Anda di halaman 1dari 220

BUKU SEPULUH

TAHUN TENSHO KESEBELAS


1583
TOKOH dan TEMPAT

GAMO UJISATO. pengikut senior marga Oda


NAKAGAWA KANEMON, komandan Benteng
Inuyama
IKEDA YUKISUKE. putra Shonyu
BITO JINEMON, pengikut Hideyoshi
MORI NAGAYOSHI, menantu Ikeda Shonyu
SAKAI TADATSUGU. pengikut senior marga
Tokugawa
HONDA HEIHACHIRO. pengikut senior marga
Tokugawa
II HYOBU. pengikut senior marga Tokugawa
MIYOSHI HIDETSUGU. keponakan Hideyoshi
ODA NOBUTERU, paman Nobuo

ISE. provinsi Oda Nobuo


NAGASHIMA, benteng utama Oda Nobuo
OGAKI, benteng Ikeda Shonyu
BUKTT KOMAKI. tempat Ieyasu mendirikan
benteng
GAKUDEN. kamp utama Hideyoshi
OKAZAKI. benieng Tokugawa Ieyasu
OSAKA, benteng baru Hideyoshi
DOSA-DOSA SANG AYAH

DALAM waktu satu tahun saja, nama Hideyoshi


sedemikian cepat terkenal, sehingga ia sendiri pun
terkejut. la telah menundukkan marga Akechi dan
marga Shibata: Takigawa dan Sassa berlutut di
hadapannya; Niwa memandangnya sebagai orang
kepercayaan; dan Inuchiyo telah memperlihatkan
kesetiaannya terhadap persahabatan mereka.
Hideyoshi kini menguasai hampir semua
provinsi yang pernah ditaklukkan Nobunaga.
Hubungannya dengan provinsi-provinsi di luar
lingkup pengaruh Nobunaga pun telah berubah
sama sekali. Marga Mori, yang selama bertahun-
cahun menghalangi rencana Nobunaga untuk
meraih kekuasaan tertinggi, telah menandatangani
perjanjian bersekutu dan mengirim sejumlah
sandera.
Namun masih ada satu orang yang tetap
merupakan tanda tanya Tokugawa leyasu. Sudah
beberapa lama tidak ada komunikasi antara
mereka berdua. Mereka sama-sama diam, seperti
dua pemain catur yang menunggu sampai lawan
melakukan langkah bagus.
Ieyasu-lah yang melangkah lebih dulu. tak lama
setelah Hideyoshi kembali ke Kyoto pada hari
kedua puluh satu Bulan Kelima. Ishikawa
Kazumasa, jendral leyasu yang paling senior,
mengunjungi Hideyoshi di Benteng Takaradera.
Aku datang untuk menyampaikan ucapan
selamat dari Tuanku leyasu. Kemenangan besar
yang diraih Yang Mulia telah membawa
perdamaian di negeri ini." Dan dengan khidmat
Kazumasa menyerahkan hadiah berupa wadah teh
antik bernama Hatsuhana pada Hideyoshi.
Hideyoshi telah menjadi penggemar upacara
minum teh, dan ia senang sekali menerima hadiah
yang amat berharga itu. Tapi kelihatan jelas bahwa
ia memperoleh kepuasan yang bahkan lebih besar
lagi karena Ieyasu yang lebih dulu mengirim
cinderamata. Kazumasa sebenarnya hendak
kembali ke Hamamatsu hari itu juga, namun
Hideyoshi menahannya.
Tuan tidak perlu terburu-buru." kata Hideyoshi.
Tinggallah selama dua atau tiga hari. Aku akan
memberitahu Yang Mulia Ieyasu bahwa aku yang
memaksa Tuan. Apalagi kami akan mengadakan
perayaan kecil untuk lingkungan keluarga besok.
Yang disebut "perayaan kecil untuk lingkungan
keluarga'' oleh Hideyoshi adalah jamuan makan
yang diselenggarakan dalam rangka
penganugerahan gelar baru, yang merupakan bukti
bahwa pihak kekaisaran pun merestui sepak
terjang Hideyoshi, serta mengakui keberhasilan-
keberhasilan yang diraihnya di medan perang.
Jamuan itu berlangsung selama tiga hari.
Barisan pengunjung yang mendatangi benteng
seakan-akan tanpa ujung, jalan-jalan sempit di kota
dipadati tandu-tandu para bangsawan beserta
pembantu-pembantu dan kuda-kuda mereka.
Kazumasa terpaksa mengakui bahwa kebesaran
Nobunaga kini telah beralih pada Hideyoshi.
Sampai hari itu ia percaya sepenuhnya bahwa
junjungannya sendiri, Ieyasu, akan menjadi
penerus Nobunaga. Tapi waktu yang
dihabiskannya bersama Hideyoshi menyebabkan ia
berubah pikiran. Ketika membandingkan provinsi-
provinsi Hideyoshi dan Ieyasu serta merenungkan
perbedaan di antara pasukan mereka, dengan
sedih ia sampai pada kesimpulan bahwa wilayah
kekuasaan Tokugawa tetap hanya merupakan
daerah pinggiran di bagian timur Jepang.
Beberapa hari kemudian, Kazumasa meng-
umumkan bahwa ia hendak pulang, dan Hideyoshi
menyertainya sampai ke Kyoto. Ketika mereka
sedang menempuh perjalanan, Hideyoshi
menengok dari atas pelana dan menatap ke
belakang. Ia memberi isyarat pada Kazumasa, yang
sengaja menjaga jarak, untuk bergabung dengan-
nya. Sebagai pengikui marga lain, Kazumasa
diperlakukan dengan keramah-ramahan yang layak
bagi seorang tamu. tapi tentu saja ia tahu
menempatkan diri.
Hideyoshi berkata dengan akrab, "Kita telah
memutuskan untuk menempuh perjalanan
bersama-sama. dan itu tidak berarti berkuda
sendiri-sendiri. Jalan ke Kyoto ini cukup
menjemukan. jadi kenapa kita tidak berbincang-
bincang saja?"
Kazumasa ragu-ragu sejenak, tapi kemudian ia
menyejajarkan kudanya dengan kuda Hideyoshi.
"Mondar-mandir ke Kyoto sungguh merepot-
kan." Hideyoshi melanjutkan. "Jadi dalam tahun
ini aku akan pindah ke Osaka, yang dekat ke ibu
kota." Kemudian ia menjabarkan rencananya
untuk membangun sebuah benteng.
"Yang Mulia memilih lokasi yang baik di
Osaka." Kazumasa berkomentar. "Konon Yang
Mulia Nobunaga pun selama bertahun-tahun
mengincar Osaka."
"Ya, hanya saja waktu itu para biksu-prajurit
Honganji berkubu di kuil-benteng mereka di sana,
sehingga beliau harus puas dengan Azuchi."
Tak lama kemudian mereka memasuki kota
Kyoto, tapi ketika Kazumasa hendak mohon diri,
Hideyoshi sekali lagi mencegahnya dan berkata,
"Dalam cuaca sepanas ini, Tuan jangan menem-
puh perjalanan lewat darat. Sebaiknya Tuan naik
perahu menyeberangi danau dari Otsu. Mari kita
makan siang bersama Maeda Geni sementara
perahunya disiapkan."
Yang dimaksudnya adalah orang yang baru-baru
ini diangkat sebagai gubernur Kyoto. Tanpa
memberi kesempaian menolak pada Kazumasa,
Hideyoshi membawanya ke kediaman Gubernur.
Pekarangan dalam telah disapu bersih, seakan-akan
kedatangan sang tamu telah diketahui sebelumnya.
dan sambutan Geni terhadap Kazumasa sangat
ramah.
Hideyoshi terus mendesak Kazumasa agar
bersantai, dan selama makan siang tak ada yang
mereka bicarakan selain benteng yang akan
dibangunnya.
Geni membawa selembar kertas besar dan
menggelarnya di lantai. Rencana untuk sebuah
benteng ditunjukkan pada utusan provinsi lain,
dan orang yang memperlihatkannya maupun
orang yang mengamatinya bertanya-tanya, meng-
apa Hideyoshi bersikap sedemikian terbuka: ia
seakan-akan lupa bahwa Kazumasa adalah prajurit
marga Tokugawa, dan sepertinya ia pun tidak
mengingat huhungannya sendiri dengan marga
tersebut.
"Kabarnya Tuan termasuk ahli dalam hal
benteng." Hideyoshi berkata pada Kazumasa. "Jadi,
kalau Tuan punya usul, kuharap Tuan jangan
segan-segan."
Seperti dikatakan Hideyoshi, Kazumasa cukup
menguasai pembangunan benteng. Biasanya
rencana-rencana seperti itu bersirat amat rahasia
sudah barang tentu bukan sesuatu yang
diperlihatkan kepada pengikut provinsi saingan
tapi Kazumasa menyingkirkan segala keragu-
raguannya mengenai niat Hideyoshi dan mem-
pelajari rencana-rencana tersebut.
Kazumasa tahu bahwa Hideyoshi tidak tertarik
pada hal-hal kecil, namun ketika menyadari skala
proyek yang direncanakan, ia pun terkagum-
kagum. Pada waktu Osaka masih merupakan
markas besar para biksu-prajurit Honganji,
benteng mereka menempati lahan seluas seribu
meter persegi. Dalam rencana Hideyoshi, itu
menjadi fondasi bagi benteng utama. Topografi
daerah initermasuk semua sungai dan pesisir
lauttelah dipenimbangkan; segala kelebihan dan
kekurangan telah dipikirkan masak-masak, dan
kesulitan-kesulitan dalam menyerang dan bertahan
serta masalah-masalah logistik lainnya telah
dipecahkan. Benteng utama, serta yang kedua dan
ketiga, dikelilingi tembok tanah. Panjang tembok-
tembok luar lebih besar delapan belas mil.
Bangunan tertinggi di sebelah dalam tembok
adalah donjon bertingkat lima yang dilengkapi
bukaan-bukaan untuk memanah. Genting-genting
pada atapnya akan dilapisi emas.
Kazumasa hanya bisa terbengong-bengong
karena takjub. Tapi apa yang dilihatnya baru satu
bagian dari proyek Hideyoshi. Selokan yang
mengelilingi benteng berisi air dari Sungai Yodo.
Karena letaknya yang berdekatan dengan Sakai,
kota niaga yang makmur, Osaka berhubungan
dengan berbagai jalur perdagangan ke Cina, Korea,
dan Asia Tenggara. Barisan pegunungan Yamato
dan Kawachi membentuk benteng pertahanan
alam. Jalan raya Sanin dan Sanyo menghubungkan
Osaka dengan jalur laut dan darat ke Shikoku dan
Kyushu, dan menjadikannya gerbang ke kawasan-
kawasan terpencil. Sebagai lokasi benteng paling
penting di selutuh negeri dan sebagai tempat
untuk memerintah seluruh bangsa, Osaka jauh
lebih unggul dibandingkan Azuchi-nya Nobunaga.
Kazumasa tidak menemukan kekurangan sama
sekali.
"Bagaimana pendapat Tuan?" tanya Hideyoshi.
"Sempurna. Proyek ini sungguh megah," balas
Kazumasa. Tak ada lagi yang dapat dikatakannya
secara jujur. "Memadai, bukan?"
"Setelah rampung nanti, kota ini akan menjadi
kota benteng terbesar di seluruh negeri," kata
Kazumasa.
"Itulah tujuanku."
"Kapan pembangunannya selesai?"
"Aku ingin pindah sebetum akhir tahun ini."
Kazumasa berkedip-kedip, seakan-akan tak
percaya. "Apa? Akhir tahun ini?"
"Hmm, sekitar itulah."
"Proyek sebesar itu bisa makan waktu sepuluh
tahun."
"Dalam sepuluh tahun, dunia sudah berubah,
dan aku telah menjadi orang tua." kata Hideyoshi
sambil tertawa. "Aku telah memerintahkan para
mandor untuk merampungkan bagian dalam
benteng, termasuk dekorasinya, dalam waktu tiga
tahun."
"Aku tak bisa membayangkan bahwa para
pengrajin dan tukang bisa dipacu bekerja secepat
itu. Batu dan kayu yang akan Tuan butuhkan
tentu luar biasa jumlahnya."
"Aku mengambil kayu dari dua puluh delapan
provinsi."
"Dan berapa banyak tukang yang akan Tuan
kerahkan?"
"Aku belum tahu persis. Rasanya lebih dari
seratus ribu. Petugas-petugasku menaksir bahwa
untuk menggali selokan sebelah luar dan sebelah
dalam saja, kami memerlukan enam puluh ribu
orang yang bekerja setiap hari selama tiga bulan."
Kazumasa terdiam. Ia merasa sedih ketika
membayangkan perbedaan besar antara proyek ini
dan benteng-benteng di Okazaki dan Hamamatsu
di provinsinya sendiri. Tapi benar-benar
sanggupkah Hideyoshi membawa batu-batu besar
yang dibutuhkannya ke Osaka, suatu daerah yang
sama sekali tidak mempunyai tambang batu? Dan
di masa sukar ini, dari mana ia berharap
mendapatkan dana guna membiayai proyek
tersebut? Sempat terlintas dalam benaknya bahwa
rencana-rencana besar Hideyoshi sesungguhnya
hanya omong kosong.
Saat itu Hideyoshi seakan-akan teringat sesuatu
yang penting. Ia me-manggil juru tulisnya dan
mulai mendiktekan sepucuk surat. Tanpa meng-
indahkan kehadiran Kazumasa, ia memeriksa apa
yang ditulis, mengangguk, lalu mendiktekan surat
berikut. Seandainya pun Kazumasa tak ingin men-
dengarkan ucapan Hideyoshi, ia berada tepat di
hadapannya dan mau tak mau mendengar segala
sesuatu yang dikatakan. Rupanya Hideyoshi
sedang mendiktekan surat yang sangat penting
untuk marga Mori.
Sekali lagi Kazumasa merasa kikuk dan salah
tingkah. Ia berkata, "Urusan Tuan tampaknya
cukup mendesak. Bagaimana kalau tempat ini
kutinggalkan dulu?"
"Jangan, jangan, tidak perlu. Sebentar lagi aku
sudah selesai."
Hideyoshi kembali mendiktekan surat. la telah
menerima surat ucapan selamat dari pihak Mori
atas kemenangannya melawan marga Shibata.
Kini, dengan berlagak menjelaskan jalannya
pertempuran di Yanagase, ia menuntut agar
pengirim surat itu menegaskan sikapnya mengenai
masa depan marganya sendiri. Sural itu bersifat
pribadi dan sangat penting.
Kazumasa duduk di samping Hideyoshi. Sambil
membisu ia memandang rumpun-rumpun bambu
sementara Hideyoshi mendiktekan surat.
"Andai kata Katsuie sempat mendapat peluang
untuk menarik napas, dia takkan bisa dikalahkan
secepat ini. Tapi nasib Jepang dipertaruhkan,
sehingga aku terpaksa merelakan prajurit-
prajuritku. Aku menyerang benteng utama Katsuie
pada penengahan kedua jam Macan, dan pada jam
Kuda aku berhasil merebut benteng dalam."
Ketika mengucapkan kata-kata "nasib Jepang",
sorot matanya tampak menyala-nyala seperti ketika
ia menaklukkan benteng itu. Kemudian ia
mendiktekan kata-kata yang pasti akan menarik
perhatian marga Mori.
"Kurasa tak ada gunanya kita menyiagakan
pasukan masing-masing, tapi kalau perlu aku akan
mengunjungi provinsi Tuan untuk membahas
masalah perbatasan. Karena itu, pihak Tuan harus
bersikap arif dan menghindari provokasi.
Kazumasa diam-diam melirik ke arah Hideyoshi,
Keberanian orang itu membuatnya tercengang.
Dengan tenang Hideyoshi mendiktekan kata-kata
yang sangat terus terang. seakan-akan sedang
duduk bersila sambil mengobrol santai.
Congkakkah ia, atau sekadar naif?
"Baik marga Hojo di Timur maupun marga
Uesugi di Utara tdah mempercayakan pemecahan
masalah ini padaku, jika pihak Mori pun bersedia
membiarkanku bertindak bebas. pemerintahan
jepang akan memasuki masa jaya yang belum
pernah dialami. Pertimbangkanlah ini masak-
masak, jika ada keberatan, harap beritahu aku
sebelum Bulan Ketujuh. Dan harap diperhatikan
bahwa urusan ini sebaiknya dilaporkan secara
terperinci kepada Yang Mulia Mori Terumoto."
Mata Kazumasa memperhatikan permainan
angin di sela-sela bambu, namun telinganya
terpesona oleh ucapan Hideyoshi. Hatinya gemetar
seperti daun-daun bambu yang dibelai angin. Bagi
Hideyoshi, tugas raksasa untuk membangun
Benteng Osaka pun merupakan sesuatu yang
kelihatannya dilakukan dalam wakiu senggang.
Dan ia menegaskan. bahkan kepada marga Mori
pun, bahwa jika mereka merasa keberatan, mereka
harus memberirahunya sebelum Bulan Ketujuh
sebelum ia mulai berperang lagi.
Perasaan Kazumasa sukar dijelaskan dengan
kata-kata; ia merasa letih.
Saat itulah seorang pembantu mengumumkan
bahwa perahu Kazumasa telah siap berlayar.
Hideyoshi mengambil sebilah pedang yang
tergantung di pinggang dan menyerahkannya pada
Kazumasa. "Biarpun sudah agak tua, orang-orang
menganggapnya pedang yang baik. Terimalah
pedang ini sebagai tanda penghargaan dariku."
Kazumasa mengambil pedang tersebut, dan
dengan hormat mengangkatnya ke kening.
Ketika mereka melangkah ke luar, para
pengawal pribadi Hideyoshi telah menunggu
untuk mengantar Kazumasa ke pelabuhan Otsu.
Segunung persoalan telah menanti Hideyoshi,
baik di dalam maupun di luar kota Kyoto. Setelah
Yanagase, pertempuran berakhir, tapi walaupun
Takigawa telah tunduk pada Hideyoshi, masih ada
sejumlah pemberontak yang dengan keras kepala
menolak menyerah. Sisa-sisa pasukan Ise berkubu
di Nagashima dan Kobe, dan Oda Nobuo bertugas
membersihkan kantong-kantong perlawanan
terakhir.
Ketika mendengar bahwa Hideyoshi telah
kembali dari Echizen. Nobuo segera bertolak ke
Kyoto dan menemui Hideyoshi pada hari itu juga.
"Setelah Ise bertekuk lutut, silakan ambil
Benteng Nagashima," kata Hideyoshi kepadanya.
Dan dengan hati berbunga-bunga pangeran itu
meninggalkan Kyoto.
Saat untuk menyalakan lentera telah tiba. Para
warga istana yang datang berkunjung telah kembali
dan semua tamu lain pun sudah pulang; Hideyoshi
mandi, dan ketika ia bergabung dengan Hidekatsu
dan Maeda Geni untuk makan malam, seorang
pembantu memberitahunya bahwa Hikoemon
baru saja tiba.
Angin menggoyang-goyangkan kerai-kerai rotan
dan membawa suara tawa perempuan-perempuan
muda. Hikoemon tidak segera masuk, melainkan
berkumur dan merapikan rambutnya dulu.
Perialanan pulang dari Uji ditempuhnya dengan
menunggang kuda, dan debu masih menempel di
seluruh badannya.
la diberi tugas menemui Sakuma Genba yang
ditawan di Uji. Tugas tersebut tampaknya mudah,
tapi sesungguhnya cukup sukar. Hideyoshi pun
menyadari hal itu; karena itulah, ia memilih
Hikoemon.
Genba telah ditangkap, namun tidak diekse-
kusi. Ia malah ditawan di Uji. Hideyoshi telah
memerintahkan agar ia tidak diperlakukan dengan
kasar atau dipermalukan. Ia tahu bahwa Genba
merupakan orang dengan keberanian tanpa
tandingan, dan kalau dibebaskan. akan menyeru-
pai macan yang mengamuk. Oleh karena itu, ia
selalu dijaga ketat.
Meskipun Genba merupakan jendral musuh
yang tertawan, Hideyoshi merasa kasihan padanya.
Sama seperti Katsuie, ia pun mengakui bakat alam
Genba, dan merasa sayang jika harus
membunuhnya. Jadi, tak lama setelah Hideyoshi
kembali ke Kyoto, ia mengutus seorang kurir
uniuk berunding dengan Genba.
"Katsuie telah tiada." kurir itu mengawali
pembicaraan. "dan seyogyanya Tuan memandang
Hideyoshi sebagai penggantinya. Jika Tuan
bersedia, Tuan bebas kembali ke provinsi dan
benteng Tuan."
Genba tertawa. "Katsuie adalah Katsuie.
Mustahil Hideyoshi dapat meng-gantikannya.
Katsuie telah melakukan bunuh diri, dan tak
terpikir olehku untuk tetap berada di dunia ini.
Aku takkan pernah mengabdi pada Hideyoshi,
biarpun dia menyerahkan kendali atas seluruh
negeri padaku."
Hikoemon bertindak sebagai utusan kedua.
Pada waktu berangkat pun ia tdah menyadari
bahwa ia menghadapi tugas berat. Dan memang, ia
juga gagal membujuk Genba untuk berubah
pikiran.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Hideyoshi. la
duduk berselubung asap obat nyamuk yang naik
dari anglo dupa yang terbuat dari perak.
"Dia tidak tertarik." jawab Hikoemon. "Dia
justru memohon agar hamba memenggal
kepalanya."
"Kalau begitu, rasanya tak pantas kalau kita
mendesak-desaknya lebih lanjut." Hideyoshi
rupanya melepaskan harapan untuk membujuk
Genba, dan garis-garis pada wajahnya mendadak
lenyap.
"Hamba tahu apa yang diharapkan tuanku, tapi
sepertinya hamba kurang layak sebagai utusan."
Tak perlu minta maaf," Hideyoshi
menghiburnya. "Meskipun Genba tawanan, dia tak
mau tunduk padaku untuk menyelamatkan
nyawanya. Tekadnya untuk mempertahankan
kehormatannya sungguh luar biasa. Aku menyesal
harus kehilangan orang yang begitu tabah dan
teguh. Seandainya kau berhasil membujuknya
sehingga dia berubah pikiran, aku mungkin akan
kehilangan rasa hormat padanya." Lalu ia
menambahkan. "Kau seorang samurai, dan kau
pun menghayati hal itu, jadi tidak aneh kalau kau
gagal mempengaruhi nya."
"Maafkan hamba."
"Akulah yang minta maaf karena telah
merepotkanmu. Tapi tidakkah Genba mengatakan
apa-apa selain itu?"
"Hamba bertanya, kenapa dia tidak memilih
gugur di medan laga, tapi malah lari ke gunung
dan tertawan oleh sekelompok petani. Hamba juga
bertanya, kenapa dia menghabiskan hari-harinya
sebagai tawanan yang menunggu dipenggal,
bukannya bunuh diri
"Apa katanya?"
"Dia bertanya. apakah hamba menganggap
seppuku atau kematian dalam pertempuran
sebagai tujuan utama seorang samurai, kemudian
berkata bahwa dia berpendapat lain. Menururnya,
seorang samurai harus berusaha sekuat tenaga
untuk tetap hidup."
"Apa lagi?"
"Pada waktu meloloskan diri dari pertempuran
di Yanagase, dia tidak tahu apakah Katsuie masih
hidup atau sudah mati, jadi dia berusaha kembali
ke Kitanosho untuk membantu menyusun
serangan balasan. Namun dalam perjalanan, rasa
nyeri dari luka-lukanya jadi tak tertahankan, maka
dia mampir ke sebuah rumah petani dan minta
diberi moxa."
"Menyedihkan... sangat menyedihkan."
"Dia juga berkata bahwa dia rela menanggung
aib karena ditangkap hidup-hidup dan
dimasukkan ke penjara, sebab jika para penjaga
memberi peluang, dia akan mdarikan diri, lalu
mengejar dan membunuh tuanku. Dengan
demikian, dia akan meredakan kemarahan
Katsuie, sehingga dia dapat memohon maaf atas
kesalahan yang dilakukannya ketika menembus
garis musuh di Shizugatake."
"Ah, sayang sekali." Mata Hideyoshi mulai
berkaca-kaca. "Menyalahguna-kan orang seperti itu
dan menyuruhnya menghadap mautitulah
kesalahan Katsuie. Baiklah, kita berikan saja apa
yang diinginkannya, dan membiar-kannya mati
secara terhormat. Laksanakan. Hikoemon."
"Hamba mengerti, tuanku. Besok, kalau begitu?"
"Makin cepat makin baik."
"Dan tempatnya?*
"Uji."
"Perlukah dia diarak keliling dan diper-
tontonkan?"
Hideyoshi merenung sejenak. "Kurasa begitulah
kehendak Genba, laksanakan eksekusi di sebuah
ladang di Uji, setelah dia dibawa berkeliling di ibu
kota."
Keesokan harinya, tepat sebelum Hikoemon
hendak bertolak ke Uji. Hideyoshi menyerahkan
dua kimono sutra padanya.
"Pakaian Genba tentu sudah kotor. Berikan
kimono-kimono ini sebagai baju kematiannya."
Hari itu Hikoemon berkuda ke Uji dan sekali
lagi menemui Genba. yang kini telah dipisahkan
dari para tahanan lain.
"Yang Mulia Hideyoshi memerintahkan agar
Tuan diarak melalui Kyoto, lalu dipenggal di
sebuah ladang di Uji, seperti yang Tuan
kehendaki."
Genba tidak tampak risau sama sekali. "Aku
sangat berterima kasih," ia menjawab sopan.
"Yang Mulia Hideyoshi juga menyediakan
pakaian ini."
Genba menatap kimono-kimono itu, lalu
berkata, "Aku sungguh berterima kasih atas
kebaikan Yang Mulia Hideyoshi. tapi kurasa
lambang dan potongannya tidak cocok untukku.
Tolong kembalikan saja."
"Tidak cocok?"
"Pakaian seperti itu biasa dikenakan oleh
prajurit bawahan. Bagiku, keponakan Yang Mulia
Katsuie, terlihat dengan pakaian seperti itu di
hadapan para warga ibu kota hanya akan
membawa aib pada almarhum pamanku. Pakaian
yang kukenakan sekarang memang sudah
compang-camping, tapi meskipun masih kotor
akibat pertempuran, aku lebih suka diarak dengan
pakaian ini. Tapi jika Yang Mulia Hideyoshi
memperkenankan aku memakai kimono baru, aku
menginginkan sesuatu yang sedikit lebih pantas."
"Aku akan menyampaikannya pada beliau. Apa
yang Tuan inginkan?"
"Mantel merah berlengan lebar dengan pola
besar-besar. Di bawahnya, kimono sutra berwarna
merah dengan sulaman perak." Genba tidak
sungkan-sungkan. "Bukan rahasia bahwa aku
tertangkap oleh sekelompok petani, diikat, lalu
dibawa ke sini, Aku menanggung aib karena
ditangkap hidup-hidup. Semula aku masih berniat
memenggal kepala Yang Mulia Hideyoshi, namun
itu pun gagal. Aku bisa membayangkan bahwa ibu
kota akan gempar pada waktu aku dibawa ke
tempat eksekusi. Aku menyesal harus memakai
baju sutra seburuk ini, tapi kalau aku akan
memakai yang lebih baik aku ingin baju yang
serupa dengan yang kupakai di medan tempur,
dengan bendera berkibar-kibar dari punggungku,
Selain itu, sebagai bukti bahwa aku tidak
mendendam karena diikat, aku minta diikat di
hadapan khalayak ramai sehelum aku naik ke
gerobak."
Keterusterangan Genba memang salah satu ciri
yang paling menyenangkan. Ketika Hikoemon
menyampaikan keinginan Genba kepada
Hideyoshi, Hideyoshi langsung menyuruh
pembantunya menyiapkan pakaian yang akan
dikirim.
Hari eksekusi pun tiba. Sang tawanan mandi,
lalu mengikat rambutnya. Kemudian ia
mengenakan kimono merah, dan di atasnya
mantel berlengan lebar dengan pola besar-besar. la
mengulurkan tangan untuk diikat sebelum naik ke
gerobak. Tahun itu ia berusia tiga puluh tahun,
begitu tampan sehingga semua orang
menyayangkan kematiannya.
Gerobak itu dibawa mengelilingi jalan-jalan di
Kyoto, lalu kembali ke Uji- Di sana selembar kulit
binatang telah digelar di tanah.
Tuan boleh membelah perut sendiri," algojo
Genba menawarkan.
Sebilah pedang pendek disodorkan padanya.
tapi Genba hanya tertawa. "Kalian tak perlu
memberi keringanan khusus untukku."
lkatannya tidak dibuka, dan kepalanya pun
dipenggal.
Akhir Bulan Keenam sudah dekat.
"Pembangunan Benteng Osaka seharusnya
berjalan lancar," ujar Hideyoshi. "Coba kita lihat
bagaimana kemajuannya."
Ketika ia tiba. orang-orang yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan pembangunan menjelaskan
kemajuan apa saja yang telah dicapai sampai saat
itu. Paya-paya di Naniwa sedang diuruk, dan
saluran-saluran air telah digali dalam arah
memanjang maupun melebar. Toko-toko darurat
para pedagang sudah mulai bermunculan di lokasi
kota benteng. Jika memandang ke arah muara
Sungai Yasuji dan pelabuhan Sakai di tepi laut,
orang akan melihat ratusan perahu yang membawa
batu-batu, saling berdesakan dengan layar
mengembang. Hideyoshi berdiri di titik tempat
benteng utama akan dibangun, dan sambil
memandang ke darat, melihat puluhan ribu
tukang dan pengrajin dari segala bidang. Orang-
orang bekerja siang-malam bergiliran, sehingga
kegiatan pembangunan tak pernah berhenti.
Para pekeria ditarik dari semua marga; jika
seorang pembesar lalai memenuhi jumlah tenaga
kerja yang dibebankan padanya, ia dihukum keras,
tanpa memandang kedudukannya. Di setiap
tempat pembangunan terdapat rantai komando
yang terdiri atas subkontraktor, mandor, dan
pembantu mandor untuk semua bidang keahlian.
Tanggung jawab masing-masing telah digariskan
secara jelas. Kalau ada yang tidak disiplin, ia akan
langsung dipenggal. Para samurai yang bertindak
sebagai pengawas tidak menunggu hukuman.
melainkan mdakukan seppuku di tempat.
Tapi yang paling menyita perhatian Hideyoshi
saat itu adalah Ieyasu. Sepanjang hidupnya.
Hideyoshi yakin bahwa orang yang paling
menonjol di zaman ituselain Yang Mulia
Nobunagaadalah Ieyasu. Dan mengingat
kekuasaannya sendiri yang meningkai secara
mencolok, ia beranggapan bahwa bentrokan di
antara mereka berdua hampir tak terelakkan.
Pada Bulan Kedelapan, ia memerintahkan
Tsuda Nobukatsu untuk membawa pedang
termasyhur buatan Fudo Kuniyuki guna
diserahkan kepada Ieyasu,
"Katakan pada Yang Mulia Ieyasu bahwa aku
senang sekali menerima wadah teh yang
diberikannya padaku ketika mengutus Ishikawa
Kazumasa."
Nobukatsu bertolak ke Hamamatsu pada awal
bulan, dan kembali sekitar hari kesepuluh.
"Keramah-tamahan yang ditunjukkan marga
Tokugawa begitu luar biasa, sehingga hamba
hampir merasa malu sendiri. Mereka benar-benar
penuh perhatian," ia melaporkan,
"Apakah Yang Mulia Ieyasu baik-baik saja?"
"Beliau tampak sehat sekali."
"Bagaimana dengan disiplin para pengikutnya?"
"Mereka mempunyai ciri yang tidak ditemukan
pada marga-marga lain kesan bahwa mereka
sukar ditaklukkan."
"Kabarnya Yang Mulia leyasu mempekerjakan
banyak orang baru."
"Kelihatannya banyak dari mereka bekas
pengikut marga Takeda."
Dalam percakapannya dengan Nobukatsu,
Hideyoshi mendadak teringat akan perbedaan
usianya dengan usia Ieyasu. Ia memang senior
Ieyasu. Ieyasu berusia empat puluh satu tahun, dan
ia sendiri empat puluh enam tahunperbedaan
sebesar lima tahun. Tapi Ieyasu yang lebih muda
justru menimbulkan beban pikiran dalam benak
Hideyoshi, bahkan melebihi Shibata Katsuie.
Meski demikian, semuanya itu terkunci rapat-
rapat dalam hati Hideyoshi. la sama sekali tidak
memperlihatkan bahwa pada saat perang melawan
marga Shibata baru saja berakhir, ia telah
mengantisipasi pertempuran berikut. Artinya.
hubungan di anrara kedua orang itu tampak baik-
baik saja. Di Bulan Kesepuluh. Hideyoshi
mengajukan petisi kepada sang Tenno untuk
menganugerahkan gelar yang lebih tinggi pada
leyasu.
***

