Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Seksio sesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan janin dengan pembedahan
dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi). Definisi ini tidak termasuk
pengangkatan fetus dari dalam rongga abdomen pada kasus-kasus ruptura uteri atau pada
kasus kehamilan abdominal. Dewasa ini tindakan ini jauh lebih aman dari pada dahulu
berhubung sudah tersedia obat antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang lebih
sempurna dan anastesi yang sudah baik.1
Sekarang ini ada kecendrungan untuk melakukan seksio sesarea tanpa dasar yang
cukup kuat. Perlu diingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami seksio sesarea merupakan
seseorang yang mempunyai parut dalam uterus dan tiap kehamilan serta persalinan
berikutnya memerlukan pengawasan yang lebih cermat.1

Pada pasien dengan riwayat persalinan sesar sebelumnya dan memerlukan induksi
persalinan untuk kehamilan selanjutnya, kepada mereka ditawarkan dua pilihan: seksio sesar
ulangan atau induksi persalinan. Adanya risk dan benefit pada kedua cara persalinan tersebut.
Perhatian yang lebih besar dihubungkan dengan induksi persalinan dengan adanya parut
uterus. Kemungkinan meningkatnya risiko terjadinya ruptura parut uterus, yang dapat
mengancam kehidupan ibu dan bayi.2
Seorang wanita yang pernah menjalani operasi sesar jika hamil lagi mempunyai 2
pilihan persalinan yaitu operasi sesar lagi atau persalinan pervaginam (vaginal birth after
cesarean section atau yang disebut VBAC). Selama bertahun-tahun, uterus yang memiliki
jaringan parut dianggap merupakan kontraindikasi untuk melahirkan normal karena
kekhawatiran untuk terjadinya ruptura uteri. Menurut panduan yang dikeluarkan oleh
American College of Obstetricians and Gynecologists, wanita yang memiliki riwayat seksio
sesarea dua kali atau riwayat operasi rahim sebelumnya dapat diberikan kesempatan memilih
persalinan pervaginam.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
VBAC (Vaginal Birth After Cesarean-section) adalah proses melahirkan normal
setelah pernah melakukan seksio sesarea. VBAC menjadi isu yang sangat penting dalam
ilmu kedokteran khususnya dalam bidang obstetrik karena pro dan kontra akan tindakan
ini. Baik dalam kalangan medis ataupun masyarakat umum selalu muncul pertanyaan,
apakah VBAC aman bagi keselamatan ibu. Pendapat yang paling sering muncul adalah
orang yang pernah melakukan seksio harus seksio untuk selanjutnya. Juga banyak para
ahli yang berpendapat bahawa melahirkan normal setelah pernah melakukan seksio
sesarea sangat berbahaya bagi keselamatan ibu dan seksio adalah pilihan terbaik bagi ibu
dan anak.
VBAC belum banyak diterima sampai akhir tahun 1970an. Melihat peningkatan
angka kejadian seksio sesarea oleh United States Public Health Service, melalui
Consensus Development Conference on Cesarean Child Birth pada tahun 1980
menyatakan bahwa VBAC dengan insisi uterus transversal pada segmen bawah rahim
adalah tindakan yang aman dan dapat diterima dalam rangka menurunkan angka kejadian
seksio sesarea pada tahun 2000 menjadi 15% (Cunningham FG, 2001). Pada tahun 1989
National Institute of Health dan American College of Obstetricans and Gynecologists
mengeluarkan statemen, yang menganjurkan para ahli obstetri untuk mendukung "trial of
labor" pada pasien-pasien yang telah mengalami seksio sesarea sebelumnya, dimana
VBAC merupakan tindakan yang aman sebagai pengganti seksio sesarea ulangan
(O'Grady JP, 1995, Caughey AB, Mann S, 2001). Walau bagaimanapun, mulai tahun 1996
jumlah percobaan partus pervaginal telah berkurang dan menyumbang kepada peningkatan
jumlah partus secara seksio sesarea ulang.
Berbagai faktor medis dan nonmedis diperkirakan menjadi faktor penurunan
jumlah percobaan partus pevaginam ini. Faktor-faktor ini sebenarnya masih belum
difahami dengan jelas. Salah satu faktor yang paling sering dikemukan para ahli adalah
resiko ruptur uteri. Pada tindakan percobaan partus pervaginal yang gagal, yaitu pada
maternal yang harus melakukan seksio sesarea ulang didapati resiko komplikasi lebih
tinggi berbanding VBAC dan partus secara seksio sesarea elektif. Faktor nonmedis
termasuklah restriksi terhadap akses percobaan partus pervaginal.
B. Prasyarat VBAC
Panduan dari American College of Obstetricians and Gynecologists pada tahun
1999 dan 2004 tentang VBAC atau yang juga dikenal dengan trial of scar memerlukan
kehadiran seorang dokter ahli kebidanan, seorang ahli anastesi dan staf yang mempunyai
keahlian dalam hal persalinan dengan seksio sesarea emergensi. Sebagai penunjangnya
kamar operasi dan staf disiagakan, darah yang telah di-crossmatch disiapkan dan alat
monitor denyut jantung janin manual ataupun elektronik harus tersedia (Caughey AB,
Mann S, 2001).
Pada kebanyakan senter merekomendasikan pada setiap unit persalinan yang
melakukan VBAC harus tersedia tim yang siap untuk melakukan seksio sesarea emergensi
dalam waktu 20 sampai 30 menit untuk antisipasi apabila terjadi fetal distress atau ruptur
uteri (Jukelevics N, 2000).

