Anda di halaman 1dari 8

PENGGUNAAN SISTEM SRI (Sistem of Rice Intensification ) DALAM

PENINGKATAN PRODUKSI PADI DAN PERBEDAANYA DENGAN


SISTEM KONVENSIONAL

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sebagai negara agraris dan beriklim tropis yang mempunyai potensi alam
yang mendukung pertumbuhan tanaman pangan yang menjadi pusat kebutuhan yang mutlak
bagi setiap masyarakat di Indonesia. Setiap makhluk hidup di dunia ini membutuhkan pangan
untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Ketahanan pangan bukan hanya masalah cukup
makan. Lebih jauh dari itu, pemenuhan hak atas pangan dapat dipandang sebagai salah satu
pilar utama hak azazi manusia (Kurdianingsih, 2012).
Padi merupakan jenis tanaman pangan utaman di Indonesia dan merupakan salah satu
budidaya terpenting dalam peradaban. Padi (Oryza sativa .L) yang menjadi maradona pangan
sendiri bagi semua kalangan memang tidak dapat diragukan lagi jika memang harus perlu
peningkatan produktifitas padi nasional, tapi melihat kejadian impor padi yang meningkat
terutama di Indonesia terlihat bahwa sistem yang digunakan dalam peningkatan produksi padi
belum mencukupi kebutuhan pangan rakyat, sehingga seperti yang disebut tadi Indonesia
mengimpor beras dari negara tetangga untuk menutupi kekurangan akan beras nasional.
Kebutuhan beras sebagai pangan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini
disebabkan karena lahan pertanian yang semakin menyempit dan jumlah penduduk yang
semakin meningkat (Hasibuan, 2012).
Petani sebagai insan yang berperan menghasilkan bahan pangan kondisinya sangat
memprihatinkan. Petani menghadapi banyak permasalahn dalam perannya menghasilkan
bahan pangan. Permasalahan mendasar yang dihadapi petani adalah kurangnya akses kepada
sumber permodalan, pasar dan teknologi, serta organisasi tani yang masih lemah. Kajian
keadaan pedesaan secara partisipatif adalah salah satu tahap dalam upaya meningkatkan
kemandirian, hasil panen dan kesejahteraan masyarakat dalam hidupnya. Kajian keadaan
pedesaan dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan percaya diri masyarakat dalam
mengidentifikasi serta menganalisa situasi, potensi dan masalahnya sendiri. Dalam kajian
keadaan pedesaan secara partisipatif melalui Pemberdayaan Masyarakat, masyarakat dapat
memanfaatkan informasi dan hasil kajian yang dilakukan bersama oleh masyarakat bersama
tim fasilitator, untuk mengembangkan rencana kerja masyarakat petani agar lebih maju dan
mandiri Sunyoto Usman (2008:33-40) (dalam Ayuningtyas, 2012).
Dalam upaya peningkatan produktivitas padi ini maka perlu suatu teknologi yang
tepat guna, salah satunya adalah penerapan SRI (The System of Rice Intensification).
SRI merupakan salah satu sistem budidaya tanaman padi yang menekankan menajemen
pengelolaan tanaman, tanah, dan air. Sistem SRI ini dapat meningkatkan hasil panen padi
sebesar 78% Hasan dan Sato, 2007 (dalam Hasibuan, 2012).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan SRI?
2. Apa perbedaan SRI dengan sistem konvensional?
3. Apa kekurangan menggunakan sistem SRI?

1.3 Tujuan
1. Untuk menegetahui sistem SRI.
2. Untuk memberikan informasi tentang perbedaan sistem SRI dan sistem kopnvensional.
3. Untuk mengetahui kekurangan sistem.

