Anda di halaman 1dari 14

IMPLEMENTASI PRINSIP

RESPONSIBILITY TO PROTECT
PERLINDUNGAN HAM TERHADAP NARAPIDANA
DI INDONESIA

Disusun oleh :
HARIS KUSUMAWARDANA
11010111140569
KAPITA SELEKTA HUKUM INTERNASIONAL
KELAS A

FAKULTAS ILMU HUKUM


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014 / 2015
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

All Human being are born free and equal in dignity and rights, artinya adalah setiap
manusia dilahirkan merdeka (bebas) dan mempunyai hak yang sama. Pengakuan HAM yang
telah diakui secara universal dan dirumuskan dalam Universal Declaration of Human
Rights (UDHR) ini menunjukkan bahwa HAM merupakan hak asasi yang melekat pada diri
setiap manusia tanpa membedakan jenis kelamin, umur, status, ras, kebangsaan, ataupun
perbedaan lainnya.

Pernyataan UDHR di atas merupakan prinsip fundamental dari pengakuan HAM. Prinsip
fundamental tersebut harus benar-benar dipahami oleh semua pihak tanpa terkecuali. Hal ini
dikarenakan karena setiap orang berpotensi melanggar HAM, dan sebaliknya setiap orang
juga berpotensi untuk dilanggar HAM-nya, sekalipun orang tersebut adalah narapidana (para
pelaku kejahatan). Narapidana memang merupakan seseorang yang telah melanggar HAM
orang lain, namun bukan berarti HAM yang melekat pada dirinya dengan serta merta hilang
dan dia boleh diperlakukan semena-mena oleh pihak lain guna menebus semua perbuatan
jahatnya.

Hak asasi manusia (HAM), sering digambarkan sebagai masalah moral yang bersifat
universal. Sebagian HAM itu ada yang bersifat interaliable (tak bisa
dilenyapkan)dan unviolable (tak bisa diganggu gugat). HAM semacam itu disebut
sebagai non-derogable human rights, yaitu hak hak asasi yang tidak dapat diingkari atau
dilanggar sekalipun negara dalam keadaan internal unrest, civil war or public
emergency

Berkaitan dengan non-derogable human rights, Muladi merinci beberapa hak hak yang
termasuk dalam kategori hak asasi sifatnya non-derogable adalah sebagai berikut:

1. a. right to life;

2. b. prohibition of torture;

3. c. prohibition of slavery;

4. d. prohibition of inprisonment solely for inability to fulfill a contractual obligation;

5. e. prohibition of expost facto;

6. f. right to recognition as a person by the law; and

7. g. freedom of religion.
Bertolak dari pemahaman non-derogable human rights di atas, narapidana sebagai seorang
yang dirampas sebagian haknya tentunya tetap berhak memperoleh perlindungan atas hak-
hak asasinya yang bersifat non-derogable sebagaimana yang telah dirinci oleh prof. Muladi.
Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, dikarenakan label narapidana yang melekat pada
dirinya dan dianggap sebagai orang pesakitan oleh sebagian orang, maka seolah-olah seorang
narapidana tidak mempunyai hak apapun.

Tindakan semena-mena atau kekerasan memang rentan sekali terjadi terhadap tersangka,
terdakwa maupun narapidana. Dalam sejarah, penahanan manusia untuk keperluan
pemeriksaan atau pemidanaan ntuk tujuan penghukuman di negara manapun pernah
mengalami masa-masa suram. Negara-negara Eropa barat, dalam hal ini terkenal dengan
penghukuman yang kejam terhadap para pelaku kejahatan, seperti penenggelaman hidup-
hidup, hukum bakar, bahkan hingga abad ke -19, di Belanda masih berlaku tindakan
memberi cap pada tubuh narapidana dengan besi panas yang membara.