C. Faktor yang Berpengaruh


Seorang ibu hamil dengan bekas seksio sesarea akan dilakukan seksio sesarea
kembali atau dengan persalinan pervaginam tergantung apakah syarat persalinan
pervaginam terpenuhi atau tidak. Setelah mengetahui ini dokter mendiskusikan dengan
pasien tentang pilihan serta resiko masing-masingnya. Tentu saja hak pasien untuk
meminta jenis persalinan mana yang terbaik untuk dia dan bayinya.

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan persalinan pada pasien bekas


seksio sesarea telah diteliti selama bertahun-tahun. Ada banyak faktor yang dihubungkan
dengan tingkat keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio.

1. Teknik operasi sebelumnya

Pasien bekas seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim transversal merupakan
salah satu syarat dalam melakukan persalinan pervaginam, dimana pasien dengan tipe
insisi ini mempunyai resiko ruptura yang lebih rendah dari pada tipe insisi lainnya.
Bekas seksio sesarea klasik, insisi T pada uterus dan komplikasi yang terjadi pada
seksio sesarea yang lalu misalnya laserasi serviks yang luas merupakan kontraindikasi
melakukan persalinan pervaginam.

2. Jumlah seksio sesarea sebelumnya


Flamm tidak melakukan persalinan pervaginam pada semua bekas seksio
sesarea korporal maupun pada kasus yang pernah seksio sesarea dua kali berurutan
atau lebih, sebab pada kasus tersebut diatas seksio sesarea elektif adalah lebih baik
dibandingkan persalinan pervaginam

Risiko ruptura uteri meningkat dengan meningkatnya jumlah seksio sesarea


sebelumnya. Pasien dengan seksio sesarea lebih dari satu kali mempunyai resiko yang
lebih tinggi untuk terjadinya ruptura uteri. Ruptura uteri pada bekas seksio sesarea 2
kali adalah sebesar 1.8 3.7 %. Caughey dan kawan-kawan mendapatkan bahwa
pasien dengan bekas seksio sesarea 2 kali mempunyai risiko ruptura uteri lima kali
lebih besar dari bekas seksio sesarea satu kali. Spaan dkk mendapatkan bahwa riwayat
seksio sesarea yang lebih satu kali mempunyai resiko untuk seksio sesarea ulang lebih
tinggi.

Jamelle (1996) menyatakan diktum sekali seksio sesarea selalu seksio sesarea
tidaklah selalu benar, tetapi beliau setuju dengan setelah dua kali seksio sesarea selalu
seksio sesarea pada kehamilan berikutnya , dimana diyakini bahwa komplikasi pada ibu
dan anak lebih tinggi.

Farmakides dkk (1987) melaporkan 77 % dari pasien yang pernah seksio


sesarea dua kali atau lebih yang diperbolehkan persalinan pervaginam dan berhasil
dengan luaran bayi yang baik. ACOG 1999 telah memutuskan bahwa pasien dengan
bekas seksio dua kali boleh menjalani persalinan pervaginam dengan pengawasan yang
ketat

Miller 1994 melaporkan bahwa insiden ruptura uteri terjadi 2 kali lebih sering
pada persalinan ibu dengan riwayat seksio sesarea 2 kali atau lebih. Keberhasilan
persalinan pervaginam bekas seksio sesarea 1 kali adalah 83 % dan 75 % keberhasilan
persalinan pervaginam bekas seksio sesarea 2 kali atau lebih.

3. Penyembuhan luka pada seksio sesarea sebelumnya

Pada seksio sesarea insisi kulit pada dinding abdomen biasanya melalui
"potongan bikini" dan kadang-kadang pemotongan atas bawah yang disebut insisi kulit
vertikal. Kemudian pemotongan dilanjutkan sampai ke uterus. Daerah uterus yang
ditutupi oleh kandung kencing disebut segmen bawah rahim, hampir 90 % insisi uterus
dilakukan di tempat ini berupa sayatan kesamping (seperti potongan bikini). Cara
pemotongan uterus seperti ini disebut " Low Transverse Cesarean Section ". Insisi
uterus ini ditutup/jahit akan sembuh dalam 2 6 hari. Insisi uterus dapat juga dibuat
dengan potongan vertikal yang dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan ini
dilakukan pada otot uterus. Luka pada uterus dengan cara ini mungkin tidak dapat
pulih seperti semula dan dapat terbuka lagi sepanjang kehamilan atau persalinan
berikutnya. Depp R menganjurkan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea,
terkecuali ada tanda-tanda ruptura uteri mengancam, parut uterus yang sembuh
persekundum pada seksio sesarea sebelumnya atau jika adanya penyulit obstetrik lain
ditemui.

Rosenberg (1996) menjelaskan bahwa dengan pemeriksaan Ultra sonografi


USG trans abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat diketahui ketebalan segmen
bawah rahim . Ketebalan SBR 4,5 mm pada usia kehamilan 37 minggu adalah petanda
parut yang sembuh sempurna. Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika
ketebalan SBR < 3,5 mm. Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada kehamilan 37
minggu dapat sebagai alat skrining dalam memilih cara persalinan bekas seksio sesarea.

