Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

KELAINAN REFRAKSI

Oleh :

MARTA SONYA
NIM. I11111030

KEPANITERAAAN KLINIK
STASE MATA
RS. KARTIKA HUSADA TINGKAT II KUBU RAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2015
Lembar Persetujuan

Telah disetujui referat dengan judul :

Kelainan Refraksi

disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian dalam

Kepaniteraan Klinik Stase Mata

2
Telah disetujui,

Kabupaten Kubu Raya, Juni 2015

Pembimbing referat, Disusun oleh :

Dr. Mahyudi, Sp.M, M.Kes Marta Sonya

NIM. I11111030

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................i
Lembar Persetujuan..............................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan...............................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka......................................................................................3
2.1 Sistem Optik Mata Manusia....................................................................3
2.2 Kelainan Refraksi................................................................................ 7
2.2.2 Hipermetropia..........................................................................8
2.2.3 Miopia................................................................................. 12
2.2.5 Astigmatisme........................................................................18
2.2.6 Presbiopia............................................................................. 24
BAB III Kesimpulan............................................................................................28
Daftar Pustaka......................................................................................................29

4
BAB I
PENDAHULUAN

Mata merupakan salah satu akses informasi terpenting tubuh kita terhadap
dunia luar. Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan
yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola
mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan
panjangnya bola mata demikan seimbang sehingga bayangan benda setelah
melalui media penglihatan dibiaskan tepat di makula lutea. Kelainan refraksi
adalah kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga sinar tidak jatuh tepat di
retina. Mata normal tanpa kelainan refraksi disebut emetropia. Keberadaan
kelainan refraksi pada mata seseorang disebut dengan ametropia. Ametropia
meliputi miopia, hipermetropia, astigmatisma, dan presbiopia.1,2
Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab utama low
vision di dunia dan dapat menyebabkan kebutaan. Data dari VISION 2020, suatu
program kerjasama antara International Agency for the Prevention of Blindness
(IAPB) dan WHO, menyatakan bahwa pada tahun 2006 diperkirakan 153 juta
penduduk dunia mengalami gangguan visus akibat kelainan refraksi yang tidak
terkoreksi. Dari 153 juta orang tersebut diantaranya adalah anak-anak usia 5-15
tahun dimana prevalensi tertinggi terjadi di Asia Tenggara.3
Sepuluh persen dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) di Indonesia
mengalami kelainan refraksi dan angka pemakaian kacamata koreksi sampai saat
ini masih rendah yaitu 12,5% dari kebutuhan. Jika kondisi ini tidak ditangani
sungguh-sungguh akan berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak
dan proses pembelajaran yang selanjutnya akan mempengaruhi mutu, kreativitas,
dan produktivitas angkatan kerja. Pada akhirnya permasalahan ini dapat
berdampak buruk bagi laju pembangunan ekonomi nasional.4
Angka kelainan refraksi dan kebutaan di Indonesia terus mengalami
peningkatan dengan prevalensi 1,5% dan tertinggi dibandingkan dengan di
negara-negara regional Asia Tenggara seperti Bangladesh sebesar 1%, India
sebesar 0,7% dan Thailand 0,3%.5

1
Dalam hal menanggulangi kebutaan di Indonesia, Kemenkes telah
mengembangkan strategi-strategi yang dituangkan dalam Kepmenkes nomor
1473/MENKES/SK/2005 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan
Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Renstranas PGPK) untuk mencapai
VISION 2020. Adapun program prioritasnya adalah upaya penanggulangan
kebutaan akibat katarak, glaukoma, kelainan refraksi, dan xeroftalmia.6
Berdasarkan uraian diatas, referat ini membahas mengenai kelainanan
refraksi sehingga dapat menambah khasanah pengetahuan bagi pembaca,
khususnya tenaga medis dalam hal penentuan diagnosa dan memberikan
penanganan yang baik, tepat, dan efektif.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Optik Mata Manusia


Sistem optik mata terdiri atas beberapa struktur yang dapat merefraksikan
cahaya pada saat cahaya melewati struktur tersebut. Struktur tersebut adalah
kornea, cairan aqueous, lensa, dan vitreus. Pada mata normal (emetropik),
struktur-struktur tersebut dapat memberikan kekuatan refraksi yang sangat kuat
untuk titik fokus yang dekat.
Mata merupakan salah satu akses informasi terpenting tubuh kita terhadap
dunia luar. Mekanisme untuk adaptasi dan pengaturan dari mata diperlukan untuk
menghadapi rangsangan dari luar dan mengolah informasi tersebut bagi tubuh
kita. Pada dasarnya,terdapat dua bagian cairan di dalam mata: aqueous humor dan
vitreous humor. Aqueous humor, cairan bebas, terletak di depan lensa, sedangkan
vitreous humor berbentuk gel dan tersusun dari proteoglikan, terletak antara lensa
dengan retina. Ada sedikit zat yang dapat masuk ke dalam vitreous humor secara
difusi disertai sedikit aliran cairan. 7
Khusus untuk aqueous humor, cairan ini membutuhkan keseimbangan
antara produksi dari prosesus siliaris dengan pembuangan melalui kanal Schlemm
(vena aqueous), suatu vena yang lebih banyak berisi aliran cairan aquaeous humor
daripada darah itu sendiri serta berpori sangat lebar untuk pertukaran molekul
protein besar. Cairan ini diproduksi dari transport aktif dari ion Na pada ruang
antara sel epitel. Ion Na ini dengan sendirinya menarik keluar ion Cl- dan CO3-
untuk menjaga keseimbangan ion. Dengan itu, cairan akan tertarik keluar untuk
membersihkan ruang epitel tersebut dan disekresikan keluar menuju ruang
anterior dari mata. Selain itu, nutrisi mata juga dapat terbentuk asam amino, asam
askorbat, dan glukosa.7

