Anda di halaman 1dari 11

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PASIEN SLE ( SISTEMISC LUPUS

ERYTHEMATOSUS

A. Definisi
SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan
atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam
autoantibodi dalam tubuh.

B. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau
obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi
sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

C. Manifestasi Klinis
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

D. Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Tes Anti ds-DNA
Batas normal : 70 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan
penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier.
Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat
pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati
negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe
dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan
yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan
spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-
antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan
menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal
maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup
sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita
SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan
penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan
penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak
lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien
belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes
laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes
serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE.
ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA
(Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,
lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte
Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4),
Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin
kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Ruam kulit atau lesi yang khas.
b. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan
pleura atau jantung.
d. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari
atau +++.
e. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f. Biopsi ginjal.
g. Pemeriksaan saraf.

E. Tinjauan Pengobatan
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit,
mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup
pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit,
menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang
manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya
variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga
sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi
(Herfindal et al., 2000), sebagai berikut :
1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga
diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu
berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam
tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya
SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi
penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and
500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6,
TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999).
Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita
SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada
sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan
dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap
pasien.
3. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk
salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik,
antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi
nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor
menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2
muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin,
interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang
berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk
melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat
pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal
(Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran
cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib
merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX
non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50%
(Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap
efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada
pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID.
Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih
NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu
NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping
toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka
dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung
dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).

4. Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam,
atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ
penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran
lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA,
mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan
leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor
(TNF- ).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika
pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama
beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan
sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah
dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun
penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
5. Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan
respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan
terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada
kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid
topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai
antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi
asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi seperti
leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks
neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya
inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan
mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari
makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut
dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-
1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan
pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator,
menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan
memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima
kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk
mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang
timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil
prednisolon dalam bentuk intravena (1030 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini
diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan
perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang
menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk.
Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid
Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1
sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas
hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19
hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu
paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy.
Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada
pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit
terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali
sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka
dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk
menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan
melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian
menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar
adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh
demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan
mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk
kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu
dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi
lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus
atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar
glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem
imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan
salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada
pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan
penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga
kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada
pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium
dan vitamin D (Rahman, 2001).
6. Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat
sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel,
aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan
DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam
inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung
pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis
tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya
neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap
WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal,
interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan
durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin
dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis.
Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada
penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-
stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah,
diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara
pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma
(Herfindal et al., 2000).
7. Terapi hormone
Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang
diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali
aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan
menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang
rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja
dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and
Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan
IL-1, IL-6, dan TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk
mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo
belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
8. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat
menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah
virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk
herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin
secara oral 800 mg lima kali sehari selama 57 hari. Salmonella dapat diterapi
dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol
(Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak
digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat memperparah
rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi
dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).

F. Penatalaksanaan Medis
1. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan
postpartum) (metilprednisolon 1000 mg per 24jam dengan pulse steroid th/ selama
3 hr, jika membaik dilakukan tapering off).
2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas
permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
d. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
e. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
f. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
h. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
2. Masalah Keperawatan
a. Nyeri
b. Keletihan
c. Gangguan integritas kulit
d. Kerusakan mobilitas fisik
e. Gangguan citra tubuh
3. Intervensi
a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
1) Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres
panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal
penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
2) Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
3) Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
4) Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta
sifat kronik penyakitnya.
5) Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa
rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti
manfaatnya.
6) Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien
untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
7) Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
b. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,
depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-
hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :
1) Beri penjelasan tentang keletihan :
a) hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
b) menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara
melaksanakannya
c) mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi
air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
d) menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik,
artikuler dan emosional
e) menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
f) kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
2) Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
3) Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
4) Rujuk dan dorong program kondisioning.
5) Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan
suplemen.
c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
1) Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
2) Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
a) Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
b) Meningkatkan pemakaian alat Bantu
c) Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
d) Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
3) Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
4) Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
a) Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
b) Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
c) Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
d. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan
fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta
psikologik yang ditimbulkan penyakit.
Intervensi :
1) Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan
penanganannya.
2) Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
a) Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
b) Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
c) Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
1) Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
2) Hilangkan kelembaban dari kulit
3) Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat
penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
4) Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
5) Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

Anda mungkin juga menyukai