Di Azuchi, Yang Mulia Samboshi baru berusia


empat tahun. Sejumlah pembesar provinsi datang
untuk menyambut Tahun Baru dan melakukan
kunjungan kehormatan serta berdoa agar ia tetap
dalam keadaan sehat.
"Permisi, Tuan Shonyu."
"Ah. Tuan Gamo."
Kedua laki-laki itu bertemu secara kebetulan di
muka bangsal besar di benteng utama. Yang
percama Ikeda Shonyu, yang dipindahkan dari
Osaka ke Benteng Ogaki untuk memberi tempat
bagi Hideyoshi. Yang satu lagi Gamo Ujisato
"Tuan tampak semakin sehat saja," ujar Gamo.
Itulah berkah terbesar yang bisa diberikan pada
kita."
"Sampai sekarang memang belum ada keluhan.
tapi akhir-akhir ini aku cukup sibuk. Sudah
beberapa malam aku tak bisa tidur, bahkan di
Ogaki pun."
"Tuan memikul beban tambahan karena
bertanggung jawab atas pembangunan Benteng
Osaka."
"Tugas semacam itu cocok untuk orang-orang
seperti Matsuda dan Ishida, tapi tidak sesuai bagi
kita, kaum prajurit."
"Aku tidak sependapat. Yang Mulia Hideyoshi
tidak biasa menempatkan seseorang pada posisi
yang tidak cocok baginya. Percayalah, beliau
memerlukan Tuan di antara pejabat-pejabatnya."
"Aku benar-benar tak menduga, Tuan dapat
melihat kemampuan seperti itu dalam diriku."
balas Shonyu sambil tertawa. "O ya, Tuan sudah
menyampaikan ucapan selamat Tahun Baru
kepada Yang Mulia Samboshi?"
"Aku baru saja mohon diri."
"Kebetulan sekali aku pun baru saja berpamitan.
Ada urusan pribadi yang ingin kubahas dengan
Tuan."
"Sebenamya, begitu melihat Tuan. aku pun
teringat bahwa ada sesuatu yang perlu kita
bicarakan."
"Rupanya pikiran kita sama. Di mana kita akan
bicara?"
Shonyu menunjuk sebuah ruangan kecil yang
bersebelahan dengan bangsal besar.
Kedua laki-laki tersebut duduk di ruangan
kosong itu. Tak ada anglo, namun sinar matahari
Tahun Baru yang menembus piniu geser kertas
terasa hangat.
Tuan sudah mendengar desas-desus yang
beredar?" Shonyu membuka pembicaraan.
"Sudah. Kabarnya Yang Mulia Nobuo telah
dibunuh. Dan sepertinya berita itu dapat
dipercaya."
Shonyu menghela napas dan mengerutkan
kening. "Sekarang saja sudah ada tanda-tanda
bahwa akan terjadi keguncangan dalam tahun ini.
Seberapa parah, itu tergantung pihak mana yang
akan berhadapan, tapi pertanda-pertanda yang
timbul belakangan ini cukup merisaukan. Tuan
lebih muda dari aku. tapi sepertinya penilaian
Tuan lebih tajam. Tidak dapatkah Tuan mencari
ide bagus sebelum ierjadi sesuatu yang patut
disesali?"
Ia tampak amat cemas.
Gamo menjawab dengan mengajukan
penanyaan lain. "Dari manakah desas-desus ini
berasal?"
"Aku sendiri tidak tahu. Tapi takkan ada asap
kalau tidak ada api."
"Maksud Tuan, ada sesuatu yang tidak kita
ketahui?"
"Bukan, sama sekali bukan. Hanya saja semua
fakta serba terbalik. Pertama-tama. Yang Mulia
Nobuo pergi ke benteng Takaradera pada Bulan
Kesebelas tahun lalu, untuk mengunjungi Yang
Mulia Hideyoshi. Kabarnya Yang Mulia Hideyoshi
sendiri mengatur jamuan yang diadakan dalam
rangka berterima kasih pada Yang Mulia Nobuo
karena telah menundukkan Ise, dan sikapnya
demikian ramah sehingga Yang Mulia Nobuo
tinggal selama empat hari."
"O ya?"
"Para pengikui Yang Mulia Nobuo menyangka
dia akan meninggalkan benteng esoknya, tapi pada
hari kedua tetap tidak ada kabar darinya, begitu
juga pada hari ketiga, bahkan pada hari keempat.
Nah, rupanya mereka membayangkan hal-hal yang
paling buruk, dan para pelayan di luar benteng
pun mulai menyebarkan dugaan-dugaan yang tak
berdasar."
"Jadi, itu masalahnya." ujar Gamo sambil
tertawa. "Kalau akar dari cerita-cerita seperti ini
telah terungkap, ternyata sebagian besar hanya
isapan jempol belaka, bukan begitu?"
Namun Shonyu tetap kelihatan khawatir, dan
segera melanjutkan. "Setelah itu masalahnya
dibahas lebih luas, dan berbagai isu yang saling
bertentangan mondar-mandir antara Ise,
Nagashima, Osaka, dan ibu kota. Yang pertama
mengatakan bahwa laporan palsu mengenai
kematian Nobuo tidak berasal dari para pembantu
Yang Mulia Nobuo, melainkan dari mulut para
pelayan Hideyoshi. Orang-orang di Benteng
Takaradera menyangkal keras. Mereka mengatakan
bahwa desas-desus tersebut timbul akibat
kecurigaan dan iktikad buruk para pengikui Yang
Mulia Nobuo. Sementara masing-masing pihak
sibuk menyalahkan lawannya, desas-desus
mengenai pembunuhan Yang Mulia Nobuo
menyebar bagaikan angin."
Apakah ralcyai percaya?"
"Pikiran rakyar jelata sulit diraba, tapi setelah
menyaksikan kematian Yang Mulia Nobutaka,
menyusul kekalahan marga Shibata, tak perlu
diragukan bahwa di antara kerabat dan pengikut
Yang Mulia Nobuo ada beberapa orang yang
mengalami mimpi buruk dan bertanya-tanya siapa
yang mendapai giliran berikut."
Kemudian Gamo mengungkapkan kecemasan-
nya secara terang-terangan. la beringsut-ingsut
mendekati Shonyu dan berkata, "Mestinya ada
saling pengertian antara Hideyoshi dan Nobuo
yang tak terpengaruh oleh desas-desus yang
beredar. Tapi mungkin juga telah terjadi
perselisihan di antara mereka."
Gamo menatap Sonyu yang mengangguk-
anggukkan kepala.
"Amatilah situasi setelah kematian Yang Mulia
Nobunaga. Sebagian besar orang berpendapat
bahwa setelah mewujudkan perdamaian,
Hideyoshi se-harusnya menyerahkan seluruh
kekuasaannya kepada pewaris bekas junjungannya.
Tapi dilihat dari sudut mana pun, sudah jelas
bahwa Yang Mulia Samboshi masih lerlalu kecil
dan bahwa Yang Mulia Nobuo yang seharusnya
menjadi penerus. Jika tidak tunduk pada Yang
Mulia Nobuo. Hideyoshi bisa dituduh tidak setia
dan telah melupakan segala kebaikan yang
diterima-nya dari marga Oda."
"Semua ini agak meresahkan, bukan? Keinginan
Nobuo sudah jelas, namun sepertinya dia tak
mengerti bahwa yang akan terjadi justru kebalikan
dari yang dikehendakinya.
"Mungkinkah dia menyimpan harapan semuluk
itu?"
"Mungkin saja. Siapa yang bisa menebak jalan
pikiran orang pandir yang manja?"
"Desas-desus ini tentu juga terdengar di Osaka,
dan ini akan menyebabkan semakin banyak
kesalahpahaman."
"Memang pelik," ujar Shonyu sambil mendesak.
Sebagai jendral Hideyoshi, baik Shonyu mau-
pun Gamo terikat oleh hubungan mutlak yang
terjalin antara junjungan dan pengikut. Tapi
mereka juga mempunyai ikatan dengan pihak lain,
dan ikatan tersebut kini dapat menimbulkan
masalah yang tak mudah dipecahkan.
Pertama-tama. Gamo menikah dengan putri
bungsu Nobunaga. Selain itu, Shonyu dan
Nobunaga diasuh oleh inang yang sama, dan
sebagai saudara sesusuan, hubungan Shonyu
dengan bekas junjungannya itu sangat dekat.
Karena itu, bahkan dalam pertemuan Kiyosu pun
kedua laki-laki itu ditempatkan sebagai kerabat.
Dengan sendirinya mereka tak dapat bersikap acuh
tak acuh terhadap persoalan-persoalan yang
dihadapi marga Oda, dan selain Samboshi yang
masih kecil, satu-satunya orang yang merupakan
keturunan langsung Nobunaga adalah Nobuo.
Gamo dan Shonyu takkan sebingung itu sean-
dainya mereka dapat melihat suatu kelebihan
dalam diri Nobuo, tapi keduanya menyadari
bahwa Nobuo tidak memiliki kemampuan
menonjol. Baik sebelum maupun sesudah
pertemuan Kiyosu. semua orang telah maklum
bahwa bukan Nobuo yang akan meraih tali kekang
yang terlepas dari tangan Nobunaga.
Namun sayangnya tak seorang pun mau
berterus terang pada Nobuo. Bangsawan muda
yang lugu iniyang sejak dulu mengandalkan
kekuatan para pengikutnya, yang setiap kali
termakan bujuk rayu para penjilat, dan ditipu oleh
orang-orang yang memanipulasinya untuk meraih
keuntungan pribaditelah menyia-nyiakan sebuah
kesempatan besar dan bahkan tidak menyadarinya.
Pada tahun sebelumnya Nobuo diam-diam
bertemu dengan Ieyasu, dan setelah pertempuran
di Yanagase, atas anjuran Hideyoshi ia memaksa
saudaranya melakukan bunuh diri. Kemudian ia
menerima imbalan berupa Provinsi Ise, Iga, dan
Owari atas kemenangannya di Ise. Dan mungkin
karena merasa saatnya telah tiba, ia pun
menyangka Hideyoshi akan segera mengalihkan
pemerintahan pusat kepadanya.
"Kita tak boleh berpangku tangan dan
membiarkan situasi berlanjut seperti ini.
Barangkali Tuan punya ide tertentu?" Gamo
bertanya.
"Tidak, aku justru mengharapkan usulan dari
Tuan. Tuan harus mencari akal."
"Rasanya paling baik jika Yang Mulia Nobuo
bertemu dengan Yang Mulia Hideyoshi, agar
mereka dapat membicarakan hal ini secara
terbuka."
"Itu ide yang baik sekali. Hmm, tapi belakangan
ini dia berlagak penting, jadi bagaimana kita bisa
melaksanakan ide Tuan?"
"Aku akan mencari alasan."
Bagi Nobuo sesuatu yang kemarin masih
diminati hari ini sudah tidak menarik. Dalam hati
ia selalu merasa tidak senang. Selain itu, ia tak
pernah memikirkan mengapa ia merasa demikian.
Musim gugur yang lalu ia pindah ke Benteng
Nagashima di Ise, provinsinya yang baru, dan ia
pun telah menerima kenaikan pangkat dari istana
kekaisaran. Jika ia keluar, semua orang
membungkuk, dan jika kembali, ia disambut
dengan seruling dan alat musik berdawai. Segala
keinginannya terpenuhi, dan pada musim semi itu
usianya baru dua puluh enam tahun. Namun
keadaan yang serba menyenangkan itu justru
menyebabkan ia semakin tidak puas.
"Ise terlalu terpencil," ia kerap mengeluh.
"Untuk apa Hideyoshi mem-bangun benteng yang
begitu besar di Osaka? Apakah dia berniat tinggal
di sana seorang diri, ataukah dia juga akan
mengajak pewaris yang sah?"
Bila bicara demikian, ia seperti Nobunaga.
Sepertinya ia mewarisi bentuk lahiriah ayahnya,
tanpa dibekali kemampuan sebanding. "Hideyoshi
itu tak tahu diri. Dia sudah lupa bahwa dia bekas
pengikut ayahku, dan sekarang dia bukan saja
merepotkan pengikut-pengikut ayahku yang masih
hidup dan membangun benteng raksasa, dia juga
bersikap seakan-akan aku merupakan beban
baginya. Belakangan ini dia tak pernah lagi
mengajakku berunding mengenai apa pun."
Sudah sejak Bulan Kesebelas tahun lalu kedua
orang itu tidak saling berkomunikasi. Desas-desus
bahwa Hideyoshi sedang menyusun rencana tanpa
melibatkan Nobuo, yang belakangan ini semakin
santer, segera menyulut kecurigaannya.
Pada waktu yang sama, Nobuo memberikan
beberapa pernyataan sembrono di depan para
pengikutnya, yang akhirnya diketahui oleh umum
dan dengan demikian semakin menjengkelkan
Hideyoshi. Akibatnya Tahun Baru berlalu tanpa
tukar-menukar ucapan selamat di antara mereka.
Pada Hari Tahun Baru, ketika Nobuo sedang
bermain bola sepak di pekarangan belakang
bersama para dayang dan pelayannya, seorang
samurai mengumumkan kedatangan seorang tamu.
Tamu itu temyata Gamo. la dua tahun lebih tua
dari Nobuo, dan menikah dengan saudara
perempuan Nobuo.
"Gamo? Dia datang pada waktu yang tepat," ujar
Nobuo sambil menendang bola dengan anggun.
"Dia akan menjadi lawan tangguh. Bawa dia ke
sini."
Samurai itu pergi, namun segera kembali lagi
dan berkata. "Yang Mulia Gamo sedang terburu-
buru. Beliau menunggu tuanku di ruang tamu."
"Bagaimana dengan acara bola sepak?"
"Yang Mulia Gamo berpesan bahwa beliau tidak
berbakat dalam permainan ini." im
"Dasar!" Nobuo tertawa. memamerkan giginya
yang telah dihitamkan.
Beberapa hari setelah kunjungan Gamo,
sepucuk surat datang dari Gamo dan Shonyu.
Nobuo sedang bergembira, dan segera memanggil
empat pengikut senior dan meneruskan informasi
yang diterimanya.
"Besok kita berangkat ke Otsu. Menurut
mereka. Hideyoshi menungguku di Kuil Onjo."
"Bukankah itu berbahaya, tuanku?" salah satu
dari keempat pengikutnya bertanya.
Nobuo tersenyum, sehingga giginya yang
dihitamkan kelihatan jelas.
"Hideyoshi rupanya terusik oleh desas-desus
mengenai perselisihan kami. Pasti itu masalahnya.
Dia tidak memenuhi kewajibannya terhadap orang
yang paling dekat dengan ayahku."
"Tapi bagaimana pertemuan ini diaiur?"
Jawaban Nobuo penuh percaya diri, "Begini.
Beberapa waktu lalu, Gamo menemuiku dan
melaporkan bahwa ada desas-desus mengenai suatu
masalah antara Hideyoshi dan aku, tapi dia
menjamin bahwa Hideyoshi tidak menyimpan
dendam sama sekali. Dia minta agar aku pergi ke
Kuil Onjo untuk mengadakan pertemuan Tahun
Baru dengannya. Rasanya tak ada alasan untuk
menaruh curiga pada Hideyoshi, karena itu aku
telah memutuskan untuk pergi. Baik Yang Mulia
Shonyu maupun Yang Mulia Gamo menjamin
bahwa semuanya akan aman-aman saja."
Ketenderungan Nobuo umuk mempercayai apa
saja yang ditulis atau diucapkan bisa dianggap
sebagai akibat dari cara ia dibesarkan. Karena itu
para pengikut seniornya merasa perlu bersikap
lebih hati-hati dan mereka tak sanggup
menyembunyikan perasaan waswas.
Sambil berkerumun, mereka mengamati surat
Gamo.
"Tak salah lagi," saiah seorang dari mereka
berkata. "sepertinya ini memang tulisan tangan
Yang Mulia Gamo."
"Tak ada lagi yang bisa kita lakukan." orang lain
menanggapi. "Jika Yang Mulia Shonyu dan Yang
Mulia Gamo telah bersedia menangani urusan
sejauh ini, kita tak boleh ketinggalan."
Dengan demikian diputuskan bahwa keempat
pengikui senior itu akan menyertai Nobuo ke
Otsu.
Keesokan harinya Nobuo bertolak ke Otsu.
Ketika ia tiba di Kuil Onjo, Gamo segera
menemuinya, dan tak lama kemudian Ikeda pun
menyusul.
"Yang Mulia Hideyoshi telah tiba kemarin." ujar
Shonyu. "Beliau me nunggu tuanku.
Tempat pertemuan sudah disiapkan di tempat
Hideyoshi menginap, yaitu di kuil utama, namun
ketika ditanya apakah ia berkenan menemui
Hideyoshi. Nobuo menjawab dengan congkak.
"Aku masih lelah karena perjalanan, jadi besok aku
ingin beristirahat sepanjang hari."
Tak seorang pun ingin menghabiskan satu hari
tanpa melakukan apa-apa, tapi berhubung Nobuo
telah menyatakan keinginannya untuk melepas
lelah semuanya melewatkan hari ini dalam
kejemuan yang tak berguna.
Pada waktu tiba di Otsu, Nobuo langsung
jengkel karena Hideyoshi dan para pengikutnya
ternyata telah menempati bangunan-bangunan
utama, sementara bagi rombongannya sendiri
disediakan bangunan-bangunan yang lebih kecil.
Untuk melampiaskan kekesalannya, Nobuo
sengaja agak ber-tingkah, tapi keesokan harinya ia
sendiri tampak bosan dan mulai mengeluh.
"Para pengikut senior pun tidak ada di sini."
Nobuo menghabiskan hari itu dengan
mengamati koleksi buku sajak di kuil, dan
mendengarkan ocehan para biksu tua yang seakan-
akan tanpa akhir. Ketika malam tiba, keempat
pengikut senior muncul di ruangannya. "Tuanku
dapat beristirahat dengan baik?" salah seorang dari
mereka bertanya.
Dasar bodoh semua! Nobuo benar-benar
marah. la ingin berteriak bahwa ia merasa jemu
dan bahwa tak ada yang dapat dikerjakannya, tapi
ia berkata, "Ya, terima kasih. Kalian juga sudah
sempat bersantai di tempat kalian menginap?"
"Kami tak ada waktu untuk bersantai."
"Kenapa begitu?"
"Para utusan dari marga-marga lain terus
berdatangan."
"Begitu banyak tamu yang datang? Kenapa aku
tidak diberitahu?"
Tuanku telah berpesan bahwa tuanku hendak
beristirahat, dan kami tak ingin mengganggu."
Sambil mengetuk-ngetuk lutut, Nobuo
memandang mereka dengan sikap angkuh dan tak
peduli.
"Hmm. baiklah. Tapi kalian berempat harus
makan malam bersamaku. Kita juga akan
menikmati sedikit sake." Keempat pengikut senior
ber-pandangan; mereka tampak salah tingkah.
"Apakah ada sesuatu yang me-nyebabkan kalian
berhalangan?" tanya Nobuo.
Salah satu pengikut berkata, seakan-akan ingin
minia maaf. "Sebenarnya, beberapa waktu lalu
seorang kurir menyampaikan undangan dari Yang
Mulia Hideyoshi, dan kini kami menemui tuanku
untuk mohon izin."
"Apa?! Hideyoshi mengundang kalian! Apa ini?
Upacara minum teh?" Wajah Nobuo mulai
berkerut-kerut.
"Bukan. hamba rasa acaranya bukan seperti itu,
Hamba yakin beliau takkan mengundang pengikut
seperti ini, apalagi untuk upacara minum teh, tan-
pa menyertakan junjungan kami, apalagi masih
banyak permbesar lain yang dapat diundang.
Beliau berpesan bahwa ada sesuatu yang ingin
beliau bicarakan dengan kami."
"Aneh." ujar Nobuo, tapi kemudian ia angkat
bahu. "Hmm. kalau dia mengundang kalian, siapa
tahu dia ingin membicarakan pengalihan
kekuasaan atas marga Oda ke tanganku. Mungkin
itu. Tidak sepantasnya Hideyoshi menempatkan
diri di atas penerus yang sah. Rakyat takkan
menerimanya."
Kuil utama tmpak lengang. Hanya lentera-
ientera menunggu datangnya malam. Para tamu
tiba. Di Pertengahan Bulan Pertama, cuaca masih
amat dingin. Kemudian ada orang lain muncul,
berdeham. Berhubung orang itu disertai
pembantu, keempat pengikut Nobuo segera
menyadari bahwa itu Hideyoshi. Sepertinya ia
sedang memberi perintah dengan suara lantang
sambil berjalan.
"Maaf kalau Tuan-Tuan terpaksa menunggu," ia
berkata ketika memasuki ruangan, lalu terbatuk ke
tangannya.
Keempat tamu menoleh dan melihat bahwa ia
kini seorang diritak seorang pelayan pun tampak
di belakangnya.
Keempat orang itu merasa tidak tenang. Ketika
mereka menyapanya. Hideyoshi membuang ingus
dan membersihkan hidung.
"Rupanya Yang Mulia terkena selesma," ujar
salah satu pengikut Nobuo dengan ramah.
"Dan sepertinya tidak sembuh-sembuh," balas
Hideyoshi tak kalah ramah.
Ruangan tempat mereka berada berkesan
sederhana untuk tempat diskusi. Tak ada hidangan
makanan maupun minuman, dan Hideyoshi pun
membuka percakapan tanpa basa-basi, "Tidakkah
Tuan-Tuan merasa risau melihat tindak-tanduk
Yang Mulia Nobuo belakangan ini?"
Keempat tamunya langsung waswas. Mereka
kaget mendengar ucapan bernada teguran itu, dan
menyangka Hideyoshi akan menyalahkan mereka
sebagai penasihat senior Nobuo. "Kukira Tuan-
Tuan tentu sudah berusaha sedapat mungkin,- ia
lalu berkata. "Tuan-Tuan dikenal sebagai orang-
orang cerdas, tapi rasanya Tuan-Tuan pun tak
dapat berbuat banyak di bawah Yang Mulia
Nobuo. Aku mengerti. Aku sendiri sudah
memeras otak, namun sayangnya sia-sia."
Kata-kata terakhir ini diucapkan dengan
sungguh-sungguh, dan keempat tamunya merasa
kaku. Hideyoshi membuka isi harinya, dan
menyatakan kekecewaannya terhadap Nobuo
secara terang-terangan. "Aku telah mengambil
keputusan," ia berkata. "Aku merasa prihatin
bahwa Tuan-Tuan sudah bertahun-tahun
mengabdi pada orang ini. Singkat kata, kita bisa
mengakhiri urusan ini tanpa banyak ribut jika
Tuan-Tuan dapat membujuk Yang Mulia Nobuo
untuk melakukan seppuku atau menjadi biksu.
Sebagai imbalan, aku akan menganugerahkan
tanah di Ise dan Iga."
Bukan hawa dingin saja yang menyebabkan
keempat orang itu menggigil. Dinding-dinding
yang mengelilingi mereka terasa seperti pedang
dan tombak. Kedua mata Hideyoshi menyorot
tajam, memaksa para pengikut Nobuo untuk
menjawab ya atau tidak.
Ia tidak memberikan kesemparan berpikir pada
merek,. atau membiarkan mereka memohon diri
sebelum mendapat jawaban. Mereka dalam
keadaan terjepit, dan keempat-empatnya
menundukkan kepala dengan gundah. Namun
akhimya mereka menyetujui usul Hideyoshi dan
segera menulis dan menandatangani perjanjian.
"Pengikut-pengikutku sedang menikmati sake di
ruang di ujung selasar," kata Hideyoshi.
"Bergabunglah dengan mereka. Aku sebenarnya
ingin me-nemani Tuan-Tuan, tapi malam ini aku
akan tidur lebih cepat karena selesmaku ini."
Sambil meraih surat-surat perjanjian, ia kembali
ke ruangan di kuil.
Nobuo tak kuasa menenangkan diri malam itu.
Pada waktu makan malam, ia duduk bersama para
pengikut dan pembantunya, ditemani para biksu,
dan bahkan biksuni perawan dari kuil tetangga. la
bersikap ceria dan berbicara dengan suara lantang.
tapi setelah semua orang pergi dan kembali
seorang diri, ia terus-menerus bertanya pada para
pelayan dan samurai yang bertugas jaga, "jam
berapa sekarang? Betum kembalikah para pengikut
senior dari kuil utama.'-
Setelah beberapa waktu, hanya satu dari mereka
yang muncul.
"Kau sendirian, Saburobei?" Nobuo bertanya
curiga.
Roman muka orang itu tidak biasa, dan Nobuo
pun merasa waswas. Sambil bersujud dengan
kedua tangan menempel di lantai, orang itu
bahkan tidak berani menatap junjungannya.
Nobuo mendengarnya tersedu-sedu.
"Ada apa, Saburobei? Apakah terjadi sesuatu
ketika kalian bicara dengan Hideyoshi"
"Pertemuan itu sungguh menyakitkan."
"Apa?! Dia memanggil kalian untuk dimarah-
marahi?"
"Kalau hanya itu, hamba takkan merasa gundah.
Kejadian tadi benar-benar tak terduga. Kami
dipaksa menandatangani surat perjanjian. Tuanku
pun harus rela." Kemudian ia melaporkan perintah
Hideyoshi secara Iengkap, dan berkata. "Kami tahu
bahwa jika kami menolak, kami akan dibunuh di
tempat. Karena itu kami tak dapat berbuat apa-apa
selain menuruti ke-hendaknya. Belakangan hamba
melihat kesempatan dalam pesta minum-minum
bersama para pengikutnya, dan langsung berlari ke
sini. Mereka akan gempar pada waktu menyadari
bahwa hamba menghilang. Tuanku tidak aman di
sini. Tuanku harus segera meninggalkan tempat
ini."
Bibir Nobuo tampak pucat. Gerakan matanya
seakan-akan menunjukkan bahwa ia hanya
mendengar setengah dari yang diucapkan
Saburobei. Jantung-nya berpacu kencang, dan ia
nyaris tak sanggup duduk diam. "Tapi, kalau
begitu, bagaimana dengan yang lain?"
"Hamba kembali seorang diri. Hamba tak
sempat memperhatikan mereka."
"Mereka juga menandatangani perjanjian itu?"
"Ya."
"Jadi, mereka masih minum-minum bersama
para pengikut Hideyoshi? Rupanya aku keliru
menilai mereka. Orang-orang itu lebih hina
daripada binatang!"
Ia berdiri sambil terus mencaci maki dan
merebut pedang panjang dari tangan pelayan yang
berdiri di belakangnya. Tergesa-gesa ia
meninggalkan ruangan, diikuti Saburobei yang
dengan bingung memohon agar diberitahu ke
mana junjungannya hendak pergi. Nobuo
berbalik, dan sambil merendah-kan suara, minta
diambilkan kuda.
Tunggu sebentar, tuanku." Saburobei me-
mahami niat junjungannya dan bergegas ke istal.
Ia kembali dengan membawa kuda gagah
berbulu cokclat kemerahan. yang bernama Palu
Godam. Begitu duduk di pelana, Nobuo
menyusup ke dalam kegelapan malam. Sampai
keesokan paginya tak seorang pun me-ngetahui
kepergiannya. Pertemuannya dengan Hideyoshi
tentu saja dibatalkan, dengan alasan bahwa Nobuo
mendadak jatuh sakit. Hideyoshi dengan tenang
kembali ke Osaka, seakan-akan telah menduga
bahwa itu akan terjadi.
Nobuo pulang ke Nagashima, mengurung diri
di dalam bentengnya, dan masih dengan berlagak
sakit, tidak memperlihatkan batang hidung bahkan
kepada pengikut-pengikutnya sendiri. Namun ia
tidak sepenuhnya berpura-pura. la memang jatuh
sakit. Hanya para dokter yang keluar-masuk
kamarnya, dan meskipun kembang-kembang prem
di belakang benteng telah mekar, alunan musik
terhenti dan pekarangannya sunyi dan lengang.
Tapi di kota benteng dan di seluruh Ise dan Iga,
desas-desus semakin menjadi-jadi dan berlipat
ganda setiap hari. Pelarian Nobuo dari Kuil Onjo
menambah keeurigaan semua orang.

***
Para pengikui senior Nobuo mengurung diri di
benteng masing-masing. seakan-akan telah
bersepakat, dan tak pernah datang ke Nagashima.
Tindakan mereka justru memperkuat desas-desus
dan memperparah keresahan yang melanda
provinsi.
Kebenaran selalu sukar terungkap, tapi sudah
bisa dipastikan bahwa perselisihan antara Nobuo
dan Hideyoshi sekali lagi tersulut. Status Nobuo
tentu saja merupakan pusat badai, dan sepertinya
ada seseorang yang dapat diandalkannya. Nobuo
berwatak konservatif, dan ia meyakini keampuhan
komplotan rahasia dan tipu muslihat. Meski selalu
tampak sepaham dengan para sekutunya, ia pun
selalu memberi isyarat bahwa ia masih mempunyai
teman-teman lain yang akan membantunya jika
situasi tidak berkembang ke arah yang
dikehendakinya. Tanpa sekutu rahasia, ia tak
pernah bisa tenang.
Nobuo kini teringat tokoh penting yang berdiri
dalam bayang-bayang. Orang itu, tentu saja, si
Naga Tidur dari Hamamatsu, Tokugawa leyasu.
Tapi hasil dari permainan strategi tergantung
kepada para pemain lainnya. Nobuo bermaksud
memanfaatkan leyasu untuk menghalau
Hideyoshi, dan ini menunjukkan bahwa
pemahamannya mengenai pihak-pihak lain yang
terlibat masih dangkal. Orang dengan pikiran
berliku-liku tak pernah sungguh-sungguh
mengenali lawannya. la seperti pemburu yang
mengejar rusa tanpa melihat gunung-gunung di
sekelilingnya.
Jalan pikiran seperti itulah yang mendorong
Nobuo untuk meminta bantuan Ieyasu guna
meneegah Hideyoshi meraih kekuasaan lebih besar
lagi. Suatu malam, sesudah awal Bulan Kedua,
Nobuo mengirim utusan pada Ieyasu. Kedua orang
itu lalu menjalin persekutuan militer rahasia yang
didasarkan atas kesepakatan bahwa mereka sama-
sama menanti kesempatan untuk menyerang
Hideyoshi.
Kemudian, pada hari keenam Bulan Ketiga,
ketiga pengikut senior yang belum terlihat di
benteng sejak malam di Kuil Onjo tiba-tiba
muncul. Mereka diundang Nobuo secara khusus
untuk menghadiri sebuah jamuan. Sejak peristiwa
di Kuil Onjo, Nobuo yakin bahwa mereka
pengkhianat yang berkomplot dengan Hideyoshi.
Melihat mereka membuatnya muak karena
dendam.
Nobuo menjamu ketiga orang itu, dan setelah
mereka makan, ia se-konyong-konyong berkata,
"Ah, Nagato, aku ingin memperlihatkan senapan
baru yang baru saja kuterima dari seorang pandai
besi di Sakai."
Mereka pindah ke ruangan lain, dan ketika
Nagato mengamati senapan itu, pengikut Nobuo
tiba-tiba berseru, "Atas perintah tuanku!" dan
menang-kapnya dari belakang.
"Kurang ajar!" Nagato termegap-megap dan
berusaha mencabut pedang. Tapi ia diempaskan
oleh penyerangnya yang lebih kuat dan hanya bisa
meronta-ronta tak berdaya.
Nobuo bangkit dan berlari mondar-mandir
sambil berseru-seru. "Lepaskan dia! Lepaskan dia!"
Namun pergulatan itu terus berlanjut. Sambil
mengangkat pedangnya yang belum terhunus,
tinggi di atas kepala, Nobuo berteriak sekali lagi,
"Kalau kau tidak melepaskannya, aku tak bisa
membunuh bajingan itu! Lepaskan dia!"
Si pembunuh mencekik Ieher Nagato, tapi
begitu melihat peluang, ia mendorong lawannya
itu. Secara bersamaan, dan tanpa menunggu
sampai Nobuo mengayunkan pedang, ia menikam
Nagato dengan pedang pendeknya.
Sekelompok samurai, yang kini berlutut di luar
ruangan, mengumumkan bahwa mereka telah
membunuh kedua pengikut lainnya. Nobuo meng-
angguk-angguk puas. Namun kemudian ia
mendesah panjang. Apa pun kejahatan mereka,
membunuh tiga penasihat senior yang sudah
bertahun-tahun mendampinginya merupakan
tindakan keji. Kebrutalan seperi itu juga mengalir
dalam darah Nobunaga, tapi perbuatan Nobunaga
selalu mengandung arti besar. Kekerasan
Nobunaga dipandang sebagai obat yang drastis
namun ampuh uniuk mengatasi kebobrokan
dunia; tindakan Nobuo hanya didorong oleh
emosinya yang picik.
Pembunuhan di Benteng Nagashima bisa saja
menimbulkan gelombang yang mungkin membawa
keguncangan bagi semua pihak. Tapi pembunuhan
ketiga pengikut senior itu dilaksanakan secara
diam-diam, dan keesokan harinya Nobuo langsung
mengirim pasukan dari Nagashima untuk
menyerang benteng masing-masing.
Masuk akal jika orang-orang mengira
pertempuran besar berikut sudah di ambang pintu.
Sesuatu telah membara sejak tahun lalu, tapi lidah
api yang muncul di sini mungkin saja merupakan
lidah api yang akhirnya menghanguskan dunia. Itu
bukan lagi dugaan tanpa dasar, melainkan sudah
dianggap kepastian.
Laskar Bertudung

IKEDA SHONYU tersohor karena tiga hal:


perawakannva yang pendek, ke-beraniannya, dan
keterampilannya dalam tari tombak. Usianya
empat puluh delapan tahun, sama seperti
Hideyoshi.
Hideyoshi tidak mempunyai putra; Shonyu
mempunyai tiga putra yang dapat dibanggakan,
dan ketiga-tiganya kini telah dewasa. Yang tertua.
Yukisuke, berusia dua puluh lima tahun dan
meiupakan komandan Benteng Gifu, yang kedua,
Terumasa, berumur dua puluh tahun dan
merupakan komandan Benteng Ikejiri; sedangkan
yang bungsu akan me-rayakan ulang tahun
keempat belas tahun ini dan masih tinggal bersama
ayahnya.
Shonyu dan Hideyoshi sudah saling mengenal
sejak Hideyoshi masih memakai nama Tokichiro.
Namun kini mereka telah terpisah oleh jurang
lebar. Tapi Shonyu pun tidak terlindas oleh
perkembangan zaman. Setelah Nobunaga wafat,
Shonyu merupakan satu di antara empat orang
bersama Katsuie, Niwa, dan Hideyoshiyang
ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan di
Kyoto, dan meskipun hanya bersifat sementara,
posisi itu sangat bergengsi. Selain itu, Shonyu dan
putra-putranya memiliki tiga benteng di Mino,
sedangkan Benteng Kaneyama berada di bawah
komando menantunya, Nagayoshi.
Nasibnya tak dapat dikatakan buruk. Ia pun tak
punya alasan untuk merasa waswas. Hideyoshi
selalu bersikap sopan dan sering memberikan
perhatian pada teman lamanya itu. Ia bahkan
mengatur penunangan keponakannya, Hidetsugu.
dengan putri Shonyu.
Jadi, dalam masa damai Hideyoshi dengan
cerdik memperkuat ikatan antara mereka, tapi
tahun iniketika pertempuran menentukan
semakin tak terelakkania semakin mengandalkan
Shonyu sebagai sekutu utama. Kini ia tiba-tiba
mengirim utusan ke Ogaki dan menawarkan
untuk mengangkat menantu Shonyu, Nigayoshi,
sebagai anak, lalu memberinya Provinsi Owari,
Mino, dan Mikawa.
Dua kali Hideyoshi mengirim surat yang ia tulis
dengan tangannya sendiri. Shonyu tidak segera
membalas, namun itu tidak berarti ia merasa
dengki atau tak senang. Ia sadar bahwa
mendukung Hideyoshi lebih menguntungkan
daripada mendukung orang lain. Dan ia paham
bahwa meski Hideyoshi mempunyai ambisi besar.
ia sendiri pun akan memperoleh keuntungan
besar.
Yang menyebabkan ia sukar memberi tanggapan
adalah suatu masalah yang ramai diperbincangkan:
pembenaran moral untuk memulai perang antara
pasukan Timur dan Barat. Pihak Tokugawa
menuduh Hideyoshi sebagai pengkhianat yang
telah melenyapkan satu putra bekas junjungannya,
dan kini tengah hersiap-siap menggempur
pewarisnya, Nobuo.
Jika aku berpihak pada Hideyoshi, pikir
Shonyu, aku melalaikan kewajiban moral; jika aku
membantu Nobuo, aku memenuhi kewajiban
moral, tapi harapanku untuk masa depan akan
pudar.
Dan ada satu hal lagi yang membuat Shonyu
resah. Shonyu menjalin hubungan erat dengan
Nobunaga, dan karena itu tidak mudah baginya
untuk memutuskan hubungannya dengan Nobuo,
bahkan setelah kematian Nobunaga sekalipun.
Persoalan semakin pelik karena putra sulungnya
ditahan sebagai sandera di Ise, dan Shonyu tak
sampai hati membiarkan putranya itu mati
dibunuh. Jadi, setiap kali menerima surat dari
Hideyoshi, Shonyu dilanda kebingungan. Pada
waktu membahas masalah ini dengan para
pengikutnya, ia mendengarkan pendapat dari dua
kubu yang saling bertentangan. Kubu pertama
menekankan bahwa keadilan harus ditegakkan dan
menyarankan agar ia jangan melalaikan kewajiban
moral; yang kedua berkilah bahwa situasi ini
mempakan kesempatan untuk meraih keuntungan
besar demi kemakmuran seluruh marga.
Apa yang akan dilakukannya? Shonyu semakin
bingung, namun sekonyong-konyong putra
sulungnya dipulangkan dari Nagashima. Nobuo
menyangka Shonyu akan merasa berutang budi,
dan karena itu takkan mengkhianatinya. Tipu
muslihat seperti itu mungkin dapat mempengaruhi
orang lain, tapi Shonyu memiliki wawasan luas. Ia
memahami tindakan ini sebagai taktik mentah dan
kekakak-kanakan yang didasarkan atas
pertimbangan politik semata-mata.
"Aku telah mengambil keputusan. Dalam
mimpi, sang Buddha bersabda agar aku bergabung
dengan pasukan Barat," ia memberitahu para
pengikutnya. Pada hari yang sama ia mengirim
surat pada Hideyoshi dan menyatakan diri sebagai
sekutunya.
Cerita mengenai wahyu dari sang Buddha tentu
saja isapan jempol belaka, tapi segera setelah
Shonyu mengambil keputusan, ambisi jendral
tersebut tiba-tiba tersulut oleh percakapan dengan
putra sulungnya.
Yukisuke sempat menyinggung bahwa
Komandan Benteng Inuyama, Nakagawa
Kanemon, telah memperoleh perintah untuk
kembali ke Inuyama tak lama setelah ia sendiri
dibebaskan dari Nagashima.
Sampai hari itu, Shonyu tak sanggup
menentukan, apakah Benteng Inuyama akan
merupakan sekutu atau musuh. Tapi kini, setelah
Shonyu memberitahukan dukungannya pada
Hideyoshi, Benteng Inuyama merupakan musuh
yang berada tepat di depan hidungnya. Benteng itu
terletak di daerah strategis dengan petahanan
alami; Ieyasu dan Nobuo rupanya yakin bahwa
Nakagawa Kanemon mampu mengemban
tanggung jawab atas garis pertahanan pertama
provinsi-provinsi mereka. Kalau memang
demikian, tak pelak itulah tujuan ia tiba-tiba
ditarik dari pasukan Ise dan diperintahkan
kembali ke bentengnya.
"Panggil Pemimpin Bangau Biru," Shonyu
menyuruh seorang pembantunya.
Di sebuah lembah di dekat gerbang belakang
ada sekelompok pondok yang dihuni oleh anak
buah Shonyu yang bukan anggota marga. Mereka
dijuluki Korps Bangau Biru. Dari perkampungan
itu, pembantu Shonyu memanggil seorang pemuda
pendek-kekar berusia sekitar dua puluh lima
tahun. la Sanzo, pemimpin Bangau Biru. Setelah
menerima instruksi dari pembantu itu, ia masuk
lewat gerbang belakang dan pergi ke pekarangan
dalam.
Shonyu berdiri dalam hayang-bayang pohon,
dan dengan gerakan dagu ia menyuruh Sanzo
mendekat. Kemudian, ketika Sanzo bersujud di
depan kaki junjungannya, Shonyu sendiri yang
memberikan perintah.
Nama Korps Bangau Biru diambil dari seragam
katun mereka yang berwarna biru. Setiap kali
terjadi insiden, mereka bertolak ke tujuan yang
tidak diketahui, bagai sekawanan bangau biru yang
mulai terbang.
Tiga hari setetah itu, Sanzo kembali dari suatu
tempat yang dirahasiakan. Cepat-cepat ia masuk
lewat gerbang belakang dan seperti sebelumnya,
bersujud di hadapan Shonyu di pekarangan dalam.
Shonyu lalu menerima sebilah pedang berlumuran
darah yang dibungkus kertas minyak, dan
mengamatinya dengan saksama.
"Tampaknya kau berhasil." ujar Shonyu sambil
mengangguk-angguk, lalu menambahkan, "kau
telah melaksanakan tugasmu dengan baik." la
memberikan beberapa keping emas pada Sanzo
sebagai imbalan.
Tak perlu diragukan bahwa pedang tersebut
merupakan pedang yang dikenakan Nakagawa
Kanemon, komandan Benteng Inuyama. Lam
bang keluarganya tampak pada sarung pedang itu.
"Terima kasih atas kemurahan hati tuanku,"
kata Sanzo. la mulai mundur. tapi Shonyu
menyuruhnya menunggu. Setelah sekali lagi
memanggil seorang pembantu, ia memerintahkan
orang itu untuk menaruh uang sedemikian banyak
di hadapan Sanzo, sehingga harus diangkut dengan
kuda. Seorang pejabat serta pembantu pribadi tadi
membungkus keping-keping itu dengan tikar-tikar
jerami, sementara Sanzo berdiri sambil ter-
bengong'bengong.
"Ada satu tugas lagi untukmu, Sanzo."
"Baik, tuanku."
Perinciannya telah kuberikan pada tiga orang
kepercayaanku. Kuminta kau menyamar sebagai
tukang kuda beban, naikkan uang ini ke atas kuda.
lalu ikuti ketiga orang itu."
"Dan apa tempat tujuan kami?"
"Jangan bertanya."
"Baik, tuanku."
"Jika semuanya berjalan lancar, kau akan
kuangkat sebagai samurai."
"Terima kasih. tuanku."
Sanzo laki-laki pemberani yang tak kenal takut,
tapi ia lebih terkesima oleh tumpukan uang itu
daripada oleh genangan darah. Sekali lagi ia
menyembah, menempelkan keningnya ke tanah.
Pada waktu menegakkan badan, ia melihat seorang
laki-laki tua yang kelihatan seperti samurai desa,
dan dua pemuda kekar yang sedang menaikkan
bungkusan-bungkusan uang ke pelana seekor
kuda.
Shonyu dan Yukisuke minum teh di ruang teh.
Sepintas lalu mereka tampak seperti ayah dan anak
yang setelah lama terpisah kini menikmati sarapan
bersama, namun sesungguhnya mereka sedang
terlibat pembicaraan rahasia.
"Aku akan segera bertolak ke Gifu." Yukisuke
akhirnya berkata.
Ketika meninggalkan ruang teh, Yukisuke
langsung memerintahkan para pengikutnya untuk
menyiapkan kuda. Semula ia hendak segera pulang
ke bentengnya di Gifu. tapi kini rencana tersebut
ditunda selama dua-tiga hari.
"Jangan buat kesalahan besok malam." Shonyu
mewanti-wanti sambil setengah berbisik.
Yukisuke mengangguk dengan pasti, tapi di
mata ayahnya, pemuda yang penuh semangat itu
masih terlihat seperti anak kecil.
Namun menjelang malam keesokan harinya
hari ketiga belas di bulan itupikiran Shonyu dan
alasan ia mengirim Yukisuke ke Gifu kemarin
telah diketahui oleh semua orang di dalam
Benteng Ogaki.
Tiba-tiba saja keluar perintah untuk
menyiagakan pasukan. Perintah itu sangat
mengejutkan. bahkan bagi para pengikut Shonyu
sekalipun.
Di tengah-tengah kebingungan, seorang
komandan memasuki barak, tempat sejumlah
samurai muda sedang ribut-ribut. Setelah mengikat
tali kulit pada sarung tangannya, ia menatap
mereka dengan wajah kelabu dan berkata, "Kita
akan merebut Benteng Inuyama sebelum (ajar
menyingsing."
Seperti bisa diduga, satu-satunya tempat tenang
di tengah segala hiruk-pikuk adalah ruang pribadi
sang panglima, Shonyu.
Bersama putra keduanya, Terumasa. di sisinya,
ia saling bersulang sambil memegang cawan sake.
Ayah dan anak itu duduk di kursi lipat masing-
masing dan menunggu jam keberangkatan.
Biasanya, pada saat keberangkatan pasukan
diumumkan, sangkakala dibunyikan, genderang
dan panji-panji dihias, dan seluruh pasukan
berbaris dengan gagah melewari kota benteng.
Tapi dalam kesempatan ini. para penunggang kuda
mengelompok dua-dua atau tiga-tiga; para prajurit
intanteri ditempatkan di depan dan di belakang:
panji-panji digulung, serta semua senapan
disembunyikan. Pada malam berkabut di Bulan
Ketiga itu, para warga kota mungkin menoleh
sambil bertanya-tanya, tapi tak seorang pun
menduga bahwa itulah keberangkatan pasukan
menuju garis depan.
Hanya sembilan mil dari Ogaki. ketika mereka
berkumpul sekali lagi. Shonyu berpidato, "Mari
kira tuntaskan pertempuran ini sebelum fajar, lalu
kembali ke rumah sebelum hari berakhir. Bawalah
perlengkapan sesedikit mungkin."
Kota Inuyama berikut bentengnya terletak tepat
di tepi seberang. Sungai yang mengalir di hadapan
mereka adalah hulu Sungai Kiso. Gemercik air
terdengar bergema, tapi terselubung kabut tebal,
bulan, gunung, dan air seolah-olah terbungkus
mika. "Turun."
Shonyu pun turun dari kudanya dan memasang
kursinya di tepi sungai. "Yang Mulia Yukisuke
tepat waktu. Itu pasukannya di sebelah sana." salah
satu pengikut Shonyu melaporkan.
Shonyu bangkit dan menatap ke arah hulu.
"Pengintai! Pengintai!" ia langsung berseru.
Salah satu pengintai menghampirinya untuk
membenarkan laporan itu. Tak lama kemudian
pasukan berkekuatan empat ratus sampai lima
ratus orang bergabung dengan pasukan
berkekuatan hampir enam ratus orang di bawah
komando lkeda Shonyu, dan sosok-sosok seribu
orang tampak bergerak bagai kawanan ikan yang
bercampur baur.
Sanzo akhirnya menyusul setelah anak buah
Yukisuke. Para penjaga di belakang mengepungnya
dengan tombak dan membawanya ke hadapan
Shonyu.
Shonyu tidak memberikan kesempatan pada
Sanzo untuk menceritakan hal-hal yang tak perlu
diketahui orang lain ketika menanyakan pokok-
pokok tugasnya.
Pada waktu itu sejumlah perahu nelayan
berdasar rata yang semula tersebar-sebar di
sepanjang tepi sungai mulai melintasi air. Lusinan
prajurit berbaju tempur ringan mengambil ancang-
ancang dan melompat ke luar, satu per satu, ke
tepi seberang. Kemudian perahu-perahu itu segera
kembali untuk menjemput rombongan berikut.
Dalam sekejap saja, Sanzo-lah satu-satunya
orang yang tertinggal. Akhirnya teriakan-teriakan
para prajurit mengguncangkan langit malam yang
lembap, dari seberang sungai sampai ke daerah di
bawah benteng. Secara bersamaan bagian langit itu
berubah merah, bunga api tampak menari-nari dan
berkilau-kilau di atas kota benteng.
Rencana Shonyu berjalan sempurna. Benteng
Inuyama bertekuk lutut dalam waktu satu jam.
Rasa kaget yang dialami para prajuritnya akibat
serangan tak terduga itu masih ditambah dengan
pengkhianatan di dalam benteng dan di kota.
Pengkhianatan memang salah satu alasan mengapa
benteng dengan penahanan alami sebaik ini takluk
dalam waktu sedemikian singkat. Namun masih
ada alasan lain. Shonyu pemah menjadi komandan
Benteng Inuyama, dan para warga kota, para
kepala kampung dari desa-desa sekitar, dan bahkan
para petani pun masih ingat pada bekas majikan
mereka itu. Meskipun Shonyu sempat menugaskan
beberapa pengikut untuk menyuap orang-orang
tersebut dengan uang sebelum ia melancarkan
serangan, keberhasilan rencananya lebih banyak
disebabkan oleh posisi yang pernah didudukinya.
Orang yang termasuk keluarga terpandang yang
sedang mengalami masa surut cenderung menarik
berbagai macam orang. Mereka yang
berpandangan jauh, mereka yang picik, orang-
orang yang menyesalkan keadaan tapi tak sanggup
mengambil sikap maupun memberikan saran
dengan setiasemua-nya itu segera menghilang.
Dan pada suatu ketika, mereka yang memahami
arah perubahan namun tak punya kekuatan
maupun kemampuan untuk mencegahnya pun
akan berpaling.
Orang-orang yang tetap tinggal dapat dibagi
menjadi dua kelompok: mereka yang tidak
memiliki kemampuan menonjol yang dapat
menopang kehidupan mereka di tempat lain
seandainya mereka pergi, dan orang-orang yang
sungguh-sungguh setia sampai akhir, dalam
kemiskinan dan kekurangan, hidup dan mati, suka
maupun duka.
Tapi siapakah yang patut disebut samurai sejati?
Mereka yang hidup secara berguna atau mereka
yang tinggal semata-mata karena hendak mencari
kesempatan? Ini tak mudah dimengerti, karena
setiap orang mengerahkan segala daya agar
junjungannya menilai kemampuannya secara
berlebih.
Meski ia pun merupakan oportunis, Ieyasu
berada dalam kelas yang berbeda dengan Nobuo
yang kekanak-kanakan, yang sama sekali tidak tahu
apa-apa mengenai dunia. Nobuo sepenuhnya
berada di tangan Ieyasu, seperti bidak catur yang
sewaktu-waktu siap digerakkan.
"Wah, kedatanganku tentu merepotkan sekali,
Tuan Nobuo," ujar Ieyasu. "Sungguh, aku hanya
menambah sedikit nasi saja. Aku dibesarkan di
lingkungan bersahaja, jadi baik lidah maupun
perutku kewalahan menghadapi hidangan mewah
yang Tuan sajikan malam ini."

