Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seperti aset, kewajiban merupakan elemen neraca yang akan membentuk
informasi sematik berupa posisi keuangan bila dihubungkan dengan elemen yang
lain yaitu aset,ekuitas atau pos-pos rinciannya. Kewajiban merespresentasikan
sebagian sumber dana dari aset badan usaha berupa potensi jasa (manfaat) fisik
dan non-fisik yang memampukannya untuk menyediakan barang dan
jasa.Kewajiban dapat dipaksakan menurut hukum sebagai konsekuensi dari
kontrak mengingat peraturan perundangan yang berlaku. Pengorbanan ekonomis
dapat berbentuk penyerahan utang, aktifa lain/jasa-jasa, atau melakukan
pekerjaan tertentu. Tindakan atau transaksi sebelumnya itu dapat berupa uang,
barang atau jasa, diakuinya suatu beban atau kerugian.
Kewajiban dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu kewajiban jangka
panjang dan kewajiban jangka pendek. Reeve (2010) menyatakan bahwa bahwa
Kewajiban Jangka Pendek yaitu Kewajiban yang akan dibayarkan dari asset
lancar dan jatuh tempo dalam waktu singkat (biasanya dalam 1 tahun atau satu
siklus akuntansi, mana yang lebih panjang). Sedangkan Kewajiban jangka
panjang Menurut Kieso (2008) terdiri dari Pengorbanan manfaat ekonomi
yang sangat mungkin di masa depan akibat kewajiban sekarang yang tidak
dibayarkan dalam satu tahun atau siklus operasi perusahaaan, mana yang
lebih lama Selanjutnya Kasmir (2008) mengatakan bahwa hutang jangka
panjang adalah kewajiban perusahaan kepada pihak lain yang memiliki jangka
waktu lebih dari 1 tahun. Intinya bahwa setiap kewajiban-kewajiban tersebut
harus dipenuhi oleh perusahaan.
Berdasarkan pemaparan singkat latar belakang diatas, maka dalam
Makalah ini kami akan membahas mengenai kewajiban, yaitu terkait dengan
pengakuan,pengukuran dan penilaian sampai pada pelunasan Kewajiban
tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kewajiban dalam konteks Akuntansi ?
2. Bagaimana Pengakuan, Pengukuran dan Penilaian terhadap Kewajiban ?
3. Bagaimana Pelunasan atas kewajiban ?
4. Bagaiman Penyajian atas Kewajiban ?

1.3 Tujuan
Adapun Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan makalah ini yaitu untuk
mengetahui :
1. Pengertian dari Kewajiban Dalam Konteks Akuntansi
2. Pengakuan,Pengukuran dan Penilaian kewajiban
3. Pelunasan atas kewajiabn
4. Penyajian Kewajiban.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Munawir (2010 : 18) berpendapat bahwa hutang adalah semua kewajiban
keuangan perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi, dimana hutang
ini merupakan sumber dana atau modal perusahaan yang berasal dari kreditor
Achmad Tjahjono (2009 : 152) berpendapat bahwa hutang adalah kewajiban
suatu perusahaan yang timbul dari transaksi pada waktu yang lalu dan harus
dibayar dengan kas,barang atau jasa di masa yang akan datang.
Sedangkan dalam hal ini Al Haryono Jusup (2005 : 23) menyatakan bahwa
kewajiban merupakan hutang yang harus dibayar oleh perusahaan dengan
uang atau jasa pada saat tertentu di masa yang akan datang
Menurut Financial Accounting Standard Board FASB : Kewajiban adalah
pengorbanan manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang timbul dari
keharusan sekarang suatu kesatuan usaha untuk mentransfer aset atau
menyediakan / menyerahkan jasa kepada kesatuan lain dimasa datang sebagai
akibat transaksi atau kejadian masa lalu.
Definisi FASB digunakan sebagai basis pembahasan karena definisi tersebut
cukup lengkap secara semantik. Artinya definisi tersebut telah mencakupi
berbagai gagasan atau kata kunci yang terkandung dalam beberapa definisi
kewajiban oleh sumber sumber lain.