Willams menyatakan bahwa penyembuhan luka seksio sesarea adalah suatu


regenerasi dari fibromuskuler dan bukan pembentukan jaringan sikatrik. Dasar dari
keyakinan ini adalah dari hasil pemeriksaan histologi dari jaringan di daerah bekas
sayatan seksio sesarea dan dari 2 tahap observasi yang pada prinsipnya :

a. Tidak tampak atau hampir tidak tampak adanya jaringan sikatrik pada uterus pada
waktu dilakukan seksio sesarea ulangan.

b. Pada uterus yang diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik atau hanya
ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus tanpa
ditemukannya sikatrik diantaranya.

Mason menyatakan bahwa kekuatan sikatrik pada uterus pada penyembuhan


luka yang baik adalah lebih kuat dari miometrium itu sendiri. Hal ini telah
dibuktikannya dengan memberikan regangan yang ditingkatkan dengan penambahan
beban pada uterus bekas seksio sesarea (hewan percobaan). Ternyata pada regangan
maksimal terjadi ruptura bukan pada jaringan sikatriknya tetapi pada jaringan
miometrium dikedua sisi sikatrik.

Dari laporan-laporan klinis pada uterus gravid bekas seksio sesarea yang
mengalami ruptura selalu terjadi pada jaringan otot miometrium sedangkan sikatriknya
utuh. Yang mana hal ini menandakan bahwa jaringan sikatrik yang terbentuk relatif
lebih kuat dari jaringan miometrium itu sendiri.

Dua hal yang utama penyebab dari gangguan pembentukan jaringan sehingga
menyebabkan lemahnya jaringan parut tersebut adalah :

a. Infeksi, bila terjadi infeksi akan mengganggu proses penyembuhan luka.

b. Kesalahan teknik operasi (technical errors) seperti tidak tepatnya pertemuan kedua
sisi luka, jahitan luka yang terlalu kencang, spasing jahitan yang tidak beraturan,
penyimpulan yang tidak tepat, dan lain-lain.

Cooke menyatakan jahitan luka yang terlalu kencang dapat menyebabkan


nekrosis jaringan sehingga merupakan penyebab timbulnya gangguan kekuatan sikatrik,
hal ini lebih dominan dari pada infeksi ataupun technical error sebagai penyebab
lemahnya sikatrik.

Alasan melakukan seksio sesarea ulangan secara rutin sebagai tindakan


profilaksis terhadap kemungkinan terjadinya ruptura uteri tidak benar lagi. Pengetahuan
tentang penyembuhan luka operasi, kekuatan jaringan sikatrik pada penyembuhan luka
operasi yang baik dan pengetahuan tentang penyebab-penyebab yang dapat
mengurangi kekuatan jaringan sikatrik pada bekas seksio sesarea, menjadi panduan
apakah persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea dapat dilaksanakan atau
tidak.

Pada sikatrik uterus yang intak tidak mempengaruhi aktivitas selama kontraksi
uterus. Aktivitas uterus pada multipara dengan bekas seksio sesarea sama dengan
multipara tanpa seksio sesarea yang menjalani persalinan pervaginam

4. Indikasi operasi pada seksio sesarea yang lalu

Indikasi seksio sesarea sebelumnya akan mempengaruhi keberhasilan persalinan


pervaginam pada bekas seksio sesarea, CPD memberikan keberhasilan persalinan
pervaginam sebesar 60 65 %. Fetal distress memberikan keberhasilan sebesar 69 73
%.

Keberhasilan persalinan pervaginam pada pasien bekas seksio sesarea


ditentukan juga oleh keadaan dilatasi servik pada waktu dilakukan seksio sesarea yang
lalu. Persalinan pervaginam berhasil 67 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan
pada saat pembukaan serviks kecil dari 5 cm, dan 73 % pada pembukaan 6 sampai 9
cm. Keberhasilan persalinan pervaginam menurun sampai 13 % apabila seksio sesarea
yang lalu dilakukan pada keadaan distosia pada kala II.

Menurut Troyer (1992) pada penelitiannya mendapatkan keberhasilan


penanganan VBAC boleh dihubungkan dengan indikasi seksio sesarea yang lalu seperti
pada tabel dibawah ini :

Indikasi Seksio Lalu Keberhasilan VBAC (%)


Letak Sungsang 80.5
Fetal Distress 80.7
Solusio Plasenta 100
Plasenta Previa 100
Gagal Induksi 79.6
Disfungsi Persalinan 63.4

5. Usia ibu

Usia ibu yang aman untuk melahirkan adalah sekitar 20 tahun sampai 34 tahun.
Usia melahirkan dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun digolongkan resiko tinggi. Dari
penelitian didapatkan wanita yang berumur lebih dari 35 tahun mempunyai angka
seksio sesarea yang lebih tinggi. Wanita yang berumur lebih dari 40 tahun dengan
bekas seksio sesarea mempunyai resiko kegagalan untuk persalinan pervaginam lebih
besar tiga kali dari pada wanita yang berumur kurang dari 40 tahun.