BAB 2. ISI

2.1 Data
Sistem tanam pada metode SRI pada prakteknya berbeda dengan sistem konvensional,
perbedaan ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Metode SRI dengan sistem konvensional

No Komponen Konvensional Metode SRI


1 Kebutuhan benih 30-40 kg/ha 5-7 kg kg/ha
2 Pengujian benih Tidak dilakukan Dilakukan pengujian
3 Umur dipersemaian 20-30 HSS 7-10 HSS
3 kali (struktur lumpur
4 Pengolahan tanah 2-3 kali (struktur lumpur)
dan rata)
5 Jumlah tanaman per lobang Rata-rata 5 batang 1 batang
6 Posisi akar waktu tanam Tidak beraturan Horizontal (L)
Disesuaikan dengan
7 Pengairan Terus digenangi
kebutuhan
8 Pemupukan Pupuk kimia Pupuk organik
Diarahkan pada Diarahkan pada
9 Penyiangan
pemberantasan gulma pengelolaan perakaran
10 Rendemen (keuntungan) 50-60% 60-70%
(Sumber: Hasibuan, 2012)

2.2 Pembahasan
Budidaya padi organik dengan menggunakan metode SRI mengutamakan potensi
lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan, akan sangat mendukung terhadap pemulihan
kesehatan tanah dan kesehatan pengguna produknya (Pratama, 2012). SRI merupakan salah
satu sistem budidaya tanaman padi yang menekankan menajemen pengelolaan tanaman,
tanah, dan air yang dapat digunakan sebagai salah satu sistem budidaya untuk intensifikasi
pertanian. SRI sendiri berupa metode pertanian yang berkelanjutan yang ramah lingkungan
dimana pengelolaannya jauh dari polusi kimia sehingga produk berbasis organik dan non-
residu baik di tanah, lingkungan, dan produk. Gagasan SRI pada mulanya dikembangkan di
Madagaskar awal tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S. J., seorang Pastor Jesuit asal
Prancis. Oleh penemunya, metodologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancisnya
dinamakan Le System de Riziculture Intensive disingkat SRI dan dalam bahasa Inggris
dikenal dengan nama Sistem of Rice Intensification (Anugrah, Wardana dan Sumedi, 2008
dalam Hasibuan, 2012). . Metode SRI dapat menurunkan input yang besar dari penggunaan
pupuk anorganik dimana kadar kimianya dapat merusak tanah. Metode SRI hanya
mengandalkan bahan organik dalam pengelolaannya dan pengurangan input air skala besar
selama masa tanam padi.
Pertanian organik pada prinsipnya menitik beratkan prinsip daur ulang hara melalui
sampah-sampah dari panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa ke dalam tanah,
dan konservasi air, mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode
konvensional.
Dalam pengelolaanya, metode SRI hanya mengandalkan kebutuhan pupuk organik
dan pestisida organik untuk padi organik metode SRI yang dapat diperoleh dengan cara
mencari dan membuatnya sendiri. Seperti pembuatan kompos sebagai pupuk ini dilakukan
dengan memanfaatkan kotoran hewan, sisa tumbuhan dan sampah rumah tangga dengan
menggunakan aktifator EM (Efektif Mikroorganisme), begitu pula dengan pestisida dicari
dari tumbuhan berhasiat sebagai pengendali hama. Namun yang perlu diketahui dalam
pertanian metode SRI ini, penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim
berikutnya memang mengalami penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya. Sedangkan
pada metode konvensional pemberian pupuk anorganik dari musim ke musim cenderung
meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani konvensional untuk dapat meningkatkan
produksi (panen) apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala musim tanam tiba,
selain itu juga akan merusak alam, lingkungan, dan lahan dengan menyisakan residu.Tidak
