Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRAKTIKUM

PEMETAAN SUMBER DAYA LAHAN


(Pengukuran dengan Menggunakan Metode Tachymetri Menggunakan Alat
Ukur Theodolite)

Oleh :

Kelompok : 1 (Satu)
Kelas/Hari/Tanggal : A/Selasa/3 Mei 2016
Nama (NPM) : 1. Leni Nurliani (240110140017)
2. Sonia Mariyet Kusniati (240110140026)
3. Gina Sania (240110140033)
4. Yosep Setiawan (240110140042)
5. Popon Widyasari (240110140044)
Asisten : 1. Agung Ridwan
2. Encep Farokhi
3. Mareta Gita Putri

LABORATORIUM KONSERVASI TANAH DAN AIR


DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Teknologi adalah alat yang digunakan di dalam kehidupan manusia yang
berfungsi untuk membantu kerja dari manusia itu sendiri. Teknologi yang
digunakan untuk membantu manusia sudah bukan secara tradisonal atau manual
lagi yang membutuhkan tenaga dan waktu yang cukup lama untuk
menyelesaikannya. Perkembangan dunia teknologi pada abad ini semakin pesat
setiap tahunnya.
Penggunaan teknologi pada dunia pendidikan salah satunya pada mata kuliah
ilmu ukur tanah atau wilayah. Secara umum, ilmu ukur wilayah merupakan suatu
disiplin ilmu yang meliputi semua metode untuk pengumpulan dan pengolahan
informasi tentang permukaan dan lingkungan fisis bumi, dengan menganggap
bumi sebagai bidang datar, letak nisbi atau posisi titik-titik baik yang berada di
atas maupun di bawah permukaan bumi dapat ditentukan dengan metode
pengukuran dan referensi hitungan. Pada awalnya manusia menggunakan alat
bantu meteran untuk mengukur luas suatu wilayah, hingga ditemukan teknologi
untuk mengukur wilayah salah satunya adalah Teodolit. Sampai saat ini teknologi
teodolit terus disempurnakan agar memiliki keakuratan dan ketelitian yang tinggi.
Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode tachymetri. Pada
Praktikum kali ini praktikan akan mengukur beda tinggi suatu wilayah dengan
menggunakan metode tachymetri yaitu metode pengukuran dengan menggunakan
alat alat optis, elektronis, dan digital.

1.2 Tujuan Praktikum


Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Mahasiswa mampu melakukan pengukuran beda tinggi dengan
menggunakan alat ukur teodolit.
2. Mahasiswa mampu menghitung beda tinggi antara dua titik dari hasil
pengukuran dengan metode tachymetri.
3. Mahasiswa mampu menggambarkan profil lokasi pengukuran disertai
dengan skala gambar.
1.3 Peralatan yang Digunakan
Peralatan yang digunakan dalam praktikum adalah :
1. Alat Tulis
2. Tripod
3. Teodolit
4. Rambu Ukur
5. Unting-unting
6. Pita Ukur (3 meter)

1.4 Pelaksanaan Praktikum


I. Mahasiswa membuat sketsa pengukuran pada lembar survey.
1. Menggambarkan denah lokasi pengukuran dan arah utara kompas.
2. Menggambarkan titik-titik tempat alat dan bidikan disertai dengan
nama-nama titik tersebut.
II. Mengoperasikan Alat
1. Mengatur alat di titik awal (P).
2. Mengukur dan mencatat tinggi alat (Hi).
3. Memidikkan ke rambu yang dipasang di TP1 (lakukan bacaan BT
Hi).
4. Membaca dan mencatat BA, BB, BT dan sudut vertikal.
5. Memindahkan alat ke TP1, kemudian mengatur alat dan menyiapkan
rambu ukur di TP2.
6. Memidikkan alat ke rambu ukur yang dipasang di TP2.
7. Membaca dan mencatat BA, BB, BT dan sudut vertikal.
8. Melakukan kegiatan 5 s/d 7 diatas sampai akhirnya rambu ukur
dipasang di titik terakhir (titik Q).
9. Melakukan pengukuran kembali yang dimulai dari titik Q dan
berakhir di titik P.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengukuran Sipat Ukur Datar


Pengukuran sifat ukur datar digunakan untuk menentukan beda tinggi antar
dua titik. Metode ini merupakan metode yang paling baik untuk menentukan beda
tinggi, sehingga umumnya disyaratkan untuk digunakan pada penentuan beda
tinggi titik-titik acuan, seperti pengukuran titik triangulasi ataupun titik poligon
yang memerlukan akurasi pengukuran yang tinggi. Keterbatasan penggunaan
waterpass yaitu jangkauan bidikan dibatasi oleh tinggi alat dan ketinggian rambu
ukur. (Hazzir, 2011)
Pada pengukuran dengan metoda tachymetri, teropong alat dapat
dimiringkan sehingga keterbatasan jangkauan dapat dikurangi. Hasil pengukuran
dengan metoda ini akan diperoleh pengukuran jarak miring, jarak mendatar, dan
jarak vertikal.
Perhitungan beda tinggi diukur di lapangan dengan memperhitungkan
tinggi bidikan.

1. Titik Bidikan ( BT )=Tinggi Alat ( Hi )

BT =Hi maka h= V
1
h= c ( BABB ) sin 2
2

2. Titik Bidikan ( BT ) Tinggi Alat ( Hi )


BT Hi maka h+ BT=Hi + V
1
h= c ( BABB ) sin 2 +(HiBT )
2

2.2 Mengukur Beda Tinggi Dengan Metode Tachymetri


Pengukuran titik-titik detail dengan metode tachymetri adalah cara yang
paling banyak digunakan dalam praktek, terutama untuk pemetaan daerah yang
luas dan untuk detail-detail yang bentuknya tidak beraturan. kebanyakan
pengukuran tachymetri adalah dengan garis bidik miring karena adanya
keragaman topografi, tetapi perpotongan benang stadia dibaca pada rambu tegak
lurus dan jarak miring direduksi menjadi jarak horizontal dan jarak vertikal.

