohon maaf, "aku tak berhasil mencapai titik
temu dengan Tuan. Jika Tuan berkenan, aku akan
minta Yang Mulia Kanbei untuk menggantikan
tempatku."
"Aku bersedia bicara dengan siapa saja," jawab
Ekei.
Hikoemon menyuruh putranya menghubungi
Kanbei, yang tak lama kemudian tiba di atas
tandunya. Kanbei turun, dan dengan susah payah
ia duduk bersama kedua laki-laki lainnya.
"Akulah yang meminta agar Yang Mulia Hikoe-
mon menemui Tuan Biksu untuk pembicaraan
terakhir," ujar Kanbei. "Jadi, bagaimana hasilnya?
Begitu sukarkah mencapai kata sepakat? Pem-
bicaraan ini sudah berlangsung sejak tengah
malam."
Keterusterangan Kanbei membangkitkan sema-
ngat mereka. Wajah Ekei bertambah cerah dalam
cahaya pagi. "Kami telah berusaha," ia berkata
sambil tertawa. Dengan alasan harus memper-
siapkan penyambutan Nobunaga, Hikoemon
mengundurkan diri.
"Yang Mulia Nobunaga akan berkunjung selama
dua atau tiga hari," kau Kanbei. "Setelah ini, sukar
rasanya menemukan waktu untuk melanjutkan
perundingan damai."
Gaya diplomasi Kanbei sederhana dan lurus,
juga amat angkuh. Jika pihak Mori hendak ber-
debat mengenai persyaratan, tak ada jalan keluar
selain perang.
"Jika Tuan dapat membantu pasukan Oda hari
ini, masa depan Tuan tentu akan terjamin."
Setelah berganti lawan bicara, hilanglah ke-
fasihan lidah Ekei. Namun wajahnya tampak lebih
bersemangat dibandingkan ketika ia menghadapi
Hikoemon.
"Jika dapat dipastikan bahwa Muneharu akan
melakuan seppuku, aku akan menanyakan masalah
penyerahan kelima provinsi kepada Yang Mulia.
dan aku yakin beliau bersedia mencari jalan
tengah. Tapi bagaimanapun sudikah Tuan me-
nyampaikan tawaran kami kepada Jendral Kikkawa
dan Jendral Kobayakawa pagi ini? Aku punya
firasat ini merupakan penentuan damai dan
perang."
Mendengar uraian Kanbei, Ekei merasa ter-
dorong untuk bertindak. Perkemahan Kikkawa di
Gunung Iwasaki hanya berjarak sekitar tiga mil.
Perkemahan Kobayakawa di Gunung Hizashi
berjarak kurang dari enam mil. Tak lama
kemudian, Ekei terlihat memacu kudanya.
Setelah mengantar biksu itu, Kanbei men-
datangi Kuil Jihoin. Ia mengintip ke kamar
Hideyoshi dan menemukannya sedang tidur.
Lentera di meja telah padam, minyaknya habis
terbakar. Kanbei membangunkan Hideyoshi dan
berkata, "Tuanku, hari sudah mulai terang.
"Fajar?" tanya Hideyoshi sambil terkantuk-
kantuk. Kanbei segera melaporkan pertemuannya
dengan Ekei. Hideyoshi merengut, tapi segera
bangkit.
Para pelayan sudah menunggu di ambang pintu
pemandian, siap dengan air, agar Hideyoshi dapat
menyegarkan diri.
"Begitu selesai makan, aku akan meninjau
seluruh perkemahan. Keluarkan kudaku seperti
biasa, dan suruh pembantu-pembantuku bersiap-
siap," ia memerintahkan sambil mengeringkan
wajah.
Hideyoshi berkuda di bawah payung besar.
didahului oleh panji komandan. Sambil terayun-
ayun di pelana, ia lewat di bawah pohon-pohon
ceri yang sedang berbunga, di sepanjang jalan dari
gerbang kuil ke kaki gunung,
Setiap hari Hideyoshi meninjau perkemahan.
Waktunya tidak tentu, tapi jarang pada pagi hari.
Hari ini ia tampak lebih gembira, dan sesekali ia
bersenda gurau dengan para pembantunya, seakan-
akan tak ada masalah sama sekali. Tak ada tanda-
tanda bahwa kabar mengenai kejadian di Kyoto
telah bocor, meski hanya ke anak buahnya sendiri.
Setelah memastikannya, dengan santai Hideyoshi
kembali ke markas besarnya.
Kanbei telah menunggunya di muka gerbang
kuil. Pandangannya memberitahu Hideyoshi
bahwa misi Ekei berakhir dengan kegagalan. Biksu
itu kembali dari perkemahan Mori beberapa saat
sebelum Hideyoshi selesai melakukan pemeriksa-
an, tapi jawaban yang dibawanya belum berubah:

Jika kami membiarkan Muneharu mati, artinya kami


tidak menaati Jalan Samurai. Kami takkan menerima
perdamaian yang memaksa Muneharu mengorbankan
nyawa.

"Panggil Ekei ke sini." Hideyoshi memerintah-


kan. Sepertinya ia tidak berkecil hati; semakin
lama ia justru tampak semakin optimis.
Ia mengajak biksu itu ke dalam sebuah ruangan
yang terang dan membuatnya merasa nyaman.
Setelah berbincang-bincang mengenai masa
lampau dan saling bertukar gosip dari ibu kota,
Hideyoshi membelokkan percakapan. Ia mulai
menyinggung persoalan utama. "Hmm, kelihatan-
nya perundingan damai terhenti karena kedua
belah pihak tak dapat mencapai kata sepakat
tentang nasib Muneharu. Tidak dapatkah Tuan
Ekei menemui Yang Mulia Muneharu secara
pribadi, menjelaskan duduk perkaranya padanya,
lalu menganjurkan agar dia menyerahkan diri?
Orang-orang Mori tak akan memerintahkan
pengikut setia melakukan seppuku, tapi jika Tuan
menjelaskan kesulitan mereka kepadanya, Mune-
haru dengan senang hati akan memberikan
nyawanya. Bagaimanapun, kematiannya akan
menyelamatkan nyawa orang-orang di dalam
benteng dan menghindarkan marga Mori dari
kehancuran." Setelah mengemukakan pandangan-
nya, Hideyoshi mendadak berdiri dan pergi.

Di dalam Benteng Takamatsu, nasib lebih dari


lima ribu prajurit dan warga sipil terancam bahaya.
Para jendral Hideyoshi telah membawa tiga
kapal besar, dilengkapi meriam, melintasi pe-
gunungan, dan telah mulai menembaki benteng.
Salah satu menara sudah nyaris runtuh, dan akibat
penembakan itu, tak sedikit yang mati atau cedera.
Ditambah lagi masih musim hujan, dan semakin
banyak orang jatuh sakit. Persediaan makanan pun
membusuk dalam udara lembap.
Pasukan bertahan telah mengumpulkan pintu-
pintu dan papan-papan, dan membuat beberapa
perahu untuk menyerang kapal-kapal perang
Hideyoshi. Dua atau tiga perahu berhasil diteng-
gelamkan, tapi mereka yang selamat segera
berenang ke benteng dan melancarkan serangan
kedua.
Ketika pasukan Mori tiba, dan umbul-umbul
serta panji-panji mereka terlihat berkibar-kibar,
orang-orang di dalam benteng menyangka mereka
sudah selamat. Namun tak lama kemudian mereka
pun menyadari situasi sesungguhnya. Jarak antara
pasukan penyelamat dan mereka sendiri, serta
kesulitan operasional yang timbul karena itu, tak
memungkinkan tindakan penyelamatan. Tapi,
meski kecewa, mereka tidak kehilangan semangat
juang. Justru sebaliknya, kini mereka bertekad
untuk mati.
Ketika sebuah pesan rahasia dari pihak Mori
mengizinkan Muneharu menyerah guna menye-
lamatkan orang-orang di dalam benteng, ia mem-
balas dengan geram, "Kami belum pernah belajar
menyerah. Pada saat seperti ini, kami semua siap
menghadapi ajal."
Pada pagi hari keempat di Bulan Keenam, para
penjaga di tembok benteng melihat sebuah perahu
kecil menuju ke arah mereka, dari tepi danau yang
dikuasai musuh. Seorang samurai memegang
dayung, dan satu-satunya penumpang adalah
seorang biksu.
Ekei datang untuk meminta Muneharu melaku-
kan seppuku. Muneharu mendengarkan penjelasan
si biksu tanpa berkata apa-apa. Baru setelah Ekei
selesai, dan seluruh tubuhnya bersimbah peluh.
Muneharu angkat bicara, "Hmm, ini memang hari
keberuntunganku. Kalau aku memandang wajah
Tuan, aku tahu bahwa ucapan Tuan bebas dari
kepalsuan."
Ia tidak mengatakan apakah ia setuju atau tidak.
Pikiran Muneharu telah jauh melampaui per-
setujuan dan penolakan. "Sudah beberapa lama
Yang Mulia Kobayakawa dan Yang Mulia Kikkawa
mencemaskan diriku yang tak berarti ini, dan aku
bahkan disarankan agar menyerah. Sekarang, jika
kata-kata Tuan dapat kupercaya, keamanan marga
Mori telah terjamin, dan orang-orang di dalam
benteng pun akan selamat. Kalau memang begitu,
tak ada alasan bagiku untuk menolak. Malah
sebaliknya, ini merupakan kegembiraan besar
bagiku. Kegembiraan besar!" ia mengulangi dengan
sungguh-sungguh.
Ekei gemetar. Ia tak menyangka tugasnya akan
demikian mudah, bahwa Muneharu akan demiki-
an gembira menyambut maut. Namun di balik itu,
ia pun merasa malu. Ia biksu, tapi apakah ia
memiliki keberanian untuk menghadapi kematian
seperti itu jika saatnya telah tiba?
"Kalau begitu, Yang Mulia setuju?"
"Ya."
Tak perlukah Yang Mulia mcmbicarakan
urusan ini dengan keluarga Yang Mulia?"
"Nanti saja kusampaikan keputusanku pada
mereka. Seharusnya mereka turut bersukacita ber-
samaku."
"Danwah, ini sungguh sukar untuk dibicara-
kan, tapi masalahnya cukup mendesakkabarnya
tak lama lagi Yang Mulia Nobunaga akan tiba di
sini."
"Waktu tak ada artinya. Kapan aku diharapkan
mengakhiri urusan ini?"
"Hari ini. Yang Mulia Hideyoshi memberi batas
waktu sampai jam Kuda, berarti lima jam dari
sekarang."
"Kalau selama itu," ujar Muneharu, "aku takkan
mengalami kesulitan dalam mempersiapkan
kematianku."

***

Pertama-tama Ekei melaporkan tanggapan Mune-


haru pada Hideyoshi, kemudian ia memacu
kudanya ke perkemahan Mori di Gunung Iwasaki.
Baik Kikkawa maupun Kobayakawa dibuat
cemas oleh kedatangan Ekei yang mendadak.
"Apakah mereka memutuskan perundingan?"
tanya Kobayakawa.
"Tidak." jawab Ekei. "Sudah ada tanda-tanda
keberhasilan."
"Hmm, kalau begitu, Hideyoshi bersedia me-
ngalah?" Kobayakawa kembali bertanya. Ia tampak
agak kaget. Namun Ekei menggelengkan kepala.
"Orang yang paling mendambakan penyelesaian
damai telah menawarkan untuk mengorbankan
diri demi perdamaian."
"Siapa yang kaumaksud?"
"Yang Mulia Muneharu. Beliau berpesan bahwa
dia hendak menebus segala kebaikan Yang Mulia
Terumoto selama ini dengan nyawanya."
"Ekei, apakah kau bicara dengannya atas per-
mintaan Hideyoshi?"
"Yang Mulia tahu bahwa hamba tak mungkin
mendatangi benteng tanpa izin beliau."
"Kalau begitu kau menjelaskan situasinya pada
Muneharu, dan dia menawarkan diri untuk
melakukan seppuku atas kemauannya sendiri?-
"Ya. Beliau akan menyerahkan nyawanya pada
Jam Kuda, di atas perahu yang terlihat jelas oleh
kedua belah pihak. Pada saat itulah perjanjian
damai mulai berlaku, nyawa orang-orang di dalam
benteng akan terselamatkan, dan keamanan marga
Mori akan terjamin untuk selama-lamanya."
Sambil menahan gejolak batinnya. Kobayakawa
bertanya, "Bagaimana tanggapan Hideyoshi ?"
"Perasaan Yang Mulia Hideyoshi pun tergugah
ketika beliau mendengar tawaran Jendral Mune-
haru. Beliau berkata bahwa hanya orang berhati
batu yang akan menutup mata terhadap kesetiaan
tanpa tandingan itu. Karena itu, walaupun Yang
Mulia telah berjanji untuk menyerahkan lima
provinsi, beliau hanya akan mengambil tiga, dan
membiarkan kedua provinsi lainnya, sebagai peng-
hargaan atas pengorbanan Muneharu. Jika tidak
ada keberatan, beliau akan mengirim perjanjian
tertulis segera sesudah menyaksikan seppuku
Muneharu."
Tak lama setelah Ekei pergi, Muneharu
mengumumkan keputusannya. Satu per satu para
samurai Benteng Takamatsu menghadap jun-
jungan mereka dan memohon agar diperkenankan
mengikuti jejaknya. Muneharu berdebat, mem-
bujuk, dan memarahi mereka, tapi para samurai
tak mundur sedikit juga. Ia kehabisan akal, tapi
akhirnya ia tidak meluluskan permohonan satu
orang pun.
Ia memberikan perintah pada seorang pem-
bantunya untuk menyiapkan perahu. Isak tangis
memenuhi benteng. Setelah permohonan para
pengikutnya ditolak dan Muneharu tampak agak
lebih lega, Gessho, kakaknya, mendatanginya
untuk mengajaknya bicara.
"Aku mendengar semua yang kaukatakan," ujar
Gessho. "Tapi tak ada alasan bagimu untuk
menyerahkan nyawa. Biarkan aku menggantikan
tempatmu.'
"Kakak, kau biksu, sedangkan aku jendral.
Kuhargai tawaranmu, tapi aku tak mungkin mem-
biarkan orang lain menggantikan tempatku."
"Akulah putra sulung, dan seharusnya aku yang
membawa nama keluarga. Tapi aku meninggalkan
kehidupan duniawi, sehingga tanggung jawabku
terpaksa kauambil alih. Jadi sekarang, pada waktu
kau harus melakukan seppuku, tak ada alasan bagi-
ku untuk meneruskan apa yang tersisa dari
hidupku sendiri."
"Apa pun yang kaukatakan," balas Muneharu,
"aku takkan mcmbiarkan kau atau siapa pun
melakukan seppuku demi aku."
Muneharu menolak tawaran Gessho, tapi meng-
izinkannya ikut dalam perahu. Muneharu merasa
tenteram. Ia memanggil pelayan pribadinya dan
menyuruhnya menyiapkan kimono kebesaran ber-
warna biru muda untuk menyambut kematian.
"Bawakan juga kuas dan tinta untukku," ia
memerintahkan ketika teringat untuk menulis
surat kepada istri dan putranya.
Jam Kuda mendekat dengan cepat. Sudah lama
setiap tetes air minum dianggap menentukan bagi
nyawa orang-orang di dalam benteng, tapi sekarang
ia minta diambilkan seember air untuk member-
sihkan semua kotoran yang melekat pada badan-
nya selama pengepungan berlangsung.
Betapa damai suasana di sela pertempuran ini,
Matahari tampak lugu di angkasa. Tak ada angin
sedikit pun, dan air berlumpur di semua sisi
benteng tetap sekeruh biasanya.
Gelombang-gelombang kecil yang menjilat-jilat
tembok benteng berkilauan dalam cahaya mata-
hari, dan dari waktu ke waktu teriakan bangau
putih memecah keheningan.
Sebuah bendera kecil berwarna merah dinaik-
kan ke Hidung Katak di tepi seberang, menanda-
kan waktunya telah tiba. Muneharu berdiri dengan
tiba-tiba. Para pembantunya tak kuasa mengendali-
kan perasaan. Muneharu cepat-cepat menuju
tembok benteng, seakan-akan mendadak tuli.
Tarikan dayung menimbulkan riak berpola tak
teratur pada permukaan danau. Perahu itu berisi
lima penumpang: Muneharu, Gessho, dan tiga
pengikut. Semua laki-laki, perempuan, dan anak-
anak di dalam benteng berkerumun di atas
tembok. Mereka tidak meratap ketika menyaksikan
kepergian Muneharu, melainkan hanya merapat-
kan tangan untuk berdoa atau mengusap air mata.
Perahu itu meluncur pelan pada permukaan
danau. Ketika ia menoleh, Gessho melihat
Benteng Takamatsu sudah jauh di belakang, dan
bahwa perahu mereka berada di tengah-tengah
antara benteng dan Hidung Katak.
"Cukup sampai di sini." Muneharu berkata
kepada orang yang memegang dayung.
Tanpa berkata apa-apa orang itu mengangkat
dayungnya dari air. Mereka tak perlu menunggu
lama-lama.
Ketika perahu mereka berangkat dari benteng,
perahu lain bertolak dari Hidung Katak. Perahu
itu membawa saksi dari pihak Hideyoshi, Horio
Mosuke. Sebuah bendera merah berukuran kecil
terpasang pada haluan perahu, dan karpet ber-
warna merah digelar di dasarnya.
Perahu Muneharu berayun pelan, mengikuti
irama gelombang ketika menunggu sampai perahu
Mosuke merapat. Danau diliputi suasana damai.
Gunung-gunung di sekitar diliputi suasana damai.
Satu-satunya bunyi yang terdengar adalah suara
kayuhan dari perahu yang tengah mendekat.
Muneharu menghadap ke arah perkemahan
Mori di Gunung Iwasaki, dan membungkuk.
Dalam hati ia mengucapkan terima kasih atas
perlindungan yang diterimanya selama bertahun-
tahun. Ketika melihat panji-panji junjungannya,
matanya berkaca-kaca.
"Apakah perahu ini membawa jendral pembela
Benteng Takamatsu, Shimizu Muneharu?" Mosuke
bertanya.
"Tuan benar." Muneharu menjawab sopan.
"Akulah Shimizu Muneharu. Aku datang untuk
melakukan seppuku sebagai syarat perjanjian
damai."
"Ada hal lain yang perlu kusampaikan, jadi
tunggulah sejenak." ujar Mosuke. "Rapatkan
perahu," ia lalu berkata pada pengikut Muneharu
yang memegang dayung.
Pinggiran kedua perahu saling mendekat.
sampai akhirnya bergesekan.
Mosuke lalu berkata penuh wibawa. "Aku mem-
bawa pesan dari Yang Mulia Hideyoshi. Perdamai-
an takkan tercapai tanpa persetujuan Tuan dalam
urusan ini. Pengepungan berkepanjangan tentu
melelahkan bagi Tuan, dan Yang Mulia Hideyoshi
berharap Tuan sudi menerima persembahan ini
sebagai tanda penghargaan beliau. Jangan risau jika
matahari semakin tinggi di langit. Selesaikanlah
perpisahan ini sesuka hati Tuan."
Segentong kecil sake terbaik dan berbagai
hidangan lezat dipindahkan dari perahu ke
perahu.
Wajah Muneharu berseri-seri. "Ini sungguh tak
terduga. Jika ini kehendak Yang Mulia Hideyoshi,
dengan senang hati aku akan mencicipi semua-
nya." Muneharu juga menuangkan sake untuk
rekan-rekannya. "Mungkin karena sudah lama aku
tak pernah mereguk sake sebaik ini, aku merasa
agak mabuk. Maafkanlah permintaanku yang
janggal ini, jendral Horio, tapi aku ingin menari
untuk terakhir kali." Lalu, sambil berpaling pada
rekan-rekannya, ia bertanya, "Kita tidak membawa
rebana, tapi bersediakah kalian menembang dan
bertepuk tangan untuk mengatur irama?
Muneharu berdiri di perahu kecil itu dan mem-
buka kipas berwarna putih. Ketika ia bergerak
seirama tepuk tangan, perahunya terayun-ayun.
menimbulkan gelombang kecil pada permukaan
danau. Mosuke menundukkan kepala, tak sanggup
menyaksikan adegan itu.
Begitu tembangnya berakhir, Muneharu sekali
lagi angkat bicara dengan tegas, "Jendral Mosuke,
harap perhatikan ini baik-baik."
Mosuke mengangkat wajah dan melihat bahwa
Muneharu telah berlutut dan membelah perut
dengan pedangnya. Bagian dalam perahu menjadi
merah karena darah yang menyembur.
"Saudaraku, aku akan menyusul!" Gessho ber-
seru, lalu menyayat perutnya.
Setelah para pengikut Muneharu menyerahkan
kotak berisi kepala junjungan mereka pada
Mosuke dan kembali ke benteng, mereka pun
mengikuti langkahnya.
Pada waktu Mosuke tiba di Kuil Jihoin, ia
melaporkan seppuku Muneharu dan meletakkan
kepalanya di hadapan kursi Hideyoshi .
"Sayang sekali," Hideyoshi berkeluh. "Muneharu
samurai yang sangat baik." Belum pernah ia
kelihatan demikian terharu. Tapi tak lama
kemudian ia menyuruh Ekei menghadap. Ketika si
biksu tiba, Hideyoshi segera memperlihatkan
sebuah dokumen.
"Kini kita tinggal saling menukar surat per-
janjian. Bacalah apa yang kutulis, lalu aku akan
mengirim utusan untuk mengambil surat perjanji-
an dari pihak Mori."
Ekei mempelajarinya, kemudian mengembali-
kannya pada Hideyoshi dengan penuh hormat.
Hideyoshi minta diambilkan kuas dan membubuh-
kan tanda tangan. Ia lalu mengiris kelingking dan
menempelkan segel darah di sebelah tanda tangan-
nya. Perjanjian damai telah resmi berlaku.
Beberapa jam sesudah itu, rasa kaget melanda
perkemahan Mori bagaikan angin puyuh, akibat
laporan mengenai kematian Nobunaga. Di markas
Terumoto, orang-orang yang sejak semula menen-
tang upaya perdamaian kini angkat bicara dengan
geram. Mereka menuntut agar pasukan Mori
segera melancarkan serangan terhadap Hideyoshi.
"Kita ditipu!"
"Bajingan itu memperdaya kita!"
"Perjanjian damai itu harus disobek-sobek!"
"Kita tidak dikelabui," Kobayakawa berkata
dengan tegas. "Kitalah yang memprakarsai pe-
rundingan damai, bukan Hideyoshi. Dan dia pun
tak mungkin meramalkan bencana di Kyoto."
Kikkawa, mewakili mereka yang hendak me-
neruskan perang, mendesak Terumoto. "Kematian
Nobunaga pasti membawa perpecahan dalam
pasukan Oda; mereka takkan sanggup menandingi
kita sekarang. Hideyoshi-lah yang paling ber-
peluang menggantikan Nobunaga. Kita takkan
mengalami kesulitan menyingkirkan dia jika kita
menyerang sekarang dan di sini, terutama meng-
ingat kelemahan barisan belakangnya. Dengan cara
itu, kita akan menjadi penguasa seluruh negeri."
"Tidak, tidak, Aku tidak setuju,'' ujar
Kobayakawa. "Hanya Hideyoshi yang dapat
mengembalikan perdamaian dan ketertiban. Selain
itu, pepatah lama di kalangan samurai mewanti-
wanti agar jangan menyerang musuh yang tengah
berduka. Seandainya kita merobek-robek per-
janjian itu dan menyerang Hideyoshi, kalau
sampai selamat, dia pasti akan kembali untuk
menuntut balas."
"Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan
ini," Kikkawa berkeras.
Sebagai upaya terakhir, Kobayakawa menying-
gung pesan terakhir bekas junjungan mereka,
"Marga harus mempertahankan batas-batasnya
sendiri. Tak pengaruh seberapa kuat atau kayanya
kita kelak, kita tak boleh melebarkan wilayah
melampaui provinsi-provinsi Barat."
Tiba waktunya bagi pemimpin marga Mori
untuk mengumumkan keputusan. "Aku sepen-
dapat dengan pamanku, Kobayakawa. Kita tidak
akan melanggar perjanjian perdamaian dan men-
jadikan Hideyoshi musuh untuk kedua kalinya."
Pertemuan rahasia mereka berakhir pada
malam hari keempat di bulan iiu. Ketika kedua
jendral berjalan kembali ke perkemahan mereka,
mereka berjumpa dengan serombongan pengintai.
Perwira yang memegang komando menunjuk ke
kegelapan dan berkata, "Pihak Ukita sudah mulai
menarik pasukan."
Kikkawa mendengarkan laporan itu dan ber-
decak. Kesempatan mereka telah berlalu. Kobaya-
kawa membaca pikiran kakaknya. "Kau masih
diliputi penyesalan?"
"Tentu saja."
"Hmm, andai kata kita memang berhasil meng-
ambil alih kekuasaan atas seluruh negeri," Kobaya-
kawa melanjutkan, "kaupikir kau yang akan me-
megang tampuk pemerintahan?" Hening sejenak.
"Kau membisu. Berarti kau sendiri menyangsi-
kannya. Jika negeri ini dipimpin oleh seseorang
yang tak memiliki kemampuan yang diperlukan,
kekacauanlah akibatnya. Dan kekacauan itu tak-
kan berhenti dengan kehancuran marga Mori."
"Kau tak perlu berkata apa-apa lagi, aku paham,"
ujar Kikkawa sambil memalingkan wajah. Dengan
sedih ia memandang langit malam di atas provinsi-
provinsi Barat, dan berjuang untuk membendung
air mata yang bergulir di pipinya. (Created by syauqy_arr
Upacara Berdarah

PASUKAN Oda harus segera munduritulah


alasan di balik perjanjian perdamaian, dan malam
itu juga sekutu Hideyoshi, orang-orang Ukita,
mulai menarik pasukan. Tapi tak satu prajurit pun
ditarik dari perkemahan utama Hideyoshi. Pada
pagi hari kelima, Hideyoshi belum juga bergerak.
Walaupun pikirannya sudah melayang ke ibu kota,
ia tidak memperlihatkan gelagat hendak mem-
bongkar perkemahannya.
"Hikoemon, seberapa jauh air sudah surut?"
"Sekirar satu meter."
"Jangan biarkan surut terlalu cepat."
Hideyoshi keluar ke pekarangan kuil. Meski
tanggul telah dijebol dan permukaan danau mulai
turun sedikit demi sedikit. Benteng Takamatsu
masih terkepung hamparan air. Malam sebelum-
nya salah satu bawahan telah mendatangi benteng
itu untuk menerima pernyataan menyerah. Dan
kini pasukan bertahan tengah diungsikan.
Ketika malam tiba, Hideyoshi mengutus se-
seorang untuk memata-matai pasukan Mori.
Kemudian ia berunding dengan Kanbei dan para
jendral lain, lalu segera mengadakan persiapan
untuk membongkar perkemahan. "Suruh orang-
orang segera menjebol tanggul." ia memerintahkan
pada Kanbei.
Tanggul itu kini dijebol di sepuluh tempat.
Hampir seketika air mulai bergolak. Pusaran air
yang tak terhitung jumlahnya muncul ketika air
danau menerjang keluar bagai gelombang pasang.
Mana yang lebih cepat, air danau atau Hide-
yoshi, yang kini memacu kudanya ke arah timur?
Tempat-tempat tinggi di sekitar benteng dengan
cepat berubah menjadi dataran kering, sementara
tempai-tempat rendah dilintasi oleh sejumlah
sungai; jadi, biarpun pasukan Mori hendak
mengejar, mereka belum dapat menyeberang
selama dua-tiga hari lagi.
Pada hari ketujuh, Hideyoshi tiba di tempat
penyeberangan Sungai Fukuoka, dan menemukan
sungai itu tengah banjir. Para prajurit membuat
bantalan pelindung untuk kuda-kuda mereka
dengan mengikatkan barang-barang bawaan, lalu
menyeberang, membentuk rantai manusia dengan
bergandengan tangan atau dengan menggenggam
gagang tombak yang dibawa oleh orang di depan.
Hideyoshi yang pertama melintasi sungai itu.
dan ia duduk di kursinya di tepi seberang. "Jangan
panik! Jangan terburu-buru!" ia berseru. Sepertinya
ia sama sekali tak terganggu oleh angin dan hujan.
"Kalau satu orang tenggelam, musuh akan menga-
takan kita kehilangan lima ratus; kalau kalian
kehilangan sepotong barang, mereka akan bilang
seratus, jangan sia-siakan nyawa atau senjata di
sini."
Barisan belakang kini bergabung dengan
pasukan utama, dan dengan kesatuan demi
kesatuan saling menyusul, kedua tepi sungai
dipenuhi prajurit. Komandan barisan belakang
menghadap Hideyoshi dan melaporkan keadaan
di Takamatsu. Penarikan pasukan telah rampung,
dan tetap tidak ada tanda-tanda dari pihak Mori.
Kelegaan yang dirasakan Hideyoshi terbaca jelas di
wajahnya. Sepertinya baru sekarang ia merasa
benar-benar aman; kini ia dapat menyalurkan
segenap tenaganya ke satu arah.
Pada pagi hari kedelapan, pasukan itu kembali
ke Himeji. Berlumuran lumpur, lalu diterpa hujan
badai, para prajurit menempuh sekitar enam
puluh mil dalam satu hari.
"Yang pertama-tama ingin kulakukan," Hide-
yoshi berkata pada pembantunya, "adalah mandi."
Komandan benteng bersujud di hadapan
Hideyoshi. Setelah mengucapkan selamat datang,
ia memberitahukan bahwa dua kurir telah tiba.
salah satunya dari Nagahama dengan berita
penting.
"Aku akan menemui mereka sehabis mandi.
Aku minta air panas yang banyak. Baju tempur
dan pakaian dalamku sampai basah kuyup karena
hujan."
Hideyoshi berendam dalam bak berisi air panas.
Matahari pagi tampak indah, seakan-akan dibing-
kai oleh jendela pemandian; cahayanya menembus
lewat kisi-kisi dan menerpa wajahnya, terapung-
apung dalam uap air.
Hideyoshi meloncat keluar dari bak menimbul-
kan suara bagaikan air terjun. "Hei, tolong gosok
punggungku!" serunya.
Kedua pelayan yang menunggu di luar bergegas
masuk. Dengan mengerahkan seluruh tenaga,
mereka menggosok-gosok tubuhnya, mulai dari
tengkuk sampai ke ujung jari.
Tiba-tiba Hideyoshi tertawa dan berkata. "Wah.
lihat kotorannya! Ketika menatap dasar sekitar
kakinya, ia melihat kotoran yang terlepas dari
badannya menyerupai kotoran burung.
Bagaimana mungkin orang itu memiliki penam-
pilan demikian berwibawa di medan perang?
Tubuhnya yang telanjang tampak kurus meng-
ibakan hati. Memang benar, tenaganya terkuras
habis selama operasi di wilayah Barat yang ber-
langsung lima tahun, tapi pada dasarnya tubuhnya
yang berusia empat puluh enam tahun memang
kurang berisi. Sekarang pun bayang-bayang bocah
petani dari Nakamura, yang miskin dan kurus,
masih terlihat. Tubuhnya bagaikan pohon cemara
yang merana di celah-celah bebatuan, atau seperti
pohon prem kerdil yang digerogoti angin dan
saljukuat, namun menunjukkan tanda-tanda
ketuaan.
Tapi tidaklah adil membandingkan usia dan
perawakannya dengan orang biasa. Kulit maupun
tubuhnya penuh vitalitas. Bahkan adakalanya ia
tampak seperti orang muda jika sedang gembira
atau marah.
Ketika mengeringkan ludah sehabis mandi.
Hideyoshi memanggil seorang pelayan dan
berkata, "Ini harus segera diumumkan: Pada
tiupan sangkakala pertama, seluruh pasukan harus
makan; pada tiupan kedua, korps perbekalan harus
berangkat, pada tiupan ketiga, seluruh pasukan
harus berkumpul di muka benteng."
Hideyoshi lalu memanggil Hikoemon serta
orang-orang yang bertanggung jawab atas keuangan
dan perbekalan. "Berapa isi kas kita?" tanya
Hideyoshi.
"Sekitar tujuh ratus lima puluh satuan perak,
dan lebih dari delapan ratus keping emas," seorang
petugas menjawab.
Hideyoshi berpaling pada Hikoemon dan
memerintahkan. "Ambil semuanya dan bagi-bagi-
kan kepada para prajurit, sesuai upah masing-
masing." Kemudian ia menanyakan berapa banyak
beras yang tersimpan dalam gudang-gudang, sambil
berkomentar. "Kita tidak menghadapi penge-
pungan di sini, jadi kita tak perlu menimbun beras
banyak-banyak. Bagikan beras sebanyak lima kali
jatah biasa kepada para pengikut."
Ia meninggalkan pemandian dan langsung me-
nuju tempat kurir dari Nagahama menunggu. Ibu
dan istrinya berada di Nagahama, dan ia terus
dihantui kecemasan mengenai mereka.
Begitu Hideyoshi melihat kurir itu bersujud di
hadapannya, ia bertanya. "Mereka baik-baik saja,
bukan? Apakah terjadi sesuatu?"
"Ibunda maupun istri Yang Mulia dalam
keadaan sehat."
"Benarkah? Kalau begitu, apakah benteng di
Nagahama berada di bawah serangan?"
"Hamba diutus dari Nagahama pada pagi hari
keempat, ketika segerombolan musuh mulai
menyerang."
"Orang-orang Akechi?"
"Bukan, mereka ronin Asai yang bersekutu
dengan marga Akechi. Tapi menurut desas-desus
yang hamba dengar dalam perjalanan, pasukan
Akechi berkekuatan besar sedang menuju Naga-
hama."
"Bagaimana rencana orang-orang di Nagahama?"
"Kekuatan mereka tidak memadai untuk meng-
hadapi pengepungan, jadi dalam keadaan darurat,
mereka berencana mengungsikan keluarga Yang
Mulia ke sebuah tempat persembunyian di pe-
gunungan."
Si kurir meletakkan sepucuk surat di hadapan
Hideyoshi. Surat itu dari Nene. Sebagai istri sang
Penguasa Benteng, ia berkewajiban mengurus
segala sesuatu sementara suaminya pergi. Walau-
pun surat itu tentu ditulis di tengah badai
kebingungan dan kebimbangan, coretan kuasnya
tampak rapi. Namun isi suratnya jelas-jelas meng-
isyaratkan bahwa surat tersebut mungkin yang
terakhir.

Jika keadaan bertambah buruk, hamba menjamin


bahwa istri Tuanku takkan berbuat apa pun yang
dapat menodai nama tuanku. Satu-satunya
kepentingan ibunda tuanku serta hamba adalah
bahwa tuanku dapat mengatasi segala kesulitan
dalam masa rawan ini.

Tiupan sangkakala pertama terdengar nyaring di


benteng dan di kota.
Hideyoshi memberikan wejangan terakhir pada
para pengikutnya di Benteng Himeji. "Kemena-
ngan atau kekalahan ditentukan oleh takdir, tapi
seandainya aku gugur di tangan Mitsuhide, bakar-
lah benteng ini sehingga tak ada yang tersisa. Kita
harus bersikap gagah, mengikuti contoh yang di-
berikan orang-orang yang menemui ajal di Kuil
Honno."
Tiupan kedua berkumandang dan iring-iringan
perbekalan pun mulai bergerak. Pada waktu
matahari hendak terbenam di barat. Hideyoshi
memerintahkan agar kursinya dipindahkan ke luar
benteng, dan menyuruh seorang prajurit meniup
sangkakala untuk ketiga kalinya. Kegelapan malam
mulai menyelubungi belang-belang luas serta
pohon-pohon pinus yang berderet-deret di sepan-
jang jalan pesisir. Dari senja sampai lewat tengah
malam, tanah terasa bergetar ketika sepuluh ribu
prajurit bergabung dengan divisi masing-masing di
luar Benteng Himeji.
Fajar menyingsing, dan satu per satu siluet
pohon-pohon pinus di jalan pesisir mulai tampak.
Di timur, matahari merah muncul di cakrawala di
atas lain Harima, menguak awan, seakan hendak
memacu semangat para prajurit.
"Lihat!" Hideyoshi berseru. "Kita diberi angin
baik. Panji-panji dan pataka kita berkibar ke arah
timur. Aku tahu bahwa nasib manusia tak dapat
dipastikan. Kita tidak tahu apakah kita akan hidup
sampai fajar berikut, tapi para dewa menunjukkan
jalan ke depan. Mari kita kumandangkan teriakan
perang yang nyaring, agar para dewa mengetahui
keberangkatan kita."