pada sistem SRI ini, dalam jangka waktu yang lama, metode SRI akan meningkat
produktivitasnya dengan baik karena unsur hara dapat tersuplai dengan baik dan komplit dari
hara makro dan mikro, biasanya metode pertanian SRI akan terlihat setelah 3 kali musim
panen, karena perombakan hara yang dilakukan mikroorganisme tanah sudah dapat
digunakan oleh tanaman. Karena metode pemupukan dengan bahan organik dapat
memperbaiki kondisi tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah, sehingga pengolahan
tanah untuk metode SRI menjadi lebih mudah dan murah, sedangkan pengolahan tanah yang
menggunakan pupuk anorganik terus menerus kondisi tanah semakin kehilangan bahan
organik dan kondisi tanah semakin berat, mengakibatkan pengolahan semakin sulit dan biaya
akan semakin mahal
Penerapan SRI yang sering digunakan berdasarkan atas lima komponen penting yaitu,
penanaman bibit muda yang berumur 6-12 hari setelah semai, bibit ditanam satu batang per
lubang, jarak tanaman yang lebar, kondisi tanah yang lembab dan rutin dilakukan penyiangan
untuk menghilangkan gulma serta meningkatkan aerasi tanah. Penggunaan bibit muda pada
sistem SRI ini karena pada bibit muda akar lebih mampu menyokong tanaman yang akan
tumbuh dibandingkan dengan bibit tua, hal ini menentukan dalam pertumbuhan tanaman
selanjutnya. Penanaman satu batang per lubang akan menurunkan kebutuhan benih serta
kondisi tanah yang tidak tergenang dapat meningkatkan aerasi dan efisiensi penggunaan air.
Menurut VECO Indonesia (2007), proses pengelolaan air dan penyiangan dalam metode SRI
dilakukan sebagai berikut:
a. Ketika padi mencapai umur 1-8 hari sesudah tanam (HST), keadaan air di lahan adalah
macak-macak atau tidak terlalu berlebihan.
b. Sesudah padi mencapai umur 9-10 HST air kembali digenangkan dengan ketinggian 2-3 cm
selama 1 malam saja. Ini dilakukan untuk memudahkan penyiangan tahap pertama
c. Setelah selesai disiangi, sawah kembali dikeringkan sampai padi mencapai umur 18 HST.
d. Pada umur 19-20 HST sawah kembali digenangi untuk memudahkan penyiangan tahap
kedua.
e. Selanjutnya setelah padi berbunga, sawah diairi kembali setinggi 1-2 cm dan kondisi ini
dipertahankan sampai padi masak susu ( 15-20 hari sebelum panen).
f. SRI juga sudah diuji coba dan diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia, pada wilayah
Indonesia bagian timur SRI dapat meningkatkan produksi padi sebesar 78%, penurunan
penggunaan benih sebesar 80%, penghematan penggunaan air sebesar 40% serta menurunkan
biaya produksi sebesar 20%.
Perbedaan yang mendasar dari sistem SRI dengan sistem konvensional sendiri yaitu:
(1) Persiapan bibit awalnya dilakukan perendaman selama 24 jam dan diperam selama 2
malam, disemaikan pada media tanah dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan
1-1 dipersemaian, dan dibiarkan berkecambah sehingga menjadi bibit muda pada umur 12
hari sehingga siap untuk ditanam dilahan sawah, (2) Pengairan selama periode pertumbuhan
dan produksi dimana kondisi air tidak menggenang, sejak penanaman sampai 5 hari setelah
tanam terlihat rekahan kecil maka dilanjutkan dengan pembasahan ulang pada sore hari
hingga lembab dan dikeringkan pula hingga terbentuk rekahan kecil pada 3 hari berikutnya.
Periode ini berlangsung hingga masuknya masa pembungaan, selama masa pembungaan
hingga matang fisiologis tinggi air dipertahankan 3 cm. (3) Penggunaan bahan organik
