Referat Aml
Referat Aml
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat
irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari sel itu berasal.
Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan membanjiri aliran darah. Pada kasus
Leukemia, sel darah putih tidak merespon kepada tanda/signal yang diberikan.
Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar dari
sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi.
Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu
fungsi normal sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti ini akan
menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena penyakit infeksi, anemia dan
perdarahan. (Hematologi Klinik Ed. 2.106).
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik
pada satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal
akan tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan
menimbulkan gejala klinis. Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses
neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk
hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas tersebut
dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik (Anonim,
2011)
Acute myeloid leukemia (AML), yaitu leukemia yang terjadi pada seri
myeloid, meliputi (neutrofil, eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan lain -
lain). Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh
kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada
anak (15%). (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV.1234).
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penyebab dan perjalaan penyakit AML
2. Untuk mengetahui cara pengobatan dan penatalaksanaan secara
komprehensifpada penderita AML
3. Untuk mengetahui pencegahan penyakit AML
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi dan Fisiologi Darah
1. Pengertian
Darah adalah cairan di dalam pembuluh darah yang mempunyai fungsi
mentransportasikan oksigen, karbohidrat dan metabolit; mengatur keseimbangan
asam dan basa; mengatur suhu tubuh dengan cara konduksi (hantaran), membawa
panas tubuh dari pusat produksi panas (hepar dan otot) untuk mendistribusikan ke
seluruh tubuh; dan pengaturan hormone dengan membawa dan menghantarkan
kelenjar ke sasaran.
2. Fungsi Darah
Bekerja dari sistem transport dari tubuh, mengantarkan semua bahan
kimia, oksigen dan zat kimia yang diperlukan untuk tubuh supaya fungsi
normalnya dapat dijalankan dan menyingkirkan karbon dioksida dan hasil
buangan lainnya.
Sel darah merah mengantarkan oksigen ke jaringan dan menyingkirkan
sebagian dari karbon dioksida. Sel darah putih menyediakan banyak baha
pelindung dan arena gerakan fagositosis dari beberapa sel maka melindungi tubuh
dari serangan bakteri.
Plasma membagi protein yang diperlukan untuk pembentukan jaringan;
menyegarkan cairan jaringan karena melalui cairan ini semua sel tubuh menerima
makanannya. Dan merupakan kendaraan untuk mengangkut bahan buangan ke
berbagai organ exkretorik untuk dibuang. Hormon dan enzim diantarkan dari
organ ke organ dengan perantaraan darah (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II, Ed. IV.1234).
3. Komponen Darah
1) Sel darah merah
Jika dilihat di bawah mikroskop, bentuk darah merah seperti saluran bikokaf
tersebut mempunyai inti, warnanya kuning kemerah-merahan, sifatnya kenyal
sehingga bias berubah bentuk sesuai dengan pembuluh darah.Sel darah merah atau
eritrosit berupa saluran kecil , cebung pada kedua sisinya sehingga dilihat dari
samping tampak seperti dua buah bulan sabit yang saling bertolak belakang.
3
B. Definisi
Leukimia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri
mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara
cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum
tahun 1960 pengobatan LMA terutam bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun
yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini
banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan
pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik,
6
kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi
suportif yang lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen
darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II, Ed. IV.1234).
C. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun
demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya
menjadi faktor prediposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa
kimia yang banyak digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara
berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu
radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari
penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada
orang-orang yang selamat bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun
sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah
pengeboman. Faktor lain yang diketahui sebagai predisposisi untuk LMA adalah
trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom down.
Pasien Sindrom Down dengan trisommi kromosom 21 mempunyai resiko 10
hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7.
Selain itu pada beberapa pasien sindrom genetik seperti sindrom bloom dan
anemia Fanconi juga diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi
dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA.
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan
kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah
komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma
multipel, kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker testis. Jenis terapi yang
paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan
topoisomerase II inhibitor.
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti:
- Radiasi. Radiasi dapat meningkatkan frekuensi LMA. Leukemia
ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan
7
Nagasaki, Jepang.