Dalam sepuluh hari sejak kematian Nobunaga,


situasi nasional berubah dramatis. Di Kyoto,
orang-orang resah sejak peristiwa Kuil Honno.
Kedua jendral senior Nobunaga, Shibata Katsuie,
dan Takigawa Kazumasu, berada di tempat jauh;
Tokugawa Ieyasu telah kembali ke provinsi asalnya:
pendirian Hosokawa Fujitaka dan Tsutsui Junkei
tidak jelas, dan Niwa Nagahide berada di Osaka.
Desas-desus bahwa pasukan Hideyoshi telah
tiba di Amagasaki, di dekat Kyoto, menyebar bagai-
kan angin pada pagi hari kesebelas. Banyak yang
tidak mempercayainya. Kabar selentingan yang
beredar memang tidak sedikitbahwa Yang Mulia
Ieyasu menuju ke Barat; bahwa Nobuo, yang tertua
di antara putra-putra Nobunaga yang masih hidup,
sedang menyiapkan serangan balasan; bahwa
pasukan Akechi terlibat pertempuran di sini atau
di sana. Desas-desus yang paling dapat dipercaya
adalah bahwa pasukan Hideyoshi ditahan di Taka-
matsu oleh pihak Mori. Hanya mereka yang
mengenal Hideyoshi dengan baik luput dari ang-
gapan keliru ini.
Kecakapan yang diperlihatkan Hideyoshi dalam
penyerbuan ke wilayah Barat selama lima tahun
terakhir telah menyadarkan sejumlah jendral
Nobunaga akan kemampuan yang dimilikinya. Di
antara orang-orang ini terdapat Niwa Nagahide,
Nakagawa Sebei, Takayama Ukon, dan Ikeda
Shonyu. Mereka memandang keteguhan Hide-
yoshi di bawah kesengsaraan berkepanjangan se-
bagai bukti kesetiaan tak tergoyahkan terhadap
bekas junjungan mereka. Ketika mendengar bahwa
Hideyoshi telah berdamai dengan marga Mori dan
sedang menuju ibu kota, mereka gembira bahwa
harapan-harapan mereka tidak dikecewakan. Pada
waktu Hideyoshi menempuh perjalanan ke arah
timur, mereka mengirim pesan-pesan penting
kepadanya, mendesaknya agar bergerak secepat
mungkin, dan terus melaporkan pergerakan ter-
akhir pasukan Akechi.
Saat Hideyoshi mencapai Amagasaki, Nakagawa
Sebei dan Takayama Ukon membawa sebagian
pasukan masing-masing dan berkunjung ke per-
kemahan Hideyoshi.
Ketika kedua jendral itu tiba, samurai yang ber-
tugas jaga tidak kelihatan terlalu gembira karena
kehadiran mereka, dan ia pun tidak bergegas
mengumumkan kedatangan keduanya. "Yang
Mulia sedang beristirahat sekarang," katanya pada
mereka.
Baik Sebei maupun Ukon tercengang. Mereka
sangat sadar akan nilai mereka sebagai sekutu.
Kekuaran militer orang yang memperoleh du-
kungan mereka akan berlipat ganda. Selain itu,
benteng-benteng mereka menguasai jalan masuk ke
Kyoto. Dengan mengamankan kedua benteng
kunci tersebut, yang terletak hampir di tengah-
tengah wilayah musuh. Hideyoshi akan mem-
peroleh keuntungan strategis dan logistik yang luar
biasa.
Jadi, ketika mendatangi perkemahan Hideyoshi.
mereka menganggap sudah sewajarnya kalau Hide-
yoshi sendiri yang keluar untuk menyambut
mereka. Kedua jendral itu tak dapat berbuat apa-
apa selain menunggu. Selama itu, mereka meng-
amati orang-orang yang terlambat tiba. Kurir-kurir
pun datang dan pergi ke segala arah. Di antara
mereka ada satu orang yang dikenali oleh
Nakagawa Sebei.
"Bukankah itu samurai Hosokawa?" gumamnya.
Bukan rahasia lagi bahwa Mitsuhide dan
Hosokawa Fujitaka teramat dekat. Kedua orang itu
berteman akrab selama bertahun-tahun, dan kedua
keluarga mereka dihubungkan oleh ikatan per-
kawinan.
Kenapa kurir marga Hosokawa ada di sini?
Sebei bertanya dalam hati. Urusan tersebut tidak
menyangkut kedua jendral yang tengah menunggu
Hideyoshi saja, melainkan seluruh bangsa.
"Penjaga tadi mengaku Yang Mulia Hideyoshi
sedang tidur, tapi aku yakin dia bohong. Apa pun
yang sedang dilakukannya, sikap Hideyoshi tak
dapat diterima," Ukon menggerutu.
Mereka sudah hendak pergi ketika salah satu
pelayan pribadi Hideyoshi bergegas menghampiri
mereka, dan mengundang keduanya ke kuil yang
dijadikan markas oleh Hideyoshi. Hideyoshi tidak
berada di dalam ruangan yang mereka masuki, tapi
bisa dipastikan bahwa ia telah bangun agak lama.
Tawa berderai terdengar dari ruang Kepala Biara.
Bukan seperti ini sambutan yang diharapkan oleh
kedua jendral. Mereka telah datang untuk ber-
sekutu dengan Hideyoshi dan menghukum
Mitsuhide. Ukon tampak dongkol, kegetiran yang
dirasakannya dalam hati terbaca pada wajahnya;
Sebei merengut.
Hawa panas yang menyesakkan napas semakin
memperkuat ketidakpuasan mereka. Musim hujan
seharusnya sudah berakhir, tapi udara masih saja
lembap. Di langit, awan-awan bergerak tanpa
aturan, seolah-olah mencerminkan keadaan yang
melanda seluruh negeri. Dari waktu ke waktu sinar
matahari menembus lapisan awan.
"Panas sekali, Sebei," Ukon berkomentar.
"Ya, dan tidak ada angin sama sekali."
Kedua orang itu tentu saja mengenakan baju
tempur lengkap. Baju tempur kini memang sudah
lebih ringan dan lentur, namun tak pelak lagi
bahwa di bawah pelindung dada mereka, keringat
mengalir seperti sungai.
Sebei membuka kipas dan mengayun-ayunkan-
nya. Lalu, untuk menunjukkan bahwa kedudukan
mereka tidak di bawah Hideyoshi, Sebei dan Ukon
sengaja menduduki kursi yang disediakan bagi
orang-orang dengan pangkat tertinggi.
Saat itulah seseorang menyapa mereka dengan
riang, Hideyoshi. Begitu duduk di hadapan
mereka, ia segera mohon maaf sedalam-dalamnya.
"Aku sungguh menyesal telah bersikap kasar.
Ketika bangun tadi, aku langsung pergi ke kuil
utama, dan sementara kepalaku dicukur, seorang
kurir dari Hosokawa Fujitaka tiba dengan pesan
penting. Jadi aku lebih dulu berbicara dengannya,
sehingga Tuan-Tuan terpaksa menunggu," ia ber-
kata sambil menepuk-nepuk kepalanya yang kini
tanpa rambut.
Ia duduk dengan gayanya yang biasa, tanpa
memedulikan pangkat. Kedua tamunya terkesima,
dan pandangan mereka melekat pada kepala
Hideyoshi yang gundul, yang memantulkan
kehijauan pepohonan di kebun yang berdekatan.
"Paling milik, sekarang kepalaku terasa sejuk,"
Hideyoshi menambahkan sambil menangis. "Men-
cukur rambut sampai habis memang sangat
menyegarkan."
Ia tampak agak salah tingkah, dan terus meng-
gosok-gosok kepalanya. Ketika Sebei dan Ukon
mengetahui bahwa Hideyoshi sampai mencukur
kepala demi Nobunaga, mereka segera menying-
kirkan segala ketidaksenangan, dan justru merasa
malu atas kepicikan mereka.
Masalahnya, setiap kali menatap Hideyoshi,
mereka seakan-akan dipaksa tertawa. Walaupun
tak ada lagi yang secara terang-terangan memanggil-
nya Monyet, julukan lama serta penampilannya
kini memancing rasa geli.
"Kecepatanmu mengejutkan kami." Sebei mem-
buka percakapan. "Kau tentu tidak tidur antara
sini dan Takamatsu. Kami lega melihatmu dalam
keadaan sehat," ia melanjutkan sambil berjuang
menahan tawa.
Hideyoshi berkata dengan manis, "Aku sungguh
menghargai laporan-laporan yang kalian kirimkan
padaku. Berkat laporan-laporan itulah aku dapat
mengetahui pergerakan pasukan Akechi, dan yang
lebih penting, mengetahui bahwa kalian merupa-
kan sekutuku."
Tapi baik Sebei maupun Ukon tidak sebegitu
bodoh, hingga termakan oleh sanjungan seperti
itu. Hampir tanpa menanggapi komentar Hide-
yoshi, mereka segera mulai memberikan saran-
saran padanya.
"Kapan kau akan bertolak ke Osaka? Yang
Mulia Nobutaka ada di sini bersama Niwa."
"Sekarang ini aku tidak ada waktu untuk pergi
ke Osaka; bukan di sini tempat musuh bercokol.
Tadi pagi aku sudah mengirim sebuah pesan ke
Osaka."
"Yang Mulia Nobutaka merupakan putra ketiga
Yang Mulia Nobunaga. Bukankah kau sebaiknya
berjumpa dulu dengan beliau?"
"Aku tidak mengundang beliau ke sini. Aku
mengundang beliau untuk turut ambil bagian
dalam pertempuran mendatang, yang akan me-
rupakan upacara bagi Yang Mulia Nobunaga.
Beliau bersama Niwa, jadi kupikir tak perlu ber-
sikap terlalu resmi. Besok beliau akan bergabung
dengan kita."
"Bagaimana dengan Ikeda Shonyu?
"Kita juga akan bertemu dengannya. Aku belum
berjumpa dengannya, tapi dia menjanjikan
dukungan melalui kurir yang diutusnya.
Hideyoshi merasa yakin mengenai para sekutu-
nya. Bahkan Hosokawa Fujitaka pun menolak
ajakan Mitsuhide. Ia hanya mengirim pengikutnya
ke perkemahan Hideyoshi untuk menyampaikan
bahwa ia tak sudi bergabung dengan seorang pem-
berontak. Hideyoshi lalu menjelaskan pada kedua
tamunya bahwa kesetiaan ini bukan hanya suatu
kecenderungan alami, melainkan merupakan
prinsip moral golongan samurai.
Akhirnya, setelah membahas berbagai topik,
Sebei dan Ukon secara resmi menyerahkan
sandera-sandera yang mereka bawa sebagai bukti
iktikad baik mereka.
Hideyoshi menolak sambil tertawa. "Itu tidak
perlu. Aku mengenal Tuan-Tuan dengan baik.
Kembalikanlah anak-anak ini ke rumah masing-
masing."
Pada hari yang sama, Ikeda Shonyu, yang
mengenal Hideyoshi sejak mereka sama-sama di
Benteng Kiyosu, bergabung dengan pasukan
Hideyoshi. Beberapa waktu sebelum berangkat
pagi itu. Shonyu pun telah mencukur kepalanya
sampai licin.
"Wah! Kau juga mencukur kepalamu?" ujar
Hideyoshi ketika melihat sahabatnya.
"Secara kebetulan kita melakukan hal yang
sama."
"Jalan pikiran kita serupa."
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Shonyu kini
menambahkan keempat ribu prajuritnya ke dalam
barisan prajurit Hideyoshi. Mula-mula Hideyoshi
membawahi sekitar sepuluh ribu orang, tapi
dengan tambahan kedua ribu prajurit Ukon.
kedua ribu lima ratus prajurit Sebei, keseribu
prajurit Hachiya, dan keempat ribu prajurit Ikeda,
ia kini memimpin pasukan berkekuatan lebih dari
dua puluh ribu orang.
Di luar dugaan, Sebei dan Ukon mulai saling
mendebat ketika mengikuti rapat perang pertama,
dan keduanya tidak bersedia mundur sedikit pun
dari pendirian masing-masing.
"Sejak dulu telah menjadi kebiasaan di kalangan
samurai bahwa penguasa benteng yang terdekat
dengan posisi musuh berhak memimpin barisan
depan." ujar Ukon. "jadi, sama sekali tak ada
alasan mengapa prajurit-prajurit harus mengikuti
pasukan Sebei."
Sebei tak mau mengalah. "Pembedaan antara
barisan belakang dan depan seharusnya tak ada
sangkut-paut dengan jarak antara medan tempur
dan benteng seseorang. Kemampuan pasukan dan
komandan bersangkutanlah yang menentukan."
"Maksud Tuan, aku tak pantas memimpin
barisan depan dalam serangan terhadap musuh?"
"Entahlah. Tapi aku yakin aku takkan mengalah
pada siapa pun. Dan hasratku untuk memimpin
barisan depan dalam pertempuran ini tak ter-
goyahkan. Aku, Nakagawa Sebei, yang paling
pantas untuk itu."
Sebei mendesak Hideyoshi agar diberi kehor-
matan ini, namun Ukon pun membungkuk dan
menatap Hideyoshi, dengan harapan menerima
tongkat komando. Hideyoshi mengambil ke-
putusan sesuai dengan kedudukannya sebagai
panglima tertinggi.
"Kalian berdua sama-sama pantas, jadi masuk
akal kalau Sebei memimpin satu unit baris dalam
gugus tempur pertama, dan Ukon membawahi
yang satu lagi. Aku berharap kalian memper-
lihaikan tindakan yang sepadan dengan ucapan
kalian."
Selama rapat berlangsung, pengintai-pengintai
terus berdatangan untuk memberikan laporan.
"Mitsuhide telah menarik pasukannya dari
Horagamine dan memusatkan kekuatannya di
daerah sekitar Yamazaki dan Enmyoji. Semula dia
seakan-akan hendak mundur ke Benteng Saka-
moto, tapi pagi ini dia mendadak menunjukkan
sikap ofensif. Kini satu divisi pasukannya sedang
menuju ke arah Benteng Shoryuji."
Ketika mendengar laporan tersebut, para
jendral tiba-tiba kelihatan tegang. Jarak antara
perkemahan mereka di Amagasaki dan Yamazaki
kurang dari sesambaran petir. Mereka sudah bisa
merasakan kehadiran musuh di daerah itu.
Sebei dan Ukon sama-sama diberi tanggung
jawab memimpin barisan depan, dan mereka ber-
diri dan bertanya, "Tidakkah kita harus segera
menuju Yamazaki?"
Hideyoshi, yang tak terpengaruh oleh ke-
bingungan saat itu, menjawab dengan amat
tenang.
"Kupikir kita sebaiknya menunggu satu hari
lagi, sampai Yang Mulia Nobutaka tiba di sini.
Memang, selama kita menunggu, kesempatan baik
ini akan berlalu sedikit demi sedikit, namun aku
ingin salah satu putra bekas junjungan kita turut
serta dalam pertempuran ini. Aku tak mau
menempatkan Yang Mulia Nobutaka ke dalam
situasi yang akan disesalinya sepanjang hidupnya."
"Tapi bagaimana kalau sementara itu musuh
berhasil mencapai lokasi menguntungkan?"
"Hmm, tentu saja harus ada batas waktu. Apa
pun yang terjadi, besok kita sudah harus bertolak
ke Yamazaki. Setelah seluruh pasukan berkumpul
di Yamazaki, kita akan berhubungan lagi, jadi
sebaiknya kalian berdua segera berangkat se-
karang."
Sebei dan Ukon keluar dari ruang rapat. Urut-
urutan keberangkaun barisan depan ditetapkan
sebagai berikut: Pertama-tama, korps Takayama;
kedua, korps Nakagawa: dan ketiga, korps Ikeda.
Begitu meninggalkan Tonda, kedua ribu
prajurit Takayama mengayunkan langkah, seolah-
olah musuh sudah berada di depan mata. Ketika
mengamati debu yang diterbangkan oleh kuda-
kuda mereka, Sebei dan semua orang dalam korps
kedua bertanya-tanya, apakah pasukan Akechi
belum sampai di Yamazaki.
"Untuk itu pun mereka bergerak terlalu cepat."
seseorang berkomentar curiga.
Segera sesudah memasuki Desa Yamazaki, anak
buah Ukon menutup semua gerbang di jalan-jalan
yang menuju kota, bahkan menghadang orang-
orang yang melewati jalan-jalan kecil di kawasan
itu.
Pasukan Nakagawa yang menyusul kemudian
tentu saja menemui rintangan-rintangan ini, dan
mendadak paham mengapa Ukon demikian ter-
buru-buru; ia tak sudi didului orang lain. Sebei
meninggalkan posisi strategis ini dan langsung
menuju sebuah bukit bernama Tennozan.
Akhirnya Hideyoshi berkemah di Tonda malam
itu, tapi keesokan harinya ia menerima laporan
bahwa Nobutaka dan Niwa telah tiba di tepi
Sungai Yodo.
Begitu mendengar kabar itu, Hideyoshi melom-
pat gembira, nyaris membalikkan kursinya "Bawa-
kan kuda! Bawakan kuda untukku!" ia memerin-
tahkan.
Sambil menaiki kuda, ia berpaling kepada para
penjaga gerbang dan berseru. "Aku akan pergi
menyambut Yang Mulia Nobutaka!" Lalu ia
memacu kudanya ke arah Sungai Yodo.
Sungai lebar itu hampir meluap. Di tepinya
pasukan Nobutaka terbagi menjadi dua korps,
masing-masing berkekuatan empat ribu dan tiga
ribu prajurit.
"Di manakah Yang Mulia Nobutaka?" Hideyoshi
berseru ketika turun di tengah-tengah kerumunan
prajurit yang bermandikan keringat. Tak seorang
pun dari mereka menyadari bahwa ia Hideyoshi.
"Ini aku, Hideyoshi," ia menyebutkan namanya.
Para prajurit terbengong-bengong.
Hideyoshi tidak menunggu sambutan resmi.
Sambil menerobos kerumunan orang, ia menuju
pohon tempat Nobutaka memasang panjinya.
Dikelilingi para perwira, Nobutaka menduduki
kursi lipat tanpa sandaran, melindungi matanya
dari pantulan cahaya menyilaukan. Tiba-tiba ia ber-
balik dan melihat Hideyoshi berlari ke arahnya,
memanggil-manggil. Begitu melihat Hideyoshi,
Nobutaka dikuasai rasa terima kasih. Inilah
pengikut yang dididik selama bertahun-tahun oleh
ayahnya, dan apa yang kini dilakukan orang itu
jauh melampaui ikatan yang biasa terdapat antara
junjungan dan pengikut. Sorot matanya menun-
jukkan bahwa ia tengah diliputi emosi yang biasa-
nya hanya dirasakan jika ia berhadapan dengan
sanak saudara.
"Hideyoshi!" Nobutaka berseru.
Tanpa menunggu uluran tangan Nobutaka,
Hideyoshi menghampiri dan menggenggam
tangannya dengan erat.
"Yang Mulia Nobutaka!" Hanya itu yang diucap-
kan Hideyoshi. Kedua laki-laki itu tidak berkata
apa-apa lagi, tapi mata mereka berbicara panjang-
lebar. Air mata bergulir di pipi masing-masing.
Melalui air matalah Nobutaka dapat mengungkap-
kan perasaan terhadap mendiang ayahnya kepada
seorang pengikut marganya. Dan Hideyoshi pun
memahami isi hati pemuda itu. Ia akhirnya me-
lepaskan tangan yang digenggamnya demikian erat
dan segera berlutut di tanah.
"Kedatangan Yang Mulia sungguh membahagia-
kan hati. Tak ada waktu untuk mengatakan apa-
apa lagi, dan sebenarnya memang tak ada lagi yang
dapat hamba katakan, Hamba hanya bersyukur
bahwa hamba dapat berada di sini bersama Yang
Mulia, dan hamba yakin arwah ayah Yang Mulia
pun merasa senang. Akhirnya hamba memperoleh
kesempatan untuk menyampaikan belasungkawa
dan memenuhi kewajiban hamba sebagai pengikut.
Untuk pertama kali sejak Benteng Takamatsu,
hamba merasa gembira."
Belakangan pada hari itu, Hideyoshi mengun-
dang Nobutaka untuk menemaninya ke per-
kemahannya di Tonda, dan bersama-sama mereka
berpaling ke Yamazaki.
Mereka tiba di Yamazaki pada jam Monyet.
Kesepuluh ribu prajurit pasukan cadangan ber-
gabung dengan kedelapan ribu lima ratus prajurit
dari ketiga korps gugus tempur pertama. Ke mana
pun mata memandang hanya terlihat kuda dan
prajurit.
"Kami baru terima laporan bahwa pasukan
Akechi menyerang korps Nakagawa di perbukitan
sebelah timur Tennozan."
Sekaranglah waktu untuk bertindak. Hideyoshi
memberikan perintah menyerang pada seluruh
pasukan.

Pada pagi hari kesembilan, ketika Hideyoshi ber-


tolak dari Himeji, Mitsuhide kembali ke Kyoto.
Kurang dari seminggu telah berlalu sejak pem-
bunuhan Nobunaga.
Pada Jam Kambing di hari kedua, sementara
reruntuhan Kuil Honno masih berasap, Mitsuhide
telah meninggalkan Kyoto untuk menyerang
Azuchi. Tapi baru saja keluar dari ibu kota, ia telah
menemui rintangan di tempat penyeberangan
sungai di Seta. Pada pagi itu ia telah mengirim
surat yang menuntut agar Benteng Seta segera
menyerah, tapi komandan benteng itu membunuh
kurir yang mengantarkan surat tersebut, lalu
membakar bentengnya dan Jembatan Seta.
Dengan demikian, pasukan Akechi tak dapat
menyeberangi sungai. Kedua mata Mitsuhide
menyala-nyala karena marah. Jembatan yang di-
musnahkan api itu seakan-akan menertawakannya.
Dunia memandang kita tidak seperti kita me-
mandang dunia, ia menyadari.
Setelah terpaksa kembali ke Benteng Sakamoto,
Mitsuhide melewatkan dua atau tiga hari tanpa
hasil, menunggu jembatan itu diperbaiki. Namun
setelah akhirnya ia berhasil memasuki Azuchi, ia
menemukan kota itu telah dikosongkan. Benteng-
nya yang besar pun diserahkan kepada angin. Di
kotanya sendiri tak ada barang atau papan nama
toko yang tersisa. Keluarga Nobunaga telah melari-
kan diri, tapi karena terburu-buru, mereka terpaksa
meninggalkan seluruh emas dan perak milik Nobu-
naga, serta koleksi seninya.
Barang-barang itu dipamerkan pada Mitsuhide
setelah pasukannya mengamankan benteng, tapi ia
tidak merasa lebih kaya karenanya. Entah kenapa,
ia justru merasa lebih miskin.
Bukan ini yang kucari, ia berkata dalam hati,
dan sungguh menyedihkan bahwa orang-orang
menyangka inilah tujuanku.
Seluruh emas dan perak yang mereka temukan
dibagi-bagikan kepada pasukannya. Prajurit-
prajurit biasa menerima beberapa ratus keping
emas, sementara para jendral tersohor mem-
peroleh antara tiga ribu sampai lima ribu keping
emas.
Apa yang kauinginkan? Berkali-kali Mitsuhide
mengulangi pertanyaan itu dalam benaknya.
Memimpin negeri! Terngiang-ngiang di telinganya,
tapi bunyinya sungguh hampa. Ia terpaksa me-
ngakui bahwa ia tak pernah memeluk harapan
sedemikian tinggi, karena tidak memiliki ambisi
maupun kemampuan untuk itu. Sejak semula ia
hanya mempunyai satu tujuan: membunuh Nobu-
naga. Keinginan Mitsuhide telah terpuaskan oleh
kobaran api di Kuil Honno, dan yang tersisa kini
hanyalah nafsu tanpa keyakinan.
Menurut selentingan yang beredar saat ini,
Mitsuhide mencoba melakukan bunuh diri ketika
mendengar Nobunaga sudah wafat. Para pengikut
harus mencegahnya secara paksa. Begitu Nobunaga
berubah menjadi abu, kebencian yang membeku-
kan hati Mitsuhide pun larut seperti salju men-
cair. Namun kesepuluh ribu prajurit yang meng-
abdi pada Mitsuhide berbeda pendapat dengan
junjungan mereka. Mereka justru beranggapan
bahwa imbalan sesungguhnya masih akan diraih.
"Mulai hari ini, Yang Mulia Mitsuhide merupa-
kan penguasa seluruh negeri," para jendral Akechi
berkata dengan keyakinan yang tak dimiliki
Mitsuhide.
Namun junjungan yang mereka sanjung-sanjung
telah berubah. Ia berbeda dalam penampilan dan
watakbahkan dalam kecerdasan.
Mirsuhide berdiam di Azuchi dari hari kelima
sampai pagi hari kedelapan, dan selama itu ia
merebut benteng Hideyoshi di Nagahama serta
benteng Niwa Nagahide di Sawayama. Begitu
seluruh Provinsi Omi berada dalam genggaman-
nya, Mitsuhide kembali memperlengkapi pasukan-
nya dan sekali lagi bertolak menuju ibu kota.
Saat itulah Mitsuhide menerima kabar bahwa
marga Hosokawa menolak bergabung dengannya.
Semula ia sangat yakin bahwa Hosokawa Tadaoki,
menantunya, akan segera mengikuti jejaknya
setelah Nobunaga digulingkan. Tapi jawaban dari
marga Hosokawa ternyata berupa penolakan
mentah-mentah. Sejauh ini Mitsuhide disibukkan
oleh pertanyaan siapa yang akan menjadi sekutu-
nya; ia nyaris tak memikirkan siapa yang bakal
menjadi lawannya yang paling tangguh.
Baru sekarang Mitsuhide teringat pada Hide-
yoshi, dan dadanya serasa ditonjok keras. Ia bukan-
nya menutup mata terhadap kemampuan dan ke-
kuatan militer Hideyoshi di wilayah Barat. Justru
sebaliknya, ia sadar sepenuhnya bahwa Hideyoshi
merupakan ancaman besar. Yang agak menen-
teramkan pikiran Mitsuhide adalah keyakinannya
bahwa Hideyoshi masih ditahan oleh marga Mori
dan takkan sanggup kembali dengan cepat. Paling
tidak, satu dari kedua kurir yang diutusnya ke
orang-orang Mori berhasil menjalankan tugasnya.
Dan jawaban dari pihak Mori tentu akan segera
tiba, memberitahunya bahwa mereka telah menye-
rang dan menghancurkan Hideyoshi. Namun
orang-orang Mori tak kunjung memberi kabar,
sama halnya dengan Nakagawa Sebei. Ikeda
Shonyu, dan Takayama Ukon. Berita yang sampai
ke telinga Mitsuhide setiap paginya justru ter-
dengar seperti hukuman dari para dewa.
Bagi Mitsuhide, Benteng Sakamoto menyimpan
kenangan buruk mengenai peristiwa-peristiwa yang
belum lama ini terjadi: penghinaan yang diterima-
nya dari Nobunaga; pengusirannya dari Azuchi;
kunjungan ke Sakamoto, ketika ia menghadapi
persimpangan yang penuh kebimbangan. Kini
segala keraguan dan kemarahannya telah terhapus.
Dan pada waktu yang sama ia juga kehilangan
kemampuan bermawas diri. Kecerdasannya yang
mengagumkan telah ia tukar dengan gelar
penguasa negeri yang tanpa makna.
Pada malam hari kesembilan, Mitsuhide masih
belum mempunyai bayangan di mana Hideyoshi
berada, tapi sikap para pembesar setempat menim-
bulkan rasa gelisah dalam dirinya. Keesokan
paginya ia meninggalkan perkemahan di Shimo
Toba dan mendaki ke Horagamine Pass di
Yamashiro, tempat ia telah mengatur pertemuan
dengan pasukan Tsutsui Junkei.
"Apakah Tsutsui Junkei sudah kelihatan?" secara
berkala Mitsuhide bertanya kepada para pengintai.
Berhubung Mitsuhide bekerja sama dengan
Tsutsui Junkei sebelum serangan ke Kuil Honno,
ia tak pernah meragukan kesetiaan sekutunya itu
sampai sekarang. Ketika malam tiba, belum juga
ada tanda-tanda mengenai kedatangan pasukan
Tsutsui. Bukan itu saja, ketiga pengikut Oda yang
hendak ia tarik ke pihaknyaNakagawa Sebei,
Takayama Ukon, dan Ikeda Shonyutidak me-
nanggapi surat panggilannya, walaupun mereka
biasanya berada di bawah komandonya.
Kegelisahan Mitsuhide bukan tanpa alasan. Ia
berunding dengan Saito Toshimitsu, "Kaupikir ada
yang tidak beres, Toshimitsu?"
Mitsuhide ingin percaya bahwa terjadi sesuatu
dengan para kurir yang dikirimnya, atau bahwa
Junkei dan yang lain hanya terlambat, namun
Saito Toshimitsu telah menerima kenyataan.
"Tidak, tuanku." orang tua itu menjawab.
"Hamba kira Yang Mulia Tsutsui memang tak
berniat datang kemari. Rasanya tak mungkin dia
memerlukan waktu selama ini untuk menyusuri
jalanan datar dari Koriyama."
"Tidak, pasti ada alasan lain," Mitsuhide ber-
keras. Ia memanggil Fujita Dengo, cepat-cepat
menulis surat, dan mengutusnya ke Koriyama.
"Ambil kuda-kuda terbaik. Kalau kau menempuh
perjalanan dengan kecepatan penuh, menjelang
pagi kau seharusnya sudah berada di sini lagi."
"Jika Yang Mulia Tsutsui berkenan menemui
hamba, hamba akan kembali saat fajar," ujar
Dengo.
"Kenapa dia mesti tidak bersedia bicara dengan-
mu? Dapatkan jawaban darinya, walaupun di
tengah malam buta."
"Baik, tuanku."
Dengo segera berangkat ke Koriyama. Tapi
sebelum ia kembali, beberapa pengintai membawa
berita bahwa pasukan Hideyoshi sedang menuju ke
Timur, dan bahwa barisan depan mereka sudah
memasuki provinsi tetangga, Hyogo.
"Tak mungkin! Kalian pasti keliru!" Mitsuhide
meledak ketika mendengar laporan itu. Ia tak
dapat percaya bahwa Hideyoshi bisa berdamai
dengan pihak Mori, dan kalaupun bisa, bahwa
Hideyoshi mampu menggerakkan pasukannya yang
besar sedemikian cepat.
"Hamba kira ini bukan laporan palsu, tuanku."
ujar Toshimitsu, sekali lagi mengungkapkan ke-
benaran. "Bagaimanapun, menurut hamba, kita se-
baiknya segera menyiapkan strategi balasan."
Menyadari kebimbangan Mitsuhide, Toshimitsu
langsung menyampaikan rencana konkret. "Se-
andainya hamba menunggu Yang Mulia Tsutsui di
sini, tuanku dapat bergegas untuk mencegah
Hideyoshi memasuki ibu kota."
"Kedatangan Tsutsui tak bisa diharapkan lagi,
bukan?" Mitsuhide akhirnya mengakui.
"Menurut hamba, peluang bahwa dia akan ber-
gabung dengan tuanku hanya satu atau dua ber-
banding sepuluh."
"Strategi apa yang bisa kita pakai untuk meng-
hentikan Hideyoshi?"
"Rasanya sudah dapat dipastikan bahwa Ukon,
Sebei, dan Shonyu berada di pihak Hideyoshi, jika
pasukan Tsutsui Junkei pun bergabung dengannya,
kekuatan militer kita tidak memadai untuk meng-
ambil inisiatif dan menyerang. Namun berdasar-
kan perkiraan hamba, Hideyoshi memerlukan
lima atau enam hari lagi untuk menggerakkan
seluruh pasukannya ke sini. Selama itu, jika kita
memperkuat kedua benteng di Yodo dan Shoryuji,
mendirikan kubu pertahanan di sepanjang jalan
utara-selatan ke Kyoto, serta mengerahkan seluruh
kekuatan di Omo dan daerah-daerah lain, kita
mungkin mampu menghalaunya untuk sementara
waktu."
"Apa? Semua itu hanya akan menghalaunya
untuk sementara saja?"
"Sesudah itu kita memerlukan strategi yang jauh
lebih menyeluruhbukan sekadar pertempuran
kecil. Tapi sekarang ini kita berada dalam posisi
kritis. Sebaiknya tuanku segera berangkat."
Toshimitsu menunggu sampai Fujita Dengo
kembali dari tugasnya di Koriyama.
Dengo muncul dengan wajah berkerut-kerut
karena marah. "Percuma saja," ia melaporkan pada
Toshimitsu. "Junkei keparat itu mengkhianati kita.
Dia mencari-cari alasan karena tidak datang ke
sini, tapi dalam perjalanan pulang, hamba me-
ngetahui bahwa dia telah mengadakan hubungan
dengan Hideyoshi. Rasanya tak terbayangkan
bahwa orang yang begitu dekat dengan marga
Akechi tega berbuat seperti ini!"
Caci maki Dengo tak ada habisnya, tapi gurat
wajah Toshimitsu tidak memperlihatkan emosi
sama sekali.
Mitsuhide berangkat sekitar siang, tanpa meraih
apa-apa. Ia tiba di Shimo Toba kira-kira pada
waktu yang sama saat Hideyoshi menikmati tidur
siang singkatnya di Amagasaki. Baik kuil Zen di
Amagasaki maupun perkemahan di Shimo Toba
sama-sama dilanda hawa panas. Begitu Mitsuhide
sampai di perkemahannya, ia memanggil para
jendralnya ke markas dan membahas strategi per-
tempuran. Ia belum juga menyadari bahwa Hide-
yoshi sudah berada di Amagasaki. Walaupun
barisan depan Hideyoshi sudah mulai mengambil
posisi, Mitsuhide menyangka masih ada waktu
beberapa hari sebelum Hideyoshi sendiri tiba.
Rasanya tak adil untuk menghubungkan kesalahan
ini dengan kecerdasannya. Ia hanya membuat
penilaian berdasarkan akal sehat, dengan meng-
gunakan kecerdasannya yang luar biasa. Kecuali
itu, penilaian tersebut sejalan dengan apa yang
dianggap logis oleh orang-orang lain.
Rapat itu diakhiri tanpa ada waktu terbuang,
dan Akechi Shigetomo-lah yang berangkat
pertama. Ia segera menuju Yodo guna memulai
kegiatan pembangunan untuk memperkuat
benteng di sana. Jalan gunung sempit yang menuju
ibu kota tentu akan merupakan salah satu sasaran
serangan musuh. Benteng Yodo terletak di sebelah
kanannya, benteng Shoryuji di sebelah kirinya.
Mitsuhide memberikan perintah pada divisi-
divisi yang ditempatkan di sepanjang tepi Sungai
Yodo. "Mundur ke Shoryuji dan ambil posisi ber-
tahan. Bersiap-siaplah menghadapi serangan
musuh."
Mitsuhide melakukan berbagai persiapan, tapi
ketika menaksir kekuatan musuh, ia tak sanggup
menutup-nutupi kelemahannya sendiri. Banyak
prajurit dari ibu kota dan daerah sekitarnya ber-
kumpul di sini dan menempatkan diri di bawah
komandonya, tapi semuanya samurai berpangkat
rendah atau ronintak berbeda dengan tentara
sewaan yang mencari jalan pintas untuk mencari
nama. Tak seorang pun dari mereka mempunyai
kecakapan militer maupun kemampuan memim-
pin.
"Berapa jumlah keseluruhan orang kita?" Mitsu-
hide bertanya kepada para jendralnya.
Dengan menghitung prajurit-prajurit di Azuchi,
Sakamoto, Shoryuji, Horagamine, dan Yodo,
pasukan Mitsuhide berkekuatan sekitar enam belas
ribu orang.
"Kalau saja Hosokawa dan Tsutsui mau ber-
gabung denganku," gumam Mitsuhide, "takkan ada
yang sanggup mengusirku dari ibu kota." Setelah
menentukan strategi pun ia tetap bingung akibat
perbedaan besar dalam kekuatan. Otak Mitsuhide
bekerja berdasarkan angka-angka, dan kini tak ada
secercah harapan pun bahwa ia memegang
keuntungan. Itu saja dapat menentukan kalah atau
menang. Ia mulai tertelan gelombang yang dicipta-
kannya sendiri.
Mitsuhide berdiri di sebuah bukit di luar per-
kemahan, memandang awan-awan.
"Sepertinya bakal turun hujan," katanya pada
diri sendiri, sambil menghadapi angin yang tidak
membawa tanda-tanda hujan. Memperhatikan
cuaca sangat penting bagi jendral yang hendak
terjun ke medan pertempuran. Lama Mitsuhide
berdiri mencemaskan pergerakan awan dan arah
angin.
Akhirnya ia mengalihkan pandangannya ke
Sungai Yodo. Lentera-lentera kecil yang berayun-
ayun tertiup angin tentu lentera-lentera dari
perahu-perahu patrolinya sendiri. Sungai besar itu
tampak putih, sementara gunung-gunung di
belakangnya kelihatan hitam pekat.
Langit luas membentang di atas sungai, sampai
ke muara yang jauh di Amagasaki. Mitsuhide
memandang ke arah itu, matanya seakan-akan me-
nyorotkan cahaya, dan ia bertanya pada diri
sendiri. "Apa yang dapat dilakukan Hideyoshi?"
Kemudian ia berseru dengan nada keras yang
jarang digunakannya. "Sakuza? Sakuza? Di mana
Sakuzaemon?"
Ia cepat-cepat berbalik, dan dengan langkah
panjang kembali ke perkemahan. Angin kencang
mengguncang barak-barak, bagaikan gelombang
raksasa.
"Ya tuanku? Yojiro di sini!" seorang pembantu
menjawab, lalu bergegas keluar menghampirinya.
"Yojiro, berikan aba-aba. Kita berangkat
sekarang juga."
Sementara pasukannya membongkar per-
kemahan. Mitsuhide mengirimkan pesan penting
pada semua komandannya, termasuk pada
sepupunya, Mitsuharu, di Benteng Sakamoto,
membertahukan keputusannya pada mereka. Ia
takkan mundur dan menjalankan strategi detensif.
Ia telah bertekad menyerang Hideyoshi dengan
segenap kekuatannya.
Giliran jaga malam telah berganti satu kali. Tak
satu bintang pun tampak di langit. Sebuah
kesatuan tempur menuruni bukit; kesatuan itu
ditugaskan berjaga di hagian hilir dan hulu Sungai
Katsura. Unit perbekalan, kesatuan-kesatuan
utama, serta barisan belakang menyusul kemudian.
Tiba-tiba hujan mulai turun. Pada waktu seluruh
pasukan berada di tengah sungai, mereka diterpa
hujan deras.
Angin pun mulai bertiupangin dingin dari
arah umur laut. Para prajurit bergumam-gumam
ketika memandang permukaan sungai yang gelap.
"Sungai dan angin ini datang dari gunung-
gunung di Tamba."
Seandainya hari masih terang, mereka mungkin
bisa melihat. Oinosaka tidak jauh dari tempat
mereka berada, dan baru sepuluh hari berlalu sejak
mereka melewati Oinosaka dan meninggalkan
pangkalan Akechi di Benteng Tamba. Namun bagi
para prajurit rasanya itu sudah terjadi beberapa
tahun silam.
"Jangan jatuh! Jangan sampai sumbu-sumbu
kalian basah!" para perwira berseru-seru. Kekuatan
arus Sungai Katsura jauh lebih dahsyat daripada
biasanya, kemungkinan akibat hujan deras di
pegunungan.
Pasukan tombak menyeberang, masing-masing
prajurit berpegangan pada lombak orang di depan-
nya, diikuti pasukan senapan yang saling meng-
genggam laras dan moncong senapan. Para pe-
nunggang kuda di sekitar Mitsuhide berpacu ke
tepi seberang, meninggalkan buih dan gelembung
pada permukaan sungai. Sesekali terdengar letusan
senapan dari suatu tempat di depan mereka,
sementara di kejauhan bunga api tampak beter-
bangan, kemungkinan dari rumah-rumah petani
yang terbakar. Namun begitu suara tembakan
terhenti, api pun padam dan segala sesuatu
kembali diserap kegelapan.
Tak lama kemudian seorang prajurit berlari
membawa laporan. "Orang-orang kita telah me-
mukul mundur regu pengintai musuh. Mereka
sempat membakar beberapa rumah petani ketika
melarikan diri."
Tanpa mengindahkan laporan ini, Mitsuhide
bergerak maju melalui Kuga Nawate, melewati
Benteng Shoryuji, yang kini berada di tangan anak
buahnya, dan sengaja mendirikan perkemahan di
Onbozuka, sekitar lima ratus sampai enam ratus
meter lebih ke tenggara. Hujan yang telah
merepotkan mereka selama dua-tiga hari kini
mereka, dan bintang-bintang mulai berkilauan di
langit yang sebelum nya hanya menampilkan
bcrbagai corak hitam dan kelabu.
Musuh juga diam saja. pikir Mitsuhide ketika
berdiri di Onbozuka. menatap kegelapan ke arah
Yamazaki. Pcrasaannya bergolak. dan ia pun
merasa tegang ketika membayangkan akan
mcnghadapi pasukan Hideyoshi pada jarak kurang
dari dua mil. Dengan mcmusatkan kekuatan di
Onbozuka dan memanfaatkan Benteng Shoryuji
sebagai pangkalan perbekalan. la menyebar
pasukannya dalam satu garis, dari Sungai Yodo di
tenggara ke Sungai Enmyoji. seakan-akan
membuka kipas. Saat semua kesatuan barisan
depan telah menempati posisi masing-masing.
fajar telah menyingsing dan Sungai Yodo yang
panjang sudah mulai kelihatan.
Tiba-tiba gema tembakan gencar terdengar dari
arah Tennozan. Matahari belum terbit dan awan-
awan tampak gelap karena kabut tebal. Hari itu
hari ketiga belas di Bulan Keenam, dan masih
begitu pagi, sehingga belum ada satu kuda pun
yang terdengar meringkik di jalan menuju
Yamazaki.
Ketika memandang dari perkemahan utama
Mitsuhide di Onbozuka, para prajurit melihat
Tennozan berjarak kira-kira setengah mil ke arah
tenggara. Sisi kirinya diapit oleh jalan menuju
Yamazaki dan sebuah sungai besarSungai Yodo.