2.1.1 Karakteristik Kewajiban


Secara umum dapat dikatakan bahwa kewajiban mempunyai tiga
karakteristik utama yaitu :
1. Pengorbanan Manfaat Ekonomik
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu objek harus memuat suatu
tugas atau tanggung jawab kepada pihak lain yang mengharuskan kesatuan
usaha untuk melunasi, menunaikan atau melaksanakan dengan cara
mengorbankan manfaat ekonomik yang cukup pasti dimasa datang.
Pengorbanan manfaat ekonomik diwujudkan dalam bentuk transfer atau
penggunaan aset kesatuan usaha.
Transfer manfaat ekonomik kepada pemilik (pemegang saham) tida
termasuk dalam pengertian pengorbanan sumber ekonomik masa datang yang
membentuk kewajiban karena untuk menjadi kewajiban pengorbanan tersebut
harus bersifat memaksa dan bukan atas dasar kebijakan atau keleluasaan
manajemen untuk memutuskan baik dalam hal jumlah rupiah maupun dalam
saat transfer.
Secara umum, keharusan mengorbankan sumber ekonomik masa datang
tidak dapat menjadi kewajiban kalau keharusan tersebut bersifat terbuka atau
tidak pasti. Kesatuan usaha tidak mempunyai keharusan untuk mentransfer
aset ke pemilik kecuali dalam hal kesatuan usaha dilikuidasi. Walaupun secara
konseptual ekuitas juga merupakan kewajiban bagi perusahaan, pengorbanan
sumber ekonomiknya tidak cukup pasti baik dalam jumlah maupun saat
sehingga kewajiban harus dibedakan dan dilaporkan secara terpisah dengan
ekuitas.
2. Keharusan Sekarang
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu pengorbanan ekonomik
masa datang harus timbul akibat keharusan sekarang. Pengertian sekarang
dalam hal ini mengacu pada dua hal : waktu dan adanya. Waktu yang
dimaksud adalah tanggal pelaporan (neraca). Artinya : pada tanggal neraca
kalau perlu atau kalau dipaksakan secara yuridis, etis, atau rasional
pengorbanan sumber ekonomik harus dipenuhi karena keharusan itu telah ada.
Keharusan kewajiban mencakupi keharusan kontraktual, keharusan
konstruktif atau bentukan, keharusan demi keadilan dan keharusan bergantung
atau bersyarat.
a. Keharusan Kontraktual
Keharusan yang timbul akibat perjanjian atau peraturan hukum yang di
dalam nya kewajiban bagi suatu kesatuan udaha di nyatakan secara
eksplit atau implicit dan mengikat. Contoh : utang pajak, utang bunga,
utang usaha, utang wesel, dan utang obligasi
b. Keharusan Konstruktif
Keharusan yang timbul akibat kebijakan kesatuan usaha dalam rangka
menjalankan dan memajukan usahanya untuk memenuhi apa yang disebut
praktik usaha yang baik atau etika bisnis dan bukan untuk memenuhi
kewajiban yuridis. Contoh : servis gratis sepeda motor yang dijanjikan
oleh dealer sepeda motor, pengembalian uang untuk barang yang ternyata
cacat atau rusak, dan tunjangan hari raya
c. Keharusan Demi Keadilan
Keharusan yang ada sekarang yang menimbulkan kewajiban bagi
perusahaan semata mata karena panggilan etis atau moral daripada
karena peraturan hukum atau praktik bisnis yang sehat. Contoh :
kewajiban memberikan donasi untuk badan amal tiap akhir tahun dan
kewajiban member hadiah kepada penduduk yang tinggal di sekitar
pabrik karena ketidaknyamanan yang ditimbulkannya.
d. Keharusan Bergantung atau bersyarat
Keharusan yang pemenuhannya tidak pasti karena bergantung pada
kejadian masa datang atau terpenuhinya syarat syarat tertentu.
3. Akibat Transaksi atau Kejadian Masa Lalu
Sama seperti definisi aset, kriteria ini sebenarnya menyempurkankcriteria
keharusan sekarang dan sekaligus sebagai tes pertama pengakuan suatu pos
sebagai kewajiban tetapi tidak cukup untuk mengakui secara resmi dalam
system pembukuan. Untuk mengakui sebagai kewajiban, selain definisi,
criteria yang lain seoerti keterukuran, keberpautan, dan keterandalan juga
harus dipenuhi. Transaksi atau kejadian masa lalu adalah criteria untuk
memenuhi definisi tetapi bukan criteria untuk pengakuan. Jadi, adanya
pengorbanan manfaat ekonomik masa datang tidak cukup untuk mengakui
suatu objek ke dalam kewajiban kesatuan usaha untuk dilaporkan via statemen
keuangan.
2.1.2 Hak Kewajiban Tak Bersyarat
Konsep hak kewajiban tak bersyarat menyatakan bahwa walaupun kontrak
telah ditandatangani, salah satu pihak tidak mempunyai kewajiban apapun
sebelum pihak lain memenuhi apa yang menjadi hak pihak lain. Jadi, konsep hak
kewajiban tak bersyarat menyatakan tidak ada hak tanpa kewajiban dan
sebaliknya tidak ada kewjiban tanpa hak. Kontrak kontrak semacam ini dikenal
dengan nama kontrak saling mengimbangi tak bersyarat atau kontrak
eksekuatori. Contoh : bila seseorang pembeli menandatangani order pembelian,
pada saat itu pembeli tidak mempunyai kewajiban apapun sampai barang yang
dipesan datang dan dikuasai pembeli walaupun jenis, kuantitas, harga, waktu
pengiriman barang sudah jelas.
Masalah timbul dalam kontrak pembelian yang tidak dapat dibatalkan. Ada
dua pendapatan mengenai hal ini, pendapat pertama tetap memperlakukan
kontrak tersebut sebagai eksekutori.sehingga kewajiban tidak perlu diakui.
Alasannya, aset atau manfaat ekonomik masa datang belum dikuasai secara
nyata. Pendapatan kedua, menganjurkan bahwa kewajiban diakui pada saat
penandatanganan kontrak bersamaan dengan aset yang terlibat. Alasannya pada
saat itu, pada dasarnya ketiga criteria kewajiban telah di penuhi.
Transaksi atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menandai saat,
titik, atau tanggal pengakuan hak dan kewajiban dalam suatu kontrak. Hukum
perikatan atau kontrak juga cukup kompleks untuk menentukan timbulnya hak
dan kewajiban yuridis. Dalam Most menunjukkan bahwa titik atau saat tersebut
dapat berupa :
1. Tanggal kontraj ditandatangani
2. Tanggal objek kontrak telah diperoleh salah satu pihak
3. Tanggal objek kontrak telah siap digunakan oleh salah satu pihak
4. Tanggal objek kontrak telah dipisahkan untuk digunakan oleh pihak lain
5. Tanggal objek kontak telah diserahkan
6. Tanggal telah diterima / dibayarnya uang muka, bila ada
7. Dalam kasus kontrak konstruksi jangka panjang :
a. Suatu titik selama konstruksi berjalan
b. Pada saat konstruksi dimulai
Saat penentuan transaksi masa lampau perlu dipertimbangkan dengan
seksama memperhatikan kondisi yang melingkupi suatu kontrak. Most
mengemukakan hal yang harus dipertimbangkan untuk memilih saat yang tepat :
a. Pemenuhan definisi aset dan kewajiban
b. Kekuatan mengikat yaitu seberapa kuat bahwa pelaksanaan kontrak tidak
dapat dibatalkan
c. Kebermanfaatan bagi keputusan

2.1.3 Karakteristik Pendukung


FASB menyebutkan beberapa karakteristik pendukung yaitu :
1. Keharusan membayar kas
Pelunasan kewajiban pada umumnya dilakukan dengan pembayaran kas.
Esensi kewajiban lebih terletak pada pengorbanan manfaat ekonomik masa
datang daripada terjadinya pengeluaran kas. Adanya pengeluaran kas
merupakan hal penting untuk mengaplikasikan definisi kewajiban karena
dua hal :
Sebagai bukti adanya suatu kewajiban
Sebagai pengukur atribut atau besarnya kewajiban yang cukup objektif

2. Identitas terbayar jelas


Bila identitas terbayar sudah jelas, hal tersebut hanya menguatkan bahwa
kewajiban memang ada tetapi untuk menjadi kewajiban identitas terbayar
tidak harus dapat ditentukan pada saat keharusan terjadi. Jadi, yang penting
adalah bahwa keharusan sekarang pengorbanan sumber ekonomik dimasa
datang telah ada dan bukan siapa yang harus dilunasi atau dibayar. Akan
tetapi, pada saat pelunasan kewajiban, terbayar dengan sendirinya harus
teridentifikasi.

