Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

PTERIGIUM STADIUM II + DRY EYES

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 51 tahun
Agama : Islam
Suku/bangsa : Papua/Indonesia
Pekerjaan : IRT
Alamat : Manokwari
Tanggal Pemeriksaan : 17/11/2011
Rumah sakit : Poliklinik Mata RSWS

ANAMNESIS

KU : Rasa mengganjal pada kedua mata

AT :

Dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Air mata berlebihan (+) pada kedua mata dirasakan
bersamaan dengan keluhan utama. Nyeri (+), Kotoran mata berlebihan (-), mata seperti berpasir
(+), mata merah (-), Silau (-),gatal (-), osi merasa penglihatan kabur terutama pada malam hari.

OSI merasa penglihatan kabur terutama pada malam hari.

Riwayat mata sering merah (+)

Riwayat berobat sebelumnya (+) dengan keluhan yang sama dan diberikan obat tetes mata.

Riwayat trauma (-)

Riwayat Hipertensi dan DM disangkal

1
PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

- Inspeksi

OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Normal Normal
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (+) Lakrimasi (+)
Konjungtiva Hiperemis (-), tampak Hiperemis (-), tampak
selaput berbentuk segitiga selaput berbentuk segitiga
dari nasal dan apex dari nasal dan apex
melewati limbus dan belum melewati limbus dan belum
mencapai pupil mencapai pupil
Bola Mata Normal Normal
Mekanisme Muskular Ke segala arah Ke segala arah
- ODS
- OD
- OS
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Normal Normal
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral Bulat, Sentral
Lensa Jernih Jernih

Gambar 1. Mata pasien

Gambar 2. Mata pasien


Gambar 3. Mata pasien

- Palpasi

OD OS
Tensi Okuler Tn Tn
2
Nyeri Tekan (-) (-)
Massa Tumor (-) (-)
Glandula PreAurikuler Tidak Ada Pembesaran Tidak Ada Pembesaran

- Tonometri
o Tidak dilakukan pemeriksaan

- Visus
VOD : 6/6
VOS : 6/6

- Campus visual
o Tidak dilakukan pemeriksaan

- Color sense
o Tidak dilakukan pemeriksaan

- Light sense
o Tidak dilakukan pemeriksaan

- Penyinaran oblik

OD OS
Konjungtiva Hiperemis (-), tampak Hiperemis (-), tampak
selaput berbentuk segitiga selaput berbentuk segitiga
dari nasal dan apex dari nasal dan apex
melewati limbus dan belum melewati limbus dan belum
mencapai pupil mencapai pupil
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Normal Normal
Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, Kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Jernih Jernih

- Diafanoskopi
o Tidak dilakukan pemeriksaan

- Oftalmoskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan

3
- Slit lamp
o SLOD : konjungtiva hiperemis (-),tampak selaput berbentuk segitiga dari nasal
dan apex melewati limbus dan belum mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan
normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih.
o SLOS : konjungtiva hiperemis (-),tampak selaput berbentuk segitiga dari nasal
dan apex melewati limbus dan belum mencapai pupil kornea jernih, BMD kesan
normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih.

- Laboratorium
o Tidak dilakukan pemeriksaan

RESUME

Seorang Perempuan berumur 51 tahun berobat ke Poliklinik Mata Rumah Sakit Wahidin
Sudirohusodo Makassar dengan keluhan utama rasa mengganjal pada kedua mata. Dirasakan
sejak 1 tahun yang lalu. Air mata berlebihan (+) pada kedua mata dirasakan bersamaan dengan
keluhan utama. Nyeri (+), Kotoran mata berlebihan (-), mata seperti berpasir (+), mata merah (-),
Silau (-),gatal (-), osi merasa penglihatan kabur terutama pada malam hari. OSI merasa
penglihatan kabur terutama pada malam hari. Riwayat mata sering merah (+). Riwayat berobat
sebelumnya (+) dengan keluhan yang sama dan diberikan obat tetes mata. Riwayat trauma (-)
Riwayat Hipertensi dan DM disangkal