Tennozan berlereng terjal, dan ketinggiannya men-


capai tiga ratus meter. Pada hari sebelumnya,
ketika pasukan Hideyoshi maju sampai Tonda,
semua perwiranya menatap lurus ke depan dan
mengamati bukit itu. Beberapa dari mereka be-
tanya pada pemandu setempat, "Bukit apakah itu?"
"Apakah itu Yamazaki di perbukitan sebelah
timur?"
"Musuh berada di Shoryuji. Di sebelah mana
Tennozan-kah itu?"
Setiap kesatuan disertai oleh seseorang yang
mengenal medan di tempat itu. Setiap orang yang
memahami strategi menyadari bahwa penguasaan
tempat tinggilah yang merupakan kunci keme-
nangan.
Dan semua jendral pun menyadari bahwa orang
pertama yang menancapkan panjinya di punggung
Tennozan akan lebih disanjung daripada orang
yang merebut kepala pertama di daratan. Setiap
jendral telah berikrar bahwa ia sendiri yang akan
melakukannya. Pada malam hari ketiga belas.
beberapa jendral Hideyoshi memohon supaya
rencana penyerangan mereka disetujui, dengan
harapan mereka segera diberi perintah menyerbu
bukit ini.
"Pertempuran besok akan menentukan segala-
galanya." ujar Hideyoshi. "Yodo, Yamazaki, dan
Tennozan bakal menjadi medan tempur utama.
Bukitkan bahwa kalian pantas disebut laki-laki.
Jangan saling bersaing, jangan hanya pikirkan
kejayaan masing-masing. Ingatlah bahwa Yang
Mulia Nobunaga dan sang Dewa Perang akan
mengawasi setiap langkah kalian."
Namun begitu memperoleh restu dari Hide-
yoshi, dengan semangat menyala-nyala para
penembak berlomba-lomba menuju Tennozan,
menimbulkan kekacauan di tengah malam buta.
Tempat strategis yang telah menarik perhatian
para jendral Hideyoshi itu juga tak luput dari
pandangan Mitsuhide. Ia telah memerintahkan
pasukannya agar bergerak cepat, melintasi Sungai
Katsura, dan segera menuju Onbozuka untuk
merebut Tennozan.
Mitsuhide mengenai medan di daerah itu sama
baiknya dengan kedua jendral barisan depan
musuh, Nakagawa Sebei dan Takayama Ukon.
Dan walaupun mereka memandang gunung-
gunung dan sungai-sungai di daerah yang sama,
pikiran Mitsuhide tentu saja melampaui pikiran
orang-orang lain.
Setelah melintasi Sungai Katsura dan melewati
Kuga Nawaie, ia memisahkan satu divisi dari
pasukannya, dan memberi perintah agar mereka
menempuh jalan lain. "Daki Tennozan dari sisi
utara dan rebutlah puncaknya. Jika musuh
menyerang, hadapi mereka dan jangan lepaskan
titik strategis itu."
Perlu dikatakan bahwa ia memang gesit.
Perintah dan tindakan Mitsuhide selalu tepat
waktu; ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan
menyerang. Meski demikian, pada saat ini pasukan
Hideyoshi, yang sudah mencapai Hirose di lereng
selatan, juga berada di atas bukit.
Keadaan gelap gulita, dan banyak prajurit sama
sekali tidak mengenal medan yang mereka lalui.
"Di sini ada jalan setapak yang menanjak."
"Tunggu, kita tidak bisa lewat jalan itu."
"Siapa bilang begitu? Tentu saja bisa."
"Itu jalan yang salah. Di atas sana ada tebing
terjal."
Sambil berputar-putar di kaki bukit, mereka
berusaha menemukan jalan ke puncaknya.
Jalan setapak itu amat terjal, dan hari masih
gelap. Karena tahu bahwa mereka berada di tengah
sekutu, para prajurit berbaris tanpa memedulikan
unit atau korps mana yang mereka ikuti. Mereka
bergegas dengan napas terengah-engah, menuju
puncak. Kemudian, ketika hampir sampai di atas,
mereka disambut berondongan peluru.
Serangan itu dilancarkan oleh pasukan penem-
bak Akechi di bawah komando Matsuda Taro-
zaemon. Belakangan diketahui bahwa ketujuh
ratus orang dalam korps Matsuda telah dibagi
menjadi dua unit. Para prajurit Horio Mosuke,
Nakagawa Sebei, Takayama Ukon, dan Ikeda
Shonyu saling berlomba menjadi orang pertama
yang berhasil mendaki Tennozan, tapi hanya Hori
Kyutaro yang memerintahkan pasukannya meng-
ambil jalan ke sisi utara bukit. Setelah menyusuri
kaki bukit, mereka mencoba tindakan yang lain
sama sekalimemotong jalan mundur musuh.
Seperti dapat diduga, serangan dari samping ini
mengejutkan korps Matsuda dan menempatkan
jendral mereka, Matsuda Tarozaemon, tepat di
depan mata. Bentrokan ini jauh lebih ganas di-
bandingkan bentrokan di puncak Tennozan. Per-
tempuran jarak dekat pecah di antara pohon-
pohon pinus dan bongkahan-bongkahan batu yang
tersebar di lereng bukit. Senjata api terlalu me-
repotkan, jadi para prajurit lebih banyak meng-
gunakan tombak dan pedang panjang.
Sejumlah orang jatuh dari tebing sambil ber-
gulat dengan musuh. Beberapa orang yang sedang
mengimpit prajurit musuh ditikam dari belakang.
Korps pemanah pun hadir, dan dengung panah
serta letusan senapan seakan tak putus-putusnya.
Tapi yang lebih keras lagi adalah teriakan perang
kelima ratus atau enam ratus prajurit. Teriakan-
teriakan itu tidak keluar dari tenggorokan semata-
mata, melainkan terpancar dari seluruh jiwa raga,
bahkan dari rambut dan pori-pori.
Para prajurit maju dan didesak mundur, dan
akhirnya matahari terbit. Langit biru dan awan
putih tampak untuk pertama kali sejak lama. Sinar
matahari yang langka ini rupanya membungkam
jangkrik-jangkrik. Sebagai gantinya, teriakan-
teriakan perang para prajurit mengguncang bumi.
Dalam sekejap mayat-mayat berlumuran darah ber-
gelimpangan di lereng bukit, saling tumpang
tindih. Ada yang tergeletak sendiri di suatu
tempat, sementara di tempat lain dua atau tiga
mayat tampak menumpuk. Para prajurit dipacu
oleh pemandangan ini, dan mereka yang me-
langkahi mayat rekan-rekan mereka sendiri me-
masuki ruang yang melampaui hidup dan mati. Ini
berlaku bagi para prajurit korps Hori maupun bagi
orang-orang Akechi.
Situasi di puncak bukit kurang jelas. namun di
sini pun kemenangan mungkin saja segera disusul
dengan kekalahan. Di tengah-tengah pertempuran.
teriakan-teriakan korps Matsuda tiba-tiba tak lagi
terdengar garang, dan malah menyerupai suara
anak kecil yang sedang terisak-isak. Keyakinan
mereka telah berubah menjadi perasaan putus asa.
"Ada apa?"
"Kenapa kita mundur? Jangan mundur!"
Sambil mempertanyakan kebingungan rekan-
rekan mereka, beberapa anggota korps Matsuda
berseru-seru dengan geram. Namun orang-orang
ini pun segera berlari ke arah kaki bukit, seolah-
olah terbawa tanah longsor. Jendral mereka,
Matsuda Tarozaemon, rupanya terkena tembakan
dan kini sedang digotong oleh para pembantunya
di depan mata pasukannya.
"Serang! Bantai mereka!"
Sebagian besar korps Hori sudah mulai melaku-
kan pengejaran, tapi Kyutaro berteriak sekuat
tenaga, berusaha mencegah anak buahnya. "Jangan
kejar mereka!"
Namun dalam suasana saat itu, perintahnya
tidak berpengaruh apa-apa. Seperti bisa diduga,
barisan depan korps Matsuda kini menerjang
menuruni bukit, bagaikan sungai lumpur. Bala
bantuan tak kunjung tiba, dan jendral mereka
telah tertembak. Mereka tak punya pilihan selain
melarikan diri.
Dari segi jumlah, korps Hori tidak sebanding
dengan orang-orang Akechi. Kini, tanpa per-
tempuran dan penghalang, mereka terdesak ke
bawah dan diinjak-injak oleh musuh yang berlari
menuruni lereng bukit terjal. Bagian korps Hori
yang pertama-tama mengejar musuh kini ter-
perangkap dalam suatu gerakan penjepit, persis
seperti yang dikhawatirkan Kyutaro. Pertemuan
yang mengerikan pun terjadi.
Saat itulah gabungan korps Horio, Nakagawa.
Takayama, dan Ikeda mencapai puncak bukit.
"Kita menang!"
"Tennozan di tangan kita!"
Teriakan kemenangan berkumandang untuk
pertama kali. Hideyoshi menanti kedatangan
Nobutaka di Sungai Yodo, sehingga ia belum tiba
di garis depan. Hari telah sore, sekitar Jam
Kambing, ketika Hideyoshi menambahkan pasu-
kan Nobutaka dan Niwa Nagahide pada pasukan-
nya sendiri dan menuju perkemahan utama.
Hujan pagi telah mengering di bawah terik mata-
hari, para prajurit maupun kuda-kuda mereka di-
selubungi keringat bercampur debu, dan baju
tempur serta mantel mereka yang berwarna-warni
telah berubah putih. Satu-satunya benda yang
tampak cemerlang di hari yang panas ini adalah
panji Hideyoshi dengan lambang labu emas.
Sementara gema letusan tembakan masih ter-
dengar di Tennozan, setiap rumah di desa
kelihatan kosong. Namun ketika pasukan Akechi
mundur dan pasukan yang baru membanjiri jalan-
jalan, ember-ember penuh air, tumpukan semang-
ka, dan teko-teko berisi teh tiba-tiba muncul di
semua ambang pintu. Pada waktu pasukan
Hideyoshi memenuhi jalanan, kaum perempuan
pun terlihat di tengah kerumunan warga desa, dan
menyampaikan ucapan selamat.
"Tak satu prajurit musuhkah yang tersisa di
sini?"
Hideyoshi tidak turun dari kudanya, melainkan
memandang panji-panji para prajuritnya, yang kini
tampak di atas bukit yang berdekaran.
"Tak satu pun," balas Hikoemon. Ia telah
menyusun laporan-laporan dari semua korps,
mempelajari situasinya, dan kini melapor pada
Hideyoshi.
"Korps Matsuda kehilangan komandan pada
awal pertempuran. Beberapa anak buahnya melari-
kan diri ke perbukitan di sebelah utara, sementara
yang lain bergabung dengan sekutu-sekutu mereka
di sekitar Tomooka."
"Kenapa orang seperti Mitsuhide demikian
cepat melepaskan tempat strategis ini?"
"Kemungkinan dia tak menyangka kita datang
demikian cepat. Dia keliru menaksir waktu."
"Bagaimana dengan pasukan utamanya?"
"Sepertinya mereka berkemah di daerah antara
Sungai Yodo dan Shimoueno, dengan Shoryuji di
belakang dan Sungai Enmyoji di depan mereka."
Tiba-tiba terdengar teriakan perang dan letusan
senapan dari arah Sungai Enmyoji. Ketika itu Jam
Monyet.
Sungai Enmyoji, di sebelah timur Desa
Yamazaki, merupakan anak Sungai Yodo. Kedua
sungai itu bertemu di daerah paya-paya yang penuh
ilalang. Daerah tersebut biasanya diramaikan oleh
kicauan burung, tapi hari ini tak satu burung pun
bernyanyi.
Sepanjang pagi, kedua pasukan yang bertikai
sayap kiri pasukan Mitsuhide dan sayap kanan
Hideyoshiberbaris di kedua tepi sungai. Sesekali
ilalang berdesir dibelai angin. Sementara ujung-
ujung tongkat bendera tampak, tak satu orang
maupun kuda kelihatan di kiri-kanan sungai.
Namun di tepi utara, kelima ribu orang di bawah
komando Saito Toshimitsu, Abe Sadaaki, dan
Akechi Shigetomo telah siap bergerak. Di tepi
selatan, kedelapan ribu lima ratus prajurit di
bawah komando Takayama Ukon, Nakagawa
Sebei, dan Ikeda Shonyu tersusun dalam barisan
berlapis-lapis. Sambil bersimbah peluh di tempat
panas dan lembap itu, mereka menanti aba-aba
untuk menyerang.
Mereka menunggu sampai Hideyoshi tiba dan
memberikan perintah.
"Ke mana saja pasukan utama?"
Mereka mencaci maki pasukan Hideyoshi
karena terlambat datang, tapi selain itu mereka
hanya dapat mengertakkan gigi.
Akechi Mitsuhide, yang masih berada di per-
kemahan utamanya di Onbozuka, telah menerima
laporan bahwa Matsuda Tarozaemon gugur di
Tennozan, dan bahwa pasukannya digulung
musuh. Ia menyalahkan diri sendiri karena keliru
memperhitungkan waktu. Ia sadar sepenuhnya
bahwa secara strategis terdapat perbedaan besar
antara bertempur dengan Tennozan di tangan
anak buahnya dan menghadapi pertempuran
menentukan setelah menyerahkan tempat itu
kepada musuh.
Sebelum maju ke Tennozan, perhatian Mitsu-
hide memang terpceah pada tiga hal: peng-
khianatan Tsutsui Junkei; perintahnya untuk
memperkuat Benteng Yodoakibat meremehkan
kecepatan Hideyoshi; serta kekurangan pada
wataknyaia sukar mengambil keputusan. Harus-
kah ia menyerang atau bertahan? Sampai bergerak
ke Onbozuke pun ia belum menentukan pilihan-
nya.
Pertempuran pecah secara hampir kebetulan.
Kedua pasukan melewatkan pagi hari di tengah
ilalang, disiksa oleh ngengat dan nyamuk. Selama
itu mereka saling berhadapan dan menunggu
perintah jendral masing-masing. Tapi tiba-tiba
seekor kuda dengan pelana indah meloncat dari
sisi Hideyoshi dan berlari ke tepi Sungai Enmyoji,
barangkali karena terdorong rasa haus.
Empat atau lima prajuritkemungkinan peng-
ikut pemilik kuda itusegera mengejarnya. Se-
konyong-konyong tembakan senapan meletus dari
tepi seberang, diikuti oleh berondongan demi
berondongan.
Sebagai balasan, pasukan Hideyoshi pun me-
lepaskan tembakan ke tepi utara, untuk membantu
rekan-rekan mereka yang berlindung di tengah
ilalang. Kini tak ada waktu untuk menunggu
perintah.
"Serbu!"
Perintah Hideyoshi untuk melancarkan
serangan umum baru terdengar setelah tembak-
menembak tadi. Pasukan Akechi tentu saja tidak
tinggal diam, dan mereka pun mulai melangkah
memasuki sungai.
Tempat Sungai Enmyoji bertemu dengan
Sungai Yodo cukup lebar, tapi tidak jauh dari
sana, Sungai Enmyoji tak lebih dari kali kecil.
Namun arusnya deras akibat hujan yang turun
selama beberapa hari berturut-turut. Sementara
korps penembak Akechi muncul dari ilalang di
tepi utara dan memberondong barisan Hideyoshi
yang berdiri di tepi selatan, para prajurit korps
tombakkorps pilihan marga Akechibergegas
menyeberangi sungai, menimbulkan buih dan
percikan air.
"Kerahkan pasukan tombak!" perwira korps
Takayama berseru.
Karena sungainya sempit, pasukan penembak
tak banyak berguna. Pada waktu barisan belakang
maju agar barisan depan dapat mengisi senjata,
mereka terancam bahaya bahwa musuh melancar-
kan serangan mendadak dan menerjang ke tengah-
tengah para penembak.
"Pasukan penembak segera menyingkir! Jangan
halangi orang-orang di barisan depan!"
Korps Nakagawa telah siap siaga dengan tombak
masing-masing. Sebagian besar dari mereka kini
mengacungkan tombak dan menusuk ke bawah
dari tepi sungai, ke dalam air.
Mereka tentu saja membidik musuh, tapi dari-
pada berulang kali menarik dan menusukkan
tombak, mereka lebih suka menebas-nebaskan
tombak masing-masing untuk mencegah musuh
naik ke tepi. Pertempuran sengit meletus di
tengah-tengah sungai, tombak melawan tombak,
tombak melawan pedang panjang, bahkan tombak
melawan gagang tombak. Prajurit-prajurit terlihat
menikam musuh, dan tak lama kemudian meng-
alami nasib serupa.
Mereka memekik-mekik dan saling bergulat.
Tubuh-tubuh yang telah kehilangan nyawa jatuh
ke dalam sungai, memercikkan air. Arus ber-
lumpur terus berputar-putar. Darah kental meng-
ambang di permukaan sungai, lalu hanyut terbawa
arus.
Saat itu korps pertama di bawah Nakagawa
Sebei telah menyerahkan tugas tempur di bagian
depan kepada para prajurit di bawah komando
Takayama Ukon. Bagaikan barisan pemuda yang
mengusung tandu kebesaran dalam suatu peraya-
an, mereka mendesak maju ke garis depan sambil
bersorak serempak.
Setelah melawan ilalang di tepi timur sungai,
dengan ganas mereka menerjang ke tengah-tengah
musuh. Matahari mulai terbenam. Awan merah
yang menandakan datangnya senja tercermin
dalam kerumunan orang yang berteriak-teriak di
bawah langit yang muram.
Sam jam lagi berlalu, dan pertempuran itu
masih berlangsung sengit. Keuletan korps Saito di
luar dugaan. Setiap kali kehancuran mulai mem-
bayang, mereka kembali menggalang kekuatan dan
melawan dengan gigih. Sambil bertahan di paya-
paya, mereka menghalau serangan demi serangan.
Dan bukan mereka saja, hampir segenap pasukan
Akechi memperlihatkan tekad membaja, pekikan-
pekikan mereka memancarkan kegetiran yang
tentunya juga dirasakan Mitsuhide dalam dadanya.
"Mundur sebelum mereka mengepung kita!
Mundur! Mundur!"
Seruan mengibakan ini terdengar berulang kali,
dan berita buruk tersebut menyebar bagaikan
angin ke dua korps Akechi yang lain.
Inti pasukan utama, yang bertindak sebagai
pasukan cadangan, terdiri atas kelima ribu orang
yang di Onbozuka berada langsung di bawah
komando Mitsuhide. Di sebelah kanan mereka
terdapat empat ribu orang lagi, termasuk dua ribu
prajurit di bawah komando Fujita Dengo.
Dengo memerintahkan agar genderang besar
dibunyikan, dan para prajurit segera berpencar
untuk membentuk susunan tempur. Secara
serempak para anggota korps pemanah melepaskan
anak panah, dan seketika pihak musuh membalas
dengan hujan peluru.
Atas perintah Dengo, barisan pemanah me-
nyingkir dan digantikan oleh korps penembak.
Tanpa menunggu sampai awan mesiu menipis,
prajurit-prajurit dengan tombak besi muncul di
hadapan musuh dan mulai menerobos barisan
mereka. Akhirnya Dengo dan pasukan pilihannya
berhasil memukul korps Hachiya.
Sambil menggantikan tempat korps tersebut.
para prajurit di bawah Nakagawa kembali menyer-
bu dan menyerang pasukan Akechi. Tapi mereka
pun digulung oleh Dengo. Saat itu anak buah
Dengo seakan-akan tidak mempunyai lawan
sepadan.
Genderang korps Fujita berdentam nyaring.
Bunyinya seolah-olah memancarkan kebanggaan
marga tersebut yang tanpa tandingan, dan mengan-
cam para samurai berkuda yang mengelilingi
Nobutaka, sehingga mereka berdesak-desak
bingung.
Sekonyong-konyong sebuah kesatuan berke-
kuatan lima ratus orang menyerang korps Fujita
dari samping, meneriakkan pekikan perang bagai-
kan pasukan besar.
Merahnya senja masih membayang di awan-
awan, tapi keadaan di bawah sudah gelap. Dengo
menyadari bahwa ia melangkah terlalu jauh, dan
segera mengubah taktiknya.
"Bergeser ke kanan!" ia memerintahkan. "Ber-
putarlah! Berputarlah sejauh mungkin ke arah
kanan." ia ingin seluruh korpsnya mengambil jalan
melingkar untuk bergabung kembali dengan
pasukan utama, lalu meneruskan pertempuran.
Namun secara tiba-tiba sebuah unit di bawah
komando Hori Kyutaro menyerang dari sisi kiri.
Di mata Dengo, prajurit-prajurit musuh ini seakan-
akan muncul dari dalam tanah.
Tak ada waktu untuk mundur. Dengo segera
menyadari, tapi ia pun tak punya waktu untuk
meralat perintahnya. Secepat angin pasukan Hori
memotong jalan anak buah Dengo, dan mulai
mengepung.
Panji-panji Nobutaka terlihat semakin men-
dekati Dengo.
Pada saat itulah gerombolan yang terdiri atas
sekitar lima ratus orang, termasuk putra dan adik
Dengo, memacu kuda masing-masing. Tanpa takut
mereka menerjang barisan musuh. Kegelapan
malam telah menyelubungi medan laga. Angin
membawa pekikan-pekikan dari pergumulan
hidup-mati ini, memenuhi langit dengan bau
darah.
Korps Nobutaka dipandang sebagai yang ter-
kuat dalam divisi Hideyoshi, dan kini korps
tersebut diperkuat oleh ketiga ribu orang di bawah
komando Niwa Nagahide. Dengo dan anak
buahnya memang gagah perkasa, tapi mereka pun
tak sanggup menembus barisan musuh.
Dengo terluka di enam tempat. Akhirnya,
setelah sedemikian lama bertempur dan berputar-
putar di aras kudanya, ia mulai kehilangan
kesadaran. Tiba-tiba sebuah suara memanggil dari
kegelapan di belakangnya.
Karena menyangka suara itu suara putranya, ia
mengangkat kepala dari leher kudanya. Saat itulah
sesuatu membentur kepalanya di atas mata kanan.
Rasanya seperti bintang yang jatuh dari langit dan
menghantam keningnya.
"Jangan turun dari pelana! Berpeganglah pada
pelana, kau terserempet anak panah dan meng-
alami luka ringan di dahi,"
"Siapa ini? Siapa yang menahanku?"
"Ini aku, Tozo."
"Ah, saudaraku. Bagaimana keadaan Ise Yosa-
buro?"
"Dia telah gugur dalam pertempuran."
"Bagaimana dengan Suwa?"
"Suwa pun mengalami nasib sama."
"Dan Denbei?"
"Dia masih dikepung musuh. Biarkan aku
menemanimu. Bersandarlah ke pegangan pelana-
mu."
Tanpa membahas nasib Denbei lebih lanjut,
Tozo meraih moncong kuda kakaknya dan lang-
sung melarikan diri, menerobos kekacauan di
sekeliling mereka. (Created by syauqy_arr)
Dua Gerbang

ANGIN sunyi berembus di antara pohon-pohon


pinus yang tumbuh di sekitar perkemahan Mitsu-
hide di Onbozuka. Tirai markasnya yang mengem-
bang tampak bagaikan makhluk raksasa berwarna
putih. Tak henti-hentinya tirai itu mengepak-
ngepak tertiup angin, melantunkan nyanyian
kematian yang menyeramkan.
"Yoji! Yoji!" Mitsuhide memanggil.
"Ya, tuanku!"
"Kurirkah yang baru datang itu?"
"Ya, tuanku."
"Kenapa dia tidak melapor langsung padaku?"
"Kebenaran laporannya belum dipastikan."
"Adakah peraturan mengenai apa yang boleh
dan tidak boleh sampai ke telingaku?" Mitsuhide
bertanya kesal.
"Hamba mohon ampun, tuanku."
"Teguhkan hatimu! Kau mulai gelisah karena
adanya pertanda buruk?"
"Tidak, tuanku. Tapi hamba telah siap meng-
hadapi kematian."
"Begitukah?"
Mitsuhide tiba-tiba menyadari nadanya yang
melengking, dan segera merendahkan suara.
Kemudian ia mengingatkan diri bahwa mungkin ia
sendiri yang perlu mendengarkan kata-kata yang
baru saja dipergunakannya untuk menegur Yojiro.
Angin terdengar jauh lebih sedih dibandingkan
pada siang hari. Kebun-kebun sayur dan ladang-
ladang berada di belakang lereng yang landai. Di
sebelah timur terletak Kuga Nawate; di sebelah
utara, gunung-gunung; di sebelah barat. Sungai
Enmyoji. Tapi dalam kegelapan malam hanya
bintang-bintang yang berkelap-kelip redup yang
menerangi medan laga.
Baru tiga jam berlalu antara Jam Monyet dan
pertengahan kedua Jam Ayam Jantan. Ketika itu
panji-panji Mitsuhide memenuhi semua ladang. Di
manakah panji-panji itu sekarang? Semuanya telah
dicampakkan ke tanah. Ia telah mendengarkan
daftar nama orang yang gugur, sampai ia tak
sanggup lagi meneruskan hitungannya.
Semuanya hanya memakan waktu tiga jam. Tak
pelak lagi bahwa Yojiro baru saja kembali me-
nerima kabar buruk. Dan ia telah kehilangan
keberanian untuk menyampaikan kabar tersebut
pada junjungannya. Setelah ditegur Mitsuhide,
Yojiro sekali lagi menuruni bukit. Sambil meman-
dang berkeliling, dengan lesu ia bersandar pada
sebatang pohon pinus dan menatap bintang-
bintang di atasnya.
Seorang penunggang kuda mendekati Yojiro
dan berhenti di hadapannya.
"Kawan atau lawan?" Yojiro berseru sambil
menghadapi orang tak dikenal itu dengan tombak
yang semula digunakannya sebagai tongkat pe-
nyangga.
"Kawan," jawab si penunggang kuda sambil
turun.
Hanya dengan mengamati langkahnya yang ter-
tatih-tatih Yojiro mengetahui bahwa ia cedera
berat. Yojiro menghampirinya dan mengulurkan
tangan.
"Gyobu!" Yojiro berkata ketika mengenali rekan-
nya. "Genggamlah lenganku. Biar kusangga badan-
mu."
"Kaukah itu, Yojiro? Di mana Yang Mulia
Mitsuhide?"
"Di puncak bukit."
"Beliau masih di sini? Tempat ini sekarang
teramat berbahaya bagi beliau. Beliau harus segera
meninggalkan tempat ini."
Gyobu menemui Mitsuhide. Ia nyaris terjungkal
pada waktu bersujud di hadapan junjungannya.
"Seluruh pasukan kita dipukul mundur. Orang-
orang yang tengah sekarat jatuh menimpa mereka
yang sudah tewas; begitu banyak yang menemui
ajal secara gagah berani, sehingga hamba tak
sanggup mengingat nama semuanya."
Ketika menengadah, ia hanya melihat wajah
Mitsuhide yang pucat. Wajah itu seolah-olah
mengambang di bawah pohon-pohon pinus yang
gelap. Mitsuhide tidak memberi tanggapan, seakan-
akan tidak mendengarkan ucapan Gyobu.
Gyobu melanjutkan. "Suatu ketika, kami
sempat mendesak mendekati pusat kekuatan
Hideyoshi, namun waktu hari mulai gelap, jalur
mundur kami terputus, dan kami tak dapat
menemukan Yang Mulia Dengo. Divisi Jendral
Sanzaemon dikepung musuh, dan pertempuran
yang luar biasa sengit pun pecah. Beliau akhirnya
berhasil meloloskan diri, tapi hanya sekitar dua
ratus orang yang tersisa dari divisi beliau. Pesan
terakhir beliau adalah sebagai berikut, Segera
pergi ke Onbozuka dan beritahu Yang Mulia agar
secepat mungkin mundur ke Benteng Shoryuji,
lalu bersiap-siap mempertahankan benteng atau
kembali ke Omi pada malam hari. Sampai saat itu,
aku akan bertindak sebagai barisan belakang.
Setelah menerima kabar bahwa Yang Mulia
selamat, kami akan segera menerjang ke per-
kemahan Hideyoshi dan bertempur sampai titik
darah penghabisan."
Mitsuhide tetap membisu. Sehabis memberikan
laporannya, Gyubo pun ambruk dan mengembus-
kan napas terakhir.
Mitsuhide menatap Gyubo dari kursinya. Lalu
menatap Yojiro dengan pandangan kosong. Ia
bertanya, "Parahkah luka Gyubo?"
"Ya, tuanku," Yojiro menjawab. Kedua matanya
mulai berkaca-kaca.
"Kelihatannya dia sudah mendahului kita."
"Ya, tuanku."
"Yojiro," Mitsuhide mendadak berkata dengan
nada yang berbeda sama sekali. "Bagaimana
laporan kurir sebelumnya?"
"Hamba takkan menutup-nutupi apa pun,
tuanku. Pasukan Tsutsui Junkei muncul di medan
tempur dan menyerang sayap kiri kita. Saito
Toshimitsu dan seluruh korpsnya tak kuasa meng-
halanginya, dan mereka menderita kekalahan
total."
"Apa?! Itukah yang terjadi?"
"Hamba sadar bahwa jika hamba menyampai-
kannya sekarang, tuanku tentu sukar mempercayai-
nya. Scsungguhnya hamba ingin mengemukakan
hal ini pada saat yang tepat, agar tidak menambah
penderitaan tuanku."
"Inilah dunia." Kemudian ia menambahkan.
"Tak ada pengaruhnya."
Mitsuhide tertawa. Paling tidak, suara menye-
rupai tawa. Kemudian ia mendadak melambaikan
tangan ke arah belakang perkemahan. Dengan tak
sabar ia menyuruh seseorang membawakan kuda-
nya.
Sebagian besar pasukan Mitsuhide telah dikirim
ke garis depan, tapi mestinya masih ada sekitar dua
ribu orang di perkemahannya, termasuk para
pengikut senior. Bermodalkan kekuatan ini. Mitsu-
hide hendak bergabung dengan sisa korps Sanzae-
mon dan bertempur untuk terakhir kali. Sambil
menaiki kudanya, ia menyerukan perintah
menyerang dengan suara yang terdengar di seluruh
Onbozuka. Kemudian, tanpa menunggu sampai
para prajurit berkumpul, ia berputar dan mulai
memacu kudanya menuruni bukit, diikuti hanya
oleh beberapa samurai berkuda.
"Siapa kau?" Mitsuhide bertanya sambil meng-
hentikan kudanya. Seseorang telah bergegas dari
perkemahan, berlari menuruni lereng, dan meng-
halangi jalan dengan tangan terentang.
"Tatewaki, kenapa kau menghadangku seperti
ini?" Mitsuhide bertanya dengan tajam. Orang itu
ternyata salah satu pengikut seniornya, Hide
Tatewaki, dan ia langsung meraih kekang kuda
Mitsuhide. Binatang itu mengentak-entakkan kaki
dengan liar.
"Yojiro! Sanjuro! Kenapa kalian tidak mencegah
beliau? Turunlah dari kuda kalian," ujar Tatewaki.
memarahi para pembantu Mitsuhide. Kemudian ia
membungkuk ke arah Mitsuhide dan berkata,
"Orang yang berada di hadapan hamba bukanlah
Yang Mulia Mitsuhide yang menjadi junjungan
hamba. Menderita kekalahan dalam satu pertem-
puran tidak berarti kalah perang. Yang Mulia
Mitsuhide yang hamba kenal takkan mencampak-
kan hidupnya setelah satu pertempuran saja.
Musuh akan mengejek kita jika menyangka kita tak
sanggup mengendalikan diri. Meski mengalami
kekalahan di sini, Yang Mulia masih mempunyai
keluarga di Sakamoto dan sejumlah jendral di
berbagai provinsi yang hanya menunggu perintah
Yang Mulia. Yang Mulia perlu menyusun rencana
untuk masa depan. Pertama-tama, kembalilah ke
Benteng Shoryuji."
"Apa maksudmu, Tatewaki?" Mitsuhide meng-
gelengkan kepala. "Mungkinkah orang-orang yang
telah gugur bangkit kembali? Mungkinkah
semangat juang mereka kembali berkobar-kobar
seperti sediakala? Aku tak bisa meninggalkan anak
buahku dan membiarkan mereka dibantai musuh.
Aku akan memberi pelajaran pada Hideyoshi dan
menghukum pengkhianatan Tsutsui Junkei. Aku
bukan mencari tempai untuk mati sia-sia. Aku
akan memperlihatkan siapa Mitsuhide. Sekarang
menyingkirlah!"
"Mengapa sorot mata tuanku yang bijak begitu
nanar? Pasukan kita menerima pukulan telak hari
ini, dan paling tidak tiga ribu orang telah tewas.
Mereka yang terluka bahkan tak terhitung lagi.
Banyak jendral kita telah gugur, sementara orang-
orang yang baru direkrut tercerai-berai. Menurut
tuanku, berapa jumlah prajurit yang tersisa di
perkemahan ini?"
"Lepaskan kudaku! Aku bisa berbuat sesuka
hatiku! Lepaskan kudaku!"
"Ucapan tak bertanggung jawab inilah yang
membuktikan bahwa tuanku hendak bergegas
menyambut maut, dan hamba akan berusaha
sekuat tenaga untuk mencegahnya. Seandainya
masih ada tiga atau empat ribu prajurit di sini, per-
soalannya tentu berbeda. Tapi hamba menduga
hanya sekitar empat atau lima ratus orang yang
akan mengikuti tuanku. Yang lainnya telah
menyusup keluar dari perkemahan dan melarikan
diri." ujar Tatewaki dengan suara berat karena
menahan air mata.
Serapuh itukah otak manusia? Dan jika otak
berhenti berfungsi, pastikah orang yang ber-
sangkutan menjadi gila? Tatewaki menatap Mitsu-
hide dan bertanya-tanya bagaimana junjungannya
itu bisa berubah begitu banyak. Sambil menitikkan
air mata, ia mengenang betapa bijaksana dan
cerdas Mitsuhide dulu.
Jendral-jendral lain kini ikut berkerumun di
depan kuda Mitsuhide. Dua dari mereka sudah
sempat berada di garis depan, namun karena men-
cemaskan keselamatan junjungan mereka, kedua-
nya kembali ke perkemahan. Salah satu dari
mereka berkata, "Kami sependapat dengan Yang
Mulia Hide. Shoryuji tidak jauh, dan tentunya
belum terlambat untuk menuju ke sana dulu, lalu
menyusun strategi untuk langkah berikutnya."
"Selama kita berada di sini, pasukan musuh
akan semakin mendekat, dan segala sesuatu bisa
saja berakhir di titik ini. Sebaiknya kita pacu kuda
masing-masing dan secepat mungkin kembali ke
Shoryuji."
Tatewaki tak lagi menanyakan kehendak jun-
jungannya. Ia menyuruh seseorang meniup sangka-
kala, dan segera memerintahkan mereka mundur
ke arah utara. Yojiro dan seorang pengikut
lainnya turun dari kuda. Sambil berjalan kaki
mereka meraih kekang kuda Mitsuhide dan
menuntunnya ke utara. Semua prajurit dan
komandan yang berada di bukit itu mengikuti
mereka. Tapi, seperti dikatakan Tatewaki tadi,
jumlah mereka tak sampai lima ratus orang.
Miyake Tobei komandan Benteng Shoryuji. Di
sini pun pertanda kekalahan sudah membayang,
dan seluruh benteng diliputi suasana murung.
Dikelilingi lentera-lentera yang berkelap-kelip
redup, semua orang sibuk memikirkan jalan untuk
menyelamatkan diri. Namun ketika mereka men-
cari-cari kemungkinan yang masuk akal, Mitsuhide
pun terpaksa mengakui bahwa tak ada yang dapat
mereka lakukan.
Para penjaga di luar benteng sudah berulang
kali melaporkan bahwa musuh sedang mendekat,
dan benteng itu sendiri tak cukup kuat untuk
menentang kekuatan pasukan Hideyoshi. Benteng
Yodo pun berada dalam kondisi serupa beberapa
hari yang lalu, ketika Mitsuhide memerintahkan
benteng tersebut diperkuat. Usaha itu tak ubahnya
membangun tanggul pada waktu suara ombak yang
mengamuk telah terdengar.
Barangkali satu-satunya hal yang tidak disesali
Mitsuhide pada saat ini adalah bahwa sejumlah
jendral dan prajurit tetap setia padanya dan ber-
tempur dengan garang. Dari satu segi, sungguh
ganjil bahwa ada orang di dalam marga Akechi
marga yang telah menggulingkan junjungan
mereka sendiriyang masih terus menegakkan
ikatan antara junjungan dan pengikut. Mitsuhide
memang berbudi luhur, dan orang-orang itu ber-
pegang teguh pada hukum yang melandasi Jalan
Samurai.
Karena inilah jumlah korban yag tewas dan
terluka luar biasa tinggi, meskipun pertempuran
berlangsung tak lebih dari tiga jam. Berdasarkan
taksiran yang dilakukan kemudian, pihak Akechi
kehilangan lebih dari tiga ribu orang, sementara
jumlah pasukan Hideyoshi berkurang lebih dari
tiga ribu tiga ratus orang. Jumlah orang yang
terluka tak dapat dipastikan. Angka-angka ini men-
cerminkan semangat pasukan Akechi, yang tak
kalah sedikit pun dari semangat panglima mereka.
Mengingat kekuatan Mitsuhide yang tak seberapa
kira-kira hanya separo kekuatan musuhdan
medan yang tak menguntungkan tempat ia ber-
tempur, kekalahan yang diderita Mitsuhide
bukanlah kekalahan yang membuatnya harus me-
nanggung malu.

