Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

KERATITIS SUPERFISIALIS

Oleh:
Gheavani Legowo 1518012141

PRECEPTOR:
dr. H. Yul Khaizar, Sp.M
dr. Yuda Saputra, Sp. M

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM JENDRAL AHMAD YANI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kornea adalah selaput bening mata yang membentuk 1/6 bagian depan bola
mata yang dapat menembus cahaya, avaskular, berdiameter 8-10 mm dan kaya
akan ujung-ujung serat saraf. Kornea merupakan salah satu media refraksi
sehingga harus tetap jernih dan permukaannya rata agar tidak menghalangi
proses pembiasan sinar. Kelainan kornea yang paling sering ditemukan adalah
keratitis. Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan
kornea. Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran bowman, stroma,
membran descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih
dari satu lapisan kornea. Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya Infeksi virus, bakteri maupun jamur, paparan sinar ultraviolet,
Iritasi dari penggunaan lensa kontak yang berlebihan, dan masih banyak
lagi. 2

Klasifikasi keratitis dapat dibagi berdasarkan lapisan yang terkena dan


penyebabnya. Berdasarkan lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi
keratitis pungtata, marginal dan interstisial. Berdasarkan penyebabnya,
keratitis dibagi menjadi keratitis bakteri, virus, jamur maupun alergi. Jika
keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang
menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga
akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai menyebabkan
kebutaan sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar tidak
menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang.3

1.2 Tujuan
3

Tujuan dari penulisan referat ini adalah:


- untuk memenuhi kewajiban dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata di RSUD Jend. Ahmad Yani Kota Metro;
- untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan bagi orang lain yang
membacanya terutama mengenai Keratitis Superfisialis.
4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kornea

Kornea adalah jaringan transparan avaskuler sebagai membran pelindung


yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea dewasa rata-rata
mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi dan diameternya
sekitar 11 12 mm (horizontal) dan 10 11 mm (vertikal). Indeks refraksi
kornea 1.376. Tetapi dalam mengkalibrasi keratometer untuk menghitung
kombinasi kekuatan optik lengkung kornea anterior dan posterior digunakan
indeks refraksi 1.3375. Kornea asferis, walaupun jari-jari lengkung kornea
sering didapatkan sebagai cermin cembung sferosilindris membentuk tengah
permukaan anterior kornea, yang disebut kornea gap.1

Rata-rata jari-jari tengah kornea 7-8 mm (6.7-9.4 mm). kornea member


kontribusi 43.25 dioptri (74%) dari total 58.60 dioptri mata orang normal.
Kornea juga menyebabkan astigmatisme pada sistem optikal.1

Kornea merupakan jaringan transparan, yang bentuknya hampir sebagai


lingkaran dan sedikit lebih lebar pada daerah trasversal (12 mm) dari pada
arah vertikal dan mengisi bola mata di bagian depan. Kornea memiliki
kemampuan refraksi yang sangat kuat, yang menyuplai 2/3 atau sekitar 70%
pembiasan sinar. Karena kornea tidak memiliki pembuluh darah, maka kornea
akan berwarna jernih dan memiliki permukaan yang licin dan mengkilat. Bila
terjadi perubahan, walaupun kecil pada permukaan kornea, akan
mengakibatkan gangguan pembiasan sinar dan menyebabkan turunnya tajam
penglihatan secara nyata.2
5

Gambar 1. Anatomi Penampang Bola Mata

Kornea sangat sensitif karena terdapat banyak serabut sensorik. Saraf


sensorik ini berasal dari nervus cilliaris longus yang berasal dari nervus
nasosiliaris yang merupakan cabang saraf oftalmikus dari nervus trigeminus.
Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk merupakan
selaput bening mata dengan ketebalan kornea dibagian sentral hanya 0,5 mm,
yang terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma,
membran descemet, dan lapisan endotel.
1. Lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva
bulbaris), merupakan lapisan sel yang menutupi permukaan kornea.
Lapisan ini terdiri dari 5-6 lapisan sel tipis, sel polygonal dan sel
gepeng yang saling tumpang tindih yang akan cepat berdegenerasi
bila kornea mengalami trauma. Tebal lapisan epitel kira-kira 0,05 mm.
epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media
penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di sampingnya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan
glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang
melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan
erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan.
6