Pada pemeriksaan oftalmologi didapati inspeksi pada OD tampak selaput berbentuk


segitiga dari nasal dan apex melewati limbus dan belum mencapai pupil, lakrimasi (+). Pada OS
tampak selaput berbentuk segitiga dari nasal dan apex melewati limbus dan belum mencapai
pupil, lakrimasi (+). Pada pemeriksaan refraksi didapatkan VOD : 6/6 dan VOS: 6/6. Pada
palpasi tidak ditemukan kelainan. Penyinaran oblik pada OD didapatkan hiperemis (-), tampak
selaput berbentuk segitiga dari nasal dan apex melewati limbus dan belum mencapai pupil,
kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+) dan lensa
jernih. Penyinaran oblik pada OS didapatkan hiperemis (-), tampak selaput berbentuk segitiga
dari nasal dan apex melewati limbus dan belum mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan
normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+) dan lensa jernih. Pada pemeriksaan slit
lamp OD didapatkan hiperemis (-), tampak selaput berbentuk segitiga dari nasal dan apex

4
melewati limbus dan belum mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte
(+), pupil bulat, sentral, RC (+) dan lensa jernih. Pada pemeriksaan slit lamp OS didapatkan
hiperemis (-), tampak selaput berbentuk segitiga dari nasal dan apex melewati limbus dan belum
mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC
(+) dan lensa jernih.

DIAGNOSIS
o ODS Pterigium Stadium II + Dry Eyes

TERAPI

- Cendo Lyters ED 6 dd gtt 1 ODS

- C.Berry tab. 1x1

ANJURAN

Eksisi Pterigium + Graft

DISKUSI

Dari hasil pemeriksaan pada pasien ini, ditemukan keluhan utama rasa mengganjal pada
keuda mata. Dialami sejak 1 tahun yang lalu. Disertai air mata berlebihan pada kedua mata.,

Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan VOD : 6/6 VOS: 6/6. Penyinaran oblik pada
OD didapatkan hiperemis (-), tampak selaput berbentuk segitiga dari nasal dan apex melewati
limbus dan belum mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+),
pupil bulat, sentral, RC (+) dan lensa jernih. Penyinaran oblik pada OS didapatkan hiperemis (-),

5
tampak selaput berbentuk segitiga dari nasal dan apex melewati limbus dan belum mencapai
pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+) dan
lensa jernih.Pada pemeriksaan Slit Lamp, SLOD : selaput berbentuk segitiga di nasal dengan
apeks melewati limbus dan belum mencapai pupil. Kornea jernih, BMD normal, iris coklat,
kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih. SLOS : selaput berbentuk segitiga di nasal
dengan apeks melewati limbus dan belum mencapai pupil. Kornea jernih, BMD normal, iris
coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih. Berdasarkan hasil anamnesis dan
hasil pemeriksaan oftalmologi dapat disimpulkan bahwa pasien menderita ODS Pterigium
Stadium II dan Dry Eye.

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif


dan invasive, berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di
kornea. Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya
akan berkembang dan semakin membesar ke daerah kornea. Pterigium umumnya asimptomatis
atau akan memberikan keluhan berupa mata berair dan tampak merah serta mungkin
menimbulkan astigmat akibat adanya perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme
penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran dari pada meridian horizontal pada kornea.

Berdasarkan stadiumnya, pterygium dibagi menjadi 4, yaitu :

Stadium I : belum mencapai limbus


Stadium II : sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil
Stadium III : sudah menutupi pupil
Stadium IV : sudah melewati pupil

Sinar ultraviolet terutama sinar UVB beserta polutannya merupakan pencetus terjadinya
inflamasi kronik sebagai penyebab pertumbuhan jaringan pterigium, selain itu kekeringan okular
dan polusi lingkungan dapat berperan serta dalam progresivitas pterigium dan rekurensinya

Lesi biasanya terdapat di sisi nasal konjungtiva bulbi. Bisa dijumpai di sisi nasal dan
temporal pada satu mata (Pterigium dupleks)atau pada kedua mata (Pterigium bilateral)

Gejala subyektif : Rasa perih, terganjal, sensasi benda asing, silau, berair, gangguan visus,
masalah kosmetik.

6
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika
pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang
melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 dan 2 yang
telah mengalami gangguan penglihatan. Lindungi mata dengan pterigium dari sinar matahari,
debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Prognosis visual dan kosmetik dari eksisi
pterigium adalah baik

Pada pasien ini diberikan air mata buatan, pemakaian air mata artificial ini diperlukan
untuk membasahi permukaan ocular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air mata.