Gambar 1. Pengukuran dengan Menggunakan Metode Tachymetri


(Sumber: Hazzir, 2011)
Pada gambar, sebuah transit dipasang pada suaut titik dan rambu dipegang
pada titik tertentu. dengan benang silang tengah dibidikkan pada rambu ukur
sehingga tinggi t sama dengan tinggi theodolite ke tanah.

2.3 Theodolite
Theodolite adalah salah satu alat ukut tanah yang digunakan untuk
menentukan tinggi tanah dengan sudur mendatar dan sudut tegak lurus. berbeda
dengan waterpass yang hanya memiliki sudut mendatar saja. di dalam theodolite
sudut yang dapat dibaca bisa sampai pada satuan sekon (detik). theodolite
merupakan alat yang paling canggih diantara peralatan yang digunakan dalam
survei. pada dasarnya alat ini berupa sebuah teleskop yang ditempatkan pada
suaut dasar berbentuk membulat (piringan) yang dapat diputar-putar mengelilingi
sumbu vertikal sehingga memungkinkan sudut horisontal untuk dibaca. teleskop
tersebut juga dipasang pada piringan kedua dan dapat diputar-putar mengelilingi
sumbu horisontal, sehingga memungkinkan sudut vertikal untuk dibaca. kedia
sudut tersebut dapat dibaca dengan tingkat ketelitian sangat tinggi (Hazzir, 2011).
Survei dengan menggunakan theodolite dilakukan bila situs yang akan
dipetakan luas dan atau cukup sulit untuk diukur, dan terutama bila situs tersebut
memiliki relif atau perbedaan ketinggian yang besar. dengan menggunakan alat
ini, keseluruhan kenampakan atau gejala akan dapat dipetakan dengan cepat dan
efisien.
Instrumen pertama lebih seperti alat survey theodolite benar adalah
kemungkinan yang dibangun oleh Joshua Habarmel di Jerman pada 1576, lengkap
dengan kompas dan tripod.
Syarat utama yang harus dipenuhi alat theodolite (pada galon air) sehingga
siap dipergunakan untuk pengukuran yang benar adalah sbb :
1. Sumbu kesatu benar-benar tegak atau vertikal.
2. Sumbe kedua harus benar-benar mendatar.
3. Garis bidik harus tegak lurus sumbu kedua atau mendatar.
4. Tidak adanya salah indeks pada lingkaran kesatu.

Gambar 2. Bagian Bagian Theodolite


(Sumber: Syafrisar, 2012)
Secara umum, konstruksi theodolite terdiri atas dua bagian:
Bagian atas: teropong/teleskop, nivo tabung, sekrup okuler dan objektif,
sekrup gerak vertikal, teropong bacaan sudut vertikal dan horizontal, nivo kotak,
sekrup pengunci teropong, sekrup pengunci sudut vertikal, sekrup pengatur menit
dan detik, sekrup pengatur sudut horisontal dan vertikal.
Bagian bawah: kaki tiga, tiga sekrup penyetel nivo kotak, sekrup repetisi,
sekrup pengunci pesawat dengan statif.

2.4 Rambu ukur


Rambu ukur dapat terbuat dari kayu, campuran alumunium yang diberi
skala pembacaan. Ukuran lebarnya 4 cm, panjang antara 3m-5m pembacaan
dilengkapi dengan angka dari meter, desimeter, sentimeter, dan milimeter.
Umumnya dicat dengan warna merah, putih, hitam, kuning. Selain rambu ukur,
ada juga waterpass yang dilengkapi dengan nivo yang berfungsi untuk
mendapatkan sipatan mendatar dari kedudukan alat dan unting-unting untuk
mendapatkan kedudukan alat tersebut di atas titik yang bersangkutan. Kedua alat
ini digunakan bersamaan dalam pengukuran sipat datar. Rambu ukur diperlukan
untuk mempermudah/membantu mengukur beda tinggi antara garis bidik dengan
permukaan tanah.

Gambar 3. Rambu Ukur


(Sumber: Yogie, 2010)
Rambu untuk pengukuran sipat datar (leveling) diklasifikasikan ke dalam 2
tipe, yaitu:
1. Rambu Sipat Datar dengan Pembacaan Sendiri
a) Jalon.
b) Rambu sipat datar sopwith.
c) Rambu sipat datar bersen.
d) Rambu sipat datar invar.
2. Rambu Sipat Datar Sasaran

II.4.1 Cara Pemasangan Bak Ukur atau Rambu Ukur :


Adaun cara untuk memasangkan rambu ukur adalah sebagai berikut:
1. Atur ketinggian rambu ukur dengan menarik batangnya sesuai dengan
kebutuhan, kemudian kunci.
2. Letakkan dasar rambu ukur tepat diatas tengah-tengah patok (titik) yang
akan dibidik.
3. Usahakan rambu ukur tersebut tidak miring/condong (depan, belakang,
kiri dan kanan), karena bisa mempengaruhi hasil pembacaan.
4. Arahkan lensa pada teropong pesawat.