3. Berkekuatan hukum
Keharusan melakukan pengorbanan manfaat ekonomik masa deatang tidak
harus timbul dari desakan pihak eksternal tetapi dari minat atau kebijakan
internal manajemen. Itulah sebabnya kewajiban mencakupi pengorbanan
sumber ekonomik masa depan yang timbul akibat keharusan konstruktif dan
demi keadilan. Main pihak lain seperti utang usaha tidak harus di dukung
oleh dokumen yang berkekuatan hukum atau mempunyai daya paksa secara
hukum untuk memenuhi definisi kewajiban. Akan tetapi, demi keadilan dan
kewajaran, perusahaan harus membayar utang usaha tersebut. Pendapatan
sewa tak terhak, laba kotor tangguhan, dan beberapa pos lain yang timbuk
dalam penyesuaian akhir tahun memenuhi criteria sebagai kewajiban
meskipun tidak dilandasi oleh daya paksa secara hukum dan bahkan bukan
merupakan keharusan pengorbanan sumber ekonomik. Itulah sebabnya,
definisi kewajiban APB memasukkan beberapa pos kredit tangguhan yang
non keharusan sebagai kewajiban. Laba kotor tangguhan adalah contoh
kredit tangguhan yang bukan keharusan. Pos kredit tangguhan yang
merupakan keharusan misalnya adalah kredit pajak tangguhan.

2.2 Pengakuan, Pengukuran, dan Penilaian


Sebagai bayangan cermin aset, kewajiban juga harus diukur dan diakui
pada saat terjadinya. Kalau aset diukur atas dasar penghargaan sepakatan
(kos), demikian juga kewajiban. Jadi, kos sebagai pengukur tidak hanya
diterapkan untuk aset pada saat pemerolehan tetapi juga untuk kewajiban pada
saat terjadinya. Sebagai ketentuan umum, pengukuran kewajiban harus sejalan
dengan pengukuran aset yang berkaitan.
Kalau aset yang direprentasi oleh kos mengalami tiga tahap perlakuan
(pemerolehan, pengolahan, dan penyerahan), kewajiban sebenarnya juga
mengalami tiga tahap perlakuan yaitu: penanggungan (pengakuan terjadinya),
penelusuran, dan pelunasan (penyelesaian). Dalam hal kewajiban, penelusuran
berarti penentuan status dan jumlah rupiah (kos) kewajiban pada setiap saat.
Penentuan kos setiap saat (termasuk pada tanggal neraca) dapat disebut
dengan penilaian kewajiban.

2.2.1 Pengakuan
Pada prinsipnya, kewajiban diakui pada saat keharusan telah
mengikat akibat transaksi yang sebelumnya telah terjadi. Mengikatnya suatu
keharusan harus dievaluasi atas dasar kaidah pengakuan (recognition rules).
kriteria pengakuan lebih berkaitan dengan pedoman umum dalam rangka
memenuhi karakteristik kualitatif informasi sehingga elemen statemen
keuangan hanya dapat diakui bila kriteria definisi, keberpautan, keterandalan,
dan keterukuran dipenuhi. Kriteria umum ini tidak operasional sehingga
diperlukan kaidah pengakuan sebagai penjabaran teknis kriteria pengakuan
umum. Dalam hal kewajiban, kaidah pengakuan berkaitan dengan saat atau
apa yang menandai bahwa kewajiban dapan diakui (dibukukan). Empat kaidah
pengakuan untuk menandai pengakuan kewajiban yaitu:
1. Ketersediaan dasar hukum
Kaidah ini terkait dengan kualitas keterandalan dan keberpautan
informasi. Faktur pembelian (invoice) dan tanda penerimaan barang
(receiving report) merupakan dasar hukum yang cukup meyakinkan untuk
mengakui kewajiban. Telah disebutkan bahwa ketersediaan dasar hukum
yang menimbulkan daya paksa hanya merupakan karateristik pendukung
definisi kewajiban. Jadi, kaidah ini tidak mutlak sehingga kewajiban juga
dapat diakui bila terdapat bukti substantif adanya keharusan konstruktif atau
demi keadilan.
2. Keterterapan konsep dasar
Kaidah ini merupakan penjabaran teknis kriteria keterandalan. Keadaan-
keadaan tertentu yang menjadikan konsep konservatisma terterapkan dapat
memicu pengakuan kewajiban. Implikasi dianutnya konsep konservatisma
adalah rugi dapat segera diakui tetapi tidak demikian dengan untung. Ini
berarti kewajiban dapat diakui segera sedangkan aset tidak.
3. Ketertentuan substansi ekonomik transaksi
Kaidah ini berkaitan dengan masalah relevansi informasi. Utang
sewaguna (lease obligations) dapat diakui pada saat transaksi meskipun tidak
ada transfer hak milik dalam transaksi sewaguna tersebut. Dalam hal ini,
kewajiban dapat atau bahkan harus diakui kalau secara substantif sewaguna
tersebut sebenarnya adalah pembelian angsuran (yaitu memenuhi salah satu
kriteria kapitalisasi).
4. Keterukuran nilai kewajiban
Keterukuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai kualitas
keterandalan informasi. Definisi kewajiban mengandung kata cukup pasti
(probable) yang mengacu tidak hanya pada terjadinya pengorbanan sumber
ekonomik masa datang tetapi juga pada jumlah rupiahnya.

2.2.2 Pengukuran

Pengakuan dilakukan setelah suatu kewajiban terukur dengan cukup pasti.


