Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN INDIVIDU

BLOK VIII PENYAKIT TROPIS DAN INFEKSI

SKENARIO 1

PENEGAKKAN DIAGNOSIS DEMAM TIFOID DAN


PENATALAKSANAANNYA

OLEH :

HAFRILIANTIKA RAMADHANI

G0008217

KELOMPOK 5

TUTOR : Sulistyo Santoso, dr.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2009

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada
anak maupun dewasa. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah
kasus demam tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu
kematian tiap tahunnya (Hadonegoro, 2008). Angka kejadian demam tifoid
(typhoid fever) diketahui lebih tinggi pada negara yang sedang berkembang di
daerah tropis, sehingga tak heran jika demam tifoid atau tifus abdominalis banyak
ditemukan di negara kita. Di Indonesia sendiri, demam tifoid masih merupakan
penyakit endemik dan menjadi masalah kesehatan yang serius.
Diagnosis dini demam tifoid sangat diperlukan agar pengobatan yang tepat
dapat segera diberikan sehingga komplikasi dapat dihindari. Kasus demam tifoid
dapat dianalisis dari skenario berikut:
Mahasisiwi 23 tahun mempunyai keluhan sering mual dan muntah selama 1
minggu. Keluhan ini disertai febris 8 hari, yang sifatnya remitten, akan tetapi tidak
sampai menggigil. Kemudian mahasiswi tersebut memeriksakan diri ke dokter,
dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan: febris, bradikardi relatif, lidah kotor dan
tremor, serta hepatosplenomegali. Sebelumnya penderita dicurigai infeksi dan
sudah diberi antibiotik oleh dokter puskesmas tetapi belum sembuh. Diantara
teman satu kos ada yang menderita keluhan yang sama. Lingkungan rumah kos
penderita banyak tikusnya.
Hasil pemeriksaan darah didapatkan leukopeni, tes serologi Widal positif dan IgM
Salmonella typhi meningkat, sedangkan hasil pemeriksaan apusan darah tebal/
tipis malaria negatif. Direncanakan pemeriksaan MAT (Microaglutination Test).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah patogenesis dan patofisiologi gejala pada penyakit yang
diderita pasien?
2. Bagaimanakah penegakkan diagnosis demam tifoid?
3. Bagaimanakah penatalaksanaan kasus tersebut?

1
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui patogenesis dan patofisiologi gejala pada penyakit yang
diderita pasien.
2. Mengetahui penegakkan diagnosis demam tifoid.
3. Mengetahui penatalaksanaan kasus tersebut.

D. MANFAAT PENULISAN
1. Dapat menjelaskan agen infeksius yang menginfeksi dan mengakibatkan
penyakit pada manusia.

2. Dapat menjelaskan jalur masuk agen infeksius ke dalam tubuh manusia.


3. Dapat menjelaskan patofisiologi dan patogenesis penyakit mulai dari
masuknya agen infeksius hingga munculnya gejala klinis pada organ
target.

4. Dapat menjelaskan komplikasi yang mungkin terjadi oleh karena penyakit


infeksi yang berjalan lanjut.

5. Dapat menjelaskan cara penegakkan diagnosis penyakit infeksi mulai dari


pengenalan gejala klinik, pemeriksaan penunjang (laboratoris klinis,
mikrobiologis, dll).

6. Dapat menjelaskan penatalaksanaan penyakit infeksi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Tifoid
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi (Hadinegoro,
2008). S. typhi ialah bakteri gram negatif, berflagela, bersifat anaerobik
fakultatif, tidak berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan
berkembang biak di dalam sel kariotik. Di samping itu, S. typhi mempunyai
beberapa antigen: antigen O, antigen H, antigen Vi dan Outer Membrane
Protein terutama porin OMP (Wardhani dkk, 2005). Berikut penjelasan
macam-macam antigen tersebut:
1. Antigen O, merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida.
2. Antigen H, merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S.
typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1
tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain.
3. Antigen Vi, terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi
kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid. Antigen ini
digunakan untuk mengetahui adanya karier.
4. Outer Membrane Protein (OMP), merupakan bagian dinding sel yang
terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang
membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian
yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama
OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran
hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Protein
nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat
sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan
jelas. (Baron et al., 1994)
Walaupun telah diobati dengan antibiotik, sejumlah kecil penderita
yang sembuh dari demam tifoid akan tetap menyimpan bakteri Salmonella di
dalam usus dan kantung empedu, bahkan selama bertahun-tahun. Orang ini
disebut sebagai carrier kronis yang dapat menyebarkan bakteri melalui tinja