2.4.2 Kesalahan dalam Penggunaan Rambu ukur


Kesalahan dalam penggunaan rambu ukur adalah sebagai berikut:
a) Garis bidik tidak sejajar dengan garis jurusan nivo.
b) Kesalahan pembagian skala rambu.
c) Kesalahan panjang rambu.
d) Kesalahan letak skala nol rambu.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Praktikum


Tabel 1. Hasil Pengukuran Lapangan

(Sumber: Data Hasil Praktikum, 2016)


3.1.1 Perhitungan Jarak

Jarak Miring (dm) = C (BA - BB) sin m


Jarak Datar (dh) = C (BA - BB) sin2 m

1. BM dm = 100 (0,71 0,64) sin (89,88056)


= 100 (0,07) 0,9999978272
= 6,99998 m
dh = 100 (0,71 0,64) sin2 (89,88056)
= 100 (0,07) 0,9999956544
= 6,99996 m
2. dm = 100 (1,687 1,508) sin (95,5)
= 100 (0,179) 0,9953961984
= 17,815 m
dh = 100 (1,687 1,508) sin2 (95,5)
= 100 (0,179) 0,9908135917
= 17,7355
3. dm = 100 (1,51 1,352) sin (96,6819)
= 100 (0,157) 0,9932074568
= 15,6926 m
dh = 100 (1,51 1,352) sin2 (96,6819)
= 100 (0,157) 0,9864610522
= 15,586
4. dm = 100 (1,57 1,46) sin (96,4541)
= 100 (0,11) 0,9936622246
= 10,9302 m
dh = 100 (1,57 1,46) sin2 (96,4541)
= 100 (0,11) 0,9873646167
= 10,861
5. dm = 100 (0,911 0,71) sin (96,454)
= 100 (0,2) 0,9927195508
= 19,8543 m
dh = 100 (0,911 0,71) sin2 (96,9180)
= 100 (0,2) 0,9854921066
= 19,7098 m
6. dm = 100 (1,58 1,39) sin (85,6930)
= 100 (0,179) 0,9971759657
= 18,9463 m
dh = 100 (1,58 1,39) sin2 (85,6930)
= 100 (0,19) 0,9943599066
= 18,8928 m
7. dm = 100 (0,74 0,582) sin (84,01806)
= 100 (0,158) 0,994554794
= 15,7139 m
dh = 100 (074, 0,582) sin2 (84,01806)
= 100 (0,158) 0,9891392383
= 15,6284 m
8. dm = 100 (1,295 1,52) sin (86,95278)
= 100 (0,143) 0,9985860632
= 14,2797 m
dh = 100 (1,295 1,52) sin2 (86,95278)
= 100 (0,143) 0,9971741257
= 14,2595 m
9. dm = 100 (1,513 1,402) sin (92,225)
= 100 (0,111) 0,9992460714
= 11,0916 m
dh = 100 (1,513 1,402) sin2 (92,225)
= 100 (0,111) 0,9984927113
= 11,0832 m
10. dm = 100 (1,83 1,75) sin (78,3194)
= 100 (0,08) 0,979291417
= 7,8343 m
dh = 100 (1,83 1,75) sin2 (78,3194)
= 100 (0,08) 0,9590116795
= 7,6721 m
11. dm = 100 (1,34 1,26) sin (92,0541)
= 100 (0,08) 0,9993574286
= 7,9948 m
dh = 100 (1,34 1,26) sin2 (92,0541)
= 100 (0,08) 0,9987152701
= 7,9897 m
12. dm = 100 (1,85 1,74) sin (82,6347)
= 100 (0,11) 0,9917489829
= 10,9092 m
dh = 100 (1,85 1,74) sin2 (82,6347)
= 100 (0,11) 0,9835660451
= 10,8192 m
1. dm = 100 (1,85 1,75) sin (89,05)
= 100 (0,1) 0,9998625445
= 9,9986 m
dh = 100 (1,85 1,75) sin2 (89,05)
= 100 (0,1) 0,999725108
= 9,9972 m

3.1.2 Perhitungan Beda Tinggi

1
Beda Tinggi = 2 C (BA BB) sin 2 + (Hi BT)

1
BM = 2 . 100 (0,71 0,64) sin (2 . 0,119) + (1,50 0,675) = 0,83959 m

1
2 = 2 . 100 (1,687 1,508) sin (2 . -5,5) + (1,50 1,6) = -1,80774 m
1
3 = 2 . 100 (1,51 1,352) sin (2 . -6,68) + (1,485 2,43) = -1,77095 m

1
4 = 2 . 100 (1,57 1,46 ) sin (2 . -6,45) + (1,483 1,507) = -1,25266 m

1
5 = 2 . 100 (0,911 0,71) sin (2 . -6,92) + (1,525 0,81) = -1,67647 m

1
6 = 2 . 100 (1,58 1,39) sin (2 . 4,307) + (1,5 1,49) = 1,43285 m

1
7 = 2 . 100 (0,74 0,582) sin (2 . 5,982) + (1,512 0,6431) = 2,50662 m

1
8 = 2 . 100 (1,295 1,152) sin (2 . 3,047) + (1,41 1,225) = 0,9449 m

1
9 = 2 . 100 (1,513 1,402) sin (2 . -2,22) + (1,44 1,46) = -0,45062 m

1
10 = 2 . 100 (1,83 1,75) sin (2 . 11,68) + (1,46 1,79) = 1,25616 m

1
11 = 2 . 100 (1,34 1,26) sin (2 . -2,05) + (1,51 1,29) = -0,06657 m

1
12 = 2 . 100 (1,85 1,74) sin (2 . 7,365) + (1,44 1,792) = 1,04651 m

1
1 = 2 . 100 (1,85 1,75) sin (2 . 0,95) + (1,44 1,8) = -0,19422 m

3.1.3 Perhitungan Elevasi


BM = 778
2 = 778 1,80774 = 776,1923 m
3 = 776,1923 1,77095 = 774,4213 m
4 = 774,4213 1,25266 = 773,1686 m
5 = 773,1686 1,67647 = 771,4922 m
6 = 771,4922 + 1,43285 = 772,925 m
7 = 772,925 + 2,50662 = 775,4316 m
8 = 775,4316 + 0,94409 = 776,3757 m
9 = 776,3757 0,45062 = 775,9251 m
10 = 775,9251 + 1,25616 = 777,1813 m
11 = 777,1813 0,06657 = 777,1147 m
12 = 777,1147 +1,04651 = 778,1612 m
1 = 778,1612 - 0,19422 = 777,967 m
Leni Nurliani
240110140017