Bentuk-bentuk kekerasan semacam memang tidak ada dalam sistem pemidanaan pada zaman
modern saat ini, terlebih lagi sejak adanya pergeseran tujuan pemidanaan yang tidak lagi
diorientasikan pada pembalasan belaka, melainkan lebih diorientasikan pembinaan
narapidana demi terwujudnya rehabilitasi dan resosialisasi. Namun, bukan berarti narapidana
lepas dari segala bentuk kekerasan dalam penjara. Tindak kekerasan dalam bentuk lain yang
berkedok pada rangkaian pembinaan narapidana justru seringkali terjadi. Kita masih ingat
beberapa kasus kekerasan yang menimpa beberapa narapidana, seperti kasus Paris
Pangaribuan di medan pada tahun 1996, kasus Marsinah, tjetje tadjudi, dan kasus lainnya.

Mengingat kondisi narapidana yang rentan sekali mendapat tindakan kekerasan selama
menjalani masa hukumannya, maka sebagai manusia yang juga diakui eksistensinya oleh
hukum, patut kiranya dibahas mengenai Bagaimanakah perlindungan HAM yang diberikan
oleh hukum kepada para narapidana.
II. PEMBAHASAN

A. Hak Asasi Manusia dan Perkembangannya

Pembicaraan dengan mengangkat topik Hak asasi manusia (HAM) dewasa ini memang
seolah-olah tidak pernah ada habisnya. Bagaimana tidak, sejak peristiwa paling
fenomenal Black Tuesday terjadi pada tanggal 11 September 2001, semenjak itu lah, topik
Hak-hak asasi manusia semakin mendapat perhatian khusus dari banyak kalangan, terutama
para akademisi dan praktisi hukum.

Sebenarnya topik mengenai Hak asasi manusia bukan merupakan topik yang baru. Pengakuan
hak-hak manusia bahkan telah ada dalam beberapa dokumen Internasional antara lain, dalam
piagam Magna Charta (tahun 1215), Habeas Corpus Act (tahun 1679), Bill Of Rights (tahun
1689), Di Amerika, pada tahun 1776 menyusun Bill of Rights (Virginia), kemudian
dipertegas lagi dengan Declaration of Independence 1778, Declaration des Droits de
lhomme et du Citoyen (Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara Perancis pada tahun
1789). Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1948 hak-hak asasi manusia diakui
secara Internasional

dengan dikeluarkannya Deklarasi HAM sedunia.

Selanjutnya, Muladi menggambarkan perkembangan HAM ke dalam 3 (tiga bentuk), yaitu:

1. pertama, HAM yang bernuansa hak-hak sipil dan politik, sebagaimana yang tersirat
dan tersurat dalam dalam piagan HAM universal PBB 1948;

2. Kedua, HAM yang berkaitan dengan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, yang
berkembang pada tahun 1966;

3. Ketiga, HAM yang berkaitan dengan hak-hak kolektif, yang dikembangkan pada
tahun 1986.

Hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia semenjak lahir sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa HAM tersebut tidaklah
bersumber dari negara dan hukum, tetapi smata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta
alam semesta beserta isinya, sehingga pada prinsipnya HAM itu tidak dapat dikurangi oleh
siapapun bahkan oleh negara.
Definisi HAM di atas senada dengan definisi HAM yang di rumuskan dalam pasal 1 nomor 1
Undang-undang HAM Nomor39 Tahun 1999 adalah:

Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.

Hak-hak dasar manusia yang merupakan anugerah Tuhan YME dan melekat pada diri setiap
manusia menurut konsep hukum alam terdiri atas: the right to life, the right to liberty, dan the
right to property. Kemudian, pada tahun 1941, Franklin D. Roosevelt menformulasikan
empat macam HAM, yaitu:

1. 1. Freedom of speech;

2. 2. Freedom of Religion;

3. 3. Freedom from fear;

4. Freedom for want.

Dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi


Manusia) 1948 tercantum hak-hak yang paling mendasar yang tidak dapat dipisahkan dari
manusia (unalienable rights of all members of human family), yaitu : hak atas penghidupan
dan keselamatan pribadi (pasal 3). Larangan tentang penghambaan, perbudakan dan
perdagangan budak (pasal 4). Larangan menjatuhkan perlakuan atau pidana yang aniaya dan
kejam (pasal 5). Hak atas pengakuan hukum (pasal 6). Hak atas persamaan di hadapan hukum
dan atas non-diskriminasi dalam pemberlakuannya (pasal 7). Hak atas pemulihan (pasal 8).
Larangan terhadap penangkapan,penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang (pasal
9). Hak atas pengadilan yang adil (pasal 10). Praduga takbersalah dan larangan terhadap
hukum ex post facto(pasal 11). Hak memiliki kewarganegaraan (pasal 16). Hak untuk
memiliki kekayaan (pasal 17). Kebebasan berfikir, berhati nurani dan beragama (pasal
18).

