Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma hepatoseluler (hepatocellular carcinoma = HCC) merupakan


tumor ganas primer pada hati yang berasal dari sel -sel hepatosit. Dalam
dasawarsa terakhir terjadi perkembangan yang cukup berarti menyangkut
karsinoma hepatoseluler, antara lain perkembangan pada modalitas terapi yang
memberikan harapan untuk sekurang-kurangnya perbaikan pada kualitas hidup 1.
Di Indonesia HCC ditemukan tersering pada median umur 50 dan 60 tahun
dengan predominasi pada laki -laki. Rasio antara kasus laki -laki dan perempuan
berkisar antara 2-6 : 1. HCC meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker serta
menempati peringkat kelima pada l aki-laki dan kesembilan pada perempuan
sebagai kanker tersering di dunia 1.
Tingkat kematian HCC juga sangat tinggi menempati urutan kedua setelah
kanker pankreas. Tingkat kekerapan tertinggi tercatat di Asia Timur dan Tenggara
serta di Afrika Tengah sedangkan terendah di Eropa Utara, Amerika Tengah,
Australia dan Selandia Baru. Sekitar 80% dari kasus di dunia berada di Negara
berkembang seperti Asia Timur dan Asia Tenggara serta Afrika Tengah yang
diketahui sebagai wilayah dengan prevalens i tinggi hepatitis virus. Di Amerika
Serikat sekitar 80%-90% dari tumor ganas hati primer adalah hepatoma. Angka
kejadian tumor ini di Amerika Serikat hanya sekitar 2% dari seluruh karsinoma
yang ada. Sebaliknya di Afrika dan Asia hepatoma adalah karsinoma yang paling
sering ditemukan dengan angka kejadian 100/100.000 populasi 2.
Berdasarkan data profil Depkes tahun 2005, dari sepuluh peringkat utama
penyakit neoplasma ganas pada pasien rawat inap di beberapa rumah sakit di
Indonesia. Urutan pertama adalah kanker payudara dengan proporsi sebesar
16,9% (7.884 kasus) urutan kedua kanker leher rahim dengan proporsi sebesar
10,9% (5.069kasus) dan hepatoma menduduki urutan ketiga dengan proporsi
sebesar 9% (4.177 kasus) 1.
Ada beberapa faktor berperan yang sebagai penyebab karsinoma
hepatoseluler yaitu antara lain meliputi Alflatoksin, Infeksi virus hepatitis B,

1
Infeksi virus hepatitis C, Sirosis Hati dan Alkohol. Sedangkan faktor resiko lain
yang berperan menimbulkan HCC adalah penyakit hati autoimun, penyakit hati
metabolik, zat zat senyawa kimia 2.
Hepatitis virus kronik merupakan faktor risiko timbulnya tumor hepatoma.
Virus penyebabnya adalah virus hepatitis B dan C . Bayi dan anak kecil yang
terinfeksi virus ini lebih cenderung menderita hepatitis virus kronik daripada
dewasa yang terinfeksi virus ini pertama kalinya. Virus hepatitis B atau C
merupakan penyebab 88 % pasien terinfeksi hepatoma. Virus ini mempunyai
hubungan yang erat dengan timbulnya hepa toma. Karsinoma hepatoseluler
seringkali tidak terdiagnosis karena gejala karsinoma tertutup oleh penyakit yang
mendasari yaitu sirosis hati atau hepatitis kronik. Karsinoma hepatoseluler jarang
ditemukan pada usia muda, kecuali di wilayah yang endemik infeksi hepatitis B
virus (HBV) serta banyak terjadi transmisi HBV perinatal. Umumnya di wilayah
dengan kekerapan karsinoma hepatoseluler tinggi, umur pasian karsinoma
hepatoseluler berkisar 10-20 tahun lebih muda daripada umur pasien karsinoma
hepatoseluler di wilayah dengan angka kekerapan karsinoma hepatoseluler rendah
1
.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. Bilal Hidayatullah
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Ilir Timur II, Palembang
Status : Menikah
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
MRS : 18 Desember 2016

B. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis pada tanggal 4 Januari


2017 pukul 10.00 WIB)
Keluhan utama
Nyeri perut kanan atas sejak 2 hari SMRS

Keluhan tambahan
Perut semakin membesar sejak 1 bulan SMRS

Riwayat perjalanan penyakit


2 bulan SMRS pasien mengeluhkan perut membesar. Pasien juga
mengeluh mual, muntah tidak ada, nyeri ulu hati ada, nyeri dada tidak ada, rasa
berdebar tidak ada. Pasien makan sedikit karena rasa mual. Pasien hanya bisa
makan makanan yang diblender. Pasien berobat ke puskesmas dan diberi obat
maag.
1 bulan SMRS pasien mengeluh perut semakin membesar, nyeri ulu hati
ada, mual ada, muntah tidak ada. Pasien juga mengeluhkan BAB cair tiap kali
makan, 3 kali sehari, banyaknya 1 gelas belimbing, darah (-), lendir (-). BAK
warna cokelat tua seperti teh pekat. Demam (-), nyeri saat berkemih tidak ada,

3
nyeri pada perut bagian bawah tidak ada. Pasien berobat ke pskesmas dan diberi
obat, namun pasien tidak ingat nama obatnya.
2 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri perut kanan atas. Nyeri dirasakan
terus menerus. Pasien juga mengeluh mual bertambah hebat, pasien muntah bila
banyak konsumsi makanan. Pasien merasa perut semakin besar dan badan tampak
kuning. Demam tidak ada. BAB cair ada, 3 kali sehari, banyaknya 1 gelas
belimbing tiap BAB, darah (-), lendir (-). BAK warna cokelat tua seperti teh
pekat. Pasien semakin merasa lemas. Pasien berobat ke RSMH Palembang.

Riwayat penyakit dahulu:


- Riwayat sakit kuning 30 tahun yang lalu namun pasien tidak berobat
- Riwayat kencing manis disangkal.
- Riwayat darah tinggi disangkal
- Riwayat sakit ginjal disangkal.

Riwayat penyakit keluarga


- Riwayat sakit kuning dalam keluarga ada, yaitu ibu pasien.
- Riwayat kencing manis dalam keluarga disangkal.
- Riwayat darah tinggi dalam keluarga disangkal
- Riwayat sakit ginjal dalam keluarga disangkal.

Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok disangkal
- Riwayat minum alkohol disangkal

Riwayat Pengobatan
- Konsumsi obat maag, 2 bulan terakhir

Riwayat Sosioekonomi
- Penderita sudah berkeluarga.
- Pasien memiliki 3 orang anak.

4
- Pasien tinggal bersama istri dan anak pasien.
- Pasien bekerja sebagai PNS.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20 x/menit, reguler, SpO2 99%
Suhu : 36,5 C
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 165 cm
IMT : 20,20 kg/m2
Status gizi : Normoweight

Keadaan spesifik
Kepala
Normosefali, simetris, ekspresi sakit ringan, deformasi (-), rambut hitam, rambut
tidak mudah dicabut.

Mata
Eksophtalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra
pucat (+), sklera ikterik (+), pupil isokor, diameter 3 mm, reflek cahaya (+/+),
pergerakan mata ke segala arah baik.

Hidung
Cavum nasi lapang, deformitas (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-), septum dan
tulang-tulang dalam perabaan baik.

5
Telinga
Deformitas (-), MAE lapang, sekret (-), tophi (-), nyeri tekan processus
mastoideus (-), pendengaran tidak dinilai.

Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah berselaput (-),
atrofi papil lidah (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)

Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP
(5-2) cmH2O, kaku kuduk (-)

Thoraks
Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)
Pulmo
I : Statis,dinamis simetris kanan = kiri, Barrel Chest (-), pelebaran sela
iga (-), retraksi (-)
P : Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
P : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-), batas paru hepar ICS IV,
peranjakan (+) 1 sela iga
A: Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus codis tidak teraba
P : Batas jantung atas: Linea sternalis sinistra ICS II
Batas jantung kanan: Linea sternalis dextra
Batas jantung kiri: Linea midclavicularis sinistra ICS V
A : BJ I dan II (+) normal, HR = 80 x/menit, reguler,murmur (-), gallop (-)

6
Abdomen
I : Cembung, venektasi (-), spider naevi (-), tumor (-), pusat tidak
menonjol
P : Tegang, nyeri tekan (+), hepar teraba 5 jbac, permukaan rata,
konsistensi keras, tepi tumpul, lien tidak teraba, ballotement ginjal (-)
P : Nyeri ketok (-), shifting dullnes (+), undulasi (-)
A : Bising usus (+) normal

Alat kelamin : tidak dinilai

Extremitas atas
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, merah dan bengkak pada sendi (-),
edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, akral hangat, clubbing finger (-),
turgor kembali cepat.

Extremitas bawah
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, merah dan bengkak pada sendi (-),
edema pretibia (+) minimal, jaringan parut (-), pigmentasi normal, akral hangat,
clubbing finger (-), turgor kembali cepat.

Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), ikterus pada kulit (-), sianosis (-),
spider nevi (-), pucat pada telapak tangan dan kaki (-), palmar eritema (-),
pertumbuhan rambut normal.