Epitel memiliki daya regenerasi. Bila penetrasi trauma lebih dalam


maka akan meninggalkan parut (scar). Parut yang timbul akan
meninggalkan area opak yang menyebabkan kornea kehilangan
kejernihannya.2
2. Membrane Bowman, merupakan membran jernih yang aseluler
terletak dibawah lapisan epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tidak
teratur seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma.
Karena lapisan ini sangat kuat dan sulit untuk dipenetrasi, maka
lapisan ini melindungi kornea dari trauma yang lebih dalam, namun
lapisan ini tidak memiliki daya regenerasi.
3. Stroma, merupakan lapisan kornea yang paling tebal mencakup
sekitar 90% dari ketebalan kornea. Bagian ini tersusun dari lamellae
fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 1m yang saling terjalin
hampir mencakup seluruh diameter kornea yang tersusun sangat
teratur sedangkan dibagian perifer kolagen ini bercabang;
terbentuknya serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang
mencapai 15 bulan. Lamellae ini berjalan sejajar dengan permukaan
kornea dan karena ukuran dan periodisitasnya yang membuat kornea
menjadi lapisan dengan yang jernih dan dapat dilalui cahaya.
Lamellae terletak didalam suatu zat dasar proteoglikan hidrat bersama
dengan keratinosit yang menghasilkan kolagen dan zat dasar.4
4. Membrane Descemet, adalah sebuah membran elastik yang jernih
tampak amorf pada pemeriksaan mikroskopik elektron dan
merupakan membran basalis dari endotel kornea. Membran ini
berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal 40 mm.
5. Lapisan Endotel, berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel
berbentuk heksagonal, tebal antara 20-40 mm melekat erat pada
membran descemet melalui hemidosom dan zonula okluden. Endotel
dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda
dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi,
sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan
mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada
7

regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan


cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma
bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian
hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari
kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membran
semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan kornea,
jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema
kornea dan kekeruhan pada kornea.2,3,5

Gambar 2. Lapisan Kornea

Gambar 3. Histologi Kornea

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui


berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya
yang seragam, avaskuler dan deturgesens. Deturgesens, atau keadaan
8

dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif


pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting
dari epitel dalam proses dehidrasi. Cedera kimia atau fisik pada endotel jauh
lebih berat dari pada cedera pada epitel. Kerusakan atau cedera pada sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan.
Sebaliknya, cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat
stroma kornea yang akan menghilang jika sel-sel epitel itu telah beregenerasi.
Penguapan air dari film airmata prakornea berakibat film air mata menjadi
hipertonik; proses itu dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang
menarik air dari stroma kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan
dehidrasi.

Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh, dan substansia larut air dapat melalui stroma yang utuh.
Oleh karena itu agar dapat melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut
air sekaligus. Kegunaan kornea adalah sbb:
1. Kornea mempunyai kemampuan membiaskan cahaya yang paling
kuat dibanding dengan sistem optik retaktif lainnya.
2. Kubah kornea akan membiaskan sinar kelubang pupil didepan lensa.
Kubah kornea yang semakin cembung akan memiliki daya bias yang
kuat.
3. Peran kornea sangat penting dalam menghantarkan cahaya masuk
kedalam mata untuk menghasilkan penglihatan yang tajam, maka
kornea memerlukan kejernihan, kehalusan dan kelengkungan tertentu

Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah adalah pembuluh-pembuluh


darah limbus, humor aquous dan air mata. Kornea superfisial juga
mendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik
kornea didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dan nervus kranialis V
(trigeminus).
9

Transparansi kornea disebabkan karena beberapa faktor diantaranya karena


kornea tidak mempunyai zat tanduk, pembuluh darah, struktur dan susunan
jaringan relatif homogen dan teratur. Permukaan kornea dikelilingi oleh
cairan agar mampu menahan cairan pada tingkat tertentu maka dibagian
depan kornea terdapat epitel dan dibagian belakang diliputi endotel, yang
berfungsi memompa cairan keluar kornea apabila berlebihan.

2.2 Definisi

Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea.
Proses peradangan tersebut umumnya ditandai dengan adanya edema kornea,
infiltrasi seluler, serta kongesti silier. Peradangan kornea dapat terjadi di
epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun endotel.
Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea.

2.3 Faktor Risiko

1. Blefaritis

2. Infeksi pada organ asesoria bulbi (seperti infeksi pada aparatus

lakrimalis)

3. Perubahan pada barrier epitel kornea (seperti dry eyes syndrom)

4. Pemakaian contact lens

5. Lagoftalmos

6. Gangguan Neuroparalitik

7. Trauma

8. Pemakaian imunosupresan topikal maupun sistemik

2.4 Epidemiologi
10

Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus


kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar
antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun
2013 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, perbandingan laki-laki
dan perempuan tidak begitu bermakna pada angka kejadian keratitis.
Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis antara lain terjadi karena trauma,
pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak yang buruk,
penggunaan lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau infeksi virus
lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, serta higienis dan
nutrisi yang tidak baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya.

