Anda di halaman 1dari 8

A.

Riba
1. Pengertian Riba
Asal makna riba menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang
dimaksud disini menurut istilah syara adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang
tertentu, tidak di ketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara, atau terlambat
menerimanya.1
Menurut Al Jurjanji adalah kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau
imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad.2
2. Dasar Hukum Riba
Riba dalam Islam hukumnya haram. Beberapa ayat dan hadist yang melarang Riba,
adalah sebagai berikut berikut:
firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran:130

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan. (QS : Ali-imran : 130).

Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 275-276




.
.

Artinya: Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.

1 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, 1994, halaman: 290

2 Sarjono, Ahmadi, Buku Ajar FIQH, solo, 2008, halaman:46


Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai
Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS : Al-Baqarah :
275-276).
Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah:278-279

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-
Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah :
278-279).
Sabda Nabi SAW:
( )

Artinya: Dari Jabir, Rasulullah SAW, telah melaknat (mengutuk) orang yang makan
riba, wakilnya, penulisnya, dan dua saksinya. (HR. muslim).
Dari beberapa ayat dan hadist yang telah disebutkan tadi jelaslah bagi kita bahwa riba
itu betul-betul dilarang dalam agama islam. Disini di jelaskan bahwa riba nasiah jelas
dilarang karena ayat tersebut diturunkan karenanya.
Mereka mentakhirkan utang dari waktu yang semestinya dengan menambah bayaran,
apabila terlambat lagi, sampai utang asalnya seratus rupiah akhirnya menjadi beribu-ribu.
Kalau dengan gadai, barang yang tergadai tetap tergadai.
Biasanya tidak ada yang mau melakukannya kecuali orang yang sangat
membutuhkannya, walaupun dia tahu dan yakin akan akibat yang akan menimpanya,
tetapi karena terdesak oleh kebutuhan, terpaksa dipikulnya juga meskipun akan
meruntuhkan bahunya. Apabila yang berhutang memandang bahwa yang mempiutangnya
tidak akan mendakwa, menagih pun tidak bila diberi bunganya, tentu akan diberinya
walaupun tambahan yang diberikannya itu didapatnya dari pinjaman pula kepada yang
lain, atau dengan menjual hartanya yang ada. Keadaannya terus menerus demikian
hingga habislah hartanya. Sesudah hartanya habis, dia pun akan tetap terus menerus
mendapat tagihan, kadang-kadang sampai berakhir dengan masuk penjara atau barangnya
yang tergadai menjadi korban.
Si kaya, meskipun tampaknya dapat untung, tetapi dia telah memudaratkan
saudaranya, menganiaya sesama manusia, seerta akan mengalutkan keadaan masyarakat.
Inilah yang di maksud oleh Allah SWT yang melarang mengambil harta dengan jalan
batil. Meskipun sekarang si kaya kelihatan beruntung, tetapi kalau kita ingat Firman
Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 276, 278, dan 279 di atas, kita percaya bahwa
hartanya itu tidak akan membuahkan kebaikan padanya.
Dengan kerusakan masyarakat dan kemelaratan yang terjadi karena ujudnya riba,
maka Allah yang maha adil dan mengetahui menitahkan larangan nya yang amat keras
supaya riba dihapuskan, dilenyapkan dari muka bumi ini, sampai-sampai Allah berfirman
bahwa orang yang tidak berhenti dari riba itu seolah-olah menantang peperangan dengan
Allah dan Rasulnya. Riba nasiah di haramkan karena menimbulkan kemelaratan yang
sangat besar, sedangkan riba yang lain menutup pintu kemudaratan.3
3. Macam-macam Riba
a. Menurut Jumhur Ulama
Jumhur ulama membagi riba dalam dua bagian yaitu riba fadhl dan riba nasiah.
1) Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis
dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Oleh karena itu, jika
melaksanakan akad jual-beli antar barang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan
salah satunya agar terhindardari unsur riba.