KGB
Tidak ada pembesaran dan nyeri tekan KGB pada daerah axilla, leher, inguinal
dan submandibula.

7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Darah:
Hb : 9,9 g/dL
RBC : 3,75 106/mm3
WBC : 7000/mm3
Ht : 28 %
PLT : 725.000 L
LED : 120 mm/jam
Diff Count : 0/1/78/14/7
Bilirubin Total : 7,86 mg/dL
Bilirubin Direk : 5,91 mg/dL
Bilirubin Indirek : 1,95 mg/dL
SGOT : 175 U/L
SGPT : 39 U/L
Albumin : 3,4 g/dL
Ureum : 82 mg/dL
Kreatinin : 1,96 mg/dL
Kalsium : 9,4 mg/dL
Natrium : 133 mEq/L
Kalium : 6,2 mEq/L
HbsAg : Reactive
Anti HCV : Non-Reactive
AFP (Alfa Feto Protein) : 1.954.040,00 IU/mL
CEA : 5,34 ng/mL

Pemeriksaan Feses:
Makroskopis
Warna : Kuning
Konsistensi : Encer
Mikroskopis
Amoeba : negatif

8
Eritrosit : 0-1
Leukosit : 0-1
Bakteri : negatf
Jamur : negatif
Telur cacing : negatif
Darah samar : negatif

USG Abdomen:
Hepar didapatkan bentuk dan ukuran membesar, permukaan tidak rata, tepi
tumpul, parenkim kasar, heterogen, SOL (+), vena hepatica terpilin, asites (+).
Gallbladder, prankreas, lien, ginjal dalam batas normal.
Kesan: Hepatoma dan asites

9
E. DIAGNOSIS
Hepatoma e.c Hepatitis B Kronis + AKI Stage I + Anemia Penyakit Kronis.

F. DIAGNOSA BANDING
Hepatoma e.c Sirosis Hepatis + AKI Stage I + Anemia Penyakit Kronis.

G. TATALAKSANA AWAL
Farmakologis
- IVFD NaCl 0,9 % gtt xx/menit (makro)
- Lansoprazole 1 x 30 mg
- Asam Folat 3 x 1 mg
- Transplantasi hati

Non farmakologis
- Istirahat
- Diet hati II
- Edukasi

H. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad malam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanationam : dubia ad malam

I. RENCANA PEMERIKSAAN
- MRI atau CT-Scan
- Biopsi hati

J. FOLLOW UP
Tanggal 5 Jauari 2017
S : nyeri perut kanan atas (+) hilang timbul, mual berkurang, nafsu
makan membaik, badan lemas (-), bengkak pada tungkai berkurang

10
O : Sens: CM, TD 110/70 mmHg, N: 78 x/m RR: 20 x/m, T: 36,6 C
Sklera ikterik (+), konjungtiva palpebra pucat (-), hepar teraba 5
jbac, shifthing dullness (+), edema tungkai (+) minimal.
A : Hepatoma e.c Hepatitis B Kronis + AKI stadium I + Anemia
Penyakit Kronis
P : terapi dilanjutkan

Tanggal 6 Jauari 2017


S : nyeri perut kanan atas (+) hilang timbul, mual (-), nafsu
makan membaik, badan lemas (-), bengkak pada tungkai berkurang
O : Sens: CM, TD 110/80 mmHg, N: 81 x/m RR: 20 x/m, T: 36,6 C
Sklera ikterik (-), konjungtiva palpebra pucat (-), hepar teraba 5
jbac, shifthing dullness (+), edema tungkai (+) minimal.
A : Hepatoma e.c Hepatitis B Kronis + AKI stadium I + Anemia
Penyakit Kronis
P : terapi dilanjutkan
R/Pulang

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Hepar


Hepar adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg
atau lebih 25% berat badan orang dewasa dan merupakan pusat metabolisme
tubuh dengan fungsi sangat kompleks yang menempati sebagian besar kuadran
kanan atas abdomen.Batas atas hepar berada sejajar dengan ruangan interkostal V
kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri.
Permukaan posterior hepar berbentuk cekung dan terdapat celah transversal
sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis.
Hepar tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagi
lobulus yaitu susunan heksagonal jaringan yang mengelilingi sebuah vena sentral.
Hepar memiliki bagian terkecil yang melakukan tugas diatas disebut sel hepar
(hepatosit), sel-sel epithelial sistem empedu dalam jumlah yang bermakna dan sel-
sel parenkimal yang termasuk di dalamnya endotolium, sel kupffer dan sel stellata
yang berbentuk seperti bintang.
Darah vena memasuki hepar melalui hubungan vaskuler yang khas dan
kompleks yang dikenal sebagai sistem porta hepar. Vena yang mengalir dari
saluran cerna tidak secara langsung menyatu pada vena cava inferior akan tetapi
vena vena dari lambung dan usus terlebih dahulu memasuki sistem vena porta.
Pada sistem ini produk-produk yang diserap dari saluran cerna untuk diolah,
disimpan, dan didetoksifikasi sebelum produk produk tersebut kembali ke
sirkulasi besar. Persarafan hepar dilakukan oleh N. simpatikus dari ganglion
seliakus, berjalan bersama pembuluh darah pada lig. hepatogastrika dan masuk
porta hepatis. Serta N. Vagus dari trunkus sinistra yang mencapai porta hepatis
mneyusuri kurvatura minor gaster dalam omentum.
Organ ini penting untuk sekresi empedu, namun juga memiliki fungi lain
antara lain :
1. Metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein setelah penyerapan dari saluran
pencernaan.

12
2. Detoksifikasi atau degradasi zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing
lainya.
3. Sintesis berbagai macam protein plasma mencakup untuk pembekuan darah dan
untuk mengangkut hormon tiroid, steroid, dan kolesterol.
4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5. Pengaktifan vitamin D yang dilaksanakan oleh hepar dan ginjal
6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang sudah rusak
7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin.

3.2 Hepatoma
3.2.1 Definisi
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah keganasan pada hepatosit
dimana stem sel dari hati berkembang menjadi massa maligna yang dipicu oleh
adanya proses fibrotik maupun proses kronik dari hati (cirrhosis). Massa tumor ini
berkembang di dalam hepar, di permukaan hepar maupun ekstrahepatik seperti
pada metastase jauh.
Tumor dapat muncul sebagai massa tunAKIl atau sebagai suatu massa
yang difus dan sulit dibedakan dengan jaringan hati disekitarnya karena
konsistensinya yang tidak dapat dibedakan dengan jaringan hepar biasa. Massa ini
dapat menAKInggu jalan dari saluran empedu maupun menyebabkan hipertensi
portal sehinAKI gejala klinis baru akan terlihat setelah massa menjadi besar.
Tanpa pengobatan yang agresif, hepatoma dapat menyebabkan kematian dalam 6
20 bulan.
3.2.2 Epidemiologi
Terdapat suatu distribusi geografik insiden hepatomadidunia. Szmuness telah
menAKImbarkan-nya secara skematik .Seperti terlihat pada gambar peta dunia diatas,
gambaran distribusi geografik hepatoma ternyata mirip dengan peta geografik
prevalensi infeksi virus hepatitis B didunia. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa
keduanya mungkin mempunyai hubungan kausal.
Insiden hepatoma nampak meningkat dibeberapa negara dalam 3 dokade
terakhir ini. Keterangan mengenai terjadinya peningkatan ini tidak jelas. Agaknya

13
terdapat kecenderungan paparan terhadap "environmental carcinogen" bertambah,
atau penderita sirosis hati lebih banyak yang hidup lebih tua.
Hepatoma jarang ditemukan pada usia muda, kecuali di wilayah yang
endemik infeksi HBV serta banyak terjadi transmisi HBV perinatal. Rasio kasus
laki-laki dan perempuan dapat sampai delapan berbanding satu. Masih belum jelas
apakah hal ini disebabkan oleh lebih rentannya laki-laki terhadap timbulnya tumor
mungkin dihubungkan dengan faktor hormonal, atau karena laki-laki lebih banyak
terpajan oleh faktor risiko hepatoma seperti virus hepatitis dan alkohol
3.2.3 Etiologi
Dewasa ini hepatoma dianAKIp terjadi dari hasil interaksi sinergis
multifaktor dan multifasik, melalui inisiasi, akselerasi dan transformasi dan proses
banyak tahapan, serta peran serta banyak onkogen dan gen terkait, mutasi
multigenetik. Etiologi hepatoma belum jelas, menurut data yang ada, virus
hepatitis, aflatoksin dan pencemaran air minum merupakan 3 faktor utama yang
terkait dengan timbulnya hepatoma.
1. Virus hepatitis
HBV
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma
terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun
eksperimental.Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui
proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV
DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV
berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi
inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenesis hati.
HCV
Infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis hepatoma pada
pasien yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit hati
akibat transfusi darah dengan anti-HCV positif, interval antara saat transfusi
hinAKI terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis

14
akibat infeksi HCV diduga melalui aktifitas nekroinfiamasi kronik dan sirosis
hati.
2. Aflatoksin
Aflatoksin Bl (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh
jamur Aspergillus. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan
karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang mampu membentuk
ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme
hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB 1 menginduksi mutasi
pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53.
3. Pencemaran air minum
Dari hasil survei epidemiologi di China ditemukan pencemaran air
minum dan kejadian hepatoma berkaitan erat, di area insiden tinggi
hepatoma seperti kecamatan Qidong dan Haimen di propinsi Jiangshu,
Fuhuan di Guangxi, Shunde di Guangdong dll. menunjukkan peminum air
saluran perumahan, air kolam memiliki mortalitas hepatoma secara jelas lebih
tinggi dari peminum air sumur dalam. Dengan beralih ke minum air sumur
dalam, mortalitas hepatoma penduduk cenderung menurun. Algae biru hijau
dalam air saluran perumahan dan air kolam dianAKIp sebagai salah satu
karsinogen utama.