3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pengukuran dengan menggunakan
metode tachymetri dan menggunakan alat ukur theodolite. Pengukuran tachymetri
ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan pengukuran dengan metode sipat
ukur datar karena dapat mengurangi keterbatasan dalam pengukuran akibat tinggi
alat ukur dan tinggi rambu ukur. Metode tachymetri menggunakan teropong yang
dapat dimiringkan searah dengan sumbu vertikal untuk membidik dan membaca
rambu ukur pada titik yang akan dibaca. Selain itu metode tachymetri ini tidak
memerlukan bacaan belakang pada patok titik titik yang sudah dilewati,
sehingga setiap kali selesai melakukan pembacaan rambu pada satu titik, kegiatan
yang dilakukan berikutnya adalah langsung memindahkan alat pada titik yang
sudah dibaca tersebut sehingga tidak seperti menggunakan waterpass yang selalu
melakukan pembacaan depan dan pembacaan belakang saat alat berpindah. Pada
penggunaan theodolite untuk pengukuran beda tinggi, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah menentukan titik bacaan awal dan menentukan sudut 0 derajat
ke arah utara dari titik pembacaan pertama. Tujuan dari penentuan sudut
horizontal 0 derajat ke utara adalah untuk mengetahui besarnya sudut horizontal
dari bacaan awal ke bacaan muka, sehingga memudahkan dalam penggambaran
peta atau denah pengukuran. Titik awal pengukuran yang dilakukan adalah titik
benchmark yang berada dibagian atas lahan praktikum yang diketahui memiliki
elevasi sebesar 778 m di atas permukaan laut. Besarnya elevasi di tempat
pembidikkan ini merupakan elevasi berdasarkan pengukuran asisten
menggunakan alat ukur wilayah lapangan yaitu GPS. Pengukuran dilakukan
dengan metode memutar dari titik alat enam ke bacaan muka, kemudian bacaan
terakhir dijadikan titik alat berikutnya untuk membaca ke depan kembali hingga
memutar dan kembali membaca beda tinggi di titik alat enam.
Pada pengukuran beda tinggi yang dilakukan menggunakan theodolite kali
ini, diperlukan sudut alfa atau sudut miring dan sudut zenith. Sudut zenith ini
diperlukan untuk menghitung besarnya beda tinggi antara titik alat dengan titik
bacaan muka. Tidak seperti waterpass, theodolite memerlukan sin dari sudut
zenith untuk mengetahui beda tinggi karena pada theodolite, teropong untuk
pengukuran dapat dimiringkan ke atas maupun ke bawah searah dengan sumbu
vertikal. Oleh karena itu, maka pengukuran menggunakan theodolite perlu
dilakukan dengan menghitung besarnya sudut zenith dan sudut miring. Hubungan
antara sudut miring dan sudut zenith sendiri yaitu besarnya sudut miring adalah 90
derajat dikurangi dengan besarnya sudut zenith dari pembacaan di theodolite.
Pada pengukuran kali ini, elevasi yang dihasilkan dari pengukuran awal dan
pengukuran akhir memiliki selisih sebesar 0,03 m atau 3 cm. Hasil ini
menunjukkan bahwa pengukuran yang dilakukan sudah memiliki akurasi yang
baik meskipun memiliki selisih 3 cm. Selisih dari elevasi ini disebabkan karena
kesalahan-kesalahan dalam pengukuran, baik kesalahan dalam mencatat,
kesalahan dalam mendirikan alat dan kesalahan dalam membaca bidikan pada
rambu ukur. Kesalahan yang sangat berpengaruh terhadap selisih beda tinggi ini
yaitu kesalahan dalam mendirikan alat. Ketika alat didirikan, plummet dari
theodolite selalu bergeser ketika dilakukan pendataran nivo, baik nivo kotak
maupun nivo tabung, sehingga pembacaan menjadi tidak akurat. Selain itu
kesalahan juga terjadi akibat rambu ukur yang dipegang oleh praktikan selalu
bergoyang-goyang dan terkadang berdiri pada posisi yang miring ke depan atau
miring ke belakang sehingga mengakibatkan kesalahan dalam pembacaan skala
pada rambu ukur. Selain itu kesalahan dalam pembacaan juga terjadi, hal ini
dibuktikan dengan tidak signifikannya nilai bacaan tengah yang seharusnya
besarnya sama dengan rata-rata dari jumlah bacaan bawah dan bacaan atas rambu
ukur. Namun dari hasil pengukuran yang dilakukan, diketahui bahwa hasil
pengukuran sudah mendekati hasil elevasi dari literatur, sehingga dapat diketahui
pengukuran kali ini memiliki akurasi yang cukup baik.
Leni Nurliani
240110140017
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada praktikum kali ini adalah:
1. Pengukuran dengan menggunakan alat ukur theodolite merupakan
pengukuran yang dilakukan dengan metode tachymetri.
2. Pengukuran beda tinggi dengan menggunakan metode tachymetri
memerlukan sudut zenith dan sudut miring untuk perhitungan, hal ini
dikarenakan teropong pada theodolite dapat dimiringkan searah sumbu
vertikal.
3. Kesalahan yang terjadi dalam praktikum kali ini disebabkan oleh tiga
faktor, yaitu faktor alat, faktor lingkungan dan faktor manusia.
4. Nilai error yang didapatkan saat praktikum kali ini sebesar 0,03 m dari
nilai elevasi yang diukur oleh asisten.
5. Output dari penggunakan metode tachymetri ini adalah sebuat peta
lapangan objek pengukuran.