Negara sebagai lembaga kekuasaan tertinggi mempunyai kewajiban untuk melindungi Hak
Asasi Manusia (HAM) warganya melalui sarana hukum yang terintegrasikan dalam undang-
undang HAM. Narapidana sebagai manusia dan warga negara juga berhak atas perlindungan
hukum atas hak-haknya. Mengenai hal ini ditegaskan dalam pasal 12 Universal Declaration
of Human Rights yang menetapkan, bahwa:

no one subjected to arbitrary interference with his privacy, family, or correspondence, or to


attacks upon his honour and reputation, every one has the right to the protection of the law
against such interference or attack (garis bawah oleh penulis).
Hak atas perlindungan hukum bagi narapidana juga dirumuskan dalam pasal 3 ayat (2)
Undang-undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut:

setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil
serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Selanjutnya, dipertegas kembali dalam pasal 5 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:

setiap orang diakui sebagai manusia pribadi, yang berhak menuntut dan memperoleh
perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan
hukum

Pasal 3 ayat (2) dan pasal 5 ayat (1) Undang-undang HAM di atas dengan jelas dan tegas
mengakui persamaan hak dan perlakuan serta perlindungan di mata hukum. Ketentuan
tersebut berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali, baik itu orang baik-baik maupun
narapidana. Dengan berdasarkan ketentuan di atas, maka terhadap setiap bentuk penyiksaan,
penganiayaan, atau tindak kekerasan apapun, narapidana mempunyai hak yang sama di mata
hukum untuk dilindungi dan menuntut keadilan atas kerugian yang dideritanya.

B. Hak-Hak Narapidana

Narapidana menurut pasal 1 nomor 7, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 merupakan


terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan).

Seperti halnya manusia pada umumnya, seorang narapidana mempunyai hak yang sama
meskipun sebagian hak-haknya untuk sementara dirampas oleh negara. Adapun hak-hak
narapidana yang dirampas oleh negara untuk sementara berdasarkan Deklarasi HAM PBB
1948, yaitu:

1. hak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan batas-batas tiap
negara. (pasal 13 ayat (1));

2. hak meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri (pasal 13 ayat (2));

3. hak mengemukakan pendapat, mencari, menerima dan memberi informasi (pasal 19);

4. kebebasan berkumpul dan berserikat (pasal 20);

5. hak memilih dan dipilih (pasal 21);

6. jaminan sosial (pasal 22);

7. hak memilih pekerjaan (pasal 23);

8. hak menerima upah yang layak dan liburan (pasal 24);


9. hak hidup yang layak (pasal 25);

10. hak mendapatkan pengajaran secara leluasa (pasal 26);

11. kebebasan dalam kebudayaan (pasal 27).

Sedangkan hak-hak yang dapat dicabut dalam pasal 35 KUHP dapat dirinci sebagai berikut:

1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;

2. hak memasuki angkatan bersenjata;

3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang didasarkan atas aturan-aturan umum;

4. hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas,
pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan ank-anak sendiri;

5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas


anak sendiri;

6. hak menjalankan pencaharian.

Hak-hak yang dicabut oleh KUHP ini merupakan pidana tambahan yang sifatnya fakultatif.
Artinya, penjatuhan pidana tambahan tidak bersifat serta-merta, tergantung dari pertimbangan
hakim. Dan, tidak pidana pokok senantiasa diiringi dengan pengenaan pidana tambahan
tersebut.