3 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, 1994, halaman: 291-293


2) Riba Nasiah
Maksudnya,menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak,
dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan
satu setengah kilogram gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-
beli yang tidak ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah
semangka yang akan dibayar setelah sebulan.
Sabda Nabi SAW



.
Artinya: Dari Samurah bin jundub sesungguhnya Nabi SAW. Telah melarang
jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan. (H.R Lima ahli hadist).
b. Menurut Ulama Syafiiyah
Ulama Syafiiyah membagi riba menjadi tiga jenis.
1) Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual beli yang disertai adanya tambahan salah satu
pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari
penukar paling akhir. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual
satu kilogram kentang dengan satu setengah kilogram kentang.
Sabda Nabi SAW:





( ) .
Artinya: dari ubadah bin as shamit r.a., Nabi SAW, telah besabda, emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai
dan timbang terima, apabila berlainan jenisnya, maka boleh kamu menjual
sekehendakmu, asalkan dengan tunai. (H.R.Muslim dan Ahmad).4
2) Riba Yad
Jual beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-cerai
antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap
4 Sarjono, Ahmadi, Buku Ajar FIQH, solo,2008, halaman:47
sempurna jual beli antara gandum dengan syair tanpa harus saling menyerahkan
dan menerima di tempat akad.
Menurut ulama Hanafiyah, riba ini termasuk riba nasiah,yakni menambah
yang tampak dari utang.
3) Riba Nasiah
Riba Nasiah, yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan,tetapi
ditambahkan harganya.
Menurut ulama Syafiiyah, riba yad dan riba nasiah sama-sama terjadi pada
pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan
pemegangan barang, sedangkan riba nasiah mengakhirkan hak dan ketika akad
dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Al-
Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan riba qurdi (mensyaratkan adanya
manfaa). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada riba fadhl.5
B. Bunga Bank
Pengertian bank menurut Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan ialah
badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan bunga bank adalah kelebihan jasa yang harus dibayarkan kepada bank dari
pihak peminjam atau pihak yang berhutang.6
Bunga bank sendiri dapat diartikan berupa ketetapan nilai mata uang oleh bank yang
memiliki tempo/tenggang waktu, untuk kemudian pihak bank memberikan kepada
pemiliknya atau menarik dari si peminjam sejumlah bunga (tambahan) tetap sebesar
beberapa persen, seperti lima atau sepuluh persen.
Dengan kata lain bunga bank adalah sebuah system yang diterapkan oleh bank-bank
konvensional (non Islam) sebagai suatu lembaga keuangan yangmana fungsi utamanya
menghimpun dana untuk kemudian disalurkan kepada yang memerlukan dana (pendanaan),
baik perorangan maupun badan usaha, yang berguna untuk investasi produktif dan lain-lain.

5 Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, Bandung, 1997, halaman; 269

6 Sarjono, Ahmadi, Buku Ajar FIQH, solo,2008, halaman:50


C. Hukum Bunga Bank
Ada beberapa pendapat ulama dalam menetapkan hukum bunga bank, yaitu:
a. Haram dan termasuk riba, karena kelebihan pembayaran tersebut teklah ditentukan
ketika akad berlangsung.pendapat ini di kemukakan oleh mushthafa zarga dan abu
zahra yaitu ulama besar pada abad ke-20.
b. Tidak termasuk riba, sebab cukup rasional untuk biaya pengelolaan serta jasa yang
diberikan kepada pemilik uang. Pendapat ini dapat dikemukakan oleh Mahmud
Syaltut dari Al azhr.
c. Subhat, yaitu belum jelas antara halal dan haram. Mereka cenderung berhati-hati.
Pendapat ini dikemukakan oleh majlis tarjih muhamadiyah di indonesia.7

Menurut Tinjauan Fiqh Muamalah Yang berkaitan dengan bunga bank konvesional,
seperti telah dijelaskan di atas, di sini akan di kemukakan sebab atau illat hukum
diharamkannya riba. Menurut penulis, diharamkannya riba karena dua hal:
a. Adanya kezaliman , yaitu adanya keuntungan yang tidak sebanding. Sebenarnya
kelebihan itu bukan sebab keharaman riba, melainkan karena adanya unsur
kezaliman.
b. Adanya eksploitasi dalam kebutuhan pokok atau adanya ghara, ketidakpastian, dan
spekulasi yang tinggi.8

