REFERAT
REFERAT
KERATITIS SUPERFISIALIS
Oleh:
Gheavani Legowo 1518012141
PRECEPTOR:
dr. H. Yul Khaizar, Sp.M
dr. Yuda Saputra, Sp. M
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh, dan substansia larut air dapat melalui stroma yang utuh.
Oleh karena itu agar dapat melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut
air sekaligus. Kegunaan kornea adalah sbb:
1. Kornea mempunyai kemampuan membiaskan cahaya yang paling
kuat dibanding dengan sistem optik retaktif lainnya.
2. Kubah kornea akan membiaskan sinar kelubang pupil didepan lensa.
Kubah kornea yang semakin cembung akan memiliki daya bias yang
kuat.
3. Peran kornea sangat penting dalam menghantarkan cahaya masuk
kedalam mata untuk menghasilkan penglihatan yang tajam, maka
kornea memerlukan kejernihan, kehalusan dan kelengkungan tertentu
2.2 Definisi
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea.
Proses peradangan tersebut umumnya ditandai dengan adanya edema kornea,
infiltrasi seluler, serta kongesti silier. Peradangan kornea dapat terjadi di
epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun endotel.
Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea.
1. Blefaritis
lakrimalis)
5. Lagoftalmos
6. Gangguan Neuroparalitik
7. Trauma
2.4 Epidemiologi
10
2.5 Patofisiologi
pembuluh darah yang ada di limbus dan tampak sebagai injeksi pada kornea.
Sesudah itu terjadilah infiltrasi dari sel-sel lekosit, sel-sel polimorfonuklear,
sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai
bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi tidak licin.
Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini dapat
dibuktikan dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang berwarna
kehijauan pada kornea. Bila tukak pada kornea tidak dalam dengan
pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa meninggakan jaringan parut,
namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi penyembuhan
akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator inflamasi yang
dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke iris dan badan siliar
menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada iris dapat dilihat berupa
kekeruhan di bilik mata depan. Kadang-kadang dapat terbentuk hipopion.
2.6 Klasifikasi
1. Menurut kausanya
a. Bakteri
Banyak ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain. Streptococcus
pneumonia merupakan penyebab ulkus kornea bakteri di banyak
bagian dunia. Penyebab lainnya yaitu Pseudomonas aeruginosa,
Moraxella liquefaciens, Streptococcus beta-hemolyticus,
Staphylococcus aureus, Mycobacterium fortuitum, S. epidermidis.
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Neiseria sp,
Corynebacterium dhiptheriae, K. aegyptus dan Listeria merupakan
agen berbahaya oleh karena dapat berpenetrasi ke dalam epitel kornea
yang intak. Karakteritik klinik ulkus kornea oleh karena bakteri sulit
untuk menentukan jenis bakteri sebagai penyebabnya, walaupun
12
b. Virus
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. Infeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise,
limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan
2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat
unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral
khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat terjadi pada
setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25
13
c. Jamur
Keratitis fungi banyak dijumpai pada para pekerja pertanian, sekarang
makin banyak dijumpai diantara penduduk perkotaan, dengan
dipakainya obat kortikosteroid dalam pengobatan mata. Sebelum era
kortikosteroid, ulkus kornea fungi hanya timbul bila stroma kornea
kemasukan sangat banyak organisme, suatu peristiwa yang masih
mungkin timbul di daerah pertanian. Mata yang belum terpengaruhi
kortikosteroid masih dapat mengatasi organism sedikit-sedikit, seperti
yang terjadi pada lazimnya penduduk perkotaan.
d. Alergi
e. Defisiensi vitamin
Biasanya lesi berupa ulkus terletak dipusat dan bilateral berwarna
kelabu dan indolen, disertai kehilangan kilau kornea di daerah
sekitarnya. Kornea melunak dan sering terjadi perforasi.
g. Idiopatik
2. Menurut tempatnya
a. Keratitis epithelial
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan
keratitis serta pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya
jaringan yang terlibat (misalnya: pada keratitis punctata superficialis).
Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan
vakuolasi sampai erosi kecil-kecil, pembentukan filament, keratinisasi
partial dan lain-lain. Lesi-lesi ini juga bervariasi pada lokasinya di
kornea. Semua variasi ini mempunyai makna diagnostik yang penting.
b. Keratitis subepitelial
Lesi-lesi ini sering terjadi karena keratitis epithelial (misal infiltrat
subepitelial pada keratokonjungtivitis epidemika, yang disebabkan
adenovirus 8 dan 19). Umunya lesi ini dapat diamati dengan mata
telanjang namun dapat juga dikenali pada pemeriksaan
biomikroskopik terhadap keratitis epitelial.
c. Keratitis stroma
Respons stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang
menunjukkan akumulasi sel-sel radang; edema muncul sebagai
penebalan kornea, pengkeruhan, atau parut; penipisan dan perlunakan
yang dapat berakibat perforasi; dan vaskularisasi.
d. Keratitis endothelial
Disfungsi endothelium kornea akan berakibat edema kornea, yang
mula-mula mengenai stroma dan kemudian epitel. Ini berbeda dari
edema yang disebabkan oleh peningkatan TIO, yang mulai pada epitel
kemudian pada stroma. Selama kornea tidak terlalu sembab, sering
masih dapat terlihat kelainan endotel kornea melalui slit-lamp. Sel-sel
radang pada endotel (endapan keratik atau KPs) tidak selalu
menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang juga
merupakan manifestasi dari uveitis anterior.