Pada umumnya, Hak-hak narapidana yang tidak dapat diingkari, dicabut oleh negara
sekalipun dan dalam kondisi apapun, adalah seperti yang tercantum dalam Deklarasi HAM
PBB 1948, yaitu: hak atas penghidupan dan keselamatan pribadi (pasal 3). Larangan tentang
penghambaan, perbudakan dan perdagangan budak (pasal 4). Larangan menjatuhkan
perlakuan atau pidana yang aniaya dan kejam (pasal 5). Hak atas pengakuan hukum (pasal 6).
Hak atas persamaan di hadapan hukum dan atas non-diskriminasi dalam pemberlakuannya
(pasal 7). Hak atas pemulihan (pasal 8). Larangan terhadap penangkapan, penahanan atau
pengasingan yang sewenang-wenang (pasal 9). Hak atas pengadilan yang adil (pasal 10).
Praduga tak bersalah dan larangan terhadap hukum ex post facto (pasal 11). Hak memiliki
kewarganegaraan (pasal 16). Hak untuk memiliki kekayaan (pasal 17). Kebebasan berfikir,
berhati nurani dan beragama (pasal 18).

Beberapa hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi HAM PBB ini, juga telah dirumuskan
secara singkat dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang
berbunyi sebagai berikut:

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Hak-hak Asasi manusia yang telah tersebut di atas, kemudian dijabarkan lagi dalam pasal 14
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu:

1. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan;

2. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

3. mendapatkan pendidikan dan pengajaan;

4. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

5. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masaa lainnya yang tidak
larangan;

6. mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

7. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya;

8. mendapat pengurangan masa pidana (remisi);

9. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

10. mendapatkan pembebasan bersyarat;

11. mendapatkan cuti menjelang bebas;

12. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundnag-undangan yang


berlaku.

Manual lembaga Pemasyarakatan mengatur setidaknya ada 5 (lima) hak narapidana yang
diberikan apabila narapidan tersebut telah memenuhi persyaratan tertentu. Hak hak tersebut
adalah:

1. mengadakan hubungan terbatas dengan pihak luar;

Negara tidak berhak membuat seorang narapidana menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Selama menjalani masa hukumannya, seorang narapidana harus secara berangsur-angsur
diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Antara lain
dengan cara: surat menyurat dan kunungan keluarga.

2. memperoleh remisi;
Setiap 17 Agustus 1945, berdasarkan Keppres Nomor 5 Tahun 1987, setiap narapidana yang
berkelakuan baik, telah berjasa kepada negara, melakuakn perbuatan yang bermanfaat bagi
negara atau kemanusiaan, dan narapidana yang membantu kegiatan dinas LAPAS, akan
memperoleh remisi.

3. memperoleh asimilasi;

Selama kehilangan kemerdekaannya, seorang narapidana harus secara berangsur-angsur


diperkenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Asimilasi
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: asimilasi ke dalam (yaitu, hadirnya masyarakat ke
dalam LP), dan asimilasi ke luar (yaitu, hadirnya narapidana di tengah-tengah masyarakat).

1. memperoleh cuti;

2. memperoleh pembebasan bersyarat.

Hak ini merupakan hak pengintegrasian narapidana, yaitu hak narapidana untuk sepenuhnya
berada di tengah-tengah masyarakat, dengan syarat narapidana tersebut telah menjalani 2/3
dari masa hukumannya. Narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat ini tetap
diawasi oleh BAPAS dan Jaksa negeri setempat.

C. Perlindungan Hukum Terhadap HAM Narapidana

Perlindungan hukum narapidana dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap
berbagai kebebasan dan hak asasi narapidana (fundamental rights and freedoms of prisoners)
serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan narapidana. (definisi ini
merupakan hasil modifikasi penulis dari definisi perlindungan Hukum Anak, oleh Barda
Nawawi Arief).

Perlindungan hukum atas hak-hak narapidana di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-Asasi Manusia, dan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Inti perlindungan narapidana adalah terwujudnya pembinaan narapidana sesuai dengan sistem
pemasyarakatan yang diberlakukan dalam Undang-undang Pemasyarakatan.

Sistem pemasyarakatan adalah suatu susunan elemen yang berintegrasi yang membentuk
suatu kesatuan yang integral membentuk konsepsi tentang perlakuan terhadap orang yang
melanggar hukum pidana atas dasar pemikiran rehabilitasi, resosialisasi, yang berisi unsur
edukatif, korektif, defensif dan yang beraspek individu dan sosial.