Malam itu malam pada hari ketiga belas. Ketika


Ieyasu tiba di Kiyosu sore itu, Nobuo mengajaknya
ke sebuah kuil. Di sana keduanya mengadakan
pembicaraan rahasia selama beberapa jam, dan
pada malam hari ia me-nyelenggarakan jamuan
makan di ruang tamu di benteng.
Ieyasu tidak terpancing untuk bertindak,
bahkan ketika insiden Kuil Honno berlangsung.
Namun sekarang ia mempenaruhkan seluruh
kekuatan marga Tokugawakekuatan yang
dibangunnya selama bertahun-rahun dan
berkunjung ke Kiyosu. Nobuo menganggap Ieyasu
sebagai juru selamat-nya. Ia berusaha keras
menjamu Ieyasu, dan kini ia menyajikan berbagai
hidangan lezat.
Tapi di mata Ieyasu keramah-tamahan Nobuo
tak lebih dari permainan kanak-kanak, dan ia
hanya bisa merasa kasihan pada orang itu. Di masa
lampau, Ieyasu pernah berpesta dan menjamu
Nobunaga selama tujuh hari ketika Nobunaga
kembali dari Kai. Ketika mengenang kemegahan
acara itu, Ieyasu mau tak mau merasa iba melihat
usaha Nobuo.
Situasi tersebut menimbulkan belas kasihan
dalam hati semua orang, leyasu tak terkecuali. Tapi
ia menyadari bahwa hakikat alam semesta adalah
perubahan. Jadi, meskipun merasa kasihan dan
simpati di tengah jamuan, ia tidak dihantui
perasaan bersalah karena maksud terselubungnya,
yaitu memanfaatkan pesolek lembek itu sebagai
boneka. Alasannya sudah jelas tak seorang pun
lebih mungkin menimbulkan bencana selain
penerus sebuah keluarga terpandang yang mewarisi
peninggalan dan reputasi. Dan semakin mudah
orang itu dimantaatkan, semakin besar bahaya
yang ditimbul-kannya.
Jalan pikiran Hideyoshi kemungkinan besar
sama dengan Ieyasu. Tapi sementara Hideyoshi
memandang Nobuo sebagai hambatan untuk
mencapai tujuan dan mencari jalan untuk
menyingkirkannya, Ieyasu mendapatkan cara-cara
untuk memanfaatkan orang itu. Sudut pandang
yang berbeda ini berpangkal pada satu tujuan
mendasar yang sama-sama hendak dicapai oleh
Hideyoshi dan Ieyasu. Dan tak pengaruh siapa di
antara mereka yang keluar sebagai pemenang,
nasib Nobuo takkan berubah, semata-mata karena
ia tak mampu melepaskan keyakinannya bahwa ia
penerus Nobunaga.
"Apa maksud Tuan?" ujar Nobuo. "Pesta
sesungguhnya baru akan dimulai. Cuaca malam
hari di musim semi ini sangat menyenangkan,
sayang kalau hanya digunakan untuk tidur."
Nobuo berusaha keras menghibur tamunya,
namun sesungguhnya ada pekerjaan yang harus
diselesaikan Ieyasu.
"Jangan, Yang Mulia Nobuo. Sebaiknya Yang
Mulia Ieyasu jangan tambah sake lagi. Paling tidak
kalau melihat rona wajah Yang Mulia. Serahkan
cawan pada kami saja."
Tapi Nobuo tidak menyadari kejemuan yang
melanda tamu kehormaran-nya. Usahanya kini
dituntun oleh kekeliruannya dalam mengartikan
sorot mengantuk dalam mata tamunya. Ia berbisik
kepada para pengikutnya, dan pintu-pintu geser di
ujung ruangan segera terbuka, memperlihatkan se-
kelompok pemain musik serta beberapa penari.
Bagi Ieyasu ini merupakan hal biasa, tapi dengan
sabar ia sesekali menunjukkan minat, tertawa dari
waktu ke waktu, dan bertepuk tangan setelah
pertunjukan berakhir.
Para pengikutnya memanfaatkan kesempatan
itu untuk menarik lengan bajunya dan memberi
isyarat bahwa sudah waktunya beranjak tidur, tapi
secara bersamaan seorang pelawak muncul sambil
membawa sejumlah alat musik.
"Bagi tamu kehormatan malam ini, kini kami
tampilkan pertunjukan Kabuki dari ibu kota.,.."
Orang itu bukan main cerewetnya. la lalu
menyanyikan pengantar untuk sandiwara tersebut.
Setelah itu aktor lain menembangkan satu bait
dari sebuah refrein dan beberapa lagu dari misa
Nasrani yang belakangan mulai digemari oleh para
pembesar provinsi-provinsi Barat. Ia memainkan
alat musik menyerupai biola yang digunakan
dalam upacara gereja, dan pakaian-nya dihiasi
sulaman bergaya Barat serta renda-renda yang
diserasikan dengan kimono tradisional Jepang.
Para penonton tampak terkesan dan terpukau.
Kelihaian jelas bahwa apa yang menyenangkan
bagi rakyat jelata juga menyenangkan bagi para
petinggi dan samurai.
"Yang Mulia Nobuo, Yang Mulia leyasu
berpesan bahwa beliau mulai mengantuk,"
Okudaira berkata pada Nobuo yang terpesona oleh
penunjukan itu.
Nobuo segera bangkit dan mengantar Ieyasu ke
ruangannya. Pertunjukan Kabuki belum selesai,
suara biola, seruling, dan gendang masih
terdengar.
Keesokan paginya Nobuo bangun pada jam
yang termasuk dini untuknya dan pergi ke kamar
Ieyasu. Ia menemukan Ieyasu duduk dengan wajah
segar, tengah membahas sesuatu dengan para
pengikutnya.
"Bagaimana dengan sarapan Yang Mulia
Ieyasu?" Nobuo bertanya.
Ketika diberitahu oleh seorang pengikut bahwa
sarapan telah dihidangkan, Nobuo tampak agak
salah tingkah.
Tiba-tiba seorang samurai yang berjaga di
pekarangan dan seorang prajurit di atas menara
pengintai mulai sahut-menyahut mengenai sesuatu
yang terjadi di kejauhan. Seruan-seruan mereka
segera menarik perhatian Ieyasu dan Nobuo, dan
tak lama kemudian keduanya dihampiri samurai
yang ingin memberi laporan.
"Asap hitam terlihat di langit barat laut sejak
beberapa waktu lalu. Mula-mula kami menyangka
ada kebakaran hutan, tapi kemudian asap itu
perlahan-lahan berpindah tempat, dan muncul di
beberapa lokasi sekaligus."
Nobuo angkat bahu. Seandainya asap terlihat di
tenggara, ia mungkin berpikir mengenai medan
tempur di Ise atau tempat-tempat lain, namun
roman mukanya memperlihatkan bahwa ia tidak
tahu apa yang terjadi.
Ieyasu, yang telah mendapat laporan mengenai
kematian Nakagawa dua hari sebelumnya, berkata.
"Bukankah itu kearah Inuyama?" Tanpa menunggu
jawaban, ia memberi perintah pada orang-orang di
sekitarnya. "Okudaira. coba kauperiksa."
Okudaira berlari menyusuri selasar bersama
para pengikut Nobuo dan memanjat ke puncak
menara.
Suara langkah orang-orang yang dengan
terburu-buru menuruni menara jelas-jelas meng-
isyaratkan bahwa telah terjadi bencana.
"Kelihatannya seperti Haguro, Gakuden, atau
Inuyama, tapi yang pasti sekitar daerah itulah,"
Okudaira melaporkan.
Suasana di dalam benteng menjadi kalang
kabut. Bunyi sangkakala terdengar di luar, tapi
sebagian besar prajurit yang wara-wiri untuk
mengambil senjata masing-masing tidak menyadari
bahwa Ieyasu sudah ada di sana.
Ketika memperoleh kepastian bahwa asap
berasal dari arah Inuyama, Ieyasu berseru. "Kita
kecolongan!" lalu pergi dengan sikap terburu-buru
yang tidak lazim baginya.
Ia memacu kudanya dengan kencang. menuju
arah asap di barat laut. Para pengikutnya berkuda
di kiri-kanannya, tak ingin ketinggalan. Jarak dari
Kiyosu ke Komaki, atau dari Komaki ke Gakuden,
tidak jauh. Jarak dari Gakuden ke Haguro sekitar
tiga mi, dan dari Haguro ke Inuyama tiga mil lagi.
Pada waktu mereka tiba di Komaki. mereka telah
mengetahui semuanya. Benieng di Inuyama telah
ditaklukkan dini hari tadi. Ieyasu menarik tali
kekang dan memandang asap yang mengepul-
ngepul di beberapa tempat antara Haguro dan
daerah sekitar Inuyama.
"Aku terlambat, ia bergumam dengan getir.
"Tidak seharusnya aku melakukan kesalahan
seperti ini."
Di mata Ieyasu, wajah Shonyu seakan-akan
terbayang-bayang dalam asap hitam itu. Ketika
mendengar kabar angin bahwa Nobuo telah
memulangkan putra Shonyu, ia langsung merasa
waswas mengenai akibat yang akan ditimbulkan
oleh tindakan Nobuo itu. Meski demikian, ia tak
menyangka Shonyu menyembunyikan sikap
sebenarnya dan melaksanakan rencana licik
dengan begitu cepat.
Aku bukannya tidak tahu bahwa Shonyu
merupakan musang tua yang lihai, pikir Ieyasu.
Nilai strategis yang dimiliki benteng di Inuyama
tak perlu dipertanyakan lagi. Karena letaknya yang
berdekatan dengan Kiyosu, perannya dalam perang
melawan Hideyoshi pasti akan membesar. Inuyama
menguasai bagian hulu Sungai Kiso, perbatasan
antara Mino dan Owari, serta tempat
penyeberangan ke Unuma yang sangat penting.
Posisi itu sepadan dengan seratus kubu, tapi kini
telah jatuh ke tangan musuh.
"Kita pulang saja." ujar Ieyasu. "Kalau melihat
api sudah berkobar-kobar seperti itu, Shonyu dan
putranya tentu sudah mundur ke Gifu."
Sekonyong-konyong Ieyasu memutar kudanya,
dan pada saat itu ekspresi wajahnya kembali
normal. Kesan yang ia berikan kepada para
pengikut di sekelilingnya adalah kesan percaya diri;
ia yakin bahwa ia sanggup menebus kehilangan ini.
Dengan berapi-api para pengikutnya membahas
tindakan Shonyu yang tak tahu berterima kasih,
dan mencela serangan mendadak yang ia lancarkan
sebagai perbuatan pengecut, namun Ieyasu seakan-
akan tidak mendengar mereka. Sambil tersenyum
ia memutar kudanya kembali ke Kiyosu.
Dalam perjalanan mereka berpapasan dengan
Nobuo yang meninggalkan Kiyosu beberapa waktu
kemudian di muka pasukannya. Nobuo menatap
Ieyasu, seolah-olah tak menyangka akan bertemu
di tengah jalan.
"Apakah Inuyama aman-aman saja?" tanyanya.
Sebelum Ieyasu sempat menjawab, suara tawa
terdengar di antara para pengikut di belakangnya.
Keiika menjelaskan situasinya pada Nobuo, Ieyasu
benar-benar ramah dan sopan. Nobuo tampak
patah semangat. Ieyasu menyejajarkan kudanya di
samping kuda Nobuo dan berusaha
menghiburnya,
"Jangan khawaiir. Kita memang kalah di sini,
tapi Hideyoshi akan menelan kekalahan lebih
besar lagi. Lihat di sebelah sana."
Dengan matanya ia memberi isyarat ke bukit di
Komaki.
Jauh sebelumnya, Hideyoshi sudah pernah
menyarankan agar Nobunaga pindah dari Kiyosu
ke Komaki. Meski tidak seberapa tinggi, hanya
sekitar sembilan puluh lima meter, bukit itu
menguasai dataran di sekelilingnya dan dengan
mudah dapat dijadikan titik totak untuk
melancarkan serangan ke segala arah. Dalam
pertempuran di dataran Owari-Mino, jika Komaki
dijadikan kubu pertahanan, gerak maju pasukan
Barat akan terhalang, dan dengan demikian
Komaki merupakan lokasi yang sangat baik untuk
men-jalankan strategi menyerang maupun
bertahan.
Tak ada waktu untuk menjelaskan semuanya itu
pada Nobuo. Ieyasu menoleh dan menunjuk. Kali
ini ia bicara dengan para pengikutnya sendiri.
"Mulai dirikan kubu pertahanan di Bukit Komaki,
sekarang juga."
Setelah memberikan perintah itu, ia kembali
menemani Nobuo, dan keduanya berbincang-
bincang dengan santai dalam perjalanan pulang ke
Kiyosu,
Saat itu semua orang menyangka Hideyoshi
berada di Benteng Osaka, tapi sesungguhnya ia
berada di Benteng Sakamoto sejak hari ketiga belas
Bulan Ketiga, ketika Ieyasu berbicara dengan
Nobuo di Kiyosu. Kelambanan seperti ini tidak
lazim baginya.
leyasu telah mulai mengambil tindakan,
merampungkan rencana-rencana-nya dan semakin
siap untuk bergerak dari Hamamatsu ke Okazaki,
lalu ke Kiyosu: tapi Hideyoshi, yang acap kali
mengejutkan dunia dengan kecepatan-nya yang
luar biasa, kali ini agak terlambat. Paling tidak,
itulah kesan yang tampak.
"Hei. ke mana semuanya? Mana pelayan-
pelayanku?"
Suara sang majikan. Dan seperti biasa, suaranya
keras.
Para pelayan muda, yang sengaja pergi ke ruang
pelayan yang jauh, terburu-buru menyimpan
permainan suguroku yang diam-diam mereka
main-kan, dan salah satu dari mereka, Nabemaru,
yang berusia tiga belas tahun, berlari sekencang
mungkin ke ruangan tempat junjungannya
bertepuk tangan berulang-ulang.
Hideyoshi telah melangkah ke serambi. Melalui
gerbang depan benteng ia melihat sosok Sakichi
tergopoh-gopoh menaiki lereng dari kota benteng.
dan tanpa menoleh ke arah suara langkah di
belakangnya, ia menyerukan perintah untuk
membiarkannya masuk.
Sakichi mendekat dan berlutut di hadapan
Hideyoshi.
Setelah mendengarkan laporan Sakichi
mengenai situasi di Benteng Osaka. Hideyoshi
bertanya, "Dan Chacha? Apakah Chacha dan adik-
adiknya juga baik-baik saja?"
Sejenak Sakichi memasang wajah yang
mengisyaratkan ia tidak ingat. Menjawab seakan-
akan telah menunggu pertanyaan itu hanya akan
membuat Hideyoshi curiga (rupanya Sakichi sudah
tahu), dan tentu akan membuatnya merasa kikuk
setelah itu. Buktinya, segera setelah menanyakan
Chacha, kesan berwibawa lenyap dari wajah
Hideyoshi dan ia tampak tersipu-sipu. la kelihatan
salah tingkah.
Sakichi segera memahami sebabnya, dan mau
tak mau merasa geli.
Setelah penaklukan Kitanosho, Hideyoshi telah
mengurus ketiga anak perempuan Oichi seperti
mengurus anak sendiri. Ketika mendirikan
Benteng Osaka, ia juga membangun tempat yang
mungil dan cerah khusus untuk mereka. Dari
waktu ke waktu ia berkunjung dan bermain-main
dengan anak-anak itu. seakan-akan mereka burung
langka dalam sangkar emas.
"Kenapa kau teriawa. Sakichi?" Hideyoshi
mendesak. Tetapi ia sendiri pun merasa agak geli.
Rupanya rahasianya memang sudah diketahui oleh
Sakichi.
"Tidak ada apa-apa. Hamba terlalu sibuk dengan
tugas-tugas yang lain dan kembali tanpa mampir di
tempat tinggal ketiga putri."
"Begitukah? Hmm. baiklah." Dan kemudian
Hideyoshi segera mengalihkan pembicaraan,
"Desas-desus apa saja yang kaudengar di sekitar
Sungai Yodo dan Kyoto selama perjalanan mur"
Hideyoshi selalu mengajukan pertanyaan seperti
itu jika ia mengutus kurir ke suatu tempat jauh.
"Ke mana pun hamba pergi. satu-satunya topik
yang dibicarakan adalah perang."
Ketika menanyai Sakichi lebih lanjut mengenai
keadaan di Kyoto dan Osaka, ia menemukan
bahwa semua orang berpendapat bahwa
pertempuran akibat hasutan Nobuo takkan ierjadi
antara Hideyoshi dan penerus marga Oda itu,
melainkan antara Hideyoshi dan Ieyasu. Setelah
kematian Nobunaga, orang beranggapan bahwa
perdamaian akhirnya akan diwujudkan oleh
Hideyoshi, tapi kini seluruh negeri sekali lagi
terpecah belah, dan rakyat dihantui kecemasan
akibat momok pertentangan besar yang sangat
mungkin akan merambah ke semua provinsi.
Sakichi mohon diri. Ketika ia pergi, dua jendral
Niwa Nagahide muncul, yakni Kanamori Kingo
dan Hachiya Yoritaka. Hideyoshi sudah berusaha
keras menarik Niwa menjadi sekuiunya, sehab ia
sadar bahwa ia akan menderiia kerugian besar jika
Niwa sampai menyeberang ke pihak musuh. Selain
kerugian dari segi kekuatan militer, pembelotan
Niwa akan meyakinkan dunia bahwa Nobuo dan
Ieyasu berada di pihak yang benar. Di antara para
pengikut Nobunaga, kedudukan Niwa hanya kalah
dari Katsuie, dan ia dihormati sebagai tokoh
berbudi dan tulus.
Tak perlu diragukan bahwa Ieyasu dan Nobuo
pun berusaha dengan segala cara membujuk Niwa
agar bergabung dengan mereka. Namun karena
akhirnya tergerak oleh semangat Hideyoshi, Niwa
mengutus Kanamori dan Hachiya sebagai bala
bantuan pertama dari Utara. Hideyoshi merasa
gembira, tapi belum sepenuhnya tenang.
Sebelum malam tiba, ia tiga kali menerima kurir
yang menyampaikan laporan tentang situasi di Ise.
Hideyoshi membaca laporan-laporan yang dibawa
oleh ketiga orang itu dan menanyai mereka secara
langsung. Kemudian ia memberikan jawaban
secara lisan dan menyuruh juru tulisnya membuat
surat balasan sementara ia makan malam.
Sebuah penyekat yang dapat dilipat berdiri di
pojok ruangan. Kedua panilnya menampilkan peta
Jepang yang dibuat dengan helaian emas yang
sangat halus. Hideyoshi menatap peta itu dan
bertanya, "Belum adakah berita dari Echizen?
Bagaimana dengan kurir yang kukirim kepada
marga Uesugi?"
Sementara para pengikutnya beralasan dengan
menyinggung jarak yang harus ditempuh,
Hideyoshi menghitung jari. Ia telah mengirim
pesan kepada marga Kiso dan Satake. Jaringan
diplomasinya yang disusun dengan hati-hati
mdiputi seluruh negeri yang tampak pada
penyekat. Pada dasarnya. Hideyoshi menganggap
perang sebagai langkah terakhir. Ia percaya bahwa
diplomasi pun merupakan pertempuran tersendiri.
Namun Hideyoshi tidak menjalankan diplomasi
semata-mata demi diplomasi itu sendiri. Upayanya
itu juga tidak lahir dari kelemahan militer.
Diplomasinya sdalu didukung oleh kekuatan
militer, dan baru dijalankan setelah ia menegakkan
wibawa militer dan menyiapkan pasukan. Tapi
dengan Ieyasu, diplomasi ternyara tidak membawa
hasil. Hideyoshi tak pemah menceritakan pada
siapa pun bahwa jauh sebelum situasinya mencapai
tahap ini. ia telah mengutus seseorang ke
Hamamatsu dengan pesan sebagai berikut:
Jika Tuan mempertimbangkan petisi mengenai
promosi Tuan yang tahun lalu kuajukan kepada sang
Tenno. Tuan akan memahami simpati yang kurasakan
terhadap Tuan. Adakah alasan mengapa kita harus
bertempur? Hampir semua orang di negeri ini
sependapat bahwa Yang Mulia Nobuo lemah hati.
Biarpun Tuan mengibarkan bendera kewajiban moral
dan merangkul sisa-sisa marga Oda, dunia takkan
mengagumi tindakan Tuan tebagai usaha orang besar
yang memimpin pasukan pembela kebenaran.
Pada akhirnya, percuma saja kita bertempur. Tuan
orang yang cerdas, dan jika kita dapat mencapai kata
sepakat, aku akan menambahkan Provinsi Owari dan
Mino kepada wilayah kekuasaan Tuan.
Namun hasil dari usulan semacam itu
tergantung pada tanggapan pihak lawan, dan
jawaban yang diberikan pada Hideyoshi jelas-jelas
negatif. Tapi setelah memutuskan hubungan
dengan Nobuo pun, Hideyoshi tetap berusaha
membujuk Ieyasu dengan mengirim utusan
disertai tawaran yang bahkan lebih menarik
daripada sebelumnya. Namun utusan-utusan itu
hanya menimbulkan kemarahan Ieyasu, dan
terpaksa pulang dengan tangan kosong.
"Yang Mulia Ieyasu menjawab bahwa Yang
Mulia Hideyoshi-lah yang tidak memahami beliau,"
para utusan melaporkan.
Hideyoshi memaksakan senyum dan berkata.
"Ieyasu pun tidak memahami perasaanku yang
sesungguhnya."
Apa pun yang dilakukan, waktu yang ia
lewatkan di Sakamoto sepenuhnya diisi dengan
bekerja. Sakamoto merupakan markas militernya
untuk Ise dan Owari bagian selatan, sekaligus
pusat jaringan diplomatik dan intelijen yang
membentang dari Utara sampai ke provinsi-
provinsi Barat. Sebagai pusat untuk operasi-operasi
rahasia. Sakamoto jauh lebih menguntungkan di-
bandingkan Osaka. Selain itu, kurir-kurir bisa
datang dan pergi tanpa menarik perhatian yang
tidak perlu.
Sepintas lalu, kedua lingkup pengaruh
tampaknya dibatasi secara jelas: Ieyasu dari timur
ke timur laut, dan Hideyoshi dari ibu kota ke
barat. Tapi di kubu utama Hideyoshi di Osaka pun
tak terhitung banyaknya orang yang berkomplot
dengan pihak Tokugawa. Juga tak bisa dikatakan
bahwa di kalangan istana tak ada orang yang
mendukung Ieyasu dan menunggu sampai
Hideyoshi tersandung.
Bahkan di antara marga-marga samurai ada ayah
dan ibu yang mengabdi pada pembesar-pembesar
provinsi di Osaka dan Kyoto yang mempunyai
anak-anak yang merupakan pengikut para jendral
pasukan Timur. Saudara-saudara kandung saling
berhadapan sebagai musuh. Perselisihan berdarah
antar saudara sudah membayang.
Hideyoshi mengenal penderitaan yang ditim-
bulkan oleh perang. Dunia tengah dilanda perang
ketika ia masih kanak-kanak, tinggal di rumah
ibunya yang bobrok di Nakamura. Dan hal yang
sama dialaminya dalam masa pengembaraan
selama bertahun-tahun. Ketika Nobunaga muncul.
penderitaan masyarakat semakin menjadi-jadi
untuk sementara waktu, tapi penderitaan itu
disertai kecerahan dan kegembiraan dalam
kehidupan rakyat jelata. Orang-orang percaya
bahwa Nobunaga akan membawa perdamaian
abadi. Tapi ia terbunuh sebelum merampungkan
tugasnya.
Hideyoshi tdah bersumpah bahwa ia akan
mengatasi kemunduran yang timbul akibat
kematian Nobunaga, dan dengan segala upaya
yang telah dikerahkannyanyaris tanpa tidur atau
istirahattinggal satu langkah sebelum tujuannya
tercapai. Langkah terakhir yang harus diambilnya
untuk meraih cita-cita kini sudah dekat. Ibaratnya
ia telah menempuh sembilan ratus mil dari
perjalanan sejauh seribu mil. Tapi seratus mil
terakhir itulah yang paling berat. Ia telah
memperkirakan bahwa pada suatu ketika, mau tak
mau ia akan menghadapi satu rintangan terakhir
Ieyasudan rintangan itu harus disingkirkan dari
jalannya atau dihancurkan. Tapi ketika men-
dekatinya, ia mulai menyadari bahwa rintangan itu
lebih tangguh dari pada yang ia duga.
Hideyoshi berada di Sakamoto selama sepuluh
hari, dan dalam waktu itu Ieyasu memindahkan
pasukannya sampai ke Kiyosu. Sudah jelas bahwa
Ieyasu berniat memicu perang di lga, Ise, dan
Kishu, maju ke barat. memasuki Kyoto dan
menyerang Osaka dengan sekali pukul, seperti
angin badai yang menerjang.
Tapi Ieyasu tahu bahwa jalannya takkan mudah.
Sama seperti Hideyoshi, ia meramalkan satu
pertempuran besar dalam gerak majunya ke Osaka.
Tapi di manakah tempatnya? Satu-satunya tempat
yang cukup luas bagi pertempuran menentukan
antara Timur dan Barat ini adalah Dataran Nobi
yang berbatasan dengan Sungai Kiso.
Orang yang berinisiatif dapat meraih
keuntungan dengan membangun kubu pertahanan
dan menguasai tempat-tempat yang lebih tinggi.
Sementara Ieyasu telah melakukan semuanya itu
dan sudah siap sepenuhnya, Hideyoshi dapat
dikatakan memulai agak terlambat. Pada malam
hari ketiga belas di bulan itu pun ia tetap belum
beranjak dari Sakamoto.
Namun sikapnya yang berkesan lamban ini
bukan akibat kelalaian. Hideyoshi sadar bahwa
Ieyasu tak dapat dibandingkan dengan Mitsuhide
maupun Katsuie. Ia harus mengulur waktu untuk
merampungkan segala persiapannya. Ia menunggu
untuk menarik Niwa Nagahide ke pihaknya: ia
menunggu untuk memastikan bahwa marga Mori
tak dapat berbuat apa-apa di Barat; ia menunggu
untuk menghancurkan sisa-sisa para biksu-prajurit
yang berbahaya di Shikoku dan Kishu; dan
akhirnya ia menunggu untuk memecah belah
perlawanan para jendral di Mino dan Owari.
Utusan-utusan yang hendak menemuinya
seakan-akan tak pernah berakhir, dan Hideyoshi
menerima mereka sambil makan. la baru saja
selesai bersantap dan meletakkan .sumpit ketika
sebuah pesan tiba. Ia meraih kotak surat.
Surat itu telah ia tunggu-tunggujawaban dari
Bito Jinemon, yang ia kirim sebagai kurir kedua ke
Benteng Ikeda Shonyu di Ogaki. Berita baik atau
burukkah yang menantinya? Tak ada berita sama
sekali dari para utusan yang dikirimnya untuk
mencari dukungan dan benteng-benteng lain.
Hideyoshi membuka surat Shonyu dan
membacanya.
"Bagus." hanya itu yang dikatakannya.
Lama setelah ia beranjak tidur malam itu, ia
mendadak terbangun seakan-akan baru teringat
sesuatu. lalu memanggil samurai yang bertugas
"Apakah kurir Bito akan kembali besok pagi?"
"Tidak." jawab si pengawal. "Dia terdesak waktu,
dan setelah beristirahat sejenak, dia kembali ke
Mino." Sambil duduk di tempat tidurnya.
Hideyoshi meraih kuas dan menulis surat kepada
Bito
Berkat usahamu yang gigih, Shonyu dan putranya
telah menyatakan mendukung aku, dan tak ada yang
lebih menggembirakan bagiku. Tapi ada satu hal yang
perlu kukemukakan dalam kesempatan ini. Jika Nobuo
dan Ieyasu tahu bahwa Shonyu mendukungku, mereka
pasti akan mengancam dengan segala cara. Jangan
tanggapi mereka. Jangan bertindak gegabah. Sejak dulu
Ikeda Shonyu dan Mori Nagayoshi dikenal sebagai
orang berani dan sombong yang memandang rendah
pada musuh.
Begitu meletakkan kuas, ia mengirim pesan itu
ke Ogaki.
Namun dua hari kemudian, menjelang malam
hari kelima belas, pesan berikut tiba dari Ogaki.
Benteng Inuyama telah dipaksa bertekuk lutut.
Segera setelah Shonyu dan putranya mengambil
keputusan, mereka menaklukkan kubu pertahanan
paling strategis di sepanjang Sungai Kiso, dan
menghadiahkannya pada Hideyoshi sebagai tanda
dukungan mereka. Sungguh berita baik.
Hideyoshi merasa gembira. namun sekaligus
dihantui perasaan khawatir.
Keesokan harinya Hideyoshi berada di Benteng
Osaka. Selama beberapa hari berikut, pertanda
kegagalan semakin banyak bermunculan. Setelah
kemenangan di Inuyama. Hideyoshi mendapat
kabar bahwa menantu Shonyu, Nagayoshi, yang
hendak mengukir nama besar di medan laga, telah
merencanakan serangan mendadak ke kubu
pertahanan Tokugawa di Bukit Komaki.
Pasukannya ternyata diccgat musuh di dekat
Haguro, dan kabarnya ia gugur bersama sebagian
besar prajurttnya.
"Kita kehilangan orang ini karena semangat
tempurnya. Kebodohan seperti itu tak dapat
dimaafkan!" Keluh kesah Hideyoshi ditujukan
pada dirinya sendiri.
Pada waktu Hideyoshi telah siap meninggalkan
Osaka pada hari kesembilan belas, berita buruk
lainnya datang dari Kishu. Hatakeyama Sadamasa
rupanya memberontak dan menyerang Osaka dari
laut dan darat. Tindakan ini kemungkinan besar
didalangi oleh Nobuo dan Ieyasu. Kalaupun bukan
mereka, stsa-sisa biksu-prajurit Honganji selalu
menunggu kesempatan untuk menyerang.
Hideyoshi terpaksa menunda hari
keberangkatannya agar dapat merampungkan
pertahanan Osaka.
Pagi-pagi sekali pada hari kedua puluh satu
Bulan Ketiga. Burung-burung berkicau di tengah
alang-alang di Osaka. Kembang-kembang ceri
berguguran. dan di jalan-jalan, bunga-bunga yang
telah jatuh itu berputar-putar di antara iring-
iringan prajurit dan kuda. seakan-akan alam pun
hendak melepaskan mereka ke medan laga. Para
warga kota yang datang untuk menonton
membentuk pagar panjang di kedua sisi jalan
Pasukan yang mengikuti Hideyoshi hari itu
berkekuatan lebih dari tiga puluh ribu orang.
Semua orang berusaha melihat Hideyoshi di
tengah-tengah mereka, namun ia begitu kecil dan
penampilannya pun begitu biasa, sehingga ia, yang
dikelilingi para jendral berkuda, mudah luput dari
perhatian.
Tapi Hideyoshi memandang kerumunan
penduduk dan diam-diam tersenyum dengan
yakin. Osaka akan menjadi makmur, katanya
dalam hati. Sekarang saja kotanya sudah
berkembang pesat, dan ini merupakan pertanda
terbaik. Para penduduk mengenakan pakaian
berwarna cerah, dan tak ada tanda-tanda
kekurangan. Apakah itu disebabkan oleh
keyakinan mereka terhadap benteng baru di
tengah kota?
Kita akan menang. Kali ini kita bisa menang.
Begitulah Hideyoshi meramalkan masa depan.
Malam itu pasukannya berkemah di Hirakata,
dan keesokan paginya, pasukan berkekuatan tiga
puluh ribu orang itu kembali bergerak ke timur,
menyusuri jalan setapak yang meliuk-liuk di
sepanjang tepi Sungai Yodo.
Ketika mereka tiba di Fushimi, sekitar empat
ratus orang menemui mereka di tempat
penyeberangan.
"Panji siapakah itu?" unya Hideyoshi.
Para jendral menyipitkan mata dengan curiga.
Tak seorang pun mengenali pataka-pataka
berukuran besar dengan aksara-aksara Cina
berwarna hitam di atas dasar merah itu. Selain itu
masih ada lima gantungan emas dan sebuah panji
komandan yang menampilkan delapan lingkaran
kecil yang mengelilingi lingkaran besar di atas
kipas emas. Di bawah bendera-bendera itu terdapat
tiga puluh prajurit berkuda, tiga puluh prajurit
bertombak. tiga puluh prajurit bersenapan, dua
puluh prajurit bersenjatakan panah dan busur, dan
satu korps prajurit infanteri. Semuanya menunggu
dalam formasi lengkap, baju tempur mereka
berdesir dalam angin sungai.
"Cari tahu siapa mereka." Hideyoshi
memerintahkan salah seorang pengikutnya.
Orang itu segera kembali dan melaporkan, "Itu
Ishida Sakichi."
Hideyoshi menepuk pelananya.
"Sakichi? Wah, wah, pantas." ia berkata dengan
nada gembira. seakan-akan baru teringat sesuatu.
Sambil menghampiri kuda Hideyoshi, Ishida
Sakichi menyapa junjungannya. "Hamba pernah
berjanji pada tuanku, dan hari ini hamba
membawa pasukan yang hamba persiapkan dengan
uang hasil pembersihan lahan yang untuk
digunakan di sini."
"Mari, Sakichi. Bergabunglah dengan rom-
bongan perbekalan di belakang."
Prajurit dan kuda itu bernilai lebih dari sepuluh
ribu gantangHideyoshi terkesan oleh kelihaian
Sakichi.
Hari itu sebagian besar pasukan melewati Kyoto
dan mengambil jalan Raya Omi. Bagi Hideyoshi,
setiap pohon dan setiap helai daun mengandung
kenangan akan kemalangan masa mudanya.
"Itu Gunung Bodai." Hideyoshi bergumam.
Ketika memandang gunung itu, ia teringat
penguasanya, Takenaka Hanbei. si pertapa
Gunung Kurihara. Ketika merenungkannya
sekarang, ia bersyukur bahwa ia tak menyia-
nyiakan satu hari pun dalam musim semi
kehidupan yang singkat itu. Kemalangan dan
perjuangan di masa mudanya telah membawanya
ke posisi yang kini ia duduki, dan ia merasa
memperoleh berkah dari kegelapan dunia saat itu.
Hanbei, yang memandang Hideyoshi sebagai
junjungannya, merupakan sahabat sejati yang tak
mungkin dilupakan. Bahkan setelah kematian
Hanbei pun, setiap kali Hideyoshi mengalami
kesulitan, ia berkata dalam hati, "Kalau saja
Hanbei ada di sisiku." Meski demikian, ia telah
membiarkan orang itu mati tanpa penghargaan
apa pun. Tiba-tiba pelupuk Hideyoshi terasa
hangat oleh air mata kesedihan yang menghalangi
pandangannya ke puncak Gunung Bodai.
Dan ia pun teringat adik Hanbei. Oyu...
Tiba-tiba ia melihat tudung putih seorang
biksuni dalam bayang-bayang pohon pinus di tepi
jalan. Sejenak mata biksuni itu beradu dengan
mata Hideyoshi. Ia menarik tali kekang kudanya
dan hendak memberikan perintah, tapi wanita di
bawah pohon tadi telah menghilang.
Di perkemahan malam itu, Hideyoshi
menerima kiriman berupa sepiring kue. Orang
yang mengantarkannya berkata bahwa kiriman itu
dibawa oleh seorang biksuni yang tidak
menyebutkan namanya.
"Kue-kue ini lezat sekali," ujar Hideyoshi setelah
mencicipi beberapa potong, meskipun sudah
makan malam. Dan ketika ia berkomeniar
demikian, matanya berkaca-kaca.
Belakangan, si pelayan yang bermata jeli
melaporkan sikap Hideyoshi yang janggal kepada
para jendral yang mendampinginya. Semuanya
tampak terkejut dan seakan-akan tak dapat
menebak alasan di balik sikap junjungan mereka.
Mereka cemas mengenai kesedihannya, tapi begitu
kepalanya me-nyentuh bantal, Hideyoshi segera
mendengkur seperti biasa. Selama beberapa jam ia
tidur pulas. Dini hari, ketika langit masih gelap. ia
bangun dan berangkat. Hari itu detasemen
pertama dan kedua tiba di Gifu. Hideyoshi
disambut oleh Shonyu dan putranya, dan tak lama
kemudian benteng telah dipadati oleh pasukan
besar, baik di dalam maupun di luar.
Obor dan api unggun menerangi langit malam
di atas Sungai Nagara. Di kejauhan, unit ketiga
dan keempat terlihat bergerak ke timur sepanjang
malam.
"Sudah lama kita tak berjumpa!" Hideyoshi dan
Shonyu berkata serempak. "Aku sungguh gembira
bahwa Ikeda Shonyu dan putranya bergabung
denganku pada saat seperti ini. Dan aku tak dapat
menemukan kata-kata yang tepat untuk
menggambarkan betapa besar arti Benteng
Inuyama yang Tuan hadiahkan kepadaku. Aku
pun terkesan oleh kecepatan dan kesigapan Tuan
dalam memanfaatkan peluang itu."
Hideyoshi menghujani Shonyu dengan pujian,
tapi tidak menyinggung kekalahan yang diderita
menantunya seusai kemenangan di Inuyama.
Meskipun Hideyoshi tidak berkata apa-apa
mengenai hal itu, Shonyu tetap merasa bahwa ia
memikul aib di pundaknya. Ia malu sekali bahwa
kemenangannya di Inuyama tak dapat menebus
kekalahan serta kerugian yang ditimbulkan oleh
Nagayoshi. Surat Hideyoshi yang diantarkan Bito
Jinemon secara khusus mewanti-wanti agar mereka
tidak terpancing oleh Ieyasu, namun sayangnya
surat tersebut terlambat sampai di tangan Shonyu.
Shonyu kini menyinggung kejadian itu. "Aku
tidak tahu bagaimana aku harus minta maaf atas
kekalahan akibat kebodohan menantuku."
Tuan terlalu merisaukan hal itu," ujar
Hideyoshi sambil tertawa. "Ini tidak seperti Ikeda
Shonyu yang kukenal"
Perlukah kutegur Shonyu, ataukah lebih baik
kubiarkan saja? Hideyoshi bertanya-tanya ketika
terbangun keesokan paginya. Namun kenyataan
bahwa Benteng Inuyama berada di tangannya
sebelum pertempuran besar yang akan datang
merupakan keuntungan luar biasa. Berulang kali
Hideyoshi memuji Shonyu atas keberhasilannya
yang gemilang, dan bukan sekadar untuk
menghiburnya.
Pada hari kedua puluh lima. Hideyoshi
beristirahat dan mengumpulkan pasukannya yang
berkekuatan lebih dari delapan puluh ribu orang,
Pagi berikutnya ia bertolak dari Gifu, mencapai
Unuma pada siang hari. dan segera
memerintahkan pembangunan jembatan apung
melintasi Sungai Kiso. Kemudian pasukannya
mendirikan kemah. Pada pagi kedua puluh tujuh
ia membongkar kemah dan menuju Inuyama.
Tepat tengah hari Hideyoshi memasuki Benteng
Inuyama.
"Ambilkan kuda yang berkaki kuat." ia
memerintahkan, dan setelah selesai makan siang,
ia langsung melesat keluar dari gerbang benteng,
disertai beberapa penunggang kuda dengan baju
tempur ringan.
"Ke mana tujuan tuanku?" tanya salah satu
jendral yang memacu kudanya agar tidak tertinggal
di belakang Hideyoshi.
"Jangan terlalu banyak yang ikut denganku,"
balas Hideyoshi. "Kalau kita terlalu ramai, musuh
akan melihat kita."
Setelah bergegas melewati Desa Haguro, tempat
Nagayoshi dilaporkan gugur, mereka mendekati
Gunung Ninomiya. Dari sana Hideyoshi dapat
melihat perkemahan utama musuh di Bukit
Komaki.
Kabarnya pasukan gabungan Nobuo dan Ieyasu
berkekuatan sekitar enam puluh satu ribu orang.
Hideyoshi menyipitkan mata dan memandang ke
kejauhan. Matahari bersinar terik. Sambil
mdindungi mata dengan satu tangan, ia
mengamati Bukit Komaki yang dipadati pasukan
musuh.
Pada hari itu Ieyasu masih berada di Kiyosu. Ia
sempat datang ke Bukit Komaki. memberi
instruksi mengenai susunan tempur, lalu segera
kembali. la seperti ahli go yang menggerakkan satu
bidak dengan sangat hati-hati.
Pada malam hari kedua puluh enam, Ieyasu
menerima laporan bahwa Hideyoshi berada di
Gifu. Ieyasu, Sakakibara, Honda, dan beberapa
pengikut lain sedang duduk di suatu ruangan.
Mereka baru saja diberitahu bahwa pembangunan
kubu-kubu pertahanan di Bukit Komaki telah
rampung.
"Jadi, Hideyoshi sudah datang?" gumam leyasu.
Ketika ia dan orang-orang yang lain saling
pandang, ia iersenyum: kulit di bawah matanya
tampak berkerut-kerut seperti kulit kura-kura.
Segala sesuatu berjalan seperti yang
diperkirakannya.
Sejak dulu Hideyoshi selalu benindak cepar,
namun kali ini ia tidak memperlihatkan kesigapan
yang lazim baginya, dan ini menimbulkan tanda
tanya dalam diri Ieyasu. Apakah Hideyoshi akan
bertahan di Ise, atau datang ke Timur ke Dataran
Nobi? Mengingat Hideyoshi masih berada di Gifu,
kedua kemungkinan itu masih terbuka lebar.
Ieyasu menantikan laporan berikut. Kabarnya
Hideyoshi telah membangun jembatan melintasi
Sungai Kiso dan berada di Benteng Inuyama.
Ieyasu menerima informasi ini menjelang
malam hari kedua puluh tujuh bulan itu, dan
ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa waktunya
sudah tiba. Pada hari kedua puluh delapan,
pasukan Ieyasu bergerak menuju Bukit Komaki.
diiringi gemuruh genderang dan kibaran bendera.
Nobuo telah kembali ke Nagashima. tapi setelah
memperoleh laporan mengenai perkembangan
terakhir. ia bergegas ke Bukit Komaki. Di sana ia
bergabung dengan Ieyasu.
"Kudengar pasukan Hideyoshi sendiri
berkekuatan lebih dari delapan puluh ribu orang,
dan jumlah seluruh prajurit di bawah komandonya
mencapai lebih dari seratus lima puluh ribu
orang." ujar Nobuo. seakan-akan tak pernah
terpikir olehnya bahwa dirinyalah penyebab
pertempuran besar ini. Sorot matanya yang
gemetar mengungkapkan apa yang tak sanggup ia
sembunyikan dalam dada.
Shonyu menyeringai di tengah asap api dapur
ketika ia keluar lewat gerbang benteng di atas
kudanya.
Para laskar Ikeda yang melihat wajahnya
langsung merasa waswas. Mereka semua tahu
bahwa Shonyu sedang uring-uringan akibat
kekalahan Nagayoshi. Karena kekeliruan Shonyu,
para sekutunya terpaksa menerima pukulan telak
pada awal perang. bahkan sebelum Hideyoshi.
sang panglima tertinggi, tiba di medan tempur.