3.2.4 Faktor resiko


Sirosis Hati
Sirosis hati (SH) merupakan faktor risiko utama hepatoma di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma.Otopsi pada pasien SH
mendapatkan 20-80% diantaranya telah menderita HCC. Prediktor utama
hepatoma pada SH adalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar alfa feto
protein (AFP) serum, beratnya penyakit dan tingginya aktifitas proliferasi sel hati.
Obesitas
Seperti diketahui, obesitas merupakan faktor risiko utama untuk non-
alcoholic fatty liver disease (NAFLD), khususnya nonalcoholic steatohepatitis

15
(NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapat
berlanjut menjadi HCC.
Diabetes Melitus (DM)
DM merupakan faktor risiko baik untuk penyakit hati kronik maupun
untuk HCC melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non-alkoholik
(NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan
insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial
untuk kanker.
Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol (>50-70 g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC
melalui sirosis hati alkoholik. Efek hepatotoksik alkohol bersifat dose-dependent,
sehinAKI asupan sedikit alkohol tidak meningkatkan risiko terjadinya HCC.
Selain yang telah disebutkan di atas, bahan atau kondisi lain yang merupakan
faktor risiko HCC namun lebih jarang dibicarakan/ditemukan, antara lain :
penyakit hati autoimun( hepatitis autoimun, sirosis bilier primer), penyakit hati
metabolik(hemokromatosis genetik, defisiensi antitripsin-alfa 1, penyakit Wilson),
kotrasepsi oral, senyawa kimia( thorotrast, vinil klorida, nitrosamin, insektisida
organoklorin, asam tanik), tembakau.
3.2.5 Patologi
Secara makroskopis biasanya tumor berwarna putih, padat kadang
nekrotik kehijauan atau hemoragik. Acap kali ditemukan trombus tumor di dalam
vena hepatika atau porta intrahepatik.
Pembagian atas tipe morfologisnya adalah: 1. ekspansif, dengan batas
yang jelas, 2. infilt menyebar/menjalar; 3. multifokal. Menurut WHO secara
histologik HCC dapat diklasifikasikan berdasa organisasi struktural sel tumor
sebagai berikut: 1). Trabekuli (sinusoidal), 2). Pseudoglandular (asiner), 3).
Kompak (padat), 4. Sirous
Karakteristik terpenting untuk memastikan HCC pada tumor; diameternya
lebih kecil dari 1,5 cm adalah bahwa sebagian besar tumor terdiri semata-mata
dari karsinoma yang berdiferensiasi baik, deng sedikit atipia selular atau

16
struktural. Bila tumor ini berproliferasi, berbagai variasi histologik beserta de-
diferensiasinya dapat terlihat di dalam nodul yang sama. Nodul kanker yang
berdiameter kurang dari satu cm seluruhnya terdiri dari jaringan kanker yang
berdiferensiasi baik. Bila diameter tumor antara 1 dan 3 cm, 40% dari nodulnya
terdiri atas lebih;| dari 2 jaringan kanker dengan derajat diferensiasi yang berbeda-
beda.

Photomicrograph of a liver demonstrating hepatocellular carcinoma.


3.2.6 Patogenesis
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus
berlanjut merupaka proses khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan proses
dari pembentukan hepatoma walaupun pada pasien pasien dengan hepatoma,
kelainan cirrhosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan dengan proses
replikasi DNA virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein
yang tidak dapat bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari
infeksi Virus hepatitis, dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA
ini akan berkembang dan mereplikasi diri di sitoplasma dari sel hati dan
menyebabkan suatu perkembangan dari keganasan yang nantinya akan
mengahambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi sel hati. Para ahli genetika
mencari gen gen yang berubah dalam perkembangan sel hepatoma ini dan
didapatkan adanya mutasi dari gen p53, PIKCA, dan -Catenin.

17
Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul nodul di
hepar, baik nodul regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif
menunjukan bahwa tidak ada progresi yang khusus dari nodul nodul diatas yang
menuju kearah hepatoma tetapi, pada nodul displastik didapatkan bahwa nodul
yang terbentuk dari sel sel yang kecil meningkatkan proses pembentukan
hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati.
Sel sel ini meregenrasi sel sel hati yang rusak tetapi sel sel ini juga
berkembang sendiri menjadi nodul nodul yang ganas sebagai respons dari
adanya penyakit yang kronik yang disebabkan oleh infeksi virus.nodul nodul
inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma.

3.2.7 Manifestasi Klinis


Hepatoma fase subklinis
Yang dimaksud hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah pasien
yang tanpa gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya ditemukan
melalui pemeriksaan AFP dan teknik pencitraan. Caranya adalah dengan
gabungan pemeriksaan AFP dan pencitraan, teknik pencitraan terutama dengan
USG lebih dahulu, bila perlu dapat digunakan CT atau MRI. Yang dimaksud
kelompok risiko tinggi hepatoma umumnya adalah: masyarakat di daerah insiden

18
tinggi hepatoma; pasien dengan riwayat hepatitis atau HBsAg positif; pasien
dengan riwayat keluarga hepatoma; pasien pasca reseksi hepatoma primer.
Hepatoma fase klinis
Hepatoma fase klinis tergolong hepatoma stadium sedang, lanjut, manifestasi
utama yang sering ditemukan adalah:
(1) Nyeri abdomen kanan atas: hepatoma stadium sedang dan lanjut sering
datang berobat karena kembung dan tak nyaman atau nyeri samar di
abdomen kanan atas.
Nyeri umumnya bersifat tumpul (dullache) atau menusuk intermiten atau
kontinu, sebagian merasa area hati terbebat kencang, disebabkan tumor
tumbuh dengan cepat hin AKI menambah regangan pada kapsul hati. Jika
nyeri abdomen bertambah hebat atau timbul akut abdomen harus pikirkan
ruptur hepatoma.
(2) Massa abdomen atas: hepatoma lobus kanan dapat menyebabkan batas atas
hati bergeser ke atas, pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali di
bawah arkus kostae berbenjol benjol; hepatoma segmen inferior lobus
kanan sering dapat langsung teraba massa di bawah arkus kostae kanan;
hepatoma lobus kiri tampil sebagai massa di bawah prosesus xifoideus
atau massa di bawah arkus kostae kiri.
(3) Perut kembung: timbul karena massa tumor sangat besar, asites dan
gangguan fungsi hati.
(4) Anoreksia: timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran
gastrointestinal, perut tidak bisa menerma makanan dalam jumlah banyak
karena terasa begah.
(5) Letih, mengurus: dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan
berkurangnya masukan makanan dll, yang parah dapat sampai kakeksia.
(6) Demam: timbul karena nekrosis tumor,disertai infeksi dan metabolit
tumor, jikatanpa bukti infeksi disebut demam kanker,umumnya tidak
disertai menggigil.
(7) Ikterus: tampil sebagai kuningnya sclera dan kulit, umumnya karena
gangguan fungsi hati, biasanya sudah stadium lanjut, juga dapat karena

19
sumbat kanker di saluran empedu atau tumor mendesak saluran empedu
hinAKI timbul ikterus obstruktif.
(8) Asites: juga merupakan tanda stadiumlanjut. Secara klinis ditemukan
perut membuncit dan pekak bergeser, sering disertai udem kedua tungkai.
(9) Lainnya: selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu
belakang kanan, udem kedua tungkai bawah, kulitgatal dan lainnya, juga
manifestasi sirosis hati seperti splenomegali, palmar eritema,lingua hepatik,
spider nevi, venodilatasi dinding abdomen dll. Pada stadium akhir hepatoma
sering timbul metastasis paru, tulang dan banyak organ lain
3.2.8 Diagnosis
A. Pemeriksaan laboratorium
1. Alfa-fetoprotein (AFP)
AFP adalah sejenis glikoprotein, disin-tesis oleh hepatosit dan sakus vitelinus,
terdapat dalam serum darah janin. Pasca partus 2 minggu, AFP dalam serum
hampir lenyap, dalam serum orang normal hanya terdapat sedikit sekali (< 25
ng/L). Ketika hepatosit berubah ganas, AFP kembali muncul. Selain itu teratoma
testes atau ovarium serta beberapa tumor lain (seperti karsinoma gaster, paru dll.)
dalam serum pasien juga dapat ditemukan AFP; wanita hamil dan sebagian pasien
hepatitis akut kandungan AFP dalam serum mereka juga dapat meningkat.
AFP memiliki spesifisitas tinggi dalam diagnosis karsinoma hepatoselular.
Jika AFP > 500 ng/L bertahan 1 bulan atau > 200 ng/ L bertahan 2 bulan, tanpa
bukti penyakit hati aktif, dapat disingkirkan kehamilan dan kanker embrional
kelenjar reproduksi, maka dapat dibuat diagnosis hepatoma, diagnosis ini dapat
lebih awal 6-12 bulan dari timbulnya gejala hepatoma. AFP sering dapat dipakai
untuk menilai hasil terapi. Pasca reseksi hepatoma, kadar AFP darah terus
menurun dengan waktu paruh 3-9,5 hari, umumnya pasca operasi dalam 2 bulan
kadarnya turun hinAKI normal, jika belum dapat turun hinAKI normal, atau
setelah turun lalu naik lagi, maka pertanda terjadi residif atau rekurensi tumor.