4.1 Saran
Saran untuk praktikum selanjutnya adalah :
1. Alat-alat yang digunakan dalam praktikum diperbanyak agar pelaksanaan
praktikum dapat mengefesiensikan waktu.
2. Posisi rambu ukur tidak boleh berubah-ubah serta posisi mata saat
mengintip lensa untuk mengukur harus benar-benar horizontal agar data
yang didapatkan akurat.
3. Saat merangkai alat diperlukan kehati-hatian agar alat-alat yang
digunakan dalam praktikum tidak rusak.
Sonia M K
240110140017
3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini membahas mengenai pengukuran beda tinggi
menggunakan metode tachymetri dengan alat ukur teodolit. Praktikum kali ini
bertujuan agar praktikan mampu melakukan pengukuran beda tinggi dengan
menggunakan alat ukur teodolit serta praktikan mampu menghitung beda tinggi
antara dua titik dari hasil pengukuran dengan metode tachymetri. Metode
tachymetri adalah metode pengukuran dengan menggunakan alat alat optis,
elektronis, dan digital. Metode ini dapat menggambarkan keadaan lokasi pada
suatu lokasi dengan mudah ,yaitu dilakukan dengan membuat beberapa titik detail
guna mengetahui secara langsung beda tinggi di suatu areal kawasan yang ingin
diamati. Selain itu, metode tachymetri ini dapat mempermudah kita dalam
menggambarkan keadaan lokasi tersebut apakah curam atau landai dan sebagainya
dari hasil beda tinggi tiap titiknya. Pada metode tachymetri ini hanya dapat
mengukur satu bacaan saja yaitu bacaan depan sedangkan untuk bacaan
belakangnya hanya untuk menentukan sudut nol (0) saja.
Pada praktikum kali ini dilakukan di pedca utara di lahan dekat dengan
green house. Lahan yang akan kami ukur memiliki sifat kontur tanah ada yang
datar dan adapula yang landai serta miring. Praktikum kali ini terdapat 13 bidikan.
Titik bidikan untuk benchmark yang pertama yaitu patok diberi warna dengan biru
sedangkan untuk titik 1 sampai dengan titik terakhir yaitu titik 12 diberi warna
patok yaitu merah. Kelompok kami memulai pengukuran pada titik 1 yang
terletak diatas dengan elevasi 778 mdpl dan pada titik 6 yaitu dititik bawah
dengan elevasi 773 mdpl. Jarak pada praktikum kali ini tidak lebih dari 10 meter.
Kelompok kami mulai melakukan pengukuran pada titik pertama yaitu titik 1.
Langkah yang dilakukan pertama kali yaitu mengukur bacaan pada benchmark.
Bacaan belakang pada praktikum kali ini digunakan hanya untuk membuat sudut
ke nol (0) saja dan bacaan yang diukur adalah bacaan depan dengan memperoleh
data bacaan bawah, bacaan tengah, dan bacaan bawah. Output yang dihasilkan
pada praktikum kali ini adalah data bacaan atas, tengah, dan bawah, jarak, beda
tinggi dan elevasi. Hasil yang diperoleh kelompok kami untuk elevasi pada titik 1
yang terletak diatas sampai ke titik 6 dimana titik tersebut terletak dipaling bawah,
didapatkan hasil sebesar 772,925 mdpl sedangkan data yang diperoleh asisten
dosen dari hasil menggunakan gps sebesar 773 mdpl yang berarti terjadinya error
sebesar 0,075 . Hasil yang diperoleh dari titik 6 ke titik terakhir yaitu pada titik 12
didapatkan hasil sebesar 777,967 mdpl sedangkan data asisten dosen sebesar 778
mdpl yang berarti terjadi error sebesar 0.03 . Hal ini dapat terjadi karena adanya
beberapa penyebab yaitu berupa kesalahan pada saat mengatur nivo kotak dan
nivo tabung yang disejajarkan dengan patok tidak lurus, kemiringan lahan yang
menyebabkan sulitnya dalam mendirikan alat dan lain-lain.
Sonia M K
240110140017
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh pada praktikum kali ini adalah :
1. Metode tachymetri adalah metode pengukuran dengan menggunakan alat
alat optis, elektronis, dan digital.
2. Metode tachymetri ini dapat menggambarkan keadaan lokasi pada suatu
lokasi dengan mudah ,yaitu dilakukan dengan membuat beberapa titik
detail guna mengetahui secara langsung beda tinggi di suatu areal
kawasan yang ingin diamati.
3. Metode tachymetri ini hanya dapat mengukur satu bacaan saja yaitu
bacaan depan sedangkan untuk bacaan belakangnya hanya untuk
menentukan sudut nol (0) saja.
4. Output yang dihasilkan pada praktikum kali ini adalah data bacaan atas,
tengah, dan bawah, jarak, beda tinggi dan elevasi.

4.2 Saran
Saran yang diperoleh pada praktikum kali ini adalah :
1. Pada saat sedang berlangsungnya praktikum alangkah lebih baik apabila
praktikan dapat lebih fokus agar hasil yang didapatkan lebih akurat.
2. Sebelum memulai praktikum alangkah lebih baik apabila memahami
materi praktikum terlebih dahulu.
Gina Sania
240110140033