Penentuan kos kewajiban pada saat terjadi paralel dengan pengukuran asset.
Terjadinya kewajiban pada umumnya disertai dengan pemerolehan asset atau
timbulmnya biaya. Pemerolehan asset dapat berupa penguasaan barang
dagangannya atau asset nonmoneter lainnya yang terjadi dari transaksi
pembelian. Pemerolehan asset dapat juga berupa kas yang terjadi dari
transaksi peminjaman (penerbitan obligasi) atau penerimaan uang muka untuk
barang atau jasa. Oleh karena itu pengukur yang paling objektif untuk
menentuka kos kewajiban pada saat terjadinya adalah penghargaan sepakatan
(meansured considerations) dalam transaksi-transaksi tersebut dan bukan
jumlah rupiah pengorbanan ekonomik masa datang. Hal ini berlaku khususnya
untuk kewajiban jangka panjang.
Untuk kewajiban jangka pendek, kos penundaan dianggap tidak cukup
material sehingga jumlah rupiah kewajiban yang diakui akan sama denga
jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonimik (kas) masa datang. Dengan kata
lain, untuk kewajiban jangka pendek, kos pendanaan (financing cost) atau kos
penundaan (bunga sebagai nilai waktu uang) dianggap material.
Penghargaan sepakatan suatu kewajiban merefleksi nilai setara tunai atau
nilai sekarang (current value) kewajiban yaitu jumlah rupiah pengorbanan
sumber ekonomik seandainya kewajiban dilunasi pada saat terjadinya. Dengan
demikian, bisnis pencatatan kewajiban adalah nilai setara tunai bukan nilai
nominal utang.

1. Kewajiban Dalam Pembelian Kredit


Dasar pengukuran asset yang paling objektif adalah kos tunai (cash cost)
atau kos tunai implicit (implied cash cost). Karena kewajiba merupakan
bayanga cermin asset, pengukurannya juga mengikuti pengukuran asset.
Misalnya suatu perusahaan menandatangani kontrak pembelian mesin.
Perusahaan menyepakati harga kontrak mesin Rp 1.600.000 dan dibayar
dalam delapan kali angsuran tiap akhir triwulan sebesar Rp 200.000 tanpa
menyebutkan adanya bunga secara eksplisit. Dalam kasus ini sebenarnya
harga nominal (kontrak) tersebut melebihi kos tunai implicit yaitu jumlah
rupiah yang diperlukan seandainya pembelian dilakukan secara tunai. Kalau
mesin tersebut dapat diperoleh juga dari toko yang sama dengan harga tunai
Rp 1.465.000 maka jumlah rupiah ini kos tunai implicit sedangkan selesih
sebesar Rp 135.000 adlah setara dengan bunga dan harus dibebankan terhadap
pendapatan selama jangka waktu kontrak. Bunga ini akhirnya akan menjadi
biaya yang sesungguhnya terjadi atau nyata dan buka bunga hipotetis. Dengan
demikian, secara konseptual kewajiban harus diakui pada saat transaksi
sebagai berikut:
Mesin 1.465.000
Utang usaha.. 1.465.000
Secara teknisi pembukuan, dapat saja jumlah rupiah bunga dicatat untuk
kepentingan internal dan jumlah utang dicatat sebesar nominalnya sebagai
berikut:
Mesin.1.465.000
Bunga Tangguhan..135.000
Utang usaha1.600.000
Bila cara diatas dilakukan, pelaporan kewajiban harus tetap menunjukkan
nilai tunai implisitnya dengan cara mengurangkan bunga tangguhan terhadap
utang usaha. Bunga tangguhan tidak dilaporkan sebagai asset. Kalau asset dan
kewajiban dicatat dan dilaporkan sebesar Rp 1.600.000 jelas kos asset dan
kewajiban tercatat terlalu tinggi. Walaupun demikian, kalau jangka waktu
kontrak adalah pendek maka jumlah kelebihan kos adalah kecil dan dapat
diabaikan atas dasar konsep materialistas.

2. Diskon dan Premium Utang Obligasi


Nilai nominal atau jatuh tempo utang obligasi sering dianggap sebagai
jumlah rupiah kesepakatan pada saat penerbitan obligasi baik bagi penerbit
maupun kreditor. Dasar pengukuran demikian sebenarnya tidak tepat. Untuk
suatu kontrak utang dengan ketentuan pembayaran bunga periodik dan pokok
pinajaman pada akhir jangka kontrak, pengukuran jumlah rupiah (kos) utang
dan asset untuk dasar pencatatan pertama kali yang tepat adalah kos tunai
implisit.
Dalam hal obligasi jangka panjang, jumlah rupiah uang yang diterima
oleh penerbit dan yang dibayarkan oleh kreditor pada saat penerbitan
hanyalah merupakan bagian kecil dari jumlah rupiah pembayaran masa datang
(bunga periodik dan nominal obligasi). Pembayaran masa datang ini
sebenarnya terdiri atas dua unsure yaitu 1. Nilai sekarang pembayaran bunga
periodik dan nilai sekarang nominal obligasi dan 2. Bunga efektif yang
terlibat dalam penentuan harga obligasi tersebut.

3. Makna Harga Efektif Obligasi


Segera setelah transaksi terjadi maka kesepakatan dalam hubungannya
dengan obligasi tersebut mulai menunjukkan makna yang sebenarnya. Dengan
telah mulai berjalannya kesepakatan dalam transaksi obligasi diatas, bunga
Rp. 100.000 tiap tahun mulai terhimpun dan dibayar secara periodik sampai
jauh tempo. Bersamaan dengan itu, jumlah rupiah utang obligasi yang mula-
mula tercatat akan berangsur-angsur berubah (bertambah) menuju jumlah
rupiah nilai jatuh tempo atau nominal.

