***
Para pengikui senior Nobuo mengurung diri di
benteng masing-masing. seakan-akan telah
bersepakat, dan tak pernah datang ke Nagashima.
Tindakan mereka justru memperkuat desas-desus
dan memperparah keresahan yang melanda
provinsi.
Kebenaran selalu sukar terungkap, tapi sudah
bisa dipastikan bahwa perselisihan antara Nobuo
dan Hideyoshi sekali lagi tersulut. Status Nobuo
tentu saja merupakan pusat badai, dan sepertinya
ada seseorang yang dapat diandalkannya. Nobuo
berwatak konservatif, dan ia meyakini keampuhan
komplotan rahasia dan tipu muslihat. Meski selalu
tampak sepaham dengan para sekutunya, ia pun
selalu memberi isyarat bahwa ia masih mempunyai
teman-teman lain yang akan membantunya jika
situasi tidak berkembang ke arah yang
dikehendakinya. Tanpa sekutu rahasia, ia tak
pernah bisa tenang.
Nobuo kini teringat tokoh penting yang berdiri
dalam bayang-bayang. Orang itu, tentu saja, si
Naga Tidur dari Hamamatsu, Tokugawa leyasu.
Tapi hasil dari permainan strategi tergantung
kepada para pemain lainnya. Nobuo bermaksud
memanfaatkan leyasu untuk menghalau
Hideyoshi, dan ini menunjukkan bahwa
pemahamannya mengenai pihak-pihak lain yang
terlibat masih dangkal. Orang dengan pikiran
berliku-liku tak pernah sungguh-sungguh
mengenali lawannya. la seperti pemburu yang
mengejar rusa tanpa melihat gunung-gunung di
sekelilingnya.
Jalan pikiran seperti itulah yang mendorong
Nobuo untuk meminta bantuan Ieyasu guna
meneegah Hideyoshi meraih kekuasaan lebih besar
lagi. Suatu malam, sesudah awal Bulan Kedua,
Nobuo mengirim utusan pada Ieyasu. Kedua orang
itu lalu menjalin persekutuan militer rahasia yang
didasarkan atas kesepakatan bahwa mereka sama-
sama menanti kesempatan untuk menyerang
Hideyoshi.
Kemudian, pada hari keenam Bulan Ketiga,
ketiga pengikut senior yang belum terlihat di
benteng sejak malam di Kuil Onjo tiba-tiba
muncul. Mereka diundang Nobuo secara khusus
untuk menghadiri sebuah jamuan. Sejak peristiwa
di Kuil Onjo, Nobuo yakin bahwa mereka
pengkhianat yang berkomplot dengan Hideyoshi.
Melihat mereka membuatnya muak karena
dendam.
Nobuo menjamu ketiga orang itu, dan setelah
mereka makan, ia se-konyong-konyong berkata,
"Ah, Nagato, aku ingin memperlihatkan senapan
baru yang baru saja kuterima dari seorang pandai
besi di Sakai."
Mereka pindah ke ruangan lain, dan ketika
Nagato mengamati senapan itu, pengikut Nobuo
tiba-tiba berseru, "Atas perintah tuanku!" dan
menang-kapnya dari belakang.
"Kurang ajar!" Nagato termegap-megap dan
berusaha mencabut pedang. Tapi ia diempaskan
oleh penyerangnya yang lebih kuat dan hanya bisa
meronta-ronta tak berdaya.
Nobuo bangkit dan berlari mondar-mandir
sambil berseru-seru. "Lepaskan dia! Lepaskan dia!"
Namun pergulatan itu terus berlanjut. Sambil
mengangkat pedangnya yang belum terhunus,
tinggi di atas kepala, Nobuo berteriak sekali lagi,
"Kalau kau tidak melepaskannya, aku tak bisa
membunuh bajingan itu! Lepaskan dia!"
Si pembunuh mencekik Ieher Nagato, tapi
begitu melihat peluang, ia mendorong lawannya
itu. Secara bersamaan, dan tanpa menunggu
sampai Nobuo mengayunkan pedang, ia menikam
Nagato dengan pedang pendeknya.
Sekelompok samurai, yang kini berlutut di luar
ruangan, mengumumkan bahwa mereka telah
membunuh kedua pengikut lainnya. Nobuo meng-
angguk-angguk puas. Namun kemudian ia
mendesah panjang. Apa pun kejahatan mereka,
membunuh tiga penasihat senior yang sudah
bertahun-tahun mendampinginya merupakan
tindakan keji. Kebrutalan seperi itu juga mengalir
dalam darah Nobunaga, tapi perbuatan Nobunaga
selalu mengandung arti besar. Kekerasan
Nobunaga dipandang sebagai obat yang drastis
namun ampuh uniuk mengatasi kebobrokan
dunia; tindakan Nobuo hanya didorong oleh
emosinya yang picik.
Pembunuhan di Benteng Nagashima bisa saja
menimbulkan gelombang yang mungkin membawa
keguncangan bagi semua pihak. Tapi pembunuhan
ketiga pengikut senior itu dilaksanakan secara
diam-diam, dan keesokan harinya Nobuo langsung
mengirim pasukan dari Nagashima untuk
menyerang benteng masing-masing.
Masuk akal jika orang-orang mengira
pertempuran besar berikut sudah di ambang pintu.
Sesuatu telah membara sejak tahun lalu, tapi lidah
api yang muncul di sini mungkin saja merupakan
lidah api yang akhirnya menghanguskan dunia. Itu
bukan lagi dugaan tanpa dasar, melainkan sudah
dianggap kepastian.
Laskar Bertudung
TAMAT
Eiji Yoshikawa lahir pada tahun 1892 di Kanagawa,
Jepang. Keadaan keluarga membuat ia terpaksa keluar
dari sekolah dan mencari pekerjaan pada usia sebelas
tahun. Masa remajanya dihabiskan dengan bekerja
serabutan, dan waktu-waktu luangnya yang sedikit itu ia
habiskan dengan membaca dan mencoba menulis haiku
serta cerita. Pada tahun 1910 ia pergi ke Tokyo, berniat
bekerja sambil sekolah. Setelah menjadi juara pertama
dalam sebuah lomba mengarang, dan pergaulannya
yang semakin luas dalam dunia sastra membuat ia se-
makin banyak mendapat perhatian. Pada tahun 1922 ia
menjadi staf di sebuah surat kabar Tokyo. Di sana
sebuah novelnya dijadikan cerita bersambung. Pada
tahun 1923, setelah peristiwa Gempa Bumi Besar, ia
memutuskan menjadi pengarang profesional. Pada
dekade-dekade selanjutnya, sejumlah penerbit besar
lambat laun menetapkan Yoshikawa sebagai novelis
sejarah terkemuka di Jepang melalui karya-karyanya
antara lain Shinnin (1934). Miyamoto Musashi (1935;
diterjemahkan dengan judul Musashi, 1981), Shinsho
taikoki (1937; diterjemahkan sebagai Taiko, 1992), dan
Shin Heike nomogatari (1950; diterjemahkan sebagai The
Heike Story, 1956). Pada tahun 1960 Yoshikawa
mendapatkan Tanda Jasa Kebudayaan yang bergengsi,
disusul oleh Mainichi Art Award pada tahun 1962.
Eiji Yoshikawa meninggal karena kanker pada tahun
1962.