Ikeda Shonyu merasa yakin bahwa tak seorang
pun pernah menudingnya dengan geram, dan bagi
orang yang telah menjalani kehidupan sebagai
pejuang selama empat puluh delapan tahun. aib
seperti itu tentu tak disangka-sangka.
"Yukisuke, kemarilah, Terumasa, kau juga. Dan
kuminta para pengikut senior juga mendekat."
Sambil duduk bersila di bangsal benteng utama,
ia memanggil kedua putranya beserta para
pengikut senior.
"Aku ingin mendengar pendapat kalian.
Sekarang, coba lihat ini." ia berkata sambil
mengeluarkan sebuah peta dari kimononya.
Ketika peta itu diedarkan, mereka menyadari
apa yang hendak diusulkan Shonyu.
Sebuah garis yang dibuat dengan tinta merah
terlihat pada peta itu. mulai dari Inuyama.
melewati pegunungan. melintasi sungai-sungai,
sampai ke Okazaki di Mikawa. Setelah
mempelajari peta, semuanya duduk membisu dan
menunggu apa yang akan dikatakan Shonyu.
"jika kita mengabaikan Komaki dan Kiyosu serta
menggerakkan pasukan kita menyusuri satu jalan
ke benteng utama marga Tokugawa di Okazaki.
Ieyasu tentu akan kalang kabut. Satu-satunya
masalah yang perlu dipikirkan adalah bagaimana
caranya agar pasukan kita tidak terlihat oleh
musuh di Bukit Komaki."
Mula-mula tak seorang pun angkat bicara.
Rencana itu tidak lazim. Satu kesalahan saja dapat
mengakibatkan bencana yang mungkin fatal bagi
semua sekutu mereka.
"Aku bermaksud mengajukan rencana ini pada
Yang Mulia Hideyoshi. Jika berhasil, baik Ieyasu
maupun Nobuo tak dapat melakukan apa-apa saat
kita menangkap mereka."
Shonyu ingin mengambil langkah gemilang
untuk menebus kekalahan menantunya. Ia
menatap orang-orang yang kini menjelek-jelekkan
dirinya dengan kepala tegak. Meski para
pengikutnya memahami niatnya, tak seorang pun
bersedia mengkritik rencana tersebut. Tak seorang
pun mau berkata, Tidak, rencana lihai jarang
membawa hasil yang diharapkan. Ini berbahaya."
Pada akhir rapat, rencananya diterima dengan
suara bulat. Semua komandan memohon
ditempatkan di barisan depan yang akan
menerobos jauh ke wilayah musuh dan akan
menghancurkan Ieyasu di jantung provinsinya
sendiri.
Rencana serupa pernah dicoba di Shizugatake
oleh keponakan Shibata Katsuie, Genba. Meski
demikian, Shonyu tetap ingin mengajukan rencana
itu kepada Hideyoshi, dan ia berkata, "Besok kita
akan pergi ke perkemahan utama di Gakuden."
Sepanjang malam ia memikirkan idenya itu.
Tapi ketika fajar menyingsing, seorang kurir tiba
dari Gakuden dan memberitahunya. "Yang Mulia
Hideyoshi mungkin akan mampir ke Benteng
Inuyama pada waktu melakukan inspeksi keliling
siang nanti."
Ketika Hideyoshi merasakan angin di awal
Bulan Keempat berembus lembut, ia bertolak dari
Gakuden dan setelah mengamati perkemahan
Ieyasu di Bukit Komaki serta kubu-kubu
pertahanan di daerah itu, ia menyusuri jalan ke
Inuyama dengan disertai sepuluh pelayan dan
sejumlah pembantu dekat.
Setiap kali Hideyoshi bertemu Shonyu, ia
memperlakukan Shonyu seperti kawan lama.
Ketika mereka masih samurai muda di Kiyosu,
Shony,. Hideyoshi, dan Inuchiyo sering pergi
minum-minum bersama-sama.
"O ya, bagaimana kabar Nagayoshi?" ia bertanya.
Mula-mula Nagayoshi dikabarkan gugur di
medan tempur, namun rupanya ia hanya
mengalami luka parah.
"Sifatnya yang lekas naik darah telah
mengacaukan semuanya, tapi tampaknya dia akan
pulih dengan cepat. Satu-satunya keinginannya
adalah segera dikirim ke garis depan, agar dia
dapat membersihkan namanya."
Hideyoshi berpaling ke salah satu pengikutnya
dan berkata. "Ichimatsu, dari semua kubu
pertahanan musuh yang kita lihat di Bukit Komaki
tadi, manakah yang tampak paling kuat?"
Pertanyaan seperti itulah yang kerap
diajukannya. memanggil orang-orang di sekitamya,
lalu mendengarkan pendapat terus terang para
prajurit muda.
Dalam kesempatan seperti itu, kerumunan
pengikut muda yang mengelilinginya tak pernah
segan-segan. Kalau mereka mulai panas. Hideyoshi
juga ikut panas, dan suasana seperti itu
menyebabkan orang luar sukar menilai apakah
orang-orang yang berdebat itu merupakan
junjungan dan pengikut atau sekadar teman biasa.
Namun jika Hideyoshi mulai bersikap lebih serius.
semuanya segera menegakkan badan.
Shonyu duduk berdampingan dengan
Hideyoshi, dan akhirnya memotong pembicaraan.
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan
Tuan."
Hideyoshi menoleh kepadanya dan
mengangguk. Kemudian ia memerintahkan agar
yang lain meninggalkan mereka.
Semua orang, kecuali Shonyu dan Hideyoshi,
keluar dari ruangan. Mereka berada di bangsal
benteng utama, dan karena tak ada yang
menghalangi pandangan, ia tak perlu berjaga-jaga.
"Ada apa. Shonyu?"
Tuan telah melakukan inspeksi, dan aku
percaya Tuan telah mengambil beberapa
keputusan. Bukankah Tuan sependapat bahwa
persiapan Ieyasu di Bukit Komaki patut disebut
sempurna?"
"Hmm, persiapannya memang baik sekali. Aku
sangsi ada orang selain Ieyasu yang dapat
mendirikan kubu-kubu pertahanan seperti itu
dalam waktu sedemikian singkat.-
"Aku pun sudah beberapa kali memantau
keadaan. dan kelihatannya tidak ada jalan untuk
melancarkan serangan," kata Shonyu.
Tampaknya kita hanya akan saling berhadapan,"
balas Hideyoshi.
"Ieyasu sadar bahwa lawannya merupakan lawan
tangguh," Shonyu melanjutkan, "sehingga dia
bersikap hati-hati. Sebaliknya, sekutu-sekutu kita
tahu bahwa ini pertama kali kita menghadapi
laskar-laskar Tokugawa yang tersohor dalam
pertempuran menentukan. Jadi, sudah sewajarnya
kalau hasilnya seperti ini."
"Memang menarik. Bahkan letusan senapan
pun tidak terdengar selama beberapa hari. Ini
perang dmgin tanpa pertempuran."
"Dengan seizin Tuan...," Shonyu maju
beringsut-ingsut, menggelar sebuah peta, dan
menjelaskan rencananya dengan berapi-api.
Hideyoshi mendengarkan dengan sungguh-
sungguh, dan mengangguk beberapa kali. Namun
roman mukanya menunjukkan bahwa ia takkan
terpancing untuk serta-merta memberi kata setuju.
"Jika Tuan mengizinkan, aku akan
mengerahkan seluruh marga dan menyerang
Okazaki. Kalau kami sudah menyerbu provinsi asal
Tokugawa di Okazaki, dan Ieyasu mendengar
bahwa tanah tumpah darahnya diinjak-injak oleh
kaki kuda-kuda kami, segala persiapannya di Bukit
Komaki takkan ada artinya. dan kejeniusannya
dalam bidang militer pun takkan membantu. Dia
akan hancur dari dalam, tanpa perlu diserbu."
"Aku akan memikirkannya," ujar Hideyoshi.
menghindari jawaban terburu-buru. Tapi kuharap
kau pun memikirkan sekali lagibukan sebagai
buah pikiranmu sendiri, melainkan secara objektif.
Rencanamu sungguh lihai dan menuntut
keberanian, tapi justru ini yang membuatnya
berbahaya."
Strategi Shonyu memang merupakan ide unik.
Hideyoshi pun, yang selalu bersikap hati-hati, jelas-
jelas terkesan, namun jalan pikirannya berbeda.
Pada dasarnya. Hideyoshi tidak menyukai
strategi lihai maupun serangan mendadak.
Dibandingkan strategi militer, ia cenderung
memilih jalan diplomasi: daripada kemenangan
mudah yang bersifat jangka pendek, ia lebih suka
menguasai keadaan secara menyeluruh. meskipun
makan waktu lebih lama.
"Sebaiknya kita jangan gegabah," katanya.
Kemudian ia mengendurkan sikapnya. "Besok aku
akan memberi jawaban pasti. Datanglah ke
perkemahan utama besok pagi."
Selama pembicaraan dengan Shonyu, para
pengikut pribadi Hideyoshi menunggu di selasar,
dan kini mereka hendak kembali
mendampinginya. Ketika sampai di pintu masuk
benteng utama, mereka melihat samurai berbaju
aneh meringkuk di dekat tempat kuda-kuda diikat.
Kepala dan satu tangannya dibalut, dan baju luar
yang menutupi baju tempurnya terbuat dari brokat
emas di atas dasar purih.
"Siapa itu?"
Orang itu mengangkat kepalanya sedikit. "Duli
tuanku. hamba Nagayoshi."
"Oh, Nagayoshi? Kudengar kau masih harus
berbaring di tempat tidur. Bagaimana luka-
lukamu?"
"Hamba telah bertekad untuk bangun hari ini."
"Jangan terlalu memaksakan diri. Beri waktu
pada tubuhmu agar pulih sepenuhnya, dan kau
akan dapat menghapus aibmu kapan saja."
Mendengar kata "aib", Nagayoshi mulai
menitikkan air mata.
Setelah mengeluarkan sepucuk surat dan
menyerahkannya dengan hormat kepada
Hideyoshi, ia kembali bersujud.
'Hamba mohon tuanku berkenan membaca
ini."
Hideyoshi mengangguk, mungkin karena
kasihan melihat penderitaan orang itu.
Setelah merampungkan inspeksi medan tempur
hari itu, menjelang malam Hideyoshi kembali ke
Gakuden. Perkemahannya tidak terletak di tempat
tinggi seperti perkemahan musuh di Bukit
Komaki, tapi Hideyoshi telah memanfaatkan
hutan-hutan, ladang-ladang, dan sungai-sungai di
sekitar secara maksimal, dan posisi pasukannya
dikelilingi oleh jaringan selokan dan pagar
pertahanan yang luas.
Sebagai langkah pengamanan tambahan, tempat
persembahan desa sengaja disamarkan sebagai
tempat tinggal Hideyoshi.
Dari sudut pandang Ieyasu, keberadaan
Hideyoshi tak dapat ditentukan dengan pasti. Bisa
saja ia berada di Gakuden atau di Benteng
Inuyama. Pengamanan di garis depan sedemikian
ketat, sehingga setetes air pun takkan dapat
merembes, jadi pengawasan oleh pihak yang satu
ierhadap pihak yang lain benar-benar tak mungkin.
"Aku belum sempat mandi sejak bertolak dari
Osaka. Hari ini aku ingin menghilangkan keringat
yang menempel di badanku."
Seketika para pengikut mulai menyiapkan
tempat mandi bagi Hideyoshi. Setelah menggali
lubang di tanah, mereka melapisinya dengan
lembaran-lembaran kertas minyak berukuran
besar. Kemudian mereka memanaskan sepotong
besi dan melemparkannya ke lubang yang sudah
diisi air. Mereka juga mendirikan sejumlah papan
di sekelilingnya dan memasang tirai penghalang.
"Ah, betapa nikmat rasanya." Di tempat mandi
yang sederhana itu, Hideyoshi berendam dalam air
panas dan memandang langit malam yang bertabur
bintang. Inilah kemewahan terbesar di dunia.
katanya dalam hati ketika menggosok-gosok badan.
Sejak tahun lalu ia telah membersihkan tanah
di sekitar Osaka dan memulai pembangunan
benteng dengan kemegahan yang tak tertandingi.
Namun kesenangan yang paling besar
dirasakannya di tempat-tempat seperti ini, bukan
di ruang-ruang berlapis emas dan menara-menara
berhiaskan batu mulia di dalam benteng. Tiba-tiba
ia merasa rindu pada rumahnya di Nakamura,
tempat ibunya menggosok-gosok punggungnya
ketika ia masih kecil.
Sudah lama Hideyoshi tak pernah merasa
setenteram sekarang, dan dalam keadaan inilah ia
masuk ke kemahnya.
"Ah. rupanya kalian sudah datang!" seru
Hideyoshi ketika melihat para jendral yang
dipanggilnya telah menunggu.
"Coba lihat ini." ia berkata, lalu mengeluarkan
peta dan sepucuk surat dari kimono serta
menyerahkan keduanya kepada para jendral. Surat
itu merupakan petisi yang ditulis dengan darah
oleh Nagayoshi, sedangkan petanya milik Shonyu.
"Bagaimana pendapat kalian tentang rencana
ini?" tanya Hideyoshi. "Kuminta kalian berterus
terang."
Sesaat tak seorang pun angkat bicara. Semuanya
tampak termenung-menung.
Akhirnya salah satu jendral berkata, "Hamba
pikir rencana ini baik sekali."
Setengah dari orang-orang itu mendukung
rencana Shonyu, tapi setengah-nya lagi
menolaknya dengan berkata, "Rencana lihai selalu
mengandung risiko besar."
Rapat menemui jalan buntu.
Hideyoshi hanya mendengarkan sambil
tersenyum. Pokok bahasannya begitu penting,
sehingga tidak mudah bagi dewan untuk mencapai
kata sepakat.
"Kami terpaksa menyerahkan masalah ini untuk
diputuskan oleh Yang Mulia."
Pada waktu malam tiba, semua jendral kembali
ke kemah masing-masing.
Sesungguhnya, dalam perjalanan pulang dari
Inuyama, Hideyoshi telah membulatkan tekad.
Tujuannya mengadakan rapat bukan karena ia tak
sanggup menentukan langkah berikut. la
mengundang para jendralnya untuk menghadiri
rapat singkat justru karena ia telah mengambil
keputusan. Itu merupakan salah satu kiat
psikologis yang dijalankannya sebagai pemimpin.
Para jendralnya kembali ke kemah masing-masing
dengan kesan bahwa ia takkan melaksanakan
rencana tersebut.
Namun dalam hati Hideyoshi telah
memutuskan untuk bertindak. Jika ia tidak
menerima usul Shonyu, posisi Shonyu dan
Nagayoshi sebagai pejuang akan sulit. Selain itu,
Hideyoshi yakin bahwa jika watak mereka yang
keras kepala ditekan, akibatnya akan muncul di
lain waktu.
Dari segi kepemimpinan militer, situasi
semacam itu sangat berbahaya. Dan yang lebih
penting lagi. Hideyoshi khawatir bahwa jika
Shonyu merasa tidak puas, Ieyasu akan berusaha
membujuknya untuk membelot ke kubu musuh.
Ikeda Shonyu kini bawahanku. Kalau dia
percaya bahwa dirinya menjadi sasaran desas-desus
memalukan, dapat dimengerti bahwa dia
sedemikian tergesa-gesa, kata Hideyoshi dalam
hati.
Mereka telah menemui jalan buntu. dan
Hideyoshi harus mengambil langkah positif untuk
mengundang perubahan.
"Itu dia." kata Hideyoshi keras-keras. "Daripada
menunggu sampai Shonyu datang besok pagi,
lebih baik kukirim kurir malam ini juga."
Begitu menerima pesan penting ini, Shonyu
bergegas ke perkemahan Hideyoshi. Giliran jaga
keempat telah tiba. dan malam masih gelap gulita.
"Aku sudah memutuskannya, Shonyu."
"Bagus! Berkenankah Tuan memberiku
kepercayaan untuk memimpin serangan mendadak
ke Okazaki?"
Kedua laki-laki itu menyelesaikan pembicaraan
mereka sebelum fajar menyingsing. Shonyu
menemani Hideyoshi makan pagi, lalu kembali ke
Inuyama.
Keesokan harinya medan tempur kelihatan lesu.
namun di sana-sini terlihat tanda-tanda gerakan
terselubung.
Letusan senapan musuh dan sekutu terdengar
menggema di langit yang berawan tipis. Suara
tembak-menembak itu berasal dari arah Onawate.
Di Jalan Raya Udatsu, pasir dan debu tampak
mengepul. di tempat dua ribu sampai tiga ribu
prajurit pasukan Barat mulai menyerang kubu-
kubu pertahanan musuh.
"Serangan umum telah dimulai!"
Ketika memandang ke kejauhan, para jendral
merasa darah mereka menggelora. Ini memang
sebuah titik balik dalam sejarah. Siapa pun yang
keluar sebagai pemenang akan menjadi penguasa
zaman.
Ieyasu tahu bahwa tak ada yang lebih ditakuti
dan dihormari Hideyoshi daripada Nobunaga.
Kini tak ada yang lebih ditakuti dan dihormatinya
daripada leyasu. Sepanjang pagi itu tak satu
bendera pun di perkemahan di Bukit Komaki
terlihat bergerak. seakan-akan telah ada perintah
keras untuk tidak menanggapi serangan-serangan
pasukan Barat yang hendak menguji tekad
pasukan Timur.
Senja pun tiba. Satu korps pasukan Barat telah
mundur dari pertempuran, guna menyerahkan
setumpuk selebaran propaganda yang mereka
pungut di jalan ke perkemahan Hideyoshi.
Ketika Hideyoshi membaca salah satunya,
amarahnya meledak.
Hideyoshi menyebabkan Yang Mulia Nobutaka.
putra bekas junjungannya, Nobunaga, melakukan
bunuh diri. Sekarang dia memberontak terhadap Yang
Mulia Nobuo. Dia terus-menerus menimbulkan
kerusuhan di kalangan samurai, membawa bencana
bagi rakyat jelata, dan merupakan penghasut utama
dalam konflik saat ini. Dia menghalalkan segala cara
untuk mencapai cita-citanya.
Selanjutnya selebaran itu berkata bahwa Ieyasu
mempunyai alasan kuat untuk mengangkat senjata,
dan bahwa ia memimpin pasukan penegak
kewajiban moral.
Kkspresi marahyang tidak lazim bagi
Hideyoshimengubah ait muka-nya. "Siapa di
antara mereka yang menulis selebaran ini?"
tanyanya.
"Ishikawa Kazumasa," jawab salah satu
pengikutnya.
"Juru tulis!" Hideyoshi berseru. "Siapkan
pengumuman untuk ditempelkan di mana-mana:
Barangsiapa berhasil membawa kepala Ishikawa
akan menerima imbalan sebesar sepuluh ribu
gantang."
Tapi seusai memberi perintah itu, kemarahan
Hideyoshi belum juga mereda, dan setelah
memanggil para jendral yang kebetulan hadir, ia
sendiri yang memerintahkan serangan tiba-tiba.
"Regini rupanya tindak-tanduk Ishikawa
Kazumasa keparat itu!" ia mengomel. "Kuminta
kalian membawa korps cadangan dan membantu
pasukan kita yang berhadapan dengan Kazumasa.
Serang dia sepanjang malam. Serang dia besok
pagi. Serang dia besok malam. Lancarkan serangan
demi serangan, dan jangan beri dia kesempatan
menarik napas."
Akhirnya ia minta dibawakan nasi dan
menyuruh makan malamnya disajikan saat itu
juga. Hideyoshi tak pernah lupa makan. Namun
pada waktu ia makan pun, kurir-kurir terus
mondar-mandir antara Gakuden dan Inuyama.
Kemudian kurir terakhir tiba dengan membawa
pesan dari Shonyu. Sambil hergumam, Hideyoshi
menghirup sup dari dasar mangkuknya. Malam itu
suara tembak-menembak terdengar jauh di balik
perkemahan utama. Sejak dini hari letusan
senapan menggema di sana-sini di garis depan, dan
terus berlanjut sampai esoknya. Sampai sekarang
pun ini dianggap sebagai awal serangan umum
oleh pasukan Barat pimpinan Hideyoshi.
Namun sesungguhnya serangan pertama
kemarin hanya merupakan tipu muslihat. Gerakan
sebenarnya adalah persiapan di Inuyama untuk
serangan mendadak Shonyu ke Okazaki.
Hideyoshi hendak mengalihkan perhatian
Ieyasu, sementara pasukan Shonyu menyusuri
jatan-jalan kecil dan menyerang benteng utama
Ieyasu.
Pasukan Shonyu terdiri atas empat korps:
Korps Pertama: enam ribu orang di bawah
komando Ikeda Shonyu.
Korps Kedua: tiga ribu orang di bawah
komando Mori Nagayoshi.
Korps Ketiga: tiga ribu orang di bawah
komando Hori Kyutaro.
Korps Keempat: delapan ribu orang di bawah
komando Miyoshi Hidetsugu.
Korps Pertama dan Kedua membentuk barisan
utama sekaligus kekuatan utama pasukan
tersebut-prajurit-prajurit yang siap menyambut
kemenangan maupun maut.
Hari keenam Bulan Keempat telah tiba. Setelah
menunggu sampai tengah malam, kedua puluh
ribu prajurit di bawah pimpinan Shonyu diam-
diam bertolak dari Inuyama. Panji-panji mereka
tidak dikibarkan, kaki kuda-kuda mereka
dibungkus kain. Sepanjang malam mereka
bergerak maju dan menyongsong fajar di
Monoguruizaka.
Para prajurit menghabiskan ransum masing-
masing dan beristirahat sejenak, lalu kembali
berbaris dan berkemah di Desa Kamijo. Dari sana
rombongan pengintai dikirim ke Benteng Oteme.
Sebelumnya, Komandan Bangau Biru, Sanzo,
telah diutus oleh Shonyu untuk menemui
Morikawa Gonemon, komandan benteng tersebut,
yang sudah berjanji akan membelot dari pihak
Ieyasu. Tapi sekarang, sekadar untuk berjaga-jaga.
Sanzo dikirim sekali lagi.
Shonyu kini sudah menyusup jauh ke wilayah
musuh. Pasukannya maju langkah demi langkah,
semakin mendekati benteng utama Ieyasu. Ieyasu
tentu saja tidak berada di sana, sama halnya
dengan para jendral dan prajuritnya yang telah
menuju garis depan di Bukit Komaki, terhadap
rumah kosong, jantung provinsi asal marga
Tokugawa, yang kini menyerupai kepompong
kopong inilah Shonyu akan melancarkan pukulan
mematikan.
Komandan Benteng Oteme, yang semula
bersekutu dengan pihak Tokugawa tapi dibujuk
oleh Shonyu, telah menerima jaminan dari
Hideyoshi atas wilayah senilai lima puluh ribu
gantang.
Gerbang benteng terbuka lebar, dan komandan
nya sendiri yang keluar untuk menyambut para
penyerbu, menunjukkan jalan. Di zaman
keshogunan lama, bukan kalangan samurai saja
yang dilanda kebejatan dan kemerosotan akhlak.
Di bawah kepemimpinan Ieyasu, baik junjungan
maupun pengikut makan nasi dingin dan bubur;
mereka terjun ke kancah pertempuran; mereka
mengangkat cangkul. bekerja di ladang, dan
menjadi buruh tani untuk menyambung hidup.
Akhirnya mereka berhasil mengatasi segala
kesusahan dan menggalang kekuatan memadai
untuk menentang Hideyoshi. Meski demikian, di
sini pun tetap ada samurai seperti Morikawa
Gonemon.
"Ah, Jendral Gonemon." ujar Shonyu dengan
wajah berseri-seri. "Aku bersyukur bahwa Tuan
tetap berpegang pada janji Tuan dan menyambut
kedatangan kami hari ini. Jika semuanya berjalan
sesuai rencana, proposal sebesar lima puluh ribu
gantang akan dikirimkan langsung pada Yang
Mulia Hideyoshi."
"Itu tidak perlu. Semalam aku telah menerima
jaminan dari Yang Mulia Hideyoshi."
Mendengar jawaban Gonemon, Shonyu sekali
lagi dibuat kagum oleh kewaspadaan dan
kesungguhan Hideyoshi.
Para prajurit Shonyu kini membentuk tiga
pasukan dan mulai menuju Dataran Nagakute.
Mereka melewati satu benieng lagi, Benteng
Iwasaki, yang dipertahankan hanya oleh dua ratus
tiga puluh orang.
"Biarkan saja. Percuma kita merebut benteng
sekecil itu. Kita tidak punya waktu untuk bermain-
main."
Sambil memandang Benteng Iwasaki dengan
curiga, baik Shonyu maupun Nagayoshi
melewatinya, seakan-akan benteng itu tak berarti
sama sekali. Namun tiba-tiba saja mereka dihujani
tembakan dari dalam benteng, dan salah satu
peluru menyerempet panggul kuda Shonyu. Kuda
itu memberontak. dan Shonyu nyaris terlempar
dari pelana.
"Kurang ajar!" Sambil mengacungkan pecut,
Shonyu berseru kepada para prajurit Korps
Pertama. "Habisi benteng kecil itu sekarang juga!"
Ini merupakan pertempuran perdana bagi
pasukannya. Seketika seluruh energi yang selama
ini dipendam meledak. Dua komandan masing-
masing membawa sekitar seribu prajurit dan
menyerbu Benteng Iwasaki. Benteng yang lebih
kokoh pun tak sanggup menghalau gempuran
sedemikian hebat, dan benteng ini hanya
dipertahankan oleh segelintir orang.
Dalam sekejap tembok-ternboknya telah
dipanjati, selokannya ditimbun. kobaran api
bermunculan di mana-mana, dan matahari
terhalang asap hitam. Saat itulah jendral yang
memimpin pasukan bertahan keluar, dan gugur
dengan pedang ditangan. Semua anak buahnya
dibantai, keeuali satu orang yang berhasil
meloloskan diri dan berlari ke Bukit Komaki
untuk melaporkan kepada Ieyasu. Selama
pertempuran singkat itu, Korps Kedua di bawah
Nagayoshi telah memperbesar jarak antara mereka
dan Korps Pertama. Prajurit-prajuritnya kini
beristirahat dan menyantap ransum masing-
masing.
Sambil makan, mereka menoleh dan bertanya-
tanya, dari mana asap yang mengepul-ngepul itu
berasal. Tapi tak lama kemudian seorang kurir dari
garis depan mengumumkan penaklukan Benteng
Iwasaki. Kuda-kuda mereka merumput dengan
tenang, sementara suara tawa terdengar
menggema.
Setelah menerima informasi tersebut, Korps
Ketiga pun beristirahat di Kanahagiwara. Di
belakang mereka, Korps Keempat ikut berhenti
dan menunggu sampai korps-korps di depan mulai
bergerak maju lagi.
Musim semi sudah hampir berakhir di
pegunungan, dan musim panas sudah dekat.
Birunya langit tampak sangat cerah, bahkan lebih
kuat daripada birunya laut. Begitu berhenti, kuda-
kuda mulai mengantuk, dan kicauan burung
bulbul terdengar di ladang-Iadang dan hutan-
hutan.
Dua hari sebelumnya, pada malam hari keenam
Bulan Keempat, dua petani dari Desa Shinoki
merangkak melewati ladang-ladang dan
menyelinap dari pohon ke pohon, menghindari
para pengintai pasukan Barat.
"Ada sesuatu yang harus kami laporkan pada
Yang Mulia Ieyasu! Kami membawa berita yang
sangat penting!" kedua orang itu berseru ketika
mereka berlari ke perkemahan utama di Bukit
Komaki.
Ii Hyobu membawa mereka ke markas besar
Ieyasu. Sesaat sebelumnya, Ieyasu sempat berbicara
dengan Nobuo. tapi setelah Nobuo pergi, ia
mengambil buku berisi bunga rampai Konfusius
dari atas lemari senjatanya dan mulai membaca
dengan tenang, tanpa memedulikan suara
tembakan di kejauhan.
Dengan selisih umur lima tahun dari
Hideyoshi. ia akan merayakan ulang tahun
keempat puluh dua tahun ini, seorang jendral di
puncak kejayaannya. Penampilannya begitu lembut
dan ramah. tubuhnya begitu lembek dan kulitnya
begitu pucat. sehingga sukar untuk mempercayai
bahwa ia telah mengalami segala macam
kesusahan, dan bahwa ia pernah terlibat
pertempuran-pertempuran di mana ia memacu
pasukannya hanya dengan sorot matanya.
"Siapa itu? Naomasa? Masuklah, masuklah."
Ieyasu menutup bungai rampai yang tengah
dibacanya, lalu memutar kursi.
Kedua petani itu melaporkan bahwa sejumlah
unit dari pasukan Hideyoshi meninggalkan
Inuyama malam itu dan menuju ke arah Mikawa.
"Kalian telah berjasa," ujar Ieyasu. "Kalian akan
menerima imbalan yang pantas."
Ieyasu mengerutkan kening. Jika Okazaki
diserang, tak ada yang dapat dilakukannya. Ia
sendiri pun tak menyangka bahwa musuh akan
meninggalkan Bukit Komaki dan melancarkan
serangan ke provinsi asalnya, Mikawa.
"Panggil Sakai, Honda, dan Ishikawa sekarang
juga," katanya dengan tenang.
Ketiga jendral itu menerima perintah menjaga
Bukit Komaki sementara ia pergi. Ia akan
memimpin sebagian besar pasukannya dan
mengejar pasukan Shonyu.
Kira-kira pada waktu yang sama. seorang
samurai desa melapor ke perkemahan Nobuo.
Ketika Nobuo membawa orang tersebut ke
hadapan Ieyasu, sekutunya itu sedang mengadakan
rapat anggota staf.
Kuharap Yang Mulia Nobuo pun turut serta.
Rasanya tidak berlebihan jika kukatakan bahwa
pengejaran ini akan berakhir dengan pertempuran
hebat, dan ketidakhadiran Yang Mulia akan
mengurangi maknanya."
Pasukan Ieyasu dibagi menjadi dua korps,
dengan jumlah keseluruhan lima belas ribu
sembilan ratus orang. Pasukan Mizuno Tadashige
yang berkekuatan empat ribu prajurit akan
bertindak sebagai barisan depan.
Pada malam hari kedelapan bulan itu. korps
utama di bawah Ieyasu dan Nobuo telah bertolak
dari Bukit Komaki. Akhirnya mereka
menyeberangi Sungai Shonai. Unit-unit di bawah
komando Nagayoshi dan Kyutaro berkemah di
Desa Kamijo yang berjarak kurang dari enam mil.
Cahaya samar-samar yang meliputi sawah-sawah
dan kali-kali kecil me-nunjukkan bahwa fajar
sudah dekat, tapi bayang-bayang hitam masih
tampak di mana-mana. dan awan-awan gelap
menggantung rendah di atas bumi.
"Hei! Itu mereka!"
"Tiarap! Tiarap!"
Di tengah-tengah sawah. di antara semak-semak.
dalam bayang-bayang pepohonan, di cekungan-
cekungan di tanah, para prajurit pasukan pengejar
segera membungkuk. Sambil memasang telinga.
mereka mendengar pasukan Barat berbaris di jalan
yang menyilang di sebuah hutan di kejauhan.
Pasukan pengejar membagi diri menjadi dua
korps. dan diam-diam membuntuti barisan
belakang musuh yang terdiri atas Korps Keempat
pasukan Barat di bawah komando Mikoshi
Hidetsugu.
Seperti itulah posisi kedua pasukan pada pagi
hari kesembilan. Komandan yang ditunjuk
Hideyoshi untuk tugas penting inikeponakannya
sendiri, Hidetsugubelum menyadari situasi pada
waktu fajar menyingsing.
Meskipun Hideyoshi menunjuk Hon Kyutaro
yang sudah sarat pengalaman sebagai pemimpin
penyerbuan ke Mikawa, Hidetsugu-lah yang di-
angkatnya sebagai panglima tertinggi. Namun usia
Hidetsugu baru enam belas tahun, sehingga
Hideyoshi memilih dua jendral senior dan
memerintahkan mereka untuk mengawasi
komandan muda itu.
Pasukan Barat masih letih ketika matahari
mulai terbit. Sadar bahwa para prajurit merasa
lapar. Hidetsugu memberi aba-aba berhenti.
Setelah diperintahkan untuk makan, para jendral
dan prajurit duduk, lalu menyantap ransum pagi
masing-masing.
Tempat itu bernama Hutan Hakusan, disebut
demikian karena Tempat Persembahan Hakusan
berada di puncak sebuah bukit kecil di sana. Di
puncak itulah Hidetsugu memasang kursinya.
"Kau masih punya air?" pemuda itu bertanya
pada seorang pengikut. "Airku sudah habis, dan
kerongkonganku benar-benar kering."
la meraih botol yang disodorkan padanya, dan
mereguk isinya sampai tetes terakhir.
"Minum terlalu banyak dalam perjalanan tidak
baik. Bersabarlah sedikit. tuanku," seorang
pengikut menegurnya.
Tapi Hidetsugu menoleh pun tidak. Orang-
orang yang ditugaskan Hideyoshi untuk
mengawasinya merupakan duri dalam daging, la
berusia enam belas tahun, bertugas sebagai
panglima tertinggi, dan semangat tempurnya tentu
saja berkobar-kobar.
"Siapa itu yang sedang berlari ke sini?"
*Itu Hotomi."
"Hotomi? Kenapa dia ada di sini?" Hidetsugu
menyipitkan mata dan berjinjit agar dapat melihat
lebih jelas. Hotomi, komandan korps tombak,
menghampirinya dan berlutut. Napasnya terengah-
engah.
"Tuanku Hidetsugu, kita ada masalah!"
"Begitu"
"Sudikah tuanku mendaki ke puncak bukii?"
"Itu!" Hotomi menunjuk awan debu. "Sekarang
masih jauh, tapi awan itu bergerak dari
pegunungan ke arah dataran."
"Kelihaiannya bukan angin puyuh. Hmm. itu
pasti sebuah pasukan." "Tuanku harus mengambil
keputusan." "Musuhkah itu?"
"Hamba rasa tidak ada jawaban lain." Tunggu,
benarkah itu pasukan musuh?"
Hidetsugu masih bersikap acuh tak acuh.
Sepertinya ia tidak percaya bahwa musuh sedang
menuju ke arah mereka.
Tapi begitu para pengikutnya sampai di puncak
bukit, mereka langsung berseru-seru.
"Keparat!"
"Sudah kuduga musuh akan mengikuti kita.
Siagalah!"
Tak sabar menanti perintah Hidetsugu.
semuanya bergegas menyepak-nyepak rumput dan
menerbangkan debu. Tanah serasa bergetar, kuda-
kuda meringkik, perwira dan prajurit bersahut-
sahutan. Dalam selang waktu yang diperiukan
untuk beralih dari suasana makan ke keadaan siap
tempur, para komandan Tokugawa telah
memberikan perintah untuk memberondong
pasukan Hidetsugu dengan tembakan dan
menghujani mereka dengan anak panah.
Tembak! Lepaskan anak panah!" "Serbu
mereka!"
Melihat kebingungan yang melanda musuh,
pasukan berkuda dan korps tombak segera
menerjang.
"Jangan biarkan mereka mendekati Yang
Mulia!"
Di sekeliling Hidetsugu kini terdengar teriakan-
teriakan liar untuk me-nyelamatkan nyawa.
Serangan musuh datang dari segala arah, dari
pepohonan, dari semak belukar, dari jalan raya.
Hanya ada satu kelompok yang tak berhasil
meloloskan diri, yaitu kelompok yang terdiri atas
Hidetsugu dan para pengikutnya.
Hidetsugu mengalami luka ringan di dua atau
tiga tempat. dan ia mengayun-ayunkan tombaknya
dengan garang. "Tuanku masih di sini?" "Cepat!
Mundur! Kembali!"
Ketika para pengikutnya melihatnya, mereka
menegurnya dengan gusar. Semuanya gugur dalam
pertempuran itu. Kinoshiu Kageyu melihat bahwa
Hidetsugu kini berjalan kaki karena kudanya
kabur entah ke mana.
"Ini! Ambil kuda hamba! Gunakan pecut dan
tinggalkan tempat ini tanpa menoleh ke belakang!"
Setelah menyerahkan kudanya pada Hidetsugu,
Kageyu menancapkan panjinya di tanah. Tak
sedikit prajurit tewas di ujung pedangnya, sebelum
ia pun akhirnya menemui ajal. Hidetsugu
berpegangan pada pelana, namun sebelum ia
sempat naik ke atas kuda, binarang itu mati
terkena peluru.
"Berikan kudamu padaku!
Sambil lari tergopoh-gopoh, Hidetsugu melihat
seorang prajurit berkuda lewat di dekatnya dan
segera berseru. Orang itu langsung menarik tali
kekang, lalu menatap Hidetsugu dari atas kudanya.
"Ada apa. tuanku?"
"Berikan kudamu."
"Iiu sama saja dengan minta payung seseorang
pada waktu turun hujan. bukan? Tidak, kudaku
takkan kuberikan, walaupun atas perintah
tuanku." "Kenapa tidak?"
"Karena tuanku hendak mundur, sedangkan
hamba masih akan menerjang musuh."
Setelah menolak dengan tegas, prajurit itu
kembali memacu kudanya. Di punggungnya,
selembar daun bambu tampak berkibar-kibar.
"Keparat!" Hidetsugu menyumpah ketika
memperhatikan orang itu men-jauh. Ia merasa
dipandang sebelah mata oleh prajurit tersebut.
Hidetsugu menoleh ke belakang dan melihat awan
debu yang diterbangkan musuh. Tapi sekelompok
prajurit dari berbagai korps yang telah menelan
kekalahan melihatnya dan berseru-seru agar ia
berhenti.
"Tuanku! Jika tuanku berlari ke arah itu, tuanku
akan bertemu musuh lagi!"
Mereka segera mengelilingi dan menggiringnya
ke arah Sungai Kanare.
Ketika menuju ke sana, mereka menangkap
seekor kuda yang terlepas. dan Hidetsugu akhirnya
memperoleh tunggangan. Tapi pada waktu mereka
beristirahat sejenak di suatu tempat bernama
Hosogane, mereka kembali diserang musuh dan
setelah menderita kekalahan lagi, melarikan diri ke
arah Inaba.
Dengan demikian, Korps Keempat digulung
habis. Korps Ketiga, yang dipimpin oleh Hori
Kyutaro, berkekuatan sekitar tiga ribu orang.
Semua korps saling terpisah sejauh tiga sampai
lima mi,. dan kurir-kurir terus mondar-mandir,
sehingga jika Korps Pertama beristirahat, korps-
korps berikut-nya pun berhenti, satu demi satu.
Sekonyong-konyong Kyutaro menempelkan
tangan ke telinga. "Bukankah itu suara tembakan?"
Saat itulah salah satu pengikut Hidetsugu
memacu kudanya ke tengah-tengah pasukan yang
sedang beristirahat.
"Kami menderita kekalahan telak. Pasukan
utama telah dibinasakan oleh bala tentara
Tokugawa, dan nasib Yang Mulia Hidetsugu pun
tidak jelas. Berbaliklah segera!"
Kyutaro tampak terkejut, tapi ia menanggapi
berita itu dengan tenang.
"Kau anggota korps kurir?"
"Mengapa tuanku bertanya begitu dalam
keadaan seperti sekarang?" "Kalau bukan kurir.
kenapa kau tergopoh-gopoh begini? Kau melarikan
diri?"
Tidak! Hamba datang untuk melaporkan
situasi. Hamba tidak tahu apakah hamba bersikap
pengecut atau tidak, tapi hamba datang secepat
mungkin untuk memberitahu Yang Mulia
Nagayoshi dan Yang Mulia Shonyu."
Kemudian orang itu memacu kudanya dan
menghilang, menuju korps berikut di depan.
"Karena yang datang adalah seorang pengikut.
bukan seorang kurir, kita terpaksa menyimpulkan
bahwa barisan belakang kita menderita kekalahan
mutlak."
Sambil memendam kegelisahan dalam hatinya.
Kyutaro tetap duduk di kursinya.
"Semuanya ke sini!" Para pengikut dan
perwiranya, yang telah memahami situasi,
berkumpul dengan wajah pucat. "Pasukan
Tokugawa sudah siap menyerang. Jangan sia-siakan
peluru. Tunggu sampai jarak antara kita dan
musuh tinggal dua puluh meter sebelum kalian
melepaskan tembakan." Setelah memberikan
perintah mengenai penempatan pasukan, ia
menyampaikan pesan terakhir, "Aku akan
memberikan seratus gantang untuk setiap prajurit
musuh yang tewas."
Dugaan Kyutaro ternyata tidak meleset.
Pasukan Tokugawa yang sebelumnya telah
melayangkan pukulan mematikan terhadap korps
Hidetsugu kini menyerang korpsnya dengan
garang. Para komandan Tokugawa pun tercengang
melihat semangat tempur pasukan mereka.
Busa menempel di mulut semua kuda, wajah
para prajurit tampak tegang, dan baju tempur yang
datang bergelombang telah diselubungi darah dan
debu. Ketika pasukan Tokugawa makin mendekat,
Kyutaro mengawasi mereka dengan cermat, lalu
memberi aba-aba.
Tembak!"
Seketika timbul gemuruh mengerikan dan
gulungan asap tebal yang menyerupai tembok.
Dengan senapan-senapan kuno yang mereka
gunakan, orang-orang yang terlatih pun
memerlukan waktu lima sampai enam tarikan
napas untuk kembali mengisi mesiu dan peluru.
Karena itu, mereka memakai sistem berondongan
bergilir. Setiap berondongan terhadap musuh
segera diikuti oleh yang berikut. Pasukan
penyerang terpontang-panting menghadapi
pertahanan ini. Dalam sekejap mayat mayat sudah
mulai ber-gelimpangan di tanah.
"Mereka sudah menunggu!"
"Berhenti! Mundur!"
Para komandan Tokugawa meneriakkan
perintah mundur, tapi para prajurit mereka tak
mudah dihentikan.
Kyutaro menyadari bahwa saatnya sudah tiba
dan memerintahkan serangan balasan.
Kemenangannya sudah pasti, baik secara psikologis
maupun fisik, tanpa perlu menunggu hasil
pertempuran. Pasukan yang baru saja mencicipi
kejayaan kini mengalami nasib seperti Hidetsugu
beberapa saat sebelumnya.
Di seluruh jajaran pasukan Hideyoshi, korps
tombak Hori Kyutaro terkenal hebat. Mayat orang-
orang yang menemui ajal di ujung tombak-tombak
itu kini menghalangi kuda-kuda para komandan
yang berusaha kabur. Para jendral Tokugawa
berhasil lolos, pedang-pedang panjang mereka
terayun-ayun pada waktu mereka melarikan diri
dari tombak-tombak yang terus mengejar.
Langkah Gemilang