4. Diskon Obligasi
Diskon obligasi yang belum diamortisasi bukan merupakan suatu rugi
karena asset yang diperoleh sebelumnya tidak ada yang berkurang atau
menguap (dissipation). Diskon obligasi sebenarnya merupakan bunga yang
belum dibayar, yaitu bagian bunga efektif total yang baru akan dibayar pada
saat utang obligasi jatuh tempo. Diskon utang obligasu pada waktu penerbitan
adalah suatu jumlah rupiah debit yang menunjukkan biaya bunga yang harus
dibayar pada tanggal jatuh tempo. Dengan demikian, diskon tersebut harus
dilaporkan dalam neraca sebagai pengurang nilai nominal (jatuh tempo) utang
obligasi.
5. Premium Obligasi
Sejalan dengan penalaran makna diskon obligasi yang dilandasi konsep
dasar penghargaan sepakatan, dapat disimpulkan bahwa premium yang
dibayarkan investor untuk obligasi merupakan unsure dari jumlah rupiah
utang perusahaan. Bersamaan denga berjalannya waktu mendekati jatuh
tempo, jumlah rupiah bagian utang yang merupakan premium harus
diamortisasi secara sistematik dengan cara memisahkan dari penghargaan
sepakatan bagian yang diperhitungkan sebagai pembayaran bunga periodik.
Mengartikan premium obligasi sebagai pendapatan tangguhan (defferend
income) jelas tidak tepat karena secara konseptual pendapatan atau laba tidak
timbul dari proses pemerolehan utang. Pendapatan hanya timbul dari kegiatan
pembentukan pendapatan (earning process). Atas dasar konsep kontinuitas
usaha, premium obligasi yang belum diamortisasi adalah benar-benar
merupakan utang dan jumlah amortisasi periodik adalah merupakan
penyesuaian (pengurang) terhadap biaya bunga dan bukannya merupakan
elemen pendapatan. Tanpa peneysuaian ini biaya bunga periodik akan menjadi
tersaji lebih (overstated).
Dari segi yudiris, utang memang harus diukur sebesar nilai nomnalnya
karena kalau terjadi likuidasi hak menerima pelunasan yang melekat pada
investor adalah sebesar nominal. Pandangan yudiris yang tidak
memperhatikan diskon dilandasi konsep pengukuran dengan asumsi
perusahaan likuidasi. Dalam keadaan likuidasi atau reorganisasi memang
dapat dijustifikasi pengukuran dengan menggunakan konsep yang berbeda
dengan akuntasi. Akan tetapi, secara umum akuntansi tidak harus
mendasarkan diri pada konsep tersebut.

6. Kewajiban Moneter dan Nonmoneter


Kewajiban moneter adalah kewajiban yang pengorbanan sember
ekonomik masa datangnya berupa kas dengan jumlah rupiah ada saat yang
pasti baik jumlah tunggal maupun beberapa pembayaran secara berkala.
Untuk kewajiban moneter jangka pendek, kewajiban dapat diukur atas dasar
nilai nominal (face value) berdasarkan konsep dasar materialitas. Termasuk
dalam pengertian kewajiban moneter adalah penerimaan dimuka (advances)
yang akan dikompensasi dengan pembelian barang dan jasa dimasa datang.
Disebut kewajiban moneter karena kalau pembelian barang dan jasa batal,
uang muka tersebut harus dikembalikan.
Kewajiban nonmoneter adalah keharusan untuk menyediakan barang dan
jasa dengan jumlah saat yang cukup pasti yang bisanya timbul karena
penerimaan pembayaran dimuka untuk barang dan jasa tersebut. Bila
pembayaran dimuka penuh, kewajiban nonmoneter harus diukur atas dasar
pembayaran tersebut yang menunjukkan harga yang disepakati untuk barang
dan jasa. Pembayaran penuh dimuka tersebut sebenarnya mereprentasikan
jumlah untuk menutup kos barang dan jasa yang akan diserahkan dan laba.
Jumlah yang digunakan untuk menutup kos itulah yang murni merupaka
kewajiban sedangkan jumlah untuk menutup laba merupakan laba tangguhan
(deferred income) yang tidak dapat disebut kewajiban karena tidak memenuhi
definisi kewajiban.
Bila kos barang dan jasa merupakan unsure yang dominan, pembayaran
dimuka dapat dianggap seluruhnya menimbulkan kewajiban (sebagai
kewajiban lancar). Aka tetapi, kalau kos merupakan unsure yang kecil dari
seluruh harga jual barang dan jasa, pembayaran dimuka dapat dianggap
seluruhnya menumbulkan kredit atau pendapatan tagguhan atau pendapatan
tak terhak (unearned revenues) yang merupakan kewajiban non keharusan.
Perlakuan ini secara konseptual lebih didukung daripada pemisahan uang
muka menjadi komponen kos (merepresentasi kewajiban) dan laba. Arugumen
yang didukung yaitu:
a. Keharusan menyerahkan barang dan jasa merupakan bagian dari
operasi perusahaan secara keseluruhan sehingga barang dan jasa
dinyatakan dalam harga jual dari kaca mata kedua pihak yang
bertransaksi. Dengan demikian, pembayaran dimuka merupakan
pendapatan tangguhan yang menunggu penyerahan barang bukan
jumlah untuk menutup kos barang dan jasa.
b. Sebagai bagian dari operasi perusahaan secara keseluruhan,
penerimaan uang muka lebih tepat bila diperlakukan seluruhnya
sebagai kewajiban. Ini merupakan konsekuensi argument a diatas.
c. Laba secara automatis tercipta pada saat pendapatan telah diakui
sehingga pemisahan antara kewajiban dan laba tangguhan tidak ada
manfaatnya karena keduanya sama-sama akan dilaporkan disisi kredit
dan bersifat kewajiban yang keduanya terselesaikan pada saat barang
atau jasa telah diserahkan.
d. Kas yang diterima tidak dapat dikaitkan dengan kos penyediaan
barang/produk dan jasa yang diberi uang muka karena beberapa
komponen produk atau jasa pada umumnya sudah diperoleh
perusahaan bahkan beberapa komponen mungkin belum diperoleh
perusahaan pada saat penerimaan uang muka.
e. Penyerahan barang merupakan saat yang kritis untuk mengakui
pendapatan daripada saat penerimaan kas sehingga laba tidak dapat
diakui pada saat penerimaan kas. Jadi, percuma saja untuk
memisahkan uang muka untuk mereprentasi kos dan laba.