Alpha- Interpretation

20
fetoprotein
(ng/mL)
>400-500 - HCC likely if accompanied by space-occupying solid lesion(s) in
cirrhotic liver or levels are rapidly increasing.
- Diffusely growing HCC, may be difficult to detect on imaging.
- Occasionally in patients with active liver disease (particularly HBV or
HCV infection) reflecting inflammation, regeneration, or
seroconversion
Normal value to - Frequent: Regeneration/inflammation (usually in patients with
<400 elevated transaminases and HCV) - Regeneration after partial
hepatectomy
- If a space-occupying lesion and transaminases are normal, suspicious
for HCC
Normal value Does not exclude HCC (cirrhotic and noncirrhotic liver).
Alpha- Interpretation
fetoprotein
(ng/mL)
>400-500 - HCC likely if accompanied by space-occupying solid lesion(s) in
cirrhotic liver or levels are rapidly increasing.
- Diffusely growing HCC, may be difficult to detect on imaging.
- Occasionally in patients with active liver disease (particularly HBV or
HCV infection) reflecting inflammation, regeneration, or
seroconversion
Normal value to - Frequent: Regeneration/inflammation (usually in patients with
<400 elevated transaminases and HCV) - Regeneration after partial
hepatectomy
- If a space-occupying lesion and transaminases are normal, suspicious
for HCC
Normal value Does not exclude HCC (cirrhotic and noncirrhotic liver)

2. Petanda tumor lainnya


Zat petanda hepatoma sangat banyak, tapi semuanya tidak spesifik untuk
diagnosis sifat hepatoma primer. Penggunaan gabungan untuk diagnosis kasus

21
dengan AFP negatif memiliki nilai rujukan tertemu, yang relatif umum digunakan
adalah: des-gama karboksi protrombin (DCP), alfa-L-fukosidase (AFU), gama-
glutamil transpeptidase (GGT-II), CA19-9, antitripsin, feritin, CEA, dll.
3. Fungsi hati dan sistem antigen antibodi hepatitis B
Karena lebih dari 90% hepatoma disertai sirosis hati, hepatitis dan latar
belakang penyakit hati lain, maka jika ditemukan kelainan fungsi hati, petanda
hepatitis B atau hepatitis C positif, artinya terdapat dasar penyakit hati untuk
hepatoma, itu dapat membantu dalam diagnosis.

B. Pemeriksaan pencitraan
l. Ultrasonografi (USG)
USG merupakan metode paling sering digunakan dalam diagnosis
hepatoma. Ke-gunaan dari USG dapat dirangkum sebagai berikut: memastikan
ada tidaknya lesi pe-nempat ruang dalam hati; dapat dilakukan penapisan
gabungan dengan USG dan AFP sebagai metode diagnosis penapisan awal untuk
hepatoma; mengindikasikan sifat lesi penempat ruang, membedakan lesi berisi
cairan dari yang padat; membantu memahami hubungan kanker dengan pembuluh
darah penting dalam hati, berguna dalam meng-arahkan prosedur operasi;
membantu memahami penyebaran dan infiltrasi hepatoma dalam hati dan jaringan
organ sekitarnya, memperlihatkan ada tidaknya trombus tumor dalam
percabangan vena porta intrahepatik; di bawah panduan USG dapat dilakukan
biopsi

2. CT

22
CT telah menjadi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk diagnosis
lokasi dan sifat hepatoma. CT dapat membantu memperjelas diagnosis,
menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati hubungannya
dengan pembuluh darah penting, dalam penentuan modalitas terapi sangatlah
penting. Terhadap lesi mikro dalam hati yang sulit ditentukan CT rutin dapat
dilakukan CT dipadukan dengan angiongrafi (CTA), atau ke dalam arteri hepatika
disuntikkan lipiodol, sesudah 1-3 minggu dilakukan lagi pemeriksaan CT, pada
waktu ini CT-lipiodol dapat menemukan hepatoma sekecil 0,5 cm.

3. MRI
MRI merupakan teknik pemeriksaan nonradiasi, tidak memakai zat
kontras berisi iodium, dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh darah
dan saluran empedu dalam hati, juga cukup baik memperlihatkan struktur internal
jaringan hati dan hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivitas aneka
terapi. Dengan zat kontras spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma kecil
kurang dari 1cm dengan angka keberhasilan 55%

.
4. Angiografi arteri hepatika

23
Sejak tahun 1953 Seldinger merintis penggunaan metode kateterisasi arteri
femoralis perkutan untuk membuat angiografi organ dalam, kini angiografi arteri
hepatika selektif atau supraselektif sudah menjadi salah satu metode penting
dalam diagnosis hepatoma. Namun karena metode ini tergolong invasif,
penampilan untuk hati kiri dan hepatoma tipe avaskular agak kurang baik, dewasa
ini indikasinya adalah: klinis suspek hepatoma atau AFP positif tapi hasil
pencitraan lain negatif hasilnya; berbagai teknik pencitraan noninvasif sulit
menentukan sifat lesi penempat ruang tersebut.
5. Tomografi emisi positron (PET)
Dewasa ini diagnosis terhadap hepatoma masih kurang ideal, namun
karsinoma kolangioselular dan karsinoma hepatoselular berdiferensiasi buruk
memiliki daya ambil terhadap 18F-FDG yang relatif kuat, maka pada pencitraan
PET tampak sebagai lesi metabolisme tinggi.
C. Pemeriksaan lainnya
Pungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi
kelenjar limfe supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam
asites, perito-neoskopi dll. juga mempunyai nilai tertentu pada diagnosis
hepatoma primer.
Prinsip diagnosis hepatoma
Untuk pasien yang dicurigai hepatoma atau lesi penempat ruang dalam
hati yang tak dapat menyingkirkan hepatoma, semua harus diupayakan kejelasan
diagnosisnya dalam waktu sesingkat mungkin. Teknik pemeriksaan pencitraan
modern tidak dapat dilewatkan, biasanya dimulai dengan pemeriksaan noninvasif,
bila perlu barulah dilakukan pemeriksaan invasif. Untuk kasus yang dengan
berbagai pemeriksaan masih belum jelas diagnosisnya, harus dipantau
ditindaklanjuti secaraketat, bila perlu pertim-bangkan laparotomi eksploratif.
SISTEM STAGING
Dalam staging klinis HCC terdapat pemilahan pasien atas kelompok-
kelompok yang prognosisnya berbeda, berdasarkan parameter klinis, biokimiawi
dan radiologis pilihan yang tersedia. Sistem staging yang ideal seharusnya juga
mencantumkan penilaian ekstensi tumor, derajat gangguan fungsi hati, keadaan

24
umum pasien serta keefektifan terapi. Sebagian besar pasien HCC adalah pasien
sirosis yang juga mengurangi harapan hidup. Sistem yang banyak digunakan
untuk menilai status fungsional hati dan prediksi prognosis pasien sirosis adalah
sistem klasifikasi Child-ltorcotte-Pugh, tetapi sistem ini tidak ditujukan untuk
penilaian staging HCC. Beberapa sistem yang dapat dipakai untuk staging HCC
adalah:
Tumor-Node-Metastases (TNM) Staging System
Okuda Staging System
Cancer of the Liver Italian Program (CLIP) Scoring System
Chinese University Prognostic Index (CUPI)
Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) Staging System

Standar diagnosis
Pada tahun 2001 Komite Khusus Hepatoma Asosiasi Antitumor China
telah menetapkan standar diagnosis dan klasifikasi stadium klinis hepatoma
primer.