3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini membahas mengenai pengukuran beda tinggi
dengan metode tachymetri yang menggunakan alat ukur teodolit, yang dilakukan
di lahan yang telah disediakan oleh asisten dosen yaitu bertempatkan di PEDCA.
Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat menggunakan alat ukur teodolit
dengan lancar dan melakukan pengukuran beda tinggi dengan metode tachymetri.
Selanjutnya praktikan memulai mengukur menggunakan alat ukur teodolit
dengan memasangkan tripod kaki tiga lengap dengan teodolitnya yang siap pakai
jika baterai pada teodolit hanya satu bar tetapi baterai yang dipasangkan baterai
baru itu berarti adanya kesalahan pada salah satu baterai yang terbalik atau tidak
sesuai dengan petunjuk yang ditunjukan, lalu mengaturnya terlebih dahulu agar
pas dengan patok yang telah disediakan. Pada pemasangan kali ini kendala yang
dialami yaitu lahan yang tidak rata sehingga jika praktikan saat pemasangan alat
tidak pas dengan patoknya, juga saat mengatur nivo kotak dan tabung yang tidak
berada ditengah tengah. Agar pemasangan lancar juga nivo kotak dan tabung
berada ditengah tengah sehingga memenuhi syarat praktikan benar benar
memasangkannya tepat diatas patoknya lalu mengatur nivo kotak dan tabungnya.
Adapun faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran yaitu saat keadaan tanah
jalur pengukuran, keadaan/kondisi atmosfer (getaran udara), refraksi atmosfer,
kelengkungan bumi, kesalahan letak skala nol rambu, kesalahan panjang rambu
(bukan rambu standar), kesalahan pembagian skala (scale graduation) rambu,
kesalahan pemasangan nivo rambu, kesalahan garis bidik.
Pada pengukuran metode tachymetri ini relatif cepat dan mudah karena yang
diperoleh dari lapangan adalah pembacaan rambu, sudut horizontal (azimuth
magnetis), sudut vertikal (zenith) dan tinggi alat. Pada metode tachymetri ini hasil
yang diperoleh dari pengukuran tachymetri adalah posisi planimetris dan
ketinggian, juga metode ini cocok untuk pemetaan daerah yang luas dan untuk
detail-detail yang bentuknya tidak beraturan. Metode tachymetri ini didasarkan
pada prinsip bahwa pada segitiga-segitiga sebangun, sisi yang sepihak adalah
sebanding. Menggunakan pengukuran cara tachymetri, selain diperoleh unsur
jarak, juga diperoleh beda tinggi. Pada metode tachymetri ini pun jika data yang
diambil dari lapangan semakin banyak maka hasil semakin baik.
Nilai elevasi yang ditunjukan yaitu terdapat dari GPS. Nilai elevasi yang
praktikan dari praktikum kali ini dapatkan yaitu 777,964 yang jika dibandingkan
dengan nilai elevasi yang diberikan oleh asisten dosen yaitu 778, hasil yang
dihasilkan oleh praktikan telah mendekati nilai elevasi yang diberikan asisten
dosen dengan selisih hanya 0,036. Hasil nilai elevasi yang diperoleh itu didapat
pada saat pengukuran lahan tersebut telah menggunakan alat ukur teodolit dengan
baik juga benar dan penyimpanan alat dengan patoknya pun sesuai. Jika hasil
yang dihasilkan jauh pada saat perhitunga elevasi atau nilai elevasinya tidak
mendekati itu dikarenakan adanya ketidaktelitian saat menghitung perhitungan,
kesalahan aritmetik dalam menghitung perpotongan rambu, pemakaian faktor
pengali yang tidak benar, mengayunkan rambu (rambu harus selalu dipegang
tegak lurus).
Gina Sania
240110140033

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut:
1. Metode tachymetri ini didasarkan pada prinsip bahwa pada segitiga-
segitiga sebangun, sisi yang sepihak adalah sebanding.
2. Menggunakan pengukuran cara tachymetri, selain diperoleh unsur jarak,
juga diperoleh beda tinggi.
3. Metode tachymetri jika data yang diambil dari lapangan semakin banyak
maka hasil semakin baik.
4. Nilai elevasinya tidak mendekati itu dikarenakan adanya ketidaktelitian.
5. Hasil elevasi yang didapatkan pada praktikum kali ini 777,964 yang
mendekati nilai elevasi 778 yang ditujukan GPS.

4.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan sebagai berikut :
1. Sebaiknya sebelum melakukan praktikum, praktikan membaca materi
yang akan dipraktikumkan terlebih dahulu.
2. Dalam pembacaan rambu ukur dibutuhkan konsentrasi dan ketelitian
yang tinggi agar mendapatkan hasil yang tepat.
3. Sebelum melakukan pengukuran pastikan rambu ukur benar - benar tegak
agar tidak ada kekeliruan pembacaan.
Yosep Setiawan
240110140042
3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini praktikan melakukan pengukuran jarak
mendatar, jarak miring dan beda tinggi menggunakan alat ukur teodolit
dengan metode tachymetri. Teodolit merupakan alat ukur yang dapat
membaca sudut horizontal dan vertikal, selain itu dengan menggunakan
teodolit juga dapat diperoleh bacaan biasa dan luar biasa. Jika
menggunakan metode tachymetri pembacaan skala harus dilakukan
dengan dua bacaan tersebut. Perbedaan antara bacaan biasa dan luar biasa
yaitu terapat pada posisi teropong teodolit. Pada bacaan biasa posisi
teropong terletak sesuai prosedur sedangkan untuk mendapatkan bacaan
luar biasa posisi teropong diputar 180o. Fungsi dari bacaan luar biasa yaitu
sebagai pengoreksi bacaan biasa yang didapat.
Seperti halnya pada praktikum sebelumnya, praktikan melakukan
pengukuran jarak dan beda tinggi. Namun perbedaannya, pada praktikum
kali ini titik yang akan diukur telah ditentukan dan pengukuran juga
memliki jalur pergi dan jalur pulang. Setiap bacaan tersebut seharusnya
memiliki keakuratan dengan rumus BA-BT=BTBB, jika nilai tersebut
memiliki nilai yang sama maka pembidikan dikatakan akurat. Pada data
yang diperoleh hampir seluruh rata-rata antara bacaan atas dengan bacaan
bawahnya memiliki nilai yang sama, yang artinya Bacaan Tengahnya
benar. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa pengukuran akurat.
Beda tinggi dapat diperoleh berdasarkan perhitungan dengan