DATARAN NAGAKUTE terselubung asap mesiu,


bau mayat dan darah terasa menyengat. Dengan
munculnya matahari, dataran itu tampak
membara.
Suasana telah kembali tenteram, tapi para
prajurit yang semula mengobarkan api
permusuhan kini bergegas ke arah Yazako,
bagaikan awan ditiup badai.
Kyutaro tidak terpancing untuk bertindak
gegabah ketika memburu pasukan Tokugawa.
"Barisan belakang jangan ikut. Ambil jalan
memutar ke Inokoishi dan kejar mereka dari dua
arah."
Satu unit berpencar dan menyusuri jalan lain,
sementara Kyutaro membawa enam ratus orang
untuk mengejar musuh. Korban tewas dan luka
dari pihak Tokugawa yang ditinggalkan di tepi
jalan berjumlah lebih dari lima ratus orang, tapi
jumlah anak buah Kyutaro pun terus menyusut.
Meskipun korps utama sudah berada jauh di
depan, dua orang yang masih bernapas di tengah
mayat-mayat kini beradu tombak. Tapi, mungkin
karena terlalu menyulitkan, mereka lalu
mengempaskan senjata-senjata itu dan menghunus
pedang masing-masing. Sambil bergulat mereka
terjatuh, berdiri lagi, dan terus bertempur tanpa
henti. Akhirnya salah satu berhasil memenggal
lawannya. Diiringi teriakan yang nyaris tak
terkendali, sang pemenang mengejar rekan-
rekannya di korps utama. Sekali lagi ia menghilang
di tengah asap dan darah, namun akibat terjangan
peluru nyasar, ia pun ambruk sebelum sempat
bergabung dengan pasukannya.
Kyutaro berteriak-teriak sampai serak, "Percuma
saja mereka dikejar-kejar. Genza! Momoemon!
Hentikan pasukan! Suruh mereka mundur!"
Beberapa pengikutnya memacu kuda ke garis
depan, dan dengan susah payah menghalau anak
buah mereka.
"Mundur!"
"Berkumpul di bawah panji komandan!"
Hori Kyutaro turun dari kuda dan melangkah
dari jalan ke ujung sebuah tebing. Dari sini
pandangannya tak terhalang, dan ia pun menatap
ke kejauhan.
"Ah, dia datang begitu cepat," gumamnya.
Roman mukanya menunjukkan bahwa ia tak
lagi mabuk kemenangan. Sambil berpaling kepada
para pengikutnya, ia menyuruh mereka melihat ke
arah itu.
Di barat, di sebuah daerah agak tinggi yang
berseberangan dengan matahari pagi, sesuatu
tampak berkilau-kilau di Gunung Fujigane.
Bukankah itu lambang leyasupanji komandan
dengan kipas emas? Kyutaro angkat bicara, dan
suaranya bernada pilu, "Hatiku terasa pedih karena
terpaksa mengatakan ini, tapi kita tak punya
strategi untuk menghadapi lawan setangguh itu.
Tugas kita di sini sudah selesai."
Kyutaro segera mengumpulkan pasukannya dan
mulai bergerak mundur. Tapi pada saat itulah
empat kurir dari Korps Pertama dan Kedua yang
datang bersama-sama dari arah Nagakute
menghadapnya.
"Yang Mulia diperintahkan berbalik dan
bergabung dengan barisan depan. Ini perintah
langsung dari Yang Mulia Shonyu."
Kyutaro menolak dengan tegas, "Tidak. Kami
akan mundur."
Para kurir hampir tak percaya pada apa yang
mereka dengar. "Sebentar lagi pertempuran akan
meletus. Yang Mulia harap kembali dan segera
bergabung dengan pasukan junjungan kami!"
mereka mengulangi dengan nada tinggi.
Kyutaro meninggikan suara, "Kalau aku bilang
mundur, aku mundur! Kita harus memastikan
bahwa Yang Mulia Hidetsugu selamat. Lagi pula,
lebih dari separo pasukan ini telah terluka, dan
jika mereka dipaksa menghadapi musuh yang
masih segar bugar, bencanalah yang akan terjadi.
Aku tak mau memulai pertempuran yang aku tahu
tak dapat kumenangkan. Sampaikan ini pada Yang
Mulia Shonyu dan Yang Mulia Nagayoshi!"
Dan dengan ini, ia segera memacu kudanya.
Di sekitar Inaba, korps Kyutaro bertemu
dengan Hidetsugu dan sisa pasukannya yang
selamat. Kemudian, sambil membakar rumah-
rumah petani di sepanjang jalan. mereka berulang
kali membela diri terhadap serangan pasukan
Tokugawa yang terus mengejar, dan akhirnya
kembali ke perkemahan utama Hideyoshi di
Gakuden menjelang matahari terbenam.
Para kurir yang memohon bantuan Kyutaro
marah sekali.
"Pengecut macam apa yang lari ke perkemahan
utama tanpa mau melihat kesulitan yang dialami
sekutu-sekutunya?"
"Rupanya dia dicekam ketakutan."
"Hari ini Hori Kyutaro telah menunjukkan
watak sesungguhnya. Kita akan mencelanya kalau
kita kembali dalam keadaan hidup."
Mereka kini berpaling ke arah korps mereka
sendiri, yang dipimpin Shonyu, dan dengan geram
mereka memacu kuda masing-masing.
Memang, kedua korps di bawah komando
Shonyu dan Nagayoshi merupakan makanan
empuk bagi Ieyasu. Kedua orang tersebut sungguh
berbeda. Pertempuran antara Hideyoshi dan
Ieyasu saat itu menyerupai penandingan sumo
umuk memperebutkan gelar juara, dan kedua-
duanya saling memahami dengan baik. Sejak dini
Hideyoshi dan Ieyasu telah menyadari bahwa
bentrokan bersenjata tak terelakkan, dan mereka
sama-sama menyadari bahwa musuh bukan orang
yang dapat ditaklukkan dengan tipu muslihat atau
gertakan. Namun sungguh malang nasib prajurit
gagah dan garang yang hanya dituntun oleh
kebanggaannya sebagai pejuang semata-mata.
Terdorong oleh semangatnya yang membara, ia tak
sanggup mengenali musuh maupun kemampuan
nya sendiri.
Setelah memasang kursinya di Gunung
Rokubo, Shonyu memeriksa lebih dari dua ratus
kepala musuh yang berhasil dibawa dari Benteng
Iwasaki.
Hari masih pagi, baru sekitar pertengahan
pertama Jam Naga. Shonyu sama sekali belum
mengetahui bencana yang terjadi di belakangnya.
Pada waktu memandang reruntuhan benteng yang
masih berasap, ia terbuai oleh kesenangan sesaat
yang begitu mudah menguasai kaum prajurit.
Seusai pemeriksaan kepala musuh dan
pencatatan jasa-jasa anak buahnya, mereka makan
pagi. Sambil mengunyah, para prajurit sesekali
menoleh ke barat laut. Tiba-tiba ada sesuatu yang
juga menarik perhatian Shonyu.
Tango, apa itu di langit sebelah sana?" tanyanya.
Semua jendral di sekitar Shonyu menengok ke
timur laut.
"Mungkinkah ada huru-hara, salah satu dari
mereka menduga-duga.
Namun ketika sedang menghabiskan sisa
ransum, mereka didatangi kurir Nagayoshi. "Kami
disergap! Mereka menyelinap dari belakang!" orang
itu berseru sambil bersujud di depan kursi Shonyu.
Seketika para jendral merinding, seakan-akan
terkena embusan angin dingin.
"Apa maksudmu, mereka menyelinap dari
belakang?" tanya Shonyu. "Barisan belakang Yang
Mulia Hidetsugu diikuti pasukan musuh."
"Barisan belakang?"
"Serangan mereka datang tiba-tiba dari kedua
sisi."
Shonyu mendadak berdiri, bersamaan dengan
kemunculan kurir kedua dari Nagayoshi.
Tuanku tak boleh membuang-buang waktu.
Barisan belakang Yang Mulia Hidetsugu menderita
kekalahan mutlak."
Semua orang di bukit itu terperanjat. Kemudian
terdengar perintah-perintah ketus, diikuti bunyi
langkah para prajurit yang menuruni jalan di kaki
bukit.
Di sisi Gunung Fujigane yang tidak terkena
sinar matahari, panji komandan berlambang kipas
emas tampak berkilau di atas pasukan Tokugawa.
Lambang ini seolah-olah mengandung kekuatan
gaib, dan setiap prajurit pasukan Barat yang
melihatnya langsung gemetar. Secara psikologis
terdapat perbedaan besar antara semangat pasukan
yang sedang bergerak maju dan semangat pasukan
yang dipaksa mundur. Nagayoshi, yang kini
memacu anak buahnya dari atas kuda, tampak
seperti orang yang telah mencium kematiannya
sendiri. Baju tempurnya terbuat dari kulit hitam
dengan benang biru, dan baju luarnya
menggunakan kain brokat emas di atas dasar
putih. Sepasang tanduk rusa menghiasi helm yang
didorong ke belakang, sehingga menggantung pada
bahunya. Kepala Nagayoshi masih dibalut kain
putih yang menutupi luka-lukanya.
Korps Kedua semula beristirahat di
Oushigahara, tapi begitu mendapat berita menge-
nai pengejaran pasukan Tokugawa. Nagayoshi
langsung menyuruh prajurit-prajuritnya bersiaga.
Kemudian ia menatap kipas emas di Gunung
Fujigane.
"Ini lawan yang pantas," katanya. "Hari ini aku
akan menebus kegagalanku di Haguro. Dan aib
mertuaku akan kuhapus sekaligus."
Hari ini* ia berniat menegakkan kehor-
matannya. Nagayoshi laki-laki tampan, dan baju
kematian yang ia kenakan berkesan terlalu suram
untuknya. Laporanmu sudah diterima oleh barisan
depan?"
Kurir yang baru saja kembali itu menyejajarkan
kudanya dengan kuda junjungannya, lalu menyam-
paikan laporannya.
Pandangan Nagayoshi tertuju lurus ke depan
ketika ia mendengarkan orang itu. "Bagaimana
dengan orang-orang di Gunung Rokubo?"
tanyanya.
"Mereka segera disiagakan, dan sekarang sedang
menyusul di belakang kita"
"Kalau begitu, beritahu Yang Mulia Kyutaro di
Korps Ketiga bahwa kita akan mengerahkan
segenap kekuatan untuk menghadapi Ieyasu di
Gunung Fujigane. dan bahwa beliau diminta
mundur ke arah sini untuk mendukung kita."
Tapi, seperti telah disinggung sebelumnya,
permintaan tersebut ditolak oleh Kyutaro, dan
para kurir kembali dengan geram. Pada waktu
Nagayoshi menerima laporan mereka, pasukannya
telah melintasi daerah paya-paya di antara gunung-
gunung dan sedang mendaki ke Puncak
Gifugadake untuk mencari posisi yang
menguntungkan. Di hadapan mereka, panji
berlambang kipas emas milik Ieyasu tampak
berkibar-kibar.
Medan di tempat itu cukup berat. Di kejauhan,
jalan yang menuju ke salah satu bagian Dataran
Higashi Kasugai tampak meliuk-liuk, sesekali diapit
oleh gunung-gunung, terkadang melewati dataran-
dataran sempit. Jalan raya Mikawa yang
berhubungan dengan Okazaki terlihat jauh di
selatan.
Tapi di banyak tempat pemandangan terhalang
gunung-gunung. Tak ada ngarai-ngarai terjal
maupun tebing-tebing tinggi, hanya bukit-bukit
yang tampak bergelombang. Musim semi sudah
hampir berakhir, dan pohon-pohon diselubungi
kuncup-kuncup berwarna merah pucat.
Kurir-kurir terus datang dan pergi, tapi pikiran-
pikiran Nagayoshi dan Shonyu disampaikan tanpa
kata-kata. Pasukan Shonyu yang berkekuatan enam
ribu orang segera dipecah menjadi dua unit.
Sekitar empat ribu orang menuju ke utara, lalu
membentuk formasi di tenggara, di suatu tempat
tinggi. Panji komandan dan pataka-pataka yang
berkibar menunjukkan bahwa pasukan ini
dipimpin oleh putra sulung Shonyu, Yukisuke.
serta putra keduanya, Terumasa.
Ini baru sayap kanan. Sayap kiri terdiri atas
ketiga ribu prajurit Nagayoshi di Gifugadake.
Shonyu, yang membawahi kedua ribu prajurit
lainnya, bertindak sebagai korps cadangan. Ia
mendirikan panji komandannya di tengah-tengah
formasi sayap bangau ini.
Formasi apa yang akan digunakan Ieyasu pada
saat menyerang?'' tanya Shonyu.
Berdasarkan posisi matahari, mereka menaksir
bahwa saat ini baru penengahan .kedua Jam Naga.
Apakah waktu berjalan cepat atau lambat? Hari itu
waktu tak dapat diukur dengan cara biasa.
Kerongkongan mereka terasa kering. namun
mereka tidak menginginkan air.
Kesunyian yang aneh membuat mereka
merinding. Keheningan itu hanya terusik oleh
seekor burung yang berteriak-teriak ketika terbang
melintasi dataran. Semua burung lain telah
terbang ke gunung-gunung yang lebih tenteram,
meninggalkan tempat itu pada manusia.
Ieyasu tampak berbahu bungkuk. Setelah
melewati usia empat puluh, badannya menjadi
agak gembur. Bahkan kala mengenakan baju
tempur pun punggungnya melengkung dan
pundaknya kelihatan terlalu gempal; helmnya yang
penuh hiasan seakan-akan mendorong kepalanya
ke bawah, sehingga ia seperti tidak memiliki leher.
Tangan kanannya, yang menggenggam tongkat
komando, dan tangan kirinya sama-sama
bertumpu pada lutut. la duduk mengangkang di
kursinya, dengan sikap membungkuk ke depan
yang mengurangi wibawanya.
Demikianlah sikap tubuhnya sehari-hari,
bahkan kalau ia duduk meng-hadapi tamu atau
berjalan-jalan. la bukan orang yang suka
membusungkan dada. Para pengikut seniornya
pernah menyarankan agar ia memperbaiki sikap,
dan Ieyasu pun mengangguk-angguk. Tapi suatu
malam, ketika sedang bicara dengan para
pengikutnya, ia bercerita sedikit mengenai masa
lalunya.
"Aku dibesarkan dalam kemiskinan. Kecuali itu,
aku disandera oleh marga lain sejak aku berusia
enam tahun, dan semua orang yang kulihat di
sekelilingku mempunyai lebih banyak hak
daripada aku. Dengan sendirinya aku terbiasa
untuk tidak membusungkan dada, bahkan kalau
berada bersama anak-anak lain. Alasan lain untuk
sikapku yang buruk ini, ketika aku belajar di
ruangan yang dingin di Kuil Rinzai, aku membaca
buku di meja yang begitu rendah, sehingga aku
terpaksa membungkuk terus. Aku terus berangan-
angan bahwa suatu hari aku akan dibebaskan oleh
marga Imagawa, dan bahwa tubuhku akan kembali
menjadi milikku. Aku tak dapat bermain-main
seperti banyaknya anak-anak."
Rupanya Ieyasu tak sanggup menghapus
kenangan pahit dan masa kecilnya. Di antara para
pengikutya tak ada seorang pun yang belum
mendengar kisah mengenai hari-harinya sebagai
sandera marga Imagawa.
"Di pihak lain," ia melanjutkan. "berdasarkan
perkataan Sessai padaku, kaum biksu lebih percaya
pada bentuk bahu seseorang daripada raut
wajahnya. Sepertinya, hanya dengan mengamati
bahu seseorang. Sessai dapat mentamsilkan apakah
orang itu telah mencapai tahap pencerahan. Nah,
setelah itu aku mulai mengamati bahu para biksu,
dan ternyata semuanya bulat dan lembut seperti
lingkaran cahaya yang mengelilingi bulan. Jika
seseorang ingin menampung seluruh alam semesta,
dalam dada, dia tak dapat melakukannya dengan
dada membusung. Karena itu, aku mulai yakin
bahwa sikapku tidak terlalu buruk."
Setelah mendirikan markas besarnya di
Fujigane, Ieyasu memandang berkeliling dengan
tenang.
"Gifugadake-kah itu? Orang-orang di sana pasti
anak buah Nagayoshi. Hmm, tampaknya pasukan
Shonyu pun akan segera bersiap siaga di salah satu
gunung lainnya. Suruh para pengintai memeriksa
keadaan."
Tak lama kemudian para pengintai kembali dan
melapor pada Ieyasu. lnformasi mengenai posisi-
posisi musuh datang sepotong demi sepotong.
Ieyasu mendengarkan semua laporan, kemudian
menyusun strategi.
Saat itu Jam Ular telah tiba. Hampir dua jam
telah berlalu sejak panji-panji musuh muncul di
gunung di hadapan mereka.
Namun Ieyasu tetap tenang. "Shiroza, Haniuro.
Kemarilah." Masih sambil duduk, ia memandang
berkeliling dengan wajah tenteram.
"Ya, tuanku?*" Kedua samurai itu meng-
hampirinya, baju tempur mereka bergemerincing.
Ieyasu meminta pendapat mereka ketika ia
membandingkan peta di hadapannya dengan
medan sesungguhnya.
"Kalau dikaji lebih mendalam. tampaknya
pasukan Shonyu di Kobehazama-lah yang terdiri
atas prajurit-prajurit kawakan. Tergantung pada
pergerakan mereka, posisi kita di Fujigane ini
mungkin kurang menguntungkan."
Salah seorang dari mereka menunjuk puncak-
puncak di tenggara dan berkata, jika tuanku telah
bertekad untuk melakukan pertempuran jarak
dekat yang menentukan, hamba pikir bukit-bukit
di kaki gunung itu lebih cocok untuk mengibarkan
panji-panji tuanku."
"Baiklah! Mari kita pindah ke sana."
Sedemikian cepat ia mengambil keputusan.
Pergeseran posisi pasukannya dimulai seketika.
Dari bukit-bukit itu mereka hampir dapat
menyentuh posisi musuh.
Terpisah hanya oleh paya-paya dan Cekungan
Karasuhazama, para prajurit bisa melihat wajah
pasukan musuh dan bahkan mendengar suara-
suara mereka yang terbawa angin.
leyasu mengatur penempatan setiap unit,
sementara ia sendiri memasang kursinya di suatu
tempat dengan pandangan tak terhalang.
"Ah, rupanya Ii yang memimpin barisan depan
hari ini." ujar leyasu.
"Pengawal Merah telah berada di garis depan!"
"Mereka tampak gagah, tapi entah bagaimana
semangat tempur mereka."
Ii Hyobu berusia dua puluh tiga tahun. Semua
orang tahu bahwa pemuda ini sangat dihargai oleh
Ieyasu, dan sampai pagi itu ia masih berada di
antara para pengikut yang mendampingi Ieyasu.
Ieyasu sendiri memandang li sebagai orang yang
dapat dimanfaarkan, dan ia telah menyerahkan
komando atas tiga ribu orang serta tanggung jawab
untuk memimpin barisan depan. Posisi tersebut
memberi peluang untuk meraih kemasyhuran, tapi
juga memungkinkan penderitaan paling hebat.
"Bertempurlah sesuka hatimu hari ini." Ieyasu
menasihati.
Namun karena Ii masih begitu muda, Ieyasu
mengambil langkah pengamanan dengan
menyertakan dua pengikut berpengalaman dalam
unit itu. Ia menambahkan. "Perhatikanlah saran
kedua pejuang kawakan ini."
Yukisuke dan Terumasa memandang Pengawal
Merah dari posisi mereka di Tanojiri, di sebelah
selatan.
"Gempurlah Pengawal Merah yang sok pamer
itu!" Yukisuke memerintahkan.
Kemudian kakak-beradik tersebut mengirim
satu unit berkekuatan dua ratus sampai tiga ratus
orang dari sisi sebuah jurang, serta satu korps
serang dengan seribu orang dari garis depan.
Semuanya segera melepaskan tembakan, yang
disambut berondongan peluru dari bukit-bukit di
kaki gunung. Asap putih segera menyebar bagaikan
awan. Ketika asap mulai menipis dan melayang ke
arah paya-paya, para prajurit Ii yang berbaju
serbamerah berlari menuruni bukit. Sekelompok
samurai berbaju hitam serta sejumlah prajurit
infanteri bergegas menghadang mereka. Jarak
antara kedua kelompok itu menyusut dengan
cepat, dan kedua korps tombak mulai terlibat per-
tempuran jarak dekat.
Keberanian sejati biasanya terlihat dalam
pertempuran tombak melawan tombak. Dan lebih
dari itu, hasil akhir sebuah pertempuran sering kali
ditentukan oleh sepak terjang pasukan tombak.
Di sini korps pimpinan Ii membantai beberapa
ratus prajurit musuh. Namun di pihak Pengawal
Merah pun korban berjatuhan, dan tak sedikit
para pengikut mereka menemui ajal.
Sudah beberapa lama Ikeda Shonyu
memikirkan strategi yang akan dijalankannya. Ia
melihat bahwa pasukan di bawah kedua putranya
terlibat pertempuran jarak dekat dengan pasukan
Pengawal Merah. dan bahkan pertempuran
semakin sengit. "Sekaranglah kesempatan kalian!"
ia berteriak ke belakang.
Sebuah korps yang terdiri atas sekitar dua ratus
orang berani mati telah bersiap siaga dan
menunggu saat yang tepat. Begitu diberi perintah
maju, mereka akan bergegas ke arah Nagakute.
Kebiasaan memilih taktik-taktik tempur yang tidak
lumrah sudah mendarah daging dalam diri
Shonyu. Unit pasukan serang menerima
penntahnya, memutari Nagakute, dan mengincar
pasukan yang masih tertinggal setelah sayap kiri
Tokugawa mendesak maju. Mereka ditugaskan
menyerang pusat pasukan musuh, dan ketika
susunan tempur musuh sedang kacau, menangkap
sang Panglima Tertinggi, Tokugawa Ieyasu.
Namun rencana itu tidak berhasil. Mereka
dipergoki pihak Tokugawa sebelum mencapai
tujuan, dan di bawah hujan peluru, dipaksa
berhenti di daerah paya-paya yang menyulitkan
gerak-gerik mereka. Dalam keadaan terjepit, jatuh
banyak korban di pihak mereka.
Nagayoshi-mengamati situasi dari Gifugadake
dan berdecak. "Ah. mereka maju terlalu cepat."
serunya. "Tidak biasanya mertuaku begitu tak
sabar." Hari ini justru ia yang jauh lebih tenang
dibandingkan mertuanya. Dalam hati, Nagayoshi
telah menentukan hari ini sebagai hari
kematiannya. Tanpa terpengaruh oleh hiruk-pikuk
di sekelilingnya, ia memandang lurus ke kursi
komandan di bawah panji berlambang kipas emas
di bukit seberang.
Kalau saja aku bisa membunuh Ieyasu, katanya
dalam hati. Ieyasu, sebaliknya. memusatkan
perhatiannya ke Gifugadake, sebab ia sadar bahwa
pasukan Nagayoshi bersemangat tinggi. Pada pagi
sebelumnya. seorang pengintai sempat
menyinggung pakaian yang dikenakan Nagayoshi,
dan Ieyasu segera mewanti-wanti orang-orang di
sekelilingnya.
Tampaknya Nagayoshi memakai baju
kematiannya hari ini, dan tak ada yang lebih
menakutkan daripada musuh yang hendak
menyambut maut. ]angan anggap enteng dia, dan
jangan sampai kalian yang dijemput dewa maut.
Dengan demikian, kedua belah pihak memilih
bersikap menunggu. Nagayoshi memperhatikan
gerak-gerik lawannya dengan cermat. Ia yakin
Ieyasu takkan sanggup berpangku tangan jika
pertempuran di Tanojiri bertambah sengit. Ieyasu
pasti akan mengirim satu divisi sebagai bala
bantuan. Dan kesempatan itulah yang akan
dimanfaatkan Nagayoshi untuk menyerang.
Namun Ieyasu tak mudah dikelabui.
"Nagayoshi lebih garang daripada kebanyakan
orang. Kalau dia diam sepeni ini, dia pasti punya
rencana tertentu."
Tapi situasi di Tanojiri ternyata mengecewakan
harapan Nagayoshi. Semakin lama semakin banyak
tanda bahwa Ikeda bersaudara akan mengalami
kekalahan. Akhirnya ia memutuskan tak dapat
menunggu lebih lama. Tapi secara bersamaan panji
komandan dengan lambang kipas emas yang
selama ini tidak kelihatan, mendadak dikibarkan
di bukit-bukit tempat Ieyasu menunggu. Setengah
pasukan Ieyasu bergegas ke arah Tanojiri.
sementara yang lainnya menyerang Gifugadake
sambil bersorak-sorak.
Prajurit-prajurit Nagayoshi maju untuk
menghalau mereka, dan dengan bentrokan kedua
pasukan itu, Cekungan Karasuhazama segera
dilanda banjir darah.
Letusan senapan terdengar tanpa henti,
Pertempuran sengit pecah di daerah yang
terkurung oleh bukit-bukit itu, ringkikan kuda
serta gemerincing pedang panjang dan tombak
terus bergema. Suara para prajurit yang
menyerukan nama masing-masing kepada lawan-
lawan mereka mengguncang-kan bumi dan langit.
Dalam sekejap tak ada satu orang pun yang
tidak terlibat dalam pertarungan maut, dan tak
satu komandan maupun prajurit pun yang tidak
berjuang mari-matian. Begitu salah satu pasukan
kelihatan di atas angin, prajurit-prajuritnya
ambruk; sedangkan mereka yang sudah hampir
bertekuk lutut tiba-tiba berhasil mematahkan
serangan musuh. Tak ada yang tahu siapa yang
menang, dan selama beberapa saat pertempuran
berlangsung tak menentu.
Ada yang roboh dan gugur di ujung pedang, ada
pula yang berjaya dan mengumandangkan
namanya sendiri. Dari mereka yang terluka,
beberapa dicaci maki sebagai pengecut, tapi ada
juga yang dianggap sebagai prajurit yang gagah
berani. Namun jika diamati secara saksama.
terlihat bahwa semuanya bergegas menuju
keabadian, dan masing-masing menentukan
nasibnya sendiri.
Rasa malu adalah satu-satunya alasan Nagayoshi
tidak berpikir untuk kembali ke dunia sehari-hari
dalam keadaan hidup. Itulah alasan ia mengena-
kan baju kematiannya.
"Aku akan mencegat Ieyasu!" Nagayoshi
bersumpah.
Ketika pertempuran semakin membingungkan.
Nagayoshi memanggil sekitar lima puluh prajurit.
dan mulai bergerak ke arah panji komandan
berlambang kipas emas.
"Aku akan mencegat Ieyasu! Sekarang!" Dan ia
mulai memacu kudanya ke bukit seberang.
"Berhenti! Kau takkan ke mana-mana!" teriak
seorang prajurit Tokugawa. Tangkap Nagayoshi!"
"Itu dia! Yang memakai tudung putih dan
memacu kudanya dengan kencang!"
Gelombang demi gelombang orang-orang
berbaju tempur itu berusaha menghalaunya, tapi
semuanya terinjak atau diselubungi percikan
darah.
Namun kemudian satu di antara sekian banyak
peluru yang berdesingan, yang dilepaskan dari
laras senapan yang membidik samurai berbaju
putih itu menghantam Nagayoshi tepat di antara
kedua matanya.
Tudung putih yang menutupi kepala Nagayoshi
mendadak berubah merah. Nagayoshi terempas
dari belakang kudanya, dan untuk terakhir kali
menatap langit Bulan Keempat. Pemuda gagah
berusia dua puluh enam tahun itu jatuh ke tanah,
tangannya masih menggenggam tali kekang,
Hyakudan, kuda kesayangan Nagayoshi, berdiri di
atas kedua kaki belakangnya dan meringkik penuh
duka.
Anak buahnya menjerit pilu ketika
menghampirinya. Sambil menggotong jenazahnya,
mereka mundur ke Puncak Gifugadake. Pasukan
Tokugawa segera mengejar, berjuang untuk meraih
simbol kemenangan mereka, ber-teriak-teriak,
"Bawa kepalanya!"
Para prajurit yang baru saja kehilangan
pemimpin nyaris menangis. Sambil berbalik
dengan wajah mengerikan, mereka mengerahkan
tombak masing-masing untuk menyambut para
pengejar. Dan meski dilanda kekalutan, mereka
masih sempat menyembunyikan jasad Nagayoshi.
Namun berita bahwa Nagayoshi telah gugur segera
menyebar bagaikan angin yang dingin membeku.
Satu lagi bencana telah menimpa pasukan Shonyu.
Suasana di medan tempur menyerupai sarang
semut yang disiram air panas, di mana-mana
terlihat prajurit-prajurit melarikan diri dalam
keadaan kalang kabut.
"Mereka tak pantas disebut sekutu!" seru
Shonyu ketika mendaki ke tempat yang lebih
tinggi dan, bertentangan dengan keadaan damai di
sekelilingnya, mencaci maki segelintir prajurit yang
berpapasan dengannya. "Aku ada di sini! Jangan
lari kocar-kacir! Kalian sudah melupakan apa yang
kalian pelajari setiap hari? Kembali! Kembali dan
bertempurlah!"
Tapi orang-orang bertudung hitam di sekitarnya
tidak menghentikan langkah mereka. Justru
sebaliknya, hanya seorang pelayan belia berusia
lima belas atau enam belas tahun yang
menghampirinya sambil terhuyung-huyung.
Ia menuntun seekor kuda lepas dan
menawarkannya pada junjungannya.
Dalam pertempuran di kaki bukit, kuda Shonyu
terkena peluru dan roboh seketika. Shonyu sempat
terkepung, tapi dengan garang ia menerabas
membuka jalan dan mendaki bukit.
"Aku sudah tidak butuh kuda. Pasang kursiku
di sini."
Pelayan itu melaksanakan perintah, dan Shonyu
pun duduk.
"Empat puluh delapan tahun berakhir di sini,"
ia bergumam pada diri sendiri. Sambil menatap
pelayan di hadapannya, ia melanjutkan, "Kau putra
Shirai Tango, bukan? Kurasa ayah dan ibumu
sudah menunggu. Larilah sekencang mungkin ke
Inuyama. Lihat, peluru-peluru sudah berham-
buran! Pergilah dari sini! Sekarang!"
Setelah mengusir pelayan yang hampir
menangis itu, Shonyu tinggal seorang diri. Ia
merasa tak mempunyai beban lagi. Dengan tenang
ia memandang dunia untuk terakhir kali.
Tak lama kemudian terdengar suara
menyerupai bunyi binatang yang sedang bertarung,
dan pepohonan di celah tepat di bawahnya
terguncang-guncang. Rupanya beberapa anak
buahnya yang bertudung hitam masih bertahan,
dan mereka mengayunkan senjata dalam
pergulatan hidup atau mati.
Shonyu seakan-akan mati rasa, Kemenangan
dan kekalahan tak penting lagi. Kesedihan yang
mengiringi perpisahan dari dunia ini
membangkitkan kenangan masa silam yang
dibubuhi oleh wangi air susu ibunya.
Sekonyong-konyong semak belukar di
hadapannya mulai bergoyang-goyang.
"Siapa itu?" Mata Shonyu bersinar-sinar.
"Musuhkah?" ia berseru. Suaranya yang begitu
tenang mengejutkan prajurit Tokugawa yang
sedang mendekatinya, dan tanpa sadar orang itu
pun melangkah mundur.
Shonyu kembali berseru, menuntut jawaban.
"Kau prajurit musuh? Kalau ya, penggallah
kepalaku dan kau akan mengukir nama untukmu.
Orang yang bicara padamu adalah Ikeda Shonyu."
Prajurit yang tengah membungkuk di tengah
semak belukar itu menyembulkan kepala dan
memandang Shonyu di kursinya. la sempat
gemetar, tapi kemudian menegakkan badan sambil
berkata dengan congkak. "Hah rupanya aku
mendapat lawan yang hebat. Aku Nagai
Denpachiro dari marga Tokugawa. Bersiaplah!" ia
berseru, lalu menusukkan tombaknya.
Seruan seperti ini biasanya ditanggapi dengan
ayunan pedang, tapi tombak Denpachiro
menancap di tubuh Shonyu tanpa menemui
perlawanan sedikit pun. Denpachiro sampai
terhuyung-huyung akibat gerakannya yang terlalu
bernafsu.
Shonyu roboh seketika, dengan ujung tombak
menonjol keluar dari punggung.
"Ambillah kepalaku!" ia berteriak sekali lagi.
Sampai sekarang pun tangannya belum
menggenggam pedang panjang. Atas kemauan
sendiri ia mengundang maut, dan atas kemau-
annya sendiri pula ia menawarkan kepalanya.
Semula Denpachiro seperti kerasukan, namun
ketika tiba-tiba menyadari perasaan Shonyu dan
melihat bagaimana jendral musuh itu menyambut
kematiannya, ia pun terserang luapan emosi yang
membuatnya ingin menangis.
"Ah!" serunya, tapi kemudian ia seakan-akan
lupa diri karena begitu gembira, sehingga tidak
tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
Saat itulah ia mendengar rekan-rekannya
berjuang untuk lebih dulu sampai di puncak.
"Aku Ando Hikobei! Bersiaplah!"
"Namaku Uemura Denemon!"
"Aku Hachiya Shichibei dari marga Tokugawa!"
Semuanya menyerukan nama masing-masing
ketika mereka berlomba-lomba untuk memenggal
kepala Shonyu.
Tapi oleh pedang siapakah batang leher Shonyu
ditebas? Tangan mereka yang berlumuran darah
meraih kepala itu dan memutar-mutarnya.
"Aku telah memenggal kepala ikeda Shonyu!"
teriak Nagai Denpachiro. "Bukan, aku yang
melakukannya." Ando Hikobei bersorak. "Kepala
Shonyu milikku!" seru Uemura Denemon.
Cipratan darah, teriakan-teriakan liar, hasrat
untuk meraih kemasyhuran. Empat orang, lima
orangkerumunan prajurit yang semakin
membengkak mulai menuju ke arah kursi Ieyasu
dengan kepala Shonyu di tengah-tengah mereka.
"Shonyu telah gugur"
Seruan itu membahana dari puncak-puncak
sampai ke paya-paya, dan menyebabkan pasukan
Tokugawa di sduruh medan pertempuran
bersorak-sorai gembira.
Para prajurit pasukan Ikeda yang berhasil lolos
tidak berteriak sama sekali. Dalam sekejap orang-
orang itu telah kehilangan langit dan bumi,
bagaikan daun-daun kering mereka kini mencari
tempat unruk menyelamat-kan diri.
"Jangan biarkan saru orang pun dari mereka
kembali dalam keadaan hidup!"
"Kejar mereka!"
Para pemenang. didorong oleh perasaan haus
darah yang tak terpuaskan, membantai setiap
prajurit Ikeda yang mereka temui.
Bagi orang-orang yang sudah tak peduli pada
nyawa sendiri, merenggut nyawa orang lain dengan
ganas tak ubahnya bermam-main dengan kembang-
kembang gugur. Shonyu akhirnya berhasil
dihabisi, Nagayoshi tewas dalam pertempuran, dan
kini formasi-formasi Ikeda yang masih bertahan di
Tanojiri dibuat bercerai-berai oleh pasukan
Tokugawa.
Satu per satu para jendral membawa cerita
mengenai sepak terjang mereka ke perkemahan
yang membentang di bawah kipas emas Ieyasu.
"Mereka begitu sedikit."
Ieyasu merasa khawatir.
Jendral besar ini jarang memperlihatkan
perasaannya, namun ia cemas mengenai para
prajurit yang memburu musuh yang telah kalah.
Banyak yang tidak kembali, meski sangkakala telah
berulang kali dibunyikan. Barangkali mereka lupa
diri akibat kemenangan yang mereka raih.
Ieyasu mengulangi komentarnya dua atau tiga
kali.
"Jangan tumpuk kemenangan di atas
kemenangan." katanya. "Tak ada gunanya kita
mencari kejayaan pada waktu kita sudah berjaya."
Ia tidak menyinggung nama Hideyosh, namun
tak pelak lagi ia bisa merasakan bahwa ahli strategi
berbakat alam itu telah menudingnya sebagai
reaksi terhadap kekalahan yang dideriia
pasukannya.
"Pengejaran berkepanjangan sangat berbahaya.
Apakah Shiroza pergi?'*
"Ya. Dia pergi beberapa waktu lalu dengan
membawa perintah tuanku."
Setelah mendengar jawaban Ii, Ieyasu kembali
memberikan perintah, "Susul dia, Ii. Tegurlah
semua orang yang lupa diri, dan perintahkan
mereka untuk menghentikan pengejaran."
Pada waktu pasukan Tokugawa tiba di Sungai
Yada, mereka menemukan korps Naito
Shirozaemon berbaris di sepanjang tepi sungai,
masing-masing orang dengan tombak siap di
tangan.
"Stop!"
"Berhenti!"
"Perintah dari perkemahan utama: jangan
teruskan pengejaran!"
Ketika mendengar ucapan ini dari orang-orang
di tepi sungai, para pengejar pun berhenti.
Sesaat kemudian Ii muncul, dan berseru-seru
sampai serak sambil mondar-mandir di atas
kudanya.
"junjungan kita berpesan bahwa mereka yang
lupa diri karena begitu bangga akan kemenangan,
sehingga terus mengejar musuh. akan dihadapkan
ke mahkamah militer saat mereka kembali ke
perkemahan. Berbaliklah! Ayo. kembali!"
Akhirnya luapan semangat mereka mereda, dan
semuanya mundur dari tepi sungai.
Pertengahan kedua jam Kuda belum berlalu,
dan matahari berada di tengah-tengah langit. Kala
itu Bulan Keempat, dan dari bentuk awan-awan
terbaca bahwa musim panas sudah dekat. Wajah
setiap prajurit berlumuran tanah, darah, dan
keringat, serta seakan-akan terbakar.
Pada jam Kambing, Ieyasu turun dari
perkemahan di Fujigane, melintasi Sungai Kanare,
dan memeriksa kepala-kepala yang dijajarkan di
kaki Gunung Gondoji.
Pertempuran berlangsung setengah hari, dan di
mana-mana mayat-mayat sedang dihitung. Pihak
Hideyoshi kehilangan lebih dari dua ribu lima
ratus orang, sementara jumlah korban jiwa di
pasukan Ieyasu dan Nobuo mencapai lima ratus
sembilan puluh orang, dengan beberapa ratus lagi
mengalami luka-luka.
"Jangan sampai terbuai oleh kemenangan besar
ini," salah seorang jendral mewanti-wanti. "Korps
Ikeda hanya sebagian dari bala tentara Hideyoshi,
tapi kita telah mengerahkan seluruh pasukan kita
dari Bukit Komaki dan menerjunkan mereka di
sini. Kalau kita sampai kalah di sini, itu akan
berakibat fatal bagi sekutu-sekuiu kita. Sebaiknya
kita secepat mungkin mundur ke Benteng Obata."
Seorang jendral lain langsung membantah,
"Jangan, jangan, Sekali kemenangan sudah di
tangan, kita harus mengambil inisiatif dengan
gagah berani. Itulah hakikat perang. Berita
mengenai kekalahan mutlak ini tentu akan
memancing kemarahan Hideyoshi. Kemungkinan
besar dia akan segera mengumpulkan pasukan dan
bergegas ke sini. Bukankah lebih baik kita tunggu
dia sambil menyiapkan diri, lalu mengambil kepala
Tuan Monyet?"
Menanggapi kedua argumen ini, Ieyasu kembali
berkata. "Kita jangan menumpuk kemenangan di
atas kemenangan." Lalu, "Prajurit-prajurit kita
sudah letih semua. Sekarang pun Hideyoshi tentu
sudah menerbangkan awan debu dalam perjalanan
ke sini, tapi sebaiknya jangan hari ini kita hadapi
dia. Waktunya terlalu dekat. Mari kita kembali ke
Benteng Obata."
Setelah keputusan tersebut diambil, mereka
melintasi sebelah selatan Hutan Hakusan dan
memasuki Benteng Obata saat matahari masih
tinggi di langit.
Baru setelah seluruh pasukan berada di dalam
Benteng Obata dan gerbang-gerbang benteng
ditutup, Ieyasu menikmti kemenangannya. Ia
merasa puas bahwa pasukannya berlaga tanpa
kesalahan dalam pertempuran setengah hari itu.
Para prajurit dan perwira mendapat kepuasan dari
tindakan-tindakan berani seperti menjadi orang
pertama yang mengambil kepala musuh, tapi
kepuasan panglima tertinggi hanya menyangkut
satu hal; perasaan bahwa ketajaman pandangannya
telah membawa hasil gemilang.
Tetapi hanya orang besar dapat mengenali
sesama orang besar. Satu-satunya yang kini
menarik perhatian Ieyasu adalah langkah apa yang
akan diambil Hideyoshi. Ieyasu berusaha bersikap
fleksibel ketika memikirkan masalah ini, dan
sejenak ia melepas lelah di benteng utama di
Obata, mengistirahatkan baik jiwa maupun raga.
Setelah Shonyu dan putranya berangkat pada
pagi hari kesembilan, Hosokawa Tadaoki dipanggil
ke perkemahan Hideyoshi di Cakuden, dan ia
beserta beberapa jendral lain menerima perintah
untuk segera melancarkan serangan terhadap
Bukit Komaki. Setelah mereka mulai menyerang,
Hideyoshi memanjat menara observasi dan
mengamati jalannya pertempuran. Masuda
Jinemon menunggu di sampingnya sambil
memandang ke kejauhan.
"Mengingat kegarangan Yang Mulia Tadaoki,
bukankah kira akan menghadapi masalah jika dia
menerobos terlalu jauh ke wilayah musuh?"
Dengan perasaan cemas karena pasukan
Hosokawa telah begitu dekat ke kubu pertahanan
musuh, Jinemon mempelajari roman muka
Hideyoshi.
Tenang saja. Tadaoki memang masih muda,
tapi Takayama Ukon sudah banyak makan asam-
garam. Selama dia ada di sampingnya, kita tidak
perlu khawatir."
Pikiran Hideyoshi menerawang. Bagaimana
nasib Shonyu? Hideyoshi terus berharap akan
memperoleh berita baik dari rekan seper-
juangannya itu.
Sekitar tengah hari, sejumlah penunggang kuda
muncul. Mereka datang dari Nagakute. Dengan
tampang menyedihkan mereka menyampaikan
berita tragis: pasukan utama Hidetsugu telah
binasa, dan nasib Hidetsugu sendiri belum
diketahui.
"Apa? Hidetsugu?" Hideyoshi benar-benar kaget.
la bukan orang yang sanggup memasang tampang
acuh tak acuh saat mendengar berita mengejut-
kan. "Ah. betapa lalainya!" la mengatakan ini
bukan untuk mencela kesalahan Hidetsugu atau
Shonyu, melainkan untuk mengakui kekhilafannya
sendiri dan memuji kejelian musuhnya, Ieyasu.
"Jinemon." ia memanggil. "bunyikan sangkakala
untuk mengumpulkan pasukan."
Hideyoshi segera mengirim kurir-kurir
bertudung kuning dengan perintah darurat pada
setiap divisinya, dan dalam satu jam dua puluh
ribu prajurit telah bertolak dari Gakuden dan
sedang bergegas menuju Nagakute.
I'ergerakan itu tidak Input dari perhatian
markas besar Tokugawa di Bukit Komaki. Ieyasu
telah pergi, dan segelintir orang ditinggalkan
untuk menjaga tempat itu.
"Tampaknya Hideyoshi sendiri yang memimpin
pasukannya."
Pada waktu Sakai Tadatsugu, salah satu jendral
yang bertugas mengaman-kan Bukit Komaki,
mendengar berita itu, ia segera bertepuk tangan
dan berkata. "Ternyata semua berjalan sesuai
dugaan kita! Sementara Hideyoshi pergi, kita bisa
membakar markas besarnya di Gakuden serta
benteng di Kurose. Sekaranglah waktunya
bertindak, Kita akan melancarkan serangan besar-
besaran."
Tapi Ishikawa Kazumasa, salah satu jendral lain
yang mendampingi Tadatsugu dalam tugasnya,
langsung menentang.
"Tuan Tadatsugu, mengapa Tuan begitu
terburu-buru? Hideyoshi terkenal sebagai ahli
strategi yang luar biasa. Tuan pikir orang seperti
dia akan menempatkan jendral yang tidak cakap
untuk menjaga markas besarnya, biarpun dia
sudah tak sabar menunggu saat keberangkatan?"
"Dalam keadaan tergesa-gesa, orang mungkin
saja tidak dapat mengerahkan seluruh
kemampuannya. Hideyoshi telah membunyikan
sangkakala tanda berkumpul, dan berangkat begitu
terburu-buru, sehingga kita bisa menyimpulkan
bahwa dia pun gugup mendengar berita kekalahan
di Nagakute. Kesempatan emas ini tak boleh kita
sia-siakan."
"Pemikiran Tuan sungguh dangkal!" Ishikawa
Kazumasa tertawa keras-keras dan semakin
menentang Tadatsugu. "Aku takkan heran kalau
Hideyoshi meninggalkan pasukan yang cukup
besar untuk memanfaatkan situasi yang terjadi
kalau kita meninggalkan kubu pertahanan kita.
Dan serangan dengan pasukan sekecil yang kita
miliki sekarang hanya akan mengundang cemooh."
Honda Heihachiro muak mendengar mereka
saling membantah, dan ia pun bangkit dengan
gusar. "Untuk apa Tuan-Tuan berdebat seperti ini?
Orang yang suka berdebat memang hanya bisa
mengoceh. Aku sendiri tak bisa duduk berpangku
tangan di sini, Maafkan aku karena berangkat
lebih dulu."
Honda tak pandai bercakap-cakap, namun
memiliki watak kokoh. Baik Tadatsugu maupun
Kazumasa telah berkeras mempertaruhkan
kebenaran pendapat masing-masing dan
mengundang kontroversi, Kini keduanya tampak
kaget melihat Honda meninggalkan mereka sambil
mendongkol.
"Honda, hendak ke mana kau?" mereka cepat-
cepat bertanya.
Honda berbalik dan berkata, seakan-akan telah
menyadari sesuatu, "Aku telah menjadi pengikut
junjunganku sejak masa kanak-kanak. Mengingat
situasi yang dihadapt beliau sekarang, aku tak bisa
berbuat apa-apa selain mendampinginya."
Tunggu!" Kazumasa rupanya menduga bahwa
tindakan Honda disebabkan oleh luapan
kemarahan. dan ia mengangkat satu tangan untuk
mencegah-nya. "Kita diperintahkan oleh junjungan
kita untuk menjaga Bukit Komaki selama
kepergian beliau, tapi kita tidak diperintahkan
untuk bertindak sesuka hati. Tenangkan dirimu."
Tadatsugu pun berusaha menenangkannya.
"Honda, apa gunanya kau bertindak seorang diri
pada saat seperti ini? Pengamanan Bukit Komaki
jauh lebih penting."
Honda tersenyum tipis, seakan-akan
melecehkan kepicikan pikiran mereka, tapi
sikapnya tetap sopan, berhubung kedua orang itu
merupakan seniornya, baik dari segi pangkat
maupun usia.
"Aku takkan bergabung dengan para jendral
lain. Tuan-Tuan bebas bertindak sesuai kehendak
masing-masing. Tapi Hideyoshi memimpin
pasukan yang segar bugar untuk menghadapi Yang
Mulia Ieyasu, dan aku tak sanggup berdiri di sini
tanpa berbuat apa-apa. Coba pikirkan, Pasukan
junjungan kita tentu lelah akibat pertempuran
semalam dan pagi tadi. Jika kedua puluh ribu
prajurit Hideyoshi bergabung dengan sisa pasukan
mereka dan menyerang serempak dari depan dan
belakang, mungkinkah Yang Mulia Ieyasu dapat
lolos dengan selamat? Beginilah pandanganku, dan
kalaupun aku bersalah karena meninggalkan
Nagakute seorang diri, jika junjunganku harus
gugur di medan laga, aku akan menyertainya."
Mendengar ucapan ini, semua orang mendadak
terdiam. Honda memimpin pasukannya yang
berkekuatan tiga ratus orang dan bergegas
meninggalkan Bukit Komaki. Tersulut oleh
semangat orang itu. Kazumasa pun
mengumpulkan kedua ratus anak buahnya dan
bergabung dengan rombongan Honda.
Pasukan gabungan itu berjumlah kurang dari
enam ratus orang, tapi semangat Honda
menyelubungi mereka sejak mereka bertolak dari
Bukit Komaki. Apalah arti pasukan berkekuatan
dua puluh ribu orang? Lagi pula, siapa Tuan
Monyet itu?
Para prajurit infanteri bersenjata ringan, panji-
panji digulung, dan ketika kuda-kuda dipacu, awan
debu yang diterbangkan pasukan kecil itu
menyerupai angin puyuh yang menuju ke timur.
Tiba di tepi selatan Sungai Ryusenji, mereka
menemukan pasukan Hideyoshi bergerak menyu-
suri tepi utara, korps demi korps.
"Ah, itu mereka!"
"Itu panji komandan berlambang labu emas."
"Hideyoshi tentu dikelilingi para pengikutnya."
Sejak berangkat dari Bukit Komaki, Honda dan
anak buahnya terus memacu kuda masing-masing
tanpa henti. Kini mereka memandang ke tepi
seberang, sambil menuding-nuding dengan riuh
dan melindungi mata. Semuanya sudah tak sabar
untuk bertindak.
Jaraknya begitu dekat, sehingga seandainya anak
buah Honda berteriak, balasan dari seberang akan
terdengar jelas oleh mereka. Wajah para prajurit
musuh pun terlihat, dan bunyi langkah kedua
puluh ribu laskat yang bercampur baur dengan
gemerincing langkah kuda melintasi sungai dan
mengguncangkan dada orang-orang yang
mengamati mereka.
"Kazumasa!" Honda berseru ke belakangnya.
"Ada apa?"
"Kaulihat itu di tepi seberang?"
"Ya, pasukan yang besar sekali. Sepertinya
barisan mereka lebih panjang dari sungai ini.
"Itulah kelebihan Hideyoshi." ujar Honda sambil
tertawa. "Dialah yang sanggup menggerakkan
pasukan sebesar ini, seakan-akan merupakan per-
panjangan tangan dan kakinya sendiri. Dia
memang musuh, tapi kita harus mengakui
kehebatannya."
"Sudah agak lama aku memperhatikan mereka,
Kaupikir Hideyoshi ada di sebelah sana, tempat
panji komandan berlambang labu emas kelihatan
berkibar-kibar?"
"Tidak, tidak. Aku yakin dia bersembunyi di
tengah-tengah sekelompok orang lain. Dia takkan
berkuda di tempat dia bisa dibidik oleh seseorang."
"Para prajurit bergerak cepat, tapi semuanya
menoleh ke sini dengan curiga."
'Tugas kita sudah jelas. Kita harus
memperlambat gerakan Hideyoshi di jalan yang
menyusuri Sungai Ryusenji, biarpun hanya sesaat
saja."
"Apakah kita harus melancarkan serangan?"
"Jangan. Musuh mempunyai dua puluh ribu
prajurit, sedangkan kekuatan kita hanya lima ratus
orang. Kalau kita menyerang, dalam sekejap
permukaan sungai sudah merah oleh darah kita.
Aku bersedia mengorbankan nyawa, tapi aku tak
sudi mati sia-sia."
"Ah, kau hendak memberikan waktu kepada
pasukan junjungan kita di Nagakute untuk bersiap
siaga dan menunggu kedatangan Hideyoshi."
Betul. Honda mengangguk sambil memukul
pelananya. "Untuk mencuri waktu bagi sekutu-
sekutu kita di Nagakute, kita harus menghambat
perjalanan Hideyoshi dan serangannya-meski
hanya sebentardengan memberikan nyawa kita.
Bertindaklah sambil mengingat-ingat ini,
Tadatsugu."
"Baiklah. Aku paham."
Kazumasa dan Honda memutar kuda masing-
masing.
"Para penembak akan membentuk tiga
kelompok. Sambil berlari menyusuri sungai, setiap
kelompok berlutut dan menembak musuh di
seberang secara bergiliran."
Musuh bergerak cepat di tepi seberang, hampir
menandingi arus yang deras. Anak buah Honda
harus melakukan segala sesuatu dengan irama yang
sama, tapi dua kali lebih cepat dan sambil terus
berlari, saat mereka menyerang atau menyusun
barisan.
Karena mereka begitu dekat ke air, suara
tembakan bergema jauh lebih keras daripada
biasanya, dan asap mesiu menyebar bagaikan tirai
raksasa. Ketika satu unit melompat ke depan dan
melepaskan tembakan, unit berikut menyiapkan
senapan. Kemudian unit itu melompat maju,
menggantikan tempat unit pertama, dan segera
memberondong musuh di tepi seberang.
Sejumlah prajurit Hideyoshi jatuh terguling-
guling, dan tak lama kemudian barisannya mulai
goyah.
"Siapa yang berani menantang kita dengan
pasukan sekecil itu?"
Hideyoshi terperanjat. Ia kelihatan kaget sekali,
dan tanpa sadar menghentikan kudanya.
Para jendral serta semua orang di sekelilingnya
segera melindungi mata dengan satu tangan dan
memandang ke tepi seberang, namun tak seorang
pun dapat menjawab pertanyaannya dengan cepat.
"Hanya komandan yang luar biasa gagah akan
menantang musuh berkekuaian seperti kita
dengan pasukan berjumlah kurang dari seribu
orang. Adakah yang mengenalinya?"
Berulang kali Hideyoshi mengajukan
pertanyaan itu sambil memandang orang-orang di
depan maupun di belakangnya.
Orang yang akhirnya angkat bicara adalah Inaba
Ittetsu, komandan Benteng Sone di Mino. Meski
telah mencapai usia yang patut dimuliakan, ia
bergabung dengan pihak Hideyoshi dan sejak awal
mendampinginya sebagai penasihat.
"Ah. Ittetsu. Kau mengenali jendral musuh di
seberang sungai itu?"
"Hmm, melibat tanduk rusa di helmnya serta
jalinan pita putih di baju tempurnya, aku yakin itu
tangan kanan Ieyasu, Honda Heihachiro. Aku
masih mengingatnya dari pertempuran di Sungai
Ane bertahun-tahun lalu."
Ketika Hideyoshi mendengar ini, ia tampak
seolah-olah akan mencucurkan air mata. "Ah,
betapa perkasanya orang ini. Dengan segelintir
prajurit dia menyerang dua puluh ribu orang.
Kalau itu memang Honda, keberaniannya tak
perlu diragukan. Sungguh mengharukan bahwa
dia berusaha membantu Ieyasu melarikan diri
dengan menghambat kita di sini dan
mengorbankan nyawa," ia bergumam. Dan
kemudian, "Dia patut memperoleh simpati kita,
jangan lepaskan satu anak panah atau satu peluru
pun ke arahnya, seberapa gencar pun dia
menyerang kita. Jika ada hubungan karma antara
kami, suatu hari nanti aku akan mengangkatnva
sebagai pengikutku. Dia orang yang patut
disayangi. Jangan menembak, biarkan saja dia."
Selama itu ketiga regu tembak di tepi seberang
tentu saja sibuk mengisi senapan dan menembak
tanpa henti. Satu-dua peluru bahkan berdesing di
dekat Hideyoshi. Saat itulah pejuang berbaju
tempur yang terus diperhatikan Hideyoshi
Honda, orang yang mengenakan helm berhiaskan
tanduk rusa menghampiri batas air, turun dari
kuda, lalu membasuh moncong kudanya dengan
airn dari sungai.
Terpisah oleh sungai, Hideyoshi memandang
orang itu, sementara Honda menatap kelompok
jendralsalah satu dari mereka jelas-jelas
Hideyoshi yang telah menghentikan kuda
masing-masing.
Korps senapan Hideyoshi mulai melepaskan
tembakan balasan, tapi Hideyoshi sekali lagi
memarahi seluruh pasukannya, "Jangan
menembak! Teruskan perjalanan! Bergegaslah!"
Dan kemudian ia memacu kudanya semakin
kencang.
Ketika Honda melihat adegan di tepi seberang,
ia berseru keras-keras. "Jangan biarkan mereka
lolos!~ dan ia pun menambah kecepatan. Sambil
menyusuri sungai, ia sekali lagi melancarkan
serangan sengit terhadap pasukan Hideyoshi.
Namun Hideyoshi tidak terpancing, dan tak lama
kemudian ia mengambil posisi di sebuah bukit
yang berdekatan dengan Dataran Nagakute.
Begitu tiba di tempat tujuan, Hideyoshi
langsung memerintahkan tiga jendralnya untuk
membawa beberapa unit kavaleri ke medan
tempur. "Kerahkan segala daya untuk menghalau
pasukan Tokugawa yang hendak mundur dari
Nagakute ke Obata."
Markas besarnya didirikan di bukit itu,
sementara kedua puluh ribu prajurit menyebar di
bawah matahari senja, memamerkan niat mereka
untuk menuntut balas kepada Ieyasu.
Hideyoshi menugaskan dua orang sebagai
pemimpin unit pengintai, dan mereka diam-diam
menyelinap ke arah Benteng Obata. Setelah itu
Hideyoshi segera menyusun rencana pergerakan
bagi seluruh pasukannya. Tapi sebelum perintah-
perintahnya sempat disebarluaskan, sebuah pesan
penting tiba:
"Ieyasu tak lagi berada di medan pertempuran."
"Tidak mungkin!" semua jendral berkata
serempak. Hideyoshi duduk membisu pada waktu
ketiga komandan yang dikirimnya ke Nagakute
bergegas kembali.
"Ieyasu dan pasukan utamanya tdah mundur ke
Obata. Kami menemui beberapa kelompok musuh
yang terpencar-pencar dan tertinggal di belakang
rekan-rekan mereka, tapi yang lainya rupanya
berada satu jam di depan kami," mereka
melaporkan.
Dari ketiga ratus prajurit Tokugawa yang
mereka habisi, tak satu pun merupakan jendral
tersohor.
"Kita terlambat." Hideyoshi tak dapat melam-
piaskan kemarahannya yang tampak membara di
wajahnya.
Semua pengintai memberikan laporan yang
sama. Gerbang benteng di Obata telah ditutup
rapat-rapat, dan suasana di sana tenang-tenang
saja. Ini suatu bukti bahwa Ieyasu telah berada di
dalam benteng dan sedang menikmati
kemenangannya sambil beristirahat.
Di tengah perasaannya yang tak menentu,
Hideyoshi tanpa sadar bertepuk tangan dan
mengucapkan selamat pada Ieyasu. "Itulah Ieyasu!
Kecepatannya luar biasa. Dia mundur ke sebuah
benteng dan menutup gerbangnya tanpa
menyombongkan diri. Burung yang satu ini takkan
bisa kita tangkap dengan umpan maupun jaring.
Tapi tunggu saja, dalam beberapa tahun Ieyasu
akan bersikap sedikit lebih tahu diri, dan akan
bersujud di hadapanku."
Hari telah senja, dan serangan malam terhadap
sebuah benteng pada umumnya dihindari. Kecuali
itu, pasukan Hideyoshi telah menempuh perjalan-
an dari Gakuden tanpa istirahat sejenak pun,
sehingga kegtatan-kegiatan selanjutnya ditunda
untuk sementara waktu. Perintah segera diubah.
Para prajurit dlsuruh makan dulu. Asap api
unggun mengepul-ngepul di langit senja.
Para pengintai yang menyusup dari Obata
kembali dalam waktu singkat. Sebenarnya Ieyasu
sudah tidur, tapi ia bangun lagi untuk
mendengarkan laporan mereka. Setelah menge-
tahui situasi ia mengumumkan bahwa semua
orang akan segera kembali ke Bukit Komaki. Para
jendralnya menggebu-gebu menyarankan serangan
tengah malam terhadap Hideyoshi, namun Ieyasu
hanya tertawa dan bertolak ke Bukit Komaki
melalui jalur memutar.
Taiko