Weinstein dkk mendapatkan pada penelitian mereka bahwa faktor umur tidak
bermakna secara statistik dalam mempengaruhi keberhasilan persalinan pervaginam
pada bekas seksio sesarea.

6. Usia kehamilan saat seksio sesarea sebelumnya

Pada usia kehamilan < 37 minggu dan belum inpartu misalnya pada plasenta
previa dimana segmen bawah rahim belum terbentuk sempurna kemungkinan insisi
uterus tidak pada segmen bawah rahim dan dapat mengenai bagian korpus uteri yang
mana keadaannya sama dengan insisi pada seksio sesarea klasik.

7. Riwayat persalinan pervaginam


Riwayat persalinan pervaginam baik sebelum ataupun sesudah seksio sesarea
mempengaruhi prognosis keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio
sesarea.

Pasien dengan bekas seksio sesarea yang pernah menjalani persalinan


pervaginam memiliki angka keberhasilan persalinan pervaginam yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien tanpa persalinan pervaginam . Pada bekas seksio sesarea
yang sesudahnya pernah berhasil dengan persalinan pervaginam, makin berkurang
kemungkinan ruptura uteri pada kehamilan dan persalinan yang akan datang.
Walaupun demikian ancaman ruptura uteri tetap ada pada masa kehamilan maupun
persalinan, oleh sebab itu pada setiap kasus bekas seksio sesarea harus juga
diperhitungkan ruptura uteri pada kehamilan trimester ketiga terutama saat menjalani
persalinan pervaginam.

8. Keadaan serviks pada saat inpartu

Flamm mengatakan bahwa penipisan serviks serta dilatasi serviks memperbesar


keberhasilan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea. Guleria dan Dhall 1997
menyatakan bahwa laju dilatasi seviks mempengaruhi keberhasilan penanganan
persalinan pervaginam bekas seksio sesarea. Dari 100 pasien bekas seksio sesarea
segmen bawah rahim di dapat 84 % berhasil persalinan pervaginam sedangkan sisanya
adalah seksio sesarea darurat. Gambaran laju dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea
yang berhasil pervaginam pada fase laten rata-rata 0.88 cm/jam. Fase aktif 1.25
cm/jam. Sedangkan laju dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang gagal
pervaginam pada fase laten rata-rata 0.44 cm / jam dan fase aktif adalah 0.42 cm
/jam.

Induksi persalinan dengan misoprostol akan meningkatkan resiko ruptura uteri


pada wanita dengan bekas seksio sesarea. Dijumpai adanya 1 kasus ruptura uteri bekas
seksio sesaraea segmen bawah rahim transversal selama dilakukan pematangan serviks
dengan transvaginal misoprostol sebelum tindakan induksi persalinan.

9. Keadaan selaput ketuban

Carrol 1990 melaporkan pasien dengan ketuban pecah dini (KPD) pada usia
kehamilan diatas 37 minggu dengan bekas seksio sesarea (56 kasus) proses
persalinannya dapat pervaginam dengan menunggu terjadinya inpartu spontan dan
didapat angka keberhasilan yang tinggi (91 % ) dengan menghindari pemberian induksi
persalinan dengan oxytosin, dengan rata-rata lama waktu antara terjadinya KPD sampai
terjadinya persalinan adalah 42,6 jam dengan keadaan ibu dan bayi baik.

D. Induksi Persalinan
McDonagh MS et al dalam suatu sistematik review mengidentifikasi 14 penelitian
dan belum ada suatu penelitian yang baik untuk mengetahui keuntungan dan kerugian
induksi persalinan pada pasien dengan persalinan sesar sebelumnya. Mereka mendapatkan
bahwa induksi lebih sering mengakibatkan persalinan secara sesar dibandingkan dengan
persalinan spontan, yang secara tak terduga konsisten terlihat pada pasien tanpa parut
uterus. Angka persalinan sesar pada pasien dengan riwayat sesar yang mengalami
persalinan spontan dan induksi dengan oksitosin kira-kira 20% (11-35%) dan 32% (18-
44%). (Wing)

Dodd JM et al pada suatu sistematik review yang lain menduga risiko ruptura parut
uterus pada lebih dari 20 ribu pasien dengan riwayat sesar antara tahun 1987-1996. Rata-
rata terjadi ruptur 4,5 per 1000 (91 dari 20.095). Pada persalinan dengan induksi perlu
pertimbangan selanjutnya terhadap risiko yang berhubungan dengan induksi prostaglandin
dan non-prostaglandin. Sedangkan McDonagh mengemukakan OR ruptur uteri adalah
6,15 (95% CI 0,74-51,4) untuk induksi persalinan dibanding dengan persalinan spontan.

1. Induksi dengan oksitosin


Suatu sistematik review secara retrospektif mengumpulkan data bahwa pada
pasien dengan riwayat persalinan sesar tidak didapatkan gangguan parut uterus yang
lebih besar pada pasien yang menggunakan oksitosin dalam persalinan dibandingkan
dengan persalinan spontan. (OR 2,1 95% CI 0,76-5,78). Hasil ini memberikan
pengertian yang serius karena tidak adanya data yang cukup dari percobaan random,
kualitas kontrol penelitian yang kurang baik dan pengamatan yang kebanyakan
rangkaian dilaporkan tentang peningkatan risiko ruptura uteri dengan induksi tetapi
dengan interval kepercayaan yang luas sehingga arti statistik tidak bisa ditunjukkan.
Penting juga dicatat bahwa maksimal dosis oksitosin yang digunakan jarang dilaporkan
dengan begitu ambang batas dosis yang dapat menyebabkan ruptura uteri tidak dapat
dipastikan dari data yang ada.