2.2.3 Penilaian
Kalau pengukuran mengacu pada penentuan nilai keharusan sekarang (the
value of current obligation) pada saat terjadinya, penilaian mengacu pada
penentuan nilai keharusan sekarang pada setiap saat antara terjadinya
kewajiban sampai dilunasinya kewajiban. Makin mendekati saat jatuh tempo,
nilai kewajiban akan makin mendekati nilai nominal (face value) kewajiban.
Penilaian kewajiban pada saat tertentu adalah penentuan jumlah rupiah
yang harus dikorbankan seandainya pada saat tersebut kewajiban harus
dilunasi. Dengan kata lain, penilaian adalah penentuan nilai sekarang
kewajiban. Untuk kewajiban moneter, nilai sekarangnya biasanya ditentukan
atas dasar aliran kas keluar dimasa dtang didiskonan dengan tingkat bunga
pasar sebagai tarif diskon.

2.3 Pelunasan
Pelunasan adalah tindakan atau upaya yang segaja dilakukan oleh
kesatuan usaha untuk memenuhi (to satisfy) kewajiban pada saatnya dan
dalam kondisi normal usaha (in due course of business) sehingga bebas dari
kewajiban tersebut. Pelunasan biasanya merupakan pemenuhan secara
langsung kepada pihak yang berpiutang. Pelunasan menjadikan kewajiban
tersebut hapus, tiada, atau lenyap (extinguished) secara langsung (kewajiban
langsung didebit).
Perlunasan secara langsung disebut juga perlunasan secara yudiris karena
kewajiban kepada pihak yang berpiutang secara yudiris hapus melalui
transaksi langsung yang benar-benar terjadi. Perlunasan secara tidak langsung
terjadi apabila kesatuan usaha melakukan tindakan yang mengarah ke
perlunasan misalnya dengan pembentukan dan khusus untuk perlunasan
(sinking fund) baik dikelola sendiri atau melalui wali amanat (trust agency).
Pembentukan atau penyisihan dana semacam ini menjadikan kesatuan usaha
secara substantif menempati keadaan yang disebut pembatalan atau
pembebasan secara substansif (in substance defeasance).
Masalah akuntansi ysng berkaitan dengan perlunasan langsung maupun
tidak langsung adalah penentuan kapan kewajiban telah dapat dikatakan hapus
atau lenyap sehingga jumlah rupiahnya dapat diakui dari sistem pembukuan.
FSAB memberikan pedoman tentang saat pelenyapan (extiguishment)
kewajiban. Pada mulanya FSAB menentukan kriteria lenyapan suatu
kewajiban sebagai berikut:
a) Debitor membayar/melunasi kreditor dan bebas dari semua keharusan
yang berkaitan dengan utang.
b) Debitor telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai
penanggung utang utama baik oleh keputusan pengadilan maupun oleh
kreditor dan dapat dipastikan bahwa debitor tidak akan diharuskan untuk
melakukan pembayaran dimasa datang yang berkaitan dengan utang
dengan penjaminan dalam bentuk apapun.
c) Debitor menaruh kas atau asset lainnya yang tidak dapat ditarik kembali
dalam suatu perwalian yang semata-mata digunakan untuk perlunasan
pembayaran bunga serta pokok suatu pinjaman tertentu dan sangat kecil
kemungkinan bagi debitor untuk diharuskan lagi melakukan pembayaran
dimasa dtang yang berkaitan dengan pinjaman tersebut.
FSAB berargumen pendekatan ini tidak tepat sebagai basis untuk
pengembangan standar yang berkaitan dengan peleyapan dan pengakuan
kewajiban. Dengan pendekatan ini, transaksi-transaksi yang tidak cukup
mempunyai substansi ekonomik dapat membenarkan pengakuan kewajiban
dan pengakuan untung yang dipandang FSAB tidak menyimbolkan secara
tepat realitas kegiatan yang ada. FSAB menerapkan pendekatan komponen-
keuangan. Dengan pendekatan ini, berbagai transaksi yang berkaitan dengan
suatu kewajiban tertentu dapat dianggap terpisah dan independen sehingga
berbagai asset atau kewajiban yang terlibat harus diperlakukan sebagai
komponen-komponen terpisah. FSAB menetapkan bahwa suatu kewajiban
dapat dikatakan lenyap kalau salah satu dari kondisi berikut dipenuhi:
a. Debitor membayar kreditor dan terbebaskan dari keharusan yang melekat
pada kewajiban. Membayar kreditor mencakupi penyerahan kas, asset
financial lain, barang, atau jasa atau penebusan sekuritas utang oleh
debitor untuk menghapus utang atau untuk menahannya sebagai utang
obligasi treasuri.
b. Debitor telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai
penanggung utang utama baik oleh keputusan pengadilan maupun
kreditor.

2.3.1. Transfer Aset Finansial


Untuk melunasi kewajiban, suatu entitas dapat mentransfer asset financial
termasuk kas, barang, atau jasa. Bila kewajiban telah dilunasi dengan
mentransfer secara penuh kas, barang, atau jasa ke debitor maka pada saat itu
pelunasan dianggap tuntas. Debitor tidak lagi terlibat dengan asset atau
kreditor secara financial. Perlunasan kewajiban dengan asset financial juga
dapat bersifat tuntas bila penyerahan asset financial bersifat tak bersyarat dan
dianggap sebagai penjualan. Artinya, asset finasial dianggap dijual secara
tunai dan kas yang diterima seketika itu pula dianggap untuk melunasi
kewajiban.
Kalau pelunasan kewajiban dilakukan dengan transferan asset financial
yang menimbulkan keterlibatan berlanjut (continuing involvement)
pentransferan (transferor) dengan asset transferan (transferred assets) atau
tertransfer (transferee). Dalam hal ini kewajiban tidak lenyap secara tuntas
atau ada kewajiban baru yang berkaitan dengan asset transferan.