- Faktor leukemogenik. Terdapat beberapa zat kimia yang telah
diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi leukemia yaitu Racun
lingkungan seperti benzena, Bahan kimia industri seperti insektisida, serta
obat untuk kemoterapi.
- Herediter. Penderita sindrom Down memiliki insidens leukemia akut 20
kali lebih besar dari orang normal. Pada sebagian penderita dengan
leukemia, insiden leukemia meningkat dalam keluarga. Kemungkinan
untuk mendapat leukemia pada saudara kandung penderita naik 2-4 kali.
Selain itu, leukemia juga dapat terjadi pada kembar identik. Berdasarkan
penelitian Hadi, et al (2008) di Iran dengan desain case control
menunjukkan bahwa orang yang memiliki riwayat keluarga positif
leukemia berisiko untuk menderita LLA (OR=3,75 ; CI=1,32-10,99)
artinya orang yang menderita leukemia kemungkinan 3,75 kali memiliki
riwayat keluarga positif leukemia dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita leukemia.
- Virus. Virus dapat menyebabkan leukemia seperti retrovirus, virus
leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.
Beberapa kondisi perinatal merupakan factor risiko terjadiya leukemia pada
anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnatingius dkk (1995). Factor-faktor
tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen,
asfiksia, berat badan lahir > 4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan
Shu dkk (1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alcohol
meningkatkan risiko terjadinyaleukemia pada bayi, terutama LMA (Permono
dan Ugrasena, 2005)
D. Patogenesis
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda
(blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast
di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan
pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone
marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia,
8
Ga
mbar.2. Hematopoiesis
terkendali dari klon belum menghasilkan sel, yang mengarah ke entitas klinis
AML.
Sebagian besar keragaman dan heterogenitas AML berasal dari kenyataan
bahwa transformasi leukemia dapat terjadi di sejumlah langkah yang berbeda di
sepanjang jalur diferensiasi. Skema klasifikasi modern untuk AML mengakui
bahwa karakteristik dan perilaku dari sel leukemia (dan leukemia) mungkin
tergantung pada tahap di mana diferensiasi dihentikan.
Spesifik sitogenetika kelainan dapat ditemukan pada banyak pasien
dengan AML, jenis kelainan kromosom sering memiliki makna prognostik. Para
translokasi kromosom yang abnormal menyandikan protein fusi, biasanya faktor
transkripsi yang mengubah sifat dapat menyebabkan "penangkapan diferensiasi."
Sebagai contoh, pada leukemia promyelocytic akut, t (15; 17) translokasi
menghasilkan protein fusi PML-RAR yang mengikat ke reseptor unsur asam
retinoat dalam beberapa promotor myeloid-gen spesifik dan menghambat
diferensiasi myeloid. Klinis tanda dan gejala hasil AML dari kenyataan bahwa,
sebagai klon leukemia sel tumbuh, ia cenderung untuk menggantikan atau
mengganggu perkembangan sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Hal ini
menyebabkan neutropenia, anemia, dan trombositopenia (Permono dan Ugrasena,
2005).
E. Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat
dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel
darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda
dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi
memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi.
Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk
sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada
jaringan.
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi
kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom
dapat meliput i perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan
10
G. Diagnosis
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Pada stadium praleukemia, gejala lebih
tidak khas lagi, bahkan sumsum tulang dapat memperlihatkana gambaran normal.
Keluhan panas, pucat, dan perdarahan dapat disebabkan oleh anemia aplastik,
trombositopenia (ATP,ITP,demam berdarah, atau penyakit infeksi lain). Bila pada
pemeriksaan fisis ditemukan splenomegali maka diagnosis lebih terarah pada
leukemia akut. Trombositopenia biasa tidak menunjukkan kelainan lain dalam
darah tepi kecuali jumlah trombosit yang rendah. Bila darah tepi menunjukkan
granulositopenia dan retikulositopenia diagnosis lebih condong pada anemia
aplastik atau leukemia akut. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang
2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenik.
Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli
hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan
klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi
ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi
FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia
yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan
hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6.
Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap jenis sel
darah yang berbeda dan melihat apakah mereka berada dalam batas normal.
Dalam AML, tingkat sel darah merah mungkin rendah, menyebabkan anemia,
tingkat-tingkat platelet mungkin rendah, menyebabkan perdarahan dan memar,
dan tingkat sel darah putih mungkin rendah, menyebabkan infeksi.
Biopsi sumsum tulang atau aspirasi dari sumsum tulang mungkin
dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi sumsum tulang, jarum
berongga dimasukkan ke tulang pinggul untuk mengeluarkan sejumlah kecil dari
sumsum dan tulang untuk pengujian di bawah mikroskop. Pada aspirasi sumsum
tulang, sampel kecil dari sumsum tulang ditarik melalui cairan injeksi.
Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan untuk melihat
apakah penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan cerebrospinal, yang
13
mengelilingi sistem saraf pusat atau sistem saraf pusat (SSP) - otak dan sumsum
tulang belakang. Tes diagnostik mungkin termasuk flow cytometry penting
lainnya (dimana sel-sel melewati sinar laser untuk analisa), imunohistokimia
(menggunakan antibodi untuk membedakan antara jenis sel kanker), Sitogenetika
(untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi genetika
molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker).
Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan,
diantaranya adalah ; Biopsy, Pemeriksaan darah {complete blood count (CBC)},
CT or CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal
tap/lumbar puncture.
Kelainan hematologis:
- Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x 106/mm3.
- Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 103 /mm3. Leukosit
yang ada dalam darah tepi terbanyak adalah myeloblas.
- Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-kadang
mengandung badan auer suatu kelainan yang pathogonomis untuk LMA.
Sumsum tulang hiperseluler karena mengandung mieloblas yang masif,
sedang megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang. Kelainan sumsum
tulang ini sudah akan jelas meskipun myeloblas belum tampak dalam darah tepi.
Jadi kadang-kadang ditemukan kasus dengan pansitopenia perifer akan tetapi
sumsum tulang sudah jelas hiperseluler karena infiltrasi dengan myeloblas.
Kadan-kadang ditemukan Auer body dalam mieloblas. Kadang manifestasi
pertama sebagai eritroleukemia (ploriferasi eritroblas dan mieloblas dalam
sumsum tulang) yang berlangsung beberapa bulan/tahun sebelum fambaran
mieloblastiknya menjadi jelas benar (FKUI, 1985).
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi
dan pemeriksaan sumsum tulang.
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada LLA, pemeriksaan darah tepi menunjukkan anemia normositik
normokrom, kadang-kadang ditemukan normoblas. Pada hitung jenis terdapat
limfoblas. Jumlah limfoblas dapat sampai 100%. Juga didapatkan
14
J. Penatalaksanaan
Perbaiki keadaan umum yaitu : anemia diberikan tranfusi darah dengan
PCR (Packed red cell) atau darah lengkap. Trombositopeni yang mengancam
diatasi dengan transfusi konsetrat trombosit. Apa bila ada infeksi diberikan
antibiotika yang adekwat. Terapi spesifik seperti terapi leukemia pada umumnya
dimulai dengan tahap induksi dengan : Doxorubicin 40 mg/mm2 berat badan hari
1-5. Dilanjutkan denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7. Untuk pasien
usia di atas 50 tahun dosis dikurangi dengan Adriamycin hanya 3 hari dan Ara C 5
hari. Obat pengganti adriamycin adalah Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis
dan hematologis. Pemeriksaan sumsum tulang pada akhir mimggu ketiga. Apabila
tidak terjadi remisi atau remisi hanya bersifat parsiil maka terapi harus diganti
dengan regimen lain.
Apabila terjadi remisi lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai
tahap konsolidasi. Pada tahap ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm2 hari 1-2 dan
Ara C 1-5. Refimen ini diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu.Apabila
keadaan memungkinkan maka diberikan cangkok sumsum tulang pada saat terjadi
remisi lengkap. (Hematologi Klinik Ed. 2.113).