KARENA tak ada pilihan lain, Hideyoshi berputar


haluan dan kembali ke perkemahannya di
Gakuden. Ia tak dapat memungkiri bahwa
kekalahan yang dialaminya di Nagakute merupa-
kan pukulan serius, meskipun kekalahan itu
disebabkan oleh semangat Shonyu yang meluap-
luap tak terkendali. Namun juga tak dapat
disangkal bahwa dalam kesempatan ini Hideyoshi
terlambat bertindak.
Penyebabnya bukan karena Hideyoshi baru
sekali ini mengadu kekuatan dengan Ieyasu. Ia
telah mengenal Ieyasu jauh sebelum meng-
hadapinya di medan tempur. Masalahnya bentrok-
an ini merupakan bentrokan antara dua jendral
ulung, pertarungan antar juara, sehingga
Hideyoshi bersikap lebih hati-hati daripada
biasanya.
"Jangan hiraukan benteng-benteng kecil di
sepanjang jalan. Jangan buang-buang waktu."
Hideyoshi sempat mengingatkan, tapi Shonyu
telah ditantang oleh garnisun di Iwasaki dan
berhenti untuk menghancurkan benteng itu.
Kemampuan Ieyasu dan Hideyoshi-lah yang
akan meneniukan hasil pertempuran. Ketika
mendengar berita mengenai kekalahan di
Nagakute. Hideyoshi merasa yakin bahwa
kesempatannya telah tiba. Kematian Shonyu dan
Nagayoshi merupakan umpan tepat untuk
menangkap Ieyasu hidup-hidup.
Tapi musuh muncul seperti api, dan meng-
hilang bagaikan angin, dan setelah mereka pergi,
suasana jadi sehening hutan. Pada waktu Ieyasu
mundur ke Bukit Komaki, Hideyoshi merasa gagal
menangkap seekor kelinci ketakutan, tapi dalam
hati ia berkata bahwa ia hanya menderita luka
kecil di jarinya. Kekuatan militernya memang
nyaris tak terpengaruh, namun secara psikologis ia
telah memberikan kemenangan kepada pihak
Ieyasu.
Tapi bagaimanapun, seusai pertempuran sengit
selama setengah hari di Nagakute, kedua orang itu
bersikap sangai hati-hati, dan masing-masing
mengamati gerak-gerik lawan dengan cermat. Dan
sementara menunggu-nunggu kesempatan baik,
tidak terpikir oleh kedua-duanya untuk melancar-
kan serangan gegabah. Namun usaha-usaha untuk
memancing musuh dilakukan berulang kali.
Sebagai comoh, ketika Hideyoshi mengirim
keenam puluh dua ribu prajuritnya ke Gunung
Komatsuji pada hari kesebelas Bulan Keempat,
tanggapan di Bukit Komaki hanya berupa senyum
masam yang tenang.
Kemudian, pada hari kedua puluh dua di bulan
yang sama, pihak Ieyasu-lah yang melancarkan
provokasi. Pasukan gabungan berjumlah delapan
belas ribu orang dibagi-bagi menjadi enam belas
unit dan bergerak ke timur.
Sambil menabuh genderang dan melepaskan
teriakan-teriakan perang, barisan depan di bawah
komando Sakai Tadatsugu dan Ii Hyobu berkali-
kali menghampiri musuh, seakan-akan hendak
berkata, "Keluarlah, Hideyoshi!"
Pagar kayu runcing dengan selokan pertahanan
di depannya dijaga oleh Hori Kyutaro dan Gamo
Ujisato. Ketika memandang pasukan musuh yang
riuh rendah, Kyutaro mengertakkan gigi.
Setelah Nagakute, musuh telah menyebarkan
desas-desus bahwa prajurit-prajurit Hideyoshi takut
menghadapi laskar Tokugawa. Tapi Hideyoshi
telah menegaskan bahwa bala tentaranya dilarang
melancarkan serangan tanpa perintah langsung
darinya, sehingga mereka tak dapat berbuat apa-
apa selain mengirim kurir-kurir ke perkemahan
utama.
Ketika salah satu kurir tiba, Hideyoshi tengah
bermain go.
"Pasukan Tokugawa berkekuatan besar sedang
mendekati orang-orang kita di selokan ganda."
orang itu memberitahunya.
Sejenak Hideyoshi mengalihkan pandang dari
papan go dan bertanya pada kurir tersebut.
"Apakah Ieyasu berada di antara mereka?"
"Yang Mulia Ieyasu tidak turut serta."
Hideyoshi meraih biji berwarna hitam,
meletakkannya di papan permainan, dan tanpa
menoleh ia berkata. "Beritahu aku kalau Ieyasu
muncul. Kecuali dia sendiri yang memimpin
pasukannya. Kyutaro dan Ujisato bebas memilih
bertempur atau tidak."
Kira-kira secara bersamaan, Ii Hyobu dan Sakai
Tadatsugu di garis depan dua kali mengirim kurir
pada Ieyasu di Bukit Komaki.
"Sekaranglah waktu yang tepat untuk datang ke
medan tempur. Jika tuanku melakukannya dengan
segera, kita pasti sanggup memberikan pukulan
mematikan kepada pasukan utama Hideyoshi."
Ieyasu menanggapi dengan tenang. "Apakah
Hideyoshi sudah melangkah? Kalau dia masih di
Gunung Komatsuji, aku pun tak perlu turun
tangan."
Pada akhirnya Ieyasu tidak meninggalkan Bukit
Komaki.
Sementara itu, Hideyoshi memuji para prajurit
yang berjasa dalam pertempuran Nagakute dan
menyalahkan mereka yang gagal melaksanakan
tugas. la sangat hati-hati ketika mengumumkan
kenaikan upah atau memberi penghargaan, tapi
tidak mengucapkan sepatah kata pun pada
keponakannya, Hidetsugu. Setelah melarikan diri
dari Nagakute, Hidetsugu sendiri tampak salah
tingkah di hadapan pamannya. Ketika tiba di
perkemahan, ia hanya melapor bahwa ia telah
kembali. Baru kemudian ia berusaha menjelaskan
alasan kekalahannya. Tapi Hideyoshi hanya
berbicara dengan para jendral lain yang duduk di
sekelilingnya. Tak sekali pun ia memandang wajah
Hidetsugu.
"Akulah yang bersalah, sehingga Shonyu
menemui ajal." kata Hideyoshi. "Sejak muda kami
berbagi kemiskinan. Kami mencari hiburan malam
bersama-sama, dan main perempuan bersama-
sama. Aku takkan pernah melupakannya."
Setiap kali ia bicara mengenai teman lamanya
itu, matanya berkaca-kaca.
Suatu hari, tanpa menjelaskan jalan pikirannya
pada siapa pun, Hideyoshi memerintahkan
pembangunan kubu pertahanan di Oura. Dua hari
kemudian, pada hari terakhir Bulan Keempat, ia
memberikan perintah lebih lanjut. "Besok aku
akan melakukan pertempuran paling penting
dalam hidupku. Kita akan melihat siapa yang
tumbang, Ieyasu atau Hideyoshi. Beristirahatlah
dengan baik, persiapkan diri, dan jangan lengah."
Hari berikutnya adalah hari pertama Bulan
Kelima. Dengan anggapan bahwa hari itu mereka
akan berlaga dalam pertempuran menentukan
semua prajurit telah mempersiapkan diri sejak
malam sebelumnya. Kini, pada waktu Hideyoshi
akhirnya tampil di hadapan mereka para prajurit
mendengarkan kata-katanya dengan heran.
"Kita akan kembali ke Osaka! Seluruh pasukan
ditarik mundur." Kemudian ia memberikan
perintah selanjutnya. "Korps-korps di bawah
Kuroda Kanbei dan Akashi Yoshiro akan
bergabung dengan pasukan di selokan ganda.
Posisi barisan belakang akan ditempati oleh
Hosokawa Tadaoki dan Gamo Ujisato."
Enam puluh ribu orang berpindah tempat,
Sambil mengarah ke timur, mereka mengawali
gerakan mundur pada waktu matahari pagi
muncul di cakrawala. Hori Kyutaro ditinggalkan di
Gakuden dan Kato Mitsuyasu di Benteng
Inuyama. Selain mereka. seluruh pasukan
menyeberangi Sungai Kiso dan memasuki Oura.
Gerak mundur mendadak ini menimbulkan
tanda tanya dalam benak para jendral Hideyoshi.
Hideyoshi tenang-tenang saja ketika memberikan
perintah, tapi menarik mundur pasukan sebesar
itu bahkan lebih sukar daripada memimpinnya
melancarkan serangan. Tugas membuat barisan
belakang dipandang paling berat, dan konon
hanya mereka yang paling perkasa yang sanggup
mengemban tanggung jawab itu.
Ketika orang-orang di markas besar Ieyasu
melihat pasukan Hideyoshi mendadak mundur ke
timur pagi itu, semuanya diliputi keragu-raguan,
dan mereka melaporkan kejadian itu pada Ieyasu.
Semua jendral yang berada di sana sepenuhnya
sependapat. "Tak perlu diragukan lagi. Kita telah
meluluhlantakkan semangat tempur musuh."
"Kalau kita mengejar dan menyerang mereka,
pasukan Barat akan hancur lebur dan kita akan
merebut kemenangan besar."
Mereka mendesak-desak Ieyasu agar melancar-
kan serangan. dan masing-masing memohon diberi
kepercayaan sebagai pemimpin pasukan. Tapi
Ieyasu tidak tampak gembira. Dengan tegas ia
melarang pengejaran pasukan musuh.
Ia sadar bahwa orang seperti Hideyoshi takkan
menarik mundur sebuah pasukan besar jika tidak
karena alasan tertentu. Ia juga sadar bahwa meski
ia sanggup bertahan, kekuatannya tidak memadai
untuk menghadapi Hideyoshi dalam suatu
penempuran di tempat terbuka.
"Perang bukan judi. Apakah kita harus
mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang
hasilnya tak dapat kita ramalkan? Jangan bertindak
sebelum yakin waktunya sudah tiba."
Ieyasu tidak suka mengambil risiko. Ia juga
mengenal dirinya dengan baik. Dalam hal itu, ia
bertolak belakang dengan Nobuo. Nobuo selalu
membayangkan bahwa ia memiliki karisma dan
kemampuan yang sama seperti Nobunaga. Ia tak
sanggup berdiam diri, walaupun semua jendral
lain duduk membisu setelah permohonan mereka
ditolak oleh Ieyasu.
Kata orang, prajurit sejati menghormati peluang
yang diberikan kepadanya. Kenapa kita hanya
duduk di sini dan membiarkan kesempatan emas
ini berlalu begitu saja? Perkenankanlah aku
memimpin pengejaran." Sikap Nobuo semakin
berapi-api.
Ieyasu mengingatkannya dengan dua atau tiga
patah kata, tapi Nobuo semakin gigih memamer-
kan keberaniannya. Sambil berdebat dengan
Ieyasu, ia bertingkah seperti anak manja yang tidak
mau mendengarkan siapa pun.
"Kalau begitu, apa boleh buat. Lakukanlah apa
yang Tuan anggap perlu.-
Ieyasu memberi izin, meski sadar bahwa
bencanalah yang akan muncul. Nobuo segera
membawa pasukannya sendiri dan mengejar
Hideyoshi.
Setelah Nobuo pergi, Ieyasu menunjuk Honda
sebagai pemimpin sejumlah prajurit dan
menyuruh mereka mengikuti Nobuo. Seperti telah
diduga oleh Ieyasu, Nobuo menggempur barisan
belakang Hideyoshi yang sedang mundur, dan
walaupun ia sempat kelihatan unggul, ia segera
dikalahkan. Dengan cara ini, ia menyebabkan
banyak pengikutnya menemui ajal dalam
pertempuran.
Seandainya bala bantuan Honda tidak muncul,
bukannya tak mungkin Nobuo sendiri pun
menjadi salah satu hadiah terbesar bagi barisan
belakang Hideyoshi. Ketika kembali ke Bukit
Komaki. Nobuo tidak segera menghadap Ieyasu.
Tapi Ieyasu memperoleh laporan terperinci dari
Honda, la hanya mengangguk dan berkata.
"Memang sudah kuduga."
Meski telah memutuskan untuk mundur,
Hideyoshi tidak bermaksud pulang dengan tangan
kosong. Ketika pasukannya bergerak menyusuri
jalanan, ia berkata kepada para pengikutnya,
"Bagaimana kalau kita membawa tanda mata dari
sini?"
Benteng Kaganoi berdiri di tepi kiri Sungai
Kiso, di sebelah timur laut Benteng Kiyosu. Dua
pengikut Nobuo berkubu di sana, siap bertindak
sebagai salah satu sayap pasukan Nobuo dalam
keadaan darurat.
"Rebut benteng itu." Perintah tersebut
diberikan Hideyoshi kepada para jendralnya,
seakan-akan menunjuk buah kesemek yang
tergantung di pohon.
Pasukannya menyeberangi Sungai Kiso dan
mengambil posisi di Kuil Seitoku. Hideyoshi, yang
berada di tengah-tengah pasukan cadangan, mem-
buka serangan pada pagi hari keempat bulan itu.
Sesekali ia menaiki kudanya dan mengamati
jalannya pertempuran dari sebuah bukit di dekat
Tonda.
Dalam pertempuran keesokan harinya,
komandan benteng itu gugur. Namun bentengnya
sendiri baru takluk menjelang malam hari keenam.
Hideyoshi memerintahkan pembangunan kubu
pertahanan di sebuah titik strategis di Taki, dan
mundur sampai ke Ogaki pada hari ketiga belas.
Di Benteng Ogaki ia bertemu dengan para anggota
keluarga Shonyu yang selamat. dan menghibur istri
dan ibu rekan seperjuangannya itu.
"Aku bisa membayangkan kesepianmu. Tapi
jangan lupakan masa depan anak-anakmu yang
penuh harapan. Usahakanlah untuk melewatkan
sisa hidupmu dalam keharmonisan. Amatilah
pertumbuhan pohon-pohon kecil dengan gembira,
dan nikmatilah bunga-bunga yang sedang mekar."
Hideyoshi juga memanggil kedua putra Shonyu
yang masih hidup dan berpesan agar mereka selalu
tabah. Malam itu ia bersikap seperti anggota
keluarga, dan selama berjam-jam ia membicarakan
kenangannya mengenai Shonyu.
"Aku berbadan pendek, sama halnya dengan
Shonyu. Pada waktu laki-laki pendek itu menjamu
jendral-jendral yang lain, dia sering menampilkan
tari tombak kalau sudah mabuk. Kurasa dia belum
pernah memamerkan kebolehannya di hadapan
keluarganya sendiri, tapi gerakannya kira-kira
seperti ini." la menirukan Shonyu, dan semuanya
tertawa. Hideyoshi tinggal selama beberapa hari,
tapi akhirnya. pada hari kedua puluh satu, ia
kembali ke Benteng Osaka melalui Jalan Raya
Omi.
Osaka telah berkembang menjadi kota besar,
sangat berbeda dari pelabuhan kecil di Naniwa
dulu, dan ketika pasukan Hideyoshi tiba, para
warganya berkerumun di jalan-jalan dan di sekitar
benteng, mengelu-elukan mereka sampai matahari
terbenam.
Pembangunan bagian luar Benteng Osaka telah
rampung. Seiring datangnya malam, peman-
dangan luar biasa mulai terlihat. Lentera-lentera
memancarkan cahaya terang benderang dari
jendela-jendela yang tak terhitung banyaknya di
menara bertingkat lima di benteng utama, juga
dari benteng kedua dan ketiga, menghiasi langit
malam dan menerangi batas-batas benteng: di
timur, Sungai Yamato; di utara, Sungai Yodo; di
barat, Sungai Yokoboh; dan di selatan, selokan
pertahanan yang kering.
Hideyoshi telah meninggalkan perkemahannya
di Gakuden, berubah pikiran dan menjalankan
strategi "awal baru". Tetapi bagaimana tanggapan
Ieyasu terhadap perubahan tersebut? la duduk dan
memperhatikan pasukan Hideyoshi bergerak
menjauh. Dan meskipun ia mendapat berita
mengenai kesulitan yang dialami sekutu-sekutunya
di Benteng Kaganoi, ia tidak mengirim bala
bantuan.
"Ada apa ini?" Suara-suara sumbang mulai
terdengar di antara bawahan-bawahan Nobuo.
Namun Nobuo sudah pernah mengabaikan
peringatan Ieyasu, menyerang barisan belakang
Hideyoshi, menderita kekalahan memalukan dan
akhirnya hatus diselamatkan oleh Honda. Karena
itu, ia merasa telah kehilangan hak bicara.
Dengan demikian, perselisihan yang terus
memburuk menjadi tilik lemah dalam pasukan
sekutu. Disamping itu, tokoh utama di balik
pertempuran besar ini bukanlah Ieyasu, melainkan
Nobuo. Nobuo-lah yang menggembar-gemborkan
kewajiban moral, dan sang Penguasa Mikawa
memutuskan untuk membantunya. Ieyasu
berkedudukan sebagai sekutu, karena itu ia sukar
membatasi sepak terjang Nobuo. Akhirnya ia
mengajukan usul, "Sementara Hideyoshi berada di
Osaka, cepat atau lambat dia akan menyerbu Ise.
Nyatanya memang sudah ada tanda-tanda yang
mencemaskan bagi sekutu-sekutu kita. Kurasa
sebaiknya Tuan secepat mungkin kembali ke
benteng utama Tuan di Nagashima.
Nobuo memanfaatkan kesempatan ini dan
segera pulang ke Ise. Selama beberapa waktu
Ieyasu masih bertahan di Bukit Komaki, tapi
setelah menyerahkan komando kepada Sakai
Tadatsugu, ia pun akhirnya bertolak ke Kiyosu.
Para warga Kiyosu menyambut kedatangan Ieyasu
dengan sorak-sorai kemenangan, tapi jumlah
mereka tak dapat menyamai jumlah penduduk
Osaka yang mengelu-elukan Hideyoshi.
Para warga dan prajurit memandang
pertempuran di Nagakute sebagai kemenangan
besar bagi marga Tokugawa, namun Ieyasu
mengingatkan para pengikutnya agar mereka tidak
berbangga hati secara berlebihan, dan mengirim
pesan berikut ini kepada pasukannya:
Dari srgi militer, Nagakute merupakan kemenangan,
tapi dalam hal benteng dan wilayah, Hideyoshi-lah yang
menarik keuntungan. Jangan sampai ada yang mabuk
kemenangan.
Selama Ieyasu berada di Bukit Komaki, sekutu-
sekutu Hideyoshi tidak tinggal diam. Di Ise, yang
sudah beberapa lama tidak dilanda pertempuran,
mereka berhasil merebut benteng-benteng di Mine,
Kanbe, Kokulu, dan Hamada. serta menyerbu dan
menghancurkan benteng di Nanokaichi. Sebelum
orang lain menyadarinya, sebagian besar Ise telah
jatuh ketangan Hideyoshi.
Hideyoshi berada di Benteng Osaka selama
kurang-lebih satu bulan, menangani urusan
pemerintahan, menyusun rencana untuk mengatur
daerah-daerah di sekitar ibu kota dan menikmati
kehidupan pribadinya. Untuk sementara ia
menganggap krisis Bukit Komaki sebagai masalah
orang lain.
Di Bulan Ketujuh ia pulang-pergi ke Mino.
Kemudian pada sekitar pertengahan Bulan
Kedelapan ia berkata, "Sungguh menjemukan
kalau urusan ini dibiarkan berkepanjangan. Dalam
musim gugur ini aku harus menyelesaikannya
sampai tuntas."
Sekali lagi ia mengumumkan bahwa sebuah
pasukan besar akan bertolak ke garis depan.
Selama dua hari sebelum keberangkatannya, bunyi
seruling dan genderang dari penunjukan Noh
menggema di dalam benteng utama. Dan sesekali
suara tawa riuh pun terdengar.
Hideyoshi menampilkan rombongan pemain
Noh, serta mengundang ibu, istri, dan kerabatnya
di benteng untuk bersuka ria bersama-sama selama
satu hari.
Di antara para tamu terdapat ketiga putri yang
dipingit di benteng ketiga. Tahun itu Chacha
berusia tujuh belas, adiknya riga belas, sedangkan
si bungsu baru sepuluh tahun.
Baru satu tahun berlalu sejak ketiga bersaudara
itu menatap asap yang menyelubungi kematian ibu
dan ayah angkat mereka, Shibata Katsuie, ketika
Benteng Kitanosho takluk di tangan pasukan
Hideyoshi. Kemudian mereka dipindahkan dari
perkemahan di wilayah Utara, dan ke mana pun
mereka memandang, mereka hanya melihat orang-
orang yang asing bagi mereka. Selama beberapa
waktu mata mereka tampak sembap, siang dan
malam, dan tak satu kali pun terlihat senyum
menghiasi wajah-wajah belia yang seharusnya riang
gembira itu. Namun lambat laun ketiga putri itu
mulai terbiasa dengan orang-orang di dalam
benteng, dan karena terhibur oleh pembawaan
Hideyoshi yang menyenangkan, mereka mulai
menyukainya sebagai "paman yang lucu".
Hari itu, seusai sejumlah pertunjukan, si paman
yang lucu pergi ke ruang ganti, mengenakan
kostum, lalu muncul di panggung.
"Lihai! Itu Paman!" salah satu dari kakak-
beradik itu berseru.
"Wah, dia kelihatan lucu sekali!"
Tanpa menghiraukan kehadiran orang lain,
kedua putri yang lebih kecil bertepuk tangan dan
menunjuk-nunjuk sambil tertawa tanpa henti.
Tapi, seperti bisa diduga, si sulung Chacha segera
menegur mereka. "jangan menuding. Nonton saja
tanpa banyak bicara," ia berkata. Ia pun berusaha
duduk dengan tenang, tapi tingkah polah
Hideyoshi begitu lucu. Sehingga Chacha akhirnya
terpaksa menyembunyikan wajah di balik lengan
kimononya dan tertawa terpingkal-pingkal.
"Apa ini? Kalau kami tertawa, kami dimarahi.
Tapi sekarang Kakak malah ikut tertawa."
Dipermainkan seperti itu oleh kedua adiknya.
Chacha semakin tak kuasa menahan diri.
Ibu Hideyoshi pun tertawa dari waktu ke wakiu
ketika menyaksikan tarian jenaka yang ditampilkan
putranya, tetapi Nene, yang telah terbiasa
menghadapi tingkah polah dan senda gurau
suaminya dalam keluarga, kelihatan tidak terlalu
senang.
Nene lebih tertarik untuk mengamati gundik-
gundik suaminya yang duduk di sana-sini,
dikelilingi pelayan-pelayan.
Ketika mereka masih tinggal di Nagahama,
Hideyoshi hanya mempunyai dua gundik. Tapi
setelah mereka pindah ke Benteng Osaka, sebelum
Nene menyadarinya sudah ada gundik di benteng
kedua, dan satu lagi di benteng ketiga.
Memang sukar dipercaya, tapi ketika kembali
dari perang di Utara, Hideyoshi membawa pulang
ketiga putri Asai Nagamasa yang telah yatim-piatu,
dan membesarkan mereka dengan penuh kasih
sayang di benteng kedua.
Hati para dayang yang melayani Neneistri
pertama Hideyoshiterasa pedih karena Chacha
malah lebih cantik lagi daripada ibunya.
"Putri Chacha sudah berumur tujuh belas
tahun. Mengapa Yang Mulia memandanginya
seperti memandang bunga dalam vas?"
Mereka hanya memperburuk keadaan dengan
komentar-komentar seperti itu, tapi Nene hanya
tertawa.
"Apa boleh buat, ini seperti goresan pada
sebutir mutiara."
Dulu ia pun merasa cemburu seperti lazimnya
seorang istri, dan ketika masih tinggal di
Nagahama, ia bahkan pernah mengeluh pada
Nobunaga, yang lalu mengirim balasan tertulis:
Kau dilahirkan sebagai perempuan, dan secara
kebetulan kau bertemu dengan laki-laki yang sangat luar
biasa. Aku percaya bahwa orang seperti itu pun
mempunyai kekurangan, tapi kelebih-annya banyak
sekali. Jika kau memandang dari lereng sebuah gunung
besar, kau takkan paham seberapa besar gunung itu.
Tenangkanlah hatimu, dan nikmatilah hidup bersama
orang itu dengan cara yang diinginkannya. Aku tidak
mengatakan bahwa rasa cemburu itu buruk. Sampai
taraf tertentu, kecemburuan justru merupakan bumbu
bagi kehidupan suami-istri
Jadi, pada akhirnya Nene-lah yang menerima
teguran. Nene menarik pelajaran dari pengalaman
itu, dan ia bertekad untuk lebih menguasai diri. Ia
pun berniat menjadi perempuan yang dapat
menutup mata terhadap penyelewengan suaminya.
Namun belakangan ini adakalanya ia merasa
terancam dan bertanya-tanya, apakah suaminya
tidak mulai terlalu berlebihan.
Bagaimanapun. Hideyoshi kini mendekati usia
empat puluh tujuh tahun, masa kejayaan seorang
laki-laki. Sementara sibuk menangani masalah-
masalah eksternal seperti pertempuran di Bukit
Komaki, ia juga direpotkan oleh persoalan internal
seperti pengaturan urusan ranjang. Dengan
demikian ia tak puas-puasnya menjalani hidup,
hari demi hari dengan semangat laki-laki yang
gagah perkasa. la sedemikian terlarut sehingga
orang lain mungkin bingung bagaimana ia dapat
memisahkan yang biasa dari yang luar biasa sikap
murah hati dari sikap bijaksana, dan tindakan
untuk umum dari perbuatan yang seharusnya
disembunyikan.
"Menonton orang menari memang
mengasyikkan, tapi kalau aku menari di panggung.
rasanya sama sekali tidak menyenangkan, malah
melelahkan."
Hideyoshi telah menyusup ke belakang ibunya
dan Nene. Ia baru saja meninggalkan panggung,
diiringi tepuk tangan para penonton, dan
sepertinya ia masih terbawa oleh luapan
kegembiraan tadi.
"Nene," katanya. "mari kita habiskan malam
dengan tenang di ruanganmu. Dapatkah kau
menyiapkan jamuan?"
Ketika pertunjukan berakhir, lentera-lentera
langsung dinyalakan, dan para tamu kembali ke
benteng ketiga dan kedua.
Hideyoshi kini mampir di ruangan Nene,
diikuti serombongan pemain sandiwara dan
pemusik. Ibunya telah kembali ke kamarnya,
sehingga tinggal suami-istri itu bersama tamu-tamu
mereka.
Telah menjadi kebiasaan bagi Nene untuk
memperhatikan orang-orang seperti itu beserta
para pelayan mereka. Khususnya setelah
pertunjukan tadi, ia merasa gembira ketika
mengucapkan terima kasih, melihat mereka saling
memberi cawan sake, dan berbincang-bincang
dengan para penonton.
Hideyoshi duduk menyendiri sejak pertama,
dan karena sepertinya tak ada yang memper-
hatikannya, ia tampak agak murung.
Nene, kurasa tak ada salahnya kalau aku ikut
minum sake." katanya.
"Begitukah?"
"Apakah aku harus menonton yang lain
bersenang-senang? Kaupikir untuk apa aku datang
ke kamarmu?"
"Tadi ibumu berkata. 'Besok lusa anak itu akan
berangkat ke Bukit Komaki lagi,' dan aku disuruh
mengoleskan moxa ke tulang kering dan
pinggangmu sebelum kau benolak ke garis depan."
"Apa? Kau disuruh mengoleskan moxa?"
"Ibumu khawatir medan tempur masih diliputi
panasnya musim gugur, dan jika kau minum air
yang tidak baik, kau mungkin jatuh sakit. Sekarang
kuoleskan moxa dulu, setelah itu kau kuberi
secawan sake."
"Jangan konyol. Aku tidak suka moxa"
"Suka atau tidak, itulah perintah ibumu."
"Dan karena itu aku akan menjauhi kamarmu.
Dari semua orang yang menonton penunjukan
tadi sore, hanya kau yang tidak tertawa. Kau
kelihatan begitu serius."
"Begitulah aku. Kalaupun kau menyuruhku
bersikap seperti gadis-gadis cantik itu, aku tidak
sanggup.- Nene tampak agak gusar. Kemudian.
tiba-tiba saja, ia meneteskan ait mata ketika
teringat zaman dulu, ketika ia seumur Chacha dan
Hideyoshi berusia dua puluh lima tahun dan
dikenal dengan nama Tokichiro.
Hideyoshi menatap istrinya dengan pandangan
bertanya-tanya dan berkata. "Kenapa kau
menangis?"
"Aku tidak tahu," jawab Nene sambil
membuang muka, dan Hideyoshi menoleh agar
dapat menatapnya dari depan.
"Maksudmu, kau akan kesepian kalau aku
berangkat ke garis depan lagi?-
"Sejak awal perkawinan kita, berapa hari yang
kauhabiskan di rumah?"
Tak ada yang bisa dilakukan sebelum kita
berhasil membawa kedamaian di dunia, meskipun
kau tidak menyukai perang." balas Hideyoshi.
"Dan seandainya Yang Mulia Nobunaga tidak
tertimpa musibah, kemungkinan besar aku kini
menjadi komandan sebuah benteng di pedalaman,
yang hanya duduk dan terpaksa berada di sisimu
seperti kauinginkan."
"Orang-orang itu akan mendengar kata-kata
jahat yang keluar dari mulutmu. Aku tahu persis
apa yang tersimpan dalam hati laki-laki."
"Dan aku pun dapat menyelami hati
perempuan."
"Kau selalu mengolok-olokku. Aku tidak
menggugatmu karena cemburu, seperti perempuan
biasa."
"Setiap istri akan berkata demikian."
"Maukah kau mendengarkanku tanpa meng-
anggap semuanya ini sebagai lelucon?"
"Baiklah. Aku akan mendengarkanmu dengan
penuh hormat."
"Aku sudah lama pasrah pada keadaan. Jadi aku
takkan mengeluh bahwa aku merasa kesepian
mengurus bentengmu saat kau pergi berperang."
"Perempuan berbudi luhur, istri yang setia!
Inilah alasan Tokichiro dulu menaruh hati
padamu."
"Jangan keterlaluan kalau bergurau. Itulah
sebabnya ibumu memberi nasihat padaku."
"Apa katanya?"
"Ibumu berpendapat bahwa aku- terlalu patuh,
sehingga kau lupa diri dan berfoya-foya terus.
Ibumu menasihati agar aku sesekali bicara terus
terang dengan mu."
"Karena itukah kau disuruh mengoleskan moxa?"
ujar Hideyoshi sambil tertawa.
"Kau tak pernah memikirkan kecemasan ibumu.
Karena terlalu banyak minum, kau lupa bahwa kau
wajib menyayangi ibumu."
"Kapan aku terlalu banyak minum?"
"Bukankah dua malam yang lalu kau ribut-ribut
sampai dini hari mengenai sesuatu di kamar Putri
Sanjo?"
Para pembantu dan pemain sandiwara yang
sedang minum-minum di ruang sebelah berlagak
tidak mendengarkan percekcokan yang jarang
hmm, mungkin tidak begitu jarangantara suami-
istri itu. Tiba-tiba saja Hideyoshi berseru pada
mereka, "Hei, bagaimana pendapat penonton
tentang penampilan kami?"
Salah satu pemain sandiwara menjawab. Terus
terang, ini menyerupai pertandingan bola sepak
antara dua orang buta." Hideyoshi tertawa.
"Benar, takkan ada habisnya kalau kedua pihak
sama-sama mau menang sendiri."
"Hei, pemain gending, bagaimana menurutmu?"
"Hmm. hamba menyaksikan tuanku seakan-
akan hamba sendiri yang terlibat. Entah siapa yang
salah dan siapa yang benar."
Sekonyong-konyong Hideyoshi merenggutkan
kimono luar Nene dan melemparkannya sebagai
hadiah.
Keesokan harinya keluarga Hideyoshi tak
sempat melihatnya, meskipun mereka berada di
benteng yang sama. Sepanjang hari Hideyoshi
sibuk memberikan instruksi kepada para pengikut
dan jendralnya.
Pada hari kedua puluh enam Bulan Kedelapan,
Ieyasu menerima laporan penting bahwa
Hideyoshi akan datang. Bersama Nobuo ia
bergegas dari Kiyosu ke Iwakura, dan menempati
posisi yang berhadap-hadapan dengan Hideyoshi.
Ia sekali lagi mengambil sikap bertahan, dan
mengingatkan anak buahnya agar tidak membuka
serangan tanpa diperintah.
"Orang ini tidak tahu kapan harus berhenti."
Hideyoshi telah merasakan sendiri bahwa
kesabaran Ieyasu sangat merepot-kan, namun ia
pun tidak kekurangan akal. Ia tahu bahwa kulit
kerang tak dapat dibuka paksa, bahkan dengan
menggunakan palu pun, tapi jika bagian ekornya
dipanggang, dagingnya dapat diambil dengan
mudah. Akal sehat seperti inilah yang kini
melandasi pemikirannya. Mengirim Niwa
Nagahide untuk mempelajari kemungkinan
dibentuknya perjanjian damai tak ubahnya
memanaskan ekor kerang.
Niwa merupakan pengikut paling senior di
antara para pengikut marga Oda. Ia tokoh yang
bertanggung jawab dan populer. Setelah Katsuie
tiada dan Takigawa Kazumasu berada dalam
keadaan melarat. Hideyoshi tak lupa betapa
pentingnya mengambil hati orang itu sebagai
"buah catur cadangan sebelum penempuran pecah
di Bukit Komaki.
Niwa berada di Utara bersama lnuchiyo. tapi
dua jendralnya, Kanamori Kingo dan Hachiya
Yoritaka, turut berperang di pihak Hideyoshi.
Diam-diam kedua jendral ini beberapa kali
mondar-mandir antara perkemahan Hideyoshi dan
provinsi asal mereka, Echizen.
Isi surat yang dikirim tidak diketahui siapa pun,
termasuk oleh para utusan sendiri, namun
akhirnya Niwa menempuh perjalanan rahasia ke
Kiyosu dan bertatap muka dengan Ieyasu.
Kerahasiaan pembicaraan seperti ini dijaga
dengan sangat ketat. Di pihak Hideyoshi hanya
tiga orang yang tahu, yaitu Niwa dan kedua
jendralnya. Atas usul Hideyoshi, Ishikawa
Kazumasa bertindak sebagai penengah.
Namun akhirnya seseorang dalam tubuh marga
Tokugawa membocorkan desas-desus bahwa
perundingan damai telah di mulai secara rahasia.
Berita itu menimbulkan pergolakan hebat dalam
pertahanan Ieyasu yang berpusat di Bukit Komaki.
Rahasia yang bocor selalu diiringi omongan
jahat. Dalam kasus ini, nama yang muncul ke
permukaan adalah nama yang memang sudah
dicurigai oleh rekan-rekan sesama pengikutnama
Ishikawa Kazumasa.
"Kabarnya Kazumasa berperan sebagai
penengah. Sepertinya ada saja yang mencurigakan
antara Hideyoshi dan Kazumasa."
Beberapa orang membawa masalah ini langsung
ke hadapan Ieyasu, tapi ia memarahi semuanya
dan tak sedikit pun meragukan kejujuran
Kazumasa.
Namun sekali keraguan seperti itu timbul di
kalangan para pengikut, moral seluruh marga
terpengaruh.
Ieyasu sudah barang tentu cenderung
mengadakan perundingan damai, namun ketika
melihat keadaan yang melanda pasukannya, ia tiba-
tiba menolak utusan Niwa.
"Aku tidak menginginkan perdamaian." kata
Ieyasu. "Aku tidak mengharapkan kesepakatan
dengan Hideyoshi, bagaimanapun kondisi yang
ditawar-kannya. Kami akan berlaga di sini dalam
pertempuran yang menentukan. Aku akan
mengambil kepala Hideyoshi, dan kami akan
memperlihatkan makna kewajiban kepada seluruh
negeri."
Ketika hal ini secara resmi diumumkan di
perkemahan Ieyasu, para prajurit merasa gembira,
dan desas-desus mengenai Kazumasa langsung
berhenti.
"Hideyoshi mulai goyah!"
Dengan semangat baru, mereka semakin agresif.
Hideyoshi menelan pil pahit itu dengan lapang
dada. Baginya hasil tersebut tidak terlalu buruk. Ia
pun tidak menggunakan kekuatan militer,
melainkan memerintahkan agar pasukannya
menempati posisi-posisi strategis. Menjelang
penengahan Bulan Kesembilan, ia kembali
menarik mundur pasukannya dan memasuki
Benteng Ogaki.
Sudah berapa kalikah para warga Osaka
menyaksikan Hideyoshi beserta pasukannya
berangkat ke garis depan lalu pulang lagi, bolak-
balik antara benteng itu dan Mino?
Hari kedua puluh Bulan Kesepuluh pun tiba,
musim dingin sudah di ambang pintu. Pasukan
Hideyoshi, yang biasanya melalui Osaka, Yodo,
tiba-tiba kali ini melewati Koga di lga dan menuju
Ise. Di sana mereka meninggalkan jalan Raya
Mino dan menyusuri jalan yang menuju Owari.
Laporan demi laporan dari benteng-benteng
para pengikut Nobuo dan para mata-mata di Ise
datang bertubi-tubi. seakan-akan ada tanggul jebol
dan arus berlumpur sebuah sungai deras sedang
menuju ke arah sana.
"Pasukan utama Hideyoshi datang!"
"Mereka bukan prajurit-prajurit di bawah
komando satu jendral saja, seperti yang kita lihat
selama ini."
Pada hari kedua puluh tiga bulan itu, pasukan
Hideyoshi berkemah di Hanetsu dan mendirikan
kubu-kubu pertahanan di Nawabu.
Mengetahui bahwa pasukan Hideyoshi terus
bergerak ke arah bentengnya, Nobuo tak sanggup
menenangkan hati. Sudah sekitar satu bulan
lamanya ia menangkap gelagat bahwa badai sedang
mendekat. Artinya. tindak-tanduk Ishikawa
Kazumasa-yang dirahasiakan secara ketat oleh
marga Tokugawa secara misterius telah dibesar-
besarkan oleh seseorang, meskipun tak ada yang
tahu siapa orangnya.
Menurut desas-desus, telah terjadi perpecahan
di kalangan inti marga Tokugawa. Rupanya ada