2.3.2. Perlunasan Sebelum Jatuh Tempo


Bila kewajiban dilunasi pada saat jatuh tempo, nilai jatuh tempo
(nominal) dengan sendirinya merefleksi nilai sekarang (saat pelunasan)
kewajiban sehingga tidak ada selisih antara jumlah rupiah yang dibayar dan
nilai nominal. Nilai jatuh tempo juga akan sama dengan nilai buku atau nilai
bawaan (carrying value) kewajiban karena proses amortisasi selisih antara
nominal dan nilai pasar pada saat penerbitan utang (misalnya obligasi).
Selama beredar, nilai pasar atau nilai sekarang kewajiban berfluktuasi
mengikuti tingkat bunga yang berlaku tetapi pada umumnya fluktuasi tersebut
tidak diakui dalam pembukuan debitor.
Penarikan kembali obligasi yang beredar adalah suatu transaksi yang
mempengaruhi kontrak debitor atau kreditor tetapi transaksi ini sangat
berbeda dengan transaksi aliran kegiatan operasi dan transaksi penggunaan
asset (investasi). Dengan demikian, terdapat pandangan bahwa untung atau
rugi yang berasal dari transaksi tersebut harus dilaporkan sebagai suatu
penyesusian modal. Bergantung pada sifatnya untung atau rugi dapat
dilaporkan sebagai pos diner atau pos ekstraordiner. Kriteria untuk
menentukan hal ini adalah apakah pos tersebut merupakan akibat dari
transaksi atau kejadian yang mempunyai sifat sebagai berikut:
a. Sangat berbeda dengan kegiatan operasi rutin kesatuan usaha
b. Tidak diharapkan akan sering terjadi
c. Berpengaruh material terhadap operasi perusahaan secara keseluruhan

2.3.3 Utang Terkonversi


Instrument financial pada dasarnya merupakan alat pembayaran atau
pinjaman sehingga dapat digunakan oleh pemegangnya untuk melunasi utang.
Utang terkontroversi atau convertible (convertible debt) merupakan salah satu
instrument financial tersebut. Sekuritas utang semacam ini biasanya
mempunyai status sebagai kewajiban dan ekuitas sekaligus. Artinya,
pemegang instrument mempunyai hak istimewa untuk mengubah status utang
menjadi ekuitas setiap saat selama hak tersebut masih berlaku (belum habis).
Instumen semacam ini merupakan salah satu bentuk dari apa yang disebut
sekuritas hibrida (hybrid securities).
Contoh yang paling sering dijumpai dalam praktik adalah obligasi
terkonversi. Obligasi terkontroversi pada umumnya diterbitkan untuk menarik
para investor karena mereka dapat menggeser resiko atau mengubah status
sekuritas menjadi lebih menguntungkan. Hak konversi digunakan untuk
menarik investor untuk mengimbangi tingkat bunga nominal yang terlalu
rendah dibandingka tingkat bunga umum. Harga perdana biasanya jauh lebih
tinggi dari obligasi biasa dengan tingkat resiko yang sama. Jadi, investor
bersedia membeli hak konversi dalam bentuk bunga yang lebih rendah dari
bunga obligasi setara yang dijual secara terpisah.
Hendriksen dan Van Breda (2002)menunjukkan bahwa obligasi terkonversi
biasanya mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1. Tingkat bunga nominal jauh dibawah tingkat bunga pasar untuk obligasi
biasa yang setara.
2. Harga konversi yang ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar saham biasa,
3. Harga konversi tidak pernah menurun selama masa hak konversi kecuali
karena penyesuaian yang diperlukan akibat pengambilan hak yang
melekat pada saham biasa seperti dalam hal terjadi pemecahan saham
atau dividen saham.

2.3.4. Pembebasan Substantif


Pada mulanya, FASB menetapkan bahwa kewajiban dapat dianggap
lenyap bila kreditor menaruh kas atau lainnya misalnya obligasi pemerintah
yang tidak dapat ditarik kembali dalam satu perwalian dan aliran kas dari aset
tersebut akan cukup untuk pelunasan pembayaran bunga serta pokok
pinjaman.
Bila telah dicapai saat sehingga debitor sehingga tidak perlu lagi
melakukan pembayaran di masa datang yang berkaitan dengan pinjaman
tersebut, maka pada saat tersebut secara substansif debitor sudah bebas dari
kewajiban sehingga dapat mengakui kewajiban dan aset dalam perwalian
meskipun utang belum jatuh waktu. Bila debitor membentuk dana pelunasan
utang obligasi, pada saat debitor sudah tidak perlu lagi membayar atau
menyetor kas ke dana tersebut karena kas yang telah disetor dan pendapatan
dari dana tersebut sudah pasti akan cukup untuk menutup utang pada saat
jatuh tempo, maka pada saat itu kewajiban debitor secara substantive
dianggap lenyao meskipun kewajiban belum jatuh tempo. Jadi, pada saat tidak
ada lagi keharusan membayar, telah terjadi pembebasan substantif.
Dalam standar ini FASB menegaskan bahwa pada saat terjadi
pembebasan substantif, kewajiban tidak dapat dihapus karena kejadian
tersebut tidak memenuhi karakteristik atau Kriteria kritis sebagai berikut :
a. Debitor tidak hanya sendirinya menjadi bebas dari kewajiban secara
hukum hanya lantaran perusahaan menempatkan aset ke dalam suatu
perwalian.
b. Untuk pelunasan kewajiban, sumber dana tidak dibatasi hanya dari dana
yang ditempatkan dalam perwalian.
c. Kreditor tidak mempunyai kekuasaan untuk menggunakan secara bebas
aset dalam perwalian dan juga tidak dapat menghentikan atau
membatalkan perwalian tersebut.
d. Kreditor ataupun agennya bukan merupakan pihak yang terikat dalam
kontrak pembentukan dana pembebasan utang.
Alasan lain yang sering dikemukakan adalah pengawakan kewajiban pada
saat tercapainya pembebasan substantive sama saja dengan mengkompensasi
kewajiban dengan aset. Kritik lain adalah pengawaakuan kewajiban pada saat
terjadinya pembebasan substantive dapat dimanfaatkan oleh debitor untuk
melakukan manajemen laba dan peningkatan kinerja secara kosmetik. Hal ini
dapat dilakukan karena keuntungan bagi debitor sebagai berikut :
a. Kewajiban dihapus dari neraca sehingga rasio kewajiban ekuitas
membaik
b. Laba tahun berjalan akan meningkat dengan jumlah untung yang
terjadi dalam pengawaakuan kewajiban
c. Untung pengawaakuan kewajiban tidak dikenai pajak karena untung
tersebut sebenarnya belum terealisasi sehingga perusahaan dapat
menghemat atau menunda moupajak dan meningkatkan profitabilitas
secara cukup berarti pada saat pembebasan substantive
d. Bila aset berupa obligasi pemerintah, perusahaan dapat menghemat
pajak karena untuk perhitungan pajak pendapatan bunga obligasi
pemerintah dapat dikompensasi oleh biaya bunga utang
e. Pembebasan substantive memungkinkan perusahaan untuk
memperlakukan kewajiban jangka seperti mengelola surat surat
berharga di sisi aset.