Suatu penelitian prospektif terbesar mengevaluasi risiko ruptura pada wanita


dengan satu atau lebih persalinan sesar (n=17.898 trials of labor dan 15.801 seksio
sesar ulangan) tidak tercakup dari analisis tersebut di atas. Dalam rangkaian ini wanita
yang di induksi dengan oksitosin secara signifikan mempunyai risiko tertinggi terjadi
ruptura uteri dibanding dengan persalinan spontan (OR 3.01, 95% CI 1,66-5,46). Angka
kategori kejadian ruptura uteri adalah:

a. Seksio sesar ulangan belum dalam persalinan adalah 0

b. Persalinan spontan adalah 4 dari 1000

c. Induksi persalinan dengan oksitosin adalah 11 dari 1000

Data ini tidak memberikan kesimpulan yang pasti seperti pada penggunaan
oksitosin untuk induksi persalinan pada wanita yang mencoba vaginal birth after
caesarean (VBAC) yang berhubungan peningkatan risiko ruptura uteri. Yang pasti
pengambilan keputusan klinis seperti pada penggunaan oksitosin pada pasien dengan
riwayat sesar dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk ada tidaknya aktivitas uterus
sebelumnya, kondisi pembukaan serviks, usia kehamilan saat induksi, riwayat
persalinan vaginal sebelumnya dan indikasi induksi. Tidak adanya data yang pasti
menunjukkan risiko tinggi ruptura, Wing et all menggunakan oksitosin untuk induksi
persalinan pada VBAC jika ada indikasi standar obstetrik.

2. Induksi dengan prostaglandin

Sama halnya dengan oksitosin, pada penggunaan prostaglandin belum ada data
dari percobaan random yang besar dan kurangnya data dari kontrol penelitian yang
berkualitas sebagai dasar rekomendasi penggunaan prostaglandin atau agen lain untuk
induksi pada VBAC.
Perhatian tentang penggunaan prostaglandin muncul setelah adanya publikasi
penelitian cohort dari 20.095 primipara yang melahirkan bayi tunggal secara sesar dan
sesudahnya melahirkan bayi kedua. Angka kejadian rupture adalah:
a. Seksio sesar ulangan belum dalam persalinan adalah 1,6/1000

b. Persalinan spontan adalah 5,2/1000

c. Induksi bukan prostaglandin adalah 7,7/1000

d. Induksi prostaglandin adalah 24,5/1000


Kejadian ruptura pada persalinan spontan dan persalinan induksi bukan dengan
prostaglandin secara signifikan tidak berbeda, tetapi keduanya lebih tinggi dibanding
dengan seksio sesar ulangan belum dalam persalinan. Risiko ruptura tertinggi terjadi
pada induksi persalinan dengan prostaglandin. Dibandingkan dengan seksio sesar
ulangan belum dalam persalinan risiko rupture pada persalinan spontan adalah RR
3,3(95% CI 1,8-6,0) dan dengan prostaglandin RR 15,6 (95% CI 8,1-30,0).
Landon (2004) membandingkan risiko ruptura penggunaan prostaglandin
(140/10.000) dengan foley kateter (89/10.000) untuk dilatasi serviks. Suatu penelitian
retrospektif yang besar di skotlandia pada lebih 36.000 wanita dengan riwayat sesar,
4.600 diantaranya menggunakan prostaglandin menunjukkan peningkatan risiko ruptura
uteri sebagai penyebab utama kematian perinatal yang berhubungan dengan
penggunaan prostaglandin.
ACOG ( American College of Obstetricians and Gynecologists) menyarankan
adanya konseling seperti risk dan benefit terhadap induksi persalinan, seleksi wanita
yang akan menjalani VBAC dan menghindari penggunaan prostaglandin E1 dan
oxytosin. SOGC (Society of Obstericians and Gynaecologists of Canada) juga
merekomendasi hal yang sama.

3. Induksi dengan mekanik


Data metode mekanik untuk cervical ripening sangat terbatas. Menggabungkan
hasil dari dua penelitian yang menunjukkan bahwa kejadian ruptura pada induksi
dengan transervikal foley kateter/oksitosin sama dengan persalinan spontan pada
VBAC yaitu 5 dari 384 (1,3%) atau 22 dari 2081 (1,1%).

E. Indikasi dan Kontraindikasi VBAC


1. Indikasi
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) pada tahun 1999
dan 2004 memberikan rekomendasi untuk menyeleksi pasien yang direncanakan untuk
persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea.

Menurut Cunningham FG (2001) kriteria seleksinya adalah berikut :


a. Riwayat 1 atau 2 kali seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim.
b. Secara klinis panggul adekuat atau imbang fetopelvik baik.
c. Tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus.
d. Tersedianya tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring, persalinan dan
seksio sesarea emergensi.
e. Sarana dan personil anastesi siap untuk menangani seksio sesarea darurat.