sampai batas normal kadar bahan organik tanah yaitu 3-5%. (4) Pengaturan jarak tanam yang
lebar 30x30 cm dan penanamannya 1 bibit perlobang tanam.
Di Indonesia sendiri, metode SRI mulai dikembangkan melalui pengujian dan
evaluasi di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat. Pengujian dilakukan pada dua
musim tanam yaitu pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton/ha dan pada musim hujan
1999/2000 menghasilkan padi 8.2 ton/ha Hasan dan Sato, 2007 (dalam Hasibuan,
2013). Seperti metode lainnya, SRI juga memiliki keunggulan dan tantangan. Keunggulan
SRI antara lain:
a. Dapat meningkatkan produksi padi sampai 50% bahkan ada yang lebih.
b. Pengurangan dalam pemakaian :
Benih 80-90%.
Kebutuhan air 25-50%.
c. Semua varietas benih dapat digunakan.
d. Biaya produksi turun 10-25%.
e. Pendapatan petani meningkat.
Adapun tantangan dari proyek SRI dalam penerapannya yang telah dipelajari
meliputi: petani atau buruh tanam kesulitan tanam bibit muda, petani kesulitan mencari
tenaga kerja, petani atau buruh tanam kesulitan menanam jarak lebar, pola pikir petani masih
mainded pupuk kimia, dan petani kesulitan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman
secara terpadu. Adapun masalah dan kendala penerapan SRI sebagai berikut:
1. Petani atau buruh tanam kesulitan menanam dengan bibit muda.
Salah satu kunci sukses proyek SRI adalah menanam bibit muda, yakni pada umur 7-
15 hari. Jika petani menanam bibit yang lebih tua - 3, 4, 5 atau 6 minggu maka mereka telah
kehilangan banyak potensi untuk menghasilkan sejumlah anakan tanaman. Cara tanam bibit
padi umur muda yaitu ketika bibit didorong ke dalam tanah harus digeser seperti huruf L hal
ini untuk mengurangi tekanan akar tanaman dan memudahkan tanaman proses melanjutkan
pertumbuhan akar. Hal inilah salah satu kesulitan buruh tanam karena mereka terbiasa
menanam bibit konvensional dengan ditekan kedalam dengan kedalaman sekitar 4-6cm.
Sehingga cara menanam bibit muda merupakan hambatan tersendiri bagi buruh tanam.
Salah satu alasan menanam bibit muda dengan digeser adalah pada pertumbuhan akar
tanaman. Akar tanaman padi tumbuh dari ujungnya. Jika ujung menunjuk ke atas maka akar
harus mengubah posisinya di dalam tanah untuk mendapatkan ujung menunjuk ke bawah
sebelum dapat melanjutkan pertumbuhan. Hal ini memerlukan banyak energi dan usaha dari
akar kecil, pada saat itu masih lemah setelah tanam, terutama jika telah dibiarkan kering
karena keterlambatan menanam. Hal inilah yang menjadi risiko besar untuk menanam bibit
muda.
2. Petani kesulitan mencari tenaga kerja atau buruh.
Ketersediaan tenaga kerja di tempat penelitian sulit ditemukan pada musim tanam
padi, karena pada saat itu hampir semua petani menanam padi secara serempak. Bahkan, ada
yang menyewa buruh tanam dari luar desa tersebut. Alasan lain yaitu, dimana areal yang
ditanam sangat besar sedangkan tenaga kerja relatif tetap, mengingat usia tenaga kerja
banyak diatas 40 tahun. Sedangkan penduduk yang usia produktif 18-40 tahun lebih banyak
mencari pekerjaan di luar desa, misalnya di pabrik rokok, atau sopir, bahkan menjadi Tenaga
Kerja Wanita atau Tenaga Kerja Indonesia.
3. Petani atau buruh tanam kesulitan menanam dengan jarak tanam renggang atau lebar.
Untuk menanam dalam pola jarak tanam lebar atau jarak yang teratur, salah satu
metode yang digunakan adalah dengan menggunakan baris (tali) yang diikat di antara tongkat
di pinggir lapangan, jarak 25 cm - atau 30 cm, atau 40 cm, atau mungkin 50 cm jika tanah