PTERIGIUM

I. DEFENISI
Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terdapat pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.
Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna
merah. Pterigium sering mengenai kedua mata. Menurut Hamurwono pterygium merupakan
Konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga
7
yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea . Pterygium berasal dari
bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap.1

II. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36 derajat.
Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah
elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini.2

Pterigium relatif jarang di Eropa. Kebanyakan pasien berasal dari daerah dengan garis
lintang 30-35 dari kedua sisi equator. Distribusi geografis ini mengindikasikan bahwa sinar
UV merupakan faktor risiko yang penting. Pterigium dilaporkan bisa terjadi pada golongan
laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita. Jarang sekali orang menderita
pterigium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai
prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi.2

III. ANATOMI DAN FISIOLOGI

8
Gambar 1. Anatomi Mata
Struktur dan fungsi mata sangat rumit dan mengagumkan. Secara konstan mata
menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada objek yang dekat
dan jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang dengan segera dihantarkan ke
otak.3

Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari
luar ke dalam, lapisan-lapisan tersebut adalah : 2,4

1. Sklera/kornea
2. Koroid/badan siliar/iris,
3. Retina
4. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat disebelah luar,
sclera yang membentuk bagian putih.
5. Di anterior (kearah depan), lapisan luar terdiri atas kornea transparan tempat lewatnya
berkas-berkas cahaya ke anterior mata.
6. Lapisan tengah dibawah sclera adalah koroid yang sangat berpigmen dan
mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk member makan retina.
7. Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah retina, yang terdiri atas lapisan yang
sangat berpigmen disebelah luar dan sebuah lapisan saraf di dalam.

9
8. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut, fotoreseptor yang mengubah energy
cahaya menjadi impuls syaraf.

Struktur mata manusia berfungsi utama mengfokuskan cahaya ke retina. Semua


komponen-komponen yang dilewati cahaya sebelum sampai ke retina mayoritas berwarna
gelap untuk meminimalisir pembentukan cahaya yang akan difokuskan ke retina, cahaya ini
akan menyebabkan perubahan kimiawi pada sel fotosensitif di retina. Hal ini akan
merangsang impuls-impuls saraf ini dan menjalarkannya ke otak.2

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris ). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva palpebralis
melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan
inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior(pada forniks superior dan inferior) dan
membugkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.2

Konjungtiva palpebralis mendapat suplai darah dari arteri palpebra sedangkan


konjungtiva bulbaris mendapat suplai darah dari arteri siliaris anterior cabang dari arteri
oftalmikus. Persarafan sensorik di control oleh lakrimal, supraorbita, infraorbiatal cabang
dari nervus trigeminus cabang oftalmikus. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum
orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola
mata bergerak dan memperbesar konjungtiva sekretorik (duktus-duktus kelenjar lakrimal
bermuara ke forniks temporal superior). Konjungtiva bulbaris melekat longgar dengan
capsula tenon dan sclera dibawahnya kecuali limbus.2

Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding dengan
kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea disisipkan ke sclera di limbus, lekuk melingkar pada
persambungan ini disebut sulkus skleralis. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54
mm ditengah, sekitar 0,65 mm ditepi, dan diameternya sekitar11,5 mm dari anterior dan
posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda : lapisan epitel (yang bersambung
dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan bowman, stroma, membrane descement
dan lapisan endotel. Sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus,
10
humor aquos, dan air mata. Kornea superficial juga mendapat oksigen sebagian besar dari
atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapatkan dari percabangan pertama n. trigeminus
(oftalmika).2

Gambar 2.
Anatomi Konjungtiva Palpebra

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian


belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva
mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi
bola mata terutama kornea. 5

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

1.
Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari
tarsus.
2.
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.

11
3.
Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi.Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan sangat
longgar dengan jaringan di bawahnya, sehingga bola mata mudah bergerak. 5
Diduga pelbagai faktor risiko menyebabkan terjadinya degenerasi elastotis jaringan
kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan hasil dari
kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik
untuk kondisi ini. 5

Seringkali tidak ada gejala spesifik yang dirasakan oleh mereka dengan pterygium,
apalagi pada tahap-tahap awal. Jika puncak (apex) sudah memasuki area pupil, maka bisa
mengganggu penglihatan, di sini gejala baru pada umumnya dirasakan karena adanya
halangan pada aksis visual. 6

Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding dengan
kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea disisipkan ke sclera di limbus, lekuk melingkar pada
persambungan ini disebut sulkus skleralis. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54
mm ditengah, sekitar 0,65 mm ditepi, dan diameternya sekitar11,5 mm dari anterior dan
posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda : lapisan epitel (yang bersambung
dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan bowman, stroma, membrane descement
dan lapisan endotel. Sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus,
humor aquos, dan air mata. Kornea superficial juga mendapat oksigen sebagian besar dari
atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapatkan dari percabangan pertama n. trigeminus
(oftalmika).2

12
Gambar. Lapisan kornea

Kornea merupakan jaringan avskuler, bersifat transparan, berukuran 11 12 mm


horizontal dan 10 11 mm vertical, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan
kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25% dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri
mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem optic. Dalam
nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang
berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari
sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitass ujung
ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva.

Pada beberapa kasus, gaya tekan terhadap kornea dapat menyebabkan astigmatisme
kornea yang parah. Pterygium yang tumbuh secara pasti semakin ke dalam yang juga
menyebabkan perlukaan pada jaringan konjungtiva dapat mengganggu gerakan bola mata
secara bertahap; pasien akan mengalami pandangan berganda pada abduksi (saat meman-
dang menjauhi aksis tubuh, misal ke kanan atau ke kiri). 7

Kornea berfungsi sebagai membrane pelindung dan jendela yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform,
avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea,

13
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan
endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan
kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan
pada epitel. Kerusakan sel sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat
transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea
lokal sesaat yang akan menghilang bila sel sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari
lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonitas ringan lapisan air mata tersebut, yang
mungkin merupakan factor lain dalam menarik air dari stroma kornea superficial dan
membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.

Gambar. Fisiologi kornea

Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut lemak dapat melalui
epitel utuh dan substantia larut air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat
melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut air sekaligus.

Epitel adalah sawar yang efesien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam


kornea. Namun sekali kornea in cedera, stroma avaskuler dan membrane bowman mudah
terkena infeksi oleh berbagai macam organism, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.

14
IV. HISTOLOGI

Secara histologis, pterygium menujukkan perubahan yang sama dengan pinguekula.


Epitel dapat saja normal, akantotik, hiperkeratosis atau bahkan displasia. Pemeriksaan
sitologi pada permukaan sel pterygium terlihat abnormal dan menunjukkan peningkatan
densitas sel goblet dengan metaplasia squamosa juga menunjukkan adanya permukaan
sitologi yang abnormal pada area lain di konjungtiva bulbi pada area tanpa adanya
pterygium. Substansia propria menunjukkan degenerasi elastotik jaringan kolagen seperti
yang dilaporkan oleh Austin dkk2 seperti elastodisplasia dan elastodistropi. Kolagen
selanjutnya menghasilkan maturasi dan degenarasi abnormal. Sumber serat atau fiber
kemungkinan berasal dari fibroblast yang mengalami degenerasi.2

V. ETIOLOGI
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan
bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan
sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih
embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel),
perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan
berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan
patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal,
menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.2

Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan
lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak
menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering
mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas
di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani,
nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium
memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter).7

Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya


pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan

15
disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah
penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping
(side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. Teori lainnya
menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai tumor. Karakteristik ini
disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang
diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan
apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan
yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan degeneratif.2

1. Paparan sinar matahari (UV)


Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan
terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada
populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang
menghabiskan banyak waktu di lapangan.
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan
kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan).
UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa
apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya
peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan
patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :1


1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada
usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat
pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga 5. Di RSUD AA tahun 2003-2005
didapatkan usia terbanyak 31 40 tahun yaitu 27,20% .
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar
UV.

16
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya.
Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad
terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian
pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan
5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 30 0 memiliki risiko
penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan .
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu
seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium.