Jadi dapat dikatakan bunga bank ini termasuk riba, sehingga bunga bank juga diharamkan
dalam ajaran Islam. Bedanya riba dengan bunga/rente (bank) yakni riba adalah untuk
pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan bunga/rente (bank) adalah untuk pinjaman
yang bersifat produktif.9 Namun demikian, pada hakikatnya baik riba, bunga/rente atau
semacamnya sama saja prakteknya, dan juga memberatkan bagi peminjam.
Maka dari itu solusinya adalah dengan mendirikan bank Islam. Yaitu sebuah lembaga
keuangan yang dalam menjalankan operasionalnya menurut atau berdasarkan syariat dan

7 Sarjono, Ahmadi, Buku Ajar FIQH, solo,2008, halaman:50

8 Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, Bandung, 1997, halaman; 276

9 Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Lahore, The Ahmadiyah Anjuman Ishaat Islam,
1950, hlm. 721.
hukum Islam. Sudah barang tentu bank Islam tidak memakai system bunga, sebagaimana
yang digunakan bank konvensional. Sebab system atau cara seperti itu dilarang oleh Islam.
Sebagai pengganti system bunga tersebut, maka bank Islam menggunakan berbagai
macam cara yang tentunya bersih dan terhindar dari hal-hal yang mengandung unsur riba.
Diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Wadiah (titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito). Bisa diterapkan
oleh bank Islam dalam operasionalnya menghimpun dana dari masyarakat,
dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan surat-surat berharga
sebagai amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank berhak
menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya
tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu kepada waktu
pemiliknya membutuhkan
b) Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar
perjanjian profit and loss sharing).dengan cara ini, bank Islam dapat memberikan
tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya baik besar maupun kecil
dengan perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sama sesuai dengan
perjanjian, misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini, bank tidak mencapuri
manajeman perusahaan.
c) Musyarakah/ syirkah (persekutuhan). Di bawah kerja sama cara ini, pihak bank
dan pihak perngusaha mempunyai peranan (saham) pada usaha patungan (joint
venture.) karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan
ini dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian tersebut.
d) Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas dasar
harga pembelian yang pertama secara jujur). Dengan cara ini, orang pada
hakikatnya ingin merubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam
menjadi transaksi jual beli (lending activity menjadi sale and purchase
transaction). Dengan system ini, bank bias membelikan/menyediakan barang-
barang yang diperlukan oleh pengusaha untuk dijual lagi, dan bank minta
tambahan harga (cost plus) atas harga pembelinya. Syarat bisnis dengan
murabahah ini ialah si pemilik barang dalam hal ini bank harus memberi
informasi yang sebenarnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya dan
keuntungan bersihnya (profit margin) daripada cost plus-nya itu.
e) Qargh Hasan (pinjaman yang baik atau bernevolent loan). Bank Islam dapat
memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan) kepada para nasabah yang
baik, terutama nasabah yang punya deposito di bank Islam itu sebagai salah satu
service dan penghargaan bank kepada para deposan, karena deposan tidak
menerima bunga atas depositonya dari bank Islam.
Bank Islam juga dapat menggunakan modalnya dan dana yang terkumpul untuk investasi
langsung dalam berbagai bidang usaha yang profitable. Dalam hal ini, bank sendiri yang
melakukan manajemennya secara langsung, berbeda dengan investasi patungan, maka
manajemennya dilakukan oleh bank bersama partner usahanya dengan perjanjian profit and
loss sharing.
Bank Islam boleh pula mengelola zakat di Negara yang pemerintahnya tidak mengelola
zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan sebagian zakat yang terkumpul
untuk proyek-proyek yang produktif, yang hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk :
Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam melaksanakan
pekerjaan untuk kepetingan nasabah, misalnya biaya telegram, telpon, telex dalam
memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah dan sebagainya.
Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan
nasabah, dan untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank, dan biaya administrasi
pada umumnya.10

Daftar pustaka
Sarjono, Ahmad.2008. Buku ajar Fiqh. Jakarta :CV.Sindunata
Rasjid H. Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Syafei Dr. Rachmat, MA. 1997. Fiqh Muamalah. Bandung
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, Gunung Agung, 1997, hlm. 103

10 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, Gunung Agung, 1997, hlm. 103

Anda mungkin juga menyukai