2.5 Patofisiologi

Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme


kedalam kornea. Namun sekali kornea mengalami cedera, stroma yang
avaskuler dan membrane Bowman mudah terinfeksi oleh berbagai macam
mikroorganisme seperti amoeba, bakteri dan jamur. Streptococcus pneumonia
(pneumokokus) adalah bakteri pathogen kornea sejati; pathogen lain
memerlukan inokulum yang berat atau hospes yang lemah (misalnya pada
pasien yang mengalami defisiensi imun) agar dapat menimbulkan infeksi.
Moraxella liquefaciens, yang terutama terdapat pada peminum alkohol
(sebagai akibat kehabisan piridoksin), adalah contoh bakteri oportunistik dan
dalam beberapa tahun belakangan ini sejumlah bakteri oportunis kornea baru
ditemukan. Diantaranya adalah Serratia marcescens, kompleks
Mycobacterium fortuitum-chelonei, Streptococcus viridians, Staphylococcus
epedermidis, dan berbagai organisme coliform dan Proteus, selain virus dan
jamur.
Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan pada waktu
peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan lainnya yang
banyak mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea pertama-tama
akan bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
11

pembuluh darah yang ada di limbus dan tampak sebagai injeksi pada kornea.
Sesudah itu terjadilah infiltrasi dari sel-sel lekosit, sel-sel polimorfonuklear,
sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai
bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi tidak licin.

Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini dapat
dibuktikan dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang berwarna
kehijauan pada kornea. Bila tukak pada kornea tidak dalam dengan
pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa meninggakan jaringan parut,
namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi penyembuhan
akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator inflamasi yang
dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke iris dan badan siliar
menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada iris dapat dilihat berupa
kekeruhan di bilik mata depan. Kadang-kadang dapat terbentuk hipopion.

2.6 Klasifikasi

Pembagian keratitis ada bermacam-macam :

1. Menurut kausanya

a. Bakteri
Banyak ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain. Streptococcus
pneumonia merupakan penyebab ulkus kornea bakteri di banyak
bagian dunia. Penyebab lainnya yaitu Pseudomonas aeruginosa,
Moraxella liquefaciens, Streptococcus beta-hemolyticus,
Staphylococcus aureus, Mycobacterium fortuitum, S. epidermidis.
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Neiseria sp,
Corynebacterium dhiptheriae, K. aegyptus dan Listeria merupakan
agen berbahaya oleh karena dapat berpenetrasi ke dalam epitel kornea
yang intak. Karakteritik klinik ulkus kornea oleh karena bakteri sulit
untuk menentukan jenis bakteri sebagai penyebabnya, walaupun
12

demikian sekret yang berwarna kehijauan dan bersifat mukopurulen


khas untuk infeksi oleh karena P. aerogenosa. Kebanyakan ulkus
kornea terletak di sentral, namun beberapa terjadi di perifer.1,3,4,6

Meskipun awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh


kornea terutama jenis P.aeroginosa. Batas yang maju menunjukkan
ulserasi aktif dan infiltrasi, sementara batas yang ditinggalkan mulai
sembuh. Biasanya kokus gram positif, Staphylococcus aureus, S.
Epidermidis, Streptococcus pneumonia akan memberikan gambaran
tukak yang terbatas, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih abu
abu pada anak tukak yang supuratif, daerah kornea yang tidak
terkena akan tetap berwarna jernih dan tidak terlihat infiltrasi sel
radang. Bila tukak disebabkan oleh P. Aeroginosa makan tukak akan
terlihat melebar secara cepat, bahan purulent berwarna kuning hijau
terlihat melekat pada permukaan tukak.

Infeksi bakteri umumnya kondisi yang mengancam penglihatan.


Secara klinis onset nyerinya sangat cepat disertai dengan injeksio
konjungtiva, fotofobia dan penurunan visus pada pasien dengan ulkus
kornea bakterial, inflamasi endotel, tanda reaksi bilik mata depan, dan
hipopion sering ada. Penyebab infeksi tumbuh lambat, organisme
seperti mycobakteria atau bakteri anaerob infiltratnya tidak bersifat
supuratif dan lapisan epitel utuh. Penggunaan kortikosteroid, kontak
lensa, graf kornea yang telah terinfeksi kesemuanya merupakan
predisposisi terjadinya infeksi bakterial.1,8

b. Virus
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. Infeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise,
limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan
2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat
unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral
khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat terjadi pada
setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25
13

tahun. Keratitis herpes simpleks didominasi oleh kelompok laki-laki


pada umur 40 tahun ke atas.

Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: fotofobia, injeksi


perikornea, dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi
tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi
atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap
keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes
zoster oftalmikus.

c. Jamur
Keratitis fungi banyak dijumpai pada para pekerja pertanian, sekarang
makin banyak dijumpai diantara penduduk perkotaan, dengan
dipakainya obat kortikosteroid dalam pengobatan mata. Sebelum era
kortikosteroid, ulkus kornea fungi hanya timbul bila stroma kornea
kemasukan sangat banyak organisme, suatu peristiwa yang masih
mungkin timbul di daerah pertanian. Mata yang belum terpengaruhi
kortikosteroid masih dapat mengatasi organism sedikit-sedikit, seperti
yang terjadi pada lazimnya penduduk perkotaan.

Pada ulkus fungi terdapat infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,


peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial dan lesi-lesi
satelit (umumnya infiltrat di tempat-tempat yang jauh dari daerah
utama ulserasi). Lesi utama dan sering juga lesi satelit merupakan lesi
endotel dengan tepian tidak teratur di bawah lesi kornea utama, disertai
reaksi kamera anterior yang hebat dan abcess kornea.

d. Alergi

e. Defisiensi vitamin
Biasanya lesi berupa ulkus terletak dipusat dan bilateral berwarna
kelabu dan indolen, disertai kehilangan kilau kornea di daerah
sekitarnya. Kornea melunak dan sering terjadi perforasi.

f. Kerusakan N.V (nervus trigeminus)


Jika nervus yang mempersarafi kornea terputus karena trauma,
tindakan bedah peradangan atau karena sebab apapun, kornea akan
14

kehilangan kepekaannya yang merupakan salah satu pertahanan


terhadap infeksi yaitu reflex berkedip. Pada tahap awal ulkus
neurotropik pada pemeriksaan fluorescein akan menghasilkan daerah-
daerah dengan berupa berupa bercak terbuka.

g. Idiopatik

(keratitis bakteri) (keratitis jamur)

(keratitis virus) (keratitis alergi)

Gambar 4. Perbedaan Keratitis bakteri, jamur, virus maupun alergi


15

2. Menurut tempatnya

a. Keratitis epithelial
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan
keratitis serta pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya
jaringan yang terlibat (misalnya: pada keratitis punctata superficialis).
Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan
vakuolasi sampai erosi kecil-kecil, pembentukan filament, keratinisasi
partial dan lain-lain. Lesi-lesi ini juga bervariasi pada lokasinya di
kornea. Semua variasi ini mempunyai makna diagnostik yang penting.

b. Keratitis subepitelial
Lesi-lesi ini sering terjadi karena keratitis epithelial (misal infiltrat
subepitelial pada keratokonjungtivitis epidemika, yang disebabkan
adenovirus 8 dan 19). Umunya lesi ini dapat diamati dengan mata
telanjang namun dapat juga dikenali pada pemeriksaan
biomikroskopik terhadap keratitis epitelial.

c. Keratitis stroma
Respons stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang
menunjukkan akumulasi sel-sel radang; edema muncul sebagai
penebalan kornea, pengkeruhan, atau parut; penipisan dan perlunakan
yang dapat berakibat perforasi; dan vaskularisasi.

d. Keratitis endothelial
Disfungsi endothelium kornea akan berakibat edema kornea, yang
mula-mula mengenai stroma dan kemudian epitel. Ini berbeda dari
edema yang disebabkan oleh peningkatan TIO, yang mulai pada epitel
kemudian pada stroma. Selama kornea tidak terlalu sembab, sering
masih dapat terlihat kelainan endotel kornea melalui slit-lamp. Sel-sel
radang pada endotel (endapan keratik atau KPs) tidak selalu
menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang juga
merupakan manifestasi dari uveitis anterior.

3. Menurut prof. I Salim

Menurut lapisan kornea yang terkena; yaitu keratitis superfisialis apabila


16

mengenai lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau

interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai

lapisan stroma atau lapisan yang lebih dalam.

a. Keratitis superficial nonulceratif


Contoh :
Keratitis pungtata superficial
Keratitis numularis dari Dimmer
Keratitis disiformis dari Westholf
Keratokonjungtivitis epidemika
b. Keratitis superficial ulcerative
Contoh :
Keratitis pungtata superficial ulceratif
Keratitis flikten
Keratitis herpetika
Keratitis sika
Rosasea keratitis
c. Keratitis profunda nonulceratif
Contoh :
Keratitis interstisial
Keratitis pustuliformis profunda
Keratitis disiformis
Keratitis sklerotikum
d. Keratitis profunda ulcerative
Contoh :
Keratitis et lagoftalmus
Keratitis neuroplastik
Xeroftalmia
Trakoma dengan infeksi sekunder
Gonore
Ulkus serpens akut
Ulkus serpens kronik
Ulkus ateromatosis