1
h= c ( BABB ) sin 2 + ( HiBT )
rumus 2 , dimana

=90 zenith dan BA, BB, BT bacaan biasa. Rumus tersebut

merupakan perhitungan beda tinggi yang tinggi bidikan (BT) tinggi

alat (Hi). Sedangkan pengoreksiannya yaitu dilihat dari jarak ynag


diperoleh pada dua bacaan tersebut, dengan rumus jarak atau

dh( jarak datar )=C ( BABB ) sin2 zenith , atau juga bisa menggunakan
jarak miring atau dm ( jarak miring ) =C ( BABB ) sin zenith . Pertama

dilakukan pendirian alat sesuai dengan prosedur pendirian alat ukur


teodolit. Titik yang penempatan alat pertama adalah dititik 1 dengan
ketinggian 778 mdpl, kemudian dari titik 1 membidik ke titik bidikan
BM/Utara sebagai bacaan belakang, dan setelah itu membidik ke titik
bidikan 2 sebagai bacaan muka. Pada setiap pemindahan alat, harus selalu
membidik ke tempat alat sebelumnya dengan syarat mengatur sudut
horizontal sebesar 0000. Pemindahan alat dilakukan sebanyak 12 kali.
Error yang didapat dari praktikum kali ini yaitu sebesar 0,033 m.
Error disebabkan oleh beberapa faktor kesalahan, diantaranya
kesalahan dalam membaca skala sudut horizontal pada teodolit dan skala
pada rambu ukur, kesalahan mencatat, kesalahan dalam menempatkan alat
ukur yang tidak pada garis ukur, kesalahan dalam mendatarkan alat ukur,
dan tidak tepat menghimpitkan kedua ujung alat ukur. Kesalahan yang
berasal dari manusia biasanya paling sering terjadi dan kesalahan ini
sangat mempengaruhi hasil pengukuran. Sehingga terjadi perbedaan hasil
jarak meteran dengan jarak teodolit.
Keadaaan topografi pada daerah pengukuran, sinar matahari, angin, dan
temperatur udara juga mempengaruhi kecermatan surveyor dalam melakukan
pengukuran. Keempat faktor tersebut merupakan beberapa kesalahan yang
disebabkan oleh alam atau lingkungan. Faktor alam juga harus diperhatikan saat
melakukan pengukuran karena bisa mempengaruhi kerja alat-alat ukur dan
berdampak pada hasil pengukuran.
Yosep Setiawan
240110140042
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Adapun dari praktikum Pemetaan Sumber Daya Lahan tentang
Metode Tachymetri yang telah dilaksanakan, dapat ditarik kesimpulan
antara lain:
1. Berdasarkan data praktikum poligon dapat diambil beberapa hal,
yaitu: sudut, jarak dan sudut horizontal dan sudut vertikal yang
berguna untuk mengukur jarak dari suatu daerah;
2. Kesalahan perhitungan poligon dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu:
faktor manusia, faktor alat dan faktor alam;
3. Teodolit adalah alat yang digunakan untuk pengukuran sudut yaitu
sudut mendatar yang dinamakan dengan sudut horizontal dan sudut
tegak yang dinamakan dengan sudut vertikal, dimana sudut sudut
tersebut berperan dalam penentuan jarak mendatar dan jarak tegak
diantara dua buah titik lapangan;
4. Pada pengukuran metode tachymetri, teropong dapat dimiringkan
sehingga keterbatasan jangkauan dapat dikurangi;
5. Hasil pengukuran dengan metode tachymetri akan diperoleh
pengukuran jarak miring, jarak mendatar, dan jarak vertikal.

4.2 Saran
Adapun saran untuk praktikum kali ini yaitu:
1. Praktikan sebaiknya belajar mendirikan rambu ukur dengan benar agar
bacaan rambu akurat;
2. Praktikan sebaiknya lebih teliti lagi dalam pembacaan pada rambu
ukur;
3. Praktikan sebaiknya memeriksa kondisi peralatan yang akan
digunakan sebelum praktikum dilakukan;
4. Praktikan sebaiknya teliti dalam memindahkan alat dan menentukan
titik juga membidik agar tidak terjadi kesalahan karena akan
menghambat praktikum.
Popon Widyasari
240110140044

3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini, dilakukan pengukuran beda tinggi dengan alat ukur
teodolit. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui beda tinggi setiap
pemindahan alat yang nantinya perhitungan beda tinggi ini akan menghasilkan
nilai akhir yang harus sama dengan nilai elevasi pada tempat alat awal. Pada
dasarnya praktikum kali ini sama dengan praktikum pengukuran beda tinggi
dengan menggunakan alat waterpass, tapi perbedaannya adalah jika dalam
pengukuran beda tinggi dengan alat waterpass dilakukan bacaan belakang
sedangkan pada praktikum kali ini tidak dilakukan langkah untuk membaca
bacaan belakang.
Pada perhitungan nilai beda tinggi, terdapat beberapa perhitungan yang
melibatkan hasil dari pengukuran seperti tinggi alat, BT dan sudut vertikal. Nilai

sudut vertikal akan digunakan sebagai perhitungan jarak, besarnya yang

pada akhirnya akan diperhitungkan dalam menghitung nilai beda tinggi. Untuk
perhitungan jarak dilakukan dengan dua formula yang menggunakan sin dan cos
menghasilkan nilai yang sama atau bisa dikatakan sebagai pengecekan nilai antara
dua rumus tersebut. Nilai sudut vertikal yang didapat akan berpengaruh pada nilai
beda tinggi, hal ini dikarenakan setiap perhitungan yang dibutuhkan dalam
perhitungan beda tinggi melibatkan nilai sudut vertikal yang didapat serta nilai BT
yang diperoleh menjadi salah satu yang dijadikan perhitungan dalam beda tinggi.
Pada praktikum kali ini, nilai elevasi pada titik awal sebesar 778 m yang
merupakan patokan perhitungan nilai elevasi. Namun pada kenyataannya, nilai
elevasi yang diperoleh dari perhitungan menghasilkan nilai yang tidak sama yaitu
sebesar 777.967 m dengan selisih angka sebesar 0.033 m. Hasil perhitungan
elevasi merupakan hasil dari perhitungan data dari pengukuran, maka pada saat
melakukan pengukuran harus diperhatikan tingkat ketelitiannya. Nilai elevasi
akhir yang didapat tidak menghasilkan nilai yang sama dengan nilai yang sudah
diketahui, hal ini disebabkan oleh tingkat ketelitian pada saat pemasangan alat
yang tidak tepat sehingga menghasilkan nilai BA, BB dan BT yang kurang tepat
otomatis nilai sudut vertikal yang didapat pun menjadi kurang tepat sehingga pada
perhitungan beda tinggi yang melibatkan sudut vertikal akan berpengaruh pada
perhitungan nilai elevasi. Setiap perhitungan yang dilakukan dari mulai
menghitung jarak, besarnya dan beda tinggi harus lebih teliti karena jika