25
1. Standar diagnosis klinis hepatoma primer.
(1) AFP > 400 ug/L, dapat menyingkirkan kehamilan, tumor embrional sistem
repro-duksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu teraba hati
mem-besar, keras dan bermassa nodular besar atau pemeriksaan pencitraan
menun-jukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.
(2) AFP < 400 ug/L, dapat menyingldrkan kehamilan, tumor embrional sistem
reproduksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu terdapat
dua jenis pemeriksaan pencitraan menunjukkan lesi penempat ruang
karakteristik hepatoma atau terdapat dua petanda hepatoma (DCP, GGT-
II, AFU, CA19-9, dll.) positif serta satu pemeriksaan pencitraan
menunjukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.
(3) Menunjukkan manifestasi klinis hepatoma dan terdapat kepastian lesi
metastatik ekstrahepatik (termasuk asites hemoragis makroskopik atau
di dalamnya ditemukan sel ganas) serta dapat meny ing-kirkan hepatoma
metastatik
2. Standar klasifikasi stadium klinis hepatoma primer
la : tumor tunAKIl berdiameter < 3 cm, tanpa emboli rumor, tanpa metastasis
kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.
Ib : tumor tunAKIl atau dua tumor dengan diameter gabungan <5cm, di separuh
hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun
jauh; Child A.
Ha : tumor tunAKIl atau dua tumor dengan diameter gabungan < 10 cm, di
separuh hati, atau dua tumor dengan diameter gabungan < 5 cm, di kedua
belahan hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar
limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.
lib : tumor tunAKIl atau multipel dengan diameter gabungan > 10 cm, di separuh
hati, atau tumor multipel dengan diameter gabungan > 5 cm, di kedua belahan
hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh; Child A. Terdapat emboli tumor di percabangan vena
portal, vena hepatik atau saluran empedu dan/atau Child B.

26
Ilia : tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena
porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau jauh,
salah satu daripadanya; Child A atau B.
Illb : tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis; Child C.

3.2.11 Diagnosis banding


1. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP positif
Hepatoma dengan AFP positif harus dibedakan dari kehamilan, tumor
embrional kelenjar reproduktif, metastasis hati dari kanker saluran digestif dan
hepatitis serta sirosis hati dengan peninggian AFP. Pada tumor embrional kelenjar
reproduktif, terdapat gejala klinis dan tanda fisik tumor bersangkutan, umumnya
tidak sulit dibedakan; kanker gaster, kanker pankreas dengan metastasis hati.
Kanker gaster, kanker pankreas kadang kala disertai peninggian AFP, tapi
konsentrasinya umumnya relatif; rendah, dan tanpa latar belakang penyakit : hati,
USG dan CT serta pemeriksaan minum barium dan pencitraan lain sering kali
dapat memperjelas diagnosis. Pada hepatitis, sirosis hati, jika disertai peninggian
AFP agak sulit dibedakan dari hepatoma, harus dilakukan pemeriksaan pencitraan
hati secara cermat, dilihat apakah terdapat lesi penempat ruang dalam hati, selain

27
secara berkala harus diperiksa fungsi hati dan AFP, memonitor perubahan ALT
dan AFP.
2. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP negatif
Hemangioma hati. Hemangioma kecil paling sulit dibedakan dari
hepatoma kecil dengan AFP negatif, hemangioma umumnya pada wanita, riwayat
penyakit yang panjang, progresi lambat, bisa tanpa latar belakang hepatitis dan
sirosis hati, zat petanda hepatitis negatif, CT tunda, MRI dapat membantu
diagnosis. Pada tumor metastasis hati, sering terdapat riwayat kanker primer, zat
petanda hepatitis umumnya negatif pencitraan tampak lesi multipel tersebar
dengan ukuran bervariasi. Pada abses hati, terdapat riwayat demam, takut dingin
dan tanda radang lain, pencitraan menemukan di dalam lesi terdapat likuidasi atau
nekrosis. Pada hidatidosis hati, kista hati, riwayat penyakit panjang, tanpa riwayat
penyakit hati, umumnya kondisinya baik, massa besar dan fungsi hati umumnya
baik, zat petanda hepatitis negatif, pencitraan menemukan lesi bersifat cair
penempat ruang, dinding kista tipis, sering disertai ginjal polikistik. Adenoma
hati, umumnya pada wanita, sering dengan riwayat minum pil KB bertahun-tahun,
tanpa latar belakang hepatitis, sirosis hati, petanda hepatitis negatif, CT tunda
dapat membedakan. Hiperplasia nodular fokal, pseudotumor inflamatorik dll.
sering cukup sulit dibedakan dari hepatoma primer
3.2.12 Penatalaksanaan
Tiga prinsip penting dalam terapi hepatoma adalah terapi dini efektif,
terapi gabungan, dan terapi berulang. Terapi dini efektif. Semakin dini diterapi,
semakin baik hasil terapi terhadap rumor. Untuk hepatoma kecil pasca reseksi 5
tahun survivalnya adalah 50-60%, sedangkan hepatoma besar hanya sekitar 20%.
Terapi operasi
Indikasi operasi eksploratif: tumor mungkin resektabel atau masih ada
kemung-kinan tindakan operasi paliatif selain reseksi; fungsi hati baik,
diperkirakan tahan operasi; tanpa kontraindikasi operasi. Kontraindikasi operasi
eksploratif: umumnya pasien dengan sirosis hati berat, insufisiensi hati disertai
ikterus, asites; pembuluh utama vena porta mengandung trombus kanker;

28
rudapaksa serius jantung, paru, ginjal dan organ vital lain, diperkirakan tak tahan
operasi.
1. Metode hepatektomi.
Hepatektomi merupakan cara terapi dengan hasil terbaik dewasa ini.
Survival 5 tahun pasca operasi sekitar 30-40%, pada mikrokarsinoma hati (<5 cm)
dapat mencapai 50-60%. Hepatektomi beraruran adalah sebelum insisi hati
dilakukan diseksi, me-mutus aliran darah ke lobus hati (segmen, subsegmen)
terkait, kemudian menurut lingkup anatomis lobus hati (segmen, subsegmen)
tersebut dilakukan reseksi jaringan hati. Hepatektomi tak beraruran tidak perlu
mengikuti secara ketat distribusi anatomis pembuluh dalam hati, tapi hanya perlu
ber-jarak 2-3cm dari tepi tumor, mereseksi jaringan hati dan percabangan
pembuluh darah dan saluran empedu yang menuju lesi, lingkup reseksi hanya
mencakup tumor dan jaringan hati sekitarnya. Pada kasus dengan sirosis hati,
obstruksi porta hati setiap kali tidak boleh lebih dari 10-15 menit, bila perlu dapat
diobstruksi berulang kali.
Hepatektomi 2 fase: pasien hepatoma setelah dilakukan eksplorasi bedah
ternyata tumor tak dapat direseksi. sesudah diberikan terapi gabungan. tumor
mengecil, dilakukan laparotomi lagi dan dapat dilakukan reseksi
2. Transplantasi hati
Dewasa ini, teknik transplantasi hati sudah sangat matang, namun biayanya
tinggi,donornya sulit. Pasca operasi pasien menggunakan obat imunosupresan anti
rejeksi membuat kanker residif tumbuh lebih cepat dan bermetastasis. hasil terapi
kurang baik untuk hepatoma stadium sedang dan lanjut. Umumnya berpendapat
mikrohepatoma stadium dini dengan sirosis berat merupakan indikasi lebih baik
untuk transplantasi hati.
3. Terapi operatif nonreseksi
Misalnya, pasca laparotomi, karena tumor menyebar atau alasan lain tidak
dapat dilakukan reseksi, dapat dipertimbangkan terapi operatif nonreseksi,
mencakup: injeksi obat melalui kateter transarteri hepatik atau kemoterapi
embolisasi saat operasi; kemoterapi melalui kateter vena porta saat operasi; ligasi
arteri hepatika; koagulasi tumor hati dengan gelombang mikro, ablasi

29
radiofrekuensi, krioterapi dengan nitrogen cair, evaporisasi dengan laser energi
tinggi saat operasi; injeksi alkohol absolut intratumor saat operasi
Terapi lokal
Terapi lokal terdiri atas dua jenis terapi, yaitu terapi ablatif lokal dan
injeksi obat intratumor.
1. Ablasi radiofrekuensi (RFA)
Ini adalah metode ablasi lokal yang [paling sering dipakai dan efektif
dewasa ini. Elektroda RFA ditusukkan ke dalam tumor melepaskan energi
radiofrekuensi, hinAKI jaringan tumor mengalami nekrosis koagulatif panas,
denaturasi, jadi secara selektif mem-bunuh jaringan tumor. Satu kali RFA meng-
hasilkan nekrosis seukuran bola berdiameter 3-5 cm, sehinAKI dapat membasmi
tuntas mikrohepatoma, dengan hasil kuratif. RFA perkutan memiliki keunggulan
mikroinvasif, aman, efektif, sedikit komplikasi. mudah di-ulangi dll. sehinAKI
mendapat perhatian luas untuk terapi hepatoma.
2. Injeksi alkohol absolut intratumor perkutan
Di bawah panduan teknik pencitraan, dilakukan pungsi tumor hati
perkutan, ke dalam tumor disuntikkan alkohol absolut. Sehubungan dengan
pengaruh dari luas pe-nyebaran alkohol absolut dalam tumor hati dan dosis
toleransi tubuh manusia, maka sulit mencapai efek terapi ideal terhadap hepatoma
besar, penggunaannya umumnya untuk hepatoma kecil yang tak sesuai direseksi
atau terapi adjuvan pasca kemoembolisasi arteri hepatik. Meskipun hepatoma
kecil tapi suntikan hams berulang kali di banyak titik barulah dapat membuat
kanker nekrosis memadai.
Kemoembolisasi arteri hepatik perkutan
Kemoembolisasi arteri hepatik transkateter (TAE, TACE) merupakan cara
terapi yang sering digunakan untuk hepatoma stadium sedang dan lanjut yang
tidak sesuai dioperasi reseksi. Sesuai digunakan untuk tumor sangat besar yang
tak dapat direseksi; tumor dapat direseksi tapi diperkirakan tak tahan operasi;
hepatoma rekuren yang tak dapat direseksi; pasca reseksi hepatoma, suspek
terdapat residif, dll. Sedangkan bila volume tumor lebih dari 70% parenkim hati,

