Ali Djunaedi
Departement Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang 50275
Email : alidjunaedi@ymail.com
Abstrak
Produksi kepiting bakau (S. serratta Forsskl, 1775) sangat dipengaruhi oleh
pertumbuhan, tingkat kelulushidupan dan prosentase moulting. Studi tentang pengaruh
metode perangsangan moulting kepiting bakau merupakan salah satu usaha untuk
meningkatkan produksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai
metode perangsangan moulting terhadap prosentase moulting, kelulushidupan dan
pertumbuhan. Penelitian menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Penelitian menggunakan biota uji 120 ekor kepiting bakau (S. serrata Forsskl,
1775) betina. Perlakuan metode perangsangan moulting yaitu, ablasi, autotomi dan
penyuntikan hormon ovaprim dan kontrol, masing-masing diulang 3 kali. Pengamatan
dilakukan pada, persentase moulting, kelulushidupan, pertumbuhan dan kualitas air. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaaan sangat nyata (p>0,01) pada
berbagai perlakuan metode perangsangan moulting terhadap persentase moulting,
kelulushidupan dan pertumbuhan. Perlakuan metode ablasi menunjukkan hasil paling tinggi,
dengan persentase moulting 80 10%, kelulushidupan 83,34 5,78% dan laju pertumbuhan
spesifik harian 5,36 0,34%/hari. Sedangkan hasil terendah dicapai oleh perlakuan metode
autotomi dengan persentase moulting 13,33 5,78%, kelulushidupan 16,67 5,7% dan laju
pertumbuhan spesifik harian 1,81 0,22%/hari. Metode ablasi mata baik untuk diterapkan
dalam merangsang moulting di dalam pemeliharaan kepiting bakau guna menunjang
peningkatan produksi.
Abstract
Production of mud crab (S. serratta Forsskl, 1775) influenced by moulting, the growth
and survival rate. Study of effects of stimulation of moulting on mud crab cultivation are
important. The objective of the research was influence of various stimulation method on
percentage of moulting, growth and survival rate. The method used experimentally
laboratories with complete random design. The mud crab (S. serrata Forsskl, 1775) females
was used as treatment biota. There were given various treatment methods which moulting
stimulation, ablation, autotomi, injection hormone ovaprim and controls each 3 times
replicated. Observations were made of the percentage moulting, survival rate, growth rate
and water quality parameter. The results showed that there are highly significant (p<0.01) in
the various treatment methods of stimulation moulting on the percentage moulting, growth
and survival rate. Ablation treatment method showed the highest result, where moulting
percentage is 80 10%, survival rate 83.34 5.78% and the specific growth rate of 5.36 0.34%
/ day. While the lowest is autotomi method with moulting percentage is 13.33 5.78%, survival
rate 16.67 5.7% and the specific growth rate of 1.81 0.22%/day. Ablation method is good
to stimulate of moulting in the cultivation of mud crabs to increased production.
Kepiting bakau (S.serrata Forsskl, Media uji berupa air laut yang
1775) akan mengalami pergantian kulit diambil langsung dari saluran tambak
sebanyak 18 kali dari stadia instar sampai dengan menggunakan pompa air yang
dewasa. Secara umum frekuensi dilengkapi sistem saringan pasir.
pergantian kulit lebih sering terjadi pada Sedangkan pakan yang diberikan yaitu
potongan ikan rucah dengan ransum Wo = Berat rata-rata kepiting bakau pada
pemberian pakan dengan sebesar 5 % awal penelitian (g)
dari berat tubuh dan diberikan dua kali Wt = Berat rata-rata kepiting bakau pada
sehari. waktu t (g) dan
t = Lama Pemeliharaan (hari)
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode Prosentase Moulting
eksperimental. Penelitian menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 Pengamatan moulting dilakukan
perlakuan perbedaan metode stimulasi setiap minggu dengan menghitung
moulting yaitu dengan ablasi berapa jumlah kepiting yang ganti kulit
(pemotongan tangkai mata) , utotomi (moulting). Kemudian dihitung
(pemotongan kaki), hormon (penyuntikan prosentasenya.
hormon reproduksi) dan tanpa stimulasi
sebagai kontrol, masing-masing diulang 3 Kelulushidupan
kali. Parameter yang diamati adalah
pertumbuhan, persentase moulting dan Pengamatan tingkat kelulushidupan
kelulushidupan. Pengamatan moulting dapat ditentukan dengan menghitung
dilakukan setiap hari, sedangan berapa jumlah awal/ total kepiting tiap
pertumbuhan dan parameter kualitas air bak pemeliharaan yang masih hidup dan
dilakukan setiap minggu. berapa jumlah kepiting yang mati pada
saat pengamatan.
Pelaksanaan penelitian dimulai
dengan pengumpulan alat dan bahan, Parameter Lingkungan
serta adaptasi biota uji. Setelah semua
persiapan penelitian selesai diakukan, Parameter lingkungan yang diukur
kemudian biota uji diberi perlakuan sesuai mencakup beberapa parameter kualitas
dengan metode stimulasi masing-masing. air. Parameter tersebut, antara lain: suhu,
Selanjutnya setiap kepiting yang telah pH (derajat keasaman), salinitas, amonia,
diberi perlakuan dimasukkan kedalam DO. Pengukuran parameter temperatur,
keranjang dan ditempatkan pada 1 bak pH, dan salinitas dilakukan dengan interval
untuk 10 buah keranjang. Pemberian waktu pengamatan tiga kali tiap 12 jam,
pakan dilakukan pada pagi dan sore hari yaitu pada pukul 06.00 dan 18.00 WIB
setelah dilakukan penyiponan. Sedangkan dalam 24 jam. Penentuan kadar amoniak
pergantian air dilakukan setiap minggu. dan DO dilakukan setiap satu minggu
Pemeliharaan dilakukan selama 5 minggu. sekali selama 5 minggu.