Menurut Cunningham FG (2001) kriteria yang masih kontroversi adalah :


a. Parut uterus yang tidak diketahui
b. Parut uterus pada segmen bawah rahim vertikal
c. Kehamilan kembar
d. Letak sungsang
e. Kehamilan lewat waktu
f. Taksiran berat janin lebih dari 4000 gram
2. Kontraindikasi
Menurut Depp R (1996) kontra indikasi mutlak melakukan VBAC adalah :
a. Bekas seksio sesarea klasik
b. Bekas seksio sesarea dengan insisi T
c. Bekas ruptur uteri
d. Bekas komplikasi operasi seksio sesarea dengan laserasi serviks yang luas
e. Bekas sayatan uterus lainnya di fundus uteri contohnya miomektomi
f. Disproporsi sefalopelvik yang jelas
g. Pasien menolak persalinan pervaginal
h. Panggul sempit
i. Ada komplikasi medis dan obstetrik yang merupakan kontra indikasi persalinan
pervaginal

F. Resiko VBAC
1. Terhadap ibu

Menurut Kirt EP (1990) dan Goldberg (2000) menyatakan resiko terhadap ibu
yang melakukan persalinan pervaginal dibandingkan dengan seksio sesarea ulangan
elektif pada bekas seksio sesarea adalah seperti berikut :
a. Insiden demam lebih kecil secara bermakna pada persalinan pervaginal yang
berhasil dibanding dengan seksio sesarea ulangan elektif

b. Pada persalinan pervaginal yang gagal yang dilanjutkan dengan seksio sesarea
insiden demam lebih tinggi

c. Tidak banyak perbedaan insiden dehisensi uterus pada persalinan pervaginal


dibanding dengan seksio sesarea elektif

d. Dehisensi atau ruptur uteri setelah gagal persalinan pervaginal adalah 2.8 kali dari
seksio sesarea elektif
e. Mortalitas ibu pada seksio sesarea ulangan elektif dan persalinan pervaginal sangat
rendah

f. Kelompok persalinan pervaginal mempunyai rawat inap yang lebih singkat,


penurunan insiden transfusi darah pada paska persalinan dan penurunan insiden
demam paska persalinan dibanding dengan seksio sesarea elektif

2. Terhadap bayi

Angka kematian perinatal dari hasil penelitian terhadap lebih dari 4.500
persalinan pervaginal adalah 1.4% serta resiko kematian perinatal pada persalinan
percobaan adalah 2.1 kali lebih besar dibanding seksio sesarea elektif namun jika berat
badan janin < 750 gram dan kelainan kongenital berat tidak diperhitungkan maka angka
kematian perinatal dari persalinan pervaginal tidak berbeda secara bermakna dari seksio
sesarea ulangan elektif (Kirk, 1990).
Menurut Flamm BL (1997) melaporkan angka kematian perinatal adalah 7 per
1.000 kelahiran hidup pada persalinan pervaginal, angka ini tidak berbeda secara
bermakna dari angka kematian perinatal dari rumah sakit yang ditelitinya yaitu 10 per
1.000 kelahiran hidup.
Menurut Caughey AB (2001) melaporkan 463 dari 478 (97 %) dari bayi yang
lahir pervaginal mempunyai skor Apgar pada 5 menit pertama adalah 8 atau lebih.
Menurut McMahon (1996) bahwa skor Apgar bayi yang lahir tidak berbeda bermakna
pada VBAC dibanding seksio sesarea ulangan elektif. Menurut Flamm BL (1997) juga
melaporkan morbiditas bayi yang lahir dengan seksio sesarea ulangan setelah gagal
VBAC lebih tinggi dibandingkan dengan yang berhasil VBAC dan morbiditas bayi
yang berhasil VBAC tidak berbeda bermakna dengan bayi yang lahir normal.

G. Sistem Skoring
Untuk memprediksi keberhasilan penanganan persalinan pervaginal bekas seksio
sesarea, beberapa peneliti telah membuat sistem skoring. Flamm dan Geiger menentukan
panduan dalam penanganan persalinan bekas seksio sesarea dalam bentuk sistem skoring.
Weinstein dkk juga telah membuat suatu sistem skoring untuk pasien bekas seksio sesarea
(Weinstein D, 1996, Flamm BL, 1997).
Adapun skoring menurut Flamm dan Geiger (1997) yang ditentukan untuk
memprediksi persalinan pada wanita dengan bekas seksio sesarea adalah seperti tertera
pada table dibawah ini:
No Karakteristik Sko
r
1 Usia < 40 tahun 2

2 Riwayat persalinan pervaginam


- sebelum dan sesudah seksio sesarea 4
- persalinan pervaginam sesudah seksio sesarea 2
- persalinan pervaginam sebelum seksio sesarea 1
- tidak ada 0

3 Indikasi seksio sesarea pertama bukan kegagalan 1


kemajuan persalinan
4
Pendataran dan penipisan serviks saat tiba di Rumah Sakit
dalam keadaan inpartu:
- 75 % 2
- 25 75 % 1
- < 25 % 0

5 Dilatasi serviks 4 cm 1

Dari hasil penelitian Flamm dan Geiger terhadap skor development group diperoleh
hasil seperti tabel dibawah ini:
Skor Angka Keberhasilan (%)
02 42-49
3 59-60
4 64-67
5 77-79
6 88-89
7 93
8 10 95-99
Total 74-75