sejumlah pengikut Ieyasu yang tidak menyukai
Kazumasa dan hanya menunggu saat yang tepat.
Kabar angin lain mengatakan bahwa pihak
Tokugawa telah membuka perundingan dengan
Hideyoshi, dan bahwa sebelum kabar mengenai
perpecahan ini bocor, Ieyasu hendak mencapai
perdamaian dengan cepat. Tapi kemudian
pembicaraan dihentikan secara mendadak, karena
persyaratan yang diajukan Hideyoshi dinilai terlalu
memberatkan.
Nobuo benar-benar bingung. Bagaimanapun,
nasibnya akan tidak menentu jika Ieyasu berdamai
dengan Hideyoshi.
"Jika Hideyoshi sampai berubah arah dan
membelok ke jalan Raya Ise, tuanku sebaiknya
menerima kenyataan bahwa telah ada kesepakatan
rahasia antara Hideyoshi dan Ieyasu untuk
mengorbankan marga tuanku."
Dan persis seperti yang dikhawatirkan Nobuo.
pergerakan pasukan Hideyoshi mengisyaratkan
bahwa mimpi buruknya akan menjadi kenyataan.
Tak ada yang dapat dilakukannya selain
melaporkan perkembangan ini kepada Ieyasu dan
memohon bantuannya.
Sakai Tadatsugu bertugas sebagai komandan
Benteng Kiyosu selama kepergian Ieyasu. Ketika
menerima laporan Nobuo, ia segera mengirim
kurir untuk menyampaikannya kepada Ieyasu,
yang langsung mengumpulkan seluruh pasukannya
dan kembali ke Kiyosu pada hari itu juga.
Kemudian ia cepat-cepat mengirim bala bantuan di
bawah pimpinan Sakai Tadatsugu ke Kuwana.
Kuwana merupakan leher Nagashima. Nobuo
pun membawa prajurit-prajuritnya dan menem-
patkan mereka berhadapan dengan Hideyoshi,
yang telah mendirikan markas besarnya di Desa
Nawabu.
Nawabu terletak di tepi Sungai Machiya.
kurang-lebih tiga mil di sebelah barat daya
Kuwana, tapi berdekatan dengan muara Sungai
Kiso dan Ibi, sehingga cocok sekali untuk meng-
ancam markas besar Nobuo.
Penghabisan musim gugur. Alang-alang di
daerah itu menyembunyikan ratusan ribu prajurit,
dan asap dari api unggun yang tak terhitung
banyaknya segera menyebar di sepanjang tepi
sungai, pagi maupun malam. Perintah untuk
memulai pertempuran belum diberikan. Para
prajurit bersantai dan bahkan memancing di
sungai. Jika kebetulan dipergoki oleh Hideyoshi,
yang sering mendatangi perkemahan-perkemahan
dan tiba-tiba saja muncul dengan kudanya, mereka
langsung gugup dan cepat-cepat membuang joran
masing-masing. Tapi kalaupun Hideyoshi melihat
ini, ia hanya lewat sambil tersenyum.
Sebenarnya, andai kata berada di tempat lain, ia
pun ingin memancing dan berjalan dengan kaki
telanjang. Dalam beberapa hal, ia tetap seperti
kanak-kanak. dan pemandangan-pemandangan
seperti itu membangkitkan kenangan masa
kecilnya.
Di seberang sungai ini terletak tanah Owari. Di
bawah sinar matahari musim gugur, bau tanah dari
tempat kelahiran menimbulkan rangsangan
tersendiri dalam dirinya.
Tomita Tomonobu dan Tsuda Nobukatsu telah
kembali dari suatu misi, dan sedang menunggu
kedatangannya dengan tak sabar.
Setelah meninggalkan kudanya di gerbang,
Hideyoshi bergegas dengan cara yang tidak lazim
baginya. Ia sendiri yang mengajak kedua laki-laki
yang keluar untuk menyambutnya ke tengah
rumpun pohon yang dijaga ketat.
"Bagaimanakah jawaban Yang Mulia Nobuo?" ia
bertanya. Suaranya pelan, tapi matanya bersinar-
sinar penuh harap.
Tsuda yang pertama angkat bicara. "Yang Mulia
Nobuo berpesan bahwa beliau memahami
perasaan tuanku dan setuju untuk mengadakan
pertemuan."
"Apa? Dia setuju?"
"Bukan itu saja, beliau tampak senang sekali."
"Betulkah?" Hideyoshi menarik napas dalam-
dalam, lalu mendesah panjang. "Betulkah? Itukah
yang terjadi?" ia mengulangi.
Sejak semula, niat Hideyoshi menyusuri Jalan
Raya Ise pada saat ini didasarkan atas spekulasi. Ia
mengharapkan pemecahan lewat jalan diplomasi.
tapi jika usaha itu gagal, ia akan menyerang
Kuwana, Nagashima, dan Kiyosu. Dan itu akan
membuka Bukit Komaki terhadap serangan dari
belakang.
Tsuda terhitung sebagai kerabat marga Oda; ia
putra seorang sepupu Nobunaga. Ia memaparkan
duduk perkaranya kepada Nobuo, dan akhirnya
berhasil mendapatkan jawaban.
"Aku bukan orang yang menyukai perang." balas
Nobuo. "Jika Hideyoshi menganggapku begitu
penting dan ingin mengadakan perundingan
damai, aku tidak keberatan menemuinya."
Sejak pertempuran pertama di Bukit Komaki,
Hideyoshi telah menyadari bahwa Ieyasu takkan
mudah diajak bicara. Setelah itu ia mempelajari
hati nurani manusia dan mempengaruhi orang-
orang di sekitar lawannya itu secara diam-diam.
Akibat pengaruh Hideyoshi, Ishikawa Kazumasa
menjadi sasaran kecurigaan di kalangan inti marga
Tokugawa. Jadi, ketika Niwa Nagahide
menganjurkan perundingan, orang-orang di
kalangan inti Nobuo yang telah menjalin
hubungan dengan Niwa segera diasingkan sebagai
golongan perdamaian. Nobuo sendiri gelisah
memikirkan niat Ieyasu sesungguhnya, dan pihak
Tokugawa mengamati pasukan Nobuo dengan
waspada. Keadaan ini berkembang akibat perintah
khusus dari Osaka yang jauh.
Hideyoshi percaya benar bahwa apa pun siasat
diplomasi yang ia gunakan, pengorbanannya tidak
sehebat pengorbanan dalam perang. Setelah
menempuh berbagai alternarif punberhadapan
langsung dengan Ieyasu di Bukit Komaki,
menjalankan rencana militer yang lihai, bahkan
melancarkan gertakan mengancamHideyoshi
tetap merasa bahwa berperang melawan Ieyasu
takkan membawa hasil, dan bahwa ia harus
mencari jalan lain.
Pertemuan dengan Nobuo keesokan harinya
merupakan perwujudan dari pemikiran seperti itu.
Hideyoshi bangun pagi-pagi sekali, dan sambil
memandang ke langit, berkata, "Cuaca sangat
mendukung."
Pada malam sebelumnya, gerakan awan musim
gugur sempat menimbulkan kecemasan di hatinya;
dan ia khawatir bahwa jika ada hujan dan angin,
pihak Nobuo mungkin ingin menunda pertemuan
atau memilih tempat lain, sehingga rencananya
tercium oleh orang-orang Tokugawa. Sebelum
tidur, pikiran Hideyoshi terus diusik oleh
kemungkinan yang tidak menguntungkan itu, tapi
pagi ini awan-awan telah lenyap dan langit tampak
lebih biru daripada biasanya di musim gugur.
Hideyoshi menganggap-nya pertanda baik, dan
sambil mendoakan keberhasilan bagi dirinya
sendiri, ia menaiki kudanya dan meninggalkan
perkemahan di Nawabu.
Para pengiringnya terdiri atas beberapa
pengikut senior, sejumlah pelayan, dan kedua
bekas utusan, Tomita dan Tsuda. Namun ketika
rombongan mereka akhirnya menyeberangi Sungai
Machiya, Hideyoshi telah mengambil langkah
pengamanan dengan menyembunyikan sekelom-
pok prajuritnya di tengah alang-alang dan di
rumah-rumah petani pada malam sebelumnya.
Hideyoshi terus mengobrol di atas kudanya,
seakan-akan tidak melihat mereka,dan akhirnya
turun di tepi Sungai Yada yang berdekatan dengan
daerah pinggiran sebelah barat Kuwana.
"Bagaimana kalau kita tunggu kedatangan Yang
Mulia Nobuo di sini saja?" tanyanya, dan sambil
duduk di kursinya, ia mengamati pemandangan
sekitarnya.
Tak lama kemudian, Nobuo, disertai sejumlah
pengikut berkuda, tiba sesuai waktu yang telah
ditetapkan. Tentunya ia pun melihat orang-orang
yang menunggu di tepi sungai, dan ia segera mulai
berunding dengan para jendral di kedua sisinya,
tanpa melepaskan pandangan dari Hideyoshi. la
berhenti, lalu turun dari kudanya di tempat yang
agak jauh, rupanya karena curiga.
Kerumunan samurai yang menyertainya kini
menyebar ke kiri-kanan. Nobuo mengambil posisi
di tengah dan mulai menghampiri Hideyoshi.
Kilauan baju tempurnya seakan-akan
mencerminkan keperkasaannya di medan laga.
Hideyoshi. Inilah orang yang sampai kemarin
masih dituduh sebagai pembunuh berdarah dingin
dan tak tahu berterima kasih. Inilah musuh yang
kejahatannya disebutkan satu per satu oleh Nobuo
dan Ieyasu. Meski telah menyetujui usulan
Hideyoshi dan menemuinya di sini. Nobuo tak
sanggup menenangkan diri. Apakah tujuan orang
itu sesungguhnya?
Ketika Hideyoshi melihat Nobuo berdiri penuh
wibawa, ia bangkit dari kursinya dan seorang diri
bergegas menghampiri nya.
"Ah, Yang Mulia Nobuo!" la melambaikan
kedua tangan, seolah-olah pertemuan ini terjadi
secara tak terduga dan tanpa rencana sebelumnya.
Nobuo tampak bingung. tapi para pengikut
yang mengelilinginya, yang tampak begitu
mengesankan dengan tombak dan baju tempur
masing-masing, menatap Hideyoshi dengan
ternganga.
Namun itu bukan satu-satunya kejutan yang
menanti mereka. Hideyoshi kini telah berlutut di
hadapan Nobuo, bersembah sujud sampai
wajahnya hampir mengenai sandal jerami Nobuo.
Lalu, sambil meraih tangan Nobuo yang masih
tercengang, ia berkata, "Tuanku, dalam tahun ini
tak satu hari pun berlalu tanpa hamba merasakan
hasrat untuk bertemu tuanku. Hamba sungguh
bahagia melihat tuanku dalam keadaan sehat
walafiat. Roh jahat macam apakah yang
menyesatkan tuanku sehingga kita saling
berperang? Mulai hari ini tuanku akan menjadi
junjungan hamba, seperti sediakala."
"Hideyoshi, berdirilah. Aku pun bersyukur kau
telah bertobat. Kita sama-sama bersalah. Mari,
bangkitlah."
Nobuo menarik Hideyoshi sampai berdiri.
Pertemuan pada hari kesebelas Bulan Kesebelas
di antara kedua orang itu berjalan lancar, dan
persetujuan damai pun berhasil dicapai.
Berdasarkan tata krama, Nobuo seharusnya
membicarakan masalah itu dengan Ieyasu dan
meminta persetujuannya sebelum bertindak. Tapi
kesempatan menguntungkan ini langsung
disambutnya dengan baik, dan ia menerima
tawaran damai Hideyoshi tanpa berkonsultasi
lebih dulu.
Dengan demikian, orang yang selama ini
dimanfaatkan Ieyasu demi kepentingannya sendiri
telah direbut oleh musuhnya. Singkat kata, Nobuo
termakan bujuk rayu Hideyoshi.
Orang hanya dapat menebak kata-kata manis
yang digunakan Hideyoshi untuk memikat
Nobuo. Selama tahun-tahun pengabdiannya,
Hideyoshi jarang-jarang memancing kemarahan
ayah Nobuo, Nobunaga, jadi menghadapi Nobuo
merupakan tugas ringan baginya. Tapi persyaratan
perjanjian damai yang semula disampaikan oleh
kedua utusan tak dapat dikatakan manis maupun
ringan:
Pasal : Anak perempuan Nobuo akan diangkat
anak oleh Hideyoshi.
Pasal : Keempat distrik di Ise bagian utara yang
diduduki Hideyoshi akan diserahkan kembali pada
Nobuo.
Pasal : Nobuo akan mengirim beberapa perem-
puan dan anak-anak anggota marganya sebagai
sandera.
Pasal : Tiga distrik di Iga, tujuh distrik di Ise
bagian selatan, Benteng Inuyama di Owari, dan
kubu pertahanan di Kawada akan diserahkan pada
Hideyoshi.
Pasal : Semua kubu pertahanan sementara dari
kedua pihak di Provinsi Ise dan Owari akan
dibancurkan.
Nobuo membubuhkan segelnya di atas
dokumen tersebut. Sebagai hadiah dari Hideyoshi.
pada hari itu Nobuo menerima dua puluh keping
emas serta pedang buatan Fudo Kuniyuki. Ia juga
memperoleh tiga puluh lima ribu bal beras yang
merupakan barang rampasan perang dari daerah
Ise.
Hideyoshi telah bersembah sujud di hadapan
Nobuo, dan telah memberikan berbagai hadiah
sebagai tanda persahabatan. Dengan perlakuan
seperti itu, Nobuo mau tak mau tersenyum puas.
Namun sudah jelas bahwa Nobuo tidak
mempertimbangkan bagaimana siasatnya akan
menjadi senjata makan tuan. Di zaman yang serba
tak menentu itu, Nobuo memperlihatkan
kebodohan yang tak dapat dimaafkan. Takkan ada
yang menyalahkan seandainya ia tetap berdiri di
pinggir, tapi ia memilih berdiri di tengah
panggung. Tanpa menyadari dirinya diperalat, ia
telah menyebabkan kematian banyak orang di
bawah panjinya.
***
Orang yang paling terkejut ketika semuanya
terungkap adalah Ieyasu yang telah berpindah dari
Okazaki ke Kiyosu guna memperoleh tempat
berpijak untuk berperang melawan Hideyoshi.
Hari kedua belas telah tiba.
Sakai Tadatsugu tiba-tiba muncul di benteng,
setelah memacu kudanya sepanjang malam dari
Kuwana.
Tidak biasanya seorang komandan dari garis
depan meninggalkan posisinya dan mendatangi
Kiyosu tanpa pemberitahuan sebelumnya. Selain
itu, Tadatsugu merupakan pejuang kawakan ber-
usia enam puluh tahun. Mengapa orang tua itu
menempuh perjalanan semalam suntuk, hanya
diiringi beberapa orang?
Tadatsugu tiba sebelum waktu sarapan, tapi
Ieyasu keluar dari kamar tidur, duduk di ruang
pertemuan pribadinya, dan bertanya, "Ada apa,
Tadatsugu?"
"Yang Mulia Nobuo bertemu dengan Hideyoshi
kemarin. Kabarnya mereka berdamai tanpa ber-
konsultasi dengan tuanku."
Tadatsugu melihat emosi terpendam di wajah
Ieyasu, dan secara tak terduga, bibirnya sendiri
ikut bergetar. Ia nyaris tak sanggup menahan
perasaannya. Ia ingin berseru bahwa Nobuo orang
yang paling bodoh. Barangkali itulah yang
tersimpan dalam hati Ieyasu. Harus marahkah ia?
Harus tertawakah ia? Tak pelak lagi ia memendam
semua perasaan itu, seakan-akan tak dapat
menerima gejolak dalam hatinya.
Ieyasu tampak bingung. Ia tercengang. Hanya
itu yang terbaca dari roman mukanya. Selama
beberapa saat kedua laki-laki itu duduk membisu.
Akhirnya Ieyasu mengedipkan mata dua atau tiga
kali, kemudian mencubit cuping telinganya
dengan tangan kiri dan menggosok-gosok pipi. la
kehabisan akal. Punggungnya yang melengkung
mulai bergoyang-goyang. Tangan kirinya dibiarkan
terkulai di lututnya.
"Tadatsugu, kau yakin?" tanyanya.
"Hamba takkan gegabah menyampaikan laporan
semacam ini. Laporan-laporan yang lebih
terperinci akan menyusul"
"Kau belum mendapat kabar dari Nobuo?"
"Kami mendengar berita bahwa beliau telah
meninggalkan Nagashima, melewati Kuwana, dan
berhenti di Yadagawara, tapi hamba pikir beliau
sekadar memeriksa pertahanan dan pasukan
beliau. Setelah beliau kembali ke bentengnya pun
kami belum mengetahui tujuan perjalanan beliau."
Laporan-laporan berikutnya membenarkan
desas-desus mengenai perjanjian damai yang
disepakati Nobuo, tapi sepanjang hari Nobuo
sendiri tidak mengirim kabar. Dalam waktu
singkat berita itu telah menyebar ke kalangan
pengikut marga Tokugawa. Setiap kali bertemu,
mereka membahas kejadian yang sukar dipercaya
ini dengan berapi-api. Mereka menuduh Nobuo
sebagai orang yang tidak memiliki integritas, dan
bertanya-tanya bagaimana marga Tokugawa dapat
menghadapi dunia dengan kepala tegak setelah
mengalami musibah seperti ini.
"Kalau ini memang benar, kita tak bisa mem-
biarkan orang yang menyebabkannya, biarpun dia
Yang Mulia Nobuo," ujar Honda yang lekas naik
darah.
Pertama-tama kita harus membawa Yang Mulia
Nobuo keluar dari Nagashima dan menyelidiki
kejahatannya," Ii menambahkan sambil mendelik.
"Setelah itu kita akan berlaga dalam pertempuran
menentukan melawan Hideyoshi."
"Aku setuju!"
"Bukankah karena Yang Mulia Nobuo kita
menyiagakan pasukan?"
"Kita mendukung penegakan kewajiban dan
mengangkat senjata hanya karena Yang Mulia
Nobuo memohon-mohon bantuan Yang Mulia
Ieyasu dan berkata bahwa keturunan Yang Mulia
Nobunaga akan binasa akibat ambisi Hideyoshi!
Sekarang simbol perang kewajiban ituorang yang
merupakan perwujudan keadilantelah membelot
ke pihak musuh. Tak ada kata-kata yang sanggup
melukiskan kebodohan orang itu."
"Dalam keadaan seperti ini, wibawa junjungan
kita diinjak-injak. Kita menjadi bahan tertawaan.
Ini merupakan penghinaan terhadap rekan-rekan
kita yang gugur di Bukit Komaki dan Nagakute."
"Kematian mereka sia-sia belaka, dan tak ada
alasan kenapa kita harus menanggung beban
seperti itu. Bagaimana kiranya keputusan yang
diambil junjungan kita?"
"Sepanjang pagi beliau tidak keluar dari
ruangannya. Beliau mengadakan pertemuan
dengan para pengikut senior, dan rupanya mereka
masih berunding.
"Bagaimana kalau salah seorang yang ada di sini
menyampaikan pandangan kita kepada para
pengikut senior?"
"Ya. itu gagasan baik. Tapi siapa yang bersedia?"
Mereka semua saling pandang.
"Bagaimana denganmu, li? Dan kau, Honda,
sebaiknya ikut juga." Honda dan li baru saja
hendak meninggalkan ruangan ketika seorang
kurir masuk. "Dua utusan Yang Mulia Nobuo baru
saja tiba." "Apa? Utusan dari Nagashima?" Berita
itu kembali mengobarkan kemarahan mereka.
Namun karena utusan-utusan tersebut telah
dibawa ke bangsal pertemuan, besar kemungkinan
mereka sudah bertatap muka dengan Ieyasu.
Sambil saling meyakinkan bahwa tanggapan
junjungan mereka akan segera diumumkan, para
pengikut Ieyasu memutuskan untuk menunggu
hasil pertemuan itu.
Bertindak sebagai utusan Nobuo adalah
pamannya, Oda Nobuteru, serta Ikoma
Hachiemon. Dapat dibayangkan bahwa sulit bagi
keduanya untuk menghadapi Ieyasu, apalagi men-
jelaskan pemikiran Nobuo, dan dengan lesu
mereka menunggu di bangsal pertemuan.
Tak lama kemudian Ieyasu muncul disertai
seorang pelayan. Ia mengenakan kimono tanpa
baju tempur, dan wajahnya tampak cerah.
Ia duduk di sebuah bantal dan berkata.
"Kabarnya Yang Mulia Nobuo telah berdamai
dengan Hideyoshi."
Kedua utusan membenarkannya sambil
bersujud; mengangkat kepala pun mereka tak
sanggup.
Nobuteru berkata. "Perundingan damai dengan
Yang Mulia Hideyoshi tentu mengagetkan dan
memalukan bagi marga Tokugawa, dan kami pun
memahami perasaan Yang Mulia, namun sesung-
guhnya junjungan kami telah mempertimbangkan
situasi ini dengan saksama, dan..."
"Aku mengerti," balas Ieyasu. "Tuan-Tuan tak
perlu memberi penjelasan panjang-lebar."
"Perinciannya tercantum dalam surat ini, jadi...
ehm... jika Yang Mulia berkenan..."
"Nanti saja kubaca."
"Satu-satunya hal yang mengusik junjungan
kami adalah kemungkinan bahwa Yang Mulia
merasa gusar." kata Hachicmon.
"Wah, wah, ini tak perlu dirisaukan. Sejak
pertama, peperangan ini tak ada sangkut-pautnya
dengan keinginan atau rencana-rencanaku sendiri."
"Kami paham sepenuhnya."
"Oleh karena itu, aku akan tetap mendoakan
kesejahteraan Yang Mulia Nobuo."
"Yang Mulia tentu lega mendengarnya."
"Aku telah menyuruh para pelayan menyiapkan
hidangan sederhana di ruangan lain. Kita patut
bersyukur bahwa perang ini berakhir dengan cepat.
Silakan makan siang dulu sebelum Tuan-Tuan
bertolak kembali."
Ieyasu meninggalkan mereka. Para utusan dari
Nagashima dijamu dengan makanan dan
minuman di sebuah ruangan lain, tapi mereka
makan terburu-buru dan segera berangkat.
Ketika para pengikut Ieyasu menerima kabar
mengenai pembicaraan itu, mereka marah sekali.
"Yang Mulia tentu mempunyai pertimbangan
lain. Kalau tidak, mana mungkin beliau sede-
mikian mudah menyetujui persekutuan antara
Yang Mulia Nobuo dan Hideyoshi?"
Sementara itu, Ii dan Honda menemui para
pengikut senior untuk menyampaikan pandangan
kalangan pengikut muda.
"Juru tulis!" Ieyasu memanggil.
Setelah menerima kedua utusan Nobuo di
ruang pertemuan pribadi, ia kembali ke kamarnya
dan duduk termenung selama beberapa waktu.
Kini suaranya berkumandang.
Si juru tulis membawa batu tinta dan
menunggu perintah junjungannya.
"Aku ingin mengirim surat ucapan selamat pada
Yang Mulia Nobuo dan Yang Mulia Hideyoshi."
Ketika mendiktekan surat-surat itu, Ieyasu
memalingkan wajah dan memejamkan mata.
Sambil memoles kalimat-kalimat yang akan
dicantumkan, tampaknya ia menyerap perasaan-
perasaan yang membara bagaikan besi cair dalam
dadanya.
Setelah surat-surat itu selesai, ia memerintahkan
seorang pelayan untuk memanggil Ishikawa
Kazumasa.
Si juru tulis meninggalkan kedua surat tersebut
di hadapan Ieyasu, membungkuk, lalu
mengundurkan diri dari ruangan. Setelah ia pergi,
seorang pembantu pribadi masuk dengan
membawa lilin dan menyalakan dua lentera.
Matahari telah terbenam. Ketika memandang
cahaya lentera, Ieyasu merasa hari berlalu cepat. Ia
bertanya-tanya. itukah sebabnya ia tetap merasakan
kekosongan di hatinya, meski beban kerjanya
begitu berat.
Seakan-akan dari jauh, ia mendengar bunyi
pintu geser membuka per-lahan.
Kazumasa, berpakaian sipil seperti junjungan-
nya, tampak membungkuk di ambang pintu. Di
antara para prajurit marga Tokugawa hampir tak
ada yang telah membuka baju tempurnya, namun
karena sejak pagi melihai Ieyasu berbaju biasa,
Kazumasa pun menukar baju tempur dengan
kimono.
"Ah, Kazumasa. Kau terlalu jauh di sebelah
sana. Majulah sedikit."
Orang yang sama sekali tidak berubah adalah
Ieyasu. Tapi ketika Kazumasa menghadapnya, ia
tampak seakan-akan tak berdaya.
"Kazumasa, kuminta kau bertindak sebagai
utusanku dan mengunjungi perkemahan Yang
Mulia Hideyoshi dan markas besar Yang Mulia
Nobuo di Kuwana besok pagi."
"Baik."
"Surat-surat ucapan selamat sudah disiapkan."
"Ucapan selamat atas perjanjian damai yang
mereka sepakati?"
"Benar."
"Rasanya hamba memahami pikiran tuanku.
Tuanku takkan mengungkapkan rasa tidak senang,
tapi kalau melihat kemurahan hati tuanku, Yang
Mulia Nobuo pun akan merasa malu."
"Apa maksudmu, Kazumasa? Tidak sepantasnya
aku mempermalukan Yang Mulia Nobuo,
sedangkan pernyataan untuk meneruskan perang
karena dorongan kewajiban akan berkesan janggal.
Entah perjanjian itu palsu atau bukan, aku tak
punya alasan untuk menyesalkan perdamaian.
Jelaskanlah dengan tulus, bahkan gembira, bahwa
aku berucap syukur dari lubuk hati yang paling
dalam, dan bahwa aku turut bersukacita bersama
para warga Kekaisaran."
Kazumasa termasuk orang yang dapat membaca
apa yang tersimpan dalam hati junjungannya, dan
kini Ieyasu telah memberikan perintah terperinci
mengenai tugas yang akan dijalankannya. Namun
bagi Kazumasa masih ada satu hal yang
menyakitkan, yaitu kesalahpahaman para pengikut
lain menyangkut dirinyabahwa ia dan Hideyoshi
menjalin hubungan akrab. Tahun lalu, setelah
kemenangan Hideyoshi di Yanagase, Kazumasa
ditunjuk sebagai utusan Ieyasu pada Hideyoshi.
Saat itu kegembiraan Hideyoshi meluap-luap. la
mengundang para pembesar untuk menghadiri
upacara minum teh di Benteng Osaka yang masih
dalam pembangunan.
Setelah itu, setiap kali ia berhubungan dengan
marga Tokugawa, Hideyoshi selalu menanyakan
kabar Kazumasa, dan ia pun selalu bicara
mengenai Kazumasa di hadapan pembesar-pem
besar yang mempunyai hubungan baik dengan
marga Tokugawa.
Keakraban Kazumasa dengan Yang Mulia
Hideyoshi telah terukir dalam benak para prajurit
Tokugawa. Selama menemui jalan buntu di Bukit
Komaki, dan kemudian ketika Niwa
mengupayakan penyelesaian secara damai, setiap
tindakan Kazumasa diawasi dengan cermat oleh
sekutu-sekutunya.
Seperti dapat diduga, leyasu tidak terpengaruh
sedikit pun oleh semuanya itu.
"Wah, di luar sana bising sekali, bukan?"
Suara-suara riuh terdengar dari bangsal yang
berjarak agak jauh dari tempat Ieyasu dan
Kazumasa duduk. Rupa-rupanya para pengikut
yang menentang perjanjian damai sedang
menyatakan ketidakpuasan mereka dan
memprotes pemanggilan Kazumasa ke hadapan
Ieyasu.
Ii dan Honda, yang bertindak sebagai juru
bicara, serta beberapa orang lain telah mengelilingi
Tadatsugu.
"Bukankah Tuan yang memimpin barisan
depan dan tinggal di kota benteng Kuwana?
Apakah Tuan tidak malu bahwa Tuan tidak
mengetahui pertemuan antara Yang Mulia Nobuo
dan Hideyoshi di Yadagawara? Dan bagaimana
dengan kurir Hideyoshi yang langsung datang ke
Benteng Kuwana? Bagaimana tindakan Tuan
setelah datang ke sini karena mendengar kabar
mengenai perjanjian damai yang tidak sah itu?"
Mereka terus menanyai Tadatsugu dengan
keras. Masalahnya, kemungkinan kecil Hideyoshi
membuat rencana yang akan bocor sebelum
waktunya. Bagi Tadatsugu, itu saja sudah cukup
sebagai pembenaran. Namun menghadapi protes
yang menggebu-gebu, ia pasrah menerima ke-
marahan dan caci maki mereka, dan meminta
maaf dengan kesabaran yang pantas bagi seorang
jendral tua.
Tapi sesungguhnya Ii maupun Honda tidak
bermaksud menggugat orang tua itu. Keduanya
hanya ingin menyampaikan pandangan mereka
pada junjungan mereka. dan menolak perjanjian
damai itu. Mereka juga hendak memberi tahu
seluruh dunia bahwa marga Tokugawa tidak
terlibat dalam pembicaraan damai dengan Nobuo.
"Bersediakah Tuan menjadi perantara bagi
kami? Tuan merupakan sesepuh yang disegani."
"Tidak, itu merupakan pelanggaran serius
terhadap tata krama." jawab Tadatsugu.
Namun Honda berkeras. "Orang-orang ini
belum membuka baju tempur dan siap menuju
medan laga. Tata krama biasa tidak berlaku dalam
keadaan seperti ini."
"Waktunya mendesak," ujar Ii. "Kami dihantui
ketakutan kalau-kalau terjadi sesuatu sebelum
beliau berbicara dengan kami. Jika Tuan tidak
bersedia bertindak sebagai perantara, apa boleh
buat. Kami terpaksa mengajukan permohonan
melalui para pembantu pribadi Yang Mulia agar
dapat menemui beliau."
"Jangan. Yang Mulia sedang mengadakan
pembicaraan dengan Tuan Kazumasa. Tak ada
yang boleh mengganggu beliau."
"Apa? Dengan Kazumasa?"
Ketika mendengar bahwa Kazumasa melakukan
pembicaraan empat mata dengan Ieyasu pada
waktu seperti ini, mereka semakin was-was dan
gelisah. Sejak awal operasi militer di Bukit
Komaki, mereka telah memandang Kazumasa
sebagai orang yang patut diwaspadai. Dan ketika
Niwa memprakarsai perdamaian, Kazumasa pun
yang terlibat dalam perundingan. Mereka
menduga perkembangan terakhir pun ikut
didalangi Kazumasa.
Kecurigaan mereka akhirnya tak dapat
dipendam lebih lama, dan meledak dalam suasana
hiruk-pikuk yang juga terdengar oleh Ieyasu. Tak
lama kemudian seorang pelayan menyusuri selasar
dan menghampiri mereka.
"Tuan-tuan diminta menghadap!" pelayan itu
mengumumkan.
Para pengikut tampak terkejut, dan dengan
bingung mereka saling pandang. Tapi ekspresi
pada wajah Honda dan Ii yang keras kepala
menunjukkan bahwa justru itulah yang mereka
harapkan. Sambil mendesak Sakai Tadatsugu dan
yang lain, mereka menuju ruang penemuan
pribadi.
Dalam sekejap ruangan itu telah penuh sesak
dengan samurai-samurai berbaju tempur lengkap.
Perhatian semua orang terfokus pada Ieyasu.
Kazumasa duduk di sampingnya. Kemudian Sakai
Tadatsugu, dengan tulang punggung marga
Tokugawa di belakangnya.
Ieyasu mulai angkat bicara, tapi mendadak ia
berpaling ke arah kursi-kursi yang paling rendah
dan berkata. "Orang-orang di kursi yang paling
rendah duduk terlalu jauh. Aku tak bisa bicara
keras-keras, jadi majulah sedikit."
Semuanya semakin berdesak-desakan
mengelilingi Ieyasu ketika ia mulai bicara.
"Kemarin Yang Mulia Nobuo berdamai dengan
Hideyoshi. Sebenarnya aku bermaksud
mengeluarkan pemberitahuan resmi kepada
seluruh marga besok pagi, tapi rupanya kalian
sudah mendengar beritanya dan dihantui rasa
waswas. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud
menutup-nutupi masalah ini."
Semua pengikutnya menundukkan kepala.
"Akulah yang bersalah karena menyiagakan
pasukan sehubungan dengan permohonan
bantuan Yang Mulia Nobuo. Akulah yang
bertanggung jawab atas kematian begitu banyak
pengikut setia dalam pertempuran-pertempuran di
Bukit Komaki dan Nagakute. Dan tindakan Yang
Mulia Nobuo pun, yang diam-diam bekerja sama
dengan Hideyoshi sehingga kemarahan dan
pengorbanan kalian menjadi tak berarti, bukan
kesalahan beliau. Akulah yang lalai dan kurang
bijaksana. Kalian semua telah memperlihatkan ke-
tulusan kalian, dan sebagai junjungan kalian, aku
tak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk
menebus kesalahanku. Maafkan aku."
Semuanya menunduk. Tak seorang pun
menatap wajah Ieyasu, dan isak tangis pun
memenuhi ruangan.
"Tak ada yang dapat kita lakukan, jadi terimalah
cobaan ini dengan lapang dada. Tabahkan hati
kalian dan tunggu kesempatan lain."
Setelah duduk, baik Honda maupun Ii tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Kedua orang itu
malah mengeluarkan saputangan, dan sambil
menoleh, mengusap air mata mereka.
"Ini merupakan berkah bagi kita. Perang telah
usai, dan besok aku akan kembali ke Okazaki.
Kalian pun akan pulang untuk menemui anak-istri
masing-masing." ujar Ieyasu sambil membuang
ingus.
Keesokan harinya, hari ketiga belas bulan itu,
Ieyasu beserta bagian terbesar pasukan Tokugawa
meninggalkan Benteng Kiyosu dan kembali ke
Okazaki di Mikawa. Pada pagi hari yang sama,
Ishikawa Kazumasa pergi ke Kuwana bersama
Sakai Tadatsugu. Setelah mengunjungi Nobuo, ia
melanjutkan perjalanan untuk menemui
Hideyoshi di Nawabu. Ia menyampaikan salam
dari Ieyasu, lalu menyerahkan surat ucapan
selamat dan segera pulang lagi. Sesudah Kazumasa
pergi, Hideyoshi menatap orang-orang di
sekelilingnya.
"Lihat itu," ia berkata. "Itulah Ieyasu. Tak ada
orang yang sanggup menelan pit pahit ini seakan-
akan hanya minum teh panas."
Sebagai orang yang telah memaksa Ieyasu
menenggak besi cair. Hideyoshi dapat menghayati
perasaan musuhnya itu. Sambil menempatkan diri
pada posisi Ieyasu, ia bertanya-tanya, apakah ia
sendiri sanggup bereaksi dengan cara yang sama.
Ketika hari demi hari berlalu, satu orang yang
merasa cukup puas dengan dirinya adalah Nobuo.
Setelah pertemuan di Yadagawara, ia sepenuhnya
menjadi boneka Hideyoshi. Situasi apa pun yang
dihadapinya, ia selalu bertanya pada diri sendiri,
"Bagaimana pendapat Hideyoshi mengenai ini?"
Sama seperti ketika dengan Ieyasu sebelumnya,
ia kini terus dihantui kecemasan mengenai
tanggapan Hideyoshi terhadap setiap tindakannya.
Karena itu, ia merasa perlu memenuhi syarat-
syarat yang diajukan Hideyoshi dalam perjanjian
damai dengan setepat-tepatnya. Sebagian wilayah-
nya, para sandera, dan perjanjian tertulis telah ia
serahkan tanpa kecuali.
Hideyoshi mulai mengendurkan tekanan. Meski
demikian, karena berpendapat bahwa pasukannya
perlu tinggal di Nawabu, ia mengirim kurir kepada
orang-orang yang ditugaskan di Osaka dan bersiap-
siap melewatkan musim dingin di medan perang.
Tak perlu disebutkan bahwa sejak semula
Ieyasu-lah sumber kecemasan Hideyoshi, bukan
Nobuo, Karena urusan dengan Ieyasu belum
selesai, Hideyoshi tak dapat berkata bahwa situasi
telah berhasil ia kuasai. Saat itu tujuannya baru
tercapai setengahnya. Suatu hari Hideyoshi
berkunjung ke Benteng Kuwana, dan setelah
membicarakan berbagai topik dengan Nobuo, ia
bertanya, "Bagaimana keadaan tuanku belakangan
ini?"
"Aku sehat walafiat! Dan ini tentu karena tak
ada yang membebani pikiranku. Aku telah pulih
dari kelelahan di medan perang, dan tak ada yang
kucemaskan."
Nobuo tertawa cerah dan riang, dan Hideyoshi
mengangguk beberapa kali, seakan-akan sedang
memangku anak kecil.
~Ya, ya Aku bisa membayangkan bahwa perang
yang sia-sia ini telah melelahkan tuanku. Namun
sesungguhnya masih ada beberapa persoalan yang
belum tuntas."
"Apa maksudmu, Hideyoshi?"
"Jika Yang Mulia Ieyasu dibiarkan seperti
sekarang, kelak beliau akan menimbulkan
kesulitan bagi tuanku."
"Begitukah? Tapi dia telah mengirim
pengikutnya untuk menyampaikan ucapan
selamat."
"Sudah tentu beliau tak ingin menentang
kehendak tuanku."
"Tentu saja."
"Jadi, tuanku perlu mengambil langkah
pertama. Dalam hati, Yang Mulia Tokugawa ingin
berdamai dengan hamba, namun sekiranya beliau
mengalah begitu saja, beliau akan kehilangan
muka. Dan karena tak ada alasan untuk
menentang hamba, beliau tentu dilanda
kebingungan. Alangkah baiknya kalau tuanku
membantu beliau."
Di antara putra keluarga terpandang, tak sedikit
yang sangat egois, mungkin karena beranggapan
bahwa semua orang di sekeliling mereka hidup
semata-mata untuk melayani mereka. Tak pemah
terlintas dalam benak mereka untuk membantu
orang lain. Tapi setelah diajak bicara oleh
Hideyoshi, Nobuo pun sanggup memahami bahwa
ada sesuatu yang lebih besar daripada
kepentingannya sendiri.
Jadi, beberapa hari kemudian, ia mengusulkan
agar ia sendiri yang bertindak sebagai penengah
antara Hideyoshi dan Ieyasu. Sesungguhnya ia
memang wajib menjalankan tugas tersebut, namun
sebelum disinggung oleh Hideyoshi, hal itu tak
pernah terpikir olehnya.