Terapi standar adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan
daunorubisin dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus
kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari.
Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan
dounorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedangkan bila diberikan
sebagai obat kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. (Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV.1238).
Modalitas pengobatan leukemia :
- Radioterapi
Radioterapi umumnya dilakukan untuk mencegah dan mengobati
penyebaran sel leukemia ke otak. Saat ini pengobatan radioterapi pada leukemia
mulai ditinggalkan oleh banyak ahli karena efek samping yang begitu besar dan
kuat seperti gangguan intelektual, timbulnya second malignancy, dan mengganggu
tumbuh kembang anak. Sehingga sebagian besar protocol pengobatan leukemia
tidak lagi menggunakan radioterapi. Berhasil tidaknya pengobatan radioterapi
19
tergantung dati factor sensitivitas sel kanker, efek samping yang timbul,
pengalaman radioterapi, serta pasien yang kooperatif.
- Kemoterapi
Kemoterapi pada penderita leukemia mempunyai peran penting karena
dapat digunakan untuk mencapai kesembuhan (complete remission) dan mencapai
masa bebas penyakit (disease free survival). Berbagai penelitian tentang
kemoterapi dilakukan dengan tujuan berusaha mencari obat baru untuk
mengkombinasi beberapa macam obat agar kinerja obat lebih baik dengan efek
samping yang minimal dan dapat ditolerir oleh tubuh. Yang penting kita harus
memperhatikan efektifitas, keamanan, rasional, dan terjangkau daya beli.
- Pembedahan
Merupakan salah satu modalitas dalam penanganan penderita kanker. Pada
umumnya pembedahan dilakukan pada penderita dengan tumor padat yang masih
dini atau untuk pengobatan paliatif dekompresif, tetapi pembedahan tidak dapat
digunakan pada keganasan hematologi (Permono, 2011).
Pengelolaan medik penderita leukemia mempunyai beberapa prinsip yang
menyangkut beberapa aspek antara lain:
- Aspek kanker sendiri
Hal yang sangat penting harus diperhatikan adalah menegakkan diagnosis
pasti leukemia sebelum memberikan kemoterapi. Diagnosis penentu leukemia
dapat ditegakkan secara morfologik dengan melakukan aspirasi sumsum tulang.
Penentuan status medik penderita dengan melakukan anamnesis tentang umur,
melihat hasil pemeriksaan fisis tentang ada tidaknya organomegali serta
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui risk group, apakah tergolong resiko
standar (prognosis baik), intermediet atau resiko tinggi (prognosis buruk).
- Aspek penderita dan orangtua
Yang dimaksud disini adalah :
a. memberikan penjelasan tentang diagnosis serta perlunya pemberian
kemoterapi,
b. memberikan penjelasan tentang lama pengobatan, macam obat (termasuk
harga obat) serta jadwal pemberian kemoterapi, serta persiapan yang
diperlukan setiap akan masuk sitostatika
20
sel leukemia sampai tidak terdeteksi secara klinis maupun laboratorium (limfoblas
sumsum tulang <5%) yang ditandai dengan holangnya gejala klinis dan gambaran
darah tepi menjadi normal. Pengobatan pada fase ini biasanya berlangsung sekitar
6 minggu dengan angka remisi rata-rata 97%.
Tahap induksi menggunakan kortikosteroid (prednisone atau dexamethason),
vinkristin, L_Asparaginase. Pada tahap ini diberikan :
- VCR (vincristin) : 2mg/m2/minggu, intravena, diberikan 6 kali
- ADR (adriamisin) : 40mg/m2/2 minggu intravena, diberikan 3 kali,
dimulai pada hari ketiga pengobatan
- Prednison : 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu, kemudian
tapering off selama 1 minggu.
- SSP :profilaksis : MTX (metotreksat) 10 mg/m2/minggu intratekal,
diberikan 5 kali dimulai bersamaan dengan atau setelah VCR pertama.
Radiasi cranial : dosis total 2.400 rad dimulai setelah konsolidasi terakhir
(siklofosfamida).
b. Konsolidasi atau intensifikasi
Segera setelah penderita mengalami pemulihan baik klinis maupun
laboratories dan mencapai remisi komplit, terapi fase intensifikasi dapat dimulai.
Hal ini dilakukan atas dasar penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa apabila
terapi dihentikan setelah induksi remisi maka segera terjadi relaps. Tujuan dari
tahap ini adalah menurunkan keberadaan dan menghilangkan sel pokok (stem
cell) leukemia(6). Obat-obatan yang digunakan antara lain:
- MTX : 25mg/m2/hari intravena, diberikan 3 kali, dimulai satu minggu
setelah VCR keenam, kemudian dilanjutkan dengan :
- 6-MP (6-merkaptopurin) : 500mg/m2/hari peroral, diberikan 3 kali.
- CPA (siklofosfamid) : 800mg/m2/kali diberikan sekaligus pada akhir
minggu kedua dari konsolidasi.
c. Rumat /maintenance
Tidak seperti keganasan yang lain pada LLA diperlukan waktu yang panjang
untuk mempertahankan kesembuhan. Hal ini ditujukan untuk membunuh sel blas
dan memelihara sel sumsum tulang yang normal disamping untuk
mempertahankan respon imum penderita. Pada umumnya pengobatan berlangsung
22
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Leukemia (kanker darah) adalah jenis penyakit kanker yang menyerang
sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow). Sumsum
tulang atau bone marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga type sel
darah diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan
infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oxygen kedalam tubuh) dan
platelet (bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah).
Sampai saat ini penyebab penyakit leukemia belum diketahui secara pasti, akan
tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi frekuensi terjadinya
leukemia : Radiasi, Leukemogenik, Herediter, Virus.
Sistem Terapi yang sering digunakan dalam menangani penderita leukemia
adalah kombinasi antara Chemotherapy (kemoterapi) dan pemberian obat-obatan
yang berfokus pada pemberhentian produksi sel darah putih yang abnormal dalam
bone marrow. Selanjutnya adalah penanganan terhadap beberapa gejala dan tanda
yang telah ditampakkan oleh tubuh penderita dengan monitor yang
komprehensive.
3.2.Saran
Leukemia salah satu penyakit yang berbahaya, sehingga harus diwaspadai
dengan cermat, maka sangatlah penting untuk mencegah penyakit ini dengan cara
menghindari faktor resiko dan menjaga pola hidup sehat sedini mungkin.
25
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Bab II.Tinjauan Pustaka. [online] 2011 [cited 2011 Januari 14] :
Available from:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20969/4/Chapter%20II.pdf
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-Unhas. Standar Pelayanan Medik Kesehatan
Anak. Makassar : SMF Anak RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo. 2009. p.197.
Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006
Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1996.
Bleyer A. David G. Tubergen. The Leukemias in Nelson Textbook of Pediatrics.
Kliegman,ed. Philadelpia : Elseiver.2007. c495.
Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed. 2. Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2008
Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi
4.Jakarta: EGC, 2005
Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-
Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2005
Permono Bambang, Mia R. Pengelolaan Medik Anak dengan Leukemia dan
Kemungkinan Perawatan di RS Kabupaten. [online] 2011 [cited 2011
Januari 14] : Available from www.pediatrik.com/pkb/061022022524-
03ie136.pdf.
Permono, Bambang, Sutaryo, Ugrasena IDG, Endang W, Maria A. Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak. 2005. Jakarta: IDAI
Reksodiputro,A.Haryanto. Total Protected Environment Untuk Mencegah Infeksi
Nosokomial di Ruang Transplantasi Sumsum Tulang RSCM FKUI in
Cermin Dunia Kedokteran no.83. Jakarta : PT.Midas Surya Grafindo.
1993.p18
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilmu Kesehatan Anak ed.1. Jakarta : Info Medika Jakarta. 1985. p469.
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti
Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta,
2006.
Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit
Alumni : Bandung. 1997.
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Ed. 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003