Pada hari ketiga belas Bulan Keenam, bulan


tampak kabur di balik awan tipis. Satu-dua prajurit
berkuda mendului rombongan mereka. Tiga belas
penunggang kuda membentuk beberapa kelompok
kecil, dan menuju Fushimi dari utara Sungai
Yodo.
Ketika mereka akhirnya mencapai jalan setapak
gelap di tengah-tengah pegunungan. Mitsuhide
berbalik dan bertanya pada Tatewaki, "Di mana
kita sekarang?"
"Ini Lembah Okame, tuanku."
Cahaya bulan yang menerobos di antara dahan-
dahan pohon mengenai Tatewaki dan orang-orang
yang menyusul di belakangnya.
"Kau bermaksud melintas di sebelah utara
Momoyama, lalu keluar di Jalan Kuil Kanshu dari
Ogurusu?" tanya Mitsuhide.
"Benar. Jika kita menempuh jalur itu dan bisa
sampai di dekat Yamashina dan Otsu sebelum
hari terang, kita tak perlu khawatir."
Shinshi Sakuzaemon tiba-tiba menghentikan
kudanya di depan Mitsuhide dan memberi isyarat
agar jangan ada yang bersuara. Mitsuhide dan para
penunggang kuda yang mengikutinya juga ber-
henti. Tanpa bersuara, mereka memperhatikan
Akechi Shigetomo dan Murakoshi Sanjuro maju
sebagai pengintai. Kedua orang itu menghentikan
kuda masing-masing di tepi sebuah kali, dan mem-
beri isyarat agar yang lain menunggu. Agak lama
mereka berdiri di sana, memasang telinga.
Perangkap musuhkah?
Akhirnya kesan lega muncul pada wajah
mereka. Mengikuti lambaian tangan kedua orang
di depan, rombongan itu kembali bergerak maju.
Baik bulan maupun awan-awan seakan meng-
ambang di tengah langit malam. Tapi betapapun
mereka berusaha tidak menimbulkan suara, ketika
kuda-kuda mereka mulai menaiki lereng, ada saja
batu yang tertendang atau kayu rapuh yang ter-
injak, dan gema bunyi-bunyi selemah ini pun
sanggup membangunkan burung-burung yang
sedang tidur. Setiap kali ini terjadi, Mitsuhide dan
para pengikutnya segera menarik tali kekang.
Setelah menderita kekalahan telak, mereka
sempat melarikan diri ke Benteng Shoryuji dan
melepas lelah. Kemudian mereka membahas
langkah selanjutnya, namun akhirnya satu-satunya
pilihan adalah mundur ke Sakamoto. Semua
pengikut Mitsuhide membujuknya agar tetap ber-
sabar. Setelah mempercayakan Benteng Shoryuji
ke tangan Miyake Tobei, Mitsuhide menyusup ke
dalam kegelapan.
Pasukan yang mengikutinya ketika meninggal-
kan Shoryuji masih berjumlah empat ratus atau
lima ratus orang. Namun pada saat mereka
memasuki Desa Fushimi, sebagian besar telah
menghilang. Segelintir orang yang masih tersisa
adalah para pengikut kepercayaannya, dan jumlah
mereka hanya tiga belas orang.
"Rombongan besar justru akan menarik per-
hatian musuh, dan setiap orang yang belum mem-
bulatkan tekad untuk menyertai junjungan kita
dalam keadaan apa pun hanya akan menjadi
penghalang. Yang Mulia Mitsuharu berada di
Sakamoto beserta tiga ribu prajurit. Satu-satunya
keinginanku adalah tiba dengan selamat di sana.
Aku berdoa agar para dewa sudi membantu jun-
jungan kita yang malang."
Dengan cara inilah para pengikut setia yang
masih tersisa saling menghibur diri.
Meski daerah yang mereka lalui berbukit-bukit,
tak ada bagian yang benar-benar terjal. Bulan
tampak di langit, tapi akibat hujan, tanah di bawah
pohon-pohon becek, dan di sana-sini air meng-
genang di permukaan jalan.
Kecuali itu, baik Mitsuhide maupun para
pengikutnya telah lelah. Mereka sudah berada di
dekat Yamashina, dan jika berhasil sampai di
Otsu, mereka akan aman. Inilah kata-kata yang
mereka gunakan untuk saling membesarkan hati,
tapi bagi orang-orang yang nyaris kehabisan tenaga
itu, jaraknya terasa seperti beratus-ratus mil.
"Kita memasuki sebuah desa."
"Ini tentu Ogurusu. Jangan berisik."
Pondok-pondok beratap rumbia terlihat di sana-
sini. Sebenarnya rombongan Mitsuhide sedapat
mungkin ingin menghindari daerah pemukiman,
tapi jalan yang mereka lalui melintas di antara
rumah-rumah itu. Untung saja tak satu lentera pun
tampak menyala. Pondok-pondok itu dikelilingi
rumpun-rumpun bambu yang diterangi cahaya
bulan, dan segala sesuatu mengisyaratkan bahwa
semua orang sedang tidur nyenyak, tanpa menya-
dari kekacauan yang melanda dunia.
Dengan sorot mata tajam yang menembus
kegelapan, Akechi Shigetomo dan Murakoshi
Sanjuro menjalankan tugas sebagai pengintai,
menyusuri jalan desa yang sempit, tanpa gangguan.
Di tempat jalanan membelok di balik sebuah
rumpun bambu, mereka berhenti dan menunggu
Mitsuhide serta rombongannya.
Sosok kedua orang itu, dan pantulan tombak-
tombak mereka, terlihat jelas di hadapan bayang-
bayang pepohonan yang berada lima puluh meter
di depan.
Sekonyong-konyong bunyi bambu diinjak-injak
serta dengusan binatang liar seakan-akan meledak
dari kegelapan.
Tatewaki, yang sedang menuntun kudanya di
depan Mitsuhide, segera menoleh ke belakang.
Kegelapan menyelubungi pagar sebuah pondok
yang berada di bawah naungan rumpun bambu.
Sekitar dua puluh meter di belakang, siluet Mitsu-
hide tampak seolah-olah terpaku di tempat .
"Tuanku," Tatewaki memanggil. Rumpun
bambu muda bergoyang-goyang di langit yang
tanpa angin.
Tatewaki baru hendak berbalik ketika Mitsu-
hide tiba-tiba memacu kudanya dan melesat
melewati Tatewaki, tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Ia merunduk dan memeluk leher kuda-
nya. Tatewaki menganggapnya ganjil, namun ke-
mudian segera mengikuti junjungannya, sama hal-
nya dengan yang lain.
Dengan cara inilah mereka memacu kuda
masing-masing sekitar tiga ratus meter, tanpa ke-
jadian apa pun. Setelah bergabung kembali dengan
kedua pengintai tadi, ketiga belas orang itu me-
neruskan perjalanan. Mitsuhide berada di urutan
keenam dari depan.
Tiba-tiba kuda Murakoshi memberontak. Se-
ketika ia menghunus pedang dan mengayunkan-
nya di sebelah kiri pelana.
Bunyi gemerincing terdengar nyaring ketika
pedangnya menebas ujung sebuah bambu runcing.
Tangan yang memegang tombak itu segera meng-
hilang di dalam rumpun bambu, tapi yang lain
sempat melihat apa yang terjadi.
"Apa itu? Bandit?"
"Mestinya. Awas, sepertinya mereka bersem-
bunyi di tengah rumpun bambu ini."
"Murakoshi, kau tak apa-apa?"
"Hah, kaupikir aku bisa terluka oleh bambu
runcing pencuri yang hina?"
"Jangan terpancing! Teruskan perjalanan.
Jangan cari masalah."
"Bagaimana dengan Yang Mulia?"
Semuanya menoleh.
"Lihat, di sebelah sana!"
Mereka mendadak pucat. Kira-kira seratus
langkah di depan mereka, Mitsuhide terjatuh dari
kudanya. Bukan itu saja, ia menggeliat di tanah.
mengerang-erang kesakitan, dan sepertinya tak
sanggup bangkit kembali.
"Tuanku!"
Shigetomo dan Tatewaki turun dari kuda, ber-
lari menghampirinya, dan mencoba mengangkat-
nya ke pelana. Namun rupanya Mitsuhide sudah
tak mampu meneruskan perjalanan. Ia hanya
menggelengkan kepala.
"Tuanku, apa yang terjadi?" Yang lainnya segera
berkerumun dalam kegelapan. Hanya erangan
Mitsuhide serta desahan para pengikutnya yang ter-
dengar. Dan tepai pada saat itu bulan bersinar
lebih cerah.
Tiba-tiba bunyi langkah dan teriakan-teriakan
para bandit terdengar dari kegelapan yang menye-
lubungi rumpun bambu.
"Sepertinya mereka hendak menyerang dari
belakang. Beginilah kebiasaan para perampok;
mereka memanfaatkan setiap tanda kelemahan.
Sanjuro dan Yojiro, tangani mereka."
Atas perintah Shigetomo, mereka segera ber-
pencar. Tombak disiagakan dan pedang-pedang di-
hunus.
"Bedebah!" Sambil berteriak lantang, seseorang
melompat keluar dari rumpun bambu. Bunyi yang
menyerupai bunyi daun berguguran, atau mungkin
suara sekawanan monyet, memecahkan kehe-
ningan malam.
"Shigetomo... Shigetomo..." Mitsuhide berbisik.
"Hamba di sini, tuanku."
"Ah... Shigetomo," Mitsuhide berkata sekali lagi.
Kemudian ia meraba-raba, seakan-akan mencari
tangan yang menopangnya.
Darah bercucuran dari sisi dadanya, pandangan-
nya mulai kabur, dan ia sukar berbicara.
"Hamba akan membalut luka tuanku, lalu mem-
berikan obat, jadi hamba mohon tuanku bersabar
sejenak."
Mitsuhide menggelengkan kepala untuk menga-
takan bahwa lukanya tak perlu dibalut. Kemudian
kedua tangannya bergerak, seolah-olah mencari
sesuatu.
"Ada apa, tuanku?"
"Kuas..."
Shigetomo cepat-tepat mengeluarkan kertas,
tinta, dan kuas. Mitsuhide meraih kuas itu dengan
jari gemetar dan menatap kertas yang putih.
Shigetomo sadar bahwa junjungannya hendak me-
nuliskan sajak kematiannya, dan tenggorokannya
mulai tercekat. Ia nyaris tidak tahan menyaksikan
sikap Mitsuhide, dan berpegang teguh pada apa
yang dirasakannya sebagai takdir junjungannya, ia
berkata. "Jangan coretkan kuas dulu, tuanku.
Perjalanan ke Otsu tinggal secarikan napas, dan
kalau kita tiba di sana, tuanku akan disambut oleh
Yang Mulia Mitsuharu. Perkenankanlah hamba
membalut luka ini."
Ketika Shigetomo meletakkan kertas tadi ke
tanah dan mulai membuka ikat pinggangnya,
Mitsuhide tiba-tiba mengibaskan tangannya de-
ngan tenaga tak terduga. Kemudian, dengan
tangan kirinya, ia menolakkan tubuhnya dari
tanah. Sambil merentangkan tangan kanan, ia
menggenggam kuas tadi dengan erat dan mulai
menulis:

Tak benar ada dua gerbang: kesetiaan dan pengkhianatan.

Tapi tangannya begitu gemetar, sehingga ia


seakan-akan tak sanggup menuliskan baris berikut-
nya. Mitsuhide menyerahkan kuas pada Shige-
tomo. "Tolong selesaikan sisanya."
Sambil bersandar pada pangkuan Shigetomo,
Mitsuhide memutar kepalanya ke arah langit dan
memandang bulan selama beberapa waktu. Ketika
bayangan maut yang bahkan lebih pucat daripada
bulan mengisi seluruh wajahnya, ia berkata dengan
nada mantap yang tak terduga dan menyelesaikan
sajaknya.

Jalan Besar menembus lubuk hati.


Terjaga dari mimpi lima puluh lima tahun,
Aku berpulang kepada Yang Satu.
Shigetomo meletakkan kuas dan mulai me-
nangis. Saat itulah Mitsuhide mencabut pedang
pendek dan menggorok lehernya sendiri. Sakuzae-
mon dan Tatewaki segera berlari menghampirinya.
Keduanya mendekati jenazah junjungan mereka,
lalu menjatuhkan diri ke atas pedang masing-
masing. Empat orang lagi, lalu enam, lalu delapan
mengelilingi jenazah Mitsuhide dengan cara yang
sama dan menyusulnya ke akhirat. Dalam sekejap
tubuh-tubuh tak bernyawa itu tergeletak di tanah,
menyerupai sekuntum bunga yang terbuat dari
darah.
Yojiro telah menerobos ke tengah-tengah
rumpun bambu untuk menghadapi gerombolan
bandit tadi. Murakoshi memanggil-manggil ke
dalam kegelapan, cemas akan keselamatan rekan-
nya.
"Yojiro, kembalilah! Yojiro! Yojiro!"
Tapi beberapa kali pun ia memanggil. Yojiro
tidak muncul-muncul. Murakoshi pun mengalami
cedera di beberapa tempat. Ketika ia akhirnya ber-
hasil merangkak keluar dari semak-semak, ia
melihat satu sosok lewat di hadapannya.
"Ah! Yang Mulia Shigetomo."
"Sanjuro?"
"Bagaimana keadaan yang Mulia Mitsuhide?"
"Beliau telah mengembuskan napas terakhir."
"Oh!" Sanjuro terkejut. "Di mana?"
"Beliau ada di sini, Sanjuro." Shigetomo menun-
juk kepala Mitsuhide yang terbungkus kain dan
tergantung pada pelananya. Dengan sedih ia
memalingkan wajah.
Sanjuro langsung melompat maju. Ketika me-
raih kepala Mitsuhide, ia melepaskan teriakan pan-
jang bernada meratap. Beberapa saat kemudian ia
bertanya. "Apa ucapan terakhir beliau?"
"Beliau membacakan sebuah sajak yang dimulai
dengan, 'Tidak benar ada dua gerbang: kesetiaan
dan pengkhianatan.'"
"Beliau berkata begitu?"
"Walaupun beliau menyerang Nobunaga, tin-
dakannya tak dapat dipandang dari segi kesetiaan
atau pengkhianatan. Beliau dan Nobunaga sama-
sama samurai, dan keduanya mengabdi pada sang
Tenno. Ketika Yang Mulia Mitsuhide akhirnya
terjaga dari mimpi yang berlangsung lima puluh
lima tahun, beliau menyadari bahwa beliau pun
tak dapat meloloskan diri dari cercaan maupun
sanjungan dunia. Setelah mengucapkan kata-kata
itu, beliau mencabut nyawa sendiri."
"Hamba mengerti." Murakoshi terisak-isak.
Dengan tangan terkepal ia menghapus air mata
dari wajahnya. "Beliau tidak mengindahkan
teguran Yang Mulia Toshimitsu dan tidak meng-
hindari pertempuran yang menentukan di
Yamazaki dengan pasukan kecil di medan yang tak
menguntungkan, semua karena beliau berpegang
teguh pada Jalan Kebesaran. Dari segi itu, mundur
dari Yamazaki tak ubahnya menyerahkan Kyoto
kepada musuh. Setelah menyadari apa yang ter-
simpan di hati beliau, hamba tak kuasa menahan
tangis."
"Walaupun dikalahkan, Yang Mulia tak sekali
pun menyimpang dari jalan yang diyakininya, dan
tak pelak beliau wafat dengan ambisi yang telah
lama diiidam-idamkan itu. Tapi, kalau kita mem-
buang-buang waktu di sini, begundal-begundal tadi
mungkin kembali dan menyerang lagi."
"Benar."
"Aku tak sanggup menangani segala sesuatu di
sini seorang diri. Aku meninggalkan jenazah
junjungan kita tanpa kepala. Sudikah kau mengu-
burnya agar tak ditemukan siapa pun?"
"Bagaimana dengan yang lain?"
"Mereka berkumpul di sekitar jasadnya dan
gugur dengan gagah."
"Setelah melaksanakan perintah Yang Mulia,
hamba pun akan mencari tempat untuk menuju
akhirat."
"Aku akan membawa kepala beliau pada Yang
Mulia Mitsutada di Kuil Chionin. Setelah itu aku
pun akan menyambut maut. Selamat jalan."
"Selamat jalan."
Kedua laki-laki itu menuju arah berlawanan
pada jalan setapak sempit yang melewati rumpun
bambu. Pancaran cahaya bulan yang menerobos
dedaunan sungguh indah dipandang.
Malam itu Benteng Shoryuji dipaksa bertekuk
lutut, kira-kira pada saat Mitsuhide menemui ajal
di Ogurusu. Nakagawa Sebei, Takayama Ukon,
Ikeda Shonyu, dan Hori Kyutaro memindahkan
pos komando masing-masing ke sana. Setelah
menyalakan api unggun raksasa, mereka menderet-
kan kursi di muka gerbang benteng dan menanti-
kan kedatangan Hideyoshi dan Nobutaka. Tak
lama kemudian Nobutaka telah berdiri di hadapan
mereka.
Merebut benteng itu merupakan kemenangan
gemilang. Para prajurit dan perwira sama-sama
menegakkan panji-panji dan memandang Nobu-
taka dengan takzim. Ketika Nobutaka turun dari
kuda dan memeriksa barisan. Ia mengangguk-
angguk ramah. Sikapnya terhadap para jendral
bahkan hampir terlalu sopan. Ia menyapa mereka
dengan hormat, dan secara terang-terangan
menunjukkan rasa terima kasihnya.
Sambil meraih tangan Sebei , ia berkata, "Berkat
kesetiaan dan keberanianmulah orang-orang
Akechi dapat dihancurkan dalam pertempuran
satu hari. Kini arwah ayahku telah tenteram, dan
aku takkan pernah melupakan ini."
Pujian yang sama diberikannya kepada Taka-
yama Ukon dan Ikeda Shonyu. Tapi Hideyoshi,
yang tiba beberapa saat kemudian, tak mengucap-
kan sepatah kau pun pada semua orang itu. Ketika
lewat di atas tandunya, ia malah seakan-akan
meremehkan mereka.
Kegarangan Sebei dikenal tanpa tandingan,
biarpun di tengah-tengah prajurit yang kasar, jadi
tidak aneh kalau ia merasa tersinggung oleh sikap
Hideyoshi. Ia berdeham cukup keras. Hideyoshi
melirik dari tandu dan berlalu sambil ber-
komentar. "Pekerjaanmu bagus, Sebei."
Sebei mengentakkan kaki dengan geram. "Yang
Mulia Nobutaka pun bersedia turun dari kuda
untuk kita, tapi orang ini begitu congkak, sehingga
tetap saja duduk dalam tandu. Barangkali si
Monyet menyangka telah menguasai seluruh
negeri." Ucapannya cukup keras untuk didengar
semua orang di sekelilingnya, tapi selain itu ia tak
kuasa berbuat apa-apa.
Ikeda Shonyu, Takayama Ukon, dan yang lain
berkedudukan sederajat dengan Hideyoshi, namun
sejak beberapa waktu lalu, Hideyoshi mulai ber-
sikap seolah-olah mereka bawahannya. Mereka
pun merasa bahwa entah bagaimana mereka
berada di bawah komando Hideyoshi. Tak perlu
diragukan bahwa perasaan itu tak berkenan di hati
mereka, tapi tak seorang pun mengatakan sesuatu.
Ketika memasuki benteng pun Hideyoshi hanya
menatap sekilas pada reruntuhan bangunan yang
telah hangus itu. Tampaknya ia belum memikir-
kan istirahat. Setelah memerintahkan agar petak
bertirai didirikan di pekarangan, ia menempatkan
kursinya di samping kursi Nobutaka, segera me-
manggil para jendral, dan mulai memberikan
perintah-perintah.
"Kyutaro, bawa pasukanmu ke Desa Yamashina,
lalu maju ke arah Awadaguchi. Tugasmu adalah
menutup jalan antara Azuchi dan Sakamoto di
Otsu." Kemudian ia berpaling pada Sebei dan
Ukon. "Kalian harus segera menyusuri Jalan Raya
Tamba. Kelihatannya banyak musuh melarikan
diri ke arah Tamba, dan kita tidak boleh memberi
kesempatan pada mereka untuk mencapai Benteng
Kameyama, sehingga mereka dapat mengadakan
persiapan. Jika kita berlambat-lambat di sini, kita
akan kehilangan lebih banyak waktu lagi. Kalau
kalian bisa tiba di Kameyama besok siang, benteng
itu seharusnya dapat kalian taklukkan tanpa
banyak kesulitan."
Kemudian beberapa orang dikirim ke Toba dan
ke daerah Shichijo, sementara sejumlah orang lain
disuruh menuju sekitar Yoshida dan Shirakawa.
Perintah-perintah itu sangat jelas, dan Nobutaka
hanya mendengarkan semuanya, tanpa berkata
apa-apa. Namun di mata para jendral, sikap
Hideyoshi sungguh lancang.
Meski demikian, Sebei pun, yang semula
menyuarakan ketidaksenangannya secara terang-
terangan, kini diam saja dan menerima perintah
yang diberikan padanya seperti yang lain. Akhirnya
mereka membagi-bagikan ransum kepada para
prajurit, menuang sake, mengisi perut masing-
masing, dan sekali lagi bertolak ke medan tempur
berikut.
Hideyoshi paham bahwa selalu ada waktu dan
tempat yang tepat untuk membuat orang-orang
tunduk padanya, dan kali ini ia sengaja menunggu
sampai masing-masing jendral berhasil meraih
kemenangan. Namun Hideyoshi juga menyadari
bahwa rekan-rekannya merupakan orang dengan
keberanian tanpa tandingan dan tak pernah
gentar, sehingga ia pun tak berani bersikap
gegabah dengan hanya mengandalkan satu cara ini.
Sebuah pasukan harus mempunyai pemimpin.
Dari segi kedudukan, Nobutakalah yang paling
pantas menjadi panglima tertinggi. Tapi ia baru
saja bergabung, dan semua jendral mengakui
bahwa baik wibawa maupun tekadnya tidak
memadai. Karena itu, tak ada yang dapat me-
megang tampuk kepemimpinan selain Hideyoshi.
Meski tak satu jendral pun rela tunduk pada
Hideyoshi, semuanya menyadari bahwa tak ada
orang lain yang dapat diterima oleh semua pihak.
Hideyoshi merencanakan pertempuran ini sebagai
upacara peringatan bagi Nobunaga dan telah
mengumpulkan mereka semua. Jadi, jika kini
mereka mengeluh karena ia memperlakukan
mereka sebagai bawahan, mereka hanya akan
membuka peluang untuk dituduh mengejar ke-
pentingan pribadi.
Para jendral tidak mendapat kesempatan ber-
istirahat, melainkan diharuskan langsung bertolak
ke medan tempur baru, sesuai perintah yang
mereka terima. Ketika mereka berdiri untuk
berangkat, Hideyoshi tetap duduk di kursi
komandan dan hanya memberi isyarat dengan
gerakan dagunya kepada masing-masing orang.
Hideyoshi tinggal di Kuil Mii, dan pada malam
hari keempat belas, badai petir kembali melanda.
Bara api di reruntuhan Benteng Sakamoto padam,
sepanjang malam kilat menyambar-nyambar di atas
Shimeigatake dan danau yang warnanya menye-
rupai tinta.
Namun seiring fajar, awan-awan kelabu me-
nyingkir dan langit musim panas muncul sekali
lagi. Dari perkemahan utama di Kuil Mii, asap
tebal berwama kuning terlihat mengepul dari arah
Azuchi di tepi timur danau.
"Azuchi terbakar!"
Mendengar laporan para penjaga, para jendral
keluar ke serambi. Hideyoshi dan yang lainnya
melindungi mata dengan sarung tangan.
Seorang kurir melaporkan, "Yang Mulia Nobuo,
yang semula berkemah di Tsuchiyama di Omi, dan
Yang Mulia Gamo menggabungkan kekuatan dan
menyerang Azuchi sejak pagi. Mereka menyulut
api di kota dan benteng, dan angin dari danau
menyebabkan kobaran api merambat ke seluruh
Azuchi. Tapi ternyata tak ada prajurit musuh di
Azuchi, sehingga tidak terjadi pertempuran."
Hideyoshi dapat membayangkan apa yang ter-
jadi di tempat jauh.
"Tak ada alasan untuk menyulut kebakaran." ia
bergumam sambil merengut. "Yang Mulia Nobuo
dan Gamo telah bertindak gegabah."
Tapi dengan cepat ia berhasil menenangkan
diri. Keruntuhan budaya yang dibentuk Nobunaga
dengan darah dan keringat selama setengah umur-
nya memang patut disesali, tapi Hideyoshi yakin
bahwa tak lama lagidan dengan kekuatannya
sendiriia akan membangun benteng dan budaya
yang lebih besar lagi.
Tepat saat itu, sebuah patroli tiba dari gerbang
utama kuil. Mereka mengelilingi satu orang dan
menggiringnya ke hadapan Hideyoshi. "Petani dari
Ogurusu bernama Chobei ini mengaku menemu-
kan kepala Yang Mulia Mitsuhide."
Telah menjadi kebiasaan untuk memeriksa
kepala jendral musuh dengan khidmat, dan Hide-
yoshi memerintahkan agar kursinya disiapkan di
muka kuil utama. Tak lama kemudian, ia duduk
bersama para jendral lain dan menatap kepala
Mitsuhide sambil membisu.
Setelah itu, kepala tersebut dipajang di
reruntuhan Kuil Honno. Baru satu setengah bulan
berlalu sejak panji berlambang kembang lonceng
ditegakkan di tengah-tengah teriakan perang
pasukan Akechi.
Kepala Mitsuhide dipajang agar dapat dilihat
oleh para warga ibu kota, dan mereka terus ber-
datangan dari pagi sampai malam. Bahkan mereka
yang mencela pengkhianatan Mitsuhide kini meng-
ucapkan doa, sementara orang-orang lain mena-
burkan bunga di bawah tengkorak yang telah
mulai membusuk.
Perintah-perintah militer Hideyoshi sederhana
dan jelas. Ia hanya mempunyai tiga undang-
undang: Bekerja sungguh-sungguh. Jangan melaku-
kan kesalahan. Pembuat onar akan dihukum mati.
Hideyoshi belum mengadakan upacara pema-
kaman resmi bagi Nobunaga; upacara kebesaran
yang dikehendakinya tak dapat dilaksanakan
dengan kekuatan militer semata-mata, dan rasanya
tak pantas jika ia memprakarsainya seorang diri.
Api di ibu kota akhirnya padam, tapi pengaruhnya
menyebar ke semua provinsi.
Nobunaga telah wafat, Mitsuhide telah wafat,
dan ada kemungkinan seluruh negeri akan
kembali terbagi ke dalam tiga kutub kekuasaan,
seperti pada masa sebelum Nobunaga. Kecuali itu,
sengketa keluarga dan panglima-panglima yang
memperjuangkan kepentingan masing-masing
mungkin saja menjerumuskan seluruh negeri ke
dalam kekacauan yang menandai keshogunan
selama tahun-tahun terakhirnya.
Dari Kuil Mii, Hideyoshi memindahkan
segenap pasukannya ke atas armada kapal perang.
Ia mengangkut segala sesuatu, mulai dari kuda-
kuda sampai penyekat-penyekat berlapis emas. Ini
terjadi pada hari kedelapan belas di bulan itu, dan
tujuannya adalah untuk pindah ke Azuchi.
Pasukan lain juga merayap ke Timur. Lewat jalan
darat. Iring-iringan kapal yang melintasi danau
digerakkan oleh angin yang mengibarkan panji-
panji, dan bergerak sejajar dengan pasukan darat
yang menyusuri pesisir.
Tapi Azuchi telah dibumihanguskan, dan begitu
pasukan Hideyoshi tiba di sana, mereka langsung
patah semangat. Dinding-dinding Azuchi yang ber-
warna biru dan emas tak ada lagi. Semua gerbang
tembok luar serta atap Kuil Soken yang menjulang
tinggi telah terbakar habis. Keadaan di kota
benteng bahkan lebih parah lagi. Anjing-anjing liar
pun tak sanggup menemukan makanan, dan para
misionaris berjalan mondar-mandir dengan pan-
dangan kosong.
Nobuo seharusnya berada di sini, tapi ia sedang
memerangi pemberontak-pemberontak di Ise dan
Iga. Akhirnya jelaslah bahwa pembakaran Azuchi
tidak diperintahkan oleh Nobuo. Api memang
disulut oleh anak buahnya, tapi rupanya perbuatan
mereka disebabkan oleh salah paham, atau mung-
kin oleh desas-desus palsu yang disebarkan musuh.
Hideyoshi dan Nobutaka menempuh per-
jalanan ke Azuchi bersama-sama, dan mereka
sangat menyesalkan kehancurannya. Namun, se-
telah menyadari bahwa bukan Nobuo yang ber-
tanggung jawab atas kejadian tersebut, kemarahan
mereka sedikit berkurang. Hanya dua hari mereka
tinggal di Azuchi. Iring-iringan kapal kembali ber-
layar, kali ini ke arah utara. Hideyoshi hendak me-
mindahkan pasukan utamanya ke bentengnya di
Nagahama.
Benteng itu ternyata aman. Tak ada tanda-tanda
kehadiran musuh, dan pasukan sekutu telah
mulai memasuki pekarangan benteng. Ketika panji
komandan berlambang labu emas dikibarkan, para
warga kota benteng tampak bersukaria. Mereka
memadati jalan-jalan yang dilalui Hideyoshi dari
kapal ke benteng. Kaum perempuan, anak-anak,
dan orang-orang tua bersujud di tanah untuk
menyambutnya. Beberapa orang menitikkan air
mata, bahkan ada yang tak sanggup menengadah-
kan wajah. Ada yang bersorak-sorai sambil melam-
baikan tangan, dan tak sedikit yang seolah-olah
lupa diri dan menari-nari riang. Hideyoshi sengaja
menunggang kuda untuk menanggapi sambutan
meriah yang diberikan padanya.
Namun bagi Hideyoshi masih ada satu hal yang
sangat membebani pikirannya, dan beban itu
semakin berat ketika ia memasuki Benteng Naga-
hama. Ia sudah tak sabar untuk melepas rindu.
Selamatkah ibu dan istrinya?
Setelah duduk di benteng dalam, ia mengajukan
pertanyaan ini berulang-ulang pada semua jendral-
nya yang datang dan pergi. Tiba-tiba ia sangat men-
cemaskan keadaan keluarganya.
"Kami telah mencari mereka ke mana-mana,
tapi sampai sekarang belum ada laporan jelas,"
para jendral berkata.
"Masa tak satu orang pun yang mengetahui ke-
beradaan mereka?" tanya Hideyoshi .
"Kami juga berpikir demikian," salah satu
jendral menjawab. "Tapi rupanya tak seorang pun
melihat mereka. Pada waktu mereka melarikan diri
dari sini, tempat yang mereka tuju dirahasiakan
secara ketat."
"Begitu. Memang benar, seandainya rencana
mereka bocor ke kalangan orang kebanyakan,
musuh tentu akan melakukan pengejaran, dan
mereka akan terancam bahaya."
Hideyoshi mengadakan pertemuan dengan
jendral lain dan membahas hal yang sama sekali
berbeda. Hari itu pasukan musuh di Benteng
Sawayama telah meninggalkan benteng tersebut
dan melarikan diri ke arah Wakasa. Hideyoshi
diberitahu bahwa benteng itu sudah dikembalikan
ke tangan bekas komandannya, Niwa Nagahide.
Ishida Sakichi serta lima atau empat anggota
kelompok pelayan pribadi tiba-tiba kembali dari
suatu tempat yang tak diketahui. Sebelum mereka
sampai di ruangan Hideyoshi, suara-suara riang ter-
dengar dari selasar dan ruang para pelayan, dan
Hideyoshi bertanya pada mereka yang berada di
sckelilingnya. "Sudah kembalikah Sakichi? Kenapa
dia tidak segera ke sini?" Ia mengutus seseorang
untuk menegurnya.
Ishida Sakichi kelahiran Nagahama, dan ia
mengenal medan di daerah itu lebih baik dari
siapa pun. Karena itu, ia menganggap sekaranglah
waktu terbaik untuk memanfaatkan pengetahuan-
nya. Sejak siang ia pergi atas inisiatif sendiri,
mencari-cari tempat ibu dan istri junjungannya
mungkin bersembunyi.
Penuh hormat, Sakichi berlutut di hadapan
Hideyoshi. Berdasarkan laporannya, ibu dan istri
Hideyoshi, sertna para anggota rumah tangga
lainnya, bersembunyi di pegunungan kira-kira tiga
puluh mil dari Nagahama. Tampaknya hanya
dengan susah payah mereka dapat bertahan.
"Baiklah, mari kita bersiap-siap untuk segera
berangkat. Jika kita berangkat sekarang, mestinya
besok malam kita sudah sampai di sana," ujar
Hideyoshi sambil berdiri. Ia nyaris tak sanggup
menahan diri.
"Uruslah segala sesuatu sementara aku pergi." ia
memberi perintah pada Kyutaro. "Hikoemon
berada di Otsu, dan Yang Mulia Nobutaka masih
di Azuchi."
Ketika Hideyoshi keluar lewat gerbang benteng,
ia melihat sekitar enam ratus sampai tujuh ratus
orang menunggunya sambil berbaris. Berturut-
turut mereka mengikuti pertempuran di Yamazaki
dan Sakamoto, dan bahkan di Azuchi pun mereka
tidak mendapat kesempatan melepas lelah.
Prajurit-prajurit itu baru tiba pagi hari, dan wajah-
wajah mereka yang berlepotan lumpur masih
menyiratkan keletihan. Hideyoshi berkata. "Lima
puluh penunggang kuda sudah memadai untuk
menyertaiku."
Hideyoshi baru mengatakannya setelah para
penunggang yang membawa obor mulai memim-
pin iring-iringan itu. Berarti sebagian besar dari
mereka akan tinggal di Nagahama.
"Itu berbahaya." ujar Kyutaro. "Lima puluh
penunggang kuda terlalu sedikit. Jalanan yang
harus dilalui malam ini melintas di dekat Gunung
Ibuki, dan mungkin saja sisa-sisa pasukan musuh
masih bersembunyi di sana."
Baik Kyutaro maupun Shonyu mewanti-wanti
Hideyoshi, namun Hideyoshi tampak yakin bahwa
kekhawatiran mereka tidak beralasan. Setelah men-
jawab bahwa tak ada yang perlu dicemaskan, ia
menyuruh para pembawa obor berjalan di depan.
dan mereka mulai menyusun jalan yang diapit
pepohonan ke arah timur laut.
Dengan berkuda sampai giliran jaga keempat,
Hideyoshi menempuh lima belas mil tanpa terlalu
terburu-buru.
Tengah malam rombongannya tiba di Kuil
Sanjuin. Semula Hideyoshi menyangka keda-
tangannya akan mengejutkan para biksu, namun
di luar dugaannya, ketika mereka membuka
gerbang utama, ia melihat bagian dalam kuil
terang benderang oleh cahaya lentera-lentera,
pekarangan telah disiram air, dan seluruh tempat
itu telah disapu sampai bersih.
"Pasti ada yang mendului kita dan memberi-
tahukan kedatanganku pada mereka."
"Hamba yang melakukannya," ujar Sakichi.
"Kau?"
"Ya. Hamba pikir tuanku mungkin akan
mampir di sini untuk beristitahat sejenak, jadi
hamba mengutus pemuda jago lari dan memesan
makanan untuk lima puluh orang."
Sakichi pernah menjadi murid di Kuil Sanjuin.
tapi pada usia dua belas tahun ia diterima oleh
Hideyoshi sebagai pelayan di Benteng Nagahama.
Itu terjadi delapan tahun silam, dan sekarang ia
telah berumur dua puluh tahun. Sakichi sangat
cerdas dan lebih tanggap daripada kebanyakan
orang.
Menjelang fajar, sosok Gunung Ibuki mulai
membayang di hadapan merah muda dan biru
pucatnya langit; tak ada suara selain kicauan
burung-burung kecil. Embun membasahi jalan,
dan kegelapan masih bercokol di bawah pe-
pohonan.
Hideyoshi tampak gembira. Ia tahu bahwa
dengan setiap langkah, ia semakin mendekati ibu
dan istrinya, dan sepertinya ia tak memedulikan
jalan yang menanjak maupun kelelahannya sen-
diri. Kini, semakin ia mendekati Nishitani seiring
semakin terangnya Gunung Ibuki, semakin kuat
perasaannya bahwa ia didekap di dada ibunya.
Tak peduli berapa lama mereka mendaki dan
menyusuri Sungai Azusa, sepertinya mereka tak
kunjung tiba di sumbernya. Justru sebaliknya,
mereka sampai di sebuah lembah yang sedemikian
lebar, sehingga memberi kesan bahwa mereka
tidak berada di tengah-tengah pegunungan.
"Itu Gunung Kanakuso," ujar biksu yang ber-
tindak sebagai pemandu, dan ia menunjuk sebuah
puncak terjal tepat di hadapan mereka. Ia meng-
usap keringat yang membasahi keningnya. Mata-
hari telah mencapai puncak perjalanannya me-
lintasi langit, dan udara semakin panas.
Biksu itu kembali menyusuri jalan setapak yang
sempit. Setelah beberapa saat, jalan setapaknya be-
gitu menyempit, sehingga Hideyoshi dan para pem-
bantunya terpaksa turun dari kuda. Sekonyong-
konyong orang-orang di sekeliling Hideyoshi ber-
henti.
"Kelihatannya seperti musuh," mereka berkata
dengan waswas.
Hideyoshi dan rombongan kecilnya baru saja
mengitari puncak gunung. Di kejauhan mereka
melihat sekelompok prajurit di lereng gunung.
Orang-orang itu pun tampak terkejut dan berdiri
serempak. Sepertinya salah satu dari mereka mem-
berikan perintah-perintah, sementara yang lain
segera berpencar dalam keadaan kacau-balau.
"Barangkali mereka sisa pasukan musuh," sese-
orang berkata, "Hamba dengar mereka melarikan
diri sampai ke Ibuki."
Itu memang suatu kemungkinan, dan seketika
para penembak berlari ke depan. Perintah siaga
menghadapi pertempuran segera diberikan, tapi
kedua biksu yang bertindak sebagai pemandu
langsung berseru-seru.
"Mereka bukan musuh. Mereka petugas-petugas
pengintai dari kuil. Jangan menembak!"
Kemudian mereka berpaling ke arah gunung di
kejauhan dan membuka komunikasi dengan me-
lambaikan tangan dan berteriak sekuat tenaga.
Sesudah itu, para prajurit menuruni gunung
bagaikan batu yang menggelinding dari tebing. Tak
lama kemudian seorang perwira dengan bendera
kecil terpasang di punggung berlari menemui
mereka. Hideyoshi mengenalinya sebagai pengikut
dari Nagahama.