"Jika beliau menerima persyaratan-persyaratan


yang kita ajukan, kita akan memaafkan
perbuatannya untuk menghormati peran tuanku
dalam perundingan ini."
Hideyoshi mengambil sikap sebagai pemenang,
tapi ingin agar syarat-syarat perdamaian
disampaikan melalui mulut Nobuo. Persyaratan
tersebut adalah sebagai berikut:
Putra Ieyasu, Ogimaru, akan diangkat anak oleh
Hideyoshi, dan putra Kazumasa, Katsuchiyo, serta
putra Honda, Senchiyo, harus diserahkan sebagai
sandera.
Selain menghancurkan kubu-kubu pertahanan,
pembagian wilayah yang sebelumnya telah
disetujui oleh Nobuo, serta konfirmasi status quo
oleh pihak Tokugawa, Hideyoshi tidak
menginginkan perubahan lebih lanjut.
"Sesungguhnya masih ada perasaan gusar
terhadap Yang Mulia Ieyasu dalam hatiku, tapi aku
dapat memendam perasaan itu demi menjaga
kehormatan. Dan karena tuanku telah
memutuskan untuk menjalankan tugas ini, rasanya
kurang baik kalau ditunda terlalu lama. Mengapa
tuanku tidak segera mengirim kurir ke Okazaki?"
Ditegur seperti itu, Nobuo langsung mengirim
dua pengikut seniornya sebagai utusan ke Okazaki.
Persyaratan yang diajukan Hideyoshi tak dapat
disebut keras, tapi ketika Ieyasu mendengarnya, ia
jadi mengelus dada.
Meskipun dikatakan bahwa Ogimaru akan
diangkat anak, sesungguhnya ia tak lebih dari
sandera biasa. Dan mengirim putra dua pengikut
senior ke Osaka jelas-jelas merupakan syarat yang
hanya dikenakan kepada pihak yang kalah.
Namun, walaupun para pengikutnya marah sekali.
Ieyasu bersikap tenang agar Okazaki pun tetap
tenang.
"Aku menerima persyaratan ini, dan aku
berharap Tuan-Tuan dapat menangani pelak-
sanaan selanjutnya," ia berkata pada kedua utusan
Hideyoshi.
Mereka mondar-mandir, berulang kali.
Kemudian, pada hari kedua puluh satu Bulan
Kesebelas, Tomita Tomonobu dan Tsuda
Nobukatsu datang ke Okazaki untuk
menandatangani perjanjian damai.
Pada hari kedua belas Bulan Kedua Belas, putra
Ieyasu dikirim ke Osaka. Ia disertai oleh putra
Kazumasa dan putra Honda. Para prajurit yang
menyaksikan keberangkatan para sandera berdiri
di sepanjang jalan dan mencucurkan air mata.
Dengan demikian, berakhirlah aksi mereka di
Bukit Komakisebuah aksi yang sempat
mengguncang seluruh negeri.
Nobuo datang ke Okazaki pada hari keempat
belas, menjelang akhir tahun, dan tinggal sampai
hari kedua puluh lima. Tak sepatah pun kata
bernada tak menyenangkan keluar dari mulut
Ieyasu. Selama sepuluh hari ia menjamu laki-laki
lugu yang masa depannya telah jelas itu, lalu
mengirimnya pulang lagi.
Tahun Kesebelas Tensho pun berakhir,
meninggalkan berbagai macam kesan dalam hati
orang-orang. Salah satu hal yang paling terasa
adalah kepastian bahwa dunia telah berubah. Baru
setengah tahun berlalu sejak Nobunaga wafat di
Tahun Kesepuluh Tensho, dan semua orang
dikejutkan oleh perubahan menyeluruh yang
datang begitu cepat.
Kedudukan, popularitas, serta misi yang semula
menjadi milik Nobunaga dengan cepat beralih
pada Hideyoshi. Kebebasan yang dibawa Hideyoshi
memang sesuai dengan perkembangan zaman, dan
ikut mendorong revolusi-revolusi kecil dan
kemajuan dalam masyarakat serta pemerintahan.
Ketika mengamati perkembangan zaman, Ieyasu
terpaksa mengakui kebodohannya karena telah
melawan arus. Dari semua orang yang menentang
laju perubahan, tak seorang pun berhasil selamat,
dan Ieyasu pun mengetahui hal itu. Pemikirannya
didasarkan atas kesadaran bahwa manusia tak
lebih dari setitik debu dalam perjalanan waktu,
dan bahwa menentang orang yang sedang di atas
angin merupakan tindakan sia-sia. Karena itu, ia
sepenuhnya tunduk pada Hideyoshi.
Tapi bagaimanapun orang yang menyambut
Tahun Baru di puncak kemakmuran adalah
Hideyoshi. Ia kini berusia empat puluh sembilan
tahun. Dalam usia kelima puluh, satu tahun lag, ia
akan menikmati masa keemasannya sebagai laki-
laki.
Jumlah tamu Tahun Baru berlipat ganda
dibandingkan tahun lalu, dan dengan mengenakan
pakaian kebesaran, mereka memenuhi Benteng
Osaka. Melihat mereka, orang mendapat kesan
bahwa musim semi sudah dekat.
Ieyasu tentu saja tidak muncul, dan segelintir
pembesar provinsi yang berpihak padanya
mengikuti contohnya. Disamping itu, sekarang
pun masih ada kalangan tertentu yang menentang
Hideyoshi dan diam-diam melakukan persiapan
militer serta mengumpulkan laporan-laporan
rahasia. Orang-orang itu pun enggan mengikat
kuda mereka di gerbang Benteng Osaka.
Hideyoshi memperhatikan semuanya itu ketika
ia menyambut tamu demi tamu.
Memasuki Bulan Kedua, Nobuo berkunjung
dari Ise. Andai kata ia datang pada Tahun Baru
seperti para pembesar provinsi yang lain, kesannya
ia mendatangi Hideyoshi untuk menyampaikan
ucapan selamat Tahun Baru, dan itu dianggap
merendahkan martabatnya.
Tak ada yang lebih mudah daripada
memuaskan kesombongan Nobuo. Dengan sikap
hormat seperti yang ditunjukkannya ketika
berlutut di hadapan Nobuo di Yadagawara,
Hideyoshi memperlihatkan ketulusan sewaktu
menyambut tamunya. Ucapan Hideyoshi di
Yadagawara iernyata tidak bohong, pikir Nobuo.
Ketika timbul desas-desus mengenai Ieyasu, Nobuo
segera mencela watak penuh perhitungan yang
dimiliki orang itu, karena menyangka bahwa
dengan cara demikian ia dapat menyenangkan hati
Hideyoshi. Tapi Hideyoshi hanya mengangguk
sambil membisu.
Pada hari kedua Bulan Ketiga, Nobuo kembali
ke Ise dalam keadaan gembira. Selama
kunjungannya di Osaka, ia diberitahu bahwa
berkat jasa baik Hideyoshi, ia dianugerahi gelar
istana. Nobuo tinggal di Kyoto selama lima hari
dan menerima ucapan selamat dari banyak tamu.
Baginya matahari seakan-akan tak mungkin terbit
kalau bukan karena Hideyoshi.
Perjalanan para pembesar provinsi dari dan ke
Osaka selama Tahun Baru dilaporkan secara
terperinci ke Hamamatsu. Namun Ieyasu tak dapat
berbuat apa-apa selain berdiri di tepi dan
mengamati cara Hideyoshi menenteramkan
Nobuo.
Penutup

ANTARA musim semi dan musim gugur tahun


itu, Hideyoshi mengirim armada kapal perang ke
Selatan dan pasukan berkuda ke Utara, dalam
rangka menundukkan seluruh negeri. Ia kembali
ke Benteng Osaka di Bulan Kesembilan, dan mulai
menangani urusan pemerintahan yang me-
nyangkut masalah dalam maupun luar negeri.
Sesekali ia menoleh ke belakang dan
mengenang gunung-gunung yang didakinya untuk
mencapai kedudukannya sekarang, dan di saat-saat
seperti itu, mau tak mau ia mengucapkan selamat
pada dirinya sendiri. Tahun depan ia akan berusia
lima puluh tahun, saat seseorang merenungi
kehidupan yang telah dijalaninya dan dipaksa
memikirkan langkah berikut,
Kemudian, karena ia pun manusia dan bahkan
lebih dipengaruhi bawa nafsu dibandingkan orang
kebanyakan, tidaklah mengherankan bahwa pada
malam hari ia kerap mengingat-ingat dorongan-
dorongan yang menguasai hidupnya sejak dulu
sampai sekarang, dan bertanya-tanya ke mana ia
akan dibawa di masa mendatang.
Inilah musim gugur dalam hidupku. Tak
banyak waktu tersisa setelah usia keempat puluh
sembilan.
Ketika membandingkan perjalanan hidupnya
dengan sebuah pendakian gunung, ia merasa
seakan-akan memandang bukit-bukit di bawah
setelah hampir mencapai puncak.
Puncak gunung dianggap sebagai tujuan akhir
sebuah pendakian. Tapi tujuan sesungguhnya,
yaitu memperoleh kenikmatan hidup, tidak
ditemui di puncak, melainkan dalam kesulitan-
kesulitan yang menghadang di perjalanan.
Perjalanan itu ditandai oleh lembah, tebing,
sungai, jurang, serta tanah longsor, dan pada
waktu menyusuri jalan setapak, sang pendaki
mungkin merasa ia tak dapat maju lebih jauh, atau
bahkan kematian lebih baik daripada meneruskan
perjalanan. Tapi kemudian ia bangkit dan kembali
berjuang melawan kesulitan-kesulitan yang
menghadang, dan ketika akhirnya ia dapat
menoleh dan mengamati rintangan yang berhasil
diatasinya, ia pun menyadari bahwa ia telah
merasakan kenikmatan hidup yang sesungguhnya.
Betapa membosankan hidup bebas dari
kebimbangan atau perjuangan yang melelahkan!
Betapa cepatnya orang akan bosan menempuh
perjalanan di tempat datar. Pada akhirnya, hidup
manusia merupakan rangkaian penderitaan dan
perjuangan, dan kenikmatan hidup tidak terletak
dalam masa-masa jeda yang singkat. Hideyoshi,
yang lahir dalam kesengsaraan, tumbuh dewasa
sambil bermain di tengah-tengahnya.
Pada Bulan Kesepuluh tahun Tensho Keempat
Belas, Hideyoshi dan Ieyasu bertemu di Benteng
Osaka untuk perundingan damai yang bersejarah.
Tak terkalahkan di medan perang, Ieyasu
menyerahkan kemenangan politik kepada
Hideyoshi. Dua tahun sebelumnya, Ieyasu
mengirim putranya sebagai sandera ke Benteng
Osaka, dan kini ia mengambil saudara perempuan
Hideyoshi sebagai istri. Ieyasu yang penyabar akan
menunggu kesempatan lain. Barangkali sang
burung masih akan berkicau untuknya.
Setelah jamuan makan megah untuk merayakan
perdamaian dengan saingan terkuatnya, Hideyoshi
kembali ke benteng dalam, tempat ia dan para
pengikut kepercayaannya menyambut kemenangan
dengan bercawan-cawan sake. Beberapa jam
kemudian, Hideyoshi bangkit sambil terhuyung-
huyung, dan mengucapkan selamat malam kepada
para tamunya. Perlahan-lahan ia menyusuri selasar,
seorang laki-laki pendek berwajah monyet.
dikelilingi dayang-dayang, hampir tersembunyi di
balik kimono sutra ber-warna cerah dan berlapis-
lapis. Suara tawa perempuan terdengar di
sepanjang selasar ketika sosok penguasa tertinggi di
jepang itu diantar ke tempat tidurnya.
Dalam tahun-tahun yang masih tersisa baginya,
Hideyoshi mengukuhkan kedudukannya sebagai
pemimpin seluruh negeri, mematahkan kekuasaan
marga-marga samurai untuk selama-lamanya. Minatnya
terhadap seni menciptakan kemewahan dan keindahan
yang sampai sekarang masih dikenang sebagai zaman
kebangkitan Jepang. Gelar demi gelar dianugerahkan
oleh sang Tenno: Kampaku, Taiko. Tetapi cita-cita
Hideyoshi tidak berhenti di batas air, ambisinya
menjangkau lebih jauh, ke negeri yang diimpi-
impikannya semasa kanak-kanaknegeri para kaisar
Ming. Namun di sana pasukan sang Taiko gagal
berjaya. Orang yang tak pernah ragu bahwa ia sanggup
membalik setiap kesulitan menjadi keuntungan baginya,
bahwa ia sanggup membujuk setiap musuh untuk
menjadi sahabat, bahwa ia sanggup membujuk burung
yang membisu agar menyanyikan lagu yang dipilihnya
akhirnya terpaksa tunduk pada kekuatan yang lebih
besar, dan kepada orang yang bahkan lebih sabar.
Namun ia meninggalkan warisan yang sampai sekarang
tetap dikenang sebagai Zaman Keemasan.

TAMAT
Eiji Yoshikawa lahir pada tahun 1892 di Kanagawa,
Jepang. Keadaan keluarga membuat ia terpaksa keluar
dari sekolah dan mencari pekerjaan pada usia sebelas
tahun. Masa remajanya dihabiskan dengan bekerja
serabutan, dan waktu-waktu luangnya yang sedikit itu ia
habiskan dengan membaca dan mencoba menulis haiku
serta cerita. Pada tahun 1910 ia pergi ke Tokyo, berniat
bekerja sambil sekolah. Setelah menjadi juara pertama
dalam sebuah lomba mengarang, dan pergaulannya
yang semakin luas dalam dunia sastra membuat ia se-
makin banyak mendapat perhatian. Pada tahun 1922 ia
menjadi staf di sebuah surat kabar Tokyo. Di sana
sebuah novelnya dijadikan cerita bersambung. Pada
tahun 1923, setelah peristiwa Gempa Bumi Besar, ia
memutuskan menjadi pengarang profesional. Pada
dekade-dekade selanjutnya, sejumlah penerbit besar
lambat laun menetapkan Yoshikawa sebagai novelis
sejarah terkemuka di Jepang melalui karya-karyanya
antara lain Shinnin (1934). Miyamoto Musashi (1935;
diterjemahkan dengan judul Musashi, 1981), Shinsho
taikoki (1937; diterjemahkan sebagai Taiko, 1992), dan
Shin Heike nomogatari (1950; diterjemahkan sebagai The
Heike Story, 1956). Pada tahun 1960 Yoshikawa
mendapatkan Tanda Jasa Kebudayaan yang bergengsi,
disusul oleh Mainichi Art Award pada tahun 1962.
Eiji Yoshikawa meninggal karena kanker pada tahun
1962.

Anda mungkin juga menyukai