sangat subur dan dikelola dengan baik. Garis harus ditandai (atau diikat) pada interval yang
sama untuk menyesuaikan lebar baris sehingga akan ada jarak seragam yang memfasilitasi
penyiangan. Atau seseorang dapat menggunakan seperti sikat terbuat dari bambu dan ada
celah atau spasi atau jarak yang diinginkan.
Alternatif lain untuk menanam adalah dengan menggunakan garu khusus untuk
mencetak permukaan lapangan di sebuah pola persegi untuk menanam bibit di persimpangan
dari garis-garis. Ada sebagian petani merasakan garu khusus ini bisa menjadi metode yang
lebih cepat daripada menggunakan tali. Ternyata ada sebagian petani yang kesulitan
menerapkan model seperti itu. Alasan lain adalah kalau cara konvensional tidak ada ukuran
dan langsung tanam sehingga cepat dalam pengerjaannya, tidak menyita, selain itu jika buruh
tanam menanam dengan jarak lebar ada sebagian buruh mengeluhkan nyeri punggung dan
susah jangakauan tangan atau kaki sehingga dianggap tidak praktis dan ribet.
4. Petani masih senang pada pupuk kimia (Minded pupuk kimia).
Sebagian besar khususnya petani sulit menerapkan SRI karena masih tergantung pada
pupuk kimia, dan hanya sedikit yang menggunakan pupuk organic. Karena bagaimanapun
juga pendekatan SRI ini juga mengarah pada penggunaan pupuk organik.
5. Petani kesulitan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu.
Berdasarkan interview mendalam, bahwa hama dan penyakit ini mudah timbul
dikarenakan kebiasaan petani dalam usaha taninya yang dirasa justru mengundang datangnya
hama dan penyakit tanaman tersebut. Contohnya adalah pada pola tanam yang mana lahan
terus menerus digunakan untuk menanam padi, tidak ada pergantian dengan komoditi lain.
Padahal hal tersebut selain membuat hama tetap bertahan dan terus berkembangbiak, dampak
lain yang ditimbulkan adalah penurunan kualitas lahan itu sendiri. Lambat-laun jika dibiarkan
terus seperti itu lahan akan kering, rusak dan tidak dapat digunakan lagi.
Rotasi tanaman atau pergantian tanaman dengan komoditas lain perlu untuk
dilakukan, yang tentu dengan hal tersebut bisa menekan perkembangbiakan hama bahkan
memutus rantai hidup hama pembawa penyakit ini. Rotasi tanaman memiliki dampak positif
antara lain tanah tidak akan terlalu capek dan dapat dipulihkan secara perlahan. Penanaman
secara serempak pun adalah cara lain yang dirasa cukup bagus untuk mengendalikan hama
wereng hijau dalam pergerakannya menularkan virus tungro. Dengan sistem tanam yang
serempak wereng hijau tidak akan terus-terusan berkembangbiak setelah masa panen usai.

BAB 3. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. SRI sendiri berupa metode pertanian yang berkelanjutan yang ramah lingkungan dimana
pengelolaannya jauh dari polusi kimia sehingga produk berbasis organik dan non-residu
baik di tanah, lingkungan, dan produk.
2. Secara umum perbedaan sistem SRI dan sistem konvensional sendiri terletak pada proses
pemilihan bibit, pengolahan tanah, irigasi, dan perawatanya.
3. Ada beberapa kesulitan yang dihadapi oleh petani sistem SRI ini diantaranya sebagai
berikut:
a. Petani atau buruh tanam kesulitan menanam dengan bibit muda.
b. Petani kesulitan mencari tenaga kerja atau buruh.
c. Petani atau buruh tanam kesulitan menanam dengan jarak tanam renggang atau
lebar
d. Petani masih senang pada pupuk kimia (Minded pupuk kimia).

e. Petani kesulitan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu

Anda mungkin juga menyukai