2.7 Keratitis Superfisialis


17

1. Keratitis Superfisial Nonulseratif

A. Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs


Merupakan suatu peradangan akut, yang mengenai satu, kadang-kadang
dua mata, dimulai dengan konjungitivitis, disertai dengan infeksi dari
traktus respiratorius bagian atas. Disusul dengan pembentukan infiltrat
yang berupa titik-titik pada kedua permukaan membran Bowman. Infiltrat
tersebut dapat besar atau kecil dan dapat timbul hingga berratus-ratus.
Infiltrat ini di dapatkan di bagian superfisial dari stroma, sedang epitel di
atasnya tetap licin sehingga tes fluoresin negatif (-) oleh karena letaknya di
subepitelial. Penyebabnya adalah infeksi virus, bakteri, parasit,
neurotropik, dan nutrisial.

Gambar 5. Keratitis Pungtata Superfisial


18

B. Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer

Gambar 6. Keratitis Numularis

Keratitis numularis merupakan bentuk keratitis dengan ditemukannya


infiltrat yang bundar berkelompok dengan inti jernih dan warna putih
disekelilingnya berbatas tegas sehingga memberikan gambaran halo. Tes
fluoresen negatif (-). Bila sembuh akan menyebabkan sikatrik ringan.

C. Keratitis Disiformis dari Westhoff

Gambar 7. Keratitis Disiformis

Disebut juga sebagai keratitis sawah, karena merupakan peradangan


kornea yang banyak di negeri persawahan basah. Penyebabnya adalah
virus yang berasal dari sayuran dan binatang. Pada anamnesa umumnya
ada riwayat trauma dari lumpur sawah. Pada mata, tanda radang tidak
jelas, namun dapt terjadi injeksi silier. Apabila disertai dengan infeksi
sekunder, mungkin timbul tanda-tanda konjungtivitis. Pada kornea tampak
infiltrat yang bulat-bulat, di tengahnya lebih padat dari pada di tepi dan
19

terletak subepitelial. Tes Fluoresin (-).3 Terletak terutama dibagian tengah


kornea. Umumnya menyerang orang-orang berumur 15-30 tahun.

D. Keratokonjungtivitis Epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada
satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Kekeruhan
subepitel bulat. Sensasi kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri
tekan adalah khas. Edema palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva
menandai fase akut. Folikel dan perdarahan konjungtiva sering muncul
dalam 48 jam. Dapat membentuk pseudomembran dan diikuti parut datar
atau pembentukan simbelfaron.2, 4
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel
terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepi, dan menetap berbulan-
4
bulan namun tidak meninggalkan jaringan parut ketika sembuh.
Keratokonjungtivitis epidemika pada orang dewasa terbatas pada bagian
luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin terdapat gejala sistemik
infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare. 4
Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29,
dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia). Virus-virus ini dapat
diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes netralisasi.
Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear primer;
bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil. 2
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi
melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang
steril, atau pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama
anastetika topikal, mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat
menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva atau silia. Virus itu dapat
bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber penyebaran. 2,4

Kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan memakai penetes steril


pribadi atau memakai tetes mata dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan
secara teratur di antara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-
alat yang menyentuh mata khususnya tonometer. Tonometer aplanasi harus
20

dibersihkan dengan alkohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan air


steril dan dikeringkan dengan hati-hati. 4

2. Keratitis Superfisial Ulseratif


A. Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa

Penyakit ini didahului oleh konjungtivitis kataral, akibat bakteri


stafilokokus ataupun bakteri pneumokokus. Tes fluoresin positif (+).4

B. Keratokonjungtivitis Flikten

Gambar 8. Keratokonjungtivitis Flikten

Merupakan radang kornea dan konjungtiva akibat dari reaksi imun yang
mungkin merupakan sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif
terhadap antigen. Pada mata terdapat flikten yaitu berupa benjolan
berbatas tegas berwarna putih keabuan yang terdapat pada lapisan
superfisial kornea dan menonjol di atas permukaan kornea. 2,5 Dapat
ditemukannya infiltrat dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran
karakteristiknya adalah dengan terbentuknya papul dan pustula pada
kornea ataupun konjungtiva. Pada mata terdapat flikten pada kornea
berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan, dengan atau tanpa
neovaskularisasi yang menuju kearah benjolan tersebut. Biasanya bersifat
bilateral yang dimulai dari daerah limbus.
Pada gambaran klinis akan terlihat suatu keadaan sebagai hiperemia
konjungtiva, kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan
panas disertai gatal dan tajam penglihatan yang berkurang. Pada limbus di
dapatkan benjolan putih kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva yang
21