3
Gambar 1. Pembentukan aquaeous humor7
Keadaan yang penting dari aliran intraokuler ini adalah regulasi tekanan
bola mata. Hambatan aliran cairan bola mata merupakan penentu tekanan bola
mata tersebut. Hambatan ini sendiri berasal dari trabekula pada sudut anterior
bola mata. Normalnya, rata-rata tekanan bola mata adalah 15 mmHg dengan
rentang 12-20 mm Hg. Dengan tekanan 15 mmHg, laju aliran cairan bola mata
mencapai 2.5 l/menit.
Sinar berjalan lebih cepat melalui udara daripada melalui media transparan
lain misalnya air dan kaca. Ketika masuk ke suatu medium dengan densitas tinggi,
berkas cahaya melambat. Arah berkas berubah jika cahaya tersebut mengenai
permukaan medium baru dalam sudut yang tidak tegak lurus. Berbeloknya berkas
sinar dikenal sebagai refraksi (pembiasan). Refraksi mata ditentukan oleh medium
yang dilalui oleh cahaya serta bagaimana pengaturan dari lensa mata. Setidaknya
ada 4 perbatasan refraksi yang seharusnya dilalui oleh cahaya: (1) udara dengan
permukaan luar kornea, (2) permukaan posterior kornea dengan aquaous humor,
(3) aquaeous humor dengan permukaan anterior lensa mata, dan (4) permukaan
posterior lensa dengan vitreous humor. Kekuatan refraksi lensa mata kira-kira
sebesar 20 dioptri.7

4
Gambar 2. Rincian refraksi mata

Akomodasi dilakukan dengan cara mengubah kecembungan lensa mata


yang sudah cembung. Pada dasarnya, lensa mata terdiri dari kapsul dengan cairan
transparan berprotein. Pada saat keadaan relaks, lensa itu sendiri akan berbentuk
sferis . Bentuk ini akan dijaga oleh adanya sekitar 70 ligamen suspensori yang
melekat secara radial di sektar lensa terhadap koroid dan retina. Untuk mengubah
kecembungan lensa mata ini, m. siliaris pada mata, terdiri dari serat otot
meridional dan serat otot sirkular. Serat meridional yang berkontraksi sebagian
akan menarik ligament lensa ke tepi kornea, dibantu dengan kontraksi sebagain
oleh korpus siliaris.7,8

Gambar 3. Fokus cahaya pada mata akibat akomodasi dan struktur anatomi
mata yang terlibat 7,8

Dengan mekanisme ini, terjadi penyempitan sudut antara korpus siliaris


dengan taut sklerokornea. Hal ini memicu lensa untuk mengembang akibat
elastisitas yang dimilikinya sendiri, terutama ke arah anterior.8 Seluruh

5
mekanisme tersebut diatur dengan menggunakan saraf parasimpatis nervus
occulomotor. Persarafan simpatisnya digunakan untuk merelaksasi m.siliaris,
tetapi efek ini terlalu lemah sehingga tidak tampak berperan dalam fisiologis
akomodasi.7
Diameter pupil juga menentukan tajam penglihatan seseorang. Diameter
pupil sebanding dengan banyaknya cahaya yang diterima. Pupil sendiri dapat
berubah ukuran dari 1.5 mm 8 mm. Pada gambar 3, gambar bola mata yang di
atas menunjukkan pupil tampak besar, sedangkan gambar yang di bawahnya
menunjukkan pupil yang kecil. Dengan semakin besarnya pupil, perubahan letak
retina maupun sedikit akomodasi tidak akan mengubah tajam cahaya yang
diterima karena seluruh cahaya yang ada masuk melalui pupil yang kecil tersebut.
Berbeda dengan gambaran pupil di bawahnya yang menunjukkan sudut belokan
cahaya yang masuk akan menjadi semakin besar dengan pupil yang besar. Hal itu
menyebabkan tampak gambaran yang tidak jelas jika terjadi pergeseran letak
retina atau akomodasi sedikit saja.7

Gambar 4. Pemfokusan Sinar Divergen8


Cahaya berasal dari sumber cahaya yang memancarkan cahaya secara
divergen. Oleh sebab itu, lensa mata berfungsi untuk mengatur pancaran tersebut
agar berkonvergen sehingga dapat terfokus di retina. Dari udara ke lensa, karena
perbedaan indeks biasnya yang cukup besar, maka cahaya akan dibiaskan
mendekati sumbu normal. Karena lensa mata berbentuk konveks, maka seluruh
sinar yang masuk akan berkonvergen di satu titik (principal focus). Semakin
cembung lensa (semakin kuat), maka semakin dekat titik temu (focal point) yang
dihasilkan.8,9
Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah
kornea dan lensa. Kemampuan refraktif kornea bersifat konstan karena
kelengkungan kornea tidak pernah berubah. Sebaliknya, kemampuan refraktif

6
lensa mata dapat diatur dengan mengubah kelengkungannya sesuai kebutuhan,
untuk penglihatan jarak jauh atau dekat. Kemampuan mata untuk menyesuaikan
kekuatan lensanya disebut daya akomodasi mata. Pada mata normal (emetropia),
sumber cahaya jauh akan difokuskan ke retina tanpa akomodasi, sedangkan
sumber cahaya dekat akan difokuskan ke retina dengan akomodasi. Kekuatan
refraktif lensa mata diukur dalam satuan dioptri.8,9
Kekuatan lensa tergantung dari bentuk lensa, yang diatur oleh otot siliaris.
Apabila otot siliaris berkontraksi, maka lensa akan semakin cembung sehingga
kekuatan lensanya meningkat. Kontraksi otot siliaris dikendalikan oleh persarafan
parasimpatis. Sebaliknya, apabila otot siliaris relaksasi, maka lensa akan semakin
pipih sehingga kekuatan lensanya menurun.8
Lensa mata disusun oleh seribu lapis sel yang kehilangan nukleus dan
organelnya sehingga tampak transparan. Sel-sel tersebut tidak dapat beregenerasi
dan terletak dari akueus humour, sumber nutrisi. Oleh karena itu, sesuai dengan
bertambahnya usia, maka sel-sel ini akan mati dan menjadi kaku. Dengan
demikian, sifat elastis lensa mata akan sangat berkurang. Lensa mata tidak dapat
berakomodasi pada penglihatan jarak dekat lagi. Pengurangan kemampuan
akomodasi yang terkait usia ini (45-50 tahun) disebut dengan presbiopia.8,9

2.2 Kelainan Refraksi


Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata
sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di
depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik
yang fokus. Kelainan refraksi terdiri dari hipermetropia, miopia, astigmatisma,
dam presbiopia.
2.2.1

7
2.2.2 Hipermetropia
Definisi
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan salah satu bentuk kelainan
refraksi yang terjadi saat mata tidak berakomodasi namun titik fokus bayangan
jatuh di belakang retina.Error! Bookmark not defined.0,12

Gambar 5. Refraksi pada mata hipermetropia.8


Etiologi10,12
Hipermetropia aksial merupakan penyebab paling sering
hipermetropia dimana panjang bola mata aksial lebih pendek
dibandingkan panjang bola mata pada umumnya sehingga
menyebabkan bayangan jatuh di belakang retina. Setiap
pemendekan 1 mm panjang aksial bola mata maka perlu dikoreksi
dengan lensa positif kekuatan 3 dioptri.
Hipermetropia kurvatural disebabkan karena kurvatura dari
kornea atau lensa atau keduanya menjadi lebih datar sehingga
kekuatan refraksi mata menjadi menurun.
Hipermetropia indeks terjadi karena penurunan indeks refraktif
lensa terutama pada orang-orang tua dan pasien diabetes.
Hipermetropia posisional dikarenakan posisi lensa yang lebih
posterior pada bola mata.

8
Afakia dapat terjadi secara kongenital maupun didapat. Afakia
menyebabkan mata kehilangan kemampuan akomodasi sehingga
tidak mampu memfokuskan bayangan jatuh tepat pada retina.
Klasifikasi Hipermetropia10
Simple or developmental hypermetropia
Hipermetropia ini merupakan bentuk paling sering ditemui karena
adanya variasi biologis pada saat perkembangan bola mata. Etiologi yang
termasuk ke dalam kelompok ini adalah hipermetropia aksial dan
kurvatural.
Pathological hypermetropia
Hipermetropia ini terjadi karena adanya kelainan yang terjadi di
luar variasi biologis bola mata pada saat perkembangan. Etiologi yang
termasuk ke dalam kelompok ini adalah hipermetropia indeks, posisional,
afakia, dan hipermetropi konsekutif.
Komponen Hipermetropia10
Hipermetropia total
Hipermetropia total merupakan jumlah total kelainan refraksi yang
menyebabkan hipermetropia. Hipermetropia total merupakan penjumlahan
dari hipermetropia laten dan termanifestasi.
Hipermetropia laten
Hipermetropia laten merupakan kondisi normal dimana memang
terdapat hipermetropia sekitar 1D pada mata namun terkoreksi oleh tonus
otot siliaris.
Hipermetropia termanifestasi
Hipermetropia termanifestasi merupakan hipermetropia yang tidak
terkoreksi oleh tonus otot siliaris. Terbagi menjadi 2 jenis, yaitu
hipermetropia fakultatif dan hipermetropia absolut. Hipermetropia
fakultatif masih dapat dikoreksi oleh kemampuan akomodasi lensa
sedangkan sisanya yang tidak terkoreksi akan muncul sebagai
hipermetropia absolut.

9
Tingkatan Hipermetropia
1. Hipermetropia Ringan, yaitu antara Spheris +0.25 s/d Spheris +3.00 D
2. Hipermetropia sedang, yaitu antara Spheris +3.25 s/d Spheris +6.00 D
3. Hipermetropia berat, yaitujika ukuran Spheris >6.25D
Gejala dan Manifestasi Klinis10
Asimtomatik
Pada kelainan refraksi yang kecil, maka dapat terkoreksi sempurna
oleh usaha akomodasi lensa sehingga tidak memunculkan gejala apapun.
Astenopik
Pada astenopik, kelainan refraksi tepat terkoreksi oleh usaha
akomodasi lensa namun karena lensa berakomodasi terus menerus maka
pasien biasanya akan mengeluh mata cepat lelah, nyeri kepala daerah
frontotemporal, mata berair, dan terkadang sedikit fotofobia. Hal ini
diperparah apabila pasien bekerja dengan melihat jarak dekat ataupun pada
saat gelap.
Gangguan penglihatan dengan gejala astenopik
Kelainan refraksi yang terjadi sudah tidak dapat dikoreksi oleh
kemampuan akomodasi lensa namun lensa masih terus menerus
berakomodasi karena kelainan refraksi yang tidak terlalu berat sehingga
akan memunculkan gejala astenopik dan gangguan penglihatan.
Gangguan penglihatan
Pada tahap ini, kelainan refraksi sudah terlalu besar untuk dapat
dikoreksi oleh akomodasi lensa sehingga lensa pada umumnya tidak
berakomodasi. Gangguan yang muncul berupa gangguan penglihatan
untuk dekat maupun jauh.
Tanda yang dapat ditemukan pada pasien hipermetropia, antara lain:10
Ukuran bola mota pada umumnya tampak lebih kecil.
Ukuran kornea dapat lebih kecil dari normal.
Bilik mata depan dapat terlihat dangkal.
Pada pemeriksaan fundus dapat ditemukan adanya diskus optikus
yang kecil dengan batas tidak tegas, retina dapat terlihat lebih

10
terang karena refleks cahaya yang lebih besar (shot silk
appearance).
Pemeriksaan USG dapat menunjukkan adanya pemendekan
panjang aksial bola mata.
Komplikasi Hipermetropia10
Blefaritis, kalazion, dan hordeolum berulang apabila pasien sering
menggaruk mata karena merasa lelah atau capek sehingga
memungkinkan infeksi terjadi lebih besar.
Pada anak-anak dapat timbul kebiasaan untuk memicingkan mata
agar dapat melihat lebih fokus.
Ambliopia dapat terjadi pada beberapa kasus.
Predisposisi terjadi glaukoma primer sudut sempit.
Pemeriksaan13
1. Tambahkan kekuatan lensa sferis positif hingga pasien dapat membaca
huruf pada baris 6/6.
2. Apabila huruf pada baris 6/6 sudah tercapai, maka kekuatan lensa
ditambahkan +0,25 D dan tanyakan apakah masih dapat melihat huruf
tersebut.
3. Apabila pada penambahan +0,25 D masih dapat terlihat jelas huruf
pada baris 6/6 maka tambahkan lagi kekuatan lensa hingga pandangan
menjadi kabur, maka derajat hipermetropia yang dicatat adalah
kekuatan lensa terbesar yang memberikan tajam penglihatan terbaik.
4. Kerjakan cara yang sama pada mata yang lain.
Tatalaksana10,12
Hipermetropia dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa sferis
positif sehingga bayangan cahaya dapat jatuh tepat di retina.

Gambar 6 Koreksi pada Hipermetropia

11
2.2.3 Miopia
Miopia atau rabun jauh merupakan salah satu bentuk kelainan refraksi
yang terjadi saat mata tidak berakomodasi namun titik fokus bayangan jatuh di
depan retina. 10,11

Gambar 7. Refraksi pada mata miopia.8


Etiologi10,12
Miopia aksial merupakan bentuk yang paling sering terjadi
dikarenakan adanya penambahan panjang diameter aksial bola
mata.
Miopia kurvatural disebabkan karena terjadinya penambahan
kelengkungan kurvatura kornea atau lensa atau keduanya.
Miopia posisional disebabkan karena posisi lensa yang lebih
anterior pada bola mata.
Miopia indeks terjadi peningkatan indeks refraktif lensa yang
diasosiasikan dengan adanya sklerosis nukleus.
Miopia karena akomodasi berlebihan terjadi pada pasien dengan
spasme akomodasi.
Klasifikasi Miopia
Miopia kongenital
Miopia jenis ini sudah ada pada anak sejak lahir, bersifat unilateral,
danbaru terdiagnosis pada usia 2-3 tahun. Kelainan refraksi miopia pada
umumnya berkisar pada minus 8 sampai 10 dan konstan. Miopia

12
kongenital diasosiasikan dengan beberapa kelainan kongenital lainnya
seperti katarak, mikroftalmos, aniridia, dan megalokornea.
Simple or developmental myopia
Miopia jenis ini merupakan bentuk miopia yang paling banyak
ditemui dan merupakan miopia yang dikarenakan adanya variasi
perkembangan bola mata, bukan suatu jenis penyakit. Miopia pada
kelompok ini juga dipengaruhi oleh genetik sebab pada anak dengan kedua
orang tua miopia memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk
menderita miopia.
Beberapa gejala dan tanda pada miopia dapat berupa penglihatan
jauh yang kabur, gejala astenopik pada pasien dengan miopia ringan, bola
mata yang prominen, bilik mata depan dalam, pupil dapat berukuran besar
dan fundus dalam batas normal.
Pathological or degenerative myopia
Pada kelompok ini, miopia akan mengalami progresi dengan cepat
yang dimulai pada saat anak-anak usia 5-10 tahun dan menimbulkan
miopia berat pada usia dewasa muda dan umumnya diasosiasikan dengan
adanya kelainan degeneratif bola mata. Progresivitas miopia ini
disebabkan oleh adanya pertumbuhan aksial bola mata yang cepat, diluar
variasi normal biologis. Etiologi pertumbuhan bola mata yang cepat ini
masih belum jelas namun berhubungan dengan genetik dan proses
pertumbuhan umum. Faktor genetik berperan dalam proses pertumbuhan
retina. Pada saat retina berkembang, sklera akan menyesuaikan dengan
ukuran retina sebab sklera bersifat elastik. Koroid, berbeda dengan sklera,
akan mengalami degenerasi karena teregang. Pada saat koroid degenerasi,
maka akan diikuti oleh degenerasi dari retina.
Gejala dan tanda miopia progresif terdapat defek penglihatan jauh
yang berat bahkan tidak dapat terkoreksi, muscae volitantes (bayangan
hitam yang melayang-layang di depan mata dikarenakan degenerasi
vitreus), rabun senja, bola mata prominen, kornea berukuran besar, bilik

13
mata depan dalam, pupil berukuran lebih besar, pada pemeriksaan fundus
dapat ditemukan:
o Diskus optikus tampak lebih besar dan pucat, pada sisi
temporal dapat ditemukan gambaran myopic crescent.
o Perubahan degeneratif retina dan koroid yang ditandai
dengan bercak putih atrofi pada makula dan dikelilingi oleh
pigmen disekitarnya. Selain itu, Foster-Fuchs spot juga
dapat ditemukan pada makula dengan gambaran bercak
merah gelap melingkari makula yang dikarenakan
neovaskularisasi dan perdarahan koroid. Degenerasi kista
dapat ditemukan pada daerah perifer. Bila sudah lanjut,
maka dapat ditemukan atrofi retina total.
o Stafiloma posterior karena ektasia sklera pada bagian
posterior.
o Perubahan degeneratif pada vitreus dapat berupa likuefaksi,
kekeruhan vitreus, dan posterior vitreous detachment
(PVD).
o Lapang pandang dapat ditemukan skotoma.

Gambar 8. Gambaran papil pada miopia progresif.10


Menurut derajatnya miopia dibagi dalam:
a. Miopia ringan, dimana miopia <1-3 dioptri
b. Miopia sedang, dimana miopia antara 3-6 dioptri
c. Miopia berata atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri

14
Komplikasi
o Retinal detachment
o Katarak komplikata
o Perdarahan vitreus
o Perdarahan koroid
o Strabismus fixus convergence
Acquired myopia
o Post-trauma
o Post-keratitis
o Drug-induced
o Pseudomyopia
o Space myopia
o Night myopia
o Consecutive myopia
Pemeriksaan13
1. Apabila dengan lensa +0.50 D penglihatan menjadi tambah kabur,
gunakanlah lensa negatif terkecil pada gagang lensa uji.
2. Tambahkan minus lensa sferis negatif hingga pasien dapat membaca
huruf pada baris 6/6.
3. Pada pasien dengan miopia maka derajat miopia yang dicatat adalah
lensa sferis negatif terkecil yang dapat memperbaiki tajam penglihatan
pasien.
4. Lakukan tes Duke Elder untuk mengetahui apakah ada koreksi
berlebihan yang terjadi karena mata berakomodasi. Tambahkan lensa
sferis +0.25 D. Target tes Duke Elder haruslah negatif

Tatalaksana Miopia
Miopia dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa sferis negatif baik
dengan kacamata maupun dengan menggunakan lensa kontak. Terapi pembedahan
dapat berupa:10,13

15
Gambar 9 Koreksi pada Hipermetropia dengan lensa sferis negatif
(a) dan lensa kontak (b)

Radial Keratotomy (RK)


Teknik ini membuat insisi radier pada kornea dengan kedalaman
mencapai 90% stroma dan menyisahkan area 4mm di bagian sentral retina,
Pada saat insisi perifer radier ini mulai sembuh, akan menyebabkan
kurvatura kornea menjadi lebih datar sehingga mengurnagi kemampuan
refraksi kornea. Teknik ini dapat digunakan untuk miopia ringan hingga
sedang (2-6D). Kekurangan RK dapat menyebabkan ruptur bola mata
karena kornea menjadi lebih lemah. Teknik ini tidak cocok digunakan pada
orang dengan risiko trauma yang tinggi. Selain itu, ada kemungkinan
proses penyembuhan yang tidak berjalan bersamaan sehingga dapat
menyebabkan timbulnya astigmatisme ireguler.
Photorefractive Keratectomy (PRK)
Pada teknik ini, stroma kornea bagian sentral diablasi
menggunakan laser hingga lebih datar. Hal ini akan mengurangi kekuatan
refraksi kornea. Teknik ini diindikasikan juga untuk miopia ringan-sedang
(2-6D) namun saat ini sudah tidak digunakan lagi sebab kerugiannya yang
banyak. Pemulihan pascaoperasi tergolong lambat, nyeri pada mata
berminggu-minggu, dan PRK lebih mahal dari RK.
Laser Assisted In-Situ Keratomileusis (LASIK)
Pada teknik ini, stroma bagian anterior pada kornea dipotong
setebal 130-160 m dengan menggunakan laser sehingga menyebabkan
kurvatura kornea menjadi lebih datar. Teknik ini dapat digunakan untuk
mengoreksi miopia hingga -12D. Pasien harus berusia 20 tahun ke atas
agar perubahan refraksinya lebih stabil dan tidak ada kelainan kornea.

16
Keuntungan LASIK dapat memberikan tajam penglihatan hingga 6/6 atau
bahkan lebih tajam lagi 6/5 atau 6/4, nyeri postoperasi minimal, masa
pemulihan cepat, tidak ada risiko perforasi bola mata, tidak ada sisa
operasi yang tertinggal pada kornea, dapat digunakan untuk miopia hingga
-12D. Beberapa kerugian LASIK, antara lain harga mahal, butuh teknik
operasi yang tinggi, kelainan yang dapat terjadi pada kornea yang
dipotong dapat menyebabkan astigmatisme.
Extraction of clear crystalline lens (Fucalas operation)
Lensa natural diekstraksi dan kemudian diganti dengan lensa
sintetik yang telah diukur kekuatannya. Biasanya hal ini diindikasikan
untuk miopia yang lebih besar dari 12D dan biasanya bersifat unilateral.
Phakic intraocular lens
Pada teknik ini, dilakukan penanaman lensa intraokular pada bilik
mata depan atau belakang sehingga mampu mengoreksi miopia berat yang
lebih dari 12D.
Intercorneal ring (ICR) implantation
Pemasangan ring pada bagian perifer kornea dan 2/3 kedalaman
stroma dapat menyebabkan kurvatura kornea bagian sentral menjadi lebih
datar sehingga mengurangi kekuatan refraksi kornea.
Orthokeratology
Penggunaan lensa kontak yang kaku untuk membentuk kornea
sehingga memengaruhi kelainan refraksi sampai -5D. Dapat digunakan
pada usia di bawah 18 tahun.
Edukasi13
Progresivitas miopia dihambat dengan mengurangi usaha akomodasi dan
menggunakan kacamata dengan koreksi terbaik. Aktivitas melihat dekat juga
mempengaruhi cepatnya progresivitas miopia, sehingga pasien diainjurkan untuk
lebih sering melakukan aktivitas yang memanfaatkan penglihatan jauh.

2.2.4

17
2.2.5 Astigmatisma
Astigmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu a yang berarti absen dan
stigma yang berarti poin. Astigmatisme merupakan salah satu dari kesalahan
refraksi (ametropia) dimana cahaya paralel yang datang tidak dapat difokuskan
pada retina di satu titik akibat kurvatura yang tidak merata pada bidang/meridian
tertentu di kornea atau lensa. Oleh sebab itu, mata menghasilkan gambaran garis
fokal yang multipel sehingga gambaran yang dihasilkan menjadi buram.
Secara normal, kornea memiliki kurvatura yang uniform sehingga
kekuatan refraksinya sama pada setiap permukaan. Namun, pada beberapa orang,
kornea tidak uniform dan kurvatura-nya lebih besar pada satu meridian
dibandingkan yang lain (seperti bentuk bola rugby). Oleh sebab itu, cahaya yang
direfraksikan pada kornea tersebut tidak jatuh pada satu titik, dan gambaran retina
dari objek yang dekat maupun jauh menjadi buram dan nampak lebih panjang atau
lebar.
Penyebab dari astigmatisme bisa karena astigmatisme kornea, lentikular
atau retinal. Secara garis besar, astigmatisme dibagi menjadi dua yaitu
astigmatisme reguler dan ireguler.10
Etiologi
Astigmatisme dapat terjadi akibat dari abnormalitas dari kurvatura kornea
(corneal astigmatism), abnormalitas dari lensa (lenticular astigmatism) atau
akibat letak makula yang miring (retinal astigmatism). Abnormalitas kurvatura
kornea merupakan etiologi yang paling sering terjadi.10
Astigmatisme Reguler
Pada astigmatisme reguler, bentuk kornea diibaratkan seperti bola rugby.
Terdapat dua meridian utama yang terpisah 90, umumnya membentuk bidang
horizontal dan vertikal. Kedua meridian tersebut memiliki kekuatan refraksi yang
berbeda, namun pada tiap meridian memiliki kurvatura yang uniform. Secara
normal, diameter kornea pada aksis vertikal adalah 11.5 mm sedangkan pada aksis
horizontal adalah 12 mm. Diameter berbanding terbalik dengan kelengkungan.
Aksis vertikal lebih melengkung dibandingkan aksis horizontal akibat adanya

18
penekanan dari kelopak mata. Hal tersebut menyebabkan kesalahan astigmatik
kecil dan dianggap fisiologis.
Pada astigmatisme, cahaya paralel yang datang tidak dapat fokus pada satu
titik, namun membentuk dua garis fokal (focal lines). Cahaya yang direfraksikan
melalui permukaan yang astigmatik disebut sebagai Sturms Conoid. Jarak antara
dua garis fokal disebut sebagai focal interval of Sturm.
Berdasarkan aksis dan sudut antara kedua median utama, astigmatisme
reguler dapat diklasifikasikan menjadi:10,12
a. Astigmatisme with-the-rule
Kedua meridian terletak pada sudut yang benar namun meridian vertikal
lebih melengkung dibandingkan meridian horizontal (seperti bola rugby yang
terbaring). Istilah with-the-rule dipakai karena pada astigmatisme jenis ini mirip
seperti kondisi astigmatisme yang normal. Untuk mengoreksi kelainan ini
dibutuhkan lensa konkaf silinder pada sudut 180 20 atau lensa konveks
silinder pada 900 200.
b. Astigmatisme againts-the-rule
Meridian horizontal lebih melengkung dibandingkan meridian vertikal
(seperti bola rugby yang berdiri). Kelainan ini dikoreksi dengan lensa konveks
silinder pada 1800 200 atau konkaf silinder pada aksis 900 200.
c. Astigmatisme oblique
Kedua meridian tidak horizontal maupun vertikal maupun keduanya
berada pada sudut yang benar. Seringkali ditemukan simetris (lensa silindris 30 0
dibutuhkan pada kedua mata) atau komplementari (lensa silindris 300 dibutuhkan
pada mata yang satu dan lensa 1500 pada mata yang lain).

19
Gambar 10. Klasifikasi astigmatisme berdasarkan meridian utama.7

Berdasarkan letak garis fokus terhadap retina, astigmatisme reguler dapat


diklasifikasikan menjadi:10
a. Astigmatisme Sederhana (Simple)
Satu meridian memfokuskan cahaya didepan atau dibelakang retina
sedangkan meridian yang lain memfokuskan cahaya tepat di retina. Astigmatisme
sederhana dibagi menjadi dua yaitu simple myopic bila satu meridian
memfokuskan cahaya didepan retina, sedangkan simple hyperopic bila satu
meridian memfokuskan cahaya dibelakang retina.

Gambar 11. Astigmatisme Sederhana (A) Simple myopic, (B) Simple


hypermetropic.11
b.

20
b. Astigmatisme Compound
Kedua meridian memfokuskan cahaya didepan retina (compound myopic)
atau dibelakang retina (compound hyperopic).

Gambar 12 Compound Astigmatism (C) Compound myopic, (D) Compound


hypermetropic.11
c. Astigmatisme Campuran (mixed)
Satu meridian memfokuskan cahaya didepan retina, meridian yang lain
memfokuskan cahaya dibelakang retina.

Gambar 13. Mixed Astigmatism.11


Manifestasi Klinis
Gejala yang dapat dijumpai pada orang yang mengalami astigmatisme
reguler yaitu penglihatan menjadi terganggu, pandangan buram, objek nampak
memanjang atau melebar, nyeri pada mata dan kepala, mata lelah dan terkadang
muncul keluhan mual.10
Diagnosis
Diagnosis astigmatisme dilakukan dengan anamnesis keluhan pasien dan
pemeriksaan mata. Pemeriksaan mata yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan
tajam penglihatan menggunakan Snellen Chart sebagai berikut:

21
1. Apabila didapatkan perbaikan tajam penglihatan terbaik dengan lensa
sferis kurang dari 6/6 dan masih membaik dengan pemasangan pinhole,
maka dapat dicurigai pasien mengalami astigmatisma.
2. Berikan lensa sferis positif yang cukup besar pada mata tersebut untuk
memberikan refraksi miopik pada mata pasien.
3. Pasien diminta melihat juring astigmat dan diminta untuk menentukan
garis juring astigmat yang paling jelas.
4. Apabila pasien masih belum dapat menentukan mana garis yang paling
jelas, maka lensa sferis positif tersebut dikurangi sedikit-sedikit hingga
terlihat satu garis yang paling jelas.
5. Berikan koreksi lensa silindris negatif pada aksis tegak lurus dengan garis
yang terlihat paling jelas.
6. Kekuatan lensa silindris minus perlahan-lahan dinaikkan hingga pasien
dapat melihat gaaris pada juring astigmat sama jelasnya.
7. Apabila lensa silindris negatif yang digunakan lebih dari -0.75 D maka
lensa positif ditambahkan +0.25 D setiap kenaikan silinder -0.5D untuk
mempertahankan keadaan fogging.
8. Setelah itu dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan diagram
snellen.
9. Apabila tajam penglihatan belum 6/6 maka kurangi sedikit-sedikit
kekuatan lensa positif.
Selain itu, pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi:10
1. Retinoskopi, digunakan untuk menilai kesalahan refraksi dan estimasi tipe
serta kekuatan lensa yang diperlukan untuk mengoreksi kesalahan refraksi.
2. Keratometri, merupakan pemeriksaan objektif dan kuantitatif yang
digunakan untuk menilai kurvatura kornea pada tiap meridian dan pada
aksis.
3. Astigmatic fan test dan Jacksons cross cylinder, digunakan untuk
konfirmasi kekuatan dan aksis dari lensa silindris.

Tatalaksana

22
Tatalaksana bagi pasien astigmatisme reguler adalah dengan penggunaan
kacamata atau lensa kontak dengan lensa silindris yang sesuai. Selain itu,
tatalaksana lainnya adalah dengan operasi.10
a. Lensa Silindris
Fungsi dari lensa silindris adalah untuk memfokuskan cahaya sehingga
terbentuk sebuah garis fokal. Lensa silindris memiliki kekuatan yang berbeda
pada tiap meridian. Pada lensa silindris terdapat power meridian, yaitu meridian
dengan kekuatan yang paling besar. Power median selalu 90 menjauhi aksis.
Kekuatan silinder pada aksis meridian adalah 0. Gambar yang terbentuk oleh
power meridian adalah sebuah garis fokal yang paralel terhadap aksis. Lensa
silindris tersedia dalam bentuk konveks, konkaf dan dengan kekuatan dioptri yang
bermacam-macam. Secara umum, kebanyakan pasien astigmatisme memiliki
kelainan hipermetropia atau miopia juga sehingga hal tersebut perlu dikoreksi
juga menggunakan lensa torik (spherocylinders).
b. Operasi
Astigmatic keratotomy, prinsipnya adalah dengan membuat potongan
transversal pada bagian perifer dari meridian kornea sehingga kornea
menjadi lebih bulat dan dapat merefraksikan cahaya dengan tepat.
Photo-astigmatic refractive keratotomy, adalah dengan menggunakan
laser excimer untuk mengoreksi kurvatura kornea
Laser in-situ keratomileusik (LASIK)
Astigmatisme Ireguler
Pada astigmatisme ireguler, kornea diibaratkan sebagai bola rugby dengan
permukaan yang tidak rata. Oleh sebab itu, kekuatan refraksi di tiap meridian
menjadi berbeda-beda. Gejala yang dirasakan oleh pasien meliputi gangguan
visus, distorsi objek dan polyopia.10
Etiologi
Jaringan parut yang ekstensif pada kornea atau keratokonus
Distropi stroma atau membran basal kornea
Post-operasi
Diagnosis
1. Placidos disc test untuk menilai distorsi bulatan

23
2. Photokerotoscopy dan Computerized corneal topography untuk
menunjukkan kurvatura kornea yang iregule
Tatalaksana
Lensa kontak
Phototherapeutic keratectomy, dengan menggunakan laser excrimer
Tatalaksana bedah (keratoplasty)

2.2.6 Presbiopia
Presbiopi merupakan gangguan pada akomodasi akibat adanya proses
degeneratif. Secara normal, cahaya paralel yang datang akan difokuskan tepat
pada retina tanpa akomodasi. Sedangkan, cahaya yang divergen dari objek yang
dekat akan difokuskan juga tepat pada retina dengan bantuan akomodasi mata.
Proses akomodasi terjadi karena perubahan dari bentuk lensa mata. Saat mata tak
berakomodasi, otot siliaris tidak berkontraksi dan membuat zonular fiber menjadi
tegang sehingga membuat bentuk lensa menjadi lebih rata. Ketika otot siliaris
berkontraksi (saat akomodasi), zonular fiber menjadi lebih relaks sehingga bentuk
lensa menjadi lebih cembung atau konoidal.10

Gambar 14 Perubahan bentuk lensa: (1) lensa tak berakomodasi, (2) lensa
berakomodasi.10
Pada presbiopi, terjadi kegagalan penglihatan jarak dekat akibat proses
degeneratif yang memyebabkan penurunan amplitudo akomodasi atau

24
peningkatan punctum proximum. Punctum proximum merupakan titik terdekat
dimana objek kecil dapat terlihat secara jelas.
Etiologi
Presbiopi disebabkan oleh perubahan pada lensa dimana terjadi penurunan
elastisitas kapsul lensa dan sklerosis pada lensa. Selain itu, terjadi kelemahan pada
otot siliaris sehingga mata tidak dapat berakomodasi secara maksimal seperti
waktu muda.

Manifestasi Klinis
Pasien memiliki keluhan seperti kesulitan membaca dekat atau kesulitan
ketika memasukkan benang kedalam lubang jarum. Selain itu, keluhan lainnya
yaitu gejala asthenopic akibat kelelahan otot siliaris setelah membaca atau
melakukan pekerjaan dekat. Keluhan tersebut umumnya muncul pada usia 40
tahun keatas. Di usia 40 tahun keatas, titik terdekat akomodasi melampaui jarak
baca atau jarak kerja.
Pemeriksaan13
1. Pasien diberi kartu baca dengan jarak baca 30-40 cm.
2. Pasien diminta membaca huruf terkecil pada kartu baca.
3. Berikan lensa sferis +1.00D dinaikan perlahan hingga tulisan terkecil pada
kartu baca terbaca.
4. Pemeriksaan dilakukan satu mata terlebih dahulu.
Tatalaksana
Tatalaksana dari presbiopi yaitu dengan penggunaan kacamata presbiopi
berlensa konveks. Bila pasien usia 40-45 tahun, dibutuhkan kekuatan +1 DS.
Pasien usia 45-50 tahun membutuhkan +1.5 DS, pasien usia 50-55 tahun
membutuhkan +2 DS, sedangkan pasien usia 55-60 tahun membutuhkan + 2.5 DS.
Penambahan tersebut juga harus disesuaikan dengan kenyamanan pasien.

Tata Laksana Kelainan Refraksi Lainnya


1. Lensa Kontak
Terdapat beberapa macam lensa kontak.

25
a. Hard contact lens digunakan untuk memperbaiki kelainan refraksi dengan
mengubah kurvatura dari permukaan depan mata. Kekuatan refraksi total
terdiri atas kurvatura belakang lensa, kurvatura basis, dan kekuatan lensa
itu sendiri. Lensa kontak jenis ini terutama diindikasikan untuk
memperbaiki astigmatisme irreguler.
b. Soft contact lens, mengikuti kelengkungan kornea. Kekuatan lensa ini ada
karena adanya perbedaan antara kurvatura bagian depan dan belakang.
2. Bedah Refraksi
Bedah refraksi merupakan teknik bedah yang bertujuan untuk mengoreksi
kelainan refraksi. Berbagai teknik antara lain:
a. Radial keratotomy:prosedur insisi radial di bagian perifer kornea
menyisakan pusat zona optik 4 mm. Prosedur inimemberikan koreksi
yang sangat baik pada miopia ringan hingga sedang (2 sampai 6 D)

Gambar 15 Radial keratotomy


b. Photorefractive keratectomy: kornea dibentuk ulang dengan
menggunakan laser eximer. Prosedur ini melibatkan pengangkatan dan
ablasi laser lapisan Bowman dan jaringan stroma kornea bagian anterior.

Gambar 16 Photorefractive keratotomy


c. Laser in situ keratomielusis (LASIK): ablasi dari stroma kornea dengan
menggunakan laser excimer di bawah flap kornea yang dibentuk dengan
alat mikrokeratome atau laser.

26
Gambar 17 Prosedur LASIK
d. Laser subepithelial keratomielusis: melibatkan pembuatan flap epithelium
dengan bantuan alkohol terdilusi, kemudian mereposisi flap setelah ablasi
laser pada stroma dikerjakan

27
BAB III
KESIMPULAN

Kemampuan refraktif kornea bersifat konstan karena kelengkungan kornea


tidak pernah berubah. Sebaliknya, kemampuan refraktif lensa mata dapat diatur
dengan mengubah kelengkungannya sesuai kebutuhan, untuk penglihatan jarak
jauh atau dekat. Kemampuan mata untuk menyesuaikan kekuatan lensanya
disebut daya akomodasi mata. Pada mata normal (emetropia), sumber cahaya jauh
akan difokuskan ke retina tanpa akomodasi, sedangkan sumber cahaya dekat akan
difokuskan ke retina dengan akomodasi.
Kelainan refraksi terjadi apabila berkas cahaya paralel yang masuk ke
mata tidak jatuh tepat di retina. Terdapat berbagai gangguan refraksi, dapat terjadi
akibat gangguan akomodasi (presbiopia) ataupun bila terdapat kelainan pembiasan
sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang bola
mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut
emetropia dapat berupa miopia (nearsightedness), hipermetropia (farsightedness)
dan astigmat. Penderita miopia memiliki bola mata yang terlalu cembung (terlalu
kuat) sehingga sumber cahaya dekat difokuskan ke retina tanpa akomodasi
(harusnya dengan akomodasi), sedangkan sumber cahaya jauh difokuskan di
depan retina (bayangan tampak kabur). Kondisi miopia dapat dikoreksi dengan
lensa konkaf. Penderita hipermetropia memiliki bola mata yang terlalu pipih
(terlalu lemah) sehingga sumber cahaya dekat jatuh di belakang retina. Dalam hal
ini, sumber cahaya jauh tetap difokuskan ke retina dengan akomodasi. Kondisi
hipermetropia dapat dikoreksi dengan lensa konveks. Kondisi astigmatisma dapat
dikoreksi dengan lensa silindris.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2013.
2. Prambudy IM dan Yunia I. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 4. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014
3. World Health Organization. Global Magnitude of Visual Impairment Caused
by Uncorrected Refractive Errors in 2004. Available from URL:
http://www.who.int/bulletin/volumes/86/1/07- 041210.html
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Setiap Menit Satu Anak di Dunia
Akan Menjadi Buta. 2007 Oct. Available from URL:
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=
2865
5. World Health Organization. Global Initiative for The Elimination of
Avoidable Blindness: Action Plan 2006-2011. Available from URL:
http://www.who.int/blindness/Vision2020%20- report.html
6. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Rencana Strategi Nasional
Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk Mencapai Vision
2020. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1437/MENKES/SK/X/2005
7. Guyton AC ,Hall JE. Textbook of medical physiology. 11 th ed. Philadelphia:
Elsevier, p617-38. 2006.
8. Barrett KE, Barman SM, Boitano S, Brooks HL. Ganongs review of medical
physiology. 23rd ed. McGrawHill, 2010.
9. Sherwood L. Human physiology: from cell to systems. 6 th ed. California:
Thompson, Brooks/Cole; 2007. p.190-208
10. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International (P) Limited; 2007. p. 26-49
11. American Academy of Ophthalmology. Section 3 Clinical optics. Singapore:
American Academy of Ophthalmology; 2011. p. 103-7, 115.
12. Eva PR. Optic and refraction. In: Eva PR, Whitcher J, editors. Vaughan and
asburys general ophthalmology. 17th ed. USA: McGrawHill; 2007.

29
13. Kaimbo DK, Goggin M. Astigmatism: definition, etiology, classification,
diagnosis and non-surgical treatment. Croatia: InTech; 2012.

30

Anda mungkin juga menyukai