salah pada perhitungan besarnya saja maka nilai beda tinggi yang didapat

tidak tepat otomatis pada perhitungan elevasi akan manghasilkan nilai akhir yang
berbeda, pembulatan nilai yang diperoleh juga bisa berpengaruh. Dimana, jika
nilai dibulatkan dan tidak dibulatkan akan menghasilkan angka yang berbeda,
selain itu juga nilai tinggi alat yang didapat berpengaruh pada nilai beda tinggi,
hal ini berkaitan dengan pemasangan alat yang kurang tepat.
Hasil yang tidak sesuai dengan literatur disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor tersebut bisa karena pada saat mendirikan alat, teodolit, gelembung pada
nivo kotak dan tabungnya tidak tepat di tengah-tengah patok. Faktor lain juga bisa
karena praktikan salah membaca bidikan dan kurang teliti dalam melakukan
perhitungan. Dan pembulatan pada hasil akhir beda tingginya, meskipun beda
sedikit tetapi bisa berpengaruh pada hasil akhirnya.
Popon Widyasari
240110140044

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesimpilan pada praktikum kali ini, yaitu :
1. Praktikan bisa melakukan pengukuran beda tinggi denagn menggunakan
metode tachymetri yang merupakan metode paling baik untuk
menghitung beda tinggi.
2. Hasil beda tinggi ada yang bernilai negatif dan positif, itu menunjukkan
lahan yang kita ukur naik atau turun (landai). Jika lahan yang kita ukur
itu turun (landai), maka beda tingginya pasti bernilai negatif. Sebaliknya
jika lahan yang kita ukur naik berarti beda tinggi akan bernilai positif.
3. Nilai elevasi akhir yang diperoleh berbeda dengan nilai elevasi yang
telah diketahui yaitu sebesar 777.967 m dengan nilai selisih 0.033m .
4. Nilai tinggi alat akan berpengaruh pada nilai beda tinggi dan nilai BT

dan besarnya berpengaruh pada nilai beda tinggi.

5. Pemasangan alat teodolit yang harus benar dan memenuhi syarat supaya
pada pelaksanaan pembidikan tepat dan menghasilkan nilai yang akurat.
6. Nilai sudut vertikal yang diperoleh akan memengaruhi nilai beda tinggi
sehingga akan berpengaruh juga pada perhitungan nilai elevasi
7. Hasil akhir yang tidak seharusnya disebabkan oleh beberapa faktor.
Salah satunya karena praktikan salah membaca bidikan dan kurang teliti
dalam melakukan perhitungan. Dan pembulatan pada hasil akhir beda
tingginya, meskipun beda sedikit tetapi bisa berpengaruh pada hasil
akhirnya.

4.2 Saran
Saran pada praktikum kali ini, yaitu :
1. Praktikan harus sering mempelajari cara memasang alat yang baik dan
benar, seperti mengatur nivo kotak dan nivo tabung pada alat ukur
teodolit.
2. Praktikan harus mempelajari materi yang akan dipraktikumkan sebelum
praktikum dilaksanakan.
3. Praktikan harus lebih teliti, baiuk dalam membidik, membaca pada alat
ukur teodolit, dan praktikan juga harus lebih teliti dalam melakukan
perhitungan dari data yang telah didapatkan.
DAFTAR PUSTAKA

Amaru, Kharistya dan Nawawi, Gunawan. 2014. Penuntun Praktikum Ilmu Ukur
Wilayah. Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran.

Anonim. TT. Metoda Tachymetri. Terdapat pada: https://www.google.com/?


gws_rd=ssl#q=metoda%20tachymetri. (Diakses pada tanggal 4 Mei 2016
Pukul 20.15 WIB)

Anonim. TT. Rambu Ukur. Terdapat pada : http://pustakats. blogspot.


com/2010/07/rambu-ukur.html. (Diakses pada tanggal 4 Mei 2016 Pukul
20.26 WIB)

Anonim. TT. Terdapat pada : http://indotrack.indonetwork.co.id/3491360.


(Diakses pada tanggal 4 Mei 2016 Pukul 20.45 WIB)

Hazzir. 2011. Pengukuran Profil Memanjang dan Melintang. Terdapat pada:


https://belajargeomatika.wordpress.com/2011/06/18/pengukuran-profil-
memanjang-dan-melintang/ (Diakses pada tanggal hari Rabu, tanggal 06
April 2016, pukul 13.25 WIB)

Syafrisar, Putra. 2012. Alat Ukur Teodolit. Terdapat pada: http://putra-


syafrisar.blogspot.com/2012/01/v-behavioururldefaultvmlo.html. ((Diakses
pada tanggal hari Rabu, tanggal 06 April 2016, pukul 19.25 WIB)

Yogie. 2010. Rambu Ukur. Terdapat pada:


http://yogiecivil.blogspot.com/2010/06/rambu-ukur_14.html. (Diakses pada
tanggal hari Rabu, tanggal 07 April 2016, pukul 22.29 WIB)
LAMPIRAN

Gambar 4. Tripod
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2016)

Gambar 5. Theodolite
(Sumber: Dokumen Pribadi, 2016)

Anda mungkin juga menyukai