Weinstein (1996) juga telah membuat suatu sistem skoring yang bertujuan untuk
memprediksi keberhasilan persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea, adapun sistem
skoring yang digunakan adalah :
Faktor Ya Tidak
Bhisop Score 4 0 4
Riwayat persalinan pervaginal sebelum seksio sesaria 0 2
Indikasi seksio sesaria
Malpresentasi, Preeklamsi/Eklamsi, Kembar 0 6
0 5
HAP, PRM, Persalinan Premature
0 4
Fetal Distress, CPD, Prolaps tali pusat 0 3
Makrosomia, IUGR

Angka keberhasilan persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea pada sistem
skoring menurut Weinstein (1996) adalah seperti di tabel berikut :
Skor Angka Keberhasilan (%)
4 4
6 67
8 78
10 85
12 88

H. Monitoring
Ada beberapa alasan mengapa seseorang wanita seharusnya dibantu dengan
persalinan pervaginam. Hal ini disebabkan karena komplikasi akibat seksio sesarea lebih
tinggi. Pada seksio sesarea terdapat kecendrungan kehilangan darah yang banyak,
peningkatan kejadian transfusi dan infeksi, akan menambah lama rawatan masa nifas di
Rumah Sakit. Juga akan memperlama perawatan di rumah dibandingkan persalinan
pervaginam. Sebagai tambahan biaya Rumah Sakit akan dua kali lebih mahal.

Walaupun angka kejadian ruptura uteri pada persalinan pervaginam setelah seksio
sesarea adalah rendah, tapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada janin dan ibu. Untuk
antisipasi perlu dilakukan monitoring pada persalinan ini.

Pasien dengan bekas seksio sesarea membutuhkan manajemen khusus pada waktu
antenatal maupun pada waktu persalinan. Jika persalinan diawasi dengan ketat melalui
monitor kardiotokografi kontinu; denyut jantung janin dan tekanan intra uterin dapat
membantu untuk mengidentifikasi ruptura uteri lebih dini sehingga respon tenaga medis
bisa cepat maka ibu dan bayi bisa diselamatkan apabila terjadi ruptura uteri.

I. Komplikasi

Komplikasi paling berat yang dapat terjadi dalam melakukan persalinan


pervaginam adalah ruptura uteri. Ruptura jaringan parut bekas seksio sesarea sering
tersembunyi dan tidak menimbulkan gejala yang khas. Dilaporkan bahwa kejadian ruptura
uteri pada bekas seksio sesarea insisi Segmen Bawah Rahim lebih kecil dari 1 % (0,2 0,8
% ). Kejadian ruptura uteri pada persalinan pervaginam dengan riwayat insisi seksio
sesarea korporal dilaporkan oleh Scott dan American College of Obstetricans and
Gynekologists adalah sebesar 4 9 %. Farmer melaporkan kejadian ruptura uteri selama
partus percobaan pada bekas seksio sesarea sebanyak 0,8% dan dehisensi 0,7%

Apabila terjadi ruptur uteri maka janin, tali pusat, plasenta atau bayi akan keluar
dari robekan rahim dan masuk ke rongga abdomen. Hal ini akan menyebabkan perdarahan
pada ibu, gawat janin dan kematian janin serta ibu. Kadang-kadang harus dilakukan
histerektomi emergensi. Kasus ruptura uteri ini lebih sering terjadi pada seksio sesarea
klasik dibandingkan dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim. Ruptura uteri pada
seksio sesarea klasik terjadi 5-12 % sedangkan pada seksio sesarea pada segmen bawah
rahim 0,5-1 %

Tanda yang sering dijumpai pada ruptura uteri adalah denyut jantung janin tak
normal dengan deselerasi variabel yang lambat laun menjadi deselerasi lambat,
bradiakardia, dan denyut janin tak terdeteksi. Gejala klinis tambahan adalah perdarahan
pervaginam, nyeri abdomen, presentasi janin berubah dan terjadi hipovolemik pada ibu.

Tanda-tanda ruptura uteri adalah sebagai berikut :

a. Nyeri akut abdomen

b. Sensasi popping (seperti akan pecah)

c. Teraba bagian-bagian janin diluar uterus pada pemeriksaan Leopold

d. Deselerasi dan bradikardi pada denyut jantung bayi

e. Presenting parutnya tinggi pada pemeriksaan pervaginam

f. Perdarahan pervaginam

Pada wanita dengan bekas seksio sesarea klasik sebaiknya tidak dilakukan
persalinan pervaginam karena risiko ruptura 2-10 kali dan kematian maternal dan perinatal
5-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim.