D. Keratokonjungtivitis Epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada
satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Kekeruhan
subepitel bulat. Sensasi kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri
tekan adalah khas. Edema palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva
menandai fase akut. Folikel dan perdarahan konjungtiva sering muncul
dalam 48 jam. Dapat membentuk pseudomembran dan diikuti parut datar
atau pembentukan simbelfaron.2, 4
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel
terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepi, dan menetap berbulan-
4
bulan namun tidak meninggalkan jaringan parut ketika sembuh.
Keratokonjungtivitis epidemika pada orang dewasa terbatas pada bagian
luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin terdapat gejala sistemik
infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare. 4
Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29,
dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia). Virus-virus ini dapat
diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes netralisasi.
Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear primer;
bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil. 2
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi
melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang
steril, atau pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama
anastetika topikal, mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat
menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva atau silia. Virus itu dapat
bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber penyebaran. 2,4
B. Keratokonjungtivitis Flikten
Merupakan radang kornea dan konjungtiva akibat dari reaksi imun yang
mungkin merupakan sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif
terhadap antigen. Pada mata terdapat flikten yaitu berupa benjolan
berbatas tegas berwarna putih keabuan yang terdapat pada lapisan
superfisial kornea dan menonjol di atas permukaan kornea. 2,5 Dapat
ditemukannya infiltrat dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran
karakteristiknya adalah dengan terbentuknya papul dan pustula pada
kornea ataupun konjungtiva. Pada mata terdapat flikten pada kornea
berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan, dengan atau tanpa
neovaskularisasi yang menuju kearah benjolan tersebut. Biasanya bersifat
bilateral yang dimulai dari daerah limbus.
Pada gambaran klinis akan terlihat suatu keadaan sebagai hiperemia
konjungtiva, kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan
panas disertai gatal dan tajam penglihatan yang berkurang. Pada limbus di
dapatkan benjolan putih kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva yang
21
C. Keratitis Herpetika
Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh
infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Kelainan mata akibat
infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler,
konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial.
Kebanyakan kasus bersifat unilateral, walaupun dapat terjadi bilateral
khususnya pada pasien-pasien atopi.
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini
harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea,
misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata
kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala
spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu paska infeksi primer
dengan mekanisme yang tidak jelas. Virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,
ganglion nervus trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan
virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri
berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks6.
22
D. Keratokonjungtivitis Sika
D. Keratitis Rosasea
Didapat pada orang yang menderita akne rosasea, yaitu penyakit dengan
kemerahan dikulit, disertai akne diatasnya, yang merupakan komplikasi dari
akne rosasea dan lebih sering terjadi pada orang dengan kulit putih. Hiperemi
yang terjadi berlangsung beberapa lama dan diikuti dengan dilatasi pembuluh
darah kecil yang tetap, terutama di daerah hidung. Bagian dalam dari kulit
menebal, terutama di daerah hidung. Hipertrofi kulit hidung menimbulkan
lipatan yang disebut rinofima. Penyakit ini timbul pada dewasa muda dan
hilang pada usia lanjut. Penyebabnya tidak diketahui dengan jelas, namun
mungkin ada hubungan dengan makanan, kelainan pencernaan, kebanyakan
alkohol, dan gastric achlorida.
Lebih dari 50% menunjukkan blefaritis, konjungtivitis, yang mungkin
disebabkan oleh infeksi sekunder, dengan stafilokok. Dapat terjadi kerusakan
kornea apabila akne mengenai kornea. Pada pemeriksaan mikroskopik, perifer
kornea dapat mengalami ulserasi dan vaskularisasi, dan keratitis memiliki
dasar yang sempit pada daerah limbus dan infiltrat yang luas pada bagian
sentral.4
Penyakit rosasea adalah penyakit yang menahun dan sering menimbulkan
kekambuhan serta memberikan respon yang jelek terhadap pengobatan. Pada
setiap serangan penglihatan bertambah buruk.
24
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang
terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur.
Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea,
blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea.2
2.9 Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis biasanya didapatkan gejala seperti:
Mata merah yang sakit injeksi perikorneal;
Fotofobia;
Blefarospasme karena rasa sakit yg diperhebat oleh gesekan palpebra
superior;
Penglihatan menurun karena kornea keruh akibat infiltrasi sel radang
dan mengganggu penglihatan;
Mengganjal/terasa ada benda asing di kornea banyak saraf sensibel
Kadang kotor;
Mata berair rangsang nyeri sehingga reflek air mata meningkat.