30
fungsi hati terganggu berat, kondisi umum buruk, diperkirakan tak tahan terapi,
semua iru merupakan kontraindikasi kemoembolisasi arteri hepatik.
Hepatoma terutama mendapat pasokan darah dari arteri hepatik, setelah
embolisasi arteri hepatik, nodul kanker menjadi iskemik, nekrosis, sedangkan
jaringan hati normal mendapat pasokan darah terutama dari vena porta sehinAKI
efek terhadap fungsi hati secara keseluruhan relatif kecil. Pasca kemoembolisasi
arteri hepatik survival 1 tahun pasien hepatoma adalah 44-66,9%, lama ketahanan
hidup rata-rata 8-10 bulan. Tapi terapi itu bersifat paliatif, terapi intervensi
berulang kali pun sulit secara total membasmi semua sel kanker, efek terapi
jangka panjang belum memuaskan, selain juga mencederai rungsi hati. Oleh
karena itu setelah dengan terapi intervensi hepatoma mengecil hinAKI batas
tertentu, harus diupayakan memanfaatkan peluang reseksi bedah 2 tahap untuk
mencapai terapi kuratif. Pasca reseksi hepatoma 3-4 minggu, bila ditunjang
dengan kemoembolisasi arteri hepatik dapat membasmi lesi yang mungkin residif
dalam hati, menurunkan rekurensi pasca operasi, meningkatkan survival.
Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah-lanjut
(intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. TAE/ TACE
dengan frekuensi 3 hinAKI 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi
hatinya cukup baik (Child-Pugh A) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa
invasi vaskular atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara
radikal. Sebaliknya bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C),
serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat.
Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel seperti
imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen, oktreotid,
radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian
lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan.
Prognosis dari hepatoma lebih dipengaruhi oleh stadium tumor pada saat
diagnosis, status kesehatan pasien, fungsi sintesis hati dan manfaat terapi

3.3 Acute Kidney Injury

31
3.3.1 Definisi
AKI (Akute Kidney Injury) adalah penurunan fungsi ginjal yang cepat dan
ditandai dengan penurunan Laju filtrasi Glomerulus (LFG) dan berakibat
penurunan pembuangan produk nitrogen, hilangnya regulari air,elektrolit dan
asam basa.
AKI mempunyai mortalitas yang tinggi 45-75%, angka survivalitas tergantung
ketepatan diagnosis,terapi dan manajemen, Apapun penyebabnya, karena berbeda
dengan Chronic Kidney Disease (CKD), pada AKI reversibilitas sangat tinggi.
3.3.2 Etiologi
Secara garis besar penyebab AKI dalam tiga klasifikasi prerenal, intrinsik
dan pasca renal. secara klinik sangat penting membedakan klasifikasi karena
penting untuk pengelolaan.
Urinalisis sangat penting dalam membedakan jenis AKI (Pre, intrinsik, atau pasca
renal).
Jenis AKI Urinalisis Una FENa EU Rasio
(mEq/ (%) N BUN/Ur
L) (%) ea
Prerenal Berat Jenis Tinggi
Silinder normal < 20 <1 35 > 20: 1
atau
Silinder hialin
Intrarenal
Tubuler berat jenis
nekrosis ygrendah
Akut Silindercoklat > 40 1 > 20:1
lumpur 50
Sel epitel tubulus
ginjal
Kelainan Normal atau >20 Bervaria
vaskular Hematuria si
Glomerulonefri Proteinuria,hematu
tis ria
Silinder eritrosit <20 <1
Nefritis Protein uria

32
interstitial ringan,
hematuria,eritrosit, >20 1
silinder
eritrosit,eosinofil
Postrenal Normal atau
Hematuria
leukosit,kadang < 20 Bervaria 20:1
dapat si
dijumpai silinder
granuler

3.3.3 Diagnosis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan AKI pre-renal,
renal dan postrenal.
Diagnosis AKI menurut Acute Dialisis Quality Initiative (ADQI) berdasarkan
kriteria RIFLE dan diperbaiki sebagai kriteria AKIN.

RIFLE criteria for diagnosis of AKI based on Acute Dialisis Quality Initiative
Increase in Scr Urine output
Risk of renal injury 0,3 mg/dl increase <0,5ml/kg/hr for >6 hr
Injury to the kidney 2x baseline <0,5ml/kg/hr for>12hr
Failure of kidney
function 3x baseline Anuria for >12 h
>0,5 mg/dl increase
if Scr 4 mg/dl
Persisten renal
Loss of kidney function failure
End-stage disease for > 4 week
persisten renal
failure
for > 3 month
Definisi Acute Kidney Injury (AKI) berdasarkan Akut Kidney Injury
Network
Tahap Meningkatnya serum Kreatinin Produksi Urine
1 1.5-2 times baseline <0,5ml/kg/h for>6 h
0,3 mg/dl increase from baseline
2 2-3 times baseline <0,5ml/kg/h for>12h

33
3 3 times baseline <0,3ml/kg/h/for>24h
0,5 mg/dl increase if baseline OR Anuria for >12 h
> 4 mg /dl Any RRT given

3.3.4 Gambaran Klinis


Stadium Oliguria
Stadium oliguria biasanya timbul dalam waktu 24 sampai 48 jam sesudah
terjadinya trauma pada ginjal. Produksi urin normal adalah 1-2 liter/24jam. Pada
fase ini pertama-tama terjadi penurunan produksi urin sampai kurang dari
400cc/24 jam. Tidak jarang produksi urin sampai kurang dari 100cc/24 jam,
keadaan ini disebut dengan anuria. Pada fase ini penderita mulai memperlihatkan
keluhan-keluhan yang diakibatkan oleh penumpukan air dan metabolit-metabolit
yang seharusnya diekskresikan oleh tubuh, seperti mual, muntah, lemah, sakit
kepala, kejang dan lain sebagainya. Perubahan pada urin menjadi semakin
kompleks, yaitu penurunan kadar urea dan kreatinin. Di dalam plasma terjadi
perubahan biokimiawi berupa peningkatan konsentrasi serum urea, kreatinin,
elektrolit (terutama K dan Na).
Stadium Diuresis
Stadium diuresis dimulai bila pengeluran kemih meningkat sampai lebih dari 400
ml/hari, kadang-kadang dapat mencapai 4 liter/24 jam. Stadium ini berlangsung 2
sampai 3 minggu. Volume kemih yang tinggi pada stadium ini diakibatkan karena
tingginya konsentrasi serum urea, dan juga disebabkan karena masih belum
pulihnya kemampuan tubulus yang sedang dalam masa penyembuhan untuk
mempertahankan garam dan air yang difiltrasi. Selama stadium dini diuresi, kadar
urea darah dapat terus meningkat, terutama karena bersihan urea tak dapat
mengimbangi produksi urea endogen. Tetapi dengan berlanjutnya diuresis,
azotemia sedikit demi sedikit menghilang, dan pasien mengalami kemajuan klinis
yang benar.
Stadium Penyembuhan
Stadium penyembuhan AKI berlangsung sampai satu tahun, dan selama masa itu,
produksi urin perlahanlahan kembali normal dan fungsi ginjal membaik secara
bertahap, anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik,

34
tetapi pada beberapa pasien tetap menderita penurunan glomerular filtration rate
(GFR) yang permanen.

3.3.5 Gejala-Gejala AKI


Gejala klinis yang terjadi pada penderita AKI, yaitu :
1. Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare,
pucat (anemia), dan hipertensi.
2. Nokturia (buang air kecil di malam hari).
3. Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang
menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).
4. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
5. Tremor tangan.
6. Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
7. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai
adanya pneumonia uremik.
8. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
9. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah,
berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
10. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap
darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta
asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus.
11. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi AKI ditemukan lebih
menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif,
edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang
dan kesadaran menurun sampai koma.
Evaluasi pada pasien AKI :
Prosedur Informasi yang dicari
Anamnesis dan pemeriksaan fisik Tanda-tanda untuk menyebabkan ginjal akut.
Indikasi beratnya gangguan metabolik.
Perkiraan status volume (hidrasi)
Mikroskopik urin Pertanda inflamasi glomerulus atau tubulus.