hyperemia. Bila terjadi penyembuhan akan terjadi jaringan parut dengan


noevaskularisasi pada kornea.
Pada anak-anak keratitis flikten disertai gizi buruk dapat
berkembang menjadi tukak kornea karena infeksi sekunder. Tukak flikten
sering ditemukan berbentuk sebagai benjolan abu-abu, yang pada kornea
terlihat sebagai:
- Ulkus fasikular, berbentuk ulkus yang menjalar melintas kornea dengan
pembuluh darah jelas dibelakangnya.
- Flikten multipel di sekitar limbus
- Ulkus cincin, yang merupakan gabungan ulkus.

C. Keratitis Herpetika
Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh
infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Kelainan mata akibat
infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler,
konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial.
Kebanyakan kasus bersifat unilateral, walaupun dapat terjadi bilateral
khususnya pada pasien-pasien atopi.
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini
harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea,
misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata
kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala
spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu paska infeksi primer
dengan mekanisme yang tidak jelas. Virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,
ganglion nervus trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan
virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri
berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks6.
22

D. Keratokonjungtivitis Sika

Gambar 9. Keratokonjungtivitis Sika

Keratokonjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea


dan konjungtiva. Kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan :
1. Defisiensi komponen lemak air mata. Misalnya: blefaritis menahun,
distikiasis dan akibat pembedahan kelopak mata.
2. Defisiensi kelenjar air mata: sindrom Sjogren, sindrom Riley Day,
alakrimia congenital, aplasi congenital saraf trigeminus, sarkoidosis
limfoma kelenjar air mata, obat-obat diuretik kimia, atropin dan usia tua.
3. Defisiensi komponen musin: benign ocular pemphigoid, defisiensi vitamin
A, trauma kimia, sindrom Stevens Johnson, penyakit-penyakit yang
mengakibatkan cacatnya konjungtiva.
4. Akibat penguapan yang berlebihan seperti pada keratitis neroparalitik,
hidup di gurun pasir, keratitis lagoftalmus.
5. Karena parut pada kornea atau menghilangnya mikrovili kornea.
Pada keratokonjungtivitis sika terdapat rasa gatal pada mata. Pada mata
didapatkan sekresi mukus yang berlebihan. Sukar menggerakkan kelopak
mata. Mata kering karena dengan erosi kornea.
Pada pemeriksaan lampu celah didapatkan miniskus air mata pada tepi
kelopak mata bawah hilang, edema konjungtiva bulbi, filamen (benang-
benang) melekat di kornea.1
23

D. Keratitis Rosasea

Gambar 10. Keratitis Rosasea

Didapat pada orang yang menderita akne rosasea, yaitu penyakit dengan
kemerahan dikulit, disertai akne diatasnya, yang merupakan komplikasi dari
akne rosasea dan lebih sering terjadi pada orang dengan kulit putih. Hiperemi
yang terjadi berlangsung beberapa lama dan diikuti dengan dilatasi pembuluh
darah kecil yang tetap, terutama di daerah hidung. Bagian dalam dari kulit
menebal, terutama di daerah hidung. Hipertrofi kulit hidung menimbulkan
lipatan yang disebut rinofima. Penyakit ini timbul pada dewasa muda dan
hilang pada usia lanjut. Penyebabnya tidak diketahui dengan jelas, namun
mungkin ada hubungan dengan makanan, kelainan pencernaan, kebanyakan
alkohol, dan gastric achlorida.
Lebih dari 50% menunjukkan blefaritis, konjungtivitis, yang mungkin
disebabkan oleh infeksi sekunder, dengan stafilokok. Dapat terjadi kerusakan
kornea apabila akne mengenai kornea. Pada pemeriksaan mikroskopik, perifer
kornea dapat mengalami ulserasi dan vaskularisasi, dan keratitis memiliki
dasar yang sempit pada daerah limbus dan infiltrat yang luas pada bagian
sentral.4
Penyakit rosasea adalah penyakit yang menahun dan sering menimbulkan
kekambuhan serta memberikan respon yang jelek terhadap pengobatan. Pada
setiap serangan penglihatan bertambah buruk.
24

2.8 Manifestasi Klinis

Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang
terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur.
Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea,
blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea.2

2.9 Diagnosis

Anamnesis
Dari anamnesis biasanya didapatkan gejala seperti:
Mata merah yang sakit injeksi perikorneal;
Fotofobia;
Blefarospasme karena rasa sakit yg diperhebat oleh gesekan palpebra
superior;
Penglihatan menurun karena kornea keruh akibat infiltrasi sel radang
dan mengganggu penglihatan;
Mengganjal/terasa ada benda asing di kornea banyak saraf sensibel
Kadang kotor;
Mata berair rangsang nyeri sehingga reflek air mata meningkat.