2.4 Penyajian
Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca atas dasar urutan
kelancarannya sejalan dengan penyajian aset. PSAK No. 1 (pasal 39)
menggariskan bahwa aset lancer disajikan urut menurut urutan likuidiats
sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh tempo. Ini berarti
kewajiban jangka pendek disajikan lebih dahulu daripada kewajiban jangka
panjang. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk
mengevaluasi likuiditas perusahaan. PSAK No. 1 menentukan bahwa semua
kewajiban yang tidak memenuhi criteria sebagai kewajiban jangka pendek
harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang. Suatu kewajiban
diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek bila (paragraph 44) :
a. Diperkirkan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal
opersi perusahaan
b. Jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca
Suatu kewajiban tetap dapat diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka
panjang bila kewajiban tersebut tidak akan dilunasi tetapi didanai kembali
atau diperbarui. Paragraf 47 menyebutkan bahwa kewajiban berbunga jangka
panjang tetap diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang, walaupun
kewajiban tersebut akan jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan
sejak tanggal neraca, apabila :
a. Kesepakatan awal perjanjian pinjaman untuk jangka waktu lebih dari
dua belas bulan
b. Perusahaan bermaksud membiayai kembali kewajibannya dengan
pendanaan jangka pnjang
2.4.1 Hak Mengkompensasi
Ada kalanya hak mengontrak diperbolehkan bila kondisi tertentu
dipenuhi. kondisi ini biasanya berkaitan dengan apa yang disebut sebagai
kontrak bersyarat dan kontrak pertukaran. Kontrak bersyarat adalah kontrak
yang hak dan kewajibannya bergantung pada timbulnya kejadian masa datang
tertentu yang belum tentu terjadi dan dapat mengubah saat penerimaan,
penyerahan, atau pertukaran jumlah rupiah atau instrument keuangan. Contoh
kontrak ini adalah futures contracts dan forward purchase sale contracts.
Kontrak pertukaran adalah kontrak yang mewajibkan adanya pertukaran aset
dan kewajiban dimasa datang dan bukan hanya transfer aset dari satu pihak
aja. Contoh kontrak ini adalah interest rate swaps dan currency swaps.
Hak mengkompensasi Adalah hak yuridis debitor, lantaran kontrak atau
lainnya,untuk menghapus semua atau sebagian utang kepada pihak lain
dengan cara mengkompensasi utang tersebut dengan jumlah yang pihak lain
berutang kepada debitor. Hak mengkompensasi dikatakan ada bilamana semua
kondisi berikut dipenuhi: 1).Tiap pihak dari dua pihak yang berkontrak utang
kepada yang lain suatu jumlah rupiah tertentu. 2)Pihak pelapor mempunyai
hak mengkompensasi jumlah yang diutangnya dengan jumlah yang diutang
pihak lain. 3).Pihak pelapor memang berniat untuk mengkompensasi. 4) Hak
mengkompensasi terpaksakan secara hukum
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Kewajiban merupakan
Pengorbanan ekonomis dapat berbentuk penyerahan utang, aktiva lain jasa-jasa, atau
melakukan pekerjaan tertentu/tindakan atau transaksi sebelumnya itu dapat berupa
uang, barang atau jasa, diakuinya suatu beban atau kerugian. kewajiban jangka
pendek adalah kewajiban-kewajiban yang penyelesaianya harus menggunakan aktiva
lancar atau pembentukan kewajiban lancar lainya dan kurang 1 tahun. Sedangkan
kewajiban jangka panjang ialah semua kewajiban perusahaan yang jatuh temponya
lebih dari satu periode akuntansi, yang akan dilunasi dengan menggunakan sumber-
sumber yang bukan digolongkan sebagai aktiva lancar. Kewajiban mempunyai tiga
karakteristik utama yaitu pengorbanan manfaat ekonomik masa datang, menjadi
keharusan sekarang dan timbul akibat transaksi atau kejadian masa lampau.
Pengertian kewajiban merupakan bayangan cermin pengertian aset. Transaksi atau
kejadian masa lalu menimbulkan penguasaan sekarang perolehan manfaat ekonomik
masa datang untuk aset sedangkan untuk kewajiban hal tersebut menimbulkan
keharusan sekarang pengorbanan manfaat ekonomik masa datang.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Tjahjono. (2009). Intermediate Accounting Buku 2 Edisi 16, Jakarta :


Salemba Empat,

Al Haryono, Jusup. 2005. Dasar-Dasar Akuntansi, Edisi 6. Yogyakarta: Sekolah.


Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN

Donald E. Kieso, Jerry J, Weygandt, Terry D.Warfield. 2008. Akuntansi.


Intermediate. Edisi 12. Jakarta: Erlangga

Eldon.S.Hendriksen, Mihael F. Van Breda. 2002. Teori Accounting. Jilid 2,


Batam : Interaksara.

Ikatan Akuntan Indonesia, 2009. Akuntansi Keuangan, PSAK No.1 : Penyajian


Laporan Keuangan. Jakarta : Salemba Empat.

Kasmir. 2008. Analisis Laporan Keuangan.Jakarta: Rajawali Pers

Munawir.2010. Analisis Laaporan Keuangan. Cetakan ketiga Belas,Yogyakarta :


Liberty

Reeve, James M., dkk. 2010. Pengantar Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat

http://yenni-effendi.blogspot.co.id/2016/05/materi-kewajiban-teori-akuntansi
html (diakses 01,April 2017 pukul 17.00 wita)

http://mariberlajarbersama.blogspot.co.id/2015/11/tgs-teori-akuntansi-kewajiban
.html ( diakses 01,April 2017 pukul 17.38 wita)

Anda mungkin juga menyukai