VI. JENIS DAN KLASIFIKASI PTERYGIUM


Stadium I : belum mencapai limbus
Stadium II : sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil
Stadium III : sudah menutupi pupil
Stadium IV : sudah melewati pupil

Gambar 3. Pterigium stadium 1 Gambar 4. Pterigium stadium 2

17
Gambar 5. Pterigium stadium 3 Gambar 6. Pterigium stadium 4

Berdasarkan progresifitas tumbuhnya :1


1. Stasioner : relatif tidak berkembang lagi (tipis, pucat, atrofi)
2. Progresif : berkembang lebih besar dalam waktu singkat

VII. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan ploriferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen
abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan
hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan
tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa
dihancurkan oleh elastase. 8

Secara histopalogis ditemukan epitel konjungtiva irrekuler kadang-kadang berubah


menjadi gepeng. Pada puncak pteregium, epitel kornea menarik dan pada daerah ini
membran bauman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang berfoliferasi sebagai
jaringan granulasi yang penuh pembulih darah. Degenerasi ini menekan kedalam kornea
serta merusak membran bauman dan stoma kornea bagian atas. Terjadinya pterigium
berhubungan erat dengan paparan sinar ultraviolet, kekeringan, inflamasi dan paparan angin
dan debu atau factor iritan lainnya. UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang
berfungsi sebagai tumor suppressor gene pada stem sel di basal limbus. Pelepasan yang
berlebih dari sitokin seperti transforming growth factor beta (TGF-) dan vascular
endothelial growth factor (VEGF) yang berperanan penting dalam peningkatan regulasi
kolagen, migrasi sel angiogenesis. Selanjutnya terjadi perubahan patologi yang terdiri dari
degenerasi kolagen elastoid dan adanya jaringan fibrovaskular supepithelial. Pada kornea
nampak kerusakan pada membrane bowman oleh karena bertumbuhnya jaringan
18
fibrovaskuler, yang sering kali disertai dengan adanya inflamasi ringan. Epitel bisa normal,
tebal atu tipis dan kadang-kadang terjadi dysplasia. 8

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi


fibrovaskuler, dengan permukaan yang menutupi epithelium. Histopatologi kolagen
abnormal pada daerah degenerasi elastotik menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin
memperlihatkan adanya basofil. 9

Pterigium memiliki tiga bagian : 10

1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri dari zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan
bowman pada kornea. Gari zat besi (iron line/stockers line) dapat dilihat pada bagian
anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering.
2. Bagian whitish. Terletak langsung setelah cap. Merupakan sebuah lapisan vesicular
yang tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian mobile (dapat bergerak ), lembut,
merupakan area vesicular pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung.
Badan ini menjadi tanda yang khas untuk dilakukan koreksi pembedahan.

Gambar 7 : pterigium8

19
VIII. MANIFESTASI KLINIS
Pterygium dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Pterygium dapat hanya terdiri
atas sedikit vaskular dan tidak ada tanda-tanda pertumbuhan. Pterygium dapat aktif dengan
tanda-tanda hiperemia serta dapat tumbuh dengan cepat.

Pasien yang mengalami pterygium dapat tidak menunjukkan gejala apapun


(asimptomatik). Kebanyakan gejala ditemukan saat pemeriksaan berupa iritasi, perubahan
tajam penglihatan, sensasi adanya benda asing atau fotofobia. Penurunan tajam penglihatan
dapat timbul bila pterygium menyeberang axis visual atau menyebabkan meningkatnya
astigmatisme. Efek lanjutnya yang disebabkan membesarnya ukuran lesi menyebabkan
terjadinya diplopia yang biasanya timbul pada sisi lateral. Efek ini akan timbul lebih sering
pada lesi-lesi rekuren (kambuhan) dengan pembentukan jaringan parut. Pterigium dapat
tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing dan mungkin menimbulkan astigmat atau obstruksi aksis visual yang akan
memberikan keluhan gangguan penglihatan.2,4

IX. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama
sekali (asimptomatik).Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

a.
Mata sering berair dan tampak merah.
b.
Merasa seperti ada benda asing

20
c.
Timbul astigmatase akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut,
biasanya astigmatase with the rule ataupun astigmatase irregular sehingga menganggu
penglihatan.
d.
Pada stadium yang lanjut ( derajat III dan IV ) dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun.8,11,12

Pemeriksaan Fisik
Pterigium bisa berupa berbagai macam perubahan fibrofaskular pada permukaan
konjungtiva dan pada kornea. Penyakit ini lebih sering menyerang pada konjungtiva nasal
dan akan meluas ke kornea nasal meskipun bersifat sementara dan juga pada lokasi yang
lain.

Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut :


1. Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal dan
penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih
dan pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh
setelah dilakukan eksisi.
2. Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan
terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Ptrerygium dalam grup ini
mempunyai perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang
lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi.
Pemeriksaan Oftalmologis
a. Jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala yang mengarah ke
kornea dan badan.
b. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang oleh
pertumbuhan pterigium dan dapat menjadi gradasi.
-
Stadium 1 : Jika hanya terbatas pada limbus kornea
-
Stadium 2: Sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati
kornea.
-
Stadium 3: Sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
-
Stadium 4: sudah melewati pupil sehingga menganggu penglihatan. 8,11,12

X. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium. Pinguekula
merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orangtua, terutama yang
21
matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas. Yang
membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan
hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang. 1,7

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.


Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga
konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak
sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian
apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan secara
horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. 9

Gambar. Pinguekula

Gambar 9 : Pseudopterigium

22
Perbedaan Pterigium dan Pseudopterigium
Pterigium Pseudopterigium
Etiologi Proses degenerasi Proses inflamasi
Umur Sering terjadi pada Terjadi pada semua umur
orang tua
Lokasi Pada konjungtiva nasal Dapat terjadi pada semua sisi
atau temporal dari konjungtiva
Stadium Progresif, regresif atau Biasanya stasioner
stationer
Tes sondase Negative Positif

Table 1. Perbedaan pterigium dan pseudopterigium 9

Sikatrik kornea merupakan penyembuhan luka pada kornea, baik akibat radang ,
maupun trauma. Ada 3 jenis sikatrik kornea, yaitu :

1. Nebula
Penyembuhan akibat keratitis superfisialis. Kerusakan kornea pada membrana
Bowman sampai 1/3 stroma .Pada pemeriksaan terlihat seperti kabut di kornea, hanya
dapat dilihat di kamar gelap dengan focal ilumination dan bantuan kaca pembesar.

Gambar. Sikatrik kornea - Nebula


2. Makula

23
Penyembuhan akibat ulkus kornea. Kerusakan kornea pada 1/3 stroma sampai 2/3
ketebalan stroma. Pada pemeriksaan terlihat putih di kornea, dapat dilihat di kamar
dengan focal ilumination / batere tanpa bantuan kaca pembesar.

Gambar. Sikatrik kornea Makula

3. Lekoma
Penyembuhan akibat ulkus kornea . Kerusakan kornea lebih dari 2/3 ketebalan
stroma. Kornea tampak putih, dari jauh sudah kelihatan. Apabila ulkus kornea sampai
tembus ke endotel, akan terjadi perforasi, dengan tanda Iris prolaps, COA dangkal, TIO
menurun. Sembuh menjadi lekoma adheren (lekoma disertai sinekhia anterior)

Gambar. Sikatrik kornea - Lekoma

XI. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
24
Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila
pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan
bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmaisme ireguler atau
pterigium yang telah menutupi media penglihatan. 4,9
Lindungi mata dengan pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering
dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan
bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata
buatan dalam bentuk salep. Bila vasokonstriktor maka perlu control 2 minggu dan bila
terdapat perbaikan maka pengobatan dihentikan. 4,9

b. Tindakan operatif
Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan dengan
indikasi:
1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.
2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vascular.
3. Mata terasa mengganjal.
4. Visus menurun, terus berair.
5. Mata merah sekali.
6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus.
7. Alasan kosmetik.
8. Mengganggu pergerakan bola mata.
9. Mendahului operasi intra okuler
Pascaoperasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti pengggunaan sinar
radiasi atau terapi lainnya untuk mencegah kekambuhan seperti mitomycin C. 7

Jenis Operasi pada Pterigium antara lain 8:

- Bare sclera : bertujaun untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan


sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan
yang dapat mencapai 40-75%.
- Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini
dilakukan bila luka pada konjuntiva relative kecil.
- Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
- Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas
eksisi.
25
- Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior.