Setiap minggu dilakukan penimbangan
berat kepiting, penghitungan prosentase Analisis Data
molting dan prosentase kelulushidupan.
Data parameter pengamatan
Pertumbuhan penelitian, yaitu data laju pertumbuhan,
moulting, dan kelulushidupan spesifik
Pengamatan pertumbuhan harian dianalisis menggunakan ANOVA
didasarkan pada laju pertumbuhan (Analisis Varians) untuk menentukan
spesifik harian didapatkan melalui perbedaan pengaruh masing masing
perhitungan penimbangan berat tubuh perlakuan. Untuk mengetahui perbedaan
secara gravimetri. Laju pertumbuhan pengaruh perlakuan diuji dengan uji
spesifik harian dapat ditentukan dengan beda nyata jujur atau HSD (Santoso,
menggunakan rumus, (Changbo et al., 2004). Data parameter lingkungan
2004) : dianalisis secara diskriptif.
Tabel 1. Persentase moulting individu S. serrata Forsskl, 1775 dengan berbagai metode
perangsangan moulting selama penelitian
terlebih dahulu melakukan proses moulting membuat kepiting perlu waktu yang lebih
(Moosa dkk.,1985). Oleh karena itu, lama untuk pemulihan kondisinya. Luka ini
penggunaan hormon ini tepat dilakukan dapat juga menyebabkan terjadinya
dalam menstimualsi kematangan gonad infeksi karena adanya bakteri yang
dan proses pemijahan kepiting. Dengan terdapat dalam media air laut dan bakteri
demikian, pemberian hormon ovaprim yang berasal dari sisa pakan sehingga
juga dapat menstimulasi proses moulting. menyebabkan kematian (Department of
Proses kerja hormon memerlukan waktu Ocean Development, 1999). Menurut
untuk merangsang target organ Malik (2009) berpendapat bahwa kepiting
sementara tangkai mata sebagai yang sudah stress, keseimbangan fisiologis
penghasil hormon penghambat moulting tubuhnya pun terganggu, sehingga daya
masih utuh. Dengan demikian, hormon tahan tubuhnya menurun, memberi
penghambat moulting juga masih peluang terhadap parasit, virus dan
terbentuk. Hal ini memperlambat fluktuasi kualitas air untuk masuk dan
terjadinya proses moulting. merusak fungsi fisiologis pada kepiting
sehingga dapat menyebabkan kematian.
Proses ganti kulit (moulting) kepiting Menurut Husni (2006) dalam Afrizal (2009)
memerlukan energi dan gerakan yang yang menyatakan bahwa secara biologis
cukup kuat, maka bagi kepiting dewasa pematahan capit dan kaki jalan dapat
yang mengalami pergantian kulit merangsang organ tubuh kepiting untuk
membutuhkan energi dari pakan yang
tumbuh kembali. Hal ini disebabkan
cukup besar. Jumlah kandungan nutrisi
setelah capit dan kaki jalan kepiting lepas,
yang dihasilkan dari pakan yang diberikan
kepiting akan terangsang untuk
mencukupi bagi kepiting untuk melakukan
memperbaiki fungsi morfologi tubuhnya
proses moulting. Lebih lanjut Borgstrom
dengan cara melakukan pergantian kulit
(2002), mengemukakan bahwa sebagai
sehingga akan menjadi kepiting
organisme yang berhubungan dengan air,
cangkang lunak.
kepiting memperoleh energi dari
makanan yang mereka dapatkan.
Pemotongan capit kaki atau
Apabila kandungan energi berkurang
autotomi bertujuan untuk meningkatkan
maka protein dalam tubuh akan dipecah
hormon yang dapat menimbulkan
dan dipergunakan sebagai sumber energi.
ketidakseimbangan atau stress sehingga
Energi yang diperlukan dalam proses
kepiting akan merespon untuk melakukan
moulting cukup besar, Jika protein dipakai
regenerasi dengan cara moulting, namun
sebagi sumber energi tidak mencukupi
tingkat stress pada kepiting juga dapat
maka hal tersebut juga dapat menyebkan
menyebabkan kematian. Selain hal
kematian kepiting pada saat moulting.
tersebut, faktor moulting juga
berpengaruh terhadap tingkat
Kelulushidupan
kelulushidupan. Proses moulting yang
lebih pendek dari interval moulting, maka
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
akan meningkatkan hormon ketidakseim-
kelulushidupan tertinggi dicapai oleh
bangan atau stress sehingga
perlakuan ablasi (Gambar 2). Hal ini
menyebabkan kematian. Disamping itu
diduga dikarenakan luka akibat perlakuan
juga kepiting yang mengalami moulting
pada metode ablasi lebih kecil dari pada
memerlukan energi untuk prosesnya
luka pada perlakuan metode autotomi,
(Phelan dan Grubert, 2007). Hal ini juga
sehingga metode Autotomi, mempunyai
dapat mengakibatkan kematian karena
tingkat kelulushidupan paling rendah.
energi yang diperlukan cukup besar.
Kelulushidupan terendah pada metode Faktor yang mempengaruhi tingkat
autotomi terjadi di minggu pertama dan kelulushidupan antara lain dinyatakan
ke dua. Perbedaan tingkat kelulushidupan dalam dua hal yaitu, faktor biotik seperti
disebabkan oleh beberapa faktor, di kompetitor, predator, kepadatan populasi,
antaranya tingkat stres yang diakibatkan parasit, penyakit, virus dan bakteri serta
karena luka yang diterima kepiting. Luka faktor abiotik, yang meliputi faktor fisika
yang didapat pada metode autotomi dan kimia.