3
mereka dan dapat menginfeksi orang lain. Perlu diwaspadai bahwa seorang
carrier tidak memiliki gejala demam tifoid (Hadinegoro, 2008).
B. Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, mulai dari gejala yang
ringan sekali sehingga tidak terdiagnosis, dengan gejala yang khas (sindrom
demam tifoid), sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi.
Pada orang dewasa, gejala klinis demam tifoid cenderung berat. Beberapa
gejala klinis yang sering terjadi pada demam tifoid adalah sebagai berikut:
Demam
Demam atau panas merupakan gejala utama demam tifoid. Awalnya,
demam hanya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh turun naik yakni
pada pagi hari lebih rendah atau normal, sementara sore dan malam hari
lebih tinggi. Demam dapat mencapai 39-400C. Intensitas demam akan
makin tinggi disertai gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri otot,
pegal, insomnia, anoreksia, mual, dan muntah. Pada minggu ke-2
intensitas demam makin tinggi, kadang terus-menerus. Bila pasien
membaik maka pada minggu ke-3 suhu tubuh berangsur turun dan dapat
normal kembali pada akhir minggu ke-3. Perlu diperhatikan bahwa tidak
selalu ada bentuk demam yang khas pada demam tifoid. Tipe demam
menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi pengobatan atau
komplikasi yang dapat terjadi lebih awal.
Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan terkadang pecah-pecah. Lidah terlihat kotor dan ditutupi
selaput kecoklatan dengan ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor.
Umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama nyeri ulu hati,
disertai mual dan muntah. Penderita dewasa sering mengalami konstipasi.
Gangguan kesadaraan
Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran
ringan. Sering ditemui kesadaran apatis. Bila gejala klinis berat, tak jarang
penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis.
Pada penderita dengan toksik, gejala delirium (mengigau) lebih menonjol.
Hepatosplenomegali
Pada penderita demam tifoid, hati dan atau limpa sering ditemukan
membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri bila ditekan.
Bradikardia relatif

4
Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa
setiap peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8
denyut dalam 1 menit.
Gejala lain
Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose
spot (bintik kemerahan pada kulit) yang biasanya ditemukan di perut
bagian atas, serta gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang
terjadi. Rose spot pada anak sangat jarang ditemukan. (Hadinegoro, 2008)
C. KOmplikasi Demam Tifoid
Beberapa komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah:
Perdarahan usus dan perforasi
Perdarahan usus dan perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu
diwaspadai dari demam tifoid yang muncul pada minggu ke-3. Perdarahan
usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar, nyeri pada
perabaan, seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah dan
terjadinya syok, diikuti dengan perdarahan saluran cerna sehingga tampak
darah kehitaman yang keluar bersama tinja. Perdarahan usus muncul
ketika ada luka di usus halus sehingga membuat gejala seperti sakit perut,
mual, muntah, dan terjadi infeksi pada selaput perut (peritonitis). Jika hal
ini terjadi, diperlukan perawatan medis yang segera.
Komplikasi lain yang lebih jarang
- Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis)
- Pneumonia
- Peradangan pankreas (pankreatitis)
- Infeksi ginjal atau kandung kemih
- Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis)
- Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis
(Hadinegoro, 2008).

5
BAB III
PEMBAHASAN

Penyebaran demam tifoid terjadi melalui makanan dan air yang telah
tercemar oleh tinja atau urin penderita dan carrier (pembawa) demam tifoid.
Patogenesis dimulai saat Salmonella typhi masuk tubuh melalui saluran
pencernaan. Organisme yang tertelan tersebut masuk ke dalam lambung untuk
mencapai usus halus. Asam lambung tampaknya kurang berpengaruh sehingga S.
typhi secara cepat mencapai usus halus bagian proksimal, melakukan penetrasi ke
dalam lapisan epitel mukosa, masuk ke kelenjar getah bening regional/
mesentrium. Selanjutnya, terjadi bakteremia dan kuman sampai di hati, limpa,
sumsum tulang, dan ginjal. S. typhi segera difagosit oleh sel fagosit mononukleus
yang ada di organ tersebut, akan tetapi justru berkembang biak memperbanyak
diri (Karsinah dkk, 1994).
Setelah periode multiplikasi intraseluler, organisme akan dilepaskan
kembali ke dalam aliran darah sehingga terjadi bakteremia kedua, pada saat ini
penderita akan mengalami panas tinggi. Bakteremia ini menyebabkan dua
kejadian kritis, yaitu masuknya kuman ke dalam kantung empedu dan plaque
Peyer. Bila dengan masuknya kuman tersebut terjadi reaksi radang yang hebat,
maka akan terjadi nekrosis jaringan yang secara klinik ditandai dengan perdarahan
dan perforasi usus. Masuknya kuman di kantung empedu dan plaque Peyer
menyebabkan kultur tinja, sedangkan invasi ke dalam kantung empedu sendiri
menyebabkan terjadinya carrier kronik (Karsinah dkk, 1994).
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi
Widodo, 2007). Demam terjadi akibat mediator inflamasi, interleukin-1, mencapai
hipotalamus dan meningkatkan temperatur tubuh dalam waktu 8-10 menit
(Guyton et al., 1997).

6
Diagnosis demam tifoid dapat dilakukan dengan uji serologis Widal.
Walaupun diketahui bahwa uji Widal memiliki banyak keterbatasan dan
penafsiran, tetapi sampai saat ini uji Widal merupakan uji serologis yang paling
banyak dipakai untuk menunjang diagnosis demam tifoid di klinik. Kegunaan uji
Widal untuk diagnosis demam tifoid masih kontroversial di antara para ahli
karena hasil yang berbeda-beda. Sensitivitas dan terutama spesifisitas tes Widal
sangat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan. Penegakkan diagnosis
demam tifoid harus hati-hati karena beberapa faktor dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaannya, antara lain keadaan gizi saat pemeriksaan, pengobatan
antibiotika yang mendahuluinya, daerah endemis, status imunologis, vaksinasi,
penggunaan obat imunosupresif, reaksi silang, dan teknik pemeriksaan (Loho dkk,
2000). Senewiratne et al. (1977) menyatakan bahwa uji Widal bernilai diagnosis
yang tinggi untuk demam tifoid (94,3%), asalkan dapat diketahui titer antibodi
pada orang normal dan penderita demam nontifoid (Wardhani dkk, 2005).
Diagnosis pasti demam tifoid dapat diperoleh dengan identifikasi
Salmonella typhi melalui kultur darah dengan media empedu. Sampel untuk kultur
dapat diambil dari darah, sumsum tulang, tinja, atau urin. Sampel darah diambil
saat demam tinggi pada minggu ke-1. Sampel tinja dan urin pada minggu ke-2 dan
minggu selanjutnya. Kultur memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Sampel
ditanam dalam biakan empedu (gaal culture). Bila positif ditemukan bakteri
Salmonella typhi, maka penderita sudah pasti mengidap demam tifoid. Kultur
sumsum tulang belakang merupakan tes yang paling sensitif untuk Salmonella
typhi. Kultur sampel tinja dan urin dimulai pada minggu ke-2 demam dan
dilaksanakan setiap minggu. Bila pada minggu ke-4 biakan tinja masih positif
maka pasien sudah tergolong carrier (Hadinegoro, 2008).
Penderita demam tifoid dengan gejala klinik seperti pada skenario
sebaiknya dirawat di rumah sakit. Penderita yang dirawat harus tirah baring (bed
rest) dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan
perforasi. Terapi yang diberikan dapat berupa terapi nutrisi, simptomatik, dan
pemberian antibiotik sebagai berikut:
Nutrisi
- Cairan, penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral, yang mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.

7
- Diet, diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, biasanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim,
dan nasi biasa.
Terapi simptomatik
Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan
keadaan umum penderita, yakni vitamin, antipiretik (penurun panas) dan
antiemetik untuk mengobati muntah.
Antibiotik

Antibiotik merupakan satu-satunya terapi yang efektif untuk demam tifoid.


Antibiotik yang diberikan sebagai terapi awal adalah dari kelompok antibiotik lini
pertama untuk demam tifoid. Sampai saat ini kloramfenikol masih menjadi pilihan
pengobatan demam tifoid. (Hadinegoro, 2008).

8
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
1. Patogenesis dan patofisiologi penyakit pasien terjadi saat Salmonella typhi
masuk tubuh melalui saluran pencernaan, selanjutnya, terjadi bakteremia
dan kuman sampai di hati, limpa, sumsum tulang, dan ginjal. Makrofag
yang teraktivasi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi yang
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik.

2. Diagnosis demam tifoid dapat dilakukan dengan uji serologis Widal, tetapi
uji Widal memiliki banyak keterbatasan dan penafsiran. Diagnosis pasti
dapat diperoleh dengan identifikasi Salmonella typhi melalui kultur darah
dengan media empedu.

3. Terapi pada demam tifoid dapat berupa terapi nutrisi, simptomatik, dan
pemberian antibiotik.

B. SARAN
1. Diagnosis demam tifoid pada skenario sebaiknya menggunakan kultur
darah dengan media empedu.
2. Diagnosis dini demam tifoid sangat diperlukan agar pengobatan yang tepat
dapat segera diberikan sehingga komplikasi dapat dihindari.

9
3. DAFTAR PUSTAKA
Baron EJ, Peterson LR, FinegoId SM. 1994. Enterobactericeae. In: Bailey and
Scotts Diagnostic Microbiology. 9th ed. Editors: Carson, D.C., et al.
London: The CV Mosby Co., pp: 36285

Guyton AC, Hall JE. 1997. Suhu Tubuh, Pengaturan Suhu, dan Demam. Dalam
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC, hlm.1152-3

Hadinegoro SRS. 2008. Demam Tifoid pada Anak: Apa yang Perlu Diketahui?
http:// nita-medicastore.com [diakses pada 8 Mei 2009]

Karsinah, Lucky HM, Suharto, Mardiastuti HW. 1994. Batang Negatif Gram.
Dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara,
hlm.168-73

Loho T, Sutanto H, Silman E. 2000. Demam tifoid peran mediator, diagnosis dan
terapi. (Editor: Zulkarnain). Jakarta: FKUI, hlm. 2242

Wardhani P, Prihatini, Probohoesodo MY. 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal


Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory Nov 2005, 12(1): 31-37

Widodo D. 2007. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV. Jakarta: FK UI, hlm. 1752-7

10

Anda mungkin juga menyukai