Pemeriksaan Oftalmologi
Pemeriksaan visus
Pemeriksaan dengan Slit Lamp
Tes Placido
Yang diperhatikan adalah gambaran sirkuler yang direfleksi pada
permukaan kornea penderita. Bila bayangan di kornea gambaran
sirkulernya teratur, disebut Placido (-), pertanda permukaan kornea baik.
Kalau gambaran sirkulernya tidak teratur, Placido (+) berarti permukaan
kornea tidak baik, mungkin ada infiltrat.
Tes Fluoresin
Untuk melihat lebar dan dalamnya defek pada kornea, yaitu dengan
memasukkan kertas yang mengandung fluoresin steril ke dalam sakus
konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu diberi anestesi lokal, kemudian
penderita disuruh mengedip beberapa waktu dan kertas fluoresinnya
dicabut. Pemeriksaan ini dapat juga menggunakan fluoresin tetes. Pada
tempat ulkus tampak berwarna hijau.
Tes Fistel / Siedel Test
Pada pemeriksaan adanya fistel pada ulkus kornea, setelah pemberian
fluoresin, bola mata harus ditekan sedikit untuk melepaskan fibrinnya dari
fistel, sehingga cairan COA dapat mengalir keluar melalui fistel, seperti air
mancur pada tempat ulkus dengan fistel tersebut.
Pemeriksaan bakteriologik, dari usapan pada keratitis maupun ulkus
kornea
Harus dilakukan pemeriksaan hapusan langsung, pembiakan, dan tes
resistensi. Dari pemeriksaan hapusan langsung dapat diketahui macam
kuman penyebabnya.
Bila banyak monosit diduga akibat virus;
Leukosit PMN kemungkinan akibat bakteri;
26
2.10 Penatalaksanaan
Namun selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga
diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan
mengatasi keluhan-keluhan pasien serta obat yang dapat membantu epitelisasi
dapat diberikan.3. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan
kortikosteroid.
Pemberian air mata buatan yang mengandung metilselulosa dan gelatin
yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan
memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar.
Pemberian siklopegik berfungsi untuk memberikan kenyamanan pada
pasien dengan mengurangi spasme m. siliaris dan m. sfingter pupil
dengan menggunakan atropine, atropin tidak diberikan lebih dari 1-2
minggu.
Pemberian tetes kortikosteroid pada Keratitis superfisialis bertujuan
untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah terbentuknya
jaringan parut pada kornea, dan juga menghilangkan keluhan subjektif
seperti fotobia, namun pada umumnya pada pemeberian steroid dapat
menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat memperpanjang
infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah
virus. Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus
terus diawasi dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk
waktu lama dapat memperpanjang perjalanan penyakit hingga
bertahun-tahun dan berakibat timbulnya katarak dan glaukoma
terinduksi steroid, menambah kemungkinan infeksi jamur, menambah
berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat
menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid
pada keratitis menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan untuk
diganti dengan NSAID. Dari penelitian-penelitian tersebut telah
menunjukan bahwa NSAID dapat mengurangi keluhan subjektif pasien
dan juga mengatasi peradangannya seperti halnya kortikostroid namun
lebih aman dari steroid itu sendiri karena tidak akan menyebabkan
katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.
28
Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita
menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga
kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu
tangan, dan tissue.1
2.11 Prognosis
BAB III
KESIMPULAN
Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat di
lapisan kornea. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu
superfisial dan interstisial atau profunda. Keratitis superfisial adalah radang
kornea yang mengenai lapisan epitel dan membran bowman. Keratitis dapat
terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Keratitis dapat memberikan gejala mata
merah, rasa silau, epifora, nyeri, kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur.
Keratitis superfisial dapat dibagi menjadi :
Keratitis superfisial nonulseratif, yang terdiri atas:
1. Keratitis pungtata superfisial dari Fuchs
2. Keratitis numularis dari Dimmer
3. Keratitis disiformis dari Westhoff
4. Keratokonjungtivitis epidemika
Keratitis superfisial ulseratif, yang terdiri atas :
1. Keratitis pungtata superfisial ulserativa
2. Keratitis flikten
3. Keratitis herpertika
4. Keratitis sika
5. Keratitis rosasea
Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda beda tergantung dari jenis
patogen dan lapisan kornea yang terkena. Diagnosis keratitis dapat ditegakkan
dengan tes fluoresin dan pemeriksaan lampu celah atau slit lamp. Dengan
pemeriksaan slit lamp, maka diagnosis dan penatalaksanaan keratitis dapat
dilakukan dengan tepat dan sesuai dengan etiologi.
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya
dan kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidak nya perluasan ke
jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya pada pasien
immunocompromised), virulensi dari patogen, ada atau tidaknya vaskularisasi dan
ada atau tidaknya deposit kolagen pada jaringan tersebut, serta pengobatan yang
diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
30
4. Ilyas, Sidarta Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI
Jakarta, 2013 : 147-158.
56(3): 203-207