Kuil Daikichi tak lebih dari kuil pegunungan yang


kecil. Jika turun hujan, air merembes lewat atap.
Jika angin bertiup, semua dinding dan balok ber-
goyang-goyang. Nene tinggal dan menunggui ibu
mertuanya di kuil utama, sementara para dayang
ditempatkan di bagian hunian para biksu. Para
pengikut yang menyusul dari Nagahama men-
dirikan pondok-pondok kecil di daerah sekitar.
atau menginap di rumah-rumah petani di desa.
Dalam kondisi menyedihkan inilah sebuah keluar-
ga besar berjumlah lebih dari dua ratus orang
hidup selama lebih dari dua minggu.
Ketika berita mengenai pembunuhan Nobu-
naga sampai di telinga mereka, barisan depan
pasukan Akechi telah terlihat dari benteng, dan
hampir tak ada waktu untuk memikirkan langkah
yang harus diambil. Nene sempat mengirim surat
kepada suaminya yang berada di wilayah Barat
yang jauh, tapi hanya pada saat-saat terakhir. Ia
membawa ibu mertuanya melarikan diri dari
benteng, meninggalkan segala sesuatu di sana. Ia
hanya membawa satu kuda beban, dengan pakaian
untuk ibu mertua dan hadiah dari Nobunaga
untuk suaminya.
Dalam situasi itu, Nene merasakan beban tang-
gung jawab yang diemban kaum perempuan. Ia
memimpin benteng sementara Hideyoshi pergi,
dan ia harus melayani mertuanya yang berusia
lanjut dan mengatur rumah tangga benteng yang
besar. Tentunya dengan sepenuh hati ia ingin
merasakan kebahagiaan yang ditimbulkan oleh
pujian suaminya, namun Hideyoshi berada jauh di
medan tempur. Sampai saat itu, Nene hidup aman
di dalam benteng, sementara suaminya berada di
medan perang, tapi sekarang tak ada perbedaan
lagi di antara mereka.
Dalam masa perang, situasi semacam ini bukan
alasan untuk berputus asa, tapi Nene risau me-
mikirkan ke mana ia harus memindahkan ibu
Hideyoshi. Kalaupun benteng diserahkan pada
musuh, tak perlu diragukan bahwa Hideyoshi akan
segera merebutnya kembali. Tapi sebagai istrinya,
jika ia membiarkan ibu mertuanya terluka, ia tak-
kan sanggup menghadapi suaminya lagi.
"Jangan pikirkan apa-apa selain melindungi ibu
mertuaku. Jangan cemaskan aku. Dan walau terasa
berat, tinggalkan segala sesuatu yang tak mutlak
diperlukan. Jangan terpengaruh oleh harta benda."
Demikianlah Nene membesarkan hati para
pelayan perempuan dan semua anggota rumah
tangga ketika mereka menyusuri jalan ke arah
timur.
Di sebelah barat Nagahama dibatasi oleh Danau
Biwa, daerah sebelah utara dikuasai oleh marga-
marga musuh, sedangkan keadaan ke arah Jalan
Raya Mino tidak diketahui pasti. Karena itu, tak
ada pilihan selain mengungsi ke arah Gunung
Ibuki.
Jika marganya meraih kemenangan, hati istri
prajurit akan meluap oleh kebahagiaan.
Tapi jika suaminya berada di pihak yang kalah,
atau mereka diusir dari bentengnya dan terpaksa
mengungsi, istri yang malang itu merasakan ke-
sedihan yang tak terbayangkan oleh laki-laki yang
bekerja di ladang atau berdagang di kota.
Sejak hari itu, para anggota rumah tangga
Hideyoshi mengalami kelaparan, membaringkan
diri untuk tidur di tempat terbuka, dan terus di-
hantui ketakutan akan patroli musuh. Pada malam
hari, mereka sukar menghindari embun; pada
siang hari, kaki mereka yang berdarah tak henti-
hentinya melangkah.
Selama masa penderitaan itu ada satu pikiran
yang menjadi pegangan bagi mereka: kalau sampai
tertangkap oleh musuh, kita akan menunjukkan
pada mereka siapa kita. Hampir semuanya berikrar
demikian dalam hati.
Desa itu merupakan tempat pengungsian yang
baik. Sejumlah penjaga telah ditugaskan di ke-
jauhan, sehingga tak ada bahaya serangan men-
dadak. Para pengungsi mempunyai tempat meng-
inap dan perbekalan memadai. Satu-satunya
masalah adalah keterpencilan mereka. Karena
begitu jauh dari pemukiman lain, mereka tidak
mengetahui perkembangan yang terjadi.
Tak lama lagi, kurir yang diutus seharusnya
sudah kembali. Nene membiarkan pikirannya me-
layang ke langit Barat. Pada malam sebelum me-
ninggalkan Nagahama, ia sempat terburu-buru
menulis surat untuk suaminya. Dan sejak itu tak
ada kabar dari kurir yang bertugas menyampaikan
suratnya. Barangkali orang itu tertangkap oleh
pihak Akechi, atau ia tak mampu menemukan
tempat persembunyian mereka. Siang-malam Nene
memikirkan kemungkinan-kemungkinan tersebut
Belakangan Nene mendengar bahwa terjadi per-
tempuran di Yamazaki. Ketika peristiwa itu di-
beritahukan padanya, kulit Nene langsung ber-
semu merah.
"Mungkin saja. Begitulah anak itu," ujar ibu
Hideyoshi.
Rambut perempuan tua itu telah putih semua-
nya, dan kini ia duduk di bangsal utama Kuil
Daikichi sejak terjaga di pagi hari sampai beranjak
tidur, hampir tanpa bergerak, berdoa dengan tulus
bagi kejayaan putranya. Betapa besar pun ke-
kacauan yang melanda dunia, ia yakin sepenuhnya
bahwa putra yang dilahirkannya takkan pernah
berpaling dari Jalan Kebesaran. Sekarang pun,
pada saat berbincang-bincang dengan Nene, ia tak
dapat meninggalkan kebiasaan lamanya, yaitu
memanggil Hideyoshi dengan sebutan "anak itu".
"Biarkan dia kembali dengan membawa ke-
menangan, meskipun kemenangannya harus di-
tebus dengan tubuh renta ini." Itulah doa yang
diucapkannya sepanjang hari. Dari waktu ke waktu
ia menengadah sambil mendesah lega dan me-
natap patung Dewi Kannon.
"Ibu, aku mendapat firasat bahwa tak lama lagi
kita akan menerima kabar baik," ujar Nene suatu
hari.
"Aku juga merasakannya, tapi aku tidak tahu
apa sebabnya," kata ibu Hideyoshi.
"Aku tiba-tiba saja merasakannya, sewaktu
menatap wajah Dewi Kannon," ujar Nene.
"Sepertinya Dewi Kannon tersenyum pada kita.
kemarin lebih jelas daripada hari sebelumnya, dan
hari ini lebih jelas daripada kemarin."
Perbincangan kedua perempuan itu terjadi pada
pagi hari menjelang kedatangan Hideyoshi.
Matahari sedang terbenam, dan temaram senja
telah mewarnai dinding-dinding kuil. Nene meng-
hidupkan lentera-lentera di tempat persembahan,
sementara ibu Hideyoshi duduk berdoa di
hadapan patung Dewi Kannon.
Tiba-tiba mereka mendengar prajurit-prajurit
bergegas keluar. Ibu Hideyoshi menoleh terkejut
dan Nene keluar ke serambi.
"Yang Mulia datang!"
Seruan para penjaga menggema di pekarangan.
Setiap hari mereka menyusuri sungai sejauh enam
mil ke arah hulu, untuk berjaga-jaga. Mereka ter-
engah-engah karena berlari sampai ke gerbang
utama, tapi ketika melihat Nene berdiri di seram-
bi, mereka langsung berseru-seru, seakan-akan tak
ada waktu lagi untuk mendekat.
"Ibu!" Nene berseru.
"Nene!"
Perempuan tua dan menantunya itu berpelukan
sambil menitikkan air mata. Ibu Hideyoshi ber-
sujud di hadapan patung Dewi Kannon. Nene
berlutut di sampingnya dan membungkuk khid-
mat.
"Sudah lama anak itu tak berjumpa denganmu.
Kau tampak agak lelah. Sikatlah dulu rambutmu."
"Baik. Ibu."
Nene segera pergi ke kamarnya. Ia menyikat
rambut, mengambil semangkuk air dari pipa
bambu untuk mencuci muka, lalu cepat-cepat
memoles wajah.
Semua anggota rumah tangga serta para samurai
berada di depan gerbang, berbaris berdasarkan usia
dan pangkat untuk menyambut Hideyoshi. Baik
tua maupun muda, dan tak sedikit di antaranya
penduduk desa, mengintip dari balik pepohonan.
Mata mereka membeliak karena ingin tahu apa
yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian, dua
prajurit yang mendului yang lain tiba di gerbang
dan mengumumkan bahwa junjungan mereka
berikut rombongannya akan segera menyusul.
Setelah melapor pada Nene, mereka bergabung di
ujung barisan, dan semua orang terdiam. Semua-
nya menantikan kemunculan Hideyoshi di ke-
jauhan. Sorot mata Nene tampak muram.
Tak lama kemudian sekelompok orang dan
kuda datang, udara dipenuhi bau keringat dan
debu, serta hiruk-pikuk orang-orang yang hendak
mengelu-elukan junjungan mereka.
Hideyoshi berada dalam rombongan itu. Per-
jalanan singkat dari desa ditempuhnya dengan ber-
kuda, tapi di dalam gerbang kuil ia segera turun
dari kudanya. Sambil menyerahkan tali kekang
pada salah satu pembantunya, ia memandang
sekelompok anak kecil yang berdiri di ujung
barisan di sebelah kanannya.
"Di pegunungan ini tentu banyak tempat ber-
main," katanya. Lalu ia menepuk-nepuk bahu para
bocah yang berdiri di dekatnya. Mereka semua
anak para pengikutnya; ibu, nenek, dan kakek
mereka pun hadir di sini. Hideyoshi menatap
semuanya sambil tersenyum ketika menuju tangga
gerbang.
"Hmm, hmm. Kelihatannya semuanya aman.
Aku lega." Kemudian ia berpaling ke sebelah
kirinya, tempat para prajurit marganya berdiri
sambil membisu. Hideyoshi meninggikan suara-
nya. "Aku telah kembali. Aku memahami ke-
sengsaraan yang kalian derita selama kepergianku.
Kalian dipaksa bekerja sangat keras."
Para prajurit dalam barisan itu membungkuk.
Di bawah gerbang di ujung tangga, para pengikut
utama serta anggota-anggota kerabat terdekatnya,
tua maupun muda, menunggu untuk menyambut-
nya. Hideyoshi hanya melirik ke kiri-kanan sambil
tersenyum. Kepada istrinya, Nene, ia hanya melirik
sekilas, lalu melewati gerbang kuil tanpa berkata
apa-apa.
Tapi sejak saat itu sang suami selalu disertai
sosok istrinya yang bersahaja. Para pelayan yang
mengikuti mereka sambil berkerumun dan para
anggora keluarga bubar dan beristirahat, sesuai
petunjuk Nene, atau memberi hormat dari
serambi, lalu menghilang ke kamar masing-masing.
Di dalam kuil utama yang berlangit-langit tinggi,
sebuah lentera memancarkan cahayanya yang ber-
kelap-kelip. Di sebelahnya duduk seorang perem-
puan dengan rambut seputih kepompong ulat
sutra, mengenakan kimono berwarna cokelat
muda.
Ia mendengar suara putranya ketika diantar dari
serambi oleh istrinya. Tanpa bersuara, ibu Hide-
yoshi berdiri dan pindah ke tepi ruangan. Tata
cara untuk kesempatan itu menuntut penyam-
butan untuk kepala marga yang pulang dengan
membawa kemenangan; ini merupakan tradisi
golongan samurai, bukan urusan sehari-hari antara
orangtua dan anak. Tapi begitu Hideyoshi melihat
ibunya dalam keadaan sehat, ia tak merasakan apa
pun selain cinta kasih bagi darah dagingnya sen-
diri. Sambil membisu ia menghampiri ibunya.
Namun dengan sopan perempuan tua itu
menolak.
"Kau telah kembali dengan selamat. Sebelum
menanyakan penderitaan atau kabarku, maukah
kau bercerita mengenai kematian Yang Mulia
Nobunaga? Dan tolong beritahu aku, apakah kau
berhasil menghancurkan musuh kita, Mitsuhide?"
Tanpa sadar Hideyoshi menegakkan badan.
Ibunya melanjutkan. "Entah kau menyadarinya
atau tidak, tapi hari demi hari yang dicemaskan
ibumu yang tua ini bukanlah pertanyaan apakah
kau masih hidup atau tidak. Aku bertanya-tanya,
apakah kau akan bertindak sebagai Jendral
Hideyoshi yang agung, pengikut Yang Mulia
Nobunaga. Kemudian aku mendengar kau meng-
gempur Amagasaki dan Yamazaki. Tapi sesudah
itu kami tidak mendapat berita lagi."
"Maafkan kelalaianku."
Ibu Hideyoshi sengaja menjaga jarak, dan kata-
katanya seakan-akan tidak mengandung nada kasih
sayang, tapi Hideyoshi gemetar karena bahagia. Ia
merasa teguran ibunya menunjukkan kasih sayang
yang jauh lebih besar daripada sekadar kasih
sayang seorang ibu, dan teguran itu pun mem-
berikan semangat padanya untuk menghadapi
masa depan.
Hideyoshi lalu bercerita secara terperinci
mengenai apa saja yang terjadi setelah kematian
Nobunaga, dan tentang hal-hal besar yang ingin
diraihnya. Ia membicarakan semuanya secara
gamblang, agar dapat dimengerti oleh ibunya yang
tua.
Baru sekarang ibunya menitikkan air mata dan
memuji putranya. "Syukurlah kau berhasil menum-
pas orang-orang Akechi dalam beberapa hari saja.
Arwah Yang Mulia Nobunaga tentu puas, dan
beliau takkan menyesal telah membimbingmu
selama ini. Sesungguhnya, aku telah bertekad
untuk tidak membiarkanmu melewatkan satu
malam pun di sini, seandainya kau datang sebelum
melihat kepala Mitsuhide."
"Dan aku takkan dapat menemui Ibunda
sebelum menuntaskan urusan itu, jadi aku tak ada
pilihan selain bertempur terus sampai dua atau
tiga hari yang lalu."
"Pertemuan kita di sini menunjukkan bahwa
jalan yang kautempuh scsuai dengan kehendak
para dewa dan Buddha. Hmm... Nene, kemarilah.
Kita perlu mengucap syukur bersama-sama."
Kemudian perempuan itu sekali lagi berpaling
kepada patung Dewa Kannon. Sampai saat itu,
Nene duduk terpisah dari Hideyoshi dan ibunya.
Namun ketika ibu mertuanya memanggil, ia segera
bcrdiri dan menghampiri tempat persembahan.
Setelah menyalakan lentera, ia segera kembali.
Baru sekarang ia duduk di samping suaminya.
Ketiga-tiganya membungkuk ke arah cahaya redup
di hadapan mereka. Setelah Hideyoshi menenga-
dah dan menatap patung itu, mereka membung-
kuk sekali lagi. Sebuah lempeng peringatan ber-
tuliskan nama Yang Mulia Nobunaga telah di-
tempatkan di sana.
Setelah selesai, ibu Hideyoshi merasa seolah-
olah sebuah beban berat telah terangkat dari
pundaknya.
"Nene," perempuan tua itu memanggil dengan
lembut. "Anak itu tentu ingin mandi. Sudah siap-
kah semuanya?"
"Sudah. Mandi memang lebih menyenangkan
daripada apa pun, jadi aku sudah menyiapkan
semuanya."
"Bagus, jadi dia bisa membersihkan keringat
dan debu yang melekat. Sementara itu, aku akan
ke dapur untuk menyiapkan beberapa hidangan
kesukaannya."
Perempuan tua itu membiarkan mereka ber-
duaan saja.
"Nene."
"Ya?"
"Kurasa kau pun melalui banyak penderitaan
kali ini. Tapi dengan segala kesulitan yang kau-
hadapi, kau berhasil mengamankan ibuku.
Sesungguhnya itulah satu-satunya kekhawatiran-
ku."
"Istri prajurit selalu siap menghadapi cobaan
seperti ini, jadi rasanya tidak terlampau berat."
"Betulkah? Kalau begitu, kau paham bahwa tak
ada yang lebih memuaskan daripada menoleh ke
belakang dan melihat bahwa segala kesulitan telah
berhasil kaulewati."
"Kalau aku melihat suamiku pulang dengan
selamat, aku pun memahami maksud ucapan itu."
Keesokan harinya mereka kembali ke Naga-
hama. Matahari pagi terpantul pada kabut yang
putih. Menyusuri Sungai Azusa, jalanan semakin
menyempit, para prajurit turun dan menuntun
kuda masing-masing.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu salah
satu perwira staf dari Nagahama yang datang
untuk melaporkan situasi perang.
"Surat tuanku mengenai hukuman terhadap
orang-orang Akechi telah dikirim kepada marga-
marga lain, dan barangkali karena segera diberi-
tahu, pasukan Yang Mulia Ieyasu telah kembali ke
Hamamatsu dari Narumi. Di pihak lain, pasukan
Yang Mulia Katsuie, yang sudah sempat mencapai
perbatasan Omi, kabarnya kini menghentikan
gerak majunya."
Hideyoshi tersenyum simpul, lalu bergumam,
seakan-akan berbicara pada diri sendiri, "Rupanya
kali ini Yang Mulia Ieyasu pun agak bingung.
Meski tidak secara langsung, kelihatannya kesiaga-
an Ieyasu telah membubarkan kekuatan militer
Mitsuhide. Para prajurit Tokugawa pasti amat
kecewa, karena terpaksa pulang tanpa sempat men-
cicipi pertempuran."
Jadi, pada hari kedua puluh lima bulan itu,
sehari setelah ia mengantar ibunya ke Nagahama,
Hideyoshi bertolak ke Mino.
Provinsi Mino sempat dilanda huru-hara, tapi
begitu pasukan Hideyoshi maju, daerah itu segera
kembali tenteram. Pertama-tama ia menyerahkan
benteng di Inabayama kepada Nobutaka, dan
dengan demikian ia menunjukkan kesetiaannya
terhadap marga bekas junjungannya. Kemudian
dengan tenang ia menunggu pertemuan di Kiyosu,
yang menurut rencana dimulai pada tanggal dua
puluh tujuh bulan itu. (Created by syauqy_arr)
Perang Kata-Kata

TAHUN itu Shibata Katsuie berusia lima puluh


dua tahun. Sebagai panglima, ia telah turut serta
dalam banyak pertempuran; sebagai laki-laki, ia
telah menyaksikan banyak perubahan selama per-
jalanan hidupnya. Ia berasal dari keluarga ter-
pandang dan kariernya menonjol; ia membawahi
pasukan yang kuat, dan dikaruniai tubuh kekar.
Tak pelak lagi, ia orang terpilih. Ia sendiri pun
beranggapan bahwa hal tersebut tak perlu diper-
tanyakan. Pada hari keempat di Bulan Keenam, ia
berkemah di Uozaki di Etchu. Begitu menerima
kabar mengenai peristiwa Kuil Honno, ia berkata
dalam hati. "Tindakanku yang berikut teramat
penting, dan aku harus melakukannya dengan
baik."
Karena itulah ia tidak segera bertindak. Demiki-
an hati-hatinya ia. Namun bagaikan angin, pikiran-
nya langsung melayang ke Kyoto.
Ia paling senior di antara para pengikut marga
Oda, sekaligus penguasa militer provinsi-provinsi
Utara. Kini, berbekal kebijakan dan kekuatan yang
dimilikinya, ia mempertaruhkan seluruh kariernya
pada satu langkah. Ia meninggalkan medan perang
di Utara dan bergegas menuju ibu kota. Walau
dikatakan bergegas, ia memerlukan beberapa hari
sebelum meninggalkan Etchu dan menghabiskan
beberapa hari lagi di bentengnya di Kitanosho di
Echizen. Namun ia sendiri tidak menganggap
gerakannya lambat. Begitu orang seperti Katsuie
memulai misi sepenting ini, segala sesuatu harus
dilakukan berdasarkan peraturan, dan itu menun-
tut sikap hati-hati dan pemilihan waktu yang tepat.
Kecepatan gerak pasukannya dipandang luar
biasa oleh Katsuie, tapi pada waktu pasukan
utamanya mencapai perbatasan antara Echizen dan
Omi, hari kelima belas di bulan itu telah tiba.
Baru menjelang siang keesokan harinya barisan
belakang dari Kitanosho menyusulnya, dan
seluruh pasukan mengistirahatkan kuda-kuda di
jalan tembus pegunungan. Ketika menatap dataran
yang membentang di bawah, mereka melihat awan
musim panas sudah tinggi di langit.
Dua belas hari telah berlalu sejak Katsuie mene-
rima kabar mengenai kematian Nobunaga. Me-
mang benar, Hideyoshiyang tengah menggempur
Klan Mori di wilayah Baratmendapat laporan
dari Kyoto satu hari lebih awal daripada Katsuie.
Tapi pada hari keempat di bulan itu, Hideyoshi
telah berdamai dengan pihak Mori, pada hari
kelima ia telah berangkat, pada hari ketujuh ia tiba
di Himeji, pada hari kesembilan ia berpaling ke
arah Amagasaki, pada hari ketiga belas ia me-
naklukkan Mitsuhide dalam pertempuran di
Yamazaki, dan pada waktu Katsuie mencapai per-
batasan Omi, Hideyoshi telah membersihkan ibu
kota dari sisa-sisa pasukan musuh.
Meski benar bahwa jalan dari Echizen ke ibu
koia lebih panjang dan lebih berat dibandingkan
jalan dari Takamatsu, kesulitan yang menghadang
Hideyoshi dan kesulitan yang dihadapi Katsuie
tidaklah sebanding. Katsuie jelas-jelas mempunyai
keuntungan. Ia jauh lebih mudah menggerakkan
pasukan dan meninggalkan medan tempur diban-
dingkan Hideyoshi. Kalau begitu, apa sebabnya ia
demikian terlambat? Jawabannya sederhana: bagi
Katsuie, sikap hati-hati dan ketaatan pada per-
aturan lebih penting daripada kecepatan.
Pengalaman yang diperolehnya dengan turut
serta dalam sekian banyak pertempuran, dan rasa
percaya diri yang muncul sebagai akibatnya, telah
membentuk perisai di sekeliling pemikiran dan
kemampuannya mengambil keputusan. Sifat-sirat
itu justru menjadi penghalang untuk bergerak
cepat pada saat kepentingan negara terancam, dan
juga menambah ketidakmampuan Katsuie untuk
melampaui taktik dan strategi konvensional.
Desa pegunungan Yanagase dipenuhi kuda dan
orang. Ibu kota terletak di sebelah barat. Jika ber-
paling ke timur, pasukan Katsuie akan melewati
Danau Yogo dan memasuki jalan menuju Benteng
Nagahama. Katsuie mendirikan markas sementara-
nya di pekarangan sebuah tempat persembahan
kecil.
Katsuie teramat peka terhadap udara panas, dan
sepertinya ia menderita akibat udara panas serta
pendakian pada hari itu. Setelah menaruh kursi-
nya di bawah naungan pepohonan, ia menyuruh
memasang tirai dari pohon ke pohon, kemudian ia
melepaskan baju tempur di baliknya. Ia lalu duduk
membelakangi anak asuhnya, Katsutoshi, dan ber-
kata, "Gosoklah punggungku. Katsutoshi."
Dua pelayan mengayunkan kipas-kipas besar.
Setelah peluhnya mengering, tubuh Katsuie mulai
gatal-gatal.
"Katsutoshi, lebih keras. Lebih keras," ia meng-
gerutu.
Anak itu baru berusia lima belas tahun.
Sungguh mengharukan melihat sikapnya yang
demikian taat di tengah-tengah pergerakan militer.
Kulit Katsuie terserang semacam ruam. Dan
bukan Katsuie saja yang menderita pada musim
panas itu. Di antara para prajurit yang mengena-
kan baju tempur yang terbuat dari kulit dan logam,
banyak yang mengalami gangguan pada kulit, yang
mungkin dapat disebut ruam baju tempur, tapi
kasus Katsuie termasuk yang paling parah.
Ia berusaha meyakinkan diri bahwa kelemahan-
nya dalam musim panas timbul karena selama tiga
tahun terakhir ia menghabiskan sebagian besar
waktunya di tempat tugasnya di wilayah Utara.
Tapi kenyataan yang tak dapat dipungkiri adalah
bahwa seiring bertambahnya usia, ia pun rupanya
semakin melemah. Katsutoshi menggosok lebih
keras, seperti yang diperintahkan padanya, sampai
kulit Katsuie mulai berdarah.
Dua kurir tiba. Yang satu pengikut Hideyoshi,
satu lagi pengikut Nobutaka. Mereka membawa
surat dari majikan masing-masing, dan bersama-
sama mereka menyerahkan surat-surat itu pada
Katsuie.
Kedua surat itu ditulis sendiri oleh Hideyoshi
dan Nobutaka, yang sama-sama berkemah di Kuil
Mii di Otsu, dan keduanya ditulis pada hari
keempat belas bulan itu. Surat Hideyoshi berbunyi
sebagai berikut:

Hari ini aku memeriksa kepala sang jendral pem-


berontak, Akechi Mitsuhide. Dengan demikian.
upacara peringatan bagi mendiang junjungan kita
berakhir sesuai harapan. Kami ingin mengumumkan
hal ini secepat mungkin kepada para pengikut Oda
yang berada di wilayah Utara, dan akan segera
mengirimkan laporan. Wafatnya junjungan kita telah
menimbulkan duka tak terkira dalam hati kita semua,
tapi kepala sang jendral pemberontak telah dipajang
dan pasukan pemberontak dibasmi sampai ke orang
terakhir, semuanya dalam waktu sebelas hari. Kami
tidak membanggakan hal ini, tapi kami percaya
bahwa tindakan kami akan dapat menenteramkan
arwah junjungan kita di akhirat, walau hanya sedikit.

Hideyoshi mengakhiri suratnya dengan ber-


pesan bahwa hasil akhir tragedi ini seharusnya
ditanggapi dengan sukacita, tapi Katsuie sama
sekali tidak gembira. Justru sebaliknya, roman
mukanya memperlihatkan emosi berlawanan, bah-
kan sebelum ia selesai membaca. Namun dalam
surat balasannya ia tentu saja menulis bahwa tak
ada yang dapat membuatnya lebih bahagia dari-
pada berita Hideyoshi. Ia juga menekankan bahwa
pasukannya sendiri telah maju sampai ke
Yanagase.
Sambil merenungkan laporan para kurir dan isi
kedua surat itu, Katsuie bimbang mengenai lang-
kahnya yang berikut. Ketika para kurir pergi, ia
memilih sejumlah laki-laki muda dengan kaki kuat
dan mengirim mereka dari Otsu ke Kyoto untuk
menyelidiki keadaan sesungguhnya di sana. Ke-
lihatannya ia berniat tetap berkemah di tempat ia
berada, sampai ia mengetahui cerita keseluruhan-
nya.
"Adakah alasan untuk menganggap laporan ini
palsu?" Katsuie bertanya. Ia bahkan lebih terkejut
dibandingkan ketika menerima laporan tragis
mengenai Nobunaga beberapa hari sebelumnya.
Jika ada orang yang mendului Katsuie meng-
hadapi pasukan Mitsuhide dalam suatu "pertem-
puran peringatan", orang itu seharusnya Nobutaka
atau Niwa Nagahide, atau bahkan salah satu peng-
ikut Oda di ibu kota yang mungkin bergabung
dengan Tokugawa Ieyasu, yang pada saat itu
sedang berada di Sakai. Dan kalau begitu,
kemenangan takkan tercapai dalam satu hari dan
satu malam. Tak seorang pun dalam marga Oda
berpangkat lebih tinggi dan Katsuie, dan ia tahu
persis bahwa sekiranya ia berada di sana, semua
orang akan memandangnya sebagai panglima
tertinggi dalam pertempuran melawan pihak
Akechi. Itu tak perlu dipertanyakan lagi.
Katsuie tak pernah menilai Hideyoshi berdasar-
kan penampilannya. Malah sebaliknya, ia menge-
nal Hideyoshi cukup baik, dan kemampuan
Hideyoshi tak pernah ia anggap enteng. Meski
demikian, Katsuie tak habis pikir bagaimana cara
Hideyoshi berhasil meninggalkan wilayah Barat
begitu cepat.
Keesokan harinya pertahanan di sekeliling per-
kemahan Katsuie mulai diperkuat. Semua jalan
dijaga ketat, dan orang-orang yang datang dari ibu
kota dihentikan oleh para prajuritnya untuk di-
periksa.
Setiap informasi segera diteruskan melalui ber-
bagai perwira ke markas besar di perkemahan
utama. Berdasarkan keterangan yang terkumpul,
tak perlu diragukan lagi bahwa pasukan Akechi
telah musnah dan bahwa Benteng Sakamoto telah
jatuh. Menurut beberapa orang, api dan asap
hitam terlihat mengepul di daerah Azuchi pada
hari itu, dan seseorang melaporkan bahwa Yang
Mulia Hideyoshi membawa sebagian pasukannya
ke arah Nagahama.
Keesokan harinya pikiran Katsuie belum juga
tenang. Ia masih mengalami kesulitan untuk
menentukan langkah selanjutnya, dan terus di-
hantui rasa malu. Ia telah membawa pasukannya
dari Utara, dan ia tak sanggup berdiam diri
sementara Hideyoshi mengambil tindakan.
Apa yang harus dilakukan? Seharusnya pengikut
Oda yang paling seniorlah yang mengemban
tanggung jawab untuk menyerang orang-orang
Akechi, tapi tugas tersebut telah dirampungkan
oleh Hideyoshi. Lantas, dalam keadaan sekarang,
urusan manakah yang paling penting dan men-
desak? Dan strategi apa yang akan digunakannya
untuk menghadapi Hideyoshi yang kini berada di
atas angin?
Tak henti-hentinya Katsuie memikirkan Hide-
yoshi. Kecuali itu, pemikirannya dikuasai oleh rasa
tak senang yang menjurus ke arah kebencian.
Setelah mengumpulkan para penasihat seniornya,
ia membahas masalah itu bersama mereka sampai
larut malam. Keesokan harinya, kurir-kurir dan
pembawa-pembawa pesan rahasia bergegas ke
segala arah dari markas besar. Pada waktu yang
sama, Katsuie menulis surat bernada sangat ber-
sahabat kepada Tokugawa Ieyasu.
Meski pun telah menitipkan surat balasan
khusus pada kurir Nobutaka, Katsuie kini menulis
dan mengirim satu surat lagi kepada putra Nobu-
naga itu. Ia memilih salah satu pengikut senior
sebagai utusan, dan menugaskan dua pengikut lain
untuk menyertai orang tersebut, mengisyaratkan
pentingnya misi mereka.
Untuk menghubungi para pengikut dekat lain-
nya, dua juru tulis mencatat kata-kata Katsuie, lalu
menghabiskan setengah hari untuk menuliskan
lebih dari dua puluh surat. Inti surat-surat itu
adalah bahwa pada hari pertama Bulan Ketujuh.
mereka semua akan bertemu di Kiyosu untuk
membicarakan berbagai masalah penting, misalnya
siapa yang akan menjadi penerus Nobunaga, dan
bagaimana bekas wilayah Akechi akan dibagi-
bagikan.
Sebagai pemrakarsa rapat tersebut, Katsuie
dapat menegakkan wibawanya sebagai pengikut
senior. Tentunya semua pihak mengakui bahwa
tanpa kehadirannya, masalah-masalah penting
seperti itu tak dapat diselesaikan. Dengan meng-
andalkan pengaruh ini sebagai "kunci". Katsuie
mengubah arah dan menuju Benteng Kiyosu di
Owari.
Dalam perjalanan, dari apa yang didengarnya
dan dari laporan para pengintai, Katsuie menge-
tahui bahwa banyak pengikut Oda yang selamat
telah menuju Kiyosu sebelum suratnya diantarkan.
Samboshi, putra pewaris Nobunaga, Nobutada,
sudah berada di sana, dan dengan sendirinya
semua orang menganggap bahwa pusat marga Oda
pun akan dipindahkan ke tempat itu. Namun
Katsuie menduga Hideyoshi-lah yang telah ber-
tindak lancang dengan mengatur segala sesuatu-
nya.

