Anda di halaman 1dari 3

Zaman Dasar Wawasan Negara (2001-hingga sekarang)

Dengan berbasis sistem pendidikan di Inggris, malaysia menerapkan pendidikan


dasar selama enam tahun, disusul pendidikan menengah selama lima tahun (tiga
tahun menengah rendah atau pertama, dan dua tahun menengah atas). Semuanya
itu dapat diakses anak-anak Malaysia gratis. Para siswa wajib mengikuti ujian
negara di setiap akhir jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah rendah, dan
pendidikan menengah tinggi. Pada tahun 2006, jumlah siswa yang bersekolah di
pendidikan dasar ada 3.111.948 anak, sedangkan jumlah siswa yang bersekolah di
pendidikan menengah ada 2.304.976 anak.

Pendidikan rendah atau dasar (Primary Education) di Malaysia berlangsung 6


tahun yang wajib diikuti oleh anak-anak usia 7-12 tahun. Wajib belajar di Malaysia
dicanangkan dan dilaksanakan mulai tahun persekolahan 2003. Pendidikan wajib
adalah satu peraturan yang mewajibkan setiap orang tua sebagai penduduk dan
warga negara Malaysi yang mempunyai anak berumur 6 tahun mendaftarkannya di
sekolah rendah. Pendaftaran siswa baru biasanya dilakukan 1 tahun sebelum masa
persekolahan. Keteledoran orang tua memasukkan anaknya utnuk mengikuti wajib
belajar dianggap sebagai kesalahan menurut undang-undang. Jika hal ini terbukti di
pengadilan, maka orang tua tersebut akan didenda maksimal RM 5000 atau
dihukum maksimal 6 bulan.

Mengenai biaya pendidikan dasar orang tua siswa hanya diminta membayar iuran
sekolah awal tahun ajaran baru. Besarnya iuran yang dipungut oleh pihak sekolah
berkisar antara RM 50 sampai RM 75 (Rp125.000 187.000) per tahun tiap siswa.
Iuran tersebut dirinci untuk pembayaran asuransi, biaya ujian tengah semester dan
ujian semesteran, iuran khusus, biaya LKS, praktek komputer, kartu ujian, file data
siswa dan rapor.

Khusus untuk sumbangan PIBG (Persatuan Ibu Bapak Guru) hanya dipungut satu
bayaran untuk satu keluarga. Keluarga yang menyekolahkan lebih dari satu anak,
hanya dikenakan iuran yang sama yaitu RM 25 per keluarga. Dan untuk siswa kelas
enam ditambah biaya UPSR sebesar RM 70. Selain itu tidak ada pungutan lain,
termasuk pungutan dana sumbangan pembangunan. Pembangunan dan renovasi
gedung sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah.

Buku pelajaran yang dipakai siswa relatif tidak berganti setiap tahun. Bila orang tu
siswa membeli semua buku pelajaran, harganya berkisar antara RM 80 sampai RM
125 per siswa per tahun. Buku yang telah dibeli untuk anak sulung akan dapat
dipakai terus untuk adiknya secara turun temurun. Khusus untuk keluarga dengan
pendapatan kurang dari RM 2000 per bulan, dapat mengajukan permohonan
kepada pemerintah untuk peminjaman buku teks yang disediakan dari sekolah.
Mulai tahun ajaran 2008, semua siswa sekolah rendah mendapat bantuan
peminjaman buku pelajaran dari bantuan pemerintah melalui sekolah masing-
masing.
Pada zaman ini Sistem Pendidikan Kebangsaan diperkemas sejajar dengan
perkembangan dunia teknologi maklumat. Dengan mengambil kira pelbagai
perubahan dan cabaran alaf ke-21, penambahbaikan dan pemantapan sistem
pendidikan diperlihatkan dalam perundangan, dasar dan program utama,
antaranya: Akta Pendidikan 1996 (Pindaan 2002); Program Bimbingan dan
(Keputusan Jemaah Menteri, 2002); Pengajaran dan Pembelajaran Sains dan
Matematik dalam Bahasa Inggeris dilaksanakan pada tahun 2003 (Keputusan
Jemaah Menteri, 2002). Bayaran Insentif Subjek Pendidikan (BISP) diperkenalkan
pada tahun 2003; Program j-QAF diperkenalkan pada tahun 2005 dan diperluaskan
pada tahun 2006 bagi memastikan murid Islam menguasai Jawi, Al-Quran, Bahasa
Arab dan Fardu Ain apabila tamat sekolah rendah (Keputusan Jemaah Menteri,
2003); dan banyak lagi program-program pendidikan diperluas.

Perubahan paling signifikan dalam sejarah perkembangan pendidikan negara


ialah penubuhan Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia (KPTM) pada tahun 2004.
Dengan pembahagian ini KPM dipertanggungjawabkan kepada pembangunan
pendidikan prasekolah, sekolah rendah, sekolah menengah, matrikulasi dan
pendidikan guru.

Perbandingan Sitem Pendidikan di Indonesia dan di Malaysia


Pada tahun 2009, terdapat 5.154.000 siswa baru yang masuk SD di Indonesia. Selain itu,
1.062.000 siswa mengulang kelas dan (hanya) 80% yang berhasil mencapai kelas enam pada
tahun ajaran 2008-9. Di sisi lain, terdapat 481.000 siswa baru yang masuk SD di Malaysia pada
tahun 2009 serta tidak ada siswa yang mengulang kelas dan 96% siswa di SD berhasil mencapai
kelas enam pada tahun ajaran 2008-9 (hal. 104, 124). Dengan kata lain, walaupun jumlah siswa
yang baru masuk SD di Indonesia hampir sebelas kali lipat dari Malaysia, tetapi persentase
keberhasilan siswa mencapai kelas enam lebih rendah 16% ketimbang Malaysia pada tahun yang
sama. Hal itu tentu berkait dengan jumlah siswa yang mengulang kelas maupun faktor lainnya
seperti putus sekolah karena tidak ada biaya.
Di Indonesia, usia wajib sekolah ialah 7-15 tahun sementara di Malaysia antara 6-11 tahun.
Namun, jumlah siswa (pada usia wajib sekolah) yang mengalami putus sekolah di Indonesia
(389.000 siswa) adalah dua kali lipat ketimbang Malaysia (192.000 siswa). Selain itu, pada level
pendidikan menengah dan vokasional, ketertinggalan Indonesia dari Malaysia tidak jauh
berbeda. Usia wajib sekolah pada jenjang ini ialah 13 tahun di Indonesia (3 tahun SMP dan 3
tahun SMA) serta 12 tahun di Malaysia (3 tahun SMP dan 4 tahun SMA). Dalam kelompok
siswa itu, ada 19.521.000 siswa pada tahun 2009 dan satu persen dari mereka pernah mengulang
kelas pada tahun yang sama di Indonesia; sementara dari 2.537.000 siswa di Malaysia pada
jenjang dan tahun yang sama, hampir tidak ada dari mereka (nol persen) yang mengulang kelas
(hal 134, 146, 158). Padahal, janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
merupakan jaminan bahwa tidak ada satu pun warga negara yang putus sekolah sebab ketiadaan
biaya.
Keprihatinan juga muncul dari dunia pendidikan tinggi. Indonesia hanya menjadi negara
tujuan bagi 3.023 mahasiswa asing sementara Malaysia menjadi negara tujuan bagi 41.310
mahasiswa asing (hampir 14 kali lipat ketimbang Indonesia) pada tahun 2009. Malaysia pun
menjadi negara keempat tujuan kuliah bagi warga negara Singapore (606 mahasiswa pada tahun
2009), sementara Indonesia menjadi negara tujuan nomor satu bagi mahasiswa Timor Leste
(1.421 mahasiswa pada 2009) dan tidak masuk ke dalam lima besar negara tujuan studi warga
negara Singapore. Di sisi lain, hanya 32.346 mahasiswa Indonesia yang studi di luar negeri pada
tahun 2009, sementara Malaysia memiliki lebih dari 1,5 kali lipat jumlah mahasiswa Indonesia
yang studi di luar negeri (53.121 mahasiswa). Lima negara teratas untuk tujuan studi bagi
mahasiswa Indonesia ialah Australia (10.205), U.S.A. (7.386), Malaysia (7.325), Jepang (1.788),
Jerman (1.546) dan menarik untuk dicatat bahwa Malaysia masuk ke dalam lima besar negara
tujuan studi bagi mahasiswa Indonesia. Padahal, Indonesia tidak masuk ke dalam lima besar
negara tujuan studi bagi mahasiswa Malaysia (Australia [19.970], U.K. [12.697], U.S.A. [5.844],
Rusia [2.516], Jepang [2.147]) pada tahun 2009 (hal. 201).
Sebagai catatan, menarik untuk disampaikan bahwa walaupun Indonesia merupakan negara
penerima beasiswa terbesar dari AusAid, jumlah mahasiswa Malaysia yang studi di Australia
lebih banyak 9.765 orang ketimbang mahasiswa Indonesia pada tahun 2009. Dengan kata lain,
lebih banyak warga Malaysia ketimbang WNI yang mampu membayar kuliah ke Australia
atau Putra Jaya memberikan lebih banyak beasiswa bagi warga negaranya ketimbang yang
disediakan Jakarta bagi WNI untuk studi ke Australia.
Dengan demikian, wajar saja bila WNI di perbatasan Kalimantan Barat, umpamanya, lebih
memilih memiliki akta kelahiran Malaysia ketimbang Indonesia, sebab hal tersebut memberikan
kemungkinan yang lebih besar bagi mereka untuk sekurangnya dua hal:
(1) Mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih besar
(2) Kualitas pendidikan (dasar dan menengah) yang lebih baik dan kesempatan
untuk mengakses pendidikan tinggi dengan beasiswa di malaysia maupun ke
negara lain.
Di sisi lain, mengapa para pejabat dan sebagian WNI naik pitam dengan fenomena tersebut
yang akar masalahnya adalah
(1) Ketidakmampuan pemerintah (pusat maupun daerah) memberikan kesejahteraan
dan pendidikan berkualitas tinggi
(2) Rendahnya ekspektasi kehidupan (pendidikan, kesejahteraan, kesehatan) sebagian
besar rakyat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai