Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai sekarang

masih mempertahankan nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya, di tengah-

tengah kemajuan peradaban di sekitarnya. Aspek paling kuat dalam pengelolaan

kehidupan yang berkelanjutan di masyarakat Adat Baduy adalah terciptanya sistem

hukum, sosial dan budaya yang diturunkan dari agama dan keyakinan mereka. Pemimpin

Baduy harus dapat menjaga aspek tersebut di atas. Siapa saja yang melanggar maka

akan menerima hukuman. Adanya pikukuh yang berarti nilai-nilai kepatuhan yang harus

dipatuhi oleh semua masyarakat Adat Baduy merupakan landasan hidup.

Ubi societas ibi ius. Dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Dalam ilmu

hukum kita mengenal istilah fiksi hukum yang artinya setiap orang dianggap mengetahui

adanya hukum dan oleh karenanya terikat oleh hukum. Hukum berlaku dimana saja bagi

siapa saja. Oleh karenanya hukum pun ada di masyarakat pedalaman dan memiliki

kekuatan berlaku pula yang kuat. Dimana penegakan hukum di masyarakat adat

umumnya dipegang langsung oleh Kepala Adat.

Dalam masyarakat Adat Baduy, Puun yang merupakan pemimpin tertinggi tetap

akan diberikan hukuman jika mereka melakukan pelanggaran terhadap hukum adat,

karena ketiga Puun selalu diawasi oleh Tangkesan. Puun yang melanggar aturan juga

akan menerima hukuman sesuai hukum adat dan posisinya dapat diganti dengan yang

lain. Selain itu dengan adanya Puun yang berjumlah tiga juga memungkinkan untuk

saling mengawasi dan mengingatkan dalam menjalankan fungsinya. Model demokrasi

yang ada

disana memang tidak sama dengan sistem demokrasi modern, dimana rakyat memiliki

hak memilih pemimpinnya. Model demokrasi Baduy adalah demokrasi yang diwakili oleh

pemimpin masing-masing kampung.

Diantara beragam hukum adat yang tersebar di Indonesia, hukum Adat Baduy

Dalam adalah salah satu hukum adat yang ada di Indonesia dan berlaku mengatur

1
masyarakat Adat Baduy selama ratusan tahun dari generasi ke generasi. Bahkan hingga

kini hukum Adat Baduy Dalam masih berlaku mengikat bagi masyarakat Adat Baduy.

Baduy adalah sebuah komunitas masyarakat terasing di Desa Kanekes Kecamatan

Leuwidamar Kabupaten Lebak, Banten. Sebagaimana masyarakat adat pada umumnya,

mereka pun memiliki hukum adat sendiri yang berlaku mengikat pada masing-masing

anggota masyarakatnya, termasuk hukum pidana Adat Baduy Dalam.

Pada dasarnya, KUHP yang diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia

merupakan warisan kolonial yang berasal dari Wetboek van Strafrecht Pemberlakuan

KUHP tersebut menjadi keunikan tersendiri manakala sebenarnya Indonesia telah

memiliki hukum sendiri, jauh sebelum Belanda datang dan mengenalkan KUHP di

Indonesia. Baduy tidak memiliki kitab mengenai larangan-larangan dalam Adat Baduy.

Namun hal ini tak berarti bahwa tetua Adat Baduy dan masyarakatnya tak mengetahui

larangan-larangan dalam Adat Baduy. Pengetahuan mengenai larangan adat diperoleh

masyarakat secara turun temurun berdasarkan budaya lisan dan kebiasaan. Perbuatan-

perbuatan lainnya seperti zina, sengketa tanah, perkelahian dan perbuatan terlarang

lainnya juga diatur dalam hukum pidana Adat Baduy Dalam berikut prosedural

persidangan, sanksi dan pelaksanaannya.

Pemaparan diatas mengenai Suku Baduy Dalam akan penulis jadikan sebagai

kajian makalah dalam memenuhi tugas mata kuliah Sistem Hukum Indonesia, mengingat

kenyataan bahwa hukum Adat Baduy Dalam masih ada dan berlaku mengikat bagi

masyarakat Baduy dan juga masyarakat luar Baduy yang berada di kawasan Baduy

hingga saat ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka terdapat

berbagai masalah yang dirumuskan, diantaranya :

1. Bagaimana norma-norma yang berlaku di Suku Baduy Dalam ?


2. Apakah Sistem Anglo Saxon terdapat di Suku Baduy Dalam ?

2
1.3 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan adalah :


1. Mengetahui norma-norma yang berlaku di Suku Baduy Dalam
2. Mengetahui Sistem Anglo Saxon yang terdapat di Suku Baduy Dalam.

1.4 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan diatas

adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut :


1. Studi Literatur (Studi Deskriptif)
Mencari dan mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan

Sistem Hukum Anglo Saxon dan norma-norma yang terdapat di Suku Baduy

Dalam

1.7 Sistematika Penulisan


Tugas akhir ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Berisi pemaparan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan

masalah, tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penelitian ini, batasan

masalah, kegunaan hasil dari tugas akhir, metodologi penelitian tugas

akhir, dan sistematika penulisan.


BAB II LANDASAN TEORI
Berisi uraian mengenai landasan teori yang akan digunakan, meliputi

teori tentang Sistem hukum Anglo Saxon


BAB III PEMBAHASAN
Berisi tentang pembahasan mengenai norma-norma Suku Adat Baduy

Dalam yang berkaitan dengan Sistem Hukum Anglo Saxon


BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi kesimpulan dan saran-saran untuk pengembangan lebih lanjut

terhadap hasil penelitian ini.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori

David dan Brierly (dalam Soerjono Soekanto, 1986 : 302) membuat periodisasi

Common Law ke dalam tahapan sebagai berikut :

3
1. Sebelum Penaklukan Norman di tahun 1066;

2. Periode kedua membentang dari 1066 sampai ke penggabungan Tudors (1485).

Pada periode ini berlangsunglah pembentukan Common Law, yaitu penerapan

sistem hukum tersebut secara luas dengan menyisihkan kaidah-kaidah lokal;

3. Dari tahun 1485 sampai 1832. Pada periode ini berkembanglah suatu sistem

kaidah lain yang disebut kaidah equity. Sistem kaidah ini berkembang di

samping Common Law dengan fungsi melengkapi dan pada waktu-waktu

tertentu juga menyaingi Common Law.

4. Dari tahun 1832 sampai sekarang. Ini merupakan periode modern bagi Common

Law. Pada periode ini ia mengalami perkembangan dalam penggunaan hukum

yang dibuat atau perundang-undangan. Ia tidak bisa lagi hanya mengandalkan

pada perkembangan yang tradisional. Untuk menghadapi kehidupan modern,

Common Law semakin menerima campur tangan pemerintah dan badan-badan

administrasi.

Common law, berbeda dengan kebiasaan yang berlaku lokal, adalah hukum yang

berlaku untuk dan di seluruh Inggris. Tetapi keadaan atau deskripsi yang demikian itu

belum terjadi pada tahun 1066, seperti dapat dilihat pada periodisasi di muka. The

assemblies of free men yang disebut Country of Hendred Courts hanya menerapkan

kebiasaan-kebiasaan lokal. Pembinaan suatu hukum yang berlaku untuk seluruh negeri

merupakan karya yang semata-mata dilakukan oleh the royal courts of justice, biasanya

disebut The Courts of Westminster. Nama ini dipakai sesuai dengan tempat mereka

bersidang sejak abad ketiga belas.

Kekuasaaan raja sebagai hakim yang memegang kedaulatan bagi seluruh negeri makin

bertumbuh. Lambat laun rakyat memandang ke pengadilan kerajaan itu lebih dari

pengadilan-pengadilan yang lain dan membawa sengketanya ke royal courts tersebut.

Didorong oleh kebutuhan, maka pengadilan raja itupun mengembangkan prosedur

modern dan menyerahkan penyelesaian perkara kepada pertimbangan juri. Sementara

4
itu pengadilan-pengadilan lain tetap menggunakan prosedur yang sudah kuno. Secara

pelan-pelan pengadilan kerajaan memperluas yurisdiksinya dan pada penghujung abad

pertengahan, ia pada kenyataannya merupakan satu-satunya pengadilan di Inggris.

Pengadilan feodal, seperti juga the Hundred Courts, makin menghilang; pengadilan

setempat dan pengadilan dagang hanya menangani kasus-kasus kecil; pengadilan gereja

hanya mengurusi perkara yang berhubungan dengan agama dan disiplin para pejabat

gereja.

Sistem hukum ini berkembang dan berlaku pada negara-negara bekas jajahan

Inggris, terutama di Amerika Serikat namun tetap dipengaruhi oleh keadaan sistem sosial

yang dianut oleh masing-masing negara jajahan tersebut.

Sistem hukum ini mengandung kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya hukum

anglo saxon yang tidak tertulis ini lebih memiliki sifat yang fleksibel dan sanggup

menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya karena hukum-hukum

yang diberlakukan adalah hukum tidak tertulis (Common law). Kelemahannya, unsur

kepastian hukum kurang terjamin dengan baik, karena dasar hukum untuk

menyelesaikan perkara/masalah diambil dari hukum kebiasaan masyarakat/hukum adat

yang tidak tertulis.

2.2 Pembahasan

Nama lain dari sistem hukum Anglo-Saxon adalah Anglo Amerika atau Common

Law. Merupakan sistem hukum yang berasal dari Inggris yang kemudian menyebar ke

Amerika Serikat dan negara-negara bekas jajahannya. Kata Anglo Saxon berasal dari

nama bangsa yaitu bangsa Angel-Sakson yang pernah menyerang sekaligus menjajah

Inggris yang kemudian ditaklukan oleh Hertog Normandia, William. William

mempertahankan hukum kebiasaan masyarakat pribumi dengan memasukkannya juga

unsur-unsur hukum yang berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental.

Nama Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim dipakai untuk menyebut penduduk

Britania Raya, yakni bangsa Germania yang berasal dari suku-suku Anglia, Saks, dan

Yut. Konon, pada tahun 400 M mereka menyeberang dari Jerman Timur dan Skandinavia

5
Selatan untuk menaklukkan bangsa Kelt, lantas mendirikan 7 kerajaan kecil yang disebut

Heptarchi. Mereka dinasranikan antara 596-655 M.

Sistem hukum anglo saxon merupakan suatu sistem hukum yang didasarkan pada

yurispudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar

putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih

mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan

dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem

jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan

kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.Sistem hukum ini diterapkan

di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi

Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan

sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain

negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-

Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar

sistem hukum Anglo saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.

Putusan hakim/pengadilan merupakan Sumber hukum dalam sistem hukum

Anglo saxon. Dalam sistem hukum ini peranan yang diberikan kepada seorang hakim

sangat luas. Hakim berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan

menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja. Hakim juga berperan besar dalam

membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat . Hakim mempunyai wewenang yang

sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku. Selain itu, bisa

menciptakan hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk

menyelesaikan perkara sejenis. Sistem hukum ini menganut doktrin yang dikenal dengan

nama the doctrine of precedent / Stare Decisis. Doktrin ini pada intinya menyatakan

bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan

putusannya pada prinsip hukum yang sudah ada dalam putusan hakim lain dari perkara

sejenis sebelumnya (preseden).

Dalam perkembangannya, sistem hukum ini mengenal pembagian hukum publik dan

hukum privat. Hukum privat dalam sistem hukum ini lebih ditujukan pada kaidah-kaidah

6
hukum tentang hak milik, hukum tentang orang, hukum perjanjian dan tentang perbuatan

melawan hukum. Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur

kekuasaan dan wewenang penguasa/negara serta hubungan-hubungan antara

masyarakat dan negara. Sistem hukum ini mengandung kelebihan dan kekurangan.

Kelebihannya hukum anglo saxon yang tidak tertulis ini lebih memiliki sifat yang fleksibel

dan sanggup menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya karena

hukum-hukum yang diberlakukan adalah hukum tidak tertulis (Common law).

Kelemahannya, unsur kepastian hukum kurang terjamin dengan baik, karena dasar

hukum untuk menyelesaikan perkara/masalah diambil dari hukum kebiasaan

masyarakat/hukum adat yang tidak tertulis.

BAB III

Kesimpulan dan Saran

3.1 Kesimpulan

Urang Kanekes, Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu

kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.

Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu

suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan

tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.

Secara etimoligi "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar

kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang

7
agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan

masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya

Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.

Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes"

sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama

kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek SundaBanten.

Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa

Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah.

Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat,

kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan

saja. Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan

dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun

fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era

Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup

mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes

masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak

dapat membaca atau menulis.

Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan

fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya

perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri

dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional,

sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk

Islam. Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu,

panamping, dan dangka (Permana, 2001).

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy

Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung:

Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya

8
berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang

secara adat untuk bertemu dengan orang asing. Kanekes Dalam adalah bagian dari

keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih

memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka

"Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung

yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung

Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar

(Permana, 2001).

Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 62727 6300 LS dan

10839 106455 BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan

Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung,

Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan

bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 600 m di atas permukaan

laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan

tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah

endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata

20 C. Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar

pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan

selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu. Inti kepercayaan tersebut

ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam

kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh'

(kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau

perubahan sesedikit mungkin.

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di

bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan

9
bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan

dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong

bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah

dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama

panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan

dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas,

yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi

lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada

tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan

beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan

tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air

hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam

keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda

bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik.

Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda

kegagalan panen (Permana, 2003a).

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya,

kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan

keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

3.2 Saran

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:

Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi

Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki

10
Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau

ketua adat)

Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)

Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan

dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.

Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang

dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung

yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk,

Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar

berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.

Adapun peraturan tidak tertulis yang dilaksankan oleh Suku Adat Baduy Dalam :

1. Dilarang membunuh orang

2. Dilarang memarahi orang lain

3. Dilarang menikah lebih dari satu orang

4. Dilarang makan diwaktu malam

5. Dilarang makan minum yang memabukan

6. Dilarang berduaan berlainan jenis

7. Dilarang berzinah

8. Dilarang mencuri

9. Dilarang berbohong

10. Dilarang melanggar adat

11. Dilarang meminta-minta atau mengemis

11
12. Dilarang menyiksa binatang, dsb. (Ahmad Yani dalam Ferry Fathurokhman,

2010: 86)

Pada dasarnya hukum Baduy tercipta untuk menjaga keseimbangan alam dan

bersikap bijak dengan alam. Seperti yang terkandung dari salah satu kalimat pedoman

Baduy yakni lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak

boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Hukuman disesuaikan dengan kategori

pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman

ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Puun untuk

diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain

cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy. Hukuman Berat

diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran

yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan.

Selain mendapat peringatan berat, si terhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga

pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir

bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau

akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Puun dan Jaro.

Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke

Kanekes Luar:

Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.

Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam

Menikah dengan anggota Kanekes Luar

3.3 Hubungan Antara Sistem Hukum Anglo Saxon dengan Suku Baduy Dalam

Sistem hukum anglo saxon merupakan suatu sistem hukum yang didasarkan

pada yurispudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi

dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. . Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih

12
mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan

dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem

jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan

kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata. Putusan hakim/pengadilan

merupakan Sumber hukum dalam sistem hukum Anglo saxon. Dalam sistem hukum ini

peranan yang diberikan kepada seorang hakim sangat luas. Hakim berfungsi tidak hanya

sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum

saja. Hakim juga berperan besar dalam membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat .

Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum

yang berlaku. Selain itu, bisa menciptakan hukum baru yang akan menjadi pegangan

bagi hakim-hakim lain untuk menyelesaikan perkara sejenis. Sistem hukum ini menganut

doktrin yang dikenal dengan nama the doctrine of precedent / Stare Decisis. Doktrin ini

pada intinya menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus

mendasarkan putusannya pada prinsip hukum yang sudah ada dalam putusan hakim lain

dari perkara sejenis sebelumnya (preseden).

Suku Baduy Dalam merupakan contoh yang memakai sistem hukum Anglo

Saxon. Suku Baduy Dalam memiliki hukum yang tidak tertulis dan merupakan warisan

dari leluhur yang mengatur hubungan sesama manusia dan hubungan manusia dengan

alam serta bersifat mengikat yang dengan kata lain, Suku Baduy Dalam melaksanakan

dan diatur oleh hukum tidak tertulis yang diwarisi dari leluhur terdahulu

13
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/14282802/SEJARAH_CIVIL_LAW_DAN_COMMON_LAW_SY

STEM_HUBUNGANNYA_DALAM_PERKEMBANGAN_HUKUM_DI_INDONESIA

shvoong.com/law-and-politics/law/2223074-sistem-hukum-anglo

saxon/m.hukumonline.com/klinik/detail/c11679

Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia,

Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta:

Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan

Gramedia Pustaka Utama.

Permana, C.E. (2001). Kesetaraan gender dalam adat inti jagat Baduy, Jakarta:

Wedatama Widya Sastra.

Permana, C.E. (2003). Arca Domas Baduy: Sebuah referensi arkeologi dalam penafsiran

ruang masyarakat megalitik, Indonesian Arheology on the Net,

Permana, C.E. (2003). Religi dalam tradisi bercocok tanam sederhana, Indonesian

Arheology on the Net

Garna, Judhistira, 1988 Perubahan Sosial Budaya Baduy dalam Nurhadi Rangkuti

(Peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat. Bentara Budaya, KOMPAS, Yogyakarta: Etnodata

Prosindo.

Permana, R. Cecep Eka, 1996 Tata Ruang Masyarakat Baduy. Tesis Antropologi Program

Pascasarjana Universitas Indonesia.

14

Anda mungkin juga menyukai