Setiap hari pemandangan luar biasa berupa iring-


iringan penunggang kuda yang menaiki bukit
menuju gerbang benteng terlihat di Benteng
Kiyosu.
Tanah yang menjadi titik tolak bagi Nobunaga
dalam mewujudkan karya agungnya kini dijadikan
tempat untuk membicarakan penyelesaian urusan
marga.
Para pengikut Oda yang berkumpul di sana
mengaku datang dalam rangka kunjungan kehor-
matan kepada Samboshi. Tak seorang pun me-
nyinggung bahwa ia menerima surat Katsuie, atau
bahwa ia datang untuk memenuhi undangan
Hideyoshi.
Tapi semua orang tahu bahwa pertemuan resmi
akan segera dimulai di dalam benteng. Topik
pertemuan itu pun bukan rahasia lagi. Hanya
pengumuman mengenai hari dan waktunya yang
masih perlu dipasang. Setelah para pengikut
mengunjungi Samboshi, tak satu pun dan mereka
akan kembali ke provinsi asalnya. Masing-masing
membawa sejumlah prajurit yang menunggu di
tempat mereka menginap di kota.
Jumlah penduduk kota benteng telah mem-
bengkak, dan itu, bersama udara musim panas dan
ukuran kota yang kecil, menciptakan suasana yang
luar biasa kacau dan gaduh. Dengan kuda-kuda
berlarian di jalanan, pelayan-pelayan yang terlibat
perkelahian, dan kebakaran yang berulang kali
terjadi, tak ada waktu untuk merasa jemu.
Menjelang akhir bulan, kedua putra Nobunaga
yang selamat, Nobutaka dan Nobuo, dan para
jendralnya, termasuk Katsuie dan Hideyoshi, tiba
di Kiyosu.
Hanya Takigawa Kazumasu yang belum mun-
cul. Karena ketidakhadirannya, ia menjadi sasaran
kritik di jalan-jalan.
"Takigawa tidak keberatan menerima berbagai
jabatan semasa hidup Yang Mulia Nobunaga,
bahkan ditunjuk untuk menduduki posisi penting
sebagai gubernur jendral Jepang bagian timur, jadi
kenapa dia begitu terlambat dalam krisis ini? Sikap-
nya sungguh memalukan."
Orang lain memberikan kritik yang bahkan
lebih pedas lagi.
"Dia politikus yang lihai, dan dia bukanlah
orang dengan kesetiaan tak tergoyahkan. Kemung-
kinan inilah sebabnya dia belum bergerak."
Selentingan seperti itulah yang beredar di kedai-
kedai minuman.
Tak lama setelah itu, kritik mengenai keter-
lambatan Katsuie dalam menyerang Mitsuhide pun
mulai terdengar di sana-sini. Tentu saja marga-
marga yang sedang berada di Kiyosu juga men-
dengarnya, dan Hideyoshi segera menerima
laporan dari para pengikutnya.
"Begitukah? Jadi, itu juga sudah mulai? Kritik
ini menyangkut Katsuie, jadi tak seorang pun akan
menduga bahwa Katsuie sendiri yang menyebarkan
desas-desus itu, tapi kelihatannya dia berusaha
menanam benih-benih perpecahan di antara kita
pertarungan siasat sebelum rapat besar. Tapi tak
apalah, biarkan saja mereka, Takigawa toh sudah
berada di pihak Katsuie."
Sebelum rapat dimulai, semua orang sibuk
mengira-ngira masa depan masing-masing, dan
mencoba menerka apa yang ada dalam pikiran
yang lain. Sementara itu, pertentangan dan per-
setujuan yang tak terucapkan terus berjalan, sama
halnya dengan penyebaran desas-desus yang tak
berdasar. Dengan segala cara, orang-orang ber-
usaha merangkul yang lain serta memecah-belah
pihak lawan.
Hubungan antara Shibata Katsuie dan Nobu-
taka cukup mencurigakan; yang satu memiliki
pangkat tertinggi di antara para sesepuh marga,
sementara yang satu lagi putra ketiga Nobunaga.
Keakraban antara kedua orang ini melampaui
urusan resmi dan tak dapat dirahasiakan.
Pendapat umum mengatakan bahwa Katsuie
bermaksud mengabaikan putra kedua Nobunaga.
Nobuo, dan bahwa ia mendukung Nobutaka
sebagai pewaris berikut. Namun semua orang pun
sependapat bahwa Nobuo pasti akan menentang
Nobutaka.
Hampir tak ada yang meragukan bahwa
Nobutaka atau Nobuokeduanya adik Nobutada,
yang gugur di Benteng Nijo pada waktu ayahnya
wafatyang akan terpilih sebagai penerus Nobu-
naga. Tapi semua orang bingung, siapa di antara
keduanya yang harus mereka dukung.
Nobuo dan Nobutaka; kedua-duanya lahir pada
Bulan Pertama di tahun pertama Eiroku, dan
masing-masing kini berusia dua puluh empat
tahun. Walaupun terasa janggal bahwa mereka
lahir di tahun yang sama, namun mereka tetap
disebut kakak dan adik; penjelasannya sederhana
saja: mereka lahir dari ibu yang berbeda. Meski
Nobuo dianggap sebagai kakak dan Nobutaka
sebagai adik. Nobutaka sebenarnya lahir dua puluh
hari lebih awal daripada Nobuo. Karena itu, se-
harusnya Nobutaka yang dipandang sebagai kakak,
kalau saja ibunya tidak berasal dari marga kecil
yang tidak terkenal. Itulah sebabnya ia disebut
putra ketiga, sementara Nobuo dikukuhkan se-
bagai putra kedua.
Karena itu pula, walaupun mereka disebut
kakak-adik, mereka tidak memiliki keakraban yang
lazimnya terjalin antara saudara kandung. Pem-
bawaan Nobuo lesu dan negatif, dan satu-satunya
sikap positif yang ditunjukkannya adalah per-
lawanan terhadap Nobutaka, yang ia pandang
sebagai adik yang harus tunduk padanya.
Kalau keduanya dibandingkan secara adil,
semua orang mengakui bahwa Nobutaka jauh
lebih pantas menjadi penerus Nobunaga. Di
medan tempur, ia jauh lebih menyerupai panglima
daripada Nobuo; ia memperlihatkan ambisi besar
dalam tutur katanya sehari-hari, dan yang paling
penting, ia tidak malu-malu seperti saudaranya.
Jadi, tidaklah mengherankan kalau ia secara
mendadak mulai menampilkan sikap agresif tak
lama setelah pergi ke Yamazaki dan membuat
kehadirannya terasa di perkemahan Hideyoshi.
Kesediaannya untuk memikul tanggung jawab se-
bagai pewaris Oda tercermin dalam ucapan dan
sikapnya belakangan ini, dan seakan-akan ingin
membuktikan ambisi yang dipendamnya, setelah
pertempuran Yamazaki ia pun mulai membenci
Hideyoshi.
Bagi Nobuo, yang panik ketika orang-orang
Akechi menyerang, Nobutaka mempunyai kata-
kata tajam.
"Jika hukuman dijatuhkan tanpa pandang bulu,
dia pun harus mempertanggungjawabkan tin-
dakannya. "Nobuo orang bodoh." Meski perasaan-
perasaan tersebut tidak dibeberkan secara terbuka,
Kiyosu diliputi suasana tegang, dan dapat dipasti-
kan bahwa ada orang yang menyampaikan ucapan
tersebut kepada Nobuo. Dalam situasi ini, berbagai
persekongkolan tersembunyi membawa sifat-sifat
manusia yang paling menjijikkan ke permukaan.
Pembukaan rapat dijadwalkan pada hari kedua
puluh tujuh bulan ini, tapi karena Takigawa
Kazumasu terlambat, pembukaannya terus diun-
dur-undur, sampai akhirnya, pada hari pertama
Bulan Ketujuh, sebuah pengumuman diedarkan
kepada semua pengikut penting yang berada di
Kiyosu, "Besok, pada pertengahan kedua jam Naga,
semuanya diharapkan hadir di benteng, untuk
menentukan siapa yang akan menjadi penguasa
negeri. Rapat besar ini akan dipimpin oleh Shibata
Katsuie."
Nobutaka menaikkan gengsi Katsuie, sementara
Katsuie menambah pengaruh Nobutaka, dan
keduanya berkoar bahwa kehendak merekalah
yang akan dituruti dalam rapat. Kecuali itu, ketika
rapat tersebut akhirnya dibuka, ternyata banyak
yang memang sudah cenderung berpihak pada
mereka.
Hari itu semua dinding penyekat di Benteng
Kiyosu diangkat, tak pelak karena matahari terus
bersinar, sehingga hawa panas dan pengap takkan
tertahankan seandainya penyekat-penyekat itu di-
biarkan tetap terpasang. Tapi tindakan tersebut
juga menunjukkan bahwa pihak penyelenggara
berusaha mencegah pembicaraan rahasia. Hampir
semua penjaga di dalam benteng merupakan
pengikut Shibata Katsuie.
Pada Jam Ular, semua pembesar telah ber-
kumpul di bangsal utara.
Susunan tempat duduk mereka sebagai berikut:
Katsuie dan Takigawa duduk di sebelah kanan,
menghadap Hideyoshi dan Niwa di sebelah kiri.
Pengikut-pengikut berpangkat lebih rendah seperti
Shonyu, Hosokawa, Tsutsui, Gamo, dan Hachiya,
ditempatkan di belakang mereka. Tempat paling
depan, tempat bagi orang-orang dengan ke-
dudukan paling tinggi, diberikan kepada Nobutaka
dan Nobuo. Tapi dari samping, Hasegawa Tamba
terlihat memangku anak kecil.
Itu, tentu saja, Samboshi.
Di sebelah mereka ada Maeda Geni, pengikut
yang menerima perintah terakhir Nobutada ketika
Nobutada menghadapi ajal dalam pertempuran di
Benteng Nijo. Rupanya ia tidak menganggap
sebagai kehormatan bahwa ia satu-satunya yang
selamat dan kini hadir di sini.
Samboshi baru berusia dua tahun, dan ia pun
tak bisa diam ketika dipangku walinya di hadapan
para pembesar. Ia merentangkan tangan, men-
dorong dagu Tamba, dan berdiri di pangkuannya.
Untuk membantu Tamba yang kebingungan,
Geni berusaha menghibur anak itu dengan mem-
bisikkan sesuatu dari belakang; langsung saja
Samboshi meraih melewati bahu Tamba dan
menarik telinga Geni. Geni diam saja, dan sekali
lagi pengasuh anak yang berlutut di belakang
mereka meletakkan lipatan kertas berbentuk
burung bangau ke tangan Samboshi. Telinga Geni
berhasil diselamatkan.
Pandangan para jendral tertuju pada anak itu.
Beberapa dari mereka tersenyum samar, sementara
yang lain menitikkan air mata secara sembunyi-
sembunyi. Hanya Katsuie yang tampak merengut.
Sepertinya ia hendak menggerutu mengenai
"gangguan yang menyusahkan" itu.
Sebagai ketua rapat dan juru bicara yang serius
dan penuh wibawa, ia seharusnya membuka acara
dengan berbicara paling dulu. Namun kini
perhaitan semua orang telah beralih, dan ia ke-
hilangan kesempatan berbicara.
Akhirnya Katsuie membuka mulut dan berkata,
"Tuan Hideyoshi."
Hideyoshi langsung menatap matanya
Katsuie memaksakan senyum. "Apa yang harus
kita lakukan?" ia bertanya, seolah-olah membuka
perundingan. "Yang Mulia Samboshi masih kanak-
kanak tanpa dosa. Pembatasan gerak-geriknya pasti
tidak menyenangkan baginya."
"Barangkali memang demikian," ujar Hideyoshi
dengan nada datar. Katsuie mungkin merasa
Hideyoshi bermaksud menjadi penengah, dan ia
segera memperlihatkan sikap menentang. Antipati
yang bercampur dengan usaha menegakkan
wibawa membuatnya tampak kaku, dan kini ia
memasang wajah yang mengungkapkan perasaan
tak senang.
"Baiklah. Tuan Hideyoshi. Bukankah Tuan
sendiri yang menuntut kehadiran Yang Mulia
Samboshi? Aku sungguh tak mengerti, tapi..."
"Tuan tidak keliru. Aku menyarankannya ber-
dasarkan keharusan."
"Keharusan?"
Katsuie merapikan kerut-kerut pada kimono-
nya. Hari belum siang, sehingga udara panas
belum seberapa mengganggu, tapi akibat pakaian-
nya yang tebal dan gangguan kulit yang diderita-
nya, ia rupanya merasa sangat tidak nyaman. Hal
seperti itu mungkin dianggap sepele, namun tetap
mempengaruhi nada suaranya dan menyebabkan
roman mukanya berkesan geram.
Pandangan Katsuie mengenai Hideyoshi ber-
ubah sejak peristiwa Yanagase. Sampai saat itu, ia
menganggap Hideyoshi sebagai junior, dan ber-
pendapat bahwa hubungan mereka tidak terlalu
baik. Tapi pertempuran Yamazaki merupakan titik
balik. Nama Hideyoshi kini terus disebut-sebut
sehubungan dengan pekerjaan yang belum tuntas
setelah kematian Nobunaga. Dan Katsuie tak
sanggup menyaksikan hal itu sambil berpangku
tangan. Perasaannya diperkuat oleh reaksinya ter-
hadap apa yang dianggapnya kelancangan Hide-
yoshi dalam memulai pertempuran peringatan bagi
Nobunaga.
Dipandang setaraf dengan Hideyoshi sangat
mengganggu pikiran Katsuie. Ia tidak terima
bahwa perannya sebagai sesepuh marga Oda
selama bertahun-tahun dikesampingkan karena
sepak terjang Hideyoshi belakangan ini. Kenapa
Shibata Katsuie harus menempati posisi lebih
rendah dari seseorang yang kini mengenakan
kimono dan tutup kepala dengan demikian
bangga, tapi di zaman dulu di Kiyosu tak lebih dari
pesuruh yang merangkak naik dari jabatan pem-
bersih selokan dan tukang sapu kotoran kuda?
Hari ini dada Katsuie terasa sesak karena emosi
dan strategi yang tak terhitung jumlahnya.
"Aku tidak tahu bagaimana pandangan Tuan
mcngenai rapat hari ini, tapi pada umumnya para
pembesar yang berkumpul di sini menyadari
bahwa marga Oda belum pernah bertemu seperti
ini untuk membicarakan masalah yang teramat
penting. Kenapa anak berumur dua tahun itu
harus hadir?" Katsuie bertanya secara blak-blakan.
Baik ucapan maupun sikapnya menunjukkan
bahwa ia mengharapkan dukungan, bukan saja
dari Hideyoshi, melainkan juga dari semua pem-
besar yang hadir. Ketika menyadari bahwa ia tak-
kan memperoleh jawaban jelas dari Hideyoshi, ia
melanjutkan dengan nada yang sama.
"Kita tidak punya waktu untuk bermain-main.
Kenapa kita tidak minta agar Yang Mulia
Samboshi menarik diri sebelum kita membuka
rapat ini? Bagaimana, setujukah, Tuan Hideyoshi?"
Penampilan Hideyoshi tidak istimewa, meski-
pun ia mengenakan kimono resmi. Asal-usulnya
tak dapat ditutup-tutupi kalau ia berada bersama
orang lain.
Mengenai pangkatnya, semasa hidup Nobunaga
ia diberi sejumlah gelar penting. Ia telah memper-
lihatkan kekuatan sesungguhnya, baik dalam
operasi militer di provinsi-provinsi Barat maupun
ketika ia meraih kemenangan di Yamazaki.
Tapi jika seseorang berhadap-hadapan dengan
Hideyoshi, tak aneh bila ia merasa ragu, apakah ia
akan berpihak pada Hideyoshi dalam masa yang
penuh bahaya ini, dan apakah ia bersedia mem-
pertaruhkan nyawa untuknya.
Di antara para hadirin, ada yang sepintas lalu
tampak cukup mengesankan. Takigawa Kazumasu,
misalnya, mempunyai sikap gagah yang oleh semua
orang diakui sangat pantas bagi jendral tersohor.
Niwa Nagahide memiliki kesederhanaan yang
anggun, dan dengan garis rambut yang mulai
mundur, ia tampak seperti prajurit yang tegap.
Gamo Ujisato paling muda di antara semuanya,
tapi dengan asal-usulnya yang terhormat serta
kemuliaan wataknya, ia memperlihatkan moralitas
tinggi. Dari segi ketenangan dan martabat, Ikeda
Shonyu bahkan lebih tidak mengesankan daripada
Hideyoshi, namun matanya memancarkan sorot
tertentu. Lalu ada Hosokawa Fujitaka yang tulus
dan lembut, tapi memiliki kematangan yang mem-
buatnya tak dapat diduga.
Jadi, walaupun penampilan Hideyoshi biasa-
biasa saja, ia tampak lusuh jika berada di tengah
orang-orang itu. Para pembesar yang berkumpul
untuk mengadakan rapat di Kiyosu pada hari itu
termasuk yang paling berpengaruh di antara orang-
orang sezaman mereka. Maeda Inuchiyo dan Sassa
Narimasa tidak hadir, karena masih bertempur di
wilayah Utara. Dan meski ia merupakan kasus
khusus, seandainya nama Tokugawa Ieyasu ditam-
bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
orang-orang di Kiyosu itu merupakan para pemim-
pin negeri. Dan Hideyoshi berada di antara
mereka, tanpa terpengaruh oleh penampilannya.
Hideyoshi sendiri mengakui kebesaran rekan-
rekannya, dan ia berhati-hati serta merendah.
Kesombongan yang diperlihatkannya seusai per-
tempuran Yamazaki kini tak tampak. Sejak awal ia
bersikap sangat serius. Ketika menjawab ucapan
Katsuie pun ia menahan diri dengan penuh hor-
mat. Namun kini ia sepertinya tak lagi bisa
mengelak dari penanyaan Katsuie.
"Ucapan Tuan masuk akal. Walau sesungguh-
nya ada alasan untuk kehadiran Yang Mulia
Samboshi dalam rapat ini, berhubung usianya yang
begitu muda, dan karena rapat ini tentu akan ber-
langsung lama. Yang Mulia pasti merasa terkung-
kung. Jika Tuan menghendakinya, nanti kita
minta agar Yang Mulia segera menarik diri."
Setelah menanggapi tuntutan Katsuie dengan
bahasa demikian halus, Hideyoshi menoleh dan
minta kepada sang wali agar Samboshi meninggal-
kan ruangan.
Tamba mengangguk, dan setelah mengangkat
Samboshi dari pangkuan, menyerahkan anak itu
kepada pengasuh di belakangnya. Samboshi
tampaknya menyukai kerumunan laki-laki ber-
pakaian lengkap, dan ia menampik tangan
pengasuhnya dengan keras. Tapi perempuan itu
tetap memegangnya, lalu berdiri untuk pergi.
Samboshi tiba-tiba mengayun-ayunkan tangan dan
kaki, lalu mulai menangis. Kemudian ia melempar-
kan burung-burungan kertas ke tengah-tengah para
pembesar yang sedang duduk. Mata semua orang
mendadak berkaca-kaca.
Siang pun tiba. Ketegangan di bangsal utama
seakan-akan dapat diiris dengan pisau.
Katsuie memberikan pidato pembukaan. "Ke-
matian tragis Yang Mulia Nobunaga telah menim-
bulkan kesedihan mendalam, tapi sekarang kita
harus memilih penerus yang pantas untuk me-
nyambung perjuangan beliau. Kita wajib memper-
lihatkan pengabdian kita, meski beliau telah wafat.
Inilah Jalan Samurai."
Katsuie melemparkan masalah suksesi kepada
para hadirin. Berulang kali ia minta usulan dari
mereka, namun tak seorang pun bersedia menjadi
orang pertama yang angkat bicara untuk me-
nyampaikan pandangannya. Kalaupun ada yang
cukup gegabah untuk mengemukakan pemikiran-
nya dalam kesempatan itu, seandainya orang yang
didukungnya sebagai penerus marga Oda tidak ter-
pilih dalam seleksi terakhir, dapat dipastikan
nyawanya akan terancam.
Tak satu pun dari mereka mau membuka mulut
secara sembrono, dan semuanya duduk sambil
membisu. Katsuie pun memahami hal itu, dan
menunggu dengan sabar. Barangkali ia telah men-
duga perkembangan ini. Dengan nada penuh
wibawa ia berkata, "Jika tak ada yang mempunyai
pendapat tertentu, untuk sementara ini perkenan-
kanlah aku mengemukakan pandanganku sebagai
pengikut senior."
Seketika terlihat perubahan pada roman muka
Nobutaka yang duduk di kursi kehormatan.
Katsuie menatap Hideyoshi, yang sebaliknya me-
mandang bolak-balik antara Takigawa dan Nobu-
taka.
Gerak-gerik samar ini menimbulkan gelombang-
gelombang halus yang memancar dari hati ke hati.
Benteng Kiyosu diliputi ketegangan yang bisu,
seakan-akan tak ada manusia di dalamnya.
Akhirnya Katsuie angkat bicara. "Dalam pan-
danganku, Yang Mulia Nobutaka berada dalam
usia tepat, dan memiliki kemampuan alami serta
asal-usul yang cocok untuk menjadi penerus Yang
Mulia Nobunaga. Yang Mulia Nobutaka-lah
pilihanku."
Pernyataan tersebut disusun secara cermat,
sehingga hampir merupakan pengukuhan. Katsuie
berpendapat bahwa kendali telah berada di tangan-
nya.
Tapi kemudian seseorang membantah. "Tidak,
itu tidak benar." Orang itu ternyata Hideyoshi.
"Dari segi silsilah," ia melanjutkan. "urutan yang
tepat adalah putra tertua Nobunaga, Yang Mulia
Nobutada, lalu putranya, Yang Mulia Samboshi.
Provinsi kita mempunyai hukum, dan marga mem-
punyai peraturan rumah ungga."
Wajah Katsuie langsung merah. "Ah, tunggu
sebentar, Tuan Hideyoshi."
"Tidak," balas Hideyoshi. "Tuan akan berdalih
bahwa Yang Mulia Samboshi masih kanak-kanak.
Tapi jika seluruh margamulai dari Tuan sendiri,
serta semua pengikut dan jendralbertekad melin-
dunginya, tak ada yang perlu dipermasalahkan.
Kesetiaan kira seharusnya tidak dikaitkan dengan
usia. Menurutku, jika suksesi dijalankan secara
benar, Yang Mulia Samboshi-lah yang harus men-
jadi penerus."
Terkejut, Katsuie mengeluarkan saputangan
dari kimono dan mengusap keringat yang mem-
basahi tengkuknya. Apa yang dituntut Hideyoshi
memang merupakan hukum marga Oda. Ucapan-
nya tak dapat dikesampingkan begitu saja sebagai
tuntutan tak berdasar.
Orang lain yang memperlihatkan kekhawatiran
pada wajahnya adalah Nobuo. Ia merupakan
saingan utama Nobutaka dan telah secara resmi
dikukuhkan sebagai kakak, sedangkan ibunya
berasal dari keluarga terpandang. Tak perlu diragu-
kan bahwa ia pun menyimpan ambisi terselubung
untuk dipilih sebagai penerus ayahnya.
Karena harapannya telah dipupuskan, biarpun
hanya secara tak langsung, ia segera menunjukkan
wataknya yang asli. Ia tampak seolah-olah tak
tahan berada di dalam bangsal. Nobutaka,
sebaliknya, menatap Hideyoshi sambil mendelik.
Katsuie tak sanggup berkata apa-apa, dan hanya
bergumam tak jelas. Orang-orang lain pun tidak
menyatakan setuju maupun keberatan.
Katsuie telah memperlihatkan maksud sesung-
guhnya, dan ucapan Hideyoshi pun tak kalah terus
terang. Pendapat kedua orang itu saling ber-
lawanan dan telah dikemukakan sedemikian jelas,
sehingga semua orang terpaksa berpikir dua kali
sebelum berpihak pada salah satu. Keheningan
menyelubungi para hadirin, bagaikan kerak tebal.
Berkali-kali Katsuie mengajak rekan-rekannya
untuk mengemukakan pandangan masing-masing,
dan setiap kali ia membuka mulut, Takigawa
mcngangguk-angguk. Namun rupanya masih sukar
untuk menebak isi hati yang lainnya.
Sekali lagi Hideyoshi angkat bicara. "Seandainya
istri Yang Mulia Nobutada baru mengandung
sekarang, dan kita harus menunggu sampai tali
pusar dipotong untuk mengetahui apakah anaknya
laki-laki atau perempuan, rapat seperti ini memang
diperlukan. Tapi kita sudah mempunyai penerus
yang cocok, jadi apa lagi yang perlu dipersoalkan
atau dibicarakan? Kupikir kira harus segera memu-
tuskan untuk menunjuk Yang Mulia Samboshi."
Ia tetap bertahan pada posisinya, bahkan tanpa
melirik wajah para pembesar lainnya. Ucapannya
terutama ditujukan kepada Katsuie.
Meskipun pandangan para jendral lain tidak
dikemukakan secara terbuka, mereka tampak ter-
gerak oleh pendapat Hideyoshi, dan sepertinya
dalam hati mereka setuju dengannya. Sebelum per-
temuan dibuka, mereka sempat melihat putra
Nobutada yang tak berdaya, dan mereka semua
mempunyai anak-anak dalam rumah tangga
masing-masing. Mereka samurai, dan walaupun
mereka hidup pada hari ini, hari esok tetap me-
rupakan tanda tanya. Ketika memandang sosok
Samboshi yang mengibakan hati, mau tak mau
perasaan mereka pun tersentuh.
Perasaan itu didukung oleh alasan yang mulia
dan kuat. Meskipun para jendral terus membisu,
dalam hati mereka terpengaruh oleh tuntutan
Hideyoshi.
Scbaliknya, biarpun sampai batas tertentu
alasan Katsuie tampak masuk akal, sesungguhnya
dasarnya lemah. Alasan itu berpangkal pada suatu
kebijaksanaan yang mengabaikan status Nobuo.
Tidaklah sukar memperkirakan bahwa Nobuo
akan mundur untuk mendukung Samboshi,
bukannya Nobutaka.
Katsuie berusaha keras menemukan dalih yang
dapat digunakannya melawan Hideyoshi. Sejak
semula Katsuie sudah yakin bahwa Hideyoshi tak-
kan begitu saja menerima usulannya dalam per-
temuan hari ini, tapi ia tak menyangka betapa
gigihnya orang itu dalam memberikan dukungan
kepada Samboshi. Ia pun tidak menduga bahwa
begitu banyak jendral akan cenderung mendukung
anak itu.
"Hmm, baiklah. Sepintas lalu ucapan Tuan
memang logis, tapi ada perbedaan besar antara
mengurus junjungan berusia dua tahun dan mem-
beri hormat pada seseorang yang cukup usia dan
memiliki kemampuan militer. Jangan lupa, kita,
para pengikut yang masih tersisa, wajib memikul
tanggung jawab untuk menegakkan pemerintahan
dan mengamankan kebijaksanaan jangka panjang
di masa mendatang. Selain itu masih ada berbagai
masalah dengan marga Mori dan Uesugi. Apa jadi-
nya kalau kita memilih junjungan yang masih
kanak-kanak? Perjuangan bekas junjungan kita bisa
terhenti di tengah jalan, dan wilayah marga Oda
bahkan mungkin berkurang. Tidak, jika kita
memilih sikap bertahan, musuh-musuh di keempat
sisi kita tentu akan merasa kesempatan mereka
telah tiba, dan mereka pasti akan menyerang.
Kemudian seluruh negeri akan kembali dilanda
kekacauan. Tidak, aku menganggap gagasan Tuan
terlalu berbahaya. Bagaimana pendapat yang lain?"
Sambil memandang orang-orang yang duduk di
bangsal utama, matanya mencari-cari siapa yang
mungkin mendukungnya. Namun ia bukan saja
tidak menemukan tanggapan tegas, tapi tiba-tiba
matanya beradu dengan tatapan orang lain.
"Katsuie."
Seseorang memanggil namanya dengan nada
menentang yang begitu kental, sehingga terasa
bagai tikaman dari samping.
"Ah, Nagahide, ada apa?" Katsuie langsung
membalas dengan muak, tanpa berpikir lebih
dulu.
"Aku sudah mendengarkan uraianmu yang
penuh kebijakan, tapi mau tak mau aku harus
membenarkan alasan yang dikemukakan Hide-
yoshi. Aku sepenuhnya setuju dengan usul Hide-
yoshi."
Niwa berkedudukan sebagai sesepuh. Setelah
memecahkan keheningan dan menunjukkan
bahwa ia berpihak pada Hideyoshi, Katsuie dan
semua hadirin lain mendadak gelisah.
"Kenapa kau berkata demikian, Niwa?"
Niwa telah mengenal Katsuie selama bertahun-
tahun, dan mengenalnya dengan baik. Karena itu
ia berbicara dengan nada menenangkan, "Jangan
gusar, Katsuie." Sambil memandang Katsuie
dengan ekspresi ramah, ia melanjutkan, "Bagai-
manapun, bukankah Hideyoshi yang paling pandai
menyenangkan hati junjungan kita? Dan ketika
Yang Mulia Nobunaga menemui ajal sebelum
waktunya, Hideyoshi-lah yang kembali dari wilayah
Barat untuk menyerang Mitsuhide yang tak ber-
moral itu."
Katsuie meringis. Tapi ia tak sudi mengaku
kalah, dan pendiriannya tercermin dalam sikap
tubuhnya.
Niwa Nagahide kembali berkata. "Pada waktu
itu, kau sibuk dengan operasi militer di wilayah
Utara. Kalaupun pasukan yang berada di bawah
komandomu tidak siap, seandainya kau bergegas
ke ibu kota setelah menerima kabar mengenai
kematian Yang Mulia Nobunaga, kau tentu
mampu menghancurkan orang-orang Akechi
bagaimanapun, statusmu jauh lebih tinggi diban-
dingkan Hideyoshi. Tapi karena kelalaianmu, kau
terlambat, dan itu patut disesalkan."
Semua yang hadir berpendapat sama, dan
ucapan Niwa mengungkapkan perasaan mereka
yang paling dalam. Kelalaian itulah titik lemah
Katsuie. Keterlambatan yang menyebabkan ia tidak
ikut ambil bagian dalam pertempuran untuk mem-
peringati mendiang junjungan mereka tak dapat
dimaafkan. Setelah mengungkapkan hal tersebut,
Niwa memberikan dukungan pada Hideyoshi
dengan menyebut usulannya sebagai adil dan
pantas.
Setelah Niwa selesai berbicara, suasana di
bangsal utama terasa muram.
Seakan-akan hendak membantu Katsuie, Taki-
gawa segera memanfaatkan kesempatan itu untuk
berbisik-bisik pada orang di sebelahnya, dan dalam
sekejap seluruh ruangan dipenuhi suara-suara
serupa.
Tampaknya kesepakatan semakin sukar ter-
capai. Ini mungkin titik balik bagi marga Oda. Di
permukaan, tak ada apa-apa selain kegaduhan yang
ditimbulkan oleh suara-suara para hadirin, tapi di
baliknya terselip kecemasan mengenai hasil kon-
frontasi antara Katsuie dan Hideyoshi.
Di tengah suasana menyesakkan ini, seorang
ahli seni minum teh masuk dan memberi tahu
Katsuie bahwa hari telah melewati siang. Sambil
mengangguk, Katsuie lalu menyuruh orang itu
membawa sesuatu untuk menyeka keringat dari
tubuhnya. Ketika salah satu pembantunya menye-
rahkan kain puiih yang lembap, ia segera meraih-
nya dengan tangannya yang besar dan menyeka
keringat dari tengkuk.
Pada saat itulah Hideyoshi tiba-tiba memegang
perutnya. Sambil meringis dan mengerutkan alis,
ia berpaling pada Katsuie dan berkata, "Aku
mohon diri sejenak, Tuan Katsuie. Perutku men-
dadak sakit."
Sekonyong-konyong ia berdiri dan meninggal-
kan ruang pertemuan.
"Ampun, sakitnya." ia mengeluh keras-keras,
sehingga orang-orang di sekitarnya menjadi
bingung.
Hideyoshi tampak amat tidak sehat ketika
merebahkan diri di suatu ruangan terpisah.
Namun sepertinya ia masih sanggup menguasai
diri. Ia sendiri mengatur bantal agar dapat meng-
hadap embusan angin dan pekarangan, mem-
belakangi yang lain, dan membuka kerah yang
basah karena keringat.
Baik dokter maupun para pembantu segera
dipanggil. Pengikui-pengikut Hideyoshi pun ber-
datangan satu per satu, untuk mengetahui
keadaannya.
Tapi Hideyoshi menoleh pun tidak. Sambil
tetap membelakangi mereka, ia menggerakkan
tangan, seakan-akan mengusir lalat.
"Ini sudah biasa. Biarkan aku sendiri, dan aku
akan segera membaik."
Para pembantu cepat-cepat menyiapkan ramuan
berbau manis untuk Hideyoshi, dan ia meng-
habiskannya dengan sekali tenggak. Kemudian ia
kembali berbaring dan sepertinya tertidur, sehing-
ga para pembantu dan samurai meninggalkan
ruangan dan menunggu di ruang sebelah.
Ruang rapat berjarak agak jauh, jadi Hideyoshi
tidak mengetahui perkembangan yang terjadi
setelah ia mohon diri. Ia pergi pada waktu para
pembantu berulang kali mengumumkan bahwa
siang telah tiba, sehingga ada kemungkinan para
jendral memanfaatkan kepergiannya dengan me-
nangguhkan rapat untuk makan siang.
Sekitar dua jam berlalu. Selama itu matahari
sore bersinar tanpa ampun. Benteng diliputi ke-
damaian, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Niwa memasuki ruangan dan bertanya, "Bagai-
mana keadaanmu, Hideyoshi? Perutmu sudah
lebih tenang?"
Hideyoshi berbalik dan menopangkan badan
pada satu siku. Melihat wajah Niwa, ia langsung
kembali sadar dan duduk tegak. "Astaga, maafkan
aku!"
"Katsuie minta aku menjemputmu."
"Bagaimana pertemuannya?"
"Kita tidak bisa melanjutkan selama kau belum
hadir. Katsuie memutuskan bahwa kita akan mulai
lagi setelah kau kembali."
"Aku sudah mengungkapkan segenap isi hati-
ku."
"Setelah beristirahat satu jam, sikap para
pengikut tampaknya berubah. Katsuie pun pikir-
pikir lagi."
"Mari kita ke sana."
Hideyoshi berdiri. Niwa tersenyum, tapi Hide-
yoshi sudah melangkah keluar dengan wajah
serius.
Katsuie menyambutnya dengan tatapan tajam,
sementara orang-orang yang berkumpul di sana
kelihatan lega. Suasana ruang rapat telah berubah.
Secara tegas Katsuie menyatakan bahwa ia bersedia
mengalah, dan menerima usul Hideyoshi. Semua-
nya telah sepakat bahwa Samboshi akan dikukuh-
kan sebagai pewaris Nobunaga.
Seiring perubahan pendirian Katsuie, semua
awan mendung yang semula menyelubungi ruang
rapat terhapus seketika. Suasana damai mulai
bangkit.
"Semuanya setuju bahwa Yang Mulia Samboshi
dipandang sebagai pemimpin marga Oda, dan aku
tidak keberatan." Katsuie mengulangi. Menyadari
bahwa pendapatnya sendiri ditolak oleh rekan-
rekannya. Katsuie segera menarik komentar-
komentar sebelumnya, tapi kekecewaannya nyaris
tak tertahankan.
Namun ada satu harapan yang masih digeng-
gamnya.
Harapan itu berkaitan dengan masalah berikut
yang akan dibahas dalam rapat: nasib bekas
wilayah kekuasaan Akechiatau, dengan kata lain,
masalah pembagian wilayah tersebut di antara para
pengikut Oda yang selamat.
Masalah yang secara langsung menyangkut
kepentingan semua jendral ini merupakan
masalah pelik yangbahkan lebih dari persoalan
suksesitak terelakkan.
"Urusan ini seyogyanya diputuskan oleh para
pengikut senior," ujar Hideyoshi yang telah meraih
kemenangan pertama. Pendapatnya ini sangat
memperlancar jalannya rapat.
"Baiklah, bagaimana pandangan pengikut paling
senior?"
Niwa, Takigawa, dan yang lain kini menyelamat-
kan muka Katsuie dengan memberikan peran
sentral padanya.
Namun kehadiran Hideyoshi sukar diabaikan,
dan akhirnya rencana usulan Katsuie pun sampai
ke tangannya. Rupanya rencana itu tak dapat
dirampungkan sebelum menanyakan pendapat
Hideyoshi lebih dulu.
"Ambilkan kuas," ia memerintahkan. Setelah
mencelupkan kuas ke dalam tinta, ia segera men-
coreti tiga atau empat ketentuan dan menambah-
kan pendapatnya sendiri. Setelah itu ia mengem-
balikan rencana usulan tersebut.
Sekali lagi Katsuie membacanya, dan ia tampak
tak senang. Beberapa saat ia merenung sambil
membisu; ketentuan-ketentuan yang memuat
keinginannya masih basah oleh lima yang dicoret-
kan Hideyoshi. Namun Hideyoshi juga mencoret
ketentuan mengenai pengalihan hak atas Benteng
Sakamoto pada dirinya, yang digantinya dengan
Provinsi Tamba.
Dengan memperlihatkan bahwa ia tidak me-
mentingkan diri sendiri, ia berharap Katsuie pun
bersikap demikian. Akhirnya sebagian besar
wilayah Akechi diberikan pada Nobuo dan
Nobutaka, dan sisanya dibagi-bagikan, sesuai jasa
masing-masing orang pada pertempuran Yamazaki.
"Besok masih ada urusan lagi," Katsuie berkata.
"Dan mengingat rapat panjang ini berlangsung
dalam udara begitu panas, aku yakin kalian semua
tentu lelah. Yang jelas, aku merasa letih. Bagai-
mana kalau rapat kita tangguhkan?"
Katsuie akhirnya memilih cara ini agar ter-
hindar dari keharusan untuk segera menanggapi
usul baru Hideyoshi. Tak ada yang keberatan.
Matahari sore bcrsinar cerah, dan udara panas
semakin menyesakkan. Hari pertama telah usai.
Keesokan harinya Katsuie menyodorkan kom-
promi ke hadapan para pengikut senior. Pada
malam sebelumnya ia telah mengumpulkan
pengikut-pengikutnya sendiri, dan mengadakan
perundingan di tempat mereka menginap. Namun
usul baru ini pun ditolak oleh Hideyoshi.
Pada hari yang sama, ketentuan mengenai pem-
bagian wilayah kembali memisahkan kedua orang
itu, dan perselisihan mereka semakin menajam.
Tapi pada umumnya para pembesar lain cen-
derung berpihak pada Hideyoshi. Katsuie mem-
perjuangkan pendiriannya dengan gigih, tapi akhir-
nya usul Hideyoshi-lah yang diterima.
Siang hari diisi masa jeda, dan pada Jam
Kambing, semua keputusan diumumkan kepada
para jendral.
Wilayah yang dibagi-bagikan terdiri atas wilayah
Akechi yang disita serta wilayah pribadi Nobunaga.
Urutan teratas pada daftar pembagian provinsi-
provinsi Oda ditempati oleh Nobuo, yang
menerima seluruh Provinsi Owari, diikuti Nobu-
taka, yang memperoleh Provinsi Mino. Yang
pertama provinsi asal marga Oda; yang satu lagi
rumah kedua Nobunaga.
Namun masih ada dua ketentuan yang me-
rupakan tambahan berarti terhadap usulan semula:
Ikeda Shonyu mendapatkan Osaka, Amagasaki,
dan Hyogo, yang bernilai seratus dua puluh ribu
gantang; Niwa Nagahide memperoleh Wasaka dan
dua distrik di Provinsi Omi. Hideyoshi menerima
Provinsi Tamba.
Satu-satunya pemberian bagi Katsuie adalah
Benteng Nagahama milik Hideyoshi, yang merupa-
kan titik strategis pada jalan dari Echizen, provinsi
asal Katsuie, ke Kyoto. Katsuie telah menuntut
keras agar seluruh provinsi diserahkan kepadanya,
dan dalam hati ia mengharapkan tiga atau empat
distrik lagi, tapi Hideyoshi mencoret semua pem-
berian lain. Hideyoshi hanya mengajukan satu
syarat, yaitu agar Nagahama dianugerahkan pada
Katsutoyo, anak angkat Katsuie.
Malam sebelumnya, para pengikut marga
Shibata mengelilingi Katsuie dan memprotes pem-
bagian yang sedemikian memalukan. Mereka bah-
kan mendesak agar Katsuie menolak rencana itu
dan segera meninggalkan Kiyosu, dan sampai rapat
hari kedua dibuka, Katsuie pun sependapat
dengan mereka. Namun ketika menghadapi orang-
orang yang duduk di bangsal utama, ia menyadari
bahwa tuntutannya takkan diluluskan.
"Meski tidak sepantasnya merendah, aku pun
tak ingin dianggap mau menang sendiri. Sebagian
besar toh akan menyetujui ketentuan-ketentuan
ini. Jadi, kalau aku sendiri yang bersikap menen-
tang, keadaan mungkin akan bertambah buruk."
Di hadapan pendapat para peserta rapat yang
lain, ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali menahan
diri.
Kalau saja aku bisa merebut daerah Nagahama
yang strategis dari tangan Hideyoshi, ia berkata
dalam hati. Namun akhirnya ia hanya berharap
agar maksud terselubung itu dapat dilaksanakan
dalam kesempatan lain, dan ia menerima semua
persyaratan sebagaimana adanya.
Berlawanan dengan Katsuie yang penuh kebim-
bangan. Hideyoshi menampilkan sikap tak peduli.
Sejak operasi militer di wilayah Barat sampai saat
ia meraih kemenangan di Yamazaki, Hideyoshi
telah mengambil alih kepemimpinan dalam bidang
militer dan pemerintahan, dan dengan sendirinya
orang-orang menyangka ia akan memperoleh
bagian lebih besar dibandingkan yang lain. Namun
apa yang diterimanya ternyata tak lebih dari
Provinsi Tamba. Ia melepaskan wilayah Nagahama
dan menyerahkan Sakamotoyang oleh semua
orang dianggap patut diambilnyakepada Niwa.
Dan Sakamoto merupakan kunci ke Kyoto.
Mungkinkah ia sengaja mengabaikan Sakamoto,
agar jelas bahwa ia tak bermaksud memegang
tampuk pemerintahan? Ataukah ia berpendapat
bahwa urusan sepele seperti itu sebaiknya ditentu-
kan secara bersama dalam kelompok, karena ia
yakin mereka akan mengambil keputusan yang
tepat? Saat itu belum ada satu orang pun yang
dapat menyelami isi hatinya. (Created by syauqy_arr)
Peringatan Tengah Malam