35
Infeksi saluran kemih atau uropati Kristal
Pemeriksaan biokimia darah Mengukur pengukuran laju filtrasi glomerulus
dan gangguan metabolic yang diakibatkannya
Pemeriksaan biokimia urin Membedakan gagal ginjal pra-renal dan renal
Darah perifer lengkap Menentukan ada tidaknya anemia, leukositosis,
dan kekurangan trombosit akibat pemakaian
USG ginjal Menentukan ukuran ginjal, ada tidaknya
obstruksi tekstur, parenkim ginjal yang
abnormal.
Bila diperlukan :
CT scan abdomen Mengetahui struktur abnormal dari ginjal dan
traktus urinarius
Pemindaian radionuklir Mengetahui perfusi ginjal yang abnormal
Pielogram Evaluasi perbaikan dan obstruksi traktus
urinarius
Biopsi ginjal Menentukan berdasarkan pemeriksaan patologi
penyakit ginjal
w.sudoyo, aru dkk.2009.Ilmu penyakitdalam. Jakarta : interna publishing
(pusat penerbitan ilmu penyakit dalam

3.3.6 Pencegahan :
Pencegahan Primer
Pencegahan Primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk
menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya AKI, antara lain :
Setiap orang harus memiliki gaya hidup sehat dengan menjaga pola makan dan
olahraga teratur.
Membiasakan meminum air dalam jumlah yang cukup merupakan hal yang
harus dilakukan setiap orang sehinAKI faktor resiko untuk mengalami
gangguan ginjal dapat dikurangi.
Rehidrasi cairan elektrolit yang adekuat pada penderita-penderita gastroenteritis
akut.
Transfusi darah atau pemberian cairan yang adekuat selama pembedahan, dan
pada trauma- trauma kecelakaan atau luka bakar.

36
Mengusahakan hidrasi yang cukup pada penderita-penderita diabetes melitus
yang akan dilakukan pemeriksaan dengan zat kontras radiografik.
Pengelolaan yang optimal untuk mengatasi syok kardiogenik maupun septik.
Hindari pemakaian obat-obat atau zat-zat yang bersifat nefrotoksik. Monitoring
fungsi ginjal yang teliti pada saat pemakaian obat-obat yang diketahui
nefrotoksik.
Cegah hipotensi dalam jangka panjang.
Penyebab hipoperfusi ginjal hendaknya dihindari dan bila sudah terjadi
harus segera diperbaiki.

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah langkah yang dilakukan untuk mendeteksi
secara dini suatu penyakit. Pencegahan dimulai dengan mengidentifikasi pasien
yang berisiko AKI. Mengatasi penyakit yang menjadi penyebab timbulnya
penyakit AKI. Jika ditemukan pasien yang menderita penyakit yang dapat
menimbulkan AKI seperti glomerulonefritis akut maka harus mendapat perhatian
khusus dan harus segera diatasi. AKI prarenal jika tidak diatasi sampai sembuh
akan memacu timbulnya AKI renal untuk itu jika sudah dipastikan bahwa
penderita menderita AKI prarenal, maka sebaiknya harus segera diatasi sampai
benar-benar sembuh, untuk mencegah kejadian yang lebih parah atau mencegah
kecenderungan untuk terkena AKI renal.

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah langkah yang biasa dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih berat, kecacatan dan kematian. Pada kasus AKI
yang sangat parah timbul anuria lengkap. Pasien akan meninAKIl dalam waktu 8
sampai 14 hari. Maka untuk mencegah terjadinya kematian maka fungsi ginjal
harus segera diperbaiki atau dapat digunakan ginjal buatan untuk membersihkan
tubuh dari kelebihan air, elektrolit, dan produk buangan metabolisme yang
bertahan dalam jumlah berlebihan. Hindari atau cegah terjadinya infeksi. Semua
tindakan yang memberikan risiko infeksi harus dihindari dan pemeriksaan untuk

37
menemukan adanya infeksi harus dilakukan sedini mungkin. Hal ini perlu
diperhatikan karena infeksi merupakan komplikasi dan penyebab kematian paling
sering pada gagal ginjal oligurik. Penyakit AKI jika segera diatasi kemungkinan
sembuhnya besar, tetapi penderita yang sudah sembuh juga harus tetap
memperhatikan kesehatannya dan memiliki gaya hidup sehat dengan menjaga
pola makan, olahraga teratur, dan tetap melakukan pemeriksaan kesehatan
(medical check-up) setiap tahunnya, sehinAKI jika ditemukan kelainan pada
ginjal dapat segera diketahui dan diobati.

3.3.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengelolaan AKI adalah mencegah terjadinya kerusakan
ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi
metabolik dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai
faalginjalnya sembuh secara spontan. Penatalaksanaan gagal ginjal meliputi,
perbaikan faktor prerenal dan post renal, evaluasi pengobatan yang telah diberikan
pada pasien, mengoptimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal,
mengevaluasi jumlah urin, mengobati komplikasi akut pada gagal ginjal, asupan
nutrisi yang kuat, atasi infeksi, perawatan menyeluruh yang baik, memulai terapi
dialisis sebelum timbul komplikasi, dan pemberian obat sesuai dengan GFR.
Status volume pasien harus ditentukan dan dioptimalkan dengan
pemantauan berat badan pasien serta asupan dan keluaran cairan setiap hari. Pada
pasien dengan kelebihan volume, keseimbangan cairan dapat dipertahankan
dengan menggunakan diuretika Furosemid sampai dengan 400 mg/hari. Dosis
obat harus disesuaikan dengan tingkat fungsi ginjal, obat-obat yang mengandung
magnesium (laksatif dananatasida) harus dihentikan. Antibiotik bisa diberikan
untuk mencegah atau mengobati infeksi. Untuk dukungan gizi yang optimal pada
AKI, penderita dianjurkan menjalani diet kaya karbohidrat serta rendah protein,
natrium dan kalium. Terapi khusus AKI Dialisis diindikasikan pada AKI untuk
mengobati gejala uremia, kelebihan volume, asidemia, hiperkalemia, perikarditis
uremia, dan hipoinatremia. Indikasi dilakukannya dialisa adalah:
1.Oligouria : produksi urine < 2000 ml in 12 h

38
2.Anuria : produksi urine < 50 ml in 12 h
3.Hiperkalemia : kadar potassium >6,5 mmol/L
4.Asidemia : pH < 7,0
5.Azotemia : kadar urea > 30 mmol/L
6.Ensefalopati uremikum
7.Neuropati/miopati uremikum
8.Perikarditis uremikum
9.Natrium abnormalitas plasma : Konsentrasi > 155 mmol/L atau < 120
mmol/L
10.Hipertermia
11.Keracunan obat

Kebutuhan gizi pada gagal ginjal akut :


1.Energy 2030 kcal/kgBW/d
2.Carbohydrates 35 (max. 7) g/kgBW/d
3.Fat 0.81.2 (max. 1.5) g/kgBW/d
4.Protein (essential dan non-essential amino acids)
5.Terapi konservatif 0.60.8 (max. 1.0) g/kgBW/d
6.Extracorporeal therapy 1.01.5 g/kgBW/d
7.CCRT, in hypercatabolism Up to maximum 1.7g/kgBW/d
AKI post-renal memerlukan tindakan cepat bersama dengan ahli urologimisalnya
tindakan nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan menghilangkan
sumbatan yang dapat disebabkan oleh batu, striktur uretra atau pembesaran
prostate.

Tabel Pengobatan suportif pada gagal ginjal akut


Komplikasi Pengobatan
Kelebihan volume intravaskuler Batasi garam (1-2 g/hari) dan air
(<1L/hari)Furosemid, ultrafiltrasi atau dialysis
Hiponatremia Batasi asupan air (< 1 L/hari), hindari

39
infuselarutan hipotonik.
Batasi asupan diit K (<40 mmol/hari),
Hiperkalemia hindari diuretic hemat kalium
Natrium bikarbonat ( upayakan
Asidosis metabolic bikarbonatserum > 15 mmol/L, pH >7.2)
Batasi asupan diit fosfat (<800 mg/hari)

Hiperfosfatemia Obat pengikat fosfat (kalsium asetat,


kalsiumkarbonat)Kalsium karbonat; kalsium
Hipokalsemia glukonat ( 10-20ml larutan 10% )

Batasi asupan protein (0,8-1 g/kgBB/hari)


jika tidak dalam kondisi katabolicKarbohidrat
100 g/hari Nutrisi enteral atau parenteral, jika
Nutrisi perjalanan klinik lama atau katabolic

Indikasi hemodialisa pada gagal ginjal akut :


1.GGT ( klirens kreatinin < 5 ml/m)
2.AKI berkepanjangan ( > 5 hari)
3.AKI dg. :
a. keadaan umum yang buruk
b. K serum > 6 mEq/L
c. BUN > 200 mg%
d. pH darah < 7,1e. Fluid overload
4.Intoksikasi obat yg gagal dg terapi konservatif

3.3.8 Komplikasi :
Komplikasi metabolik berupa kelebihan cairan, hiperkalemia,
asidosismetabolik, hipokalsemia, serta peningkatan ureum yang lebih cepat pada
keadaanhiperkatabolik. Pada oligurik dapat timbul edema kaki, hipertensi dan

40
edema paru,yang dapat menimbulkan keadaan gawat. Hiperkalemia terjadi karena
beberapa hal seperti ekskresi melalui ginjal terganggu, perpindahan kalium keluar
sel, kerusakan sel akibat proses katabolik, trauma, sepsis, infeksi, atau dapat juga
disebabkan karenaasupan kalium yang berlebih, keadaan ini berbahaya karena
bisa menyebabkan henti jantung dalam keadaan diastolik. Asidosis terjadi karena
bikarbonat darah menurunakibat ekskresi asam nonvolatile terganggu dimana juga
meningkatkan anion gap.Hipokalsemia sering terjadi pada awal AKI dan pada fase
penyembuhan AKI. Komplikasi sistemik seperti:
1.JantungEdema paru, aritmia dan efusi pericardium.
2.Gangguan elektrolit Hiperkalemia, hiponatremia, dan asidosis
3.Neurologi:Iiritabilitas neuromuskular, tremor, dan koma,
4.Gangguan kesadaran dan kejang.
5.Gastrointestinal: Nausea, muntah, gastritis, dan ulkus peptikum.
6.Perdarahan gastrointestinal
7.HematologiAnemia, dan diastesis hemoragik
8.InfeksiPneumonia, septikemia, dan infeksi nosokomial.
9.Hambatan penyembuhan luka.