Bertolak dari pemahaman mengenai sistem pemasyarakatan tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa tujuan dari pembinaan narapidana itu sendiri tidak lain adalah rehabilitasi dan
resosialisasi narapidana, dengan menyertakan unsur-unsur edukatif, korektif dan defensif.
Tujuan pembinaan ini menunjukkan bahwa tindakan-tindakan yang tidak bernilai edukatif,
korektif dan defensif dalam proses pembinaan tidak dibenarkan, apalagi tindakan tindakan
yang memenuhi tindak pidana seperti halnya penyiksaan ataupun penganiayaan.

Tindak pidana yang kerapkali menimpa narapidana di dalam penjara adalah tindak pidana
yang melibatkan unsur-unsur kekerasan di dalamnya, baik yang dilakukan oleh sesama
narapidana, maupun oleh petugas LP. Dalam Declaration Against Torture and Other Cruel in
Human Degrading Treatment or Punishment (adopted by the general assembly, 9 Desember
1975), dengan tegas melarang semua bentuk:

penganiayaan atau tindakan kejam lain, perlakuan dan pidana yang tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia dan merupakan pelanggaran hak-hak dasar manusia.

Pembinaan narapidana mengandung makna memperlakukan seseorang yang berstatus


narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian
pembinaan yang demikian itu sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti
narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan orang
lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan
yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi luhur dan bermoral
tinggi.

Demi menghindari tindakan yang mengandung penyiksaan atau bentuk kekerasan lainnya,
maka pembinaan narapidana harus didasarkan atas pedoman-pedoman yang telah diatur
dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu:

1. Pengayoman

2. Persamaan perlakuan dan pelayanan;

3. Pendidikan;

4. Pembimbingan;

5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Menurut Muladi, Pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang


sering disebut theurapetics proccess, yakni membina narapidana dalam arti menyembuhkan
seseorang yang tersesat hidupnya karena kelemahan-kelemahan tertentu.

Bertolak dari pemikiran prof. Muladi di atas, menurut penulis jika narapidana dianggap
sebagai orang yang sedang sakit atau tersesat, maka pembinaan yang dikenakan terhadapnya
harus benar-benar arif dan bijaksana. Bila dianalogikan sebagai orang sakit, tentunya masing-
masing narapidana mempunyai penyakit yang berbeda-beda, dan proses penyembuhannya
dan obatnya pun berbeda juga. Demikian pula halnya dengan pembinaan narapidana, petugas
LP seharusnya memberikan pembinaan yang juga disesuaikan dengan kondisi dari narapidana
itu sendiri, tanpa adanya tindakan-tindakan pembinaan di luar kewajaran.

Tindakan kekerasan apapun tidak dibenarkan sebagai salah satu metode pembinaan
narapidana. Konsep ini harus dipahami oleh setiap narapidana. Menurut pasal 5 Code of
Conduct for Law Enforcement Officials menegaskan bahwa: Tak seorang petugas penegak
hukum pun boleh menimbulkan, mendorong atau mentoleransi tindakan
penyiksaan.juga tidak dapat mengemukakan perintah atasan atau keadaan luar
biasa.sebagai pembenaran penyiksaan.

Selanjutnya kembali dipertegas pasal 10.1 International Convenant Civil Politic


Rights (ICCPR) bahwa: Semua orang yang dicabut kebebasannya akan diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabat yang menjadi sifat pribadi manusiawi
mereka.

Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya


penderitaan yang dikenakan terhadap narapidana. Oleh karena itu, narapidana harus tetap
diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang menjadi sifat
pribadi manusia mereka.

Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan


pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,memperbaiki diri dan
tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai
warga yang baik dan bertanggung jawab.

Dalam rangka mencapai tujuan pembinaan narapidana, sistem kepenjaraan ini memberi
pedoman yang disebut Sepuluh prinsip pemasyarakatan, ialah:

1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup
sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat;

2. penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara;

3. rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan;

4. negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat
daripada sebelum ia masuk lembaga;

5. selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada


masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;

6. pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau
hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang
diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara;
7. bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila;

8. tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah
tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat;

9. narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan;

10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem
pemasyarakatan.