RAPAT akhirnya memutuskan bahwa provinsi


pewaris Nobunaga, Samboshi, adalah tiga ratus
ribu gantang di Omi. Hasegawa Tamba dan Maeda
Geni ditetapkan sebagai pelindung junjungan
muda itu, tapi mereka dibantu oleh Hideyoshi.
Azuchi telah dimakan api, dan sampai benteng
baru selesai dibangun, Samboshi akan berdiam di
Benteng Gifu.
Kedua paman Samboshi, Nobuo dan Nobutaka
bertindak sebagai walinya. Selain pasal-pasal ter-
sebut, masih ada masalah struktur pemerintahan.
Tanggung jawab untuk mengutus jendral-jendral
ke Kyoto sebagai wakil marga Oda diserahkan pada
Katsuie, Hideyoshi, Niwa, dan Shonyu.
Usul-usul tersebut segera diterima. Pada upacara
penutupan, sumpah setia pada junjungan yang
baru ditandatangani dan diucapkan di muka
tempat persembahan untuk Nobunaga.
Hari ini hari ketiga Bulan Ketujuh. Upacara
pertama untuk memperingati kematian Nobunaga
seharusnya diselenggarakan pada hari sebelumnya.
Seandainya rapat berjalan lancar, upacara itu
mungkin dapat diadakan pada hari yang tepat, tapi
akibat sikap Katsuie, malam pun berlalu dan
upacara peringatan ditunda sampai keesokan
harinya.
Sambil mengeringkan peluh yang membasahi
tubuh dan berganti baju duka, para jendral me-
nanti jam yang telah ditentukan untuk upacara
peringatan di tempat persembahan benteng.
Kawanan nyamuk berkerumun di bawah atap,
dan bulan muda tampak mengambang di langit.
Dengan tenang para jendral melintasi pekarangan.
Kembang teratai berwarna merah dan putih ter-
gambar pada pintu geser tempat persembahan.
Satu per satu mereka melangkah masuk dan
duduk.
Hanya Hideyoshi yang tidak muncul. Para
jendral membelalakkan mata, seakan-akan tak
percaya. Tapi ketika memandang ke arah altar yang
jauh di depan, mereka melihat Hideyoshi duduk
tenang di bawah altar, sambil memangku Sam-
boshi.
Semuanya bertanya-tanya, apa gerangan maksud
Hideyoshi. Namun ketika mereka memikirkannya
lebih jauh, mereka teringat bahwa berdasarkan
keputusan rapatlah ia dijadikan pembina sang
Junjungan Muda, disamping kedua walinya. De-
ngan demikian, ia tak dapat dianggap bersikap
lancang.
Dan, semata-mata karena tidak menemukan
alasan untuk mencela Hideyoshi, Katsuie tampak
teramat tidak senang.
"Harap menuju altar dalam urutan yang tepat,"
Katsuie menggeram pada Nobuo dan Nobutaka.
Suaranya rendah, dan ia hampir meledak karena
jengkel.
"Permisi," ujar Nobuo pada Nobutaka, lalu ber-
diri.
Kini giliran Nobutaka mendongkol. Rupanya ia
enggan dinomorduakan di hadapan para jendral,
karena merasa hal tersebut akan menempatkannya
dalam posisi lebih rendah di masa mendatang.
Nobuo menghadap lempeng peringatan ayah-
nya, memejamkan mata, dan merapatkan tangan
untuk berdoa. Setelah membakar dupa, ia sekali
lagi berdoa di depan altar, lalu mundur.
Melihat gelagat bahwa Nobuo hendak langsung
kembali ke tempat duduknya. Hideyoshi ber-
deham, seakan-akan bermaksud mengingatkan
Nobuo akan kehadiran Samboshi yang duduk di
pangkuannya. Tanpa perlu berkata. "Junjunganmu
yang baru ada di sini!" ia menarik perhatian
Nobuo.
Nobuo tampak kaget, dan sambil tetap berlutut,
ia cepat-cepat berpaling ke arah mereka. Pada
dasarnya ia memang lemah, dan sikapnya menim-
bulkan perasaan iba.
Sambil menatap Samboshi, Nobuo membung-
kuk penuh hormat. Sesungguhnya ia malah ter-
lampau sopan.
Bukan sang Junjungan Muda yang membalas
dengan anggukan kepala, melainkan Hideyoshi.
Samboshi anak manja yang nakal, tapi entah
kenapa, di pangkuan Hideyoshi ia setenang
boneka kecil.
Setelah Nobutaka berdiri, ia pun memanjatkan
doa di hadapan arwah ayahnya. Tapi karena telah
menyaksikan kejadian yang menimpa Nobuo dan
tak ingin ditertawakan oleh para jendral lain, ia
membungkuk dengan sikap pantas. Kemudian ia
kembali ke tempat duduknya.
Giliran berikut jatuh pada Shibata Katsuie.
Ketika ia berlutut di muka tempat persembahan,
tubuhnya yang besar hampir menutupi altar.
Kembang teratai berwarna putih dan merah pada
dinding-dinding penyekat serta cahaya lentera yang
berkelap-kelip menyebabkan badannya seakan-
akan terselubung api kemurkaan. Barangkali ia
memberikan laporan panjang-lebar mengenai jalan-
nya rapat kepada arwah Nobunaga, atau meng-
ucapkan sumpah setia pada junjungannya yang
baru. Tapi setelah menyalakan dupa, Katsuie
duduk lama sambil berdoa dengan tangan saling
menempel. Lalu, memilih mundur sekitar tujuh
langkah, ia meluruskan punggung dan berpaling
ke arah Samboshi.
Karena Nobuo dan Nobutaka telah memberi-
kan penghormaian kepada Samboshi, Katsuie tak
dapat mengabaikan kewajiban tersebut. Mungkin
karena berpikir tak ada pilihan lain, ia menggigit
bibir dan mcmbungkuk.
Sekali lagi Hideyoshi yang mengangguk-angguk
untuk menerima penghormatan yang diberikan
pada Samboshi. Katsuie langsung melengos dan
kembali ke tempat duduknya. Setelah itu ia
duduk sambil merengut.
Niwa, Takigawa, Shonyu, Hachiya, Hosokawa,
Gamo, Tsutsui, dan para jendral lain memberikan
penghormatan. Kemudian mereka pindah ke
ruang jamuan makan, dan atas undangan janda
Nobutada, duduk untuk bersantap. Meja-meja
disiapkan untuk lebih dari tempat puluh tamu.
Cawan-cawan diedarkan dan lentera-lentera ber-
kelap-kelip dalam embusan angin senja yang sejuk.
Ketika mereka mulai berbincang-bincang santai
untuk pertama kali dalam dua hari terakhir,
masing-masing merasa agak mabuk.
Jamuan makan malam itu agak berbeda dari
biasanya, karena diadakan seusai upacara per-
ingatan, sehingga tak ada yang sampai benar-benar
mabuk. Meski demikian, ketika pengaruh sake
mulai terasa, para jendral berdiri untuk mengobrol
dengan yang lain, dan tawa serta percakapan seru
terdengar di sana-sini.
Kerumunan orang terlihat di hadapan Hide-
yoshi. Dan kemudian satu orang lagi bergabung.
"Bolehkah aku minta cawan?" tanya Sakuma
Genba.
Keperkasaan yang diperlihatkan Genba dalam
pertempuran-pertempuran di wilayah Utara selalu
dipuji-puji, dan konon tak ada musuh yang ber-
jumpa dua kali dengannya. Kasih sayang Katsuie
bagi orang itu luar biasa. Ia suka menyebutnya
sebagai "Genba-ku", atau "keponakanku", dan
dengan bangga ia membeberkan kecakapan militer
yang dimiliki Genba.
Katsuie mempunyai banyak keponakan. tapi
jika ia berkata "keponakanku'. yang dimaksudnya
hanya Genba seorang.
Meski Genba baru berusia dua puluh delapan
tahun, ia memimpin Benteng Uyama sebagai
jendral marga Shibata, dan ia mempunyai provinsi
dan pangkat yang boleh dibilang tak kalah di-
bandingkan para jendral besar yang berkumpul di
ruang jamuan makan.
"Hai, Hideyoshi," ujar Katsuie. "Berikan cawan
pada keponakanku ini."
Hideyoshi menoleh, seakan-akan baru me-
nyadari kehadiran Genba.
"Keponakan?" ia berkata sambil mengamati
pemuda itu. "Ah, kau," Penampilan Genba
memang sesuai bagi seorang pahlawan yang men-
jadi buah bibir semua orang, dan tubuhnya yang
kekar menyebabkan Hideyoshi tampak semakin
pendek dan lemah.
Namun Genba tidak memiliki wajah penuh
bekas cacar seperti pamannya. Ia berkulit putih
tapi gelap, dan sepintas lalu alisnya menyerupai
harimau, sementara tubuhnya bagaikan macan
tutul.
Hideyoshi menyerahkan sebuah cawan pada
Genba.
Tapi Genba menggelengkan kepala. "Kalau aku
diberi cawan, aku minta yang besar itu."
Cawan yang dimaksudnya masih berisi sedikit
sake.
Tanpa pikir panjang Hideyoshi membuangnya
dan berseru. "Mana pelayan?"
Mulut botol bersepuh emas menyentuh bibir
cawan berwarna merah terang, dan meski isi botol
itu segera tertuang habis, cawannya belum penuh.
Seseorang lalu membawa botol berikut, dan cawan
diisi sampai luber.
Si pahlawan muda yang tampan menyipitkan
mata, menempelkan cawan ke bibir, dan meng-
habiskan isinya dengan sekali tenggak. "Nah, bagai-
mana dengan Tuan sendiri."
"Aku tidak mempunyai kemampuan seperti
itu," ujar Hideyoshi sambil tersenyum.
Mendengar penolakan Hideyoshi, Genba men-
desak.
"Mengapa Tuan tidak mau minum?"
"Aku tidak kuat minum banyak."
"Apa? Sedikit saja."
"Aku minum, tapi tidak banyak."
Genba tergelak. Kemudian ia berkata, cukup
keras untuk didengar semua orang. "Desas-desus
yang beredar ternyata benar. Tuan Hideyoshi
memang pandai mencari alasan, dan dia orang
yang rendah hati. Dulu sekalilebih dari dua
puluh tahun laludia pesuruh yang bertugas
menyapu kotoran kuda dan membawa sandal Yang
Mulia Nobunaga. Sungguh mengagumkan bahwa
dia belum melupakan masa itu."
Ia tertawa karena kelancangannya sendiri. Yang
lain tentu saja terkesima. Segala percakapan men-
dadak terhenti, dan semua orang memandang
bolak-balik antara Hideyoshi, yang masih duduk di
depan Genba, dan Katsuie.
Seketika semua orang melupakan cawan
masing-masing. Hideyoshi hanya tersenyum ketika
menatap Genba. Dengan kesabaran seorang laki-
laki berusia empat puluh lima tahun, ia meman-
dang pemuda berumur dua puluh delapan tahun
di hadapannya. Perbedaan di antara mereka
bukan sekadar perbedaan usia belaka. Perjalanan
hidup Hideyoshi selama dua puluh delapan tahun
pertama dan jalan yang ditempuh Genba sepan-
jang hayatnya sangat berlainan, baik dari segi ling-
kungan maupun pengalaman. Genba dapat dipan-
dang sebagai anak kecil yang tak mengenal pen-
deritaan dunia sesungguhnya. Oleh sebab itu ia di-
kenal sombong dan berani. Dan rupanya ia ter-
masuk orang yang merasa tak perlu bersikap
waspada di suatu tempat yang lebih berbahaya di-
bandingkan medan perang mana punsebuah
ruangan tempat semua pemimpin saat itu ber-
kumpul.
"Tapi, Hideyoshi, ada satu hal yang tak bisa ku-
terima. Tunggu, dengar dulu. Hideyoshi. Kau
punya telinga untuk mendengar?" Genba berseru-
seru dengan lancang. Sikap kurang ajarnya bukan
karena pengaruh sake semata-mata, melainkan
lebih karena ada sesuatu yang mengganjal di hati-
nya. Namun Hideyoshi menganggap ucapannya se-
bagai ocehan orang mabuk, dan menanggapinya
dengan tenang.
"Kau mabuk," katanya.
"Apa?!" Genba menggelengkan kepala dengan
tegas dan menegakkan tubuh. "Ini bukan masalah
sepele yang bisa ditimpakan pada sake yang ku-
minum. Dengar. Di tempat persembahan tadi,
ketika Yang Mulia Nobuo dan Yang Mulia Nobu-
taka serta semua jendral lain datang untuk meng-
hormati arwah Yang Mulia Nobunaga, bukankah
kau duduk di kursi kehormatan sambil memangku
Yang Mulia Samboshi dan memaksa mereka mem-
bungkuk ke arahmu, satu demi satu?"
"Wah, wah," ujar Hideyoshi, tertawa.
"Apa yang kautertawakan? Apa yang kauanggap
lucu, Hideyoshi? Aku yakin kau sengaja meman-
faatkan Yang Mulia Samboshi agar kau, yang tak
berarti apa-apa, bisa menerima penghormatan
keluarga Oda dan para jendralnya. Ya, itu dia. Dan
seandainya aku hadir, dengan senang hati aku
akan mencopot kepalaku. Yang Mulia Katsuie dan
orang-orang terpandang yang duduk di sini begitu
pemurah, sehingga aku jadi tak sabar, dan..."
Saat itulah Kaisuie, yang duduk berjarak dua
kursi dari Hideyoshi, mereguk isi cawannya sampai
habis dan memandang berkeliling. "Genba, apa
maksudmu bicara seperti ini mengenai orang lain?
Tuan Hideyoshi, keponakanku tidak bermaksud
jahat. Jadi jangan hiraukan dia," ia berkata sambil
tertawa.
Hideyoshi tak bisa marah dan tak sanggup pula
tertawa. Ia telah ditempatkan ke dalam posisi di
mana ia hanya dapat memaksakan senyum tipis,
tapi penampilannya memang cocok untuk situasi
seperti itu.
"Tuan Katsuie, jangan ambil pusing. Tidak apa-
apa." ujar Hideyoshi. Ia jelas-jelas berlagak mabuk.
"Jangan pura-pura, Monyet. Hei, Monyet!"
Genba bersikap lebih congkak daripada biasanya.
"'Monyet! Wah, kali ini lidahku tergelincir, tapi di
pihak lain memang tidak mudah mengubah nama
yang begitu umum digunakan selama dua puluh
tahun. 'Monyet.' Itulah yang teringat olehku. Dulu
sekali, dia pesuruh mirip monyet yang bekerja
membanting tulang di Bcnteng Kiyosu. Saat itu
pamanku sesekali bertugas jaga malam. Menurut
cerita yang kudengar, suatu malam pamanku
merasa jemu dan mengajak Monyet menemaninya.
Pamanku lalu memberikan sedikit sake padanya.
Setelah bosan minum-minum, pamanku akhirnya
berbaring dan minta agar kakinya dipijat. Monyet
yang tahu diri itu dengan senang hati menuruti
permintaannya."
Semua orang yang hadir mendadak tak lagi
merasakan pengaruh sake yang menyenangkan.
Wajah mereka menjadi pucat, sementara mulut
masing-masing terasa kering. Ini bukan situasi
biasa. Bukan tak mungkin bahwa di balik dinding-
dinding, di bayang-bayang pepohonan, serta di
bawah lantai terdapat pedang, tombak, dan busur
yang disembunyikan oleh orang-orang Shibata.
Bukankah mereka terus berupaya memancing
Hideyoshi agar bertindak sembrono? Sebuah
perasaan ganjil, yang dialami oleh semua orang,
mulai tumbuh dari perasaan tak percaya, dan
perasaan itu terbawa oleh angin senja dan bayang-
bayang lentera-lentera yang berkelap-kelip. Musim
panas telah mencapai puncaknya, tapi semua
orang mendadak merinding.
Hideyoshi menunggu sampai Genba selesai, lalu
tertawa terbahak-bahak.
"Ah, Tuan Keponakan, aku tak tahu dari mana
kaudengar cerita itu, tapi kau membangkitkan
kenangan indah. Dua puluh tahun silam, monyet
tua ini dikenal pandai memijat, dan seluruh marga
Oda sempat kuremas-remas. Bukan kaki Tuan
Katsuie saja yang pernah merasakan pijatanku.
Lantas, ketika aku diberi gula-gula sebagai imbalan,
ah, betapa nikmat rasanya! Mengenang masa itu,
aku jadi ingin mencicipi gula-gula itu sekali lagi."
Hideyoshi kembali tertawa.
"Paman dengar itu?" Genba bertanya sambil ber-
megah-megah. "Berikanlah sesuatu pada Hide-
yoshi. Kalau Paman minta kaki Paman dipijat
sekarang, siapa tahu dia mau melakukannya."
"Jangan bawa permainan ini terlampau jauh,
Genba. Tuan Hideyoshi, dia hanya main-main."
"Tidak apa-apa. Sekarang pun aku masih suka
memijat kaki orang."
"Dan siapa gerangan orang itu?" Genba bertanya
sambil tersenyum mencemooh.
"Ibuku. Tahun ini usia beliau tujuh puluh
tahun, dan memijat kakinya merupakan kese-
nangan tersendiri bagiku. Namun, karena aku
begitu lama berada di medan perang, belakangan
ini aku tak sempat merasakan kesenangan itu.
Baiklah, sekarang aku mohon diri dulu, tapi yang
lain silakan teruskan acara ini."
Hideyoshi orang pertama yang meninggalkan
jamuan makan. Ketika ia pergi dan menyusuri
selasar utama, tak seorang pun berdiri untuk men-
cegahnya. Justru sebaliknya, para pembesar lain
merasa bahwa ia bertindak dengan arif dan semua-
nya terbebas dari perasaan bahaya yang sempat
meliputi mereka.
Dua pelayan tiba-tiba muncul dari ruangan di
dekat pintu masuk, tempat mereka disuruh me-
nunggu, lalu segera menyusulnya. Mereka pun
merasakan suasana yang menguasai benteng
selama dua hari terakhir. Tapi Hideyoshi tidak
memperkenankan para pengikutnya memasuki
benteng dalam jumlah besar, jadi pada waktu
kedua pelayan itu melihat majikan mereka dalam
keadaan aman, pikiran mereka pun langsung
tenang.
Mereka sudah berada di luar dan sedang
mengumpulkan para pembantu dan kuda ketika
mereka mendengar sebuah suara memanggil dari
belakang.
"Tuan Hideyoshi! Tuan Hideyoshi!"
Seseorang mencarinya di lapangan yang gelap
dan terbuka. Bulan sabit tampak mengambang di
langit. "Aku di sebelah sini."
Hideyoshi sudah duduk di atas kuda. Takigawa
Kazumasu segera menghampirinya.
"Ada apa?" Hideyoshi bertanya. Ia menatap
Takigawa, seperti seorang junjungan menatap
pengikutnya.
Takigawa berkata, "Tuan pasti marah sekali.
Tapi semuanya hanya akibat sake. Dan keponakan
Tuan Katsuie masih muda, seperti Tuan lihat
sendiri. Kuharap Tuan sudi memaafkannya,"
Kemudian ia menambahkan. "Ini sesuatu yang
sudah dibicarakan sebelumnya, dan Tuan mung-
kin sudah lupa, tapi pada hari keempatbesok
akan diadakan perayaan untuk mengumumkan
suksesi Yang Mulia Samboshi, jadi jangan sampai
Tuan tidak datang. Tuan Katsuie menekankan hal
ini setelah Tuan meninggalkan jamuan makan."
"Begitukah? Hmm..."
"Jagalah supaya Tuan hadir."
"Aku mengerti."
"Dan sekali lagi, mengenai kejadian tadi. Ku-
harap Tuan sudi melupakannya. Aku telah mem-
beritahu Tuan Katsuie bahwa Tuan berjiwa besar,
dan tentu tidak tersinggung oleh kelakar pemuda
mabuk."
Kuda Hideyoshi sudah mulai berjalan. "Ayo!" ia
berseru kepada para pelayan, dan nyaris menabrak
Takigawa.
Penginapan Hideyoshi terletak di bagian barat
kota, tempat ia bermalam itu terdiri atas kuil Zen
yang kecil dan rumah milik keluarga kaya yang
disewanya. Anak buahnya dan kuda-kuda tidur di
kuil, sementara ia sendiri menempati satu lantai di
dalam rumah.
Sebenarnya ia bisa dengan mudah ditampung
oleh keluarga tersebut, tapi ia disertai sekitar tujuh
ratus sampai delapan ratus pengikut. Namun
jumlah itu tidak seberapa besar, sebab menurut
desas-desus, marga Shibata membawa sekitar
sepuluh ribu prajurit ke Kiyosu.
Begitu Hideyoshi kembali ke tempatnya meng-
inap, ia mengeluh mengenai asap yang memenuhi
rumah itu. Setelah memerintahkan agar jendela-
jendela dibuka, ia segera membuka jubah
kebesarannya dengan lambang bunga paulouwnia.
Kemudian ia menanggalkan seluruh pakaiannya
dan mengatakan ingin mandi.
Karena menyangka majikannya sedang gusar.
dengan hati-hati pelayannya menuangkan seember
air panas ke punggung Hideyoshi. Tapi Hideyoshi
malah menguap ketika memberamkan diri di
dalam bak. Kemudian, seakan-akan meregangkan
tangan dan kaki, ia mendesah. "Ah, sekarang aku
mulai santai. Kelambunya sudah dipasang?"
"Kelambu sudah kami siapkan, tuanku." jawab
para pelayan yang memegang baju tidurnya.
"Bagus, bagus. Sebaiknya kalian semua harus
tidur cepat. Dan beritahu para prajurit yang ber-
tugas jaga." ujar Hideyoshi dari balik kelambu.
Pintu-pintu ditutup, tapi jendela-jendela tetap
terbuka, agar angin dapat masuk. Cahaya bulan
seakan-akan bergetar. Hideyoshi mulai mengantuk.
"Tuanku?" seseorang memanggil dari luar.
"Ada apa? Kaukah itu, Mosuke?"
"Benar, tuanku. Kepala Biara Arima ada di sini.
Dia ingin bertemu empat mata dengan tuanku."
"Apa? Arima?"
"Hamba telah memberitahunya bahwa tuanku
sudah tidur, tapi dia terus mendesak."
Sejenak tidak terdengar apa-apa dari balik
kelambu. Akhirnya Hideyoshi berkata. "Suruh dia
masuk. Tapi sampaikan permintaan maaf karena
aku tidak turun dari tempat tidur, dan katakan
bahwa aku jatuh sakit di benteng dan sudah
minum obat."
Mosuke terdengar menuruni tangga. Kemudian
seseorang menaiki tangga, dan tak lama kemudian
seorang laki-laki telah berlutut di lantai kayu, di
depan tempat tidur Hideyoshi.
"Para pembantu Tuan memberitahuku bahwa
Tuan sudah tidur, tapi..."
"Tuan Kepala Biara?"
"Ada hal penting yang perlu kusampaikan, jadi
aku memberanikan diri datang malam-malam
begini."
"Setelah mengikuti rapat marga selama dua hari.
aku lelah jiwa raga. Tapi apa yang membawa Tuan
ke sini di tengah malam buta?"
Kepala biara itu berkata pelan-pelan. "Tuan
hendak menghadiri jamuan makan untuk Yang
Mulia Samboshi di benteng besok?"
"Hmm, mungkin aku bisa datang kalau aku
minum obat dulu. Rasanya aku hanya terkena
panas yang terlampau kuat, lagi pula orang-orang
tentu akan gusar sekiranya aku tidak hadir."
"Barangkali penyakit Tuan ini justru suatu
berkah."
"Wah, mengapa Tuan berkata demikian?"
"Beberapa jam lalu. Tuan meninggalkan jamuan
makan sebelum usai. Tak lama setelah itu, tinggal
orang-orang Shibata dan sekutu-sekutu mereka
yang masih berada di sana, dan tampaknya mereka
diam-diam membahas sesuatu. Aku tidak tahu
pasti apa yang mereka bicarakan, tapi Meeda Geni
juga curiga, dan akhirnya kami pun mencuri
dengar."
Si kepala biara tiba-tiba terdiam, dan mengintip
ke dalam kelambu, seakan-akan ingin memastikan
Hideyoshi mendengarkannya.
Seekor kumbang berwarna biru muda mengerik
di sudut kelambu. Hideyoshi masih berbaring
seperti sebelumnya, memandang langit-langit.
"Silakan teruskan cerita Tuan."
"Kami tidak tahu persis rencana mereka, tapi
kami yakin Tuan takkan dibiarkan hidup. Besok,
pada waktu Tuan datang ke benteng, mereka
hendak membawa Tuan ke sebuah ruangan, meng-
hadapkan Tuan dengan daftar kesalahan Tuan,
lalu memaksa Tuan melakukan seppuku, jika Tuan
menolak, mereka bermaksud membunuh Tuan.
Kecuali itu, mereka akan menempatkan prajurit-
prajurit di dalam benteng, dan bahkan menguasai
kota benteng."
"Hmm, ini cukup mencemaskan."
"Sebenarnya Geni sendiri ingin datang ke sini
untuk memperingatkan Tuan, tapi kepergiannya
dari benteng tentu akan menarik perhatian, jadi
aku yang datang. Kalau Tuan sedang sakit
sekarang, itu pasti suatu tanda dari para dewa.
Mungkin ada baiknya kalau Tuan tidak meng-
hadiri perayaan besok."
"Entah apa yang harus kulakukan."
"Aku berhadap Tuan tidak datang. Jangan pergi
ke sana."
"Jamuan itu diadakan untuk merayakan pelan-
tikan Yang Mulia Samboshi, dan semuanya wajib
hadir. Aku berterima kasih atas maksud baik
Tuan. Terima kasih banyak."
Di balik kelambu, Hideyoshi menempelkan
tangan dan berdoa ke arah Kepala Biara yang baru
saja pergi.
Hideyoshi sangat ahli dalam hal tidur. Terlelap
seketika, di mana pun seseorang berada, tampak-
nya mudah, tapi sebenarnya kemampuan itu sukar
tercapai.
Ia mengembangkan kemampuan misterius ini,
yang begitu dekat dengan pencerahan, karena ter-
desak keadaan, dan ia telah merangkumnya men-
jadi semacam semboyan yang selalu ia ikuti, baik
untuk mengurangi tekanan di medan perang
maupun untuk menjaga kesehatannya sendiri.
Masa bodoh. Bagi Hideyoshi, ungkapan seder-
hana ini merupakan jimat.
Sikap masa bodoh mungkin tak dipandang se-
bagai sikap yang patut dibanggakan, tapi sikap
itulah yang melandasi kemampuan tidur Hide-
yoshi. Ketidaksabaran, angan-angan, kasih sayang,
kebimbangan, urgensisegala bentuk ikatan ter-
putus seketika pada waktu ia memejamkan mata,
dan ia tidur dengan pikiran sebersih kertas putih
yang belum tercoret. Dan sebaliknya, pada saat
terbangun, ia langsung sadar sepenuhnya.
Tapi sikap masa bodoh tidak hanya diguna-
kannya pada waktu bertempur dengan cerdik atau
saat segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Sepan-
jang perjalanan hidupnya, ia telah melakukan
banyak kesalahan, tapi tak sekali pun ia merenungi
kegagalan-kegagalan atau pertempuran-pertem-
puran yang berakhir dengan kekalahan. Pada
kesempatan seperti itu, ia selalu teringat semboyan-
nya: masa bodoh.
Kesungguh-sungguhan yang sering dibicarakan
orangketetapan hati yang tak tergoyahkan. Ke-
gigihan, atau konsentrasi pada satu hal bukanlah
sesuatu yang istimewa bagi Hideyoshi, melainkan
merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Jadi, bagi Hideyoshi jauh lebih penting mencapai
sikap masa bodoh yang memberi peluang padanya
untuk melepaskan diri dari sifat-sifat itumeski
hanya sejenakagar ia dapat menarik napas lega.
Sebaliknya, dengan sendirinya ia menyerahkan
masalah hidup dan mati pada konsep yang satu
itu: masa bodoh.
Ia hanya berbaring sebentar. Satu jamkah ia ter-
tidur?
Hideyoshi bangun. Ia menuruni tangga dan
menuju kamar kecil. Seketika orang yang sedang
bertugas jaga berlutut di lantai kayu sambil meme-
gang lampion. Segera setelah itu, ketika ia keluar
dari toilet, orang lain membawa mangkuk kecil
berisi air, dan setelah mendekat, mengguyurkan
airnya ke tangan Hideyoshi.
Hideyoshi mengeringkan tangan dan memper-
hatikan posisi bulan di atas atap. Kemudian ia
berpaling pada kedua pelayannya dan bertanya,
"Gonbei ada di sini?"
Ketika orang yang ditanyai muncul, Hideyoshi
mulai menuju tangga dan menoleh ke arah
Gonbei sambil berjalan.
"Pergi ke kuil dan beritahu orang-orang bahwa
kita akan berangkat. Susunan prajurit serta nama
jalan-jalan yang harus dilewati sudah dicatat waktu
kita meninggalkan benteng semalam, dan diserah-
kan pada Asano Yahei, jadi mintalah petunjuk dari
dia."
"Baik, tuanku."
"Tunggu dulu. Ada yang lupa kukatakan. Suruh
Kumohachi menemuiku."
Suara langkah Gonbei terdengar menyusuri
rumpun pohon di belakang rumah, lalu menuju ke
arah kuil. Setelah ia pergi, Hideyoshi segera menge-
nakan baju tempur dan keluar.
Penginapan Hideyoshi berada di dekat per-
simpangan jalan Raya Ise dan Jalan Raya Mino. Ia
berbelok ke pojok gudang dan berjalan ke arah
persimpangan.
Kumohachi, yang baru saja menerima panggilan
Hideyoshi, bergegas menyusulnya sambil ter-
huyung-huyung. "Hamba siap menjalankan perin-
tah!" Ia berputar dan berlutut di hadapan
Hideyoshi.
Kumohachi prajurit berusia tujuh puluh lima
tahun, tapi ia tak mudah dikalahkan oleh orang-
orang yang lebih muda. Hideyoshi melihat ia
datang mengenakan baju tempur.
"Wah, urusan ini tidak memerlukan baju
tempur. Aku minta kau melakukan sesuatu di pagi
hari. Aku ingin kau tinggal di sini."
"Di pagi hari? Maksud tuanku, di benteng?"
"Benar. Kau segera paham, berkat pengalaman
dari masa pengabdianmu yang panjang. Kuminta
kau menyampaikan pesan ke benteng bahwa aku
jatuh sakit semalam, dan mendadak harus kembali
ke Nagahama. Katakan juga aku sangat menyesal
karena tak dapat menghadiri perayaan, tapi ber-
harap semuanya berjalan lancar. Aku bisa mem-
bayangkan Katsuie dan Takigawa akan termenung-
menung untuk beberapa saat, jadi aku ingin kau
menunggu di sana sambil berlagak pikun dan tuli.
Jangan berikan tanggapan terhadap apa pun yang
kaudengar, lalu tinggalkan tempat itu, seakan-akan
tidak terjadi apa-apa."
"Hamba mengerti, tuanku."
Tubuh prajurit itu bungkuk seperti udang, tapi
tombaknya tak pernah lepas dari tangan. Ia
memberi hormat sebelum berdiri, lalu memutar
tubuhnya, seakan-akan keberatan baju tempur, dan
melangkah pergi.
Hampir semua orang di kuil telah berbaris di
jalan di muka gerbang. Setiap korps, yang ditandai
oleh panji masing-masing, dibagi-bagi menjadi
beberapa kompi. Para komandan siaga di atas
kuda, di depan unit-unit itu.
Api pada sumbu-sumbu tampak berkelap-kelip,
namun tak satu obor pun dinyalakan.
Bulan di langit menyerupai sabit. Menyusuri
pepohonan di tepi jalan, ketujuh ratus prajurit itu
bergoyang-goyang dalam kegelapan, seperti ombak
di tepi pantai.
"Hei! Yahei!" Hideyoshi berseru ketika mele-
wati barisan prajurit dan perwiranya. Wajah orang
sukar dikenali di bawah bayang-bayang pe-
pohonan, dan tiba-tiba muncul laki-laki pendek
dengan tongkat bambu. yang diikuti enam atau
tujuh orang lain. Sebagian besar prajurit mungkin
menyangka ia pemimpin sckelompok kuli barang,
tapi ketika mereka menyadari bahwa ia Hideyoshi,
mereka segera terdiam dan memundurkan kuda
agar tidak menghalangi jalannya.
"Hamba di sini! Di sebelah sini!"
Asano Yahei berada di kaki tangga. Ia sedang
memberikan petunjuk pada sekelompok orang.
Ketika mendengar suara Hideyoshi, ia segera me-
nyelesaikan penjelasannya dan bergegas meng-
hampiri junjungannya itu.
"Kau sudah siap?" Hideyoshi bertanya tak sabar,
hampir tidak memberi kesempatan padanya untuk
berlutut. "Kalau semuanya sudah beres, berangkat-
lah segera."
"Ya, tuanku, kami sudah siap."
Setelah mengambil panji komandan berlam-
bang labu emas yang disandarkan di sudut
gerbang, ia membawanya ke tengah-tengah barisan
dan langsung menaiki kudanya.
Hideyoshi berangkat, disertai para pelayan pri-
badinya dan sekitar tiga puluh penunggang kuda.
Biasanya dalam kesempatan seperti ini sangkakala
dibunyikan, tapi saat ini keadaan ridak memung-
kinkan. Yahei telah menerima kipas komandan
berwarna emas dari Hideyoshi, dan melambaikan-
nya satu kali, dua kali, lalu untuk ketiga kali.
Dengan aba-aba ini, pasukan berkekuatan tujuh
ratus orang mulai bergerak.
Kepala barisan lalu berubah arah dan lewat di
hadapan Hideyoshi. Semua komandan korps me-
rupakan pengikut-pengikut kepercayaan. Hanya
sedikit veteran berpengalaman yang terlihat, mung-
kin karena sebagian besar ditinggalkan di benteng-
benteng Hideyoshi di Nagahama, Himeji, dan
tempat-tempat lain.
Tengah malam, para prajurit Hideyoshi ber-
tolak dari Benteng Kiyosu.
Sepertinya mereka menyertai junjungan mere-
ka. Setelah membelok ke Jalan Raya Mino, mereka
mengawali perjalanan ke Nagahama.
Hideyoshi sendiri berangkat segera setelah itu.
Rombongan yang menyertainya hanya berjumlah
tiga puluh atau empat puluh orang. Ia menempuh
rute yang berbeda sama sekali, dan bergegas me-
lewati jalan-jalan kecil di tempat tak seorang pun
akan memergokinya. Menjelang fajar keesokan
harinya, ia akhirnya tiba di Nagahama.
***

"Kita gagal, Genba." ujar Katsuie.