3.3.9 Prognosis
Mortalitas akibat AKI bergantung keadaan klinik dan derajat gagal
ginjal.Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya
infeksiyang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan
memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%),
perdarahan terutamasaluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas
(15%), dan gagal multiorgandengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan
sebagainya. Pasien dengan AKI yangmenjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan,diagnosis dini, dan terapi dini perlu
ditekankan.

41
BAB IV
ANALISA KASUS
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan, dapat disimpulan bahwa pasien ini menderita hepatoma e.c
hepatitis B kronis disertai AKI stage I dan anemia penyakit kronis.
Pada kasus ini, pasien berusia 54 tahun dan berjenis kelamin laki-laki.
Berdasarkan epidemiologinya, di Indonesia hepatoma banyak ditemukan pada
rata-rata usia 50-60 tahun dengan perbandingan laki-laki lima kali lebih banyak
daripada perempuan.
Berdasarkan gejala subjektif, nyeri perut kanan atas (tumoul, terus
menerus, dan tidak menjalar) disertai perut terasa membesar diakibatkan tmor
tumbuh dengan cepat yang menyebabkan penambahan regangan pada kapsul hati.
Mual dan muntah dapat terjadi karena adanya tumor ganas di sel hepar yang
menyebabkan obstruksi V. porta dan dan distensi V. Splancnic, akibatnya V.
Gastrika menjadi distensi timbul edema gaster dan gejala mual muntah. BAK
seperti teh menandakan adanya proses kerusakan sel hepar oleh hepatoma
menyebabkan penurunan fungsi hepatosit yang berperan mengkonjugasi bilirubin
indirek menjadi bilirubin direk akibatnya terjadi peningkatan bilirubin 1 yang
menyebabkan warna kulit dan sklera menjadi ikterik serta urin menjadi seperti
teh. Adanya faktor risiko antara lain laki-laki, riwayat hepatitis dengan
pengobatan inadekuat dan riwayat hepatitis dalam keluarga.

42
Berdasakan gejala objektif, sklera ikterik akibat peningkatan bilirubin 1
dalam darah, ikterik tidak tampak bila kadar bilirubin <2-3 mg/dl. Perut semakin
membesar dan tegang dengan shifthing dullness (+), akibat dari obstruksi di
V.porta menyebabkan distensi V.mesentrika sehingga tekanan osmotik meningkat
dan terjadi perpindahan cairan menyebabkan asites dan distensi perut sehingga
perut membesar dan tegang. Hepar teraba 5 jbac, permukaan rata konsistensi
keras, tepi tumpul disebabkan adanya massa pada hepar.
Diagnosis hepatoma ditegakkan dari anamnesis adanya keluhan nyeri pada
perut kanan atas yang terus menerus, nafsu makan menurun, mual, berat badan
menurun, badan kuning, dan perut membesar, riwayat sakit kuning sebelumnya
dan riwayat keluarga yang menderita sakit kuning. Dari pemeriksaan fisik
spesifik, mata didapatkan sklera ikterik, abdomen didapatkan perut cembung,
tegang dan nyeri pada palpasi. Pada hepar didapatkan pembesaran 5 jbac dengan
permukaan rata, konsistensi keras, tepi tumpul. Pada perkusi abdomen didapatkan
shifting dullnes (+) dan undulasi (+). Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan
edema minimal pada tungkai bawah. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan bilirubin, peningkatan enzim hati, peningkatan tanda tumor Alfa Feto
Protein (AFP), dan ditemukan imunoserologi hepatitis reaktive yaitu HbsAg. Dari
pemeriksaan USG disimpulkan hepatoma dan asites. Hasil pemeriksaan ini dapat
disesuaikan dengan kriteria diagnosis kanker hati seluler menurut PPHI
(Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia):
1. Hati membesar berbenjol benjol dengan/tanpa disertai bising arteri
2. AFP yang meningkat lebih dari 500 mg/ml
3. USG, CT-Scan, MRI, Angiography, Positron Emession Tomography (PET)
menunjukkan adanya kanker hati seluler.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya kanker hati seluler
5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan adanya kanker hati
seluler.
Diagnosis kanker hati seluler/hepatoma didapatkan bila dua atau lebih
dari lima kriteria di atas atau hanya satu kriteria yaitu kriteria nomor 4 atau 5.

43
Pada kasus ini didapatkan dua dari lima kriteria, yaitu AFP meningkat lebih dari
500 mg/ml dan hasil USG yang menunjukkan adanya hepatoma.
Penyebab hepatoma pada pasien ini disebabkan oleh infeksi hepatitis B
kronis karena dari anamnesis pasien mengaku pernah menderita sakit kuning 30
tahun yang lalu dan terdapat riwayat keluarga yang mengalami sakit kuning yaitu
ibu os, dari hasil laboratorium didapatkan hasil HbsAg reactive artinya terdapat
antigen virus Hepatitis B dalam tubuh sebagai penanda adanya infeksi Hepatitis
B. Berdasarkan kepustakaan, baik studi terkontrol-kasus maupun kohort
memperlihatkan hubungan yang erat antara jumlah pembawa hepatitis B kronik
dan peningkatan insiden Karsinoma Hepatoseluler. Di Taiwan, pada pria pembawa
yang mempunyai antigen permukaan Hepatitis B (HbsAg) positif, dijumpai
peningkatan 98 kali lipat risiko Karsinoma Hepatoseluler dibandingkan orang
negatif-HbsAg. Berdasarkan patogenesisnya, karsinogenisitas HBV terhadap hati
mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronis, peningkatan proliferasi hepatosit,
integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu, dan aktifitas protein spesifik
HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya perubahan hepatosit dari inaktif
menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan karsinogenisitas hati.
Anemia dapat ditegakkan dari anamnesis pasien mengeluh badan lemas,
dari pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva palpebra pucat, dari hasil
laboratorium didapatkan Hb dan eritrosit rendah. Anemia yang terjadi pada pasien
ini mungkin disebabkan asupan makanan yang kurang karena pasien mengeluh
nafsu makan menurun, dan selalu memuntahkan makanan yang dimakan. Pada
pasien hepatoma dapat terjadi anemia, yang disebut anemia penyakit kronis atau
cancer related anemia. Anemia pada penyakit kronis ditandai dnegan adanya
pemendekan masa hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi, dan gangguan
produksi eritrosit akibat tidak efektifnya rangsangan eritropoetin. Berdasarkan
penelitian invitro pada sel hepatoma, dimana sel hepatoma atau sel yang rusak
mengeluarkan sitokin seperti IL-1 dan TNF- yang berperan mengurangi sintesis
eritropoetin. Oleh karena itu, dibutuhkan pemeriksaan penunjang apusan darah
tepi.

44
Acute Kidney Injury (AKI) pada pasien ini ditegakkan karena adanya
gangguan fungsi ginjal yang disebabkan perfusi ginjal yang tidak adekuat akibat
anemia yang dialami pasien. AKI stadium 1 dapat ditegakkan dari hasil
laboratorium yaitu serum kreatinin yang meningkat 1,5-1,9 kali nilai dasar dan
urin output yang berkurang.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Budihusodo, Unggul. 2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi


V : Karsinoma Hati. Interna Publishing : Jakarta Hal.685

2. Singgih B, Datau EA. Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal. [Online].


[Cited on 2017].http://arif-healthy.blogspot.com/

3. Snell.2011.Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. EGC.Jakarta

4. Dugdale D. C. Hepatocellular Carcinoma. [Online]. [Cited on 2017].


Available from : URL :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000280.htm

5. Anonim Hepatoma. [Online]. [Cited on 2017]. Available from : URL :


http://paketlever.wordpress.com/2005/07/19/hepatoma/

6. Price, A. Sylvia, dan Wilson, Lorraine M., 2006, Patofisiologi Konsep


Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
7. Aru. W. Suddoyo, 2007. Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit Edisi 4 Jilid .1
EGC: Jakarta.
8. isselbacher dkk.1999. Harison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Jakarta : EGC
9. Schrier, Wang, Poole, Amit Mitra. Acute renal failure: definitions,
diagnosis, pathogenesis, and therapy. The Journal of Clinical Investigation
2004.
10. Carr, Brian I. 2013. Tumor Hati Dan Saluran Empedu. Dalam buku
Harrison Gastroenterologi dan Hepatologi hal 461. Jakarta: EGC

46
47

Anda mungkin juga menyukai