Riwayat trauma, mengingat keberadaan benda asing dan abrasi merupakan


penyebab yang cukup sering pada penyakit kornea. Di samping itu, ditanyakan
pula mengenai riwayat penyakit kornea sebelumnya, misalnya pada keratitis
akibat infeksi herpes simpleks. Riwayat imunodefisiensi maupun penggunaan
obat obatan topikal, terutama kortikosteroid, juga penting untuk ditanyakan
25

karena dapat menjadi faktor predisposisi bagi pertumbuhan bakteri, jamur,


maupun virus.

Pemeriksaan Oftalmologi
Pemeriksaan visus
Pemeriksaan dengan Slit Lamp
Tes Placido
Yang diperhatikan adalah gambaran sirkuler yang direfleksi pada
permukaan kornea penderita. Bila bayangan di kornea gambaran
sirkulernya teratur, disebut Placido (-), pertanda permukaan kornea baik.
Kalau gambaran sirkulernya tidak teratur, Placido (+) berarti permukaan
kornea tidak baik, mungkin ada infiltrat.
Tes Fluoresin
Untuk melihat lebar dan dalamnya defek pada kornea, yaitu dengan
memasukkan kertas yang mengandung fluoresin steril ke dalam sakus
konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu diberi anestesi lokal, kemudian
penderita disuruh mengedip beberapa waktu dan kertas fluoresinnya
dicabut. Pemeriksaan ini dapat juga menggunakan fluoresin tetes. Pada
tempat ulkus tampak berwarna hijau.
Tes Fistel / Siedel Test
Pada pemeriksaan adanya fistel pada ulkus kornea, setelah pemberian
fluoresin, bola mata harus ditekan sedikit untuk melepaskan fibrinnya dari
fistel, sehingga cairan COA dapat mengalir keluar melalui fistel, seperti air
mancur pada tempat ulkus dengan fistel tersebut.
Pemeriksaan bakteriologik, dari usapan pada keratitis maupun ulkus
kornea
Harus dilakukan pemeriksaan hapusan langsung, pembiakan, dan tes
resistensi. Dari pemeriksaan hapusan langsung dapat diketahui macam
kuman penyebabnya.
Bila banyak monosit diduga akibat virus;
Leukosit PMN kemungkinan akibat bakteri;
26

Eosinofil, menunjukkan radang akibat alergi;


Limfosit, terdapat pada radang yang kronis;
Dengan melakukan pembiakan dan tes resistensi, dapat diketahui kuman
penyebab, juga obatnya yang tepat guna, dengan demikian pengobatan
menjadi lebih terarah.
Sensibilitas kornea

2.10 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,


menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada
kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta
memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai
dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia,
lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat.

Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement


sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan
spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga obat
lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial
"ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan
debridement juga mampu mengurangi kandungan virus epithelial jika
penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang.

Penatalaksanaan pada keratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan


etiologi.
Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir.
Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G
atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin,
gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika
terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran
dengan bakteri.
27

Untuk jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau fluconazol.

Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga
diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan
mengatasi keluhan-keluhan pasien serta obat yang dapat membantu epitelisasi
dapat diberikan.3. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan
kortikosteroid.
Pemberian air mata buatan yang mengandung metilselulosa dan gelatin
yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan
memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar.
Pemberian siklopegik berfungsi untuk memberikan kenyamanan pada
pasien dengan mengurangi spasme m. siliaris dan m. sfingter pupil
dengan menggunakan atropine, atropin tidak diberikan lebih dari 1-2
minggu.
Pemberian tetes kortikosteroid pada Keratitis superfisialis bertujuan
untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah terbentuknya
jaringan parut pada kornea, dan juga menghilangkan keluhan subjektif
seperti fotobia, namun pada umumnya pada pemeberian steroid dapat
menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat memperpanjang
infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah
virus. Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus
terus diawasi dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk
waktu lama dapat memperpanjang perjalanan penyakit hingga
bertahun-tahun dan berakibat timbulnya katarak dan glaukoma
terinduksi steroid, menambah kemungkinan infeksi jamur, menambah
berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat
menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid
pada keratitis menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan untuk
diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian tersebut telah
menunjukan bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan subjektif pasien
dan juga mengatasi peradangannya seperti halnya kortikostroid namun
lebih aman dari steroid itu sendiri karena tidak akan menyebabkan
katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.
28

Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien


keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung
kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan
agar tidak terlaru sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis
ini dapat juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena
paparan sinar matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut
memang telah memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang
mengucek matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada.

Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita
menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga
kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu
tangan, dan tissue.1

2.11 Prognosis

Prognosis quo ad vitam pada pasien keratitis adalah bonam. Sedangkan


prognosis fungsionam pada keratitis sangat tergantung pada jenis keratitis itu
sendiri. Jika lesi pada keratitis superficial berlanjut hingga menjadi ulkus
kornea dan jika lesi pada keratitis tersebut telah melebihi dari epitel dan
membran bowman maka prognosis fungsionam akan semakin buruk. Hal ini
biasanya terjadi jika pengobatan yang diberikan sebelumnya kurang adekuat,
kurangnya kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi yang sudah dianjurkan,
terdapat penyakit sistemik lain yang dapat menghambat proses penyembuhan
seperti pada pasien diabetes mellitus, ataupun dapat juga karena mata pasien
tersebut masih terpapar secara berlebihan oleh lingkungan luar, misalnya
karena sinar matahari ataupun debu. 2

Pemberian kortikosteroid topikal untuk waktu lama dapat memperpanjang


perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun serta dapat pula mengakibatkan
timbulnya katarak dan glaukoma yang diinduksi oleh steroid. 2
29

BAB III
KESIMPULAN

Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat di
lapisan kornea. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu
superfisial dan interstisial atau profunda. Keratitis superfisial adalah radang
kornea yang mengenai lapisan epitel dan membran bowman. Keratitis dapat
terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Keratitis dapat memberikan gejala mata
merah, rasa silau, epifora, nyeri, kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur.
Keratitis superfisial dapat dibagi menjadi :
Keratitis superfisial nonulseratif, yang terdiri atas:
1. Keratitis pungtata superfisial dari Fuchs
2. Keratitis numularis dari Dimmer
3. Keratitis disiformis dari Westhoff
4. Keratokonjungtivitis epidemika
Keratitis superfisial ulseratif, yang terdiri atas :
1. Keratitis pungtata superfisial ulserativa
2. Keratitis flikten
3. Keratitis herpertika
4. Keratitis sika
5. Keratitis rosasea
Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda beda tergantung dari jenis
patogen dan lapisan kornea yang terkena. Diagnosis keratitis dapat ditegakkan
dengan tes fluoresin dan pemeriksaan lampu celah atau slit lamp. Dengan
pemeriksaan slit lamp, maka diagnosis dan penatalaksanaan keratitis dapat
dilakukan dengan tepat dan sesuai dengan etiologi.
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya
dan kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidak nya perluasan ke
jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya pada pasien
immunocompromised), virulensi dari patogen, ada atau tidaknya vaskularisasi dan
ada atau tidaknya deposit kolagen pada jaringan tersebut, serta pengobatan yang
diberikan.

DAFTAR PUSTAKA
30

1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea, San


Fransisco 2006-2007 : 8-12, 26-35

2. Biswell R, MD. Kornea. In: Vaughan DG, Asbury T, Riordan P, ed.


Oftalmologi Umum 14th ed. Jakarta : Widya Medika; 2013, 129-52

3. Kanski J.J., Bowling, B.2011.Cornea dalam Clinical Ophthalmology: A


Systematic Approach. 7th Ed. Oxford:Butterworth-Heinemann Ltd.

4. Ilyas, Sidarta Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI
Jakarta, 2013 : 147-158.

5. Mansjoer, Arif M. 2013. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media


Aesculapius FKUI. Hal: 56

6. Thygeson, Phillips. 2011. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the


American Medical Association; 144:1544-1549. Available at :
http://webeye. ophth.uiowa.edu/ dept/service/cornea/cornea.htm

7. Srinivasan, M., Mascarenhas, J., Prashanth, C.N., 2009. Distinguishing

Infective Versus Noninfective Keratitis. Indian Journal of Ophtalmology.

56(3): 203-207

8. Sutphin, J.E. 2016. Thygesons Superficial Punctate Keratitis. Cornea and


External Disease, Department of Ophtalmology and Visual Science,
University of Iowa. Available at http://webeye.ophth.uiowa.edu/
eyeforum/tutorials/ thygeson.htm

Anda mungkin juga menyukai