"Tidak, rencana kita sebenarnya sudah
sempurna."
"Apa ada rencana yang sempurna? Entah di
mana kita membuat kesalahan, dan karena itulah
ikannya bisa lolos dari jaring."
"Hmm, aku sudah memperingatkan Paman. Jika
Paman hendak bertindak, jangan bertindak
setengah-setengah! Kalau saja kita menyerang
tempat bermalam bajingan itu, kepala Hideyoshi
tentu sudah berada di hadapan kita sekarang. Tapi
Paman berkeras memilih jalan diam-diam. Seka-
rang semua usaha kita sia-sia, karena Paman tidak
mau mendengarkanku."
"Ah, kau masih hijau. Kau menyuruhku
memakai rencana yang timpang, sedangkan
rencana yang kususun lebih baik. Strategi terbaik
adalah menunggu sampai Hideyoshi datang ke
benteng, lalu memaksanya membelah perutnya
sendiri. Tak ada yang lebih baik dari itu. Tapi
berdasarkan laporan semalam. Hideyoshi tiba-tiba
meninggalkan tempatnya menginap. Mula-mula
kupikir kita memang sial, tapi kemudian aku
berubah pikiran. Kalau si haram jadah itu mening-
galkan Kiyosu malam-malam, itu justru suatu
berkah dari para dewa. Berhubung dia pergi tanpa
pemberitahuan sebelumnya, aku bisa melaporkan
segala kejahatannya. Kau kusuruh menjebak dan
membunuhnya dalam perjalanan, agar keadilan
dapat ditegakkan."
"Sejak awal Paman telah membuat kesalahan."
"Aku membuat kesalahan? Apa maksudmu?"
"Pertama, Paman terlampau yakin bahwa Hide-
yoshi akan memudahkan usaha kita dengan datang
ke benteng. Kemudian, walaupun Paman telah
memerintahkan agar aku membawa beberapa
prajurit untuk membunuhnya di perjalanan,
Paman melakukan kesalahan kedua, yaitu lalai
menyuruh orang-orang menjaga jalan-jalan kecil."
"Bodoh! Aku memberikan wewenang padamu
dan menyuruh para jendral lain mengikuti segala
perintahmu, karena aku percaya kau takkan me-
lupakan hal sepele seperti itu. Berani-beraninya
kau melemparkan kesalahan padaku, padahal kau
yang menempatkan prajurit-prajurit kita di jalan
utama saja, sehingga Hideyoshi bisa lolos! Akuilah
bahwa kau masih kurang berpengalaman!"
"Baiklah, kali ini aku minta maaf atas kekhi-
lafanku, tapi untuk selanjutnya. Paman, tolong
jangan terlalu mengandalkan akal bulus. Orang
yang hanyut oleh kelicikannya sendiri, suatu hari
mungkin tenggelam di dalamnya."
"Apa maksudmu? Kaupikir aku terlalu banyak
bersiasat?"
"Itu sudah menjadi kebiasaan Paman."
"Hah, beraninya kau..."
"Bukan aku saja. Paman. Semua orang sepen-
dapat. 'Hati-hati menghadapi Yang Mulia Katsuie.
Kita tak pernah tahu apa rencananya.'"
Katsuie terdiam. Alisnya yang hitam tebal
tampak berkerut-kerut.
Untuk waktu lama, hubungan antara Paman
dan keponakan itu jauh lebih hangat daripada
sekadar hubungan antara junjungan dan pengikut.
Tapi keakraban berlebihan telah mengikis wibawa
dan rasa hormat dalam hubungan mereka, sehing-
ga hal-hal tersebut kini telah tiada. Pagi itu Katsuie
hanya bisa merengut.
Perasaan tak senang yang meliputi dirinya di-
timbulkan oleh berbagai sebab. Semalam suntuk ia
tidak memejamkan mata. Setelah memberikan
perintah pada Gemba untuk memburu Hideyoshi.
Katsuie menunggu sampai fajar, menanti laporan
yang dapat menghilangkan kesuraman di hatinya.
Namun ketika Genba kembali, ia tidak mem-
bawa laporan yang ditunggu-tunggu oleh Katsuie.
"Ternyata hanya para pengikut Hideyoshi yang
melewati Jalan Raya. Hideyoshi sendiri tidak
tampak batang hidungnya. Kupikir sia-sia saja kami
menyerang mereka, jadi aku kembali dengan
tangan kosong, tanpa apa pun sebagai bukti usaha-
ku."
Laporan itu, ditambah kelelahan Katsuie akibat
tidak tidur, menyebabkan ia semakin patah
semangat.
Lalu Genba pun menyalah-nyalahkannya, se-
hingga tidak mengherankan bahwa Katsuie merasa
murung pada pagi itu.
Tapi kemurungannya tak bisa dibiarkan ber-
kelanjutan. Hari itu pelantikan Samboshi diraya-
kan. Setelah makan pagi, Katsuie tidur sejenak,
lalu mandi. Kemudian ia sekali lagi mengenakan
pakaian kebesaran yang panas, serta tutup kepala.
Katsuie bukan orang yang mau memperlihatkan
bahwa ia merasa murung. Hari ini langit tertutup
awan dan udara bahkan lebih lembap daripada
kemarin, tapi sikap Katsuie ketika menyusuri jalan
menuju Benteng Kiyosu lebih gagah dibandingkan
siapa pun di kota benteng, dan wajahnya ber-
simbah peluh.
Orang-orang garang yang pada malam sebelum
nya masih mengencangkan tali pengikat helm dan
merayap di tengah rerumputan dan semak-semak
dengan membawa tombak dan senapan untuk
membunuh Hideyoshi, kini berkumpul dengan
topi kebesaran dan pakaian upacara. Busur mereka
tersimpan dalam kotak masing-masing dan tombak
mereka disarungkan. Semuanya tampak seolah tak
tahu apa-apa ketika bergabung dalam iring-iringan
menuju benteng.
Tentu saja orang-orang yang hendak pergi ke
benteng bukan anggota marga Shibata semata-
mata. Ada pula orang-orang dari pihak Niwa,
Takigawa, dan marga-marga lain. Yang kemarin
masih hadir tapi kini tak terlihat lagi hanyalah
mereka yang berada di bawah komando Hideyoshi.
Takigawa Kazumasu memberitahu Katsuie
bahwa Kumohachi telah menunggu di benteng
sejak pagi, sebagai utusan Hideyoshi.
"Dia bilang Hideyoshi tak bisa hadir hari ini
karena sakit, dan Hideyoshi menyampaikan per-
mintaan maaf kepada Yang Mulia Samboshi. Dia
juga menyinggung bahwa dia ingin bertemu Tuan.
Sudah agak lama dia menunggu."
Katsuie mengangguk dengan geram. Meski
merasa gusar bahwa Hideyoshi pura-pura tidak
tahu apa-apa, ia pun terpaksa berlagak tidak
memahami duduk perkaranya. Ketika menerima
Kumohachi, Katsuie mcngajukan pertanyaan demi
pertanyaan dengan penuh curiga. Sakit apakah
yang diderita Hideyoshi? Jika ia mendadak me-
mutuskan untuk kembali ke Nagahama semalam,
mengapa ia tidak memberitahu Katsuie? Seandai-
nya diberitahu, Katsuie tentu akan mengunjungi-
nya dan mengatur segala sesuatu. Tapi sepertinya
daya pendengaran Kumohachi sudah amat
menurun, dan ia hanya memahami setengah dari
apa yang diucapkan Katsuie.
Apa pun yang dikatakan Katsuie, orang tua itu
tampak tak paham dan terus mengulangi jawaban
yang sama. Menyadari bahwa tatap muka ini hanya
buang-buang waktu saja, dengan dongkol Katsuie
menduga-duga alasan Hideyoshi mengirim prajurit
tua yang pikun ini sebagai utusan resmi.
Mengomel pun tak mempan terhadap orang tua
itu. Sambil memendam emosi, Katsuie meng-
ajukan satu pertanyaan lagi pada Kumohachi,
untuk mengakhiri percakapan mereka.
"Utusan, berapa usiamu sekarang?"
"Tepat... ya, benar sekali."
Aku menanyakan umurmu. Berapa usiamu
sekarang?"
"Ya, Yang Mulia benar sekali."
"Apa?"
Katsuie merasa dipermainkan. Ia mendekatkan
mulutnya ke telinga Kumohachi, dan berteriak
dengan suara cukup nyaring untuk memecahkan
cermin.
"Berapa usiamu tahun ini?"
Kumohachi mengangguk-angguk, dan men-
jawab dengan tenang.
"Ah, hamba mengerti. Yang Mulia menanyakan
usia hamba. Sesungguhnya hamba belum melaku-
kan sesuatu yang berarti, tapi tahun ini usia hamba
tujuh puluh lima tahun."
Katsuie tercengang.
Betapa konyol bahwa ia sampai naik pitam pada
orang tua ini, padahal masih banyak yang harus
dikerjakan, sehingga kemungkinan ia takkan
sempat beristirahat sepanjang hari. Terdorong oleh
kebenciannya terhadap Hideyoshi. Katsuie ber-
ikrar bahwa sebentar lagi mereka takkan berada di
bawah langit yang sama.
"Pulanglah. Ini sudah cukup."
Sambil memberi isyarat dengan dagu, ia
menyuruh orang tua itu pergi, tapi pantat
Kumohachi seperti direkatkan di lantai.
"Apa? Bagaimana kalau ada jawaban?" Kumo-
hachi bertanya dan memandang Katsuie dengan
sabar.
"Tidak ada! Tidak ada jawaban. Katakan saja
pada Hideyoshi bahwa suatu hari kami akan
berjumpa lagi."
Dengan ucapan terakhir ini, Katsuie berbalik
dan menyusuri selasar sempit ke benteng dalam.
Kumohachi pun mengayunkan langkah. Sambil
berkacak pinggang, ia menoleh ke arah Katsuie.
Dan sambil terkekeh-kekeh, ia akhirnya menuju
gerbang benteng.
Upacara pelantikan Samboshi dilaksanakan
hari itu, dan perayaan yang menyusul mengalah-
kan perayaan pada malam sebelumnya. Tiga
bangsal di dalam benteng dibuka untuk meng-
umumkan pengangkatan junjungan yang baru, dan
orang-orang pun datang berbondong-bondong.
Topik pembicaraan utama di antara para tamu
adalah sikap Hideyoshi yang dianggap menghina.
Berpura-pura sakit hingga tidak menghadiri acara
yang sedemikian penting benar-benar keterlaluan,
dan ada saja yang berkomentar bahwa ketidak-
setiaan dan ketidaktulusan Hideyoshi terlihat jelas
sekarang.
Katsuie tahu bahwa celaan-celaan terhadap
Hideyoshi dilontarkan oleh para pengikut Taki-
gawa Kazumasu dan Sakuma Genba, namun ia
tetap menikmati keyakinan bahwa keuntungan
kini berada di pihaknya.
Setelah rapat besar, peringatan hari kematian
Nobunaga, dan perayaan pelantikan, Kiyosu setiap
hari diguyur hujan lebat.
Sejumlah pembesar kembali ke provinsi masing-
masing, sehari sesudah perayaan itu. Tapi beberapa
yang lain tertahan oleh Sungai Kiyosu yang
meluap. Mereka yang tertinggal menunggu cuaca
cerah, mungkin besok atau hari berikutnya, tapi
sementara itu mereka tak dapat berbuat apa-apa
selain duduk di tempat mereka menginap.
Namun bagi Katsuie masa penantian itu belum
tentu sia-sia.
Berkali-kali ia dan Nobutaka saling mengun-
jungi. Perlu diingat bahwa Oichi, istri Katsuie,
merupakan adik Nobunaga, dan dengan demikian
bibi Nobutaka. Kecuali itu, sesungguhnya Nobu-
taka-lah yang membujuk Oichi untuk menikah lagi
dan menjadi istri Katsuie. Sejak pernikahan itulah
hubungan antara Katsuie dan Nobutaka menjadi
akrab, melebihi hubungan antara saudara ipar
semata-mata.
Takigawa Kazumasu pun mengikuti pertemuan-
pertemuan itu, dan kehadirannya mempunyai arti
khusus.
Pada hari kesepuluh bulan itu, Takigawa
mengirim undangan untuk upacara minum teh
kepada para pembesar yang masih berada di
Kiyosu. Acara itu diadakan pagi hari.
Undangan itu berbunyi sebagai berikut:

Hujan yang melanda Kiyosu belakangan ini sudah


mereda, dan kalian semua ingin segera kembali ke
kampung halaman. Pepatah di kalangan prajurit
mengatakan bahwa pertemuan mereka yang berikut
diliputi ketidakpastian. Sambil mengenang mendiang
junjungan kita, aku ingin menawarkan secawan teh
tawar di tengah embun pagi.. Aku tahu kalian semua
harus bergegas pulang setelah kunjungan panjang ini,
tapi aku mengharapkan kehadiran kalian.

Hanya itu yang dikatakan, dan memang hanya


itu yang dapat diharapkan. Tapi para warga Kiyosu
dihantui kecemasan ketika melihat orang-orang
yang datang dan pergi.
Ada apa sebenarnya? Rapat perangkah? Orang
seperti Hachiya, Tsutsui, Kanamori, dan Kawajiri
menghadiri acara minum teh pagi itu, sementara
Nobutaka dan Katsuie mungkin merupakan tamu
kehormatan. Tapi apakah pertemuan tersebut
memang sekadar minum teh bersama, atau suatu
pertemuan rahasia, hanya diketahui oleh sang
pengundang dan para tamunya.
Pada sore hari, para jendral akhirnya kembali
ke provinsi masing-masing. Pada malam hari
keempat belas. Katsuie mengumumkan bahwa ia
akan pulang ke Echizen, dan pada hari kelima
belas ia meninggalkan Kiyosu.
Namun begitu ia menyeberangi Sungai Kiso
dan memasuki Mino, Katsuie mendengar desas-
desus bahwa pasukan Hideyoshi telah menutup
semua jalan di pegunungan antara Tarui dan
Fuwa, serta menghalangi perjalanan ke Echizen.
Katsuie baru saja memutuskan bahwa ia akan
menyerang Hideyoshi, tapi sekarang situasi telah
berbalik, dan ia bagaikan berjalan di atas lapisan es
tipis. Untuk mencapai Echizen, Katsuie harus
melewati Nagahama, dan lawannya sudah kembali
ke sana. Apakah Hideyoshi akan membiarkannya
lewat tanpa menyerangnya?
Ketika Katsuie bertolak dari Kiyosu, para jen-
dralnya menyarankan ia menempuh jalan memu-
tar melalui Ise, provinsi Takigawa Kazumasu.
Namun jika ia menuruti saran mereka, dunia
tentu akan menyangka ia takut terhadap Hide-
yoshisebuah aib yang tak tertahankan oleh
Katsuie. Tapi pada waktu mereka memasuki Mino,
pertanyaannya tadi terus menghantui.
Laporan-laporan mengenai pergerakan pasukan
di pegunungan memaksa Katsuie menghentikan
barisan dan membentuk susunan tempur, sampai
kebenaran laporan-laporan terscbut dapat diselidi-
ki.
Kemudian terdengar kabar angin bahwa unit-
unit di bawah komando Hideyoshi terlihat di
daerah Fuwa; Katsuie dan para jendralnya yang
duduk di atas kuda langsung merinding. Ketika
mencoba membayangkan kekuatan dan strategi
musuh yang menghadang, mereka pun diliputi
perasaan suram.
Pasukan dihentikan secara mendadak di ha-
dapan Sungai Ibi, sementara Katsuie dan para
perwiranya berunding di tempat persembahan
setempat. Harus maju atau mundurkah mereka?
Satu strategi yang masuk akal adalah mundur
sementara dan menguasai Kiyosu serta Samboshi.
Kemudian mereka dapat mengumumkan segala
kesalahan Hideyoshi, mempersatukan para pang-
lima lain, lalu berangkat lagi dengan kekuatan yang
lebih besar. Di pihak lain, sekarang pun mereka
membawa pasukan besar, dan sebagai samurai,
dengan senang hati mereka akan menerobos
barisan lawan untuk meraih kemenangan cepat.
Ketika mengira-ngira hasil akhir dari masing-
masing alternatif, mereka menyadari bahwa
pilihan percuma akan menyebabkan perang ber-
larut-larut, sementara pilihan kedua akan memberi
kepastian seketika. Namun bukannya tak mungkin
bahwa justru mereka sendiri yang akan menderita
kekalahan.
Medan bergunung-gunung di sebelah utara
Sekigahara memang menguntungkan orang untuk
memasang jebakan. Kecuali itu, pasukan Hide-
yoshi yang kembali ke Nagahama pasti bukan pa-
sukan kecil yang baru bertolak dari Kiyosu. Dari
Omi bagian selatan sampai ke daerah Fuwa dan
Yoro, sejumlah besar orang dari benteng-benteng
kecil, keluarga-keluarga pembesar provinsi, dan se-
jumlah kediaman samurai menjalin ikatan dengan
Hideyoshi. Hanya sedikit yang berhubungan
dengan marga Shibata.
"Dari sudut mana pun masalah ini kupandang,
rasanya tak ada strategi untuk menghadapi Hide-
yoshi di sini. Dia pasti sengaja pulang cepat-cepat
untuk menarik keuntungan seperti ini. Kurasa kita
sebaiknya menghindari pertempuran yang diingin-
kannya dalam kondisi sekarang," ujar Katsuie,
mengulangi saran para jendralnya.
Namun Genba tertawa geram. "Tindakan itulah
yang paling tepat jika Paman ingin menjadi bahan
tertawaan, karena begitu jerih terhadap Hide-
yoshi." Dalam rapat perang mana pun, saran untuk
mundur merupakan saran lemah, sementara saran
untuk maju dianggap lebih kuat. Pendapat Genba
khususnya mempunyai pengaruh besar terhadap
para anggota staf lapangan. Keberaniannya yang
tiada tara, kedudukannya di dalam marga, serta
sikap Katsuie terhadapnya, semua itu merupakan
faktor yang dijadikan bahan pertimbangan.
"Lari ketika melihat musuh, tanpa melepaskan
satu anak panah pun, pasti akan menghancurkan
reputasi marga Shibata," salah seorang jendral
berkata.
"Lain halnya kalau keputusan seperti ini diambil
sebelum kita meninggalkan Kiyosu."
"Yang Mulia Genba benar. Kalau orang-orang
mendengar kita sudah sampai di sini lalu mundur
lagi, kita akan menjadi bahan tertawaan bagi
generasi-generasi yang akan datang."
"Bagaimana kalau kita mundur setelah ben-
trokan senjata pertama?"
"Mereka toh hanya anak buah si Monyet."
Semua prajurit muda mendukung Genba
dengan menggebu-gebu. Satu-satunya orang yang
tetap membisu adalah Menju Shosuke. "Bagai-
mana menurutmu, Shosuke?"
Katsuie jarang menanyakan pendapat Shosuke.
Belakangan ini Shosuke kurang disenangi Katsuie,
karena itu ia lebih banyak diam. Kini ia menjawab
dengan patuh. "Hamba sependapat dengan
Genba."
Di tengah-tengah yang lain, yang semuanya ber-
darah panas dan siap bertempur, Shosuke tampak
sedingin air dan sepertinya kurang berani, meski
masih muda. Tapi ia menjawab seakan-akan tak
ada pilihan lain.
"Kalau Shosuke pun bisa bersikap begini, kita
akan mengikuti saran Genba dan terus maju. Tapi
kita perlu mengirim pengintai setelah menye-
berangi sungai, dan tidak bertindak sembrono.
Pasukan infanteri maju lebih dulu, lalu kesatuan
tombak. Tempat para penembak di depan barisan
belakang. Kalau musuh memang berusaha men-
jebak kita, senjata api tak banyak gunanya di
depan. Kalau musuh ada di sini dan para pengintai
memberikan tanda, segera bunyikan genderang,
tapi jangan perlihatkan kebingungan sedikit pun.
Para komandan unit harus menunggu aba-aba
dariku."
Setelah mendapat perintah, pasukan Katsuie
melintasi Sungai Ibi. Ternyata tidak terjadi apa-
apa. Ketika mereka mulai bergerak menuju
Akasaka, tetap tak ada tanda-tanda kehadiran
musuh.
Unit-unit pengintai sudah jauh di depan, dan
sedang mendekati Desa Tarui. Di sini pun mereka
tidak menemukan sesuatu yang aneh.
Seorang laki-laki mendekat, ia tampak men-
curigakan, lalu segera dihampiri dan ditahan oleh
anggota unit pengintai. Ketika diancam dan di-
mintai keterangan, orang itu langsung membuka
mulut, namun mereka yang mengancamlah yang
kecewa.
"Kalau kalian ingin tahu apakah aku melihat
anak buah Yang Mulia Hideyoshi di jalan tadi, ya,
aku memang melihat mereka. Pagi-pagi sekali, di
sekitar Fuwa. Sekarang mereka sedang melewati
Tarui."
"Berapa jumlah mereka?"
"Aku tidak tahu pasti, tapi tentunya ada be-
berapa ratus orang."
"Beberapa ratus?"
Para pengintai saling pandang. Setelah melepas-
kan orang itu, mereka segera melapor pada
Katsuie.
Berita itu di luar dugaan. Pasukan musuh
begitu kecil, sehingga Katsuie dan para jendralnya
semakin waswas. Namun perintah untuk maju
telah diberikan. Saat itulah tiba laporan bahwa
utusan dari Hideyoshi sedang menuju ke arah
mereka. Ketika orang itu akhirnya muncul, mereka
meihat bahwa ia bukan prajurit berbaju tempur,
melainkan pemuda tampan yang mengenakan
mantel sutra dan kimono. Bahkan tali kekang
kudanya pun dihiasi dengan mewah.
"Nama hamba Iki Hanshichiro," pemuda itu
memperkenalkan diri, "pelayan pribadi Yang Mulia
Hidekatsu. Hamba datang untuk menawarkan jasa
sebagai pemandu bagi Yang Mulia Katsuie."
Hanshichiro melewati para pengintai yang ter-
bengong-bengong. Sambil berseru-seru bingung,
komandan mereka mengejar Hanshichiro, ia
begitu terburu-buru, schingga nyaris terjatuh dari
kuda.
Katsuie dan para perwira stafnya memandang
pemuda itu dengan curiga. Mereka telah siap
menghadapi pertempuran, dan semangat mereka
pun berkobar-kobar. Kemudian, di tengah-tengah
tombak dan sumbu senapan yang membara,
pemuda tampan ini turun dari kuda dan mem-
bungkuk sopan.
"Pelayan pribadi Yang Mulia Hidekatsu? Aku
tak tahu apa artinya ini, tapi bawa dia ke sini. Kita
bisa bicara dengannya," Katsuie memerintahkan.
Katsuie melangkah ke pinggir jalan dan berdiri
di bawah naungan pohon. Setelah kursinya disiap-
kan, ia berusaha menutup-nutupi ketegangan yang
meliputi anak buahnya dan dirinya sendiri, lalu
mempersilakan utusan Hideyoshi untuk duduk.
"Kau bawa pesan?"
"Yang Mulia tentu lelah setelah menempuh per-
jalanan panjang dalam cuaca panas ini." Hanshi-
chiro berkata dengan formal.
Anehnya, kata-katanya persis seperti sapaan di
masa damai. Sambil mengambil sepucuk surat dari
kotak yang tergantung pada bahunya, ia melanjut-
kan, "Yang Mulia Hideyoshi menyampaikan
salam." Kemudian ia menyerahkan surat itu pada
Katsuie.
Katsuie menerimanya dengan curiga dan tidak
segera membukanya. Sambil mengedip-ngedipkan
mata, ia menatap Hanshichiro.
"Kaubilang kau pelayan pribadi Tuan Hide-
katsu?"
"Benar, Yang Mulia."
"Bagaimana kabar Tuan Hidekatsu? Baik-baik
sajakah dia?"
"Ya, Yang Mulia."
"Dia tentu sudah bertambah besar."
"Tahun ini usia beliau tujuh belas tahun, Yang
Mulia."
"Wah, sudah sebesar itu? Waktu berlalu dengan
cepat, bukan? Sudah lama aku tidak bertemu
dengannya."
"Hari ini beliau mendapat perintah dari ayah
beliau untuk datang ke Tarui guna memberikan
sambutan."
"Apa?" Katsuie tergagap-gagap. Sebuah kerikil di
bawah kaki kursinya remuk akibat berat badannya,
yang sama besar dengan rasa kaget di hatinya.
Sesungguhnya Hidekatsu putra Nobunaga, dan
diangkat anak oleh Hideyoshi.
"Sambutan? Siapa yang hendak kausambut?"
"Yang Mulia, tentu saja."
Hanshichiro menutup wajah dengan kipas dan
tertawa. Kelopak mata dan mulut lawan bicaranya
gemetar tak terkendali, sehingga ia tak sanggup
menahan senyum.
"Aku? Dia datang untuk menyambut aku?"
Katsuie terus bergumam.
Katsuie begitu tercengang, sampai-sampai surat
di tangannya terlupakan olehnya. Berulang kali ia
mengangguk tanpa sebab jelas. Ketika matanya
mengikuti kata-kata yang tertulis, berbagai emosi
melintas di wajahnya. Surat itu bukan dari Hide-
katsu, melainkan tak pelak ditulis oleh Hideyoshi
sendiri. Nadanya sangat jujur.

Jalan antara Omi bagian utara dan Echizen sudah sering


dilalui Tuan, jadi kurasa Tuan takkan tersesat. Meski
demikian, aku mengutus putra angkatku, Hidekatsu,
sebagai pemandu jalan. Kini beredar kabar burung tak
berdasar, yang sesungguhnya tak pantas mendapat
perhatian Tuan, bahwa Nagahama merupakan tempat
yang baik untuk menghalangi perjalanan Tuan. Untuk
membantah laporan-laporan palsu tersebut, aku mengutus
putra angkatku guna menyambut Tuan, dan Tuan boleh
menahannya sebagai sandera, sampai Tuan melewati
daerah ini dengan tenang, Sebenarnya aku bermaksud
mengundang Tuan ke Nagahama, namun aku sakit
sejak kembali dari Kiyosu....

Setelah mendengar ucapan utusan Hideyoshi


dan membaca surat yang dikirimnya, mau tak mau
Katsuie merenungkan ketakutannya sendiri. Ia
sempat gemetar ketakutan ketika berusaha
mengira-ngira apa yang mungkin tersimpan dalam
hati Hideyoshi, dan kini ia merasa lega. Sudah
lama ia dikenal sebagai ahli strategi yang lihai, dan
ia dianggap begitu penuh intrik, sehingga setiap
kali berbuat sesuatu, orang-orang langsung ber-
komentar bahwa Katsuie sedang beraksi lagi.
Namun pada saat seperti ini, Katsuie bahkan tidak
berusaha menutup-nutupi perasaannya dengan
berlagak tak acuh. Ini sebagian wataknya yang
sangat dipahami almarhum Nobunaga. Nobunaga
tahu betul akan keberanian Katsuie, kelihaiannya,
dan kejujurannya. Karena ini pula Nobunaga
memberikan tanggung jawab berat sebagai pang-
lima tertinggi dalam operasi militer di wilayah
Utara pada Katsuie, menempatkan sejumlah besar
prajurit dan sebuah provinsi besar di bawah
komandonya, dan menjadikannya andalan utama.
Kini, saat Katsuie merenungkan junjungannya
yang begitu memahami dirinya, namun tak lagi
berada di dunia, ia merasa tak ada orang yang
dapat dipercayainya.
Tapi sekarang perasaan Katsuie tiba-tiba ter-
sentuh oleh surat Hideyoshi, dan segala prasangka
yang dipendamnya berbalik seketika. Ia kini
mengakui bahwa permusuhan di antara mereka
semata-mata disebabkan oleh kecurigaan dan
ketakutannya sendiri.
"Setelah junjungan kita tiada, Hideyoshi-lah
orang yang patut mendapat kepercayaan kita," ujar
Katsuie.
Malam itu ia asyik berbincang-bincang dengan
Hidekatsu. Keesokan harinya ia melintasi Fuwa
beserta pemuda itu dan memasuki Nagahama,
sambil terus memeluk kesan baik yang baru
diperolehnya.
Tapi di Nagahama, setelah ia dan para pengikut
seniornya mengantar Hidekatsu sampai ke gerbang
benteng, Katsuie sekali lagi dikejutkan ketika
mengetahui bahwa Hideyoshi sudah beberapa
lama tidak berada di Nagahama. Hideyoshi
ternyata telah pergi ke Kyoto untuk menyelesaikan
berbagai masalah negara.
"Lagi-lagi Hideyoshi mengelabuiku!" kata
Katsuie, dan kedongkolannya segera bangkit kem-
bali. Terburu-buru ia meneruskan perjalanan
pulang.

***

Akhir Bulan Ketujuh telah tiba. Untuk memenuhi


janji yang telah diberikannya, Hideyoshi menye-
rahkan Benteng Nagahama berikut daerah sekitar-
nya pada Katsuie, yang lalu meneruskannya kepada
putra angkatnya, Katsutoyo.
Katsuie tetap belum tahu, mengapa Hideyoshi
dalam rapat di Kiyosu bersikeras agar benteng itu
diberikan pada Katsutoyo. Baik para peserta rapat
maupun masyarakat umum tidak menaruh curiga
pada syarat tersebut, bahkan tidak berusaha men-
duga-duga maksud Hideyoshi .
Katsuie mempunyai satu putra angkat lagi,
Katsutoshi, anak laki-laki yang pada tahun itu
merayakan ulang tahun kelima belas. Tak sedikit
anggota marga Shibata menyesalkan bahwa jika
hubungan antara Katsuie dan Katsutoyo demikian
dingin, masa depan marga bisa terancam.
"Katsutoyo selalu ragu-ragu," Katsuie mengeluh.
"Tak pernah dia melakukan sesuatu dengan jelas
dan tegas. Wataknya tidak cocok untuk menjadi
putraku. Katsutoshi, sebaliknya, sama sekali tidak
memiliki sifat buruk dalam dirinya. Dia benar-
benar menganggapku ayahnya."
Tapi jika Katsuie lebih menyukai Katsutoshi
dibandingkan Katsutoyo, keponakannya Genba
bahkan lebih disayanginya. Kasih sayangnya ter-
hadap Genba melampaui kasih sayang biasa bagi
keponakan atau putra, dan ia cenderung memu-
puk perasaan itu. Karenanya Katsuie terus meng-
awasi kedua adik Genba, Yasumasa dan Katsu-
masa, dan menempatkan keduanya di benteng-
benteng strategis, meski mereka baru berusia dua
puluhan.
Di tengah keakraban antara para anggota
keluarga dan para pengikut, hanya Katsutoyo yang
merasa tidak puas dengan ayah angkatnya dan
kakak-adik Sakuma.
Suatu ketika, dalam perayaan Tahun Baru, pada
waktu keluarga dan para pengikut Katsuie ber-
datangan untuk mengucapkan selamat Tahun
Baru, cawan sake pertama dibagikan oleh Katsuie.
Dengan sendirinya Katsutoyo menyangka ia yang
akan memperolehnya, dan ia telah maju beringsut-
ingsut dengan penuh hormat.
"Cawan ini bukan untukmu, Katsutoyo, tapi
untuk Genba," ujar Katsuie sambil menarik
tangannya.
Kemudian diketahui bahwa masalah ini me-
rupakan sumber ketidakpuasan bagi katsutoyo,
dan cerita tersebut juga terdengar oleh mata-mata
dari provinsi lain. Tentunya informasi seperti ini
juga sampai ke telinga Hideyoshi.
Sebelum menyerahkan Nagahama pada Katsu-
toyo, Hideyoshi perlu memindahkan keluarganya
ke rumah baru mereka lebih dulu.
"Sebentar lagi kita akan ke Himeji. Musim
dingin di sana tidak seberapa dingin, dan selalu
ada persediaan ikan segar dari laut."
Dengan perintah ini, ibu dan istri Hideyoshi.
beserta seluruh rumah tangga pindah ke benteng-
nya di Himeji. Tapi Hideyoshi sendiri tidak ikut.
Waktu tak boleh terbuang sia-sia. Ia me-
merintahkan agar benteng di Takaradera di dekat
Kyoto direnovasi sepenuhnya. Benteng itu merupa-
kan kubu pertahanan Mitsuhide pada waktu
pertempuran Yamazaki, dan Hideyoshi mempu-
nyai alasan tersendiri mengapa ia tidak menyuruh
ibu dan istrinya tinggal di sini. Setiap dua hari ia
pergi dari Benteng Takaradera ke ibu kota. Pada
waktu kembali, ia mengawasi pembangunan; pada
waktu pergi, ia menangani pemerintahan seluruh
negeri.
Ia kini memikul tanggung jawab untuk meng-
amankan Istana Kekaisaran, mengatur pemerin-
tahan kota, dan mengawasi semua provinsi. Ber-
dasarkan keputusan semula yang diambil dalam
rapat Kiyosu, semua bidang pemerintahan di
Kyoto akan ditangani bersama-sama oleh keempat
pemegang kekuasaanKatsuie, Niwa, Shonyu. dan
Hideyoshidan sama sekali bukan oleh Hideyoshi
sendiri. Tapi Katsuie berada jauh di Echizen,
menjalankan manuver-manuver rahasia bersama
Nobutaka dan yang lainnya di Gifu dan Ise; Niwa,
walaupun berada dekat di Sakamoto, rupanya
telah menyerahkan tanggung jawabnya pada Hide-
yoshi ; dan Shonyu sudah menjelaskan bahwa ia,
meski diberi jabatan, tak mampu menangani pe-
merintahan dan kaum bangsawan, sehingga ia
memutuskan untuk tidak terlibat lagi dalam kedua
tugas itu.
Justru dalam bidang-bidang inilah Hideyoshi
memiliki kelebihan. Bakatnya terutama bersifat
administratif. Hideyoshi menyadari bahwa kemam-
puannya yang paling menonjol bukanlah di medan
perang. Tapi ia pun sadar bahwa jika seseorang
dengan cita-cita tinggi dikalahkan di medan laga,
urusan administratif takkan dapat mencapai ke-
majuan berarti. Karena itu, ia selalu memper-
taruhkan semuanya dalam suatu pertempuran, dan
jika sudah mulai melancarkan operasi militer, ia
akan menyelesaikannya sampai tuntas.
Sebagai imbalan atas segala jasanya, pihak Istana
Kekaisaran memberitahukan bahwa ia akan di-
angkat sebagai letnan jendral Pasukan Pengawal
Istana. Hideyoshi menolaknya, dan berdalih
bahwa ia tidak patut menerima kehormatan
sebesar itu, namun pihak Istana berkeras, sehingga
Hideyoshi akhirnya bersedia menerima pangkat
yang lebih rendah.
Berapa banyak orang yang hanya bisa melihat
sisi buruk dari kebaikan orang lain! Berapa banyak
orang yang menjelek-jelekkan mereka yang bekerja
dengan tulus!
Ini selalu benar, dan setiap perubahan besar
senantiasa menimbulkan gosip dan desas-desus.
"Sekarang kesombongan Hideyoshi terungkap
jelas. Para bawahannya pun berlagak penting."
"Mereka mengabaikan Yang Mulia Katsuie.
Sikap mereka seakan-akan hanya Hideyoshi yang
berjasa."
"Kalau melihat pengaruh yang diraihnya bela-
kangan ini, sepertinya mereka berusaha menampil-
kan Yang Mulia Hideyoshi sebagai penerus Yang
Mulia Nobunaga."
Hideyoshi menjadi sasaran kritik yang bertubi-
tubi. Namun, seperti biasa, identitas orang-orang
yang mencelanya tak dapat dipastikan.
Hideyoshi bersikap tak peduli. Ia tak punya
waktu untuk mendengarkan gosip. Di Bulan
Keenam, Nobunaga wafat; pada pertengahan
bulan itu, pertempuran meletus di Yamazaki; pada
akhir bulan tersebut, Hideyoshi mundur dari
Nagahama dan memindahkan keluarganya ke
Himeji; dan di Bulan Kedelapan, ia memulai
pembangunan Benteng Takaradera. Kini ia terus
mondar-mandir antara Kyoto dan Yamazaki. Jika
berada di Kyoto, pada pagi hari ia mengunjungi
Istana Kekaisaran; pada sore hari ia meninjau kota,
di malam hari ia menangani urusan pemerintahan,
mengirim surat-surat balasan, dan menerima tamu;
di tengah malam ia mempelajari surat-surat dari
provinsi-provinsi jauh; dan pada waktu fajar ia
mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut
permohonan para bawahannya. Setiap hari ia me-
macu kudanya, sementara masih mengunyah
makanan yang terakhir disantapnya.
Ia sering mendatangi beberapa tempat tujuan
secara berurutankediaman seorang bangsawan,
pertemuan-pertemuan, peninjauan-peninjauan
dan belakangan ia berulang kali menuju bagian
utara Kyoto. Di sanalah ia memprakarsai proyek
pembangunan berskala raksasa. Di dalam pe-
karangan Kuil Daitoku ia mulai membangun satu
kuil lagi, yaitu Kuil Sokenin.
"Pembangunan harus selesai pada hari ketujuh
Bulan Kesepuluh. Pada hari kedelapan semuanya
sudah harus rapi, dan pada hari kesembilan
persiapan upacara sudah harus rampung. Pastikan
pada hari kesepuluh sudah tak ada yang perlu di-
kerjakan."
Ucapan ini ditujukan pada Hikoemon dan
saudara iparnya, Hidenaga. Dalam menangani
proyek pembangunan apa pun, Hideyoshi tidak
bersedia mengubah batas waktunya.
Upacara peringatan dilaksanakan di dalam
tempat persembahan selebar seratus delapan puluh
empat meter. Tirai berwarna cerah tampak berseri,
ribuan lentera gemerlapan bagaikan bintang, dan
asap dupa mengambang di sela panji-panji yang
berkibar-kibar, membentuk awan ber-warna ungu
di atas massa yang berduka cita.
Di antara para pendeta terdapat pemuka-
pemuka dari kelima kuil Zen utama serta biksu-
biksu dari kedelapan sekte Buddha. Orang-orang
yang menghadiri upacara itu menyebutkan bahwa
mereka seakan-akan melihat kelima ratus arhat dan
ketiga ribu murid sang Buddha berkumpul di
depan mata.
Seusai upacara pembacaan naskah-naskah kuno
dan penaburan bunga di hadapan sang Buddha,
para kepala biara Zen memberikan penghormatan.
Akhirnya Kepala Biara Soken mengucapkan gatha
perpisahan, dan dengan sekuat tenaga menyeru-
kan. "Kwatz!" Sejenak suasana menjadi hening.
Lalu, ketika musik khidmat mulai mengalun
kembali, kembang-kembang seroja berguguran,
dan satu per satu para hadirin membakar dupa di
depan altar.
Namun di antara para peserta, setengah dari
kerabat Oda yang seharusnya hadir tidak menam-
pakkan batang hidung mereka. Samboshi tidak
muncul, begitu pula Nobutaka, Katsuie, dan
Takigawa.
Tapi barangkali yang paling tak terduga adalah
maksud-maksud yang tersimpan dalam diri Toku-
gawa Ieyasu. Setelah peristiwa Kuil Honno, ia
berada dalam posisi unik. Bagaimana pikirannya,
atau bagaimana matanya yang dingin memandang
perkembangan terakhir, tak seorang pun dapat
memastikannya.

Anda mungkin juga menyukai