Sistem pemasyarakatan di Indonesia seringkali mendapat kritikan tajam, karena dianggap


tidak berhasil dalam menyelenggarakan pembinaan pada para narapidana dan masih
menyisakan metode-metode kolonial, sehingga melanggar HAM dari narapidana. Menurut
penulis, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Ditinjau dari hukum positif Indonesia
(baik Undang-undang HAM dan Undang-undang Pemasyarakatan), sebenarnya perlindungan
hukum HAM narapidana sebagian besar telah diatur dalam kedua undang-undang tesebut.
Dengan kata lain, kedua undang-undang tersebut telah cukup memberikan perlindungan bagi
narapidana.

Menurut penulis, terjadinya praktek-praktek kekerasan terhadap para narapidana, perlu


dipahami kembali bahwa keberhasilan sistem peradilan pidana tidak hanya ditentukan oleh
kualitas dari hukum substantifnya saja, melainkan juga ditentukan oleh kualitas perilaku para
penegak hukum atau pelaksana hukum itu sendiri dan kualitas . Bukankah hukum itu tidak
lain adalah it doesnt matter what the law says. What matters is what the guy behind the
desk inteprets the law says. Artinya tidak lain adalah bahwa hukum juga tergantung pada
para penegak hukum/pelaksana hukum dalam mengintepretasikan hukum itu sendiri.
III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa:

Narapidana seperti halnya manusia pada umumnya mempunyai hak-hak yang juga harus
dilindungi oleh hukum. Hak-hak yang harus dilindungi tersebut terutama hak-hak yang
sifatnya non-derogable, yakni hak hak yang tidak dapat diingkari atau diganggu gugat oleh
siapapun dan dalam keadaan apapun.

Adapun hak-hak asasi tersebut dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 dirinci
sebagai berikut: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran,
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut.

Selanjutnya, dijabarkan lagi dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang


Pemasyarakatan, yakni di antaranya: hak untuk memperoleh remisi, hak beribadah,hak untuk
mendapat cuti, hak untuk berhubungan dengan orang luar secara terbatas, hak memperoleh
pembebasan bersyarat, dan hak-hak lainnya seperti yang tercantum dalam pasal 14 Undang-
undang Pemasyarakatan.

Perlindungan hukum terhadap HAM narapidana telah cukup dilindungi oleh hukum positif
Indonesia (Undang-undang HAM dan Undang-undang Pemasyarakatan), yakni dalam bentuk
Pembinaan yang diorientasikan pada rehabilitasi dan resosialisasi narapidana. Namun pada
kenyataannya, masih banyak terjadi praktek-praktek pelanggaran HAM di dalam LP yang
dilakukan oleh petugas LP, yaitu dengan menggunakan metode-metode kekerasan dalam
membina narapidana.
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 1998: Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung
Cessasse, Antonio, 1994:Hak Asasi Manusia Di Dunia Yang Berubah, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta
Effendi, Masyhur, 1994:Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta
Jaya, Nyoman Serikat Putra, 2001: Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit
UNDIP, Semarang
Lopa, Baharudin, 2001: Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Penerbit Kompas,
Jakarta
Loqman, Loebby, 2002 : Pidana dan Pemidanaan, Penerbit Data Com, Jakarta
Muladi, 2002 : Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
UNDIP, Semarang
Penerapan Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia, Seminar Nasional Asas-Asas
Hukum Pidana Nasional, Diselenggarakan Di Hotel Ciputra, Semarang, tanggal 26-27 April
2004
Nitibaskara, Tubagus Ronny Rahman, 2000 : Ketika Kejahatan Berdaulat, Penerbit
Peradaban, Jakarta
Purnomo, Bambang, 1982 : Kumpulan Karangan Ilmiah, Bina Aksara, Bandung
, 1980 : Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Penerbit Liberty,
Yogyakarta
Rover, C.De, 2000 :To Serve and To Protect, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Anda mungkin juga menyukai