Gambar 10 : Jenis-
jenis operasi
pterigium4
a. Bare sclera
b. Simple closure
Tindakan pembedahan untuk eksisi pterigium biasanyac. bisa dilakukan
Sliding flap pada pasien
rawat jalan dengan menggunakan anestesi local, bilad. perluRotational flap
diperlukan dengan
e. Conjungtival
memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya
graft merekat pada malam

hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotik atau
antinflamasi.8,9,10

XII. KOMPLIKASI
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah astigmat karena
pterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme
26
penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran dari pada meridian horizontal pada
kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran dari meridian
horizontal itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat terbentuknya tear meniscus
antara puncak kornea dan peninggian pterigium. Astigmat yang ditimbulkan oleh
pterigium adalah astigmat with the rule dan irregular astigmat 10. Komplikasi lain yang
dapat disebabkan yaitu mata kemerahan, iritasi, luka kronik dari konjungtiva dan kornea
Komplikasi intra-operatif dapat terjadi perforasi kornea atau sclera dan trauma pada
muskulus rektus medial atau lateral. Komplikasi post-operatif bisa terjadi infeksi,
granuloma dan sikatriks kornea.6

XIII. PROGNOSIS
Prognosis visual dan kosmetik dari eksisi pterigium adalah baik. Prosedur dapat
ditoleransi dengan baik oleh pasien, dan disamping rasa tak nyaman pada hari- hari
pertama post-operatif, pasien bisa melanjutkan aktivitas secara penuh dalam 48 jam. 9
DRY EYES

Dry eyes merupakan suatu keadaan dimana terjadi ketidaknyamanan dalam


pengelihatan penderita yang disebabkan karena kekurangan kelembaban, lubrikasi dan agen
dalam mata. Saat ini, dry eyes lebih sering terjadi dibandingkan pada masa-masa lampau. Hal
ini dapat distimulasi oleh berbagai aspek lingkungan seperti udara yang dapat mengiritasi mata
dan lapisan air mata menjadi kering. Penderita dry eyes sering merasakan ketidaknyamanan
dalam mata sehingga mereka sering mengeluhkan perasaan seperti iritasi, tanda-tanda
inflamasi sering merasa ada benda asing di mata. Penderita dengan Dry eyes kronis didiagnosis
oleh dokter jika keluhan dry eyes terjadi berulang sehingga menurunkan jumlah air mata yang
menyebabkan gejala bertahan dalam periode yang lama. Penderita dry eyes sering dijumpai
pada mereka yang sering menggunakan komputer dalam jangka panjang. 13
Keluhan pada Sindrom Dry eye: 13
- Rasa kering, berpasir/gatal.
- Rasa terbakar
- Mata merah
- Penglihatan kabur
- Sensasi benda asing di mata

27
- fotofobia
Sindroma dry eye sangat kompleks penyebabnya dan diatasi berdasarkan penyebabnya,
tetapi sementara mencari penyebabnya dapat juga diatasi terlebih dahulu keluhan lainnya
seperti kering, gatal dan rasa terbakar. Tujuan utama dari pengobatan sindrom dry eye adalah
penggantian cairan mata. Terapi yang saat ini dianut adalah air mata buatan sebagai pelumas
air mata. 13

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.p.2-7,117.
2. Fisher, Jerome P. Pterigium. [online]. 2011 Maret 7. [cited 2011 November 22]. Available
from : hhtp://www.emedicine.com/article.htm
3. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 November 22] Available from :
http://www.dokter-online.org/index.php.htm
4. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and
Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In : External Disease and Cornea.
San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366.
5. Finger, Paul T. pterigium [online]. 2010. [cited 2011 November 22]. Available from :
http://www.eyecancer.com/default.aspx.htm
6. Drakeiron. Pterigium. [online]2009. [cited 2011 November 22]. Available from :
http://drakeiron.wordpress.com/info-pterigium.htm
7. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 November 22]. Available from :
http://PPM.pdf.com/info-pterigium.htm
8. Riri Julianti, Pterigium.[online]2009.[cited 2011 November 22]. Available from :
http://facultyofmedicine.riau.com/prosedures/pterigium.html
9. Khurana,AK. Disease of the Conjungtiva. In : Comprehensive Opthalmology 4 th edition.
New Delhi:New Age International.2007. p80-1
10. Maheswari,sejal.Pterigium-inducedcornealrefractive changes.[online]2007 [cited 2011
November 22]. Available from : http//:www.ijo.in/article.asp?issn
11. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York :
Thieme Stutgart. 2000
12. Fritz. Anatomi dan Fisiologi Mata. [online] 2009. [cited 2011 November 22] Available
from : http://article-mata.org/index.php.htm
13. Dahl Andrew. Dry Eyes Syndrome. [online] 12/5/2007 [cited 2011 November 22] available
from URL: http://www.emedicinehealth.com/dry_eye_syndrome/page18_em.htm#Authors
and Editors
28

Anda mungkin juga menyukai