Bila infeksi sebagai penyebab keputihan tidak diobati maka dapat menimbulkan
beberapa keadaan seperti infeksi di saluran kencing, abses bartolini, peradangan panggul,
bahkan sampai menimbulkan gangguan haid dan kemandulan. Dari segi psikis juga
menimbulkan rasa takut dan cemas akan bahaya keputihan, persepsi yang salah bahwa
keputihan merupakan awal dari penyakit kelamin atau awal dari kanker bisa menyebabkan
penderita mengalami depresi dari ringan sampai berat.
BAB III

PEMBAHASAN

Responden yang masuk dalam kriteria inklusi pada penelitian ini sebanyak 143.970
wanita dalam kelompok yang didefinisikan sebagai calon yang potensial untuk sebuah
VBAC. Dari jumlah tersebut, 75 086 (52,2%) perempuan mencoba untuk melakukan VBAC.
Dalam menggambarkan tingkat keberhasilan VBAC menurut ibu dan faktor risiko obstetri.
Wanita muda, orang-orang dari etnis non-putih memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi
dalam VBAC. Keberhasilan VBAC juga tinggi pada wanita yang memiliki bayi dengan berat
badan rendah pada persalinan pertama mereka dan mereka yang memiliki bayi kedua kurang
dari 3 tahun setelah yang pertama. Adanya faktor risiko klinis (diabetes atau hipertensi yang
sudah ada atau diabetes gestational) mengurangi tingkat kenerhasilan VBAC.
Dari 75.086 wanita dalam kelompok yang mencoba melakukan VBAC, 47.602
(63,4%) memiliki persalinan normal yang sukses. Wanita muda dan wanita etnis putih
memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Perempuan kulit hitam memiliki tingkat
keberhasilan sangat rendah dan wanita yang melahirkan lebih dari 3 tahun setelah bayi
pertama lahir juga cenderung memiliki tingkat keberhasilan VBAC yang rendah. Selain itu,
faktor risiko klinis, termasuk diabetes gestasional dan ketuban pecah dini serta berat lahir
yang tinggi mengurangi tingkat keberhasilan VBAC.
Wanita yang melakukan persalinan pertama dengan operasi sesar darurat memiliki
tingkat keberhasilan yang rendah dibandingkan wanita dengan riwayat operasi sesar elektif
pada persalinan pertamanya. Wanita yang melakukan operasi sesar dengan riwayat induksi
gagal adalah kelompok yang paling mungkin untuk mencoba dan sukses dengan VBAC.
Wanita yang persalinan pertamanya melalui operasi seesar elektif dan mereka yang memiliki
indikasi selain dari presentasi non-cephalic atau plasenta previa adalah yang paling mungkin
untuk mencoba dan berhasil dengan VBAC.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden dengan
operasi sesar primer yang memenuhi syarat untuk mencoba dilakukan VBAC pada persalinan
kedua mereka. Dari mereka yang mencoba melakukan VBAC, hampir dua-pertiga dari
perempuan berhasil mencapai persalinan normal. Penelitian menemukan bukti variasi dalam
penyerapan dan keberhasilan dari VBAC menurut demografi ibu dan karakteristik klinis.
Wanita muda dan wanita dengan kehamilan berisiko rendah lebih mungkin untuk mencoba
VBAC dan memiliki tingkat kesuksesan yang lebih tinggi.
Wanita non kulit putih memiliki tingkat keberhasilan VBAC yang lebih rendah
dibandingkan mereka yang berkulit putih. Tingkat upaya dan keberhasilan juga bervariasi
sesuai dengan indikasi untuk operasi sesar primer. Wanita dengan operasi sesar darurat lebih
mungkin untuk gagal dalam sebuah VBAC dibanding wanita dengan riwayat operasi sesar
elektif. Wanita dengan riwayat induksi gagal dalam persalinan adalah yang paling
mungkin untuk mencoba dan berhasil dengan VBAC.

DAFTAR PUSTAKA

1. Husodo L, Pembedahan dengan Laparatomi. Dalam Buku Ilmu Kebidanan Yayasan


Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 1999: 863 75.

2. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Cesarean Section and Postpartum
Hysterectomy. In : Williams Obstetrics. 21st Ed.. The Mc Graw-Hill Companies. New
York : 2001 : 537 63.

3. Cunningham MD. Cesarean Section. In: Williams Obstetrics, 22nd Ed. Prentice Hall
Int. USA 2001.

4. Wing DA. Induction of labor in woman with prior cesarean delivery. Up ToDate 2007

5. Dodd JM, Crowther CA. Elective repeat caesarean section versus induction of labour
for woman with a previous caesarean birth. The Cochrane Library 2007, Issue 4
6. Welischar J, Quirk JG. Vaginal birth after cesarean delivery.Up ToDate 2007

7. Rozenberg P, Goffinet F, Philippe HJ, Nisand I. Thickness of the lower uterine


segment: its influence in the management of patients with previous casarean sections.
European Journal of Obstetrics & Gynaecology and Reproductive Biology 87(1999)
39-45

8. Zelop CM, Shipp TD, Repke JT, Cohen A, Caughey AB, Lieberman E. Uterine
rupture during induced or augmented labor in gravid woman with one prior cesarean
delivery. Am J Obstet Gynecol: 1999: 181; 882-886

9. Lin C, Raynor D. Risk of uterine rupture in labor induction of patients with prior
cesarean section: An inner city hospital experience. Am J Obstet Gynecol: 2004: 190;
1476-8

10. Mankuta DD, Leshno MM, Menasche MM, Brezis MM. Vaginal birth after cesarean
section: Trial of labor or repeat cesarean section? A decision analysis. Am J Obstet
Gynecol: 2003: 189; 714-719

11. McDonagh, MS, Osterweil, P, Guise, JM. The benefits and risks of inducing labour in
patients with prior caesarean delivery : a systematic review. BJOG 2005; 